NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Guuzen Tasuketa Bishoujo ga Naze ka Ore ni Natsuite Shimatta ken ni Tsuite Volume 2 Chapter 7

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 7

Perayaan Ulang Tahun


Ciuman panjang yang penuh waktu itu berakhir, lalu kami saling melepaskan wajah sambil terengah-engah mencari udara. Wajahnya yang manis, seolah meleleh karena mabuk asmara, terlihat sangat imut dan membuatku begitu menyayanginya.


Selama ini aku selalu beralasan bahwa aku hanya menuruti karena Mikami-san yang memintanya. Tapi mungkin, inilah pertama kalinya aku sendiri yang benar-benar menginginkannya.


Aku sering merasa Mikami-san terlalu memaksa, tapi sekarang aku bisa mengerti perasaan itu. Sekali pengikatnya terlepas, sulit untuk menghentikan laju ini. Hasrat tumbuh tanpa batas, membuatku terus menginginkan lebih dan lebih lagi.


Dengan susah payah, aku menahan dorongan untuk menyerahkan diri pada naluri dan hanya menepuk lembut kepalanya, menenangkannya. Sorot matanya yang sedikit tidak puas, seakan berkata "sudah cukup?" sambil menatapku dari bawah, benar-benar kelewat menggoda. Tekadku untuk berhenti nyaris goyah dalam sekejap. Harus kubalik keadaan lebih dulu. Walaupun akhirnya kami resmi menjadi sepasang kekasih, kenyataannya aku tetap lemah menghadapi dorongan sepihak Mikami-san.


Dengan rasa berat hati, meski masih enggan berpisah, aku melonggarkan pelukanku dan melepaskan tubuh kami yang rapat menempel.


"Padahal aku masih belum puas, loh?"


"…Jangan lupa, hari ini orang tuaku akan datang."


"…T-tentu saja aku ingat."


Responnya barusan… luar biasa mencurigakan. Terlalu lama jedanya, ekspresinya juga seperti terkejut—aku hampir yakin dia benar-benar lupa. Jangan-jangan… dia bahkan lupa kalau hari ini adalah ulang tahunku?


Kalau semua sudah terhempas jauh ke balik ingatan hanya karena masuk ke mode "memanjakan hasrat" untuk memuaskan dirinya sendiri... jujur saja aku kewalahan. Tapi ya... itu memang khas Mikami-san.


"Mikami-san memang imut, ya."


"…Begitulah. Lagipula, sekarang kita sudah resmi berpacaran. Bukankah sudah waktunya kita naik tingkat ke panggilan nama?"


"Tak perlu terburu-buru. Bagiku, Mikami-san tetaplah ‘Mikami-san’."


"Apa maksudnya itu…? Aku ya aku sendiri, kan?"


Aku paham maksudnya. Tapi karena aku sudah lama terbiasa memanggilnya dengan nama keluarga, rasanya canggung tiba-tiba harus memanggil dengan nama depan. Meski begitu, Mikami-san menatapku terus, seakan menuntut agar aku melakukannya.


"Hi… Hina."


"Ya. Ada apa, Kirishima-san?"


"…Kamu malah tetap memanggilku dengan nama keluarga, ya."


"Ah… maaf. Entah kenapa, bagiku kamu memang ‘Kirishima-san’."


"Aku paham. Tidak apa-apa, tetap saja seperti biasa."

Lho… itu sama persis dengan alasanku. 


Wajar saja, kami berdua jadi canggung. Sudah lama terbiasa memakai nama keluarga, jadi mendadak berubah tentu membingungkan.


"Re… Re… i, Kirishima-san."


"Tak usah dipaksakan. Hal begini tidak perlu dipaksa, kok."


Hanya dengan tahu dia sedang memanggilku, bagiku sudah cukup. Tidak ada aturan yang mewajibkan pasangan kekasih langsung harus beralih ke panggilan nama depan. Kalau nanti terasa lebih nyaman, tinggal lakukan saja.


"Re… Rei-kun…!"


Walau kupikir tidak perlu terburu-buru, akhirnya aku mendengar namaku keluar dari bibirnya juga. Dengan tekad yang mantap, menahan rasa malu, Mikami-san memanggilku. 


Sikapnya yang berusaha sekuat tenaga itu membuatku berdebar. Dan ternyata… ketika benar-benar dipanggil begitu, dampaknya jauh lebih dahsyat dari dugaanku. Hanya sedikit perubahan panggilan saja, perasaan sayang ini meluap tak terbendung.


"Ada apa, Hina?"


"...!! A-aku cuma coba memanggil saja. Ternyata memanggil dengan nama itu lebih memalukan dari yang kukira…"


Sempat terlintas di benakku kalau dia sudah sering melakukan hal yang lebih memalukan dari ini. Tapi bukan saatnya bercanda, jadi kutahan diri. Kupikir Mikami-san akan memanggilku dengan tenang dan alami, tapi reaksi polosnya justru membuatku hampir tersenyum lebar.

"Tak apa kalau tidak mau dipaksa."


"B-bukannya dipaksa! Lagipula, Rei-kun juga agak kaku waktu memanggilku, kan? Kamu gugup, kah?"


"Ya. Mana mungkin aku tidak gugup."


Hina. Baru hendak memanggil begitu saja, rasanya tenggorokanku tertahan karena tegang. Sepertinya butuh waktu lama sampai bisa lancar.


"Begitu ya… Semoga suatu hari nanti kita bisa terbiasa, saling memanggil tanpa rasa gugup."


"Benar juga. kan… Hina."


"Ada apa, Rei-kun?"


"Nama itu bagus sekali. Hanya dengan memanggilnya saja aku merasa bahagia."


"Fufu, bahagia yang murah meriah, ya. Silakan panggil sesering mungkin kalau itu bisa membuatmu bahagia. Oh ya, dipanggil begitu juga membuatku bahagia… jadi panggil aku sebanyak-banyaknya, kapan pun, di mana pun."


"Ya, akan kupanggil terus. Karena aku sangat mencintaimu, Hina."


Hanya dengan saling memanggil nama, lingkaran kebahagiaan tanpa akhir tercipta. Memanggilnya Hina, atau mendengar dia memanggilku Rei—keduanya membuat hatiku hangat dan penuh rasa syukur. Walau tetap saja masih terasa malu. Pipi kami pasti sama-sama memerah.


"…Aku ada satu usulan."


"Kebetulan sekali, aku juga. Sepertinya kita memikirkan hal yang sama."


"Memang panggilan nama ini membahagiakan, tapi karena masih agak canggung, bagaimana kalau kita tidak memaksakan diri sepenuhnya sejak sekarang?"


"Setuju. Tidak perlu terburu-buru, mari biasakan diri perlahan."


Membuang begitu saja panggilan yang sudah lama akrab dan langsung beralih sepenuhnya ke nama depan terasa sebagai perubahan yang terlalu besar, sehingga aku tidak bisa mengikutinya.


Aku memang sangat menyukai bunyi nama "Hina", tetapi untuk sekarang… panggilan "Mikami-san" masih terasa paling pas. Fakta bahwa ia menerima usulanku ini berarti Mikami-san pun pasti berpikiran sama.


Sepertinya untuk sementara aku masih akan memanggilnya Mikami-san… tapi, mumpung ada kesempatan, sekali lagi saja.


"Hina."


"Hyau!? Bukankah kamj baru saja bilang tidak akan memanggil begitu lagi?"


"Hm? Yang kumaksud hanya tidak akan memaksakan diri, bukan berarti tidak boleh memanggil sama sekali, kan?"


"Uuuh, itu namanya berdebat pakai logika aneh."


Mikami-san memasang wajah cemberut lalu menepuk-nepuk dadaku dengan tangannya, jadi aku pun merangkulnya erat seakan menangkapnya. Padahal tadi kami baru saja menjauh, tapi hanya dengan memanggil namanya, rasa sayangku meluap sampai-sampai aku 

bertindak begitu.


"Ki–Kirishima-san…?"


"Ini ulang tahun terbaik."


"Perayaannya justru baru mau dimulai, lho? Aku sudah menyiapkan hidangan istimewa, jadi harap dinikmati baik-baik."


Aku benar-benar orang yang beruntung. 


Merasa hangatnya tubuh Mikami-san yang bergerak-gerak di dalam pelukanku, aku kembali menyadari hal itu.



Setelah itu, kami terus menikmati waktu dengan kontak fisik yang lembut, kadang saling memanggil nama secara tiba-tiba, dan menghabiskan waktu bahagia bersama.


Orang tuaku akan datang sore nanti. Sampai saat itu, hanya ada aku dan Mikami-san berdua. Jujur saja, aku sempat terpikir untuk memberi kabar agar mereka tidak usah datang, tapi bagaimanapun aku ini anak yang tinggal sendiri atas izin mereka, jadi menolak kunjungan orang tua jelas tidak mungkin. Lagi pula, aku bukan anak tak tahu terima kasih sampai tega menolak orang tua yang datang untuk merayakan ulang tahunku. Hanya saja… yang membuatku khawatir adalah sebesar apa kekacauan yang akan terjadi saat orang tuaku akhirnya bertemu dengan Mikami-san.


Yah, Mikami-san orangnya bisa membawa diri, jadi pasti akan baik-baik saja. Tapi tetap saja, bertemu dengan orang tua di hari yang sama ketika baru resmi berpacaran rasanya agak berat.


"Mikami-san."


"Ada apa, Kirishima-san?"


"Aku sudah bisa membayangkan reaksi orang tuaku saat melihatmu. Bayangkan saja, anak yang hampir tidak pernah bercerita tentang teman tiba-tiba membawa pulang seorang gadis manis. Mereka pasti akan heboh bukan main. Jadi tolong siap-siap menghadapi tingginya antusiasme mereka."


"Manis… ehehe, manis…"


"Bagian itu bukan inti pembicaraannya."


"Katakan lagi, katakan lebih banyak!"


"Iya, iya. Manis sekali, manis sekali."


"Lebih ekspresif. Tunjukkan juga lewat tindakan."


Sepertinya ia memang suka sekali dipuji manis. Ia selalu tahu betul kapan harus meminta hal-hal semacam ini, benar-benar lihai. Padahal inti pembicaraan bukan itu, tapi kalau sudah manja begini, aku langsung terbawa ke iramanya. Tidak bisa tidak, aku harus mengakui kehebatannya.


Sambil menuruti permintaannya untuk dimanja, aku juga harus memikirkan reaksi lain yang mungkin akan ditunjukkan orang tuaku. Kalau ini hanya sebatas perkenalan pacar, mungkin reaksi mereka hanya sebatas yang kusebutkan tadi. 


Tapi kali ini tidak sesederhana itu. Anak laki-laki mereka diam-diam membawa seorang gadis untuk tinggal serumah. Bagi orang tua normal, hal itu pasti membuat hati mereka tidak tenang. Namun, aku tidak berniat untuk menyembunyikan fakta bahwa aku tinggal bersama Mikami-san, dan aku juga tidak mau mencari-cari alasan.


Aku harus siap untuk menceritakan semuanya dengan jujur, dan tentu saja siap untuk dimarahi habis-habisan.


"Orang tua Kirishima-san… kira-kira seperti apa, ya. Aku jadi menantikan pertemuan itu."


"Itu mungkin hanya bisa kau katakan sekarang. Aku sendiri tidak mau membayangkan ibuku dalam mode hiperaktif."


Hmmm… bahkan sebelum mereka datang, aku sudah bisa membayangkan ibuku yang langsung menyerbu Mikami-san dengan rentetan pertanyaan.


Ayah… entahlah. Mungkin tidak akan sampai seheboh ibu, tapi kemungkinan besar beliau akan tetap usil menggodaku. Kalau begitu… ukuran badai benar-benar tergantung pada ibuku.


"Ada apa? Mengapa menatapku begitu?"


"Tidak, hanya saja kamu benar-benar manis… ibuku pasti akan langsung jatuh hati melihatmu."


"Ibu Kirishima-san? Beliau seperti apa?"


"Ibu biasa saja. Tapi kalau sudah bersemangat, beliau tidak bisa mendengarkan orang lain, itu yang merepotkan. Kemungkinan besar, beliau akan begitu asyik mengobrol denganmu sampai-sampai ulang tahunku tidak jadi prioritas."


"…Tapi, bukankah beliau datang untuk merayakan ulang tahunmu? Bagaimana bisa sampai melupakan pemeran utamanya?"


"Siapa tahu. Mungkin setengah… atau malah delapan puluh persen kemungkinan."


"Cukup tinggi juga kemungkinannya."


Sampai di sini aku mungkin masih bisa berperan sebagai tokoh utama, tapi begitu Mikami-san muncul, bisa jadi aku langsung terpinggirkan. Walaupun kemungkinan besar hanya sementara, selama ibuku dalam mode bersemangat, fokus utamanya pasti Mikami-san, bukan aku. Perayaan tidak akan bisa dimulai sampai ibuku benar-benar tenang.


Yah, bagaimanapun aku sudah cukup dirayakan hari ini, dan sudah mendapat hadiah terbaik, jadi sebenarnya tidak masalah. Hanya saja, karena masakan sudah dipersiapkan untuk selesai tepat waktu sesuai kedatangan mereka, kalau ibuku sampai kelewat ribut dan membuat hidangan jadi dingin, aku bisa saja marah. 


Itu masakan buatan Mikami-san, lho. Kalau sampai kesenanganku dirusak, bahkan orang tua pun tidak akan kuampuni.


"Kalau mereka sampai terlalu ribut, kau boleh langsung menegur, tahu?"


"Tidak akan kulakukan. Aku ingin membangun hubungan baik dengan keluarga Kirishima-san."


"Begitu, ya… yah, benar juga. Aku yakin mereka akan menyukaimu dan menyayangimu."


Mungkin malah akan terlalu dipedulikan, sampai-sampai permintaan “jangan terlalu repot” pun tak akan digubris. Aku yakin mereka akan memberi perhatian berlebihan, jadi kumohon, jangan sampai kau jadi tidak menyukai mereka karenanya. Biasanya mereka orang yang waras, sungguh.


"Kirishima-san sendiri bagaimana? Ini kan pertemuan lagi setelah sekian lama dengan keluargamu, bukan?"


"Benar juga. Terakhir kali bertemu adalah sebelum masuk SMA. Memang kadang masih saling berkirim pesan, tapi secara langsung sudah lama sekali."


"Karena ini pertemuan setelah sekian lama, semoga bisa mengobrol dengan tenang."


"Haha, tenang sepertinya mustahil."


Itu berarti, bagi orang tuaku, keberadaan Mikami-san akan jadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Pasti mereka akan langsung ribut mengatakan kalau akhirnya musim semi datang pada putra mereka. Mikami-san yang akan terseret di dalamnya mungkin agak kasihan, tapi… aku juga harus memikirkan cara memperkenalkannya dengan baik.


Kalau orang tuaku tahu aku sudah punya pacar, wajar kalau mereka akan penasaran dan mulai menggali soal awal mula hubungan kami.

Kapan bertemu. Sejak kapan berpacaran. Siapa yang mengungkapkan perasaan duluan. Dan lain-lain… aku bisa membayangkan isi pertanyaan-pertanyaan mereka.


Nah, sekarang memang menyenangkan karena akhirnya kami resmi berpacaran dan aku bisa memperkenalkannya sebagai pacar, tapi masalahnya adalah proses kami sampai ke titik ini terlampau tidak wajar.


Jejak “invasi” Mikami-san ada di mana-mana di rumah ini. Bahkan sebelum berpacaran, kami sudah mulai tinggal bersama. Kalau mereka menekan dengan pertanyaan-pertanyaan, aku akan cukup kesulitan menjawabnya.


Ya, pada akhirnya aku sendiri yang harus pintar-pintar menyiasati.

Selama ini aku tidak pernah punya pacar, jadi ini pertama kalinya menghadapi interogasi semacam itu dari keluarga. Tidak ada strategi pasti, hanya bisa menebak kira-kira dan sisanya mengandalkan improvisasi.


"Mikami-san."


"Eh, ada apa? Dipeluk tiba-tiba begini membuatku kaget, lho."


"…Maaf."


"Ah, bukan berarti aku tidak suka, kok. Jadi jangan berhenti. Peluk lebih erat lagi."


Memang menyenangkan bisa bertemu orang tua setelah sekian lama, tapi bayangan keruwetan yang mungkin terjadi membuatku agak murung. Tanpa sadar aku merangkul Mikami-san yang ada di dekatku, mencari ketenangan dalam dirinya. Sampai segitunya aku sudah jadi tawanan pesonanya.


"Selagi masih berdua, biarkan aku begini."


"Tentu saja. Tapi sebagai gantinya, jangan lupa manjakan aku juga, ya?"


Sampai orang tuaku tiba, kami masih berdua. Aku harus mengisi tenaga sebanyak mungkin sekarang, supaya siap siaga ketika waktunya tiba. Kami menikmati waktu berdua sebagai sepasang kekasih, sampai akhirnya momen itu datang juga.


Bersamaan dengan bunyi notifikasi yang ringan, sebuah pesan masuk di ponselku. Dari ibuku, memberitahukan bahwa mereka sudah tiba di depan apartemen. Tentu saja mereka punya kunci cadangan, jadi bisa langsung masuk melewati pintu utama.


Sambil menata hati, aku menunggu sebentar hingga akhirnya bel berbunyi. Walau punya kunci, mereka tetap menekan bel. Bisa kulihat jelas niat mereka: karena ini pertemuan setelah lama tidak jumpa, mereka ingin putranya sendiri yang menyambut.


Yah… masih lebih baik daripada tiba-tiba menerobos masuk. Aku membuka kunci dan memberanikan diri membuka pintu. Tidak kusangka aku bisa setegang ini hanya untuk bertemu orang tua sendiri. Benar-benar terasa bahwa hidup ini penuh kejutan.


Saat pintu terbuka, ayah dan ibu berdiri di sana dengan wajah penuh senyum bahagia.


"…Selamat datang, jauh-jauh sudah repot datang ke sini."


"Sudah lama ya, Rei. Apa kau baik-baik saja?"


"Ya, lumayanlah. Terima kasih, Ayah, Ibu, sudah datang untuk merayakan ulang tahunku."


"Itu sudah seharusnya, kan? Ya, Ibu?"


"Benar. Walau sempat kaget karena kau mendadak membatalkan rencana pulang, tapi ini jadi kesempatan bagus untuk memeriksa apakah Rei bisa benar-benar hidup mandiri."


Ibu, Kirishima Mirei. 


Baru datang saja sudah langsung menakutkan. Ucapannya membuat bulu kudukku merinding.


Tenang. Memang masih banyak hal yang meragukan soal kemandirian-ku, tapi setidaknya aku masih hidup, jadi harusnya tidak masalah.


"Ibumu itu memang terlalu khawatir. Katanya jangan-jangan Rei malas mengurus rumah, sampai-sampai kamar jadi berantakan, lalu baru mendadak bersih-bersih karena tahu kami akan datang."

Ayah, Kirishima Ryouya. 


Terima kasih sudah membongkar isi hati Ibu yang mencurigai kemampuan hidup mandiriku.


"Makanya waktu kedatangan kami sengaja dibuat sore, supaya ada waktu kalau kau memang butuh beres-beres. Tapi… sepertinya tidak perlu, ya?"


"…Benar-benar tidak dipercaya, ya."


Jadi mereka datang dengan asumsi dasar bahwa aku pasti sudah menumpuk sampah dan panik beberes menjelang kedatangan. 


Menyedihkan, tapi memang benar kalau rumah ini tetap bersih bukan berkat aku, melainkan berkat Mikami-san. Kalau dia tidak “menginvasi” lebih awal, mungkin bayangan kamar berantakan ala Ibu sudah jadi kenyataan. Meski begitu, aku ingin percaya setidaknya keadaannya tidak seburuk itu.


"Oh, setidaknya bagian depan rumah terlihat rapi, ya. Aku sempat khawatir kalau sampai tidak ada tempat untuk menginjakkan kaki."


"Andai pun begitu, paling tidak aku akan beres-beres kalau tahu orang tua mau datang. Lagipula, biasanya aku rajin bersih-bersih, kok."


Rajin dibersihkan. Utamanya oleh Mikami-san.


Aku juga memang ikut membantu, tapi karena dia terlalu cekatan, peranku jadi terlihat sepele.


"Sudahlah, Ibu. Tidak usah berlama-lama di depan pintu. Silakan masuk."


"Baiklah. Kalau begitu, kami masuk ya."


Akhirnya orang tuaku masuk rumah. Saat ini juga berarti pertemuan dengan Mikami-san tinggal menghitung detik. Tegang sekali rasanya.


"Ibu, sebenarnya… ada hal penting yang harus kusampaikan."


"Oh, kebetulan. Ibu juga ada hal yang harus dibicarakan sebelum perayaan. Kalau begitu, langsung saja… mari kita bicarakan bersama Hina-san juga."


"Baik… eh?!"


Nama yang tiba-tiba keluar dari mulut ibuku sama sekali tidak kuduga. Otakku langsung blank.



Aku mengantar Ayah dan Ibu ke ruang tamu. Dengan meja empat kursi di antara kami, aku duduk berhadapan dengan Ayah, sementara Mikami-san duduk berhadapan dengan Ibu.


Sebenarnya aku sudah menyiapkan diri untuk berbagai kemungkinan sejak mereka datang, tapi ternyata arah pembicaraan berkembang ke jalur yang sama sekali tidak pernah kubayangkan.


Mikami-san juga tampak kebingungan. Dia jelas tidak menyangka suasana tegang seperti ini akan muncul begitu tiba-tiba.


"Maaf harus langsung ke inti, tapi mari kita bicarakan hal penting. Pertama saya ingin memastikan… benar kan, kalau Hina-san sering menginap di sini?"


Yang membuka pembicaraan dengan suasana berat itu adalah Ibu. Itu bukan pertanyaan, melainkan konfirmasi. Sudah jelas bahwa beliau tahu, hanya ingin mendengarnya langsung dariku.

Aku tidak bisa mengelak, jadi kujawab apa adanya.


"Benar. Ta-tapi… bagaimana Ibu tahu?"


"Belum lama ini, orang tua Hina-san meneleponku. Jadi, kami juga sudah tahu soal penugasan luar negeri itu."


"Telfon? Orang tua Mikami-san?"


"Karena apartemen ini dikelola orang tua Hina-san. Kamu tinggal di sini, dan di data kontrak ada nomor kami. Jadi wajar kalau mereka bisa menghubungi."


Ah, benar juga. Aku sempat heran kenapa orang tua kami bisa terhubung, padahal sebenarnya alasannya sederhana sekali.


"Itu bukan yang penting, jadi aku lanjutkan. Saat membicarakan soal penugasan luar negeri, aku baru tahu kalau, Rei, bahkan sebelum ini kamu sudah sering menginapkan Hina-san di sini, benar?"


"Itu… itu salahku sendiri. Kirishima-san tidak ada hubungannya…"


"Sekarang saya sedang bicara dengan Rei, jadi Hina-san, tolong tunggu sebentar ya?"


Mikami-san mencoba membela, tapi Ibu langsung memotong dan menatapku tajam. Ditahan begitu saja, Mikami-san tampak hampir menitikkan air mata.


"Aku tidak ingin ceramah panjang-panjang, jadi kutanya singkat saja. Soal menginap atau bahkan tinggal bersama, kamu tahu tidak kenapa aku marah?"


"Itu karena… aku melakukan semuanya tanpa pernah berkonsultasi atau meminta izin… begitu."

"Kalau begitu, kamu tahu tidak kenapa seharusnya meminta izin dulu?"


"Karena… kami, masih anak-anak."


"Betul. Rei masih di bawah umur. Baik menginap maupun tinggal bersama, kalau sampai terjadi sesuatu pada Hina-san, kamu belum berada di usia yang bisa bertanggung jawab. Karena itu kamu harus berkonsultasi dengan orang tua dan meminta izin."


"Benar… itu memang kesalahanku."


Mendengar ucapan yang jelas-jelas benar itu, perutku terasa mual, tapi aku tidak bisa membantah. Pihak yang bersalah memang kami.


"Hina-san juga, ya. Hal seperti ini bukan hal yang bisa diputuskan anak-anak sendiri. Kalau sampai terjadi apa-apa padamu, siapa yang akan menanggung?"


"Ya… saya benar-benar minta maaf…"


Mikami-san juga tampak benar-benar kehilangan semangat. Biasanya dia bisa melewati berbagai situasi dengan sifat "masa bodoh"-nya, tapi kali ini hanya bisa menerima saja.


"Kalau kalian berdua sudah mengerti, maka cukup sampai di sini. Ceramah selesai."


"Eh…?"


"Aku marah bukan karena soal menginap atau tinggal bersama, tapi karena kalian melakukannya tanpa berkonsultasi dan izin. Untungnya, aku sudah bicara dengan orang tua Hina-san, dan pembicaraan mengenai dirinya juga sudah selesai."


"Jadi… maksudnya?"


"Kamu kurang peka, ya. Maksudnya, sekarang sudah ada pengakuan dari kedua keluarga."


"Serius…?!"


Aku tidak menyangka akhir ceritanya begini. Dari cara Ibu marah, aku kira hukumannya adalah membubarkan kehidupanku yang mandiri dan memaksaku pulang ke rumah. Tapi ternyata justru berbalik arah begini…


Kulirik ke samping, Mikami-san juga kelihatan lega dan menepuk dadanya. Wajar saja, dari nada bicara Ibu tadi, wajar kalau dia mengira akan dipisahkan dariku.


"Maaf ya, suasana jadi tegang di hari ulang tahunmu."


"Bukan salah Ibu. Semua ini memang salahku."


"Saya juga… benar-benar minta maaf."


"Sudah, jangan minta maaf terus. Hari ini kan hari perayaan."


Ibu menepuk tangannya sambil berkata begitu. Walau begitu, suasana yang sudah tegang tadi tidak langsung hilang. Tapi kalau dibiarkan, pesta ulang tahunku akan jadi makan malam yang penuh kecanggungan. Aku harus cepat-cepat mengubah suasana ke arah yang lebih hangat.


"Hina-san, kamu cantik sekali ya. Rei, kamu nakal sekali punya pacar secantik ini tapi tidak bilang apa-apa. Jadi, jadi? Kalian sudah sejak kapan berpacaran?"


"U-umm…"


Seperti yang dijanjikan, mode "dimarahi" sudah selesai. Ibu kini dengan wajah ceria langsung menginterogasi Mikami-san. Seperti yang kuduga, begitu terjadi, malah jadi menyusahkan. 


Mikami-san jelas kebingungan dengan perubahan sikap Ibu yang drastis ini. Melihat Mikami-san sampai segitu terpojoknya itu jarang sekali terjadi. Dia bahkan sampai memandangku seolah minta tolong. Aku jadi merasa tidak enak karena Ibu menyulitkannya.


"Ibu, jangan membuat Mikami-san bingung. Lagipula dia bahkan belum memperkenalkan diri."


"Ah iya, benar juga. Saya Mirei, ibunya Rei. Dan ini suamiku, ayahnya Rei, Ryouya."


"Ah, um… mungkin sudah tahu, tapi nama saya Mikami Hina. Senang berkenalan."


Mikami-san tetap gugup, tapi berhasil memperkenalkan diri. Biasanya aku pikir dia bisa menghadapi siapa saja dengan percaya diri, tapi setelah barusan ditegur keras oleh orang dewasa, wajar kalau ketegangannya belum hilang.


"Rei, kamu hebat ya. Bisa mendapatkan pacar secantik ini."


"…Memang dia cantik, tapi sebenarnya akulah yang merasa seperti ditangkap."


"Oh begitu? Kalau begitu, Hina-san juga punya selera bagus. Anak kami ini, walau kelihatannya begitu, sebenarnya bisa diandalkan kalau serius. Kalau kamu pertahankan dia, nanti kamu akan merasa beruntung."


"Benar sekali. Aku merasa sudah mendapat sesuatu yang sangat berharga."

…Kenapa dari percakapan barusan mereka langsung akrab begitu?


Mereka bahkan berjabat tangan erat dengan mantap, seolah sudah jadi sekutu lama. Padahal tadi suasananya tegang sekali. Mikami-san juga, yang tadi gugup bukan main, sekarang sudah kembali ke gayanya yang biasa. Jangan-jangan… mereka berdua memang cocok?


"Rei, aku ingin bicara sedikit dengan Hina-san. Boleh?"


"Walaupun aku bilang jangan, kau tetap akan melakukannya, kan? Jangan merepotkan Mikami-san."


"Repot apanya, sama sekali tidak. Saya juga ingin berbincang dengan ibunya Kirishima-san."


"Kyaa, dengar itu? Dia memanggilku ‘ibu’! Kau dengar, kan?"


"Ibu, berisik."


"Ya soalnya, Hina-san terlalu imut!"


Meski begitu, tetap saja terlalu ribut. “Terlalu imut” bukan alasan.


Karena Mikami-san tidak menolak dan malah larut dalam pembicaraan yang menemukan titik temu, kehebohan ibuku jadi semakin menjadi-jadi. Dengan begini, sepertinya dia tidak akan mendengarkan siapapun dan untuk sementara akan sepenuhnya fokus pada Mikami-san.


Aku sudah menduganya… tetapi tampaknya di hari ulang tahunku ini, Mikami-san lebih diutamakan daripada diriku sendiri. Namun… berkat itu suasana muram bisa tersapu dan berubah menjadi suasana perayaan, dan itu sudah cukup bagiku.


"Ayah."


"Maaf ya. Kalau sudah begitu, dia memang tidak bisa dihentikan."


"Tidak apa-apa. Aku juga sudah memperkirakannya. Setelah apa yang terjadi, aku sempat khawatir, tapi entah bagaimana Mikami-san bisa akrab dengannya. Jadi biarkan saja ibu mengobrol sampai tenang."


"Benar juga. Kalau begitu… sementara menunggu, bagaimana kalau kita juga mengobrol sebentar?"


"Baik. Di sini terlalu berisik, jadi ayo keluar sebentar."


Meskipun agak tidak enak karena baru saja menyambut mereka, dua perempuan di samping kami begitu berisik—lebih tepatnya terlalu ramai—jadi tidak mungkin kami bisa berbicara dengan tenang. 


Aku pun mengajak ayah keluar, masuk ke dalam lift, dan menekan tombol menuju atap.



Ibu Kirishima-san, yaitu Mirei-san.


Pertemuan kami berawal dari tindakanku yang sembrono sehingga membuat Mirei-san marah, lalu aku bersama Kirishima-san mendapat teguran darinya. Namun setelah berbincang dengan baik, ternyata beliau sosok yang sangat mudah diajak bicara.


Setelah teguran itu selesai, aku sempat bingung bagaimana sebaiknya bersikap, tapi justru Mirei-san yang lebih dulu membuka topik pembicaraan, sehingga kesanku pun langsung berubah. Bahkan beliau begitu aktif sampai-sampai aku terkejut dan merasa kewalahan.


Seperti perkiraan Kirishima-san, beliau terlihat sangat bersemangat. Tetapi karena terus memuji dan menyebutku imut, aku sama sekali tidak merasa terganggu. Kami baru sebatas saling memperkenalkan diri dan berbincang ringan, tetapi aku merasakan sesuatu seperti ikatan pertemanan lama, sampai-sampai secara spontan aku menggenggam tangannya dengan erat.


"Rei sama sekali tidak pernah memberi kabar, jadi aku khawatir apakah dia bisa punya teman atau tidak. Tapi ternyata dia punya pacar secantik ini~. Apalagi diam-diam sudah tinggal serumah tanpa bilang padaku… apa kalian sudah berpacaran sejak sebelum SMA?"


"Tidak, saya baru bertemu Kirishima-san setelah masuk SMA."


"Oh begitu? Rei memang agak pemalu dan punya sifat hati-hati… jadi Hina-san yang berusaha keras, ya."


"Betul. Saya benar-benar berusaha keras…!"


Butuh waktu sekitar tiga bulan hingga aku akhirnya bisa mendapatkan pernyataan cinta darinya. Cepat atau lambatnya, itu tergantung pandangan masing-masing. Namun aku tidak menganggapnya cepat.


Bisa saling mengungkapkan perasaan hingga akhirnya berpacaran, kurasa itu hasil dari perjalanan yang panjang. Tidak bisa diukur hanya dengan lamanya waktu; ada berbagai dinamika rumit dalam hubungan kami. 


Sering kali usahaku tidak mempan terhadap Kirishima-san. Itu sangat sulit, dan seperti kata Mirei-san, aku memang sudah berusaha keras.


"Hina-san… panggilan itu terdengar agak kaku. Boleh aku memanggilmu Hina-chan?"


"Tentu saja."


Tidak ada alasan untuk menolak. Aku malah senang, karena terasa seakan jarak di antara kami jadi lebih dekat.


"Bagaimana dengan Rei? Apa dia tidak membebankan semuanya pada Hina-chan?"


"Kirishima-san sangat baik padaku. Bahkan alasan kami tinggal bersama ini sebenarnya karena keegoisanku. Aku memaksa tinggal bersamanya tanpa izin dari orang tuanya… sungguh maaf."


"Saat aku ditelepon oleh orang tuamu, aku memang sangat terkejut. 

Tapi seperti yang kubilang tadi, soal itu sudah kami selesaikan antar orang tua, jadi tidak perlu khawatir. Lagi pula, kalau Rei bisa membuka hatinya pada seseorang, berarti orang itu bisa dipercaya."


Kami memang memulai hidup bersama bahkan sebelum resmi berpacaran. Kami masih pelajar dan melakukannya tanpa izin orang dewasa, tentu aku menyadari kalau itu salah. Tapi aku juga sadar, pengertianku terlalu dangkal.


Seperti kata Mirei-san, sebagai anak di bawah umur kami tidak bisa menanggung tanggung jawab jika terjadi sesuatu. Kirishima-san sudah memahami hal itu dan mencoba menahan tindakanku yang berlebihan. Namun pada akhirnya, akulah yang memaksa. Karena itu… saat melihat Kirishima-san dimarahi Mirei-san, aku hanya bisa diam dan itu terasa sangat menyakitkan.


Untunglah, Mirei-san sudah berbicara dengan orang tuaku dan akhirnya menyetujui hubungan kami, sehingga kami bisa tetap tinggal bersama dengan restu kedua belah pihak.


"Justru kalau ada anak sebaik Hina-chan yang menemaninya, aku bisa merasa tenang. Tapi aku malah khawatir jangan-jangan Rei terlalu bergantung padamu."


"Tidak kok. Justru aku yang sering manja padanya."


"Kalau begitu baguslah. Jangan sampai hanya Hina-chan yang menopang Rei, tapi pastikan kamu juga ikut ditopang olehnya, ya?"


"Tentu saja!"


Aku sudah banyak ditopang oleh Kirishima-san, dan itu tidak akan berubah. Saling menopang, saling dimanja—itulah hubungan yang kuinginkan.


"Tapi semakin banyak aku berbincang, semakin aku merasa Hina-chan anak yang sangat baik. Rasanya menyenangkan, tapi aku juga berharap Rei bisa menceritakan lebih banyak hal. Menyembunyikan pacar sebaik ini sungguh keterlaluan."


"Kirishima-san memang sering tidak bercerita kalau tidak ditanya. Bahkan soal ulang tahunnya hari ini pun aku baru tahu karena Mirei-san mengabariku. Sebelumnya sama sekali tidak ada pembicaraan soal ulang tahun."


"Aku mengerti~. Kau pasti cukup repot, ya. Kalau dia terlalu sering menyembunyikan hal-hal penting, jangan ragu untuk menegurnya, ya?"


"…Akan kupikirkan."


Sepertinya Kirishima-san memang tipe yang tidak banyak bicara soal dirinya sendiri…


Memang benar, kesan seperti itu tidak ada, dan prestasinya pun sudah lebih dari cukup. Antara aku dan Mirei-san tercipta badai rasa saling memahami. Berkat itu, ulang tahun Kirishima-san pun mendadak harus kami siapkan perayaannya. Tapi yah… usaha yang kulakukan membuahkan hasil, dan aku bahkan mendapat hadiah terbaik, jadi kurasa tidak perlu ada hukuman lagi. 


Lagipula… hal seperti itu bisa kujadikan alasan untuk memberikan “hukuman” pada Kirishima-san, jadi jika suatu hari ada rahasia besar yang terbongkar, bisa kugunakan sebagai kesempatan. Membuat seseorang merasa bersalah lalu memanfaatkannya sangatlah efektif, jadi bisa dibilang itu peluang yang bagus.


"Ngomong-ngomong… Rei itu bahkan belum melaporkan hasil ulangan atau rapor semester pertamanya. Kalau soal kehidupan sehari-hari, aku yakin Hina-chan sudah mendukungnya dengan baik, tapi bagaimana dengan sekolahnya? Apa dia belajar dengan serius?"

"Aku tidak sekelas dengan Kirishima-san, jadi aku tidak tahu seperti apa kehidupan sekolahnya sehari-hari. Tapi nilainya sangat baik. Sepulang sekolah kami selalu belajar bersama, dan hampir tidak pernah ada materi pelajaran yang membuatnya kesulitan. Dia orang yang rajin, jadi sikapnya di kelas pasti juga baik."


"Oh, begitu? Kalau begitu, bagaimana denganmu sendiri, Hina-chan?"


"Saya… sejauh ini masih bisa mempertahankan peringkat pertama di angkatan."


"Wah! Hebat sekali. Kalau begitu, denganmu di sisinya, urusan belajar juga tidak perlu dikhawatirkan, ya."


Dalam hal akademik, Kirishima-san sangat unggul. Atau lebih tepatnya… selain fakta bahwa dia tidak punya teman, pada dasarnya dia memang orang yang serba bisa—baik dalam olahraga maupun pelajaran.


"Lagipula, alasan aku bisa mempertahankan peringkat pertama juga karena pengaruh Kirishima-san sangat besar."


"Oh? Begitu?"


"Selain taruhan soal nilai dan peringkat, hal yang paling berpengaruh adalah… setiap kali aku berusaha, Kirishima-san selalu memujiku. Itu membuatku bisa menjaga motivasi tinggi."


Memang Kirishima-san menyebut pujiannya itu sebagai “doping,” dan itu agak membuatku kecewa. Tapi meski dianggap doping, ini doping yang legal, jadi tidak masalah.


"Karena ada Kirishima-san, aku bisa terus berusaha. Aku banyak ditopang dan dibantu olehnya."


"Rei memang begitu. Kalau sudah membuka hati, dia akan sepenuhnya lembut pada orang itu. Pada orang yang benar-benar dia percaya, sikapnya akan sangat hangat. Jadi sekali berhasil masuk ke hatinya, bisa dibilang sudah menang."


"Benar sekali. Aku juga ingin begitu, saling memuji, saling mendukung, dan hidup bersama seperti itu."


Saling menopang dalam kehidupan. Sebagai kekasih, aku ingin mendukung Kirishima-san, dan terkadang didukung olehnya. Jika bisa terus berpacaran seperti itu sampai lama, aku akan sangat bahagia.


"Rei benar-benar beruntung punya pacar sebaik ini. Tolong terus jaga dia, ya."


"Tentu saja."


Tanpa diminta pun, itu sudah jelas. Bahkan, akulah yang seharusnya mengucapkan “tolong jaga aku” kepada beliau. Namun sungguh… Mirei-san ini sangat mudah diajak bicara, dan aku merasa benar-benar cocok dengannya. Padahal Kirishima-san bilang ibunya itu orang yang tidak bisa diajak bicara… entah maksudnya apa, ya?



Aku menengadah ke langit yang masih menyisakan sedikit cahaya senja, lalu mengembuskan napas yang mengandung ketegangan.


Aku memang sudah mengajak ayah ke atap apartemen, tapi sekarang bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Meski begitu, kalaupun ingin bicara… tentu saja tentang masalah dimarahi ibu tadi.


Ayah tidak banyak bicara saat itu. Memang ibu yang menutup pembicaraan secara sepihak, tapi pasti ayah juga punya sesuatu yang ingin dikatakannya.

"Ayah. Soal itu… aku minta maaf karena tinggal di rumah ini berkat jerih payah orang tua, tapi malah seenaknya memulai hidup bersama."


Kalau saja ini apartemen kontrakanku sendiri dan semua biayanya kubayar dengan uangku sendiri, mungkin tidak akan ada masalah meski aku mengajak pacarku tinggal bersama. 


Tapi kenyataannya, aku masih seorang pelajar yang bisa hidup sendirian hanya berkat dukungan orang tua. Dalam kondisi itu, aku diam-diam tinggal bersama pacar tanpa izin—aku bertanya-tanya bagaimana perasaan ayah soal itu. 


Aku memang sudah tahu itu hal yang salah. Seperti yang ibu katakan, seharusnya butuh izin orang tua. Tetapi aku menyepelekan itu, dan menerima Mikami-san secara sepihak. Alasan “aku tidak bisa menolak desakannya” tentu saja bukan pembenaran.


"Saat ibumu bilang mendapat telepon dari orang tua Mikami-san, aku juga terkejut. Tidak kusangka Rei akan melakukan hal seberani itu."


"…Ayah tidak marah?"


"Semua yang ingin kukatakan sudah diucapkan oleh ibumu. Memang benar, menerima tanggung jawab menjaga anak orang lain itu hal yang besar. Mengambil keputusan sepenting itu tanpa berdiskusi memang tidak baik."


Mendengar itu setelah dimarahi ibu, semakin terasa betapa bodohnya tindakanku.


"Tapi, seperti kata ibumu, itu sudah berlalu. Toh kau juga terlihat menyesal. Selama tidak mengulangi kesalahan yang sama, itu sudah cukup."


"Terima kasih, ayah. Tapi… soal pembicaraan antar orang tua itu… 

apa bisa semulus itu saja?"


"Saat aku tahu bagaimana akhirnya, ibumu sudah lebih dulu membicarakannya dengan orang tua pihak sana. Jadi sebenarnya… ibumu pun sama saja, sudah mengambil keputusan besar tanpa berdiskusi denganku. Saat itu aku cuma bisa berpikir, ‘kalian memang benar-benar mirip, ibu dan anak.’"


"Begitu ya. Haha, ternyata darah memang tidak bisa dilawan."


"Ini bukan sesuatu yang bisa ditertawakan."


Ayah mendongak ke langit dengan raut wajah sendu.


Jadi begitu. Katanya semua yang ingin ia sampaikan sudah diwakili ibu, tapi sepertinya sejak awal ayah memang tidak diberi kesempatan untuk ikut bicara…


"Kalau begitu, ayah tidak banyak terlibat dalam pembicaraan itu? Jadi kalau aku ingin tahu seperti apa isi diskusinya dengan orang tua Mikami-san, aku harus menanyakannya pada ibu?"


"Eh. Aku juga dengar ceritanya dari ibumu, jadi kalau kau ingin tahu sesuatu, aku bisa menjawab."


Yang paling ingin kutahu sekarang adalah, seperti apa sebenarnya isi pembicaraan antara kedua orang tua kami. Tanpa kusadari, pembicaraan itu sudah selesai, dan fakta bahwa hubungan tinggal bersama kami diakui memang melegakan. Tapi tetap saja, aku penasaran apa saja yang terjadi di balik proses pembicaraan itu.


Meski begitu, kupikir sebaiknya aku langsung menanyakannya pada Ibu, yang memang ikut dalam diskusi itu. Maka, untuk sementara aku simpan rasa penasaran itu dalam hati… tapi entah mengapa, Ayah justru terlihat seakan-akan ingin aku bertanya.

Ah, paham. Ini pasti karena begitu sudah duduk berhadapan begini, Ayah sebenarnya ingin mengobrol, tapi bingung harus mulai dari mana. Jadi beliau mencoba menumpang pada topik ini.


Ya sudah, toh Ibu sedang sibuk dengan Mikami-san, dan aku juga keluar hanya dengan dalih “mengisi waktu.” Kalau begitu, kutanyakan saja pada Ayah.


“…Kurang lebih begitu ceritanya.”


“Jadi begitu, ya. Rasa penasaranku terjawab.”


Begitulah aku mendengar dari Ayah tentang bagaimana semua ini terungkap—bahwa aku dan Mikami-san ternyata tinggal bersama.


Semua berawal, seperti yang kuduga, dari saat Mikami-san menginap.

Sebenarnya Mikami-san meminta izin dengan benar pada orang tuanya. Hanya saja, saat meminta izin itu, mereka salah paham dan mengira aku adalah teman perempuan. Tapi butuh waktu sebentar saja sampai orang tua Mikami-san menyadari kalau jenis kelaminku berbeda. Alasannya sederhana… Mikami-san sering sekali membicarakan tentangku di rumah, dan terus terang saja—dia tidak pernah berusaha menyembunyikan aura suka yang jelas terpancar.


Aduh, rasanya malu juga mengatakan itu sendiri. Ya… meskipun sebenarnya aku senang.


Sebagai orang tua, mereka memilih untuk sepenuhnya mendukung perasaan cinta Mikami-san. Karena itu, mereka memberi pilihan untuk tidak ikut dalam penugasan ke luar negeri.


Mikami-san pun memilih untuk tetap tinggal di sini. Namun, yang tidak mereka perhitungkan adalah begitu mereka berangkat, Mikami-san langsung datang ke rumahku untuk tinggal. Walaupun mendukung cinta anaknya, tentu ada batasnya. 

Memanfaatkan ketiadaan orang tua untuk menjadikan “menginap tanpa batas” jelas sudah kelewat jauh.


Untungnya, orang tua Mikami-san tahu ke mana anak mereka pergi. Karena sudah pernah ada kasus menginap sebelumnya, mereka sejak lama menyelidiki dan mengetahui bahwa aku tinggal di apartemen yang dikelola keluarga mereka. Dari situlah mereka menghubungi Ibuku, dan termasuk soal menginap yang tidak kukonsultasikan, semuanya terbongkar.


Akhirnya, setelah ada pembicaraan serius antar-orang tua, keputusan yang diambil adalah—hubungan kami tinggal bersama diakui oleh kedua pihak (dengan bonus nasihat panjang lebar).


Hasil itu jelas menguntungkan kami. Tapi kalau dipikir-pikir, aneh juga. Saat itu aku belum pernah bertemu orang tua Mikami-san, begitu pun sebaliknya. Bagaimana bisa mereka mengizinkan tinggal bersama tanpa pernah saling bertemu lebih dulu?


“Jadi, Ibu tidak menentang aku tinggal bersama dengan gadis yang bahkan belum pernah ditemuinya?”


“Tidak sama sekali. Katanya, kalau itu anak yang sudah diakui oleh Rei, berarti bisa dipercaya. Dan aku pun merasa sama. Selain itu, pihak sana juga punya alasan kuat: mereka ingin tetap bisa mengawasi Hina-san.”


Benar juga. Walaupun orang tuaku tidak menentang, seandainya orang tua Mikami-san menolak, tentu tinggal bersama ini batal.


“Setelah keadaan Hina-san disampaikan pada kami, Ibumu menunjukkan sikap siap membantu sepenuhnya bila terjadi sesuatu. Mereka merasa, dibanding tinggal sendiri, Hina-san akan lebih tenang bila ada orang yang bisa diandalkan.”


“Begitu, ya.”


“Karena itu, baik urusanmu sendiri maupun urusan Hina-san, kalau ada masalah, bicarakan baik-baik, ya.”


Memang benar. Tinggal bersama ini bukan hanya berdiri di atas perasaan kami berdua, tapi juga atas dasar kepercayaan Ibu, Ayah, serta kedua orang tua Mikami-san.


Aku harus selalu mengingat hal itu, supaya tidak sampai mengkhianati kepercayaan mereka.


“Sekarang, giliran Ayah bertanya macam-macam ke Rei.”


“…Tolong jangan terlalu keras.”


“Haha, entahlah. Jadi, sejak kapan kamu dan Hina-san berpacaran?”


“Eh… apa aku harus menjawab?”


“Setidaknya itu boleh kau ceritakan, kan? Toh sekarang Hina-san mungkin juga sedang diinterogasi Ibumu. Tidak ada salahnya kalau kamu juga bercerita sedikit. Kamu ini anak yang tidak akan bicara kalau tidak ditanya, kan?”


Tidak ada celah untuk membantah. Kukira yang biasanya jadi sasaran tanya-jawab adalah Mikami-san, tapi ternyata giliranku juga ada. Meskipun agak aneh rasanya bicara soal cinta antar-sesama pria, kalau konteksnya komunikasi ayah-anak mungkin wajar juga. Lagipula, kemungkinan besar sekarang Mikami-san memang sedang diserbu pertanyaan Ibu. Tapi… kalau aku jawab jujur, Ayah pasti akan kaget.


“Haa… kami baru resmi pacaran hari ini.”


“Hari ini? Jadi kalian tinggal bersama dulu, baru mulai pacaran?”

“Ya, sejak awal liburan musim panas. Jadi memang begitu urutannya.”


“…Ayah tidak mau ikut campur terlalu jauh, tapi… bukankah itu terbalik?”


“…Jangan dibahas. Aku sadar kok.”


Tepat sekali mengenai titik lemahnya.


Aku juga tahu itu. Urutan kami jauh dari yang dianggap normal. Baru setelah melewati semua tahap yang biasanya datang setelah, kami akhirnya bisa jadi pasangan.


Itu semua salahku, karena terlalu lama tidak bisa jujur. Makanya, aku sadar betul. Bahkan bisa dibilang, kami sudah lebih dulu melewati hal-hal yang biasanya dilakukan setelah jadi pasangan.


“Tapi… sepertinya anak itu tipe yang kuat menekan, mirip dengan Ibumu. Kalau tidak, tak mungkin dalam waktu singkat bisa membuka hati Rei.”


“Ayah bisa merasakannya?”


“Tentu. Tapi… justru karena Rei yang pendiam dan tenang, pasangan seperti itu mungkin yang paling cocok.”


“Sok tahu sekali, Ayah…”


“Ayah pun dulu begitu, kok.”


Kalau kupikir-pikir, memang ada benarnya.


Ayah yang cenderung tenang, dan Ibu yang justru tidak bisa diam. Mirip dengan aku dan Mikami-san sekarang.


“Hanya saja… sepertinya Rei akan banyak kesulitan.”


“Kenapa begitu?”


“Pria pendiam sepertimu memang ditakdirkan untuk hidup di bawah kendali wanita.”


“Kalau bisa berkata seyakin itu, berarti ada dasar yang kuat, kan?”


“Begini… ini cerita saat kamu masih TK. Waktu itu kamu lebih suka membaca buku bergambar daripada bermain di luar. Masih ingat?”


“…Ya, samar-samar.”


Ayah mulai bercerita kenangan masa kecil dengan nada penuh nostalgia. Tapi aku masih tidak tahu apa hubungannya dengan nasib “hidup di bawah kendali wanita.” Mau tidak mau, aku dengarkan dulu.


“Lalu?”


“Walaupun kamu lebih suka membaca, sering kali ada anak perempuan yang menarikmu keluar untuk bermain, sampai-sampai kamu pulang penuh lumpur. Menurut catatan guru di buku penghubung, kalau diajak berkali-kali, kamu tidak bisa menolak.”


“Aku sama sekali tidak ingat…”


“Yah, intinya begitu. Dari dulu kamu memang lemah kalau dihadapkan dengan anak perempuan yang kuat memaksa.”


“Itu beda hal, kan.”


Tidak ada gunanya mengungkit cerita masa TK yang bahkan tidak kuingat. Meski begitu, aku bisa sedikit memahami maksud Ayah.


“Waktu Ibu menegur Hina-san, memang dia terlihat tenang. Tapi ketika berbicara berdua, aku bisa merasakan aura yang mirip dengan Ibu.”


Soal itu, aku harus mengakuinya. Aku memang merasakan ada kesamaan antara Mikami-san dan Ibu.


“Mungkin benar kita ini ayah-anak yang serupa.”


“Jadi maksudmu… ini juga pengalaman pribadimu?”


“…Bisa dibilang begitu.”


Ekspresi Ayah saat menatap langit dengan wajah rumit itu begitu membekas di mataku.


Jadi begitulah… ditakdirkan berada di bawah kendali Mikami-san, ya.

Kalau dipikir-pikir, selain cerita masa lalu, kenyataannya aku juga punya cukup—tidak, banyak sekali—hal yang bisa dijadikan bukti. Mungkin memang benar aku sedang diarahkan ke jalan itu. Tapi aku merasa, itu pun akan menjadi sebuah kebahagiaan.


Setelah itu, Ayah menanyai aku tentang awal mula hubunganku dengan Mikami-san, lalu kami juga membicarakan aturan dasar dalam kehidupan bersama sebelum akhirnya pulang.


Pertama-tama, tetap mengutamakan kewajiban utama sebagai pelajar: belajar dengan sungguh-sungguh. Kalau sampai lalai dan nilai menurun, maka kemungkinan tinggal bersama bisa saja dipertimbangkan ulang untuk dibubarkan.


Lalu—menjaga hubungan tetap bersih sampai lulus SMA. Meskipun sudah mendapat pengakuan dari kedua keluarga, pada dasarnya kami tetaplah anak-anak yang masih harus hidup berdua.


Kini kami resmi jadi pasangan, wajar kalau suasana bisa terbawa. Tapi jangan sampai larut dalam emosi sesaat. Kami diingatkan keras untuk tidak lupa bahwa kami masih belum cukup dewasa untuk menanggung segala konsekuensi. Karena itu, aturan ini juga disepakati dalam pembicaraan kedua keluarga. Orang tua Mikami-san pasti juga akan menyampaikannya padanya.


Aku menanam kuat-kuat nasihat itu di hati, lalu sampai kembali di depan rumah. Tanpa sadar, aku sudah cukup lama mengobrol dengan Ayah, sampai-sampai rasa laparku mencapai puncak. Aku ingin segera menyantap hidangan istimewa yang sudah disiapkan dengan penuh semangat oleh Mikami-san. Jadi kalau Ibu masih ribut, kuharap Ayah bisa menenangkannya. Walaupun, melihat hierarki kekuasaan di rumah kami, sepertinya harapan itu agak tipis.


Ngomong-ngomong, aku belum juga mendapat ucapan selamat ulang tahun dari mereka. Kurasa keberadaan Mikami-san benar-benar menjadi pusat perhatian yang membuat mereka lupa acara utamaku. 


Yah, bukan berarti aku sengaja menyembunyikannya. Memang kebetulan “perkenalan” ini bertepatan dengan hari ulang tahunku, jadi bisa dimaklumi. Lagipula, aku sudah mendapat banyak sekali hadiah dari Mikami-san. 


Meski begitu, ketika melihat wajah orang tuaku, aku tetap ingin setidaknya mendengar satu kata ucapan selamat. Itu hal wajar sebagai seorang anak, dan tidak berlebihan jika aku menginginkannya.


“Ibu masih ingat kalau hari ini ulang tahunku, kan?”


“……”


“Diam saja? Jadi selama ini hanya sibuk bercanda dengan Mikami-san?”


“Jangan bercanda. Tentu saja Ibu ingat… mungkin?”


“Kenapa malah terdengar ragu. Harusnya yakin dong.”


“Mana bisa. Rei juga tahu sendiri, kan. Ini Ibu, loh.”


Kalimat “ini Ibu, loh” sudah cukup sarat dengan kepercayaan dan pengalaman nyata. Tidak ada ungkapan lain yang lebih meyakinkan daripada itu. Kalau sampai acara utama hari ini hanya berisi Ibu dan Mikami-san bersenda gurau, aku benar-benar akan sedih.


Tolonglah, Bu. Sudah cukup berbincang dengan Mikami-san, sekarang tenanglah sedikit. 


Dengan perasaan campur aduk yang seharusnya tidak dialami di hari ulang tahun, aku pun masuk rumah.


“Aku pulang. Ibu, sudah tenang?”


“Aduh, Rei? Cara bicaramu seolah-olah Ibu sedang mengamuk saja.”


“Memang betul, kan? Tidak merepotkan Mikami-san, kan?”


“Aduh, dasar anak ini. Ibu hanya ngobrol baik-baik dengan Hina-chan, kok. Ya kan, Hina-chan?”


“Benar. Saya bahkan sudah bertukar kontak dengan Mirei-san. Jadi sekarang kami bisa berkomunikasi kapan saja.”


“Sekarang sudah saling panggil nama? Persis seperti teman saja…”


Mereka terlalu cepat akrab. Bahkan sudah saling bertukar kontak, artinya mereka benar-benar sudah dekat. Dan entah kenapa, aku tidak ingin membayangkan skenario di mana pacarku dan ibuku sering chatting dengan intens. Rasanya menyeramkan.

“…Rei.”


“A-ada apa?”


“Hina-chan anak yang sangat baik. Bisa mendapat pacar sebaik dia, kamu benar-benar beruntung. Jadi jangan pernah melepasnya, ya. Kalau sampai kamu membuatnya menangis, Ibu sendiri yang akan menghajarmu.”


“Kukira mau bicara apa tadi… tapi tanpa dikatakan pun aku sudah tahu. Aku akan menjaganya, dan membuatnya bahagia.”


“K-Kirishima-san…!”


"Baru saja hampir membuatnya menangis, bukan? Mau kupukul, ya."


"Menangis karena bahagia juga dihitung pelanggaran?"


Kalau aturan itu benar-benar berlaku, aku akan cukup sering kena pukul. Toh, aku tidak membuatnya sedih, jadi bukankah itu seharusnya tidak dihitung?


"Tenang saja, itu hanya bercanda. Dari obrolanku dengan Hina-chan, aku sudah mendengar banyak cerita pameran rasa sayangmu. Jadi aku tahu betul kalau kamu benar-benar menjaga Hina-chan dengan baik. Ditambah lagi, dari kamu sendiri juga aku mendengar pernyataan besar penuh tekad sekaligus pamer rasa sayang… Ibu sudah sangat puas."


"Ah… hei, lupakan! Ingatan itu tinggalkan saja di sini sebelum pulang!"


"‘Akan menjaga dan membahagiakan’, begitu, ya? Hina-chan, bagus sekali. Rei itu meski suka banyak alasan, tapi kalau sudah bicara sesuatu, dia pasti melakukannya. Jadi kamu bisa tenang."


"Ya! Kirishima-san, tolong benar-benar bahagiakan aku, ya!"


Aku benar-benar kesal pada Ibu yang langsung menjadikan deklarasiku bahan ejekan. Dan Mikami-san, berhentilah ikut-ikutan dalam ledekan itu. Kalian berdua kompak sekali mengolok-olokku… sial, ini benar-benar memalukan.


Dalam waktu singkat saja mereka sudah begitu akrab. Seharusnya aku ikut senang, tapi entah kenapa ada sedikit rasa kesal juga. Namun… demi keimutan pacarku, aku akan memaafkan mereka. Lagipula, aku tidak merasa bisa menang melawan serangan gabungan keduanya. Bisa jadi aku telah menyatukan dua orang yang seharusnya tidak pernah disandingkan.


Mikami-san menggesekkan kepalanya manja ke dadaku, sementara Ibu berisik menggodai kami sambil mondar-mandir riang di sekitar, dan Ayah hanya bisa melihat dengan gelisah tanpa berbuat apa-apa.


Tolong, Ayah. Hentikan Ibu yang kelewat semangat itu. Hei, jangan alihkan pandangan!


"Mikami-san, aku sudah tidak sabar lagi."


"…Maksudnya, padaku?"


"Aduh, Rei ini berani sekali. Tapi hal semacam itu sebaiknya dilakukan saat berdua saja, kan?"


"Kalian ini sebenarnya ke sini untuk apa? Bukankah tujuan utamanya merayakan ulang tahunku?"


"Oh iya, benar juga. Gara-gara Hina-chan terlalu manis, Ibu hampir lupa. Masakan lezat yang sudah Hina-chan siapkan sedang menunggu, loh~"


"Tapi gara-gara Ibu terus ribut, aku jadi tidak bisa sampai ke hidangan itu, tahu?"


Bukan berarti aku tidak punya keinginan itu, tapi jelas tidak akan kulakukan di depan orang tua. Lagipula aku baru saja berjanji pada Ayah. Jadi tolonglah, Mikami-san, hentikan bombardir pernyataan memalukan seperti itu. Atau jangan-jangan… kau bersekongkol dengan Ibu untuk mempermalukanku? Serius? Baiklah, baiklah. Tetap saja, kamu imut sekali.


"Mirei-san, bagaimana kalau kita mulai perayaannya sekarang?"


"Ya, benar juga. Ulang tahun Rei hanya sekali dalam setahun."


"Betul itu. Setidaknya rayakan ulang tahun anakmu dengan benar."


Berkat Mikami-san, akhirnya Ibu pun tenang dan suasana bergeser ke arah perayaan ulang tahunku. Memasuki acara utama ini, aku ikut merasa gugup. Sepertinya sambil mengobrol tadi, mereka sudah menyelesaikan persiapan. 


Di meja makan, hidangan lezat telah tersaji lengkap. Aku didorong-dorong Mikami-san hingga duduk di kursi lebih dulu, lalu ia duduk di sampingku, sementara kedua orang tuaku duduk berhadapan di seberang. Dengan batuk kecil yang manis, Mikami-san membuka acara.


"Kalau begitu, Kirishima-san, sekali lagi… selamat ulang tahun."


"Selamat ulang tahun. Rei sudah enam belas tahun, ya. Padahal rasanya baru kemarin kamu masih kecil… sekarang sudah besar sekali. Ayo, Ayah juga ucapkan."


"A-ah, iya. Rei, selamat ulang tahun. Maaf baru sekarang mengucapkannya."


"Tidak apa-apa. Lagipula, delapan puluh persen penyebabnya Ibu, kok."


"Yang salah itu Rei juga. Kamu diam-diam punya pacar secantik ini dan tidak bilang-bilang."


"Sudahlah. Baru resmi jadi pacar hari ini, kok."


"Tapi sebelumnya kalian sudah tinggal bersama, kan? Membiarkan Hina-chan menunggu tanpa kepastian memang tidak bagus, tapi kamu sudah mengambil keputusan dengan jelas. Itu sudah hebat sekali. Bagus, ya."


Memang, aku salah karena membiarkan hubungan ini menggantung terlalu lama, dan pada akhirnya yang memberiku dorongan untuk menyelesaikannya juga Mikami-san. Jadi, meski menurutku tidak perlu sampai dipuji begitu, biarlah.


Asal jangan sampai Ibu kembali terpicu dan membuat ribut. Aku hanya ingin menikmati hidangan ini dengan damai.


"Kirishima-san, aaan~"


"Ehm… Mikami-san? Dilakukan di depan orang tua begini agak memalukan, tahu?"


"Fufu… aku tidak keberatan, kok. Jadi silakan saja."


"Eh, tunggu…."


"Si. La. Kan. Sa. Ja!!"


"Hina-chan bilang tidak masalah, jadi cepatlah lakukan."


"Diam, Ibu! Dan berhenti diam-diam merekam juga!"

Pacarku benar-benar tidak menahan diri meski di depan orang tuaku. Ibu dengan lihainya menggunakan dua ponsel sekaligus untuk merekam dan memotret. Ayah, seperti biasa, sama sekali tidak berguna.


Dikelilingi oleh tiga orang seperti itu, aku merayakan hari istimewaku. Ribut, gaduh, berisik… tapi juga ulang tahun paling meriah, paling menyenangkan, dan paling membahagiakan sepanjang hidupku. Aku yakin, hari istimewa ini tidak akan pernah kulupakan seumur hidup.



Berkat Ibu, suasana memang berisik, tapi tetap terasa hangat. Setelah cukup lama, waktunya pun tiba untuk mengakhiri acara. Aku dan Mikami-san membereskan meja bersama.


"Maaf ya, Mikami-san, suasananya terlalu gaduh."


"Tidak apa-apa. Aku justru senang. Ulang tahun hanya sekali dalam setahun, jadi sepadan kalau dirayakan dengan semeriah ini."


"…Aku ingin setuju, tapi Ibu memang kebablasan. Dia jelas menyukai-mu. Kamu tidak merasa terganggu dengan semua usilnya, kan?"


"Terganggu? Sama sekali tidak. Aku justru merasa senang karena begitu disayangi. Oh iya, kami bahkan sudah berjanji akan melihat album masa kecil Kirishima-san bersama-sama nanti."


"Apa-apaan itu? Ibu, jangan buat janji aneh-aneh. Malu sekali, tahu!"


"Melihat catatan pertumbuhan Kirishima-san… sepertinya akan sangat menyenangkan."


Aku sama sekali tidak diberi tahu, dan sekarang hubungan mereka sudah seperti teman dekat saja.


Yah, masih lebih baik daripada jadi hubungan yang buruk sih, tapi… Ibu dan Mikami-san, ya. Kalau digabungkan, jelas berbahaya.


"Selain itu, Kirishima-san kan hari ini yang jadi pemeran utama. Jadi tidak perlu repot-repot beres-beres, kok. Atau jangan-jangan… karena bahkan sesaat pun tidak ingin berpisah dariku, begitu maksudnya?"


"Ya, bisa dibilang begitu juga. Soalnya kau terlihat lebih akrab dengan Ibu dari yang kukira, jadi aku sempat agak cemburu."


"Mya!? A-aduuh… Kirishima-san itu, selalu saja begitu…! Nanti gara-gara senang aku malah nangis dan memanggil Mirei-san, tahu?"


"Itu kan kamu sendiri yang memancing. Jangan malah marah-marah karena malu."


Sepertinya Mikami-san hanya berniat menggoda sedikit, tapi jujur saja aku memang merasa agak kesepian. Jadi ini bukan serangan balasan, melainkan perasaan tulusku.


Memang menyenangkan melihatnya akrab dengan Ibu, tapi faktanya aku tidak bisa leluasa bersamanya karena Ibu sering sekali “merebut” Mikami-san. Itu membuatku cemburu. 


Wajah Mikami-san memerah karena malu, ia menepuk-nepuk dadaku dengan tangannya, lalu mendorongku kembali dari dapur ke ruang tamu. Di sana, Ayah sudah menunggu dengan membawa sebuah tas kertas besar berisi kotak, tampak seperti hadiah.


"Rei, ini hadiah dariku."


"Ini… game?"


"Terus terang, Ayah tidak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan… 

jadi berpikir sederhana saja, anak laki-laki biasanya suka game. Anggap saja pilihan aman."


"Ya, game console memang banyak diinginkan orang. Terima kasih, aku senang kok."


"Untuk softwarenya Ayah tidak terlalu paham, jadi beli beberapa yang katanya populer. Ada juga yang bisa multiplayer, jadi bisa dimainkan bersama Hina-san. Tapi jangan sampai kebablasan main game, ya. Jangan sampai siang-malam terbalik atau nilaimu turun."


"Aku tahu kok. Aku akan main secukupnya bersama Mikami-san."


Game, ya. Memang bukan pertama kalinya aku punya, tapi kali ini diberikan dalam situasi aku tinggal sendiri, tanpa pengawasan orang tua. Bisa dibilang ini tanda kepercayaan dari mereka.


Artinya aku harus bisa menjaga diri: tidak berlebihan, tidak mengorbankan nilai. Kalau mereka percaya aku bisa menepati itu, maka aku pun harus membalas dengan menjaga janji.


Meski begitu, kurasa yang lebih semangat dengan game console ini nanti justru Mikami-san. Soalnya game mudah dijadikan ajang kompetisi, dan aku punya firasat dia akan sering memanfaatkannya. Yah, setidaknya kami akan menikmatinya bersama secukupnya.


"Kalau Ayah sudah kasih hadiah, berarti Ibu juga ada sesuatu, kan?"


"Aku tadinya mau kasih ‘kupon bantuan darurat’, semacam janji kalau Rei kesulitan saat hidup sendiri, Ibu akan datang membantu. Tapi… dengan adanya Hina-chan, sepertinya tidak perlu lagi."


"Itu sangat spesifik dan praktis, sih."


"Memang pekerjaan rumah ditangani Hina-chan, kan? Tapi jangan 

serahkan semua padanya. Rei juga harus membantu, ya?"


"Aku tahu, kok. Memangnya Ibu siapa… oh iya, memang Ibu, sih."


Kupikir dia terdengar seperti ibu-ibu pada umumnya, ternyata memang Ibu sendiri. Memberi nasihat ala orang tua sih tidak masalah, tapi kalau begitu, hadiahnya sendiri apa?


"Begini saja, hadiah dariku… sementara kutunda dulu. Tapi sebelum liburan musim panas berakhir, pasti Ibu siapkan untukmu."


"Yah, tidak apa-apa sih… tapi jangan sampai ngirimin barang aneh, ya?"


"Ara, Ara-ara, kalau kau bilang begitu, malah jadi ingin mengirimi yang aneh, tahu?"


"Maaf, serius, jangan!"


"Tenang saja. Ibu akan pastikan hadiahnya sesuatu yang pasti membuatmu senang. Jadi tunggu saja, ya."


"…Baiklah."


Berbeda dengan Ayah yang memberikan hadiah aman, Ibu lebih suka pakai ide aneh-aneh. Itu yang membuatku sulit menebak dan agak takut. Tapi karena katanya pasti diberi saat liburan musim panas, aku putuskan untuk menunggu saja tanpa banyak berharap.


"Kalau begitu, kami pamit dulu, ya."


"Sudah mau pulang?"


"Ya dong. Soalnya wajahmu sudah jelas-jelas ingin segera berduaan dengan Hina-chan."

"Tidak juga."


"Oh ya? Tapi dalam hati pasti berpikir begitu, kan?"


"…Yah, tidak bisa disangkal juga."


Memang aku sedikit punya pikiran seperti itu, tapi bukan berarti aku benar-benar ingin cepat-cepat mengusir orang tuaku yang sudah datang jauh-jauh untuk merayakan ulang tahunku.


"Bagaimanapun, kalau kami terlalu lama di sini juga tidak enak buat kalian berdua."


Sepertinya mereka malah jadi sungkan.


"Kalau begitu, sampai jumpa lagi, Hina-chan. Lain kali kalau Rei pulang kampung, ikutlah bersamanya."


"Ya! Dengan senang hati!"


Melihat keduanya saling berjanji begitu, aku sadar betapa akrabnya mereka sekarang.


"Rei, lakukan yang terbaik, ya."


"Iya, Ayah."


Singkat, tapi aku tahu betul ada banyak makna dalam ucapannya.


Aku menatap mata Ayah, lalu mengangguk mantap.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close