Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Epilogue
Dengan menghilangnya Cawan Suci, semua keadaan pun mereda.
Singkatnya, dunia kembali damai.
Para petinggi yang bersekongkol dengan kekuatan luar negeri, termasuk Direktur dan para kapten di bawahnya, semuanya ditangkap. Identitas pihak asing atau negara mana yang mereka hubungi hanya diketahui oleh kalangan atas, dan aku sendiri tidak merasa perlu untuk menanyakannya.
Posisi Direktur Biro Yin-Yang kini dirangkap oleh Kapten Shirakawa, meski masih muda. Karena setengah dari stafnya ditahan, mereka kekurangan tenaga secara serius dan kabarnya setiap hari sangat sibuk.
Kapten Shirakawa, tampaknya, bukan tipe atasan modern yang “baik.” Begitu melihat surat pengunduran diriku, dia langsung melemparkannya ke tempat sampah dan berkata sambil tersenyum seperti malaikat, “Ayo kita berjuang bersama, ya.” Aku pun tak bisa berkata apa-apa selain, “Yah... Aku bantu-bantu sesekali saja, kok.”
Namun, ada juga hal baik dari Kapten Shirakawa merangkap jabatan Direktur.
Yang Mulia diakui sebagai Immortal yang tidak berbahaya dan dibebaskan sepenuhnya tanpa dakwaan.
“Aku jelas jauh lebih kuat. Jadi aman-aman saja,” kata Kapten Shirakawa dengan santainya.
Begitulah, Yang Mulia akhirnya resmi terdaftar dalam daftar Immortal.
Namanya dalam daftar itu adalah:
“Elraine dari Toko Inggris.”
Tentu saja, Yang Mulia sangat murka.
“Kenapa aku harus terdaftar di lembaga pemerintahan Jepang? Aku ini negara independen! Perlakukan aku sebagai tamu negara! Dan satu lagi, aku lebih kuat dari Shirakawa. Jauh lebih kuat!”
Tapi, ada hal baik juga.
Seluruh perabotan dan barang-barang yang sempat disita dari Toko Inggris dikembalikan.
Tentu saja, kami membuka kembali Toko Inggris.
Permintaan dari para pedagang di pusat perbelanjaan tetap ramai seperti biasa. Kami menjaga toko lauk pauk, bermain gateball di pinggir sungai. Yang Mulia, yang tampaknya sadar shogi tidak bisa dimainkan dengan bidak catur, mulai membaca buku aturan shogi.
Hari-hari penuh keceriaan pun kembali. Namun...
“Madarame, kamu masih punya satu hal terakhir yang harus kamu lakukan, bukan?” kata Yang Mulia. Tentu saja aku tahu apa maksudnya.
Maka pada suatu hari, sepulang sekolah, aku mengajak Hana untuk makan malam bersama.
Hana, sambil merajuk, “Kalau bilang dari awal, aku bisa persiapan lebih, lebih banyak!” dan dia tetap ikut denganku.
Kami naik kereta sebentar menuju pusat kota dan makan malam bersama.
Dalam perjalanan pulang, Hana berhenti di atas jembatan penyeberangan.
Gedung-gedung kota yang bersinar di malam hari, cahaya ekor mobil yang melintas di jalanan, menjadi latar pemandangan.
Di saat itu, aku mengeluarkan sesuatu dari saku dan menyerahkannya padanya.
Wajah Hana langsung terkejut, lalu berseru, “Waaah!”
Yang ada di tanganku adalah boneka Kuromari.
“Padahal aku sudah bilang nggak usah dipaksain, itu berbahaya...”
“Tapi itu hadiah dari ayahmu, kan? Penting, bukan?”
“Kalau sampai terjadi apa-apa padamu, malah jadi masalah besar...” ucap Hana sambil menerima Kuromari dengan kedua tangan.
“Kuromari yang ayah kasih itu sebenarnya banyak, kok. Jadi kalau satu hilang pun nggak masalah. Nggak masalah...”
Namun tangan Hana menggenggam Kuromari erat.
“Ini bukan ngotot, sungguh. Memang beneran banyak. Soalnya, ayahku sibuk kerja dan nggak tahu apa-apa tentang anaknya, jadi tiap kali kasih hadiah ya Kuromari terus. Pokoknya kasih itu aja, pikirnya. Selalu sama...”
Hana mulai bercerita tentang kenangannya bersama Kuromari.
Saat Natal waktu SD, ketika bangun pagi ada boneka Kuromari besar di samping bantal. Saat ulang tahun, ia dapat tas kecil Kuromari dan masih dipakainya sampai sekarang. Dan setiap kali ia senang menerima Kuromari, ayahnya juga selalu tersenyum bahagia.
“Ayah itu, sampai akhir tetap menganggapku anak kecil. Selalu begitu. Baginya, aku ini masih anak kecil, makanya... dia terus menyayangiku... Meski sibuk kerja... Meski akhirnya dia nggak ada lagi...”
Suara Hana mulai bergetar.
“Walau Ayah lagi sakit... Ayah tetap ngirim Kuromari... Dan yang ini... Kuromari yang terakhir... Kuromari terakhir dari Ayah... Kuromari...”
“Aku akan lihat ke arah lain,” kataku sambil membiarkannya menangis di punggungku.
Hana menyandarkan wajahnya di punggungku dan menangis cukup lama.
Setelah tangisnya reda, kami berjalan-jalan sebentar sampai air matanya mengering.
“Bikin kesal saja,” gumam Hana sambil manyun.
“Ayah berhasil bikin aku nangis. Pasti dia waktu di ranjang rumah sakit sambil bungkus hadiah, senyum-senyum sendiri mikir, ‘Anakku pasti nangis karena ini.’ Memang begitu orangnya.”
“Ayahmu pasti senang.”
Setelah puas berjalan, kami memutuskan untuk pulang dan naik kereta.
Kami duduk berdampingan di kursi.
Hana, mungkin karena kelelahan habis menangis, menggenggam ujung lengan bajuku sambil menahan kantuk.
Suara ritmis kereta yang berjalan.
Kuromari ada dalam genggaman Hana.
Satu kisah Toko Inggris pun berakhir.
“Madarame-senpai...” gumam Hana dalam setengah tidur.
“Terima kasih...”
Agar tak membangunkannya, aku menjawab pelan.
“Dengan senang hati.”
* * *
Baiklah, peristiwa ini telah berakhir dengan sempurna, tanpa cela, dan benar-benar tuntas. Namun, janji yang belum ditepati tetap harus ditepati.
Dengan kata lain, malam ini adalah...
“Shirakawa, seleramu dalam berpakaian tuh payah, tahu nggak.”
“Ellie lebih parah, menurut akuuu!”
Ya, ini adalah pesta minum.
Yang Mulia selalu menepati janjinya, tak peduli dengan siapa pun ia berjanji. Karena itu, pesta minum yang dulu pernah direncanakan tapi tidak sempat dilakukan, akhirnya dilaksanakan malam ini.
Tentu saja, Wakil Kapten Yanagishita tidak bisa ikut, jadi hanya kami bertiga.
Setelah bertiga masuk ke sebuah bar dan duduk di meja, Yang Mulia dan Shirakawa langsung bersaing soal siapa yang paling tahan minum.
“Aku tidak akan mabuk hanya karena minuman sepele begini.”
“Aku juga nggak apa-apa, soalnya aku pintar. Nggak akan mabuk.”
Dengan saling bertukar pandang penuh tensi, keduanya mulai minum dengan cepat, seolah air saja. Dan benar saja, keduanya memang kuat, tapi karena mereka minum sebanyak air mengalir, akhirnya tentu saja, mereka mabuk juga.
“Shiryakawa, mukamu merah, loh.”
“Benarkah...”
Karena bartender menaruh sebotol alkohol yang tampak kuat di atas meja, aku menuangkannya ke dalam gelas-gelas milik mereka.
Lalu, keduanya mulai bertengkar soal pakaian pula.
“Jaket putih gitu tuh, yang... yang kayak dipakai cewek-cewek yang rada... red flag gitu loh...”
“Hah? Gothic lolita hitam jauh lebih red flag, tau nggak?”
“Kuromari tuh nggak apa-apa dong, Kuromari tuh imut banget, kan?”
“Yang jadi tokoh utama tuh Yurumari,!”
Lalu mereka terus saja minum dan berisik, ramai dan gaduh dalam pertengkaran mabuk mereka.
“Hei, Madarame, cewek ini bahaya loh!”
“Madarame, jangan ikut-ikut sama cewek kayak gini ya!”
Akhirnya, keduanya bersamaan rebah menelungkup di atas meja.
“Eh? Serius? Hah?”
Aku mengguncang bahu mereka berdua, tapi baik Yang Mulia maupun Shirakawa sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun.
“Jangan-jangan... Aku yang harus gendong pulang mereka berdua...?”
Aku pun hanya bisa terduduk pasrah, menyandarkan sikuku di atas meja.
“Yah, nunggu sebentar lagi lah...”
Sambil minum jus, aku menunggu mereka bangun kembali.
Lalu aku teringat saat Yang Mulia tidak sedikit pun menoleh ke arah Cawan Suci.
Aku berkata pada Yang Mulia, yang kini tertidur nyenyak sambil mendengkur pelan.
“Mungkin sekarang, Yang Mulia sudah tidak merasa kesepian lagi, ya.”
Meja tempat Yang Mulia dan Shirakawa tertelungkup bersama itu pun adalah meja bundar.
* * *
Akhirnya, saat pagi tiba, kami bertiga keluar dari bar.
Sambil menyaksikan fajar menyingsing, kami berjalan di sepanjang jalan tepi laut.
Yang Mulia dan Kapten Shirakawa masing-masing memegang sebotol air mineral dan menampakkan wajah yang jelas-jelas kesakitan.
Di tengah udara pagi yang bening, ada dua orang yang mabuk berat dan satu orang yang merawat mereka, yaitu aku.
Sepertinya, begini teruslah ke depannya.
Saat aku berjalan sambil berpikir begitu, Shirakawa tiba-tiba menengadah ke langit dan berkata, “Aku senang kalau saja Cawan Suci itu ada.”
“Kerajaan Seribu Tahun, ya?”
“Itu juga, aku lebih memilih itu, tuh.”
Shirakawa menunjuk ke langit.
“?”
Aku memiringkan kepala, kebingungan.
“Madarame, kamu nggak lihat ya?”
Begitu Shirakawa berkata begitu, Yang Mulia ikut bicara.
“Dia tidak bisa melihatnya.”
“Begitu ya, kalau begitu biar aku...”
Shirakawa mengulurkan telapak tangannya ke arah mataku. Tapi Yang Mulia menepuk tangan itu dengan bunyi “petchin”.
“Jangan main-main dengan bawahanku.”
“Dia itu bawahanku, tahu!”
Keduanya pun mulai saling ribut kecil. Pertengkaran itu kemudian mengarah padaku.
“Hei, Madarame, bilang ke dia. Bilang aja kamu nggak tertarik.”
“Kamu lebih suka aku, kan!”
Rasanya kayak lagi diperebutkan. Tapi ya, ini juga oke-oke aja sih! Aku ingin mereka terus bertengkar memperebutkanku.
Namun...
“Ada apa sih dengan langitnya? Aku jadi penasaran banget ini!”
“Ah, iya, balik ke topik itu ya.”
Kapten Shirakawa melepaskan pipi Yang Mulia yang tadinya ia cubit, lalu berbicara dengan nada sedikit serius.
“Kalau saja ada Cawan Suci, kupikir mungkin ada hal yang bisa kuselamatkan.”
“Hal yang bisa diselamatkan?”
Saat aku bertanya, Kapten Shirakawa menjawab.
Hal yang ingin ia selamatkan dengan Cawan Suci adalah...
“Perang Apokaliptik.”
Begitu Shirakawa mengucapkannya, aku pun menengadah ke langit pagi yang jernih. Tapi...
Langitnya berubah dalam sekejap.
Langitnya kini menjadi gelap dan berat. Bukan malam. Bukan pula awan.
Langit itu memenuhi segala jarak pandangku. Dan apa yang memenuhinya...
Ada misil yang jumlahnya tak bisa dikira.
Semua misil itu melayang di udara, diam, seolah siap untuk hujan turun ke bumi kapan saja.
Kalau semua itu jatuh, pastilah seluruh bangunan, seluruh manusia, segala sesuatu akan lenyap.
“Inilah kenyataan dunia,” ucap Kapten Shirakawa.
“Dunia kita ini, sebenarnya sudah berakhir. Kita hanya menundanya sedikit saja. Itulah kebenarannya.”
Shirakawa selama ini mencari cara untuk menghentikan situasi ini.
Perang Akhir yang diramalkan dalam Kitab Wahyu, pertempuran antara kebaikan dan kejahatan.
“Yang Mulia sudah tahu tentang ini?”
“Ya.”
Yang Mulia menjawab dengan santai.
“Kalau begitu, bukankah kita memang butuh Cawan Suci milik Yang Mulia?”
“Itu juga pandangan yang masuk akal.”
“Jawabannya santai banget, ya.”
“Aku memang berniat menyelesaikannya suatu hari nanti. Tak baik kalau tanah air dan rakyatku terluka.”
“...”
“Tapi, aku ini tidak terlalu kuat. Dan Cawan Suci itu baru akan terbentuk kembali dalam seribu tahun.”
Lalu, dengan wajah tenang seperti biasa, Yang Mulia menatapku.
“Aku sudah cukup lama bersama Yang Mulia, jadi aku tahu. Tapi, ini agak nekat, bukan? Meski aku berusaha sekuat tenaga, skala masalah ini terlalu besar...”
“Madarame, kamu harus mengakhiri Perang Apokaliptik.”
Dengan suara yang penuh tekanan seperti biasa, Yang Mulia mengucapkannya.
“Demi nama Yang Mulia yang Jatuh dari Surga.”



Post a Comment