NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 8

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 8

Sedang Mengadakan Pesta Takoyaki

"Se──npaai! Ayo kita adakan pesta takoyaki!"

Karena jelas terdengar suara milik Natsukawa, aku pun membuka pintu tanpa repot-repot menjawab interkom. Di sana berdirilah Natsukawa dengan senyum penuh semangat, menampilkan gigi taring yang menjadi ciri khasnya. …Untuk saat ini, lebih baik pura-pura tidak melihatnya sekali saja.

"Eh, tunggu! Kenapa sih mau ditutup lagi pintunya!?"

"Soalnya ada orang asing di depan…"

"Aku ini kan adik kelasmu yang imut! Ayo, Senpai, pesta takoyaki, ya?"

Sambil berkata begitu, ia mengibas-ngibaskan kantong belanja yang dibawanya. Rupanya bahan-bahan sudah dibeli. Di lantai pun sudah ada alat pemanggang takoyaki.

Sepertinya dia memang tidak datang dengan niat untuk ditolak.

"…Lagipula, aku kan tidak pernah memberi tahu alamat rumahku padamu."

"Aku dengar dari Haru-chan Senpai~~"

Dengan "jeng-jeng!" ala efek suara buatan sendiri, Natsukawa bergeser ke samping, memperlihatkan Sakuraba yang berdiri di belakangnya dengan wajah canggung.

"Ma-maaf mendadak begini…."

Alisnya yang sudah tampak lembut semakin terlihat khawatir, dan ia menunduk kecil dengan raut penuh rasa bersalah. Sikapnya itu benar-benar kebalikan dari Natsukawa yang tidak tahu malu.

"…Ya sudah, masuklah dulu."

Aku sebenarnya sudah mengira tidak akan pernah lagi melihat Sakuraba datang ke rumahku. Mungkin karena terkejut, aku tanpa sadar menyentuh bibirku, lalu buru-buru pura-pura tidak terjadi apa-apa sambil mempersilakan mereka masuk.

───Bagaimanapun juga, itu hanyalah sebuah kecelakaan.

Hanya itu saja. Bisa jadi Sakuraba sendiri tidak terlalu memikirkan-nya. Meskipun otakku paham, tubuhku seakan tidak mau menerima begitu saja.

"Hari ini aku main sama Haru-chan Senpai. Terus tiba-tiba kepikiran, 'enaknya bikin pesta takoyaki, ya~'. Soal tempat, bingung juga, tapi kan ada rumah Senpai, jadi ya sudah, kami ke sini!"

Baru saja masuk ke dalam kamar, Natsukawa langsung berkata begitu.

"Hei, jangan-jangan kamu mau menjadikan kamarku sebagai ruang klub kedua?"

"Kan tidak apa-apa. Aku akan kasih makan enak kok."

Sudah masuk seenaknya, masih berani bicara semena-mena. Dia pikir aku bakal luluh hanya dengan makanan enak? …Ya, memang benar.

"Suzu, bagaimana?"

"Aku oke. Aku suka takoyaki."

Tadinya kupikir malam ini bakal makan malam bersama Suzu lalu bubar, tapi ternyata jawabannya jelas sudah menganggap pesta takoyaki sebagai rencana yang pasti. Artinya, pesta ini memang sudah ditentukan.

"Biar kukasih tahu, aku ini cukup cerewet soal takoyaki. Ayahku orang Kansai, soalnya."

"Tenang saja, aku, Natsukawa Aoi, sangat percaya diri! Alat pemanggang yang kubawa ini pun punyaku sendiri, lho."

Wajahnya penuh kebanggaan. Dengan pernyataan itu, aku berharap hasilnya memang benar-benar enak.

"Baiklah, aku tunggu, ya…!"

Saat aku mengatupkan tangan sambil berkata begitu, Natsukawa menjawab dengan pose tinju penuh semangat. Aku percaya padamu, serius.

Akhirnya, "pedagang takoyaki" Natsukawa pun masuk ke dapur untuk menyiapkan adonan, sementara kami bertiga yang tersisa hanya bisa duduk mengelilingi pemanggang takoyaki sambil mengobrol. Aku sebenarnya mau membantu, tapi katanya, "Pemula sebaiknya duduk saja," jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Di samping kiriku ada Suzu, di depanku Sakuraba, dan di sebelah kananku ada Natsukawa sang koki. Meja kecil untuk hidup sendiri jadi penuh terisi. Dengan empat orang sekaligus, ruangan ini terasa sempit.

Beberapa bulan lalu, aku tidak pernah membayangkan bakal ada momen seperti ini. Apalagi, aku satu-satunya laki-laki, sementara sisanya tiga gadis cantik. Aku benar-benar tidak boleh sampai ketahuan Yuna. Kalau Yuna masuk ke kamar ini sekarang, tamatlah aku.

"Kenapa, Shii-kun? Wajahmu pucat, lho?"

"T-tidak merepotkan, kan!? Maksudku, kamu kan barusan sama Akibare-san…"

"Tidak, urusanku sudah selesai kok. Lagipula aku juga mau makan takoyaki."

Aku pun mencoba memberi senyum kecil pada Sakuraba yang wajahnya sama pucatnya denganku. Sambil itu, aku menyesali diriku sendiri. Semuanya terjadi hanya karena aku terlalu mudah tergoda oleh makanan enak.

"Perkenalkan, aku Sakuraba Haru. Aku mengajar Midoriya-kun memasak…"

"Aku tahu. Aku Akiba Suzu. Panggil saja Suzu. Aku teman masa kecil Shii-kun sekaligus sahabatnya."

Saat aku sibuk memegangi kepala, rupanya sesi perkenalan sudah selesai.

"Eh, kalian berdua baru pertama kali ketemu, ya?"

"Tidak juga. Aku pernah melihatmu beberapa kali waktu datang ke klub memasak, tapi baru kali ini kita benar-benar ngobrol."

Begitu Sakuraba bicara, suasana kembali sunyi. Udara jadi canggung.

Sakuraba hanya bisa merasa terhimpit, terjepit di antara Suzu yang berwajah datar dan aku yang wajahnya suram. Padahal Suzu memang tipe yang pendiam dengan ekspresi datar, tidak bermaksud menakutkan. Menjadi orang normal memang berat di situasi seperti ini.

Berdiam diri hanya akan membuat Sakuraba makin cemas. Jadi aku mencubit pahaku, lalu memaksa senyum. Lagipula, telepon rutin dari Yuna masih lama, dan katanya, 90% dari apa yang kita khawatirkan biasanya tidak akan terjadi.

Saat aku memikirkan hal itu, terdengar suara ceria dari dapur di lorong.

"Senpai, ternyata beli tepung sagu juga, ya~!"

"Aku juga bisa beli tepung sagu, tahu."

"Itu kan yang kubeli waktu aku bikin karaage untukmu…"

Sakuraba bergumam pelan, tapi sepertinya tidak terdengar oleh Natsukawa, yang malah menjawab, "Oh, jadi kamu bisa masak sendiri juga, ya." …Situasi jadi makin canggung.

Aku pun meletakkan jari telunjuk di bibir dan melirik Sakuraba. Ia pun tersenyum tipis lalu mengangguk.

Baiklah, setidaknya situasi aman untuk saat ini. Tiba-tiba, Suzu yang sejak tadi memperhatikan, berdiri lalu mengutak-atik rak bukuku.

"Haru. Mau lihat album kelulusan?"

"…Eh?"

"Kalau kamu mau lihat album kelulusan Shii-kun, bilang saja. Akan kutunjukkan."

Ucapan mendadak itu membuat Sakuraba terdiam, tampak kaget.

"Terus, mau dengar juga cerita masa lalu?"

Jangan sok-sokan pamer begitu.

Ngomong-ngomong, dia juga pernah mengatakan hal yang sama pada Yuna dulu. Suzu memang tidak punya banyak teman—lebih tepatnya, mungkin hanya aku saja. Jadi, kemungkinan besar dia tidak suka kalau aku punya teman dekat selain dirinya. Tapi, cara dia menunjukkan rasa tidak sukanya terlalu blak-blakan.

"Sudah, hentikan."

"Aduh…"

Aku menekannya dengan sebuah jitakan di dahi.

"Kalian kelihatan akrab sekali, ya…?"

"Iya. Kami dekat."

"Aku juga dekat dengan Senpai, kan!?"

Natsukawa kembali dari dapur sambil mengaduk adonan dalam mangkuk.

"Kita kan sudah pernah belanja bareng, dan pernah juga saling menempel di kamar yang sempit dan gelap itu."

Ia mengucapkannya dengan nada ceria, tapi matanya sama sekali tidak ikut tertawa. Dan jangan bilang dengan cara yang bisa menimbulkan salah paham begitu! Itu semua kan sama-sama di luar kendali!

"…Ja-jadi, Tuan Takoyaki Natsukawa. Bagusnya dimasak bagaimana?"

"Hmm. Pertama-tama, oleskan minyak salad. Kira-kira sebanyak sebutir tenkasu, jadi boleh dituang agak banyak, tidak masalah!"

Aku sudah tidak tahan melihat Suzu lagi-lagi mencoba pamer dengan cara yang aneh, jadi kucegat pembicaraan dengan memulai sesi membuat takoyaki. Untungnya berhasil.

Oke, saatnya ganti suasana! Inilah awal pesta takoyaki yang menyenangkan!!

"Setelah itu, tuang adonan hingga sekitar delapan puluh persen penuh! Setelah memasukkan isiannya, biarkan adonan meluap sedikit, itu justru pas."

"Wah, hebat! Benar-benar seperti profesional!"

Perkataan Natsukawa lebih meyakinkan dari perkiraanku. Pantas saja dia bisa datang tiba-tiba ke rumah orang dengan membawa alat panggang takoyaki miliknya sendiri.

Saat aku menuangkan adonan, Natsukawa tersenyum penuh bangga sambil memberi tanda jempol.

Ma-master...!

"Aku suka yang itu. Yang diisi keju."

"Oh iya, aku juga sudah beli bahan variasi lain, kayak sosis sama keju!"

"Kamu sudah menyiapkan banyak sekali, ya. …Tapi untuk pertama, kita pakai gurita dulu, ya?"

"Iya. Aku juga suka gurita."

"Memang klasik itu yang paling enak! Terakhir nanti, kita isi cokelat buat penutup manisnya!"

"Jenius banget."

"Eh, Senpai, jangan bilang-bilang nanti kepingin menikahi Aoi-chan yang cantik sekaligus jenius ini, yaa~"

Tidak ada yang mengatakannya begitu, sebenarnya.

Tanpa kusadari, Sakuraba sudah memotong-motong gurita, lalu kami semua memasukkannya bersama-sama.

Berbahaya. Rasanya jadi makin seru begini.

"Kalau adonan yang tumpah sudah mulai mengeras, tinggal diputar! Itu rahasia supaya bagian dalamnya tetap lembut!"

Kenapa tidak sekalian kerja paruh waktu di kedai takoyaki saja?

Dengan semangat dan bakat luar biasa dalam membuat takoyaki, Natsukawa memutar-mutar adonan dengan cekatan hingga membentuk bulatan sempurna.

"Ah, Senpai, sepertinya sudah jadi!"

"Gila… persis seperti di toko."

"Kelihatan enak. Sudah lama aku tidak makan takoyaki."

"…Aku juga sudah lama sekali tidak makan."

Suasana langsung riuh. Bentuk takoyaki yang cantik membuat semua orang bersorak kagum. Jarang-jarang pesta takoyaki di rumah bisa sekelas ini.

Setelah memastikan takoyaki sudah terbagi rata ke piring masing-masing, aku merapatkan tangan. Mereka bertiga pun mengikutiku.

"""Itadakimasu!"""

Setelah itu, kami hanya makan. Makan, makan, dan makan terus.

Memasuki putaran kedua, kami mulai menambahkan keseruan—bukan hanya sosis, keju, dan cokelat, tapi juga bahan lain yang ada di kulkas, sampai-sampai berujung pada “takoyaki ala Rusia”. Siapa sangka, ternyata kalengan tuna juga enak dimasukkan ke dalam. Itu mungkin penemuan terbesar hari ini.

Saat semua sudah kenyang dan obrolan mulai berkurang, tiba-tiba terdengar suara getar ponsel. Bunyi itu terus-menerus berbunyi.

"Ada telepon masuk, ya?"

Natsukawa mengecek ponselnya, lalu menyimpannya kembali. Rupanya bukan dia. Aku pun ikut meraih ponsel, dan getarannya terasa jelas. Di layar tertulis nama “Yuna”.

"……Eh."

"Lho, ternyata ponsel Senpai yang bunyi, ya?"

"Angkat saja. Kami akan diam."

Yang masuk adalah panggilan video dari Yuna. Sebenarnya aku ingin pura-pura tidak melihat, tapi karena waktunya tidak biasa, bisa jadi ada keadaan darurat. Jadi, tidak ada pilihan untuk mengabaikannya.

"Maaf, aku keluar sebentar…"

"Itu, mungkin dari pacarmu?"

Sakuraba bergumam pelan.

Suaranya lirih, tapi di kamar sempit enam tatami ini cukup terdengar jelas.

Bzzzt. Bzzzt. Getaran panggilan terus berlanjut. Aku tidak bisa menjawab sepatah kata pun. Terdiam. Sementara itu, Suzu mendesak, cepatlah.

"Shii-kun. Nanti keburu terputus."

Benar juga. Tidak ada waktu untuk pindah tempat. Dengan panik, aku menekan tombol sambung. Seketika, wajah Yuna yang penuh senyum muncul di layar.

『Shiki, dengar ini!』

"…Oh, ada apa?"

『Itu lho! Ingat ujian simulasi yang pernah kubilang mau kuikuti? Hasilnya baru keluar, dan nilainya paling bagus dari semua yang pernah aku dapat!』

Di layar, Yuna tampak begitu bahagia. Jarang sekali dia setinggi ini semangatnya. Matanya berkilau lebih dari biasanya.

Aku ingin ikut tersenyum mendengar ceritanya—seharusnya begitu—tapi isi pembicaraan sama sekali tidak masuk ke kepalaku. Yang kudengar hanya detak jantungku sendiri yang berdentum keras di telinga. Pipiku pun kaku, seperti program yang error, tidak bisa menyesuaikan ekspresi.

『Aku dapat prediksi lulus di Fakultas Kedokteran Universitas Hayamine, nilai B! Kalau begini terus, mungkin dua tahun lagi aku bisa tinggal bareng Shiki!』

Dari sudut pandang Yuna, yang terlihat di belakangku hanya dinding

kamar seperti biasanya. Baginya, aku mungkin tampak sama seperti biasanya. Tapi, dari sudut pandangku—pemandangan yang kulihat sama sekali berbeda.

Karena di meja yang sama ada Sakuraba, Natsukawa, dan Suzu, maka selama mereka tidak bergerak, seharusnya wajah mereka tidak akan masuk ke layar. Namun, hal kecil saja bisa membuat rahasia terbongkar.

Aku terus-menerus khawatir pada ketiga orang yang ada di belakang Yuna… tidak, sebenarnya tidak masalah sekalipun mereka ketahuan. Toh semuanya hanya teman.

Tetap saja, dalam situasi seperti ini, aku sama sekali tidak yakin bisa menghindarkan kesalahpahaman.

『Shiki, kenapa? Kamu banyak berkeringat… Panas, ya? Mau nyalakan pendingin udara?』

“Ah, tidak. Sama sekali tidak apa-apa.”

Aku buru-buru menyeka keringat dengan tangan, lalu Suzu tiba-tiba menyodorkan sapu tangan dari samping. Detak jantungku semakin cepat.

『Kita mungkin bisa tinggal bersama, lho. …Kamu tidak senang?』

“Tidak, aku senang sekali! Benar-benar senang.”

Yuna tersenyum lega. Rupanya hasil B di Universitas Kedokteran Hayamine itu prestasi besar. Yuna, yang jarang sekali bersemangat, kini penuh antusiasme dan banyak bercerita tentang ujian percobaan tadi. Sementara aku hanya mengangguk-angguk tanpa benar-benar fokus, Natsukawa tiba-tiba mengetik sesuatu di ponselnya. Lalu, seketika ia menyorongkan layarnya padaku.

────「Kalau aku teriak sekarang, Senpai benar-benar tamat, kan?」

Tidak mungkin aku membiarkan itu terjadi.

Aku segera memindahkan ponsel ke tangan kiri, lalu menutup mulut Natsukawa dengan tangan kananku.

“Mmhh…”

Suara kecil yang mirip rengekan lolos dari bibirnya, tapi bagi mikrofon hanya terdengar sebagai gangguan, dan pasti terhapus oleh fitur peredam bising. Sebenarnya aku tahu itu, tapi karena panik, aku buru-buru kembali menatap layar Yuna.

『? Hihi.』

Yuna tetap dalam suasana hati yang baik dan tersenyum lebar. Aku pun terpaksa membalas dengan senyum buatan. Tampaknya dia tidak menyadari apa pun.

Tentu saja aku tidak bisa membiarkan Natsukawa bergerak, jadi aku menarik tubuh mungilnya ke dalam pelukan, mendudukkannya di antara kakiku. Tubuhnya yang kecil pas masuk, dan tidak tertangkap kamera.

Posisinya jadi seperti memeluk dari belakang. Dengan begini, dia tidak bisa berteriak, dan juga tidak akan muncul di layar video. Aku tidak punya keinginan selingkuh. Tidak juga punya hasrat untuk menghancurkan diri sendiri. Namun entah kenapa, tubuhku banjir adrenalin, seakan kepalaku mau pecah.

『Ayahku juga senang sekali. Katanya kalau aku berhasil masuk Universitas Hayamine, beliau mungkin akan mengizinkan kita tinggal berdua! Setelah lulus, kita kembali ke kampung, lalu meneruskan rumah sakit…』

“…Itu kabar bagus, tapi janji ya, jangan sampai memaksakan diri.”

『Tidak mau. Justru demi bisa menikah dengan Shiki, aku rela memaksakan diri.』

Saat Yuna berkata begitu, aku merasakan sensasi dingin di kaki. Seperti ada kaki seseorang yang menempel. Aku buru-buru menjauh, tapi segera dikejar lagi dan terasa lilitan lembut di kakiku.

[ Tidak boleh ]

Aku menoleh refleks, dan bertemu tatap dengan mata Sakuraba. Senyumnya samar, tapi tatapannya sedingin es, sangat jauh dari sifat lembut biasanya.

Pada saat yang sama, kaki jenjang dan halus itu menyelip di antara kakiku. Jadi, ternyata pemilik kaki itu adalah Sakuraba. Meskipun situasinya gila, ingatan tentang kemarin kembali melintas di kepalaku. Jantungku berdetak makin cepat—entah karena gugup, menyesal, atau alasan lain, aku sendiri tidak tahu.

Apa salahku? Kapan semua ini mulai menjadi begini? Mungkin karena napas yang pendek, otakku seperti kekurangan oksigen, terus memikirkan hal-hal tanpa jawaban.

『Hei Shiki, kamu dengar tidak?』

“Eh? Ah, iya. Tentu saja.”

Tenang, diriku. Sekalipun panik, keadaan tidak akan berubah. Aku memaksa otak yang nyaris korslet ini bekerja, untuk merapikan apa yang sedang terjadi.

Yuna di layar, Natsukawa yang kupeluk erat, Sakuraba yang melilitkan kaki, dan Suzu yang menyeka lenganku dengan sapu tangan.

Aku menutup mata, ingin lari dari semuanya. Tapi kenyataan tetap tidak berubah.

────Aku ingin pindah rumah, dan menganggap semua ini tidak pernah ada. Itu pertama kalinya aku sungguh-sungguh berpikir begitu. Tapi, apakah dengan pindah saja, semua ini bisa dianggap lenyap? Padahal aku sendiri yang menanam benih masalah, betapa egoisnya aku. Selain itu, kalau tidak kuhadapi sekarang, apa pun tidak akan pernah selesai.

“Yuna. Aku, eh…”

『Ah, ibu memanggilku.』

Yuna tersenyum, berkata, 『Sepertinya makan malam ini hidangan favoritku.』

Aku teringat ucapan Yuna dulu: kalau dirinya bisa meraih hasil, barulah ibunya bersikap baik.

『Maaf mendadak, ya. Sampai nanti!』

Sambungan berakhir. Begitu layar menampilkan “panggilan berakhir”, barulah aku bisa merasakan tanganku lagi. Nafas kecil Natsukawa terasa di telapak tanganku.

“Puh. Senpai jahat banget, deh.”

“…Aku bisa putus hubungan denganmu, tahu…”

“Itu cuma bercanda, kok. Toh aku tidak sampai bikin keributan, kan?”

Aku sudah tidak punya tenaga untuk marah atau menegurnya. Aku terkulai di meja. Rasanya hampir mati. Detak jantungku masih terlalu cepat, sampai yakin umurku berkurang.

Bahkan sekarang pun masih terus berkurang.

“Untung saja tidak ketahuan.”

Suzu tersenyum lembut, bak malaikat, pada wajahku yang sudah pucat pasi.

“Bukan cuma untung… lebih dari itu.”

“Eh, tapi aku jadi dengar juga. Jadi, Senpai ini sebenarnya sudah ditentukan masa depannya, ya?”

Syarat menikahi Yuna, putri tunggal pewaris rumah sakit besar, adalah: ia harus menjadi dokter, lalu mewarisi rumah sakit, dan aku harus mendukungnya sepenuhnya. Kuliah mungkin boleh di Tokyo, tapi kembali ke Mie adalah syarat mutlak.

Karena sering pindah sekolah, aku sebenarnya tidak pernah merasa punya “kampung halaman”. Namun, bukan berarti aku tidak punya rasa terhadap Mie. Hanya saja, bagiku semua itu masih tidak terasa nyata.

Saat aku terdiam, Natsukawa menatapku dengan wajah masam.

“Pacarmu berat sekali, ya?”

“…Tidak, sama sekali tidak.”

“Kalau begitu, bukankah masa bebasmu cuma selama SMA saja? Jadi bagaimana? Mau kabur sama aku, Senpai?”

“Tidak boleh, Aoi-chan.”

Sakuraba menjawab dengan wajah serius.

“Itu tidak benar.”

“…Aku hanya bercanda, kok.”

Natsukawa akhirnya berhenti menjadikan aku kursinya lalu berdiri. Di tempat ia duduk masih tertinggal sedikit kehangatan, dengan jejak keringat tipis.

“Baiklah. Piring-piringnya cepat saja kita cuci, ya!”

“Biar aku saja yang urus. Toh tadi aku hampir tidak ikut menyiapkan apa pun.”

“Eh, benar tidak apa-apa?”

Tentu saja, Master.

Setelah diberi kesempatan menikmati takoyaki buatannya, rasanya keterlaluan kalau aku tidak ikut membereskan. Mungkin karena masih canggung setelah kejadian tadi, Natsukawa mengambil barang-barangnya.

“Kalau begitu, aku pulang duluan, deh. Lagipula sudah mulai gelap.”

“Lalu takoyaki grill-mu?”

“Boleh aku titip di rumah Senpai? Itu kan unit keduaku.”

“Tidak masalah sih… tapi jangan-jangan kau memang berniat menjadikan rumahku sebagai tempat tetap takopa?”

Natsukawa tidak menjawab, hanya tersenyum, “Sampai jumpa di sekolah!” lalu berjalan ke pintu.

Ya, sudah pasti begitu. Tidak apa-apa juga sebenarnya.

“…Akiba-san juga boleh pulang.”

“Haru. Kenapa?”

“Setelah ini, aku memang berjanji akan diantar oleh Midoriya-kun ke tempat kerjaku. Toh aku tetap harus pergi, dan dapur di sini sempit, dua orang saja sudah cukup.”

“……Baiklah. Kalau begitu, sampai nanti.”

Suzu tampak masih ingin tinggal, tapi kata-kata Sakuraba cukup masuk akal, dan jelas ia menyiratkan agar Suzu pulang. Aku pun diam-diam melepas kepergiannya. Setelah pintu tertutup dan terkunci, hanya kami berdua yang tersisa. Namun, tanpa sepatah kata pun, kami sibuk membereskan sisa takopa.

Setelah aku selesai mencuci takoyaki grill terakhir, aku memutar keran dan air berhenti mengalir. Hanya suara tetesan kecil yang jatuh ke bak cuci. Saat itulah Sakuraba membuka mulut.

“Hari ini, maaf ya datang tiba-tiba. Aku merasa kalau tidak begini, mungkin aku tidak akan bisa datang ke sini lagi.”

Plip. Suara air yang jatuh ke bak terdengar jelas. Air yang sudah jatuh tak akan pernah kembali.

“Aku… tidak sanggup membayangkan masakan yang kuajarkan padamu disajikan untuk pacarmu.”

Aku mengerti maksudnya. Aku tidak sampai sebodoh itu untuk pura-pura tidak paham. Mata besar Sakuraba berkaca-kaca, namun ia tetap tersenyum lembut.

“…Midoriya-kun, bolehkah aku berhenti jadi gurumu mulai hari ini?”

“Baik, tapi masalahmu sendiri masih belum…”

“Tidak apa-apa. Berkatmu, keadaanku jauh lebih baik sekarang.”

Itu jelas bohong. Selama Sakuraba tidak berhenti kerja, atau tidak menolak dengan tegas, masalah itu takkan pernah hilang. Tetapi aku tidak bisa menghentikannya, karena aku gagal menjadi pacar, dan juga gagal menjadi teman. Benar-benar buah dari perbuatanku sendiri.

Tidak ada kata yang bisa kuucapkan.

Aku hanya menatap Sakuraba. Aku teringat, ketika pertama kali bertemu dengannya, aku merasa ia mirip seseorang. Ternyata dia mirip tokoh utama wanita dalam novel favoritku. Mirip dengan gadis yang pernah menjadi cinta pertamaku.

“Kalau begitu, sampai jumpa, Midoriya-kun.”

Sakuraba berkata begitu, lalu membawa barang-barangnya dan keluar dari kamar. Kini, di kamar yang tadi begitu riuh, hanya aku seorang yang berdiri terpaku.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close