NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Guuzen Tasuketa Bishoujo ga Naze ka Ore ni Natsuite Shimatta ken ni Tsuite Volume 1 Epilogue

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Epilogue


Setelah berhasil melewati ujian tengah semester di akhir Mei, kini bulan Juni pun tiba. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Selain karena sudah hampir dua bulan sejak aku masuk SMA...


“...U-Uh, kenapa menatapku seperti itu? Apa ada sesuatu di wajahku?”


“Ah, nggak... Maaf.”


“Mencurigakan sekali. Ayo, jujur saja.”


“...Aku hanya kepikiran kalau sudah cukup lama sejak pertama kali kita bertemu.”


Kami pertama kali bertemu sekitar pertengahan April. Sejak saat itu, kehidupan solitairku mulai terusik oleh kehadiran Mikami-san yang seperti badai. Dan sekarang, aku sudah terbiasa melihatnya berada di rumahku, seakan itu adalah hal yang wajar.


Sungguh, waktu berlalu begitu cepat. Kalau aku bilang ke diriku yang dulu bahwa tempat terbaikku akan direbut separuhnya oleh seorang gadis super imut, dan bahwa gadis itu bahkan sering datang ke rumahku hingga kami hampir selalu bersama setiap hari, aku pasti tidak akan percaya. Fakta bahwa semua ini terjadi rasanya seperti sebuah keajaiban.


“Benar juga, sudah selama itu, ya.”


Saat aku mengakui pemikiranku, ekspresi Mikami-san yang tadinya serius berubah menjadi sebuah senyuman penuh nostalgia.


Meskipun belum genap dua bulan, durasi itu bisa terasa panjang atau pendek tergantung bagaimana seseorang melihatnya. Dari caranya bicara, sepertinya Mikami-san juga merasa ini bukan waktu yang singkat.


“Sejak mulai menghabiskan waktu bersama Kirishima-san, hari-hariku terasa sangat menyenangkan dan berlalu begitu cepat. Jika tidak merepotkan, aku harap kita bisa terus seperti ini.”


“Jangan bilang begitu dengan wajah serius. Dan... bukan masalah, kok.”


“Syukurlah.”


Mikami-san memang sedikit egois, agak memaksa, dan suka melakukan hal sesukanya. Tapi, kalau aku masih menerimanya meski begitu, berarti aku sendiri juga tidak keberatan, kan?


Kalau aku benar-benar merasa terganggu, aku pasti akan menolak tegas. Meski apakah itu akan berhasil atau tidak adalah cerita lain... Tapi setidaknya, aku adalah orang yang bisa mengatakan "tidak" kalau memang tidak suka dengan sesuatu.


“Ngomong-ngomong, hanya penasaran, tapi kalau aku bilang ini mengganggu, apa yang akan kamu lakukan?”


“Aku akan menangis dan meratap di depan rumahmu selama tiga hari tiga malam.”


“...Oke, nggak perlu. Aku nggak terganggu, tenang saja.”


Entah kenapa, aku merasa dia benar-benar akan melakukannya. Jawabannya terlalu meyakinkan sampai aku refleks beralih ke bahasa formal.


Pada akhirnya, aku tetap terbawa arus oleh Mikami-san. Batas antara laki-laki dan perempuan yang bukan pasangan pun sudah benar-benar kabur. Aku sendiri justru lebih khawatir kalau-kalau aku yang ditolak olehnya suatu hari nanti.


“Ngomong-ngomong, mulai hari ini sudah masuk periode peralihan ke seragam musim panas, ya.”


“Meski belum benar-benar musim panas, hari-hari mulai terasa panas juga. Tapi hari ini cukup sejuk, sih. Kamu sendiri... sudah pakai seragam musim panas?”


“Ya, ini seragam musim panas baruku. Bagaimana? Boleh minta satu atau dua komentar... atau mungkin tiga puluh?”


“Tiga puluh? Serius?”


Mungkin perbedaan suasana yang kurasakan adalah karena seragamnya yang berubah. Seragam musim panas ini berlengan pendek, yang berarti lebih banyak kulit yang terlihat dibandingkan seragam musim dingin. Kalau diperhatikan baik-baik... rasanya sulit untuk menatapnya secara langsung.


Tapi, yah... Aku sudah terbiasa melihat Mikami-san dengan pakaian yang lebih terbuka dari ini. Jadi, seharusnya aku bisa mengendalikan diri. Ya... meski sebenarnya tetap sedikit gugup. Setidaknya, dibanding saat pertama kali bertemu, aku sudah lebih kuat menghadapi ini.


“Kenapa diam saja?”


“Kamu imut.”


“Ulangi.”


“...Kamu imut.”


“Ulangi lagi.”


“...”


“Kurang dua puluh delapan kali lagi.”


“Kamu benar-benar mau aku bilang tiga puluh kali?”


“Tentu saja. Seorang laki-laki tidak boleh menarik kembali kata-katanya, kan?”


Aku bahkan belum setuju dengan permintaan itu, jadi tidak ada kata-kata yang harus ditepati. Tapi aku yakin di kepalanya, dia sudah mengubah itu menjadi persetujuan dariku.


Jujur saja, satu-satunya hal yang bisa kukatakan tentang seragam musim panasnya adalah bahwa dia terlihat sangat imut. Kalau aku harus menambahkan sesuatu, mungkin...


“Tanpa bercanda, Mikami-san memang sangat imut. Seragam musim panas ini benar-benar cocok dan membuatmu terlihat makin menarik.”


“Fweh!? K-Kamu tiba-tiba memuji berlebihan...”


“Tapi, karena itu juga, orang-orang pasti akan lebih banyak memperhatikanmu. Kamu sering kurang waspada, jadi hati-hati, ya?”


“Hm... Itu memang benar. Aku akan mengingatnya baik-baik. Tapi, aku cuma tidak waspada di depan Kirishima-san saja, kok.”


Sejujurnya, meski sedikit tidak puas, melihat Mikami-san dengan seragam musim panas adalah sebuah pemandangan yang menyenangkan.


Ada banyak cowok di sekolah yang pasti bersemangat melihat gadis-gadis memakai seragam musim panas. 


Kalau bisa, aku berharap mereka tidak melihatnya. 


Tapi, suka atau tidak, pada akhirnya Mikami-san akan benar-benar beralih ke seragam musim panas. Mendengar jawabannya, rasanya hangat di hati. Meski kami bukan pasangan, dia tetap membuatku merasa istimewa.


“Hacchuu! …Maaf.”


“Bersinmu juga imut, ya.”


“Sebenarnya, aku pakai seragam musim panas hari ini karena ingin Kirishima-san melihatnya... Tapi ternyata agak dingin.”


Alasan yang sangat manis. 


Tapi memang, suhu hari ini sepertinya tidak akan naik terlalu tinggi.


“Masih ada waktu. Mau balik dulu dan ganti baju?”


“...Tidak perlu. Aku akan menghangatkan diri dengan Kirishima-san, jadi tak usah khawatir.”


“Eh, aku peduli, tahu?”


“Tidak usah.”


“Peduli, dong.”


“Tak perlu.”


Sambil berkata begitu, Mikami-san berdiri dan menunjuk sofa, lalu menatapku. Aku sudah bisa menebak apa yang dia mau. Pagi-pagi sudah seperti ini, ya...


Tapi... meskipun aku mendesah pasrah, faktanya aku tetap berdiri dan melangkah ke arahnya... yang berarti, ya, seperti itulah adanya.


"Ini, duduklah."


"Permisi."


Tanpa ragu sedikit pun, Mikami-san langsung duduk dengan bersandar padaku seperti sebelumnya. Sepertinya dia benar-benar menyukai ini.

Setelah sedikit menggeliat menyesuaikan posisi, dia akhirnya menemukan posisi yang nyaman dan langsung mengendurkan tubuhnya. Seragam musim panas yang baru saja dia kenakan sudah terlihat akan berkerut.


"Seperti yang kuduga, ini memang nyaman. Bagaimana kalau aku meminta izin langsung kepada wali kelas agar Kirishima-san bisa dijadikan kursiku?"


"…Bisa nggak berhenti ngomong hal-hal gila begitu?"


"Seperti yang kuduga, itu sulit, ya? Kalau begitu, bagaimana kalau aku mengajukan diri sebagai selimut pangkuan Kirishima-san?"


"Ya, pasti ditolak."


"Kita tidak akan tahu sebelum mencobanya, kan?"


"Aku tahu! Manusia tidak bisa menjadi selimut pangkuan!"


Apa yang dimaksud dengan pemikiran terbalik, sih? Itu kan cuma mutar 360 derajat dan balik lagi ke awal. Lagian, kita bahkan bukan dari kelas yang sama, jadi menyerahlah. Lagipula, aku nggak punya nyali buat melakukan ini di sekolah. Kalau ketahuan, paling parah aku bisa dikeluarkan.


"Selimut pangkuan yang ditentukan sekolah harus berwarna netral dan tidak mencolok. Aku... kurasa aku tidak terlalu mencolok, kan?"


"Memang, sih, aturannya begitu... tapi, masalahnya, Mikami-san itu bukan selimut pangkuan."


"Aku bisa kalau berusaha."


"Tidak bisa."


"…Begitu, ya. Kalau begitu, aku menyerah untuk hari ini."


Hari ini? Bukan "selamanya"? Tolong, lupakan saja ide gila itu. Aku bukan kursi, dan Mikami-san bukan selimut pangkuan.


"Ngomong-ngomong, Kirishima-san, sejak tadi tanganmu diam saja, lho… Cepatlah menghangatkanku. Sampai aku benar-benar hangat, aku nggak akan pergi dari sini. Aku bahkan siap terlambat."


"…Dasar anak nakal."


"Hiyaah! bukan telinganya! Telingaku sudah hangat!"


"Begitu ya? Kalau begitu, biar kucoba cek sekali lagi apakah benar-benar sudah hangat."


"Hi—! I-Itu curang! Aku bertahan!"


Dia memang bilang tanganku diam saja, tapi dia nggak bilang mau diapain. Jadi, aku memutuskan untuk menghangatkan telinganya. Tapi dia langsung menutup telinganya dengan kedua tangan.


Karena nggak ada pilihan lain, aku menyerah menghangatkan telinganya dan malah menyilangkan tanganku di depannya.


Saat tanganku masuk ke dalam pandangannya, dia terlihat lega. Kemudian, dia melepaskan tangannya dari telinga dan meletakkannya di atas tanganku. Seolah-olah dia ingin mengatakan, "Tetaplah di sini."


—Dan pada akhirnya, aku dipaksa bertahan sampai nyaris terlambat masuk kelas.



Pengembalian hasil ujian, seragam musim panas, dan gosip percintaan.

Sambil mempersiapkan pelajaran selanjutnya, aku mendengarkan berbagai cerita yang entah bagaimana bisa menyebar dengan cepat.

Saat ini, aku sudah cukup terbiasa dengan kehidupan SMA. Dan, di masa-masa seperti ini, para siswa yang terlalu bersemangat dengan "debut SMA" mereka mulai sadar bahwa hubungan yang mereka jalin hanya sekadar main-main belaka.


Awalnya mereka berpikir, "Dia lumayan ganteng, jadi boleh juga," atau, "Buat sementara, dia bisa dijadikan cadangan," lalu memutuskan untuk pacaran. Tapi seiring berjalannya waktu, mereka mulai bubar satu per satu.


Alasannya pun bervariasi, mulai dari merasa nggak cocok, terlalu sibuk dengan klub, sampai alasan-alasan lain yang terdengar masuk akal. Tapi kalau boleh jujur, delapan puluh persen dari semua itu cuma prasangka dan dendam pribadiku.


Di lingkungan sekolah, rumor memang cepat menyebar. Terutama soal hubungan asmara, gosipnya bisa menembus batas kelas dengan cepat.

Selalu saja ada orang yang senang menyebarkan kabar bahwa "si A dan si B putus," sambil bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.


Meski aku lebih sering menjadi "bayangan" di kelas, telingaku tetap bisa menangkap obrolan seperti itu. Pacar, huh... punya seorang pacar, ya?


Sebelum masuk SMA, aku dengan penuh semangat menyatakan, "Di SMA nanti aku PASTI bakal punya pacar dan menikmati masa muda sepuasnya!" Tapi kalau melihat kondisiku sekarang...


Satu hal yang bisa kukatakan dengan pasti: saat ini, aku nggak punya seseorang yang bisa disebut sebagai "pacar." Tapi, berkat seorang "penjajah" imut, aku merasa jauh lebih menikmati masa mudaku dibandingkan anak-anak populer itu.


Bukan bermaksud ingin menyaingi mereka, tapi… Menang telak. Rasakan itu, para anak populer!


Dengan sedikit kebanggaan kosong, aku menikmati suasana hatiku yang agak baik… sampai tiba-tiba ponsel di sakuku bergetar.


Di jam istirahat, kami diperbolehkan menggunakan ponsel, jadi aku langsung mengambilnya dan mengecek notifikasi. Seperti yang sudah kuduga, itu dari Mikami-san.


“Dingin. Tolong aku.”


…Serius? Bukankah dia sudah tahu risikonya saat memutuskan untuk nekat pakai seragam musim panas? Lagipula, aku sudah menyarankan agar dia kembali dan berganti baju, tapi dia sendiri yang bilang "Jangan khawatir”.


Dengan kata lain… itu salahnya sendiri. Oke, aku pura-pura nggak lihat saja. Kalau ditanya nanti, tinggal jawab "Oh, tadi aku matiin notifikasi, jadi nggak lihat." Beres.


Tepat ketika aku hendak menyimpan ponsel kembali, getaran kedua muncul.


“Barusan kamu mau mengabaikan pesanku, kan? Itu nggak boleh, tahu?”


"Ugh... seram..."


Tanpa sadar, aku menggumamkan itu. Sial, seorang teman sekelasku yang ada di dekatku mendengar dan menatapku dengan penasaran.


Tunggu… jangan bilang, Mikami-san ada di sekitar sini? Aku refleks melirik ke arah pintu dan melihat ke luar, tapi tidak menemukan sosoknya. Serius, ini semacam horor, ya?


“Oh, Ngomong-ngomong, aku ada di kelasku sendiri, jadi percuma cari aku di luar.”


…Kenapa dia bisa tahu aku lagi mencari-cari? Seram banget. Aku juga mulai kedinginan. Kayaknya aku harus pulang cepat, nih.


“Nggak boleh.”


Oke, demi kesehatan mental, aku memutuskan untuk mematikan ponsel. Aku nggak salah, kan? Iya, aku nggak melihat apa-apa. Nggak ada apa-apa.



Saat istirahat siang, aku menghidupkan kembali ponsel dengan sedikit rasa takut. Ternyata, di setiap jam istirahat, Mikami-san terus mengirim pesan. Lalu, tepat ketika aku membacanya, notifikasi baru muncul.


“Sudah siap menghadapi hukumanmu?”


...Belum siap sama sekali. Aku sama sekali tidak tahu harus bersiap untuk apa, tapi yang jelas aku belum siap.


"Cuci lehermu, hangatkan tubuhmu, dan tunggu."


Hmm... "Cuci lehermu dan tunggu," ya... Jadi, tidak perlu dipertanyakan lagi, Mikami-san benar-benar marah?


"Sangat marah."


Kenapa dia bisa membaca pikiranku dan mengirim pesan seperti itu?

Tapi... kata sangat marah terdengar imut, ya. Yah, aku pergi saja. Meskipun aku belum siap, belum mencuci leher, dan belum menghangatkan tubuh... entah bagaimana, pasti bisa diatasi.


Aku keluar dan menuju tempat biasa. Seperti yang diperkirakan, suhu naik sejak siang. Matahari yang terus meninggi semakin terasa menyengat. Dengan cuaca seperti ini, seragam musim dingin terasa sedikit panas, bahkan seragam musim panas mungkin lebih nyaman.


Aku melepas blazer, duduk di bangku, dan menikmati sinar matahari. Tubuhku mulai terasa hangat, dan angin sepoi-sepoi yang berhembus sesekali terasa menyegarkan. Saat aku sedang bersantai, Mikami-san muncul dengan pipi menggembung. Bahkan dari kejauhan pun terlihat jelas betapa penuhnya pipinya.


Jadi, ini yang disebut sangat marah dari Mikami-san? Tidak seseram yang kuduga.


"Ada yang ingin kau katakan?"


"Sebesar apa pun kau menggembungkan pipimu, itu tetap saja imut."


"Imu—!?"


Begitu aku mengungkapkan pendapatku dengan jujur, Mikami-san langsung malu dan buru-buru menutupi wajahnya dengan bungkusan bekal yang dibawanya. Itu juga terlihat imut.


"Hmph... kali ini aku akan memaafkanmu. Tapi tidak ada kesempatan kedua."


Begitu, ya... Jadi, dengan cara ini dia bisa kembali ceria...

Meskipun seharusnya aku tidak membuatnya marah sejak awal, kalau nanti aku membuatnya marah lagi, aku akan menggunakan cara ini.


"Oh, pas sekali ada blazer yang tergeletak di sini. Aku pinjam, ya."


"Tergeletak, katanya... yah, terserah."


Mikami-san mengambil blazer yang tadi aku lepas. Kupikir dia akan memakainya untuk menghangatkan diri, tapi ternyata itu belum cukup baginya.Tanpa ragu, dia merentangkan kakiku dan duduk di tengahnya.


"Kau sudah menghangatkannya dengan baik, ya. Hangat sekali."


"Bukan sengaja. Hanya kebetulan tempat ini terkena sinar matahari."


Tak kusangka aku harus melakukan ini bahkan di sekolah...

Kalau ketahuan, gosipnya pasti menyebar dalam sekejap, jadi sejujurnya aku ingin dia berhenti melakukan hal berisiko seperti ini.

Tapi... melihat Mikami-san yang tadinya kesal kini sangat bahagia, aku jadi enggan untuk menegurnya.


Atau bisa dibilang, aku hanya terbawa suasana.


"Ngomong-ngomong, bagaimana? Tebakanku tadi benar?"


"Ah, itu cukup menyeramkan."


"Aku bisa menebak hampir semua hal tentang Kirishima-san."


"Oh ya? Kalau begitu, coba tebak apa yang kupikirkan sekarang?"


Pesan prediksinya tadi memang luar biasa. Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku, notifikasinya terasa menakutkan.


Tapi itu pasti hanya kebetulan. Sekarang mungkin saja dia salah. Makanya, aku menantangnya untuk permainan kecil ini—menebak pikiranku.


"Hmm... kalau soal Kirishima-san... mungkin jawabannya adalah tidak memikirkan apa pun?"


"......Kenapa kau bisa tahu?"


"Tadi kan aku sudah bilang. Aku tahu hampir segalanya tentangmu."


TLN : Bau2 Heroine-nya jadi Yandere ini mah : )


Mikami-san menengadah dan menatapku.Seolah-olah dia benar-benar memahami pikiranku yang sedikit aneh ini. Tebakannya tepat, dan itu sedikit menyebalkan... tapi tetap imut.


"Baiklah, sebagai hadiah karena berhasil menebak dengan tepat, aku akan mengambil blazer ini. Jangan khawatir, aku pasti mengembalikannya."


"......Terserah. Tapi jangan sampai orang lain tahu kalau itu punyaku."


"Akan kuusahakan. Kuusahakan, ya."


Nada bicaranya benar-benar terdengar tidak meyakinkan.


"Kalau ketahuan itu milikku, bisa jadi masalah besar, tahu?"


"Kalau sampai ketahuan... ya, terima saja nasibmu."


"Heh?"


"Baiklah, ayo makan siang. Hari ini aku sangat percaya diri dengan tamagoyaki buatanku. Mau coba?"


"......Mau."


Entah bagaimana, dia berhasil mengalihkan pembicaraan.

Tapi, yah, sudahlah.


Dipaksa dalam posisi ini, kehilangan blazernya, semuanya memang cukup berisiko... Tapi, kalau ditukar dengan tamagoyaki lezat dari Mikami-san, kurasa aku bisa menerimanya.



Hari-hari berlalu, dan pengembalian hasil ujian dari tiap mata pelajaran pun dilakukan. Baik aku maupun Mikami-san akan menerima semua hasil ujian kami hari ini.


Saat namaku dipanggil oleh guru, aku mengambil lembar jawabanku dan kembali ke tempat duduk. Skorku hampir tiga digit, tapi masih kurang sedikit—97 poin.


Aku cukup percaya diri dengan ujian bahasa Jepang, tapi karena kesalahan ceroboh, aku gagal mendapatkan nilai sempurna.


Pertarunganku dengan Mikami-san ditentukan dari total skor mata pelajaran utama.


Bahasa Jepang, Inggris, Matematika, Sejarah Jepang, Sejarah Dunia, Dasar Kimia, dan Dasar Biologi—total tujuh mata pelajaran.


Tiga ujianku sebelumnya sudah dikembalikan, dan aku mendapat nilai sempurna di Sejarah Jepang, Dasar Kimia, dan Dasar Biologi. Tapi di ujian Bahasa Jepang ini, akhirnya aku gagal meraih nilai sempurna.


Hanya selisih tiga poin.


Apakah pertandinganku dengan Mikami-san masih belum dipastikan?

Tidak, aku tidak terlalu naif untuk berpikir seperti itu.


Aku duduk kembali, membuka lembar jawaban yang sudah agak kusut, dan menatap bagian yang salah dengan tajam. Tapi, meski kutatap sekeras apa pun, nilainya tetap tidak berubah.


Guru sudah menyalin semua lembar jawaban siswa, jadi jika ada yang mencoba mengubah jawabannya, pasti akan ketahuan. Tentu saja, aku tidak berniat melakukan itu.


Yang ingin kukatakan adalah, tiga poin yang hilang ini mungkin menjadi pengurangan yang fatal. Nanti sore, semua hasilnya akan terlihat jelas.


Tapi pada titik ini, aku sudah bisa merasakan aroma kekalahan yang mulai menyelinap.


Setelah ujian dikembalikan, guru mulai menjelaskan soal-soal yang sulit. Tapi aku, yang masih tenggelam dalam kekecewaan, hanya membiarkan suara itu masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Aku hanya bisa menunggu waktu berlalu dalam keadaan setengah melamun.



Jam istirahat siang berlangsung seperti biasa.


Bagaimanapun juga, hasil pertarungan akan diumumkan di rumahku setelah pulang sekolah, jadi baik aku maupun Mikami-san tidak membicarakan soal ujian.


Namun, entah kenapa aku merasa ada aura kepercayaan diri yang memancar dari Mikami-san, atau mungkin lebih tepatnya, aura gadis cantik yang semakin bersinar.


Kalau aku yang dulu—saat masih tenggelam dalam kepekatan hidup—melihatnya, mungkin dalam dua detik aku akan langsung tersucikan tanpa jejak.


Begitulah, setelah menyelesaikan pelajaran hari itu, aku pulang bersama Mikami-san dan bersiap menghadapi pertarungan di ruang tamu. Kartu di tangan masing-masing ada tujuh lembar. Ini adalah pertarungan total.


"Baiklah, mari kita buka satu per satu."


"Perlu ya satu per satu? Kenapa nggak langsung total nilainya aja?"


"Kamu nggak ngerti, ya. Yang seru itu justru membuka satu per satu, merasakan ketegangan saat selisih nilai bertambah atau semakin tak terkejar."


"Serius?"


"Serius. Oke, kita mulai dari bahasa Jepang dulu."


Mikami-san membalik lembar jawabannya. Angka sempurna tiga digit terpampang jelas. Yaah… meskipun sudah bisa kuduga, tetap saja rasanya agak rumit. Aku menghela napas dan membuka lembar jawabanku. Selisih ini sejak awal sudah fatal.


"Ah, um… ya, ada hari-hari seperti ini, kok?"


"Kamu jelek banget dalam menghibur orang."


Ada pepatah yang bilang, pemenang tak perlu berkata-kata pada yang kalah, tapi kalau diucapkan sambil melirik ke sana kemari seperti itu, ya nggak ada efeknya.


Lagian, nilai 90-an tinggi itu bukan sesuatu yang perlu dikasihani. Melihat reaksinya, aku semakin yakin akan dugaanku.


"Udah cukup, kan? Nggak usah pakai cara yang ribet gini. Mikami-san, kamu dapat nilai sempurna di semua pelajaran, kan? Jawab aja dengan 'ya' atau 'yes'."


"Kok pilihannya cuma itu?"


"Nggak perlu pilihan lain, kan?"


"Yah… kalau begitu, memang iya sih."


Dengan itu, Mikami-san memperlihatkan semua jawabannya. Nilai sempurna di semua mata pelajaran. Aku benar-benar terkesan dengan otaknya yang cemerlang, ketangguhannya dalam bertarung, dan semua spesifikasi luar biasa yang dimilikinya.


Cantik, pintar, dan atletis. Gadis sempurna. 


Sebenarnya, apa yang tidak dia miliki? Rasa malu, mungkin?


"Hebat banget… kamu peringkat satu di angkatan, ya."


"Aku berjuang demi kunci cadangan ini."


"Oh… doping, ya?"


"Itu bukan doping. Ini legal."


"Tetap aja… kamu terlalu konsisten dalam menepati janji."


Aku tahu kalau Mikami-san kuat dalam taruhan, tapi aku nggak menyangka dia akan membawa pulang nilai sempurna di semua mata pelajaran, yang paling buruk sekalipun hanya bisa menghasilkan hasil imbang dengannya.


Sejak aku membuka hasil ujian bahasa Jepang pertama tadi, aku sudah tahu kalau kalah, dan melihat beberapa mata pelajaran lain yang juga tidak sempurna, aku sadar bahwa peluang menangku memang tipis sejak awal.


"Baiklah… sebagai pihak yang kalah, Kirishima-san punya kewajiban untuk memuji pemenang, yaitu aku."


"…Yah, kamu memang hebat sih, jadi aku nggak masalah memujimu."


"Kalau begitu, aku minta 'usap kepala', 'dekatkan jarak', dan 'pelukan erat'."


"Kamu pikir ini panggilan pesanan di toko ramen, hah?"


Aku hampir tertawa mendengar permintaannya yang terdengar seperti teriakan pelanggan di kedai ramen terkenal. Sayangnya, isi permintaannya benar-benar merusak batasan jarak kami, jadi aku nggak bisa ketawa.


Yah, nanti kalau masih ingat, aku akan melakukannya…

Tapi sebelum itu, aku harus memberikan hadiah yang menjadi motivasi utama Mikami-san, yaitu kunci cadangan.


"Nih."


"Ini…"


"Kunci cadangan rumahku."


"Eh… beneran dikasih?"


"…Kalau nggak mau, ya nggak usah aku kasih."


"Aku nggak bilang nggak mau!"


Sejujurnya, aku memang berniat memberikan kunci ini, menang ataupun kalah. Aku tahu dia berusaha keras demi ini, dan kenyataannya, dia memang menang dalam pertarungan ini.


Namun, reaksi Mikami-san sedikit berbeda dari yang aku bayangkan.

Kupikir dia akan langsung mengambilnya, menyimpannya dengan penuh kebahagiaan, lalu mungkin langsung bergegas untuk menyalinnya.


Tapi dia malah terlihat bingung dan tidak segera mengambilnya, hanya menatapku dan kunci itu secara bergantian dengan raut wajah sedikit gelisah.


"Kirishima-san… kamu benar-benar yakin mau memberikan ini padaku?"


"Yah, kalau ditanya yakin atau nggak, mungkin setengah-setengah."


"Setengah-setengah!?"


"Soalnya, kamu bisa janji nggak bakal menyalahgunakan ini?"


"Kalau begitu, kita mulai dulu dengan menyamakan standar 'pemakaian wajar' kita, ya?"


"…Itulah alasannya."


Jawabannya yang menghindari janji dan malah mencari celah ini cukup menjelaskan kenapa aku ragu. Standar 'pemakaian wajar' Mikami-san pasti sudah menyimpang jauh dari kebiasaan umum.


Jadi, bukannya aku tidak percaya padanya… mungkin justru karena aku percaya, makanya aku sudah pasrah.


"Tapi, kalau tinggal sendirian, bakal repot kalau ada sesuatu yang terjadi. Jadi, kupikir nggak ada salahnya menitipkan kunci ini ke seseorang yang bisa dipercaya."


"Seseorang yang bisa dipercaya… Ehe, ehehee…"


"Mikami-san pasti bakal cepat sadar kalau ada yang nggak beres, kan? Jadi kalau ada apa-apa, tolong bantu aku, ya?"


"Kalau itu alasannya, serahkan saja padaku!"


Yah, alasan utama aku memberikan kunci cadangan ke Mikami-san memang ini. Sebagai jaga-jaga kalau terjadi sesuatu, aku menitipkan kunci ini kepada orang yang paling aku percaya saat ini…


Kalau aku menganggap ini sebagai tindakan pencegahan, mungkin rasa waswas di hatiku bisa sedikit mereda. Begitu aku memberinya alasan yang masuk akal, Mikami-san langsung mengambil kunci itu dengan ekspresi bahagia.


"Baiklah… aku menerima hadiah dari taruhan ini. Akan kugunakan dengan sebaik-baiknya."


"Ya. Tapi serius, gunakan dalam batas yang wajar, ya?"


"…Ngomong-ngomong, masuk ke rumah seseorang di tengah malam itu termasuk dalam batas wajar, nggak?"


"Jelas aja nggak termasuk!"


"Oh, jadi termasuk, ya? Syukurlah kalau begitu."


Aku malah makin cemas, tahu! Bisakah dia berhenti mengartikan segalanya sesuai keinginannya sendiri…


Sial, aku lupa kalau Mikami-san punya keahlian khusus: mengubah standar normal seenaknya.


"Kayaknya aku bakal minta kuncinya balik aja…"


"....!? Itu tidak mungkin. Barang yang sudah diberikan tidak bisa dikembalikan!"


"Kalau gitu, pakai dengan wajar, ya?"


"…Akan kupertimbangkan dengan bijak."


"Itu mah artinya nggak bakal dilakukan!"


"Setelah kupikirkan dengan matang, kuputuskan untuk berkunjung sekitar jam dua pagi."


Sambil berkata begitu, Mikami-san mendekat dan menundukkan kepalanya, meminta dielus. Sejujurnya, aku sudah tahu bakal begini.

Percakapan ini sama sekali nggak nyambung.


Aku juga nggak bisa membedakan apakah ini hanya lelucon atau dia benar-benar serius… Tapi mengingat Mikami-san yang selalu menepati perkataannya, rasanya percuma kalau aku membantah.


Yah… intinya, ini memang salahku.


Seharusnya aku sudah memperkirakan kejadian seperti ini sebelum memberikannya kunci cadangan. Jadi, mau nggak mau, aku harus menerimanya dan bersiap menghadapi segala konsekuensi.


Dengan perasaan pasrah, aku mengusap kepalanya. Saat ini… itulah satu-satunya hal yang bisa menenangkan diriku.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close