NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kokoroni Kizuwo Ottamonodoshi Bakkapuru Nintei V2 Chapter 2

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 2

Kecemburuan Putri Salju


"Hmm…"


Matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, dan kicauan burung membangunkan Takashi dari tidurnya.


Saat mengecek jam di ponsel, ternyata masih lebih pagi dari biasanya, dan di sampingnya Marika tertidur dengan napas teratur.


Tadi malam dia bilang, "Aku kepikiran Kana-san, jadi aku ingin tidur bareng," dan akhirnya mereka tidur di ranjang yang sama.


Memang Takashi yang mengangkat topik tentang Kana, dan kalau tidak dituruti, Marika pasti akan merengek. Karena itu, mau tak mau dia mengalah dan tidur bersama.


"Sudah pagi. Bangun, yuk."


Takashi menggoyangkan bahu Marika, tapi dia tak juga bangun.


Mungkin karena meskipun bersama Takashi, kenangan tentang Kana masih menghantuinya, jadi dia sulit tidur dan baru bisa tidur larut malam.


Tapi sepertinya bukan berarti dia tidak tidur sama sekali, jadi harusnya sebentar lagi dia bangun.


"Ayo, bangun."


Takashi biasanya mengandalkan Marika untuk urusan masak, jadi dia ingin Marika segera bangun dan memasak sarapan.


Meski bangunnya sedikit lebih awal dari biasanya, tapi dari sudut pandang Marika, itu bisa jadi sudah agak terlambat untuk menyiapkan sarapan.


Kalau terpaksa, dia masih bisa makan mi instan, tapi tentu saja dia lebih ingin makan makanan enak.


"Nggak bisa dibangunin..."


Padahal biasanya dia sudah bangun pada jam segini. Tapi menggoyang tubuhnya sedikit saja tidak cukup untuk membuatnya bangun—Marika tidur lelap.


"Kana... san…"


Sepertinya Kana muncul dalam mimpinya. Nama itu keluar dari bibir Marika, disertai tetesan air mata. Dia mungkin sedang merasakan kesedihan bahkan dalam mimpi.


Kalau begitu, lebih baik membangunkannya sekarang. Tapi meskipun tubuhnya digoyang, dia tetap tidak bangun.


"Marika…"


Takashi mengelus kepala Marika dengan lembut.


Meski dia pernah menolak perasaannya, tetap saja Marika adalah teman masa kecil yang sangat berharga.


Kalau bisa, dia ingin Marika bahagia. Kalau dibiarkan begini terus, Marika akan terus terperangkap dalam "ikatan" itu.


Kalau terus terikat, dia akan terus menekan kebahagiaannya sendiri demi tetap menjadi "kakak" bagi Takashi.


Kalau hanya menjadi seperti kakak, mungkin masih bisa ditoleransi… tapi kalau sampai mengorbankan kebahagiaannya sendiri, itu tidak baik.


"Yah, sepertinya sudah waktunya…"


Takashi mengambil ponsel dan mengirim pesan ke seseorang.


Dia merasa bertanggung jawab juga karena belum benar-benar melepaskan ikatan dengan Marika, jadi kali ini dia mencoba "terapi kejut."


Entah hasilnya akan seperti apa, tapi mencoba tetap lebih baik daripada diam saja.


[Aku akan segera ke sana]


Balasannya datang dengan cepat. Itu artinya dia akan segera sampai di rumah ini.


Meski alasan utamanya bukan untuk membangunkan Marika, tapi lebih kepada "mengobati" belenggu batin yang mengikatnya.


Takashi pun bangkit dari tempat tidur dan berganti pakaian, karena rasanya tidak pantas menyambut tamu hanya dengan piyama.


"Ma-maaf membuatmu menunggu… huh?"


Sekitar sepuluh menit setelah pesan balasan itu datang, Himeno muncul di depan rumah Takashi, mengenakan seragam sekolah.


Dia tampak bingung, sedikit memiringkan kepala, lalu menggenggam lengan Takashi.


"Tak-kun, kamu… baunya harum cewek banget, tahu…"


Dengan pipi yang memerah karena malu, Himeno menyandarkan wajahnya ke dada Takashi, lalu mengendus-endus dengan pelan.


"Cewek-cewek di sekitarku punya indra penciuman selevel anjing…"


Baik Marika maupun Himeno, mereka berdua sepertinya terlalu peka terhadap aroma tubuh.


Rasanya seperti pacar yang mencium bau selingkuh dari pasangannya. Padahal Takashi tidak sedang pacaran dengan siapa pun, dan juga tidak punya hubungan aneh dengan siapa-siapa.


"Mungkin tadi kamu bareng sama Shikibu-san, ya? Tapi biasanya nggak sampai seharum ini, lho."


Karena semalam mereka tidur berdampingan, aroma tubuh Marika pasti menempel di Takashi.


Mereka memang semakin akrab akhir-akhir ini, bahkan sempat saling berciuman di pipi—hubungan mereka cukup dekat.


Mungkin karena itu Himeno merasa sedikit... tidak nyaman.

Mungkin dia tidak sadar perasaannya sendiri, tapi ucapan dan sikapnya tampak seperti cemburu.


"Kalau begitu… aku akan menutupi bau Shikibu-san dengan bauku sendiri…"


Dia masih menyandarkan wajahnya di dada Takashi, mungkin untuk menyembunyikan wajahnya yang benar-benar merah. Sangat imut.


Takashi benar-benar tidak menyangka dia bisa cemburu seperti ini.


Saat Himeno memeluknya dan melingkarkan tangannya ke punggung, Takashi bisa merasakan betapa kuat pelukannya, meski tubuh Himeno tampak ramping dan mungil.


"Tak-kun harus jadi pasangan mesra bersamaku. Jadi, jangan terlalu akrab sama cewek lain."


Nada bicaranya seolah dia tidak ingin Takashi dekat dengan perempuan lain.


"Walaupun luka di hatimu sudah sembuh, aku masih butuh Tak-kun. Jadi, aku nggak mau kamu menjauh dariku."


Karena tahu Takashi habis bersama Marika, mungkin Himeno mengira luka lama Takashi sudah mulai sembuh. Dan memang benar, setelah jatuh cinta pada Himeno, hatinya jauh lebih tenang.


"Baiklah."


Takashi mengelus kepala Himeno dengan lembut.


Marika tetap penting, tapi dia sudah berjanji akan bersama Himeno. Maka, Himeno harus menjadi prioritasnya.



"Tak-kun, kamu kenapa sih?"


Tiba-tiba Marika muncul, berjalan ke arah mereka dengan mata yang masih mengantuk, menggosok-gosok matanya.


"Jadi kamu beneran tidur bareng sama Shikibu-san, ya…"


Himeno bicara dengan nada sedikit sebal, seperti gadis tsundere yang lagi ngambek. Tapi dia tetap tidak melepaskan pelukannya. Malah, dia memeluk Takashi lebih erat.


"Shirayuki-san…"


Sepertinya Marika baru sadar bahwa Himeno ada di sana setelah rasa kantuknya mulai hilang.


"Kamu kan udah nolak Tak-kun. Tapi sekarang tidur bareng dia? Aneh, nggak sih?"


Himeno masih suka mengeluarkan kata-kata yang agak tajam pada Marika.


Takashi ingin mereka bisa akur sebagai sesama perempuan, tapi dari sudut pandang Himeno, ini tidak bisa diterima.


"Ya ampun, soalnya aku kakaknya, kan? Kakak-adik tidur bareng tuh biasa aja, ‘kan?"


"Bukan kakak-adik, kalian itu teman masa kecil."


"Lagian, kalian berdua juga pernah tidur bareng padahal belum pacaran, ‘kan?"


Memang betul. Mereka beberapa kali tidur bersama, terutama setelah Himeno sempat di-bully dan Takashi menemaninya.


Marika ingin tetap menjadi kakak, sedangkan Himeno ingin menjadi seseorang yang menyembuhkan luka Takashi.


Memiliki dua perempuan yang menyayanginya adalah hal yang baik, tapi kalau berujung jadi pertengkaran, itu justru masalah.


"Sudah, tenang dulu."


Takashi masuk di antara mereka untuk menengahi, walau dia memang sudah berdiri di antara mereka sejak awal.


"Soalnya... walaupun tidur sama Shikibu-san... Tak-kun pasti malah makin sedih..."


Air mata mulai menetes dari mata biru Himeno.


Memang benar, tidur bersama orang yang pernah menolak kita bisa jadi sangat menyakitkan.


"Gak apa-apa, kok."


Takashi pun mengelus kepala Himeno, mencoba menenangkan perasaannya.


Sebenarnya rencana awalnya adalah memperlihatkan hubungan akrab dengan Himeno agar bisa mengguncang Marika dan membuatnya berhenti bertingkah seperti kakak, tapi entah kenapa, yang terluka justru Himeno.


"Kalian berdua beneran nggak pacaran, ‘kan? Kamu cuma nemenin Shirayuki-san biar dia nggak dibully, kan?"


"Benar."


Karena mereka benar-benar tampak seperti pasangan mesra, tak heran jika orang-orang—termasuk Marika—menganggap mereka benar-benar pacaran.


Faktanya, sejak disebut-sebut sebagai pasangan, Himeno berhenti dibully, dan siapa tahu luka di hatinya juga perlahan sembuh.


Kalau mereka berdua sudah sembuh dari luka masing-masing, maka alasan untuk terus bersama pun akan hilang, dan mungkin itu akan terasa menyedihkan.


"Itulah kenapa Tak-kun harus tetap bersamaku. Bukan denganmu yang sudah menolaknya."


Dulu, Himeno bukanlah tipe yang berani berbicara sejelas itu, apalagi sampai menangis karena dibully. Tapi akhir-akhir ini dia mulai bisa menyampaikan hal-hal yang tidak dia sukai.


Kalau dari awal dia bisa bicara dengan tegas, mungkin dia takkan perlu menangis. Tapi karena sekarang dia bisa melakukannya setelah bersama Takashi, itu berarti keberadaannya memang berarti untuknya.


"…Kalian udah saling suka, ya."


Marika berbisik pelan sambil menatap mereka.


"Aku ganti baju dan masak sarapan dulu, ya."


Sambil meregangkan tubuh, Marika lalu meninggalkan rumah Takashi dan kembali ke rumahnya sendiri.


(Aku merasa seperti ini pernah terjadi sebelumnya…)


Setelah Marika kembali dan selesai memasak, saat mereka hendak makan, entah kenapa dua gadis itu duduk di sisi kiri dan kanan Takashi.


Dua gadis itu, tentu saja, adalah Himeno dan Marika. Takashi bisa menebak mereka akan saling berebut untuk menyuapinya dengan makanan.


Sebenarnya, meja makan itu idealnya hanya untuk dua orang yang duduk berdampingan, tapi sekarang bertiga, membuat suasananya sangat sempit.


Meski dari sudut pandang cowok, dikelilingi dua gadis cantik adalah situasi yang bisa bikin iri, anehnya sekarang Takashi tidak merasa senang sama sekali.


"Onee-chan bakal manjain habis-habisan, ya. A~an."


Marika menusuk bacon dengan garpu dan menyodorkannya ke mulut Takashi.


Wajahnya penuh senyum, tampak jelas bahwa dia ingin sekali Takashi menyantapnya. Kalau Takashi menolak, dia pasti akan kecewa.


"Itu semua karena kamu seperti itu, jadi luka Tak-kun nggak sembuh-sembuh. Aan", tapi sepertinya tidak ada gunanya melarang.


Karena jelas-jelas mereka berdua benar-benar ingin menyuapinya.


Kalau di masa pubertas, disuapi seperti itu mungkin menyenangkan, tapi ternyata semuanya tergantung situasi juga.


"Tak-kun, tolong letakkan tanganmu di bahuku atau pinggangku."


Himeno mengambil tangan Takashi yang masih bingung memilih, dan meletakkannya di pinggangnya sendiri.


Mungkin karena tangannya masih memegang garpu, jadi sulit kalau ingin meletakkan tangan di bahunya.


"Aku juga mau dipeluk, dong. Manja sama Onee-chan, ya."


Takashi pun harus merangkul pinggang Marika juga. Padahal dia sama sekali tidak menginginkan situasi harem seperti ini, tapi dua gadis itu sama sekali tidak mau mengalah, jadi dia tidak bisa berbuat apa-apa.


Sebenarnya, Himeno adalah tipe yang sangat pemalu bila bersentuhan dengan lawan jenis. Tapi kali ini, karena dia ingin bersaing dengan Marika, rasa malu itu seolah lenyap.


Dan entah kenapa, Takashi merasa seolah harus memilih salah satu dari mereka sebagai yang utama—meski itu mungkin cuma perasaannya saja.


Yang jelas, dia ingin situasi ini cepat berakhir dan berangkat ke sekolah.


Manggil Himeno ke rumah tadi pagi ternyata hanya menyulut persaingan dua gadis itu.


"Aku harus makan semua ini dengan cara disuapin, ya?"


Karena kedua tangannya sedang memeluk mereka, dia tidak bisa memegang alat makan sendiri. Artinya, dia harus makan dengan "a~an".


"Tentu saja."


"Benar. Dimanja sama kakak adalah kewajiban seorang adik."


Sepertinya mereka akan terus seperti ini sampai sarapan selesai. Meski begitu, Takashi merasa aneh karena baru kali ini mendengar kalau "dimanja" itu kewajiban seorang adik.


"Ayo, ayo, aan, deesu."


Keduanya serempak menyuapkan makanan ke mulut Takashi.

Akhirnya, dia harus menyantap bacon dan salad sekaligus.


(Tolong... tolong hentikan situasi ini...)


Mungkin Takashi sendiri juga salah karena tidak bisa menolak salah satu dari mereka, dan itu yang memperparah keadaan. Tapi kalau dia menolak salah satunya, pasti ada yang akan terluka.


Sebenarnya, karena sekarang dia menyukai Himeno, akan lebih masuk akal kalau dia menolak Marika. Tapi jika ditolak, Marika bisa saja makin terpuruk dalam belenggu rasa bersalah.


Kalau Takashi menolaknya, Marika mungkin akan berpikir, "Yang membunuh Kana-san adalah aku. Sekarang aku juga tidak dibutuhkan lagi karena dia sudah tidak suka padaku…" dan itu bisa menghancurkan mentalnya.


Meski perasaan cintanya sudah memudar, fakta bahwa Marika adalah sahabat masa kecil yang berharga tidak berubah, jadi Takashi tidak ingin membuatnya menderita lebih dari ini.


Satu-satunya hal yang bisa dibilang menyenangkan adalah Himeno—yang biasanya sangat pemalu, kali ini menunjukkan rasa bersaing yang kuat dan mendekat dengan cukup agresif.


Marika juga tampaknya membalas rasa saing itu. Padahal dulu dia tidak pernah begitu menempel seperti sekarang, tapi kini ia jadi sering menempelkan diri, sampai-sampai terasa seperti ia memiliki perasaan cinta.


Takashi sempat berpikir kalau memanggil Himeno itu sia-sia, tapi untuk sekarang, dia hanya ingin segera menyelesaikan makan dan keluar dari situasi rumit ini.


"Tak-kun. Peluk, ya."


Saat mereka hendak berangkat ke sekolah setelah sarapan, Himeno tiba-tiba memeluk lengan Takashi.


Marika sudah duluan berangkat ke sekolah, jadi mungkin karena tidak ada yang melihat, sedikit rasa malu Himeno kembali—pipinya merah merona—tapi dia tetap tidak berhenti menempel.


Mereka harus berpura-pura sebagai pasangan mesra di luar, jadi lengket seperti ini mungkin hal yang baik. Meski tetap saja, terlalu lengket itu bikin malu.


Alasan Marika berangkat lebih dulu mungkin karena dia ingin memastikan agar Himeno tidak dibully lagi.


"Seperti yang aku bilang, aroma Shikibu-san harus dihapus dengan aroma dariku."


Tiba-tiba jantung Takashi berdebar.


Takashi tidak tahu pasti kenapa Himeno menunjukkan rasa bersaing sebesar ini, tapi kemungkinan besar, itu karena dia tahu jika mereka berpisah, lukanya tidak akan sembuh.


Kalau mereka menjauh, pasti akan ada laki-laki lain yang mencoba mendekati Himeno lagi, dan bisa jadi bullying pun dimulai kembali.


Himeno tidak ingin hal itu terjadi, itulah sebabnya dia begitu ngotot. Kalau bukan karena itu, dia pasti tidak akan mendekat sedekat ini.


"Dan, aku belum pernah kena aroma cowok lain selain kamu, Tak-kun…"


Nada bicaranya terdengar seolah dia ingin membuatnya merasa istimewa.


Mungkin selama ini Himeno telah belajar lewat internet atau media lain tentang bagaimana menjaga agar Takashi tetap berada di sisinya.


Mempersiapkan strategi agar tidak dibully lagi jelas keputusan yang cerdas.


"Andai saja aku yang jadi teman masa kecil Tak-kun…"


Cara bicaranya itu seakan menyiratkan: kalau aku yang dari awal bersama Tak-kun, aku pasti nggak akan menolaknya…


"Jangan. Mending jangan."


"Kenapa memang?"


"Pasti bakal nyakitin."


Kalau Himeno adalah sahabat masa kecilnya, mungkin dia bisa mencegah kematian Kana. Tapi sebaliknya, bisa saja dia malah jadi terikat oleh beban dan rasa bersalah seperti Marika.


Dulu Himeno pernah bilang kalau dia tidak ingin berutang budi atau terikat, jadi Takashi bisa membayangkan dia akan terjebak dalam kondisi yang sama.


"Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi pasti ada sesuatu antara kamu dan Shikibu-san, ya? Itu sebabnya dia memaksakan diri jadi ‘kakak’ untukmu… benar begitu?"


"Iya. Aku nggak bisa jelaskan, tapi kamu benar."


Memang bukan hal yang bisa dibicarakan tanpa izin Marika. Tapi karena tidak bisa menyangkal, Takashi hanya mengiyakan.


Setelah membahas soal bullying yang dialami Himeno, mungkin suatu hari nanti Takashi juga perlu bicara tentang masa lalu Marika..


"Kalau nanti kamu siap, ceritain aja ke aku, ya."


"Makasih. Aku senang kamu ada, Himeno."


Himeno tersenyum sambil berkata "ehehe~", dan itu terlihat sangat manis.


Rasa bersaing Himeno memang membuatnya jadi lebih agresif, tapi senyum alaminya tetaplah yang paling manis dan paling Takashi sukai.


"Kalau di luar, Shikibu-san nggak ikut-ikut, ya. Kalau begitu… kita bisa makin dekat kalau sering jalan bareng…"


Kalimat terakhirnya terdengar samar, mungkin karena malu.


Mungkin karena Marika tidak ikut, dan tidak ada tekanan sosial, Himeno jadi lebih nyaman.


Meskipun kemungkinan dipandang sebagai pasangan mesra di depan umum membuatnya malu, hal itu justru punya makna tersendiri.


Kalau bisa, Takashi ingin hubungan mereka tidak berhenti hanya sebagai sandiwara.


"Aku pengen… jadi orang yang paling dekat sama Tak-kun."


Itu terdengar seperti pengakuan langsung. Seolah Himeno ingin bilang: lebih dari Marika, aku yang harus dekat denganmu.


Bisa akrab dengan orang yang disukai itu hal yang sangat menyenangkan, tapi jika semua ini hanya karena dia tidak ingin dibully, Takashi merasa sedikit sedih.


Kalau begitu, sebelum lukanya sembuh, dia harus bisa membuat Himeno benar-benar jatuh cinta padanya. Kalau tidak, hubungan ini hanya akan jadi sementara.


"Aku juga pengen dekat sama kamu."


Kalau ingin membuatnya jatuh cinta, tentu saja dia harus mempererat hubungan ini.


Dan kalau sampai mereka benar-benar jadi pasangan, mungkin Marika juga bisa melepaskan beban ‘kakak’ yang selama ini mengikatnya. Beban itu bisa sedikit berkurang.


"Makasih."


Senyuman Himeno punya daya rusak luar biasa. Untuk melindungi senyuman itu, Takashi harus tetap berada di sisinya.


Dia tak boleh membiarkan bullying terjadi lagi.

Dia tak ingin orang yang dicintainya terluka.


"Nanti… aku pengen jalan-jalan lagi berdua sama Tak-kun."


"Tentu."


Takashi langsung menyetujui permintaan Himeno.


Kalau mereka terus kencan, hubungan palsu ini bisa berkembang jadi hubungan nyata. Kalau sudah begitu, bullying bisa benar-benar hilang.


Kalau mereka akhirnya pacaran, hubungan ini takkan lagi bersifat sementara—mereka bisa merasakan kebahagiaan yang sejati.


Hubungan palsu yang berakhir begitu saja hanya akan menyisakan rasa sakit.


"Senangnya…"


Karena Marika sudah pergi cukup lama, rasa malu Himeno mulai kembali dan pipinya kembali memerah. Tapi dia tetap enggan melepas pelukannya dan terlihat senang karena tahu mereka akan jalan-jalan lagi.


Sekarang juga sudah banyak orang di sekitar mereka. Dia mungkin berpikir kalau tiba-tiba menjauh sekarang, orang-orang akan curiga.


Meski ini kebahagiaan semu dari hubungan palsu, Takashi memutuskan untuk menikmati momen ini selama masih bisa.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close