NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Datenshi Heika no Oose no Mamani e [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Afterword - Bonus E-Book

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Afterword

Yang Mulia Sang Malaikat Jatuh, bagaimana menurut Anda? 

Saat menulis kisah ini, saya merasa bahwa Madarame dan Yang Mulia benar-benar memiliki semangat mulia, seperti para penjudi jalanan di zaman Edo yang mengorbankan diri demi menolong yang lemah dan menjunjung tinggi elegan. Mereka tidak akan pernah melakukan hal “tak bernyawa” seperti menjilat kekuasaan. 

Yang Mulia sepenuhnya adalah perwujudan dari keadilan. Dari awal, beliau tidak tertarik pada Cawan Suci yang bisa memberinya kekuatan. Yang beliau pikirkan hanyalah satu: seorang gadis kecil yang kehilangan ayahnya. Bukankah itu luar biasa keren?

Dan Madarame pun tersentuh oleh hal itu. 

Adegan di bioskop indie adalah salah satu adegan favorit saya. “Keren”, “pintar”, “modis”, semua itu kata-kata yang terasa menyenangkan. Tapi kata yang benar-benar membuat hati berbunga adalah: “terima kasih”. 

Di zaman media sosial, kita mudah terjebak pada kebutuhan akan pengakuan. Tapi sebenarnya, saya rasa semua orang, jauh di dalam hati mereka, menginginkan hal-hal yang tulus seperti itu. Saat menggambarkan Madarame, saya semakin yakin akan hal itu. 

Mungkin, hal yang sama berlaku untuk novel. 

Penulis itu jenius, edgy, luar biasa. Kata-kata yang menempatkan diri sebagai subjek tidaklah penting. Hanya satu kalimat sederhana dari pembaca, “menarik”, itu saja sudah cukup. Saya rasa mungkin ada penulis di dunia ini yang berpikir demikian. Meskipun, pribadi saya sih sangat senang jika disebut jenius. Silakan katakan, terima kasih banyak. 

Sekarang, izinkan saya mengucapkan terima kasih. 

Kepada editor penanggung jawab dan seluruh tim MF Bunko J, terima kasih yang sebesar-besarnya. Mungkin ini tidak mudah dipahami oleh para pembaca, tapi mendorong karya yang tidak termasuk dalam genre baku maupun tren yang sedang naik daun sebenarnya membutuhkan keberanian besar. 

Secara sederhana, saya punya karya hit seperti Second Girlfriend, jadi kalau saya menulis sesuatu yang mirip dan mempromosikannya, pasti penjualannya tinggi dan saya juga dapat keuntungan. Tapi... 

Bukankah itu terlalu nggak berkelas? Begitulah kira-kira. 

Saya benar-benar berterima kasih kepada editor yang berkelas dan MF Bunko J. 

Selanjutnya, kepada ilustrator Rau-sensei, terima kasih atas ilustrasi yang luar biasa. Berkat selera artistik Rau-sensei, lahirlah karakter-karakter yang imut dan penuh gaya. Mohon terus bekerja sama di masa depan. 

Saya juga berterima kasih kepada Yang Mulia Putri Lize Helesta atas komentarnya. Dalam pemilihan presiden Amerika berikutnya, saya akan menulis nama Yang Mulia Lize di surat suara saya. 

Saya juga berterima kasih kepada para pemeriksa naskah, desainer, staf toko buku, dan semua pihak yang terlibat dalam buku ini. Dan terakhir, kepada para pembaca yang telah membaca kisah ini, terima kasih banyak. 

Saya ingin menulis cerita yang penuh semangat dan tenaga, yang bisa memberikan energi kepada pembacanya. 

Jika ada di antara Anda yang merasa lebih bersemangat setelah membacanya, maka saya sangat bersyukur.





Cerpen Bonus E-Book: Gadis di Jendela

Pada suatu siang di hari musim gugur yang cerah. 

“Aku mau makan es krim,” begitu kata Yang Mulia sambil bermain video game. 

“Kalau begitu, biar aku yang belikan,” 

Sambil mengambil dompet Yang Mulia yang tergeletak di atas meja kopi, aku berdiri. Tentu saja, aku juga berniat membeli banyak camilan untuk diriku sendiri sekalian. 

Begitulah kehidupan sehari-hari di Toko Inggris, namun hari itu terasa sedikit berbeda. 

“Aku juga ikut,” Yang Mulia meletakkan kontroler. 

“Menu di minimarket pasti sudah berubah. Aku akan memilih langsung.” 

“Hanya beli es krim saja, kenapa harus sedramatis itu.”

Begitulah, aku memakaikan mantel dan sarung tangan kepada Yang Mulia, lalu kami keluar dari Toko Inggris. Kami berjalan menyusuri jalan di pusat perbelanjaan menuju minimarket. Namun...

“Hm.” 

Yang Mulia menghentikan langkah. 

Jalan yang biasa kami lalui sedang ditutup karena konstruksi. 

“Yang Mulia, mari kita ambil jalan memutar,” kataku, dan kami pun berbelok ke jalan yang biasanya tidak kami lalui. 

Jalan itu sepi dan tenang, hampir tak ada pejalan kaki. 

Karena ini pertama kalinya, aku berjalan sambil celingukan ke sekeliling. Tiba-tiba, aku melihat seorang gadis kecil seumur anak SD menatap kami dari jendela gedung putih besar. 

Tertular olehku, Yang Mulia juga mendongak melihat ke arah gadis kecil di jendela. 

Begitu sadar bahwa kami melihatnya, gadis itu sempat menghilang ke dalam ruangan. 

Namun tak lama kemudian, ia muncul kembali di jendela dan memperlihatkan boneka kepada kami. 

“Bonekaku lebih imut!” 

Itu adalah boneka ganti kostum yang terkenal. 

Pakaian boneka itu agak mirip dengan yang dikenakan Yang Mulia saat ini: bergaya gothic hitam. 

“Dia bilang, bonekanya lebih imut daripada aku?” 

“Ya, bisa dibilang begitu.” 

“Sungguh tidak sopan.” 

Tanpa menggerakkan alis sedikit pun, Yang Mulia menatap ke atas dan berkata, “Hajar dia satu kali.” 

“Tapi dia itu anak perempuan SD...”

Aku mendorong punggung Yang Mulia dan buru-buru membawanya ke minimarket. 

Keesokan harinya, Yang Mulia berkata, “Ayo beli camilan.” 

Biasanya tidak sering Yang Mulia menyuruhku dua hari berturut-turut. Tapi alasannya kali ini jelas, pakaian Yang Mulia menjadi jauh lebih mewah dari kemarin. 

“Yang Mulia bersaing dengan boneka anak SD...”

Dengan penuh percaya diri, Yang Mulia melewati jalan yang sama seperti kemarin. 

Seperti biasa, gadis kecil itu menatap dari jendela. Begitu melihat kostum megah Yang Mulia, ia tampak terkejut. Namun ia pun masuk ke dalam dan muncul lagi dengan boneka yang kini berpakaian lebih mewah. 

Siang keesokan harinya, Yang Mulia yang mengenakan pakaian lebih mewah lagi berkata, “Ayo jalan-jalan.” 

“Ini masih berlanjut...?”

“Aku akan membuat gadis kecil itu menangis.” 

“Kecil banget hatinya.”

Begitulah, selama beberapa hari berikutnya, kami terus melewati jalan tempat gadis itu biasa muncul dari jendela. Karena Yang Mulia memiliki banyak kostum, tak ada masalah dengan variasi. Dari gaun pesta malam, kostum bajak laut, hingga seragam bisbol yang cukup mengejutkan. 

Gadis kecil itu juga tak kalah. Ia terus mengganti kostum bonekanya untuk melawan Yang Mulia. 

Pertarungan antara Yang Mulia yang tak mau kalah dan anak SD yang sama keras kepalanya. 

Pertarungan itu tak pernah selesai, karena keduanya tak akan pernah mengakui kekalahan. 

Bahkan setelah jalan utama selesai diperbaiki, Yang Mulia tetap memilih jalur memutar. 

Namun, sejak suatu hari, gadis kecil itu tidak lagi muncul di jendela. Saat melewati gedung putih itu seperti biasa, jendelanya tetap tertutup. 

Meski begitu, Yang Mulia tetap berdandan dan terus melewati jalan itu. 

Beberapa hari kemudian, di bawah jendela tempat gadis itu biasa muncul, aku berkata, “Sepertinya Yang Mulia sudah tidak perlu bermain dengannya lagi.” 

Aku memandang ke atas ke arah gedung putih besar tempat gadis kecil itu biasa berada. Di puncaknya, terlihat lambang salib. Sebuah rumah sakit. 

“Operasi gadis kecil itu katanya berjalan lancar dan sekarang dia sudah keluar dari rumah sakit. Aku menanyakannya langsung pada perawat,” kataku kepada Yang Mulia. 

“Pasti menyenangkan baginya. Di kamar rumah sakit yang membosankan, ada seorang kakak cantik yang bermain dengannya dari balik jendela.” 

Yang Mulia tetap berjalan menuju minimarket dengan ekspresi anggun seperti biasa. 

“Aku cuma ingin membuat gadis kecil itu menangis.” 


Previous Chapter | ToC | 

0

Post a Comment

close