NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukouna kanojo to, Kanojo no Heya de shiteru koto [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 2

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 2

Senpai yang Misterius


Langit cerah membentang luas, matahari yang sudah berhenti menampilkan wajah musim semi yang polos kini bersinar kuat sejak pagi, seakan melakukan gladi resik lebih awal untuk musim berikutnya.


Di dalam sekolah yang riuh seakan tak kenal apa itu sindrom Mei. Namun, kelas 1-3 langsung diselimuti keheningan begitu Takumi masuk.


"…………"


Meski begitu, itu hanya sesaat. Obrolan pun segera berlanjut kembali.


Takumi melirik sekeliling, memastikan tak ada yang menoleh padanya, lalu menuju bangkunya.


Meski sudah terbiasa naik kereta ke sekolah, ia masih belum terbiasa dengan reaksi ini.


Takumi jelas terlihat terasing. Sepertinya ia dianggap sebagai orang dengan perilaku buruk, meski tidak sampai disebut berandalan.


Ia melihat wajahnya yang terpantul di kaca jendela dan mengernyitkan alis.


Dari ibunya, ia mewarisi darah dengan pigmen cukup pucat untuk ukuran orang Jepang. 


Rambutnya cokelat kusam alami, tapi dipadukan dengan tatapan matanya yang tajam sejak kecil, dari luar ia tampak seperti seseorang yang ingin terlihat nakal dan sengaja mewarnai rambutnya. 


Mengingat sekolah Misagi adalah sekolah bergengsi, wajar bila ia terlihat seperti spesies langka.


Selain itu, salam perkenalannya saat masuk sekolah juga buruk.


Karena gugup, malam sebelumnya ia sulit tidur dan keesokan harinya memancarkan aura murung akibat kurang tidur. Ditambah sifat pendiamnya, sapaan singkatnya "……ssu" terdengar seperti menakut-nakuti orang di sekeliling.


Dipadukan dengan penampilannya, wajar bila ia dijauhi.


Kalau saja ia punya kemampuan komunikasi untuk memperbaiki citra dengan obrolan ringan dan segera mendapat teman, tentu masa SD dan SMP-nya tak akan dihabiskan dengan kesepian.


Untuk menekankan kesan kalau ia sebenarnya orang serius dan tak berbahaya, saat jam istirahat ia sering membuka buku pelajaran dan pura-pura belajar.


Namun dari Kotori, ia tahu kalau orang-orang justru mengira ia tidak mengerjakan PR di rumah dan selalu terburu-buru menyelesaikannya di sekolah. Benar-benar berbalik arah.


Sejak itu ia mulai membaca novel atau pergi ke perpustakaan, tapi sejauh ini hasilnya belum jelas.


Saat Takumi sedang menghela napas dalam hati, suara pintu yang digeser keras terdengar.


Ia menoleh dan tampak Kotori baru datang.


"Ah, Nabacchi, pagi~"

"Futaba kemarin ngeluarin menu baru, rasanya kebanyakan stroberi nggak sih!?"

"Kalau menurutku lebih enak kalau stroberinya lebih berasa, meski tanpa susu. Kalau Kotori-chan?"

"Mm, biasa aja……"


Berbeda dengan Takumi yang terus melaju di jalur kesendirian, Kotori langsung dikerumuni para gadis begitu tiba.


Pertanyaan soal menu baru Futaba pun bertubi-tubi diarahkan padanya. Namun ia hanya menjawab singkat dengan ekspresi datar, seperti "Gitu ya?", "Mungkin", "Lumayan."


Balasan yang sekilas terkesan dingin itu justru diterima sebagai ciri khasnya. 


"Nabacchi tuh kayaknya selalu tahu trend, tapi nggak gampang hanyut sama yang lagi ramai," atau "Dia lebih suka nemuin sesuatu yang benar-benar bikin jatuh hati."


Bahkan teman-teman sekelas lain yang ikut mendengar berbisik kagum, "Nabata-san tuh kayak punya pendirian kuat," atau "Keren ya, nggak gampang kebawa arus." 


Ia pun makin dipandang sebagai sosok "Putri Es yang anggun."


Padahal kenyataannya, Kotori kemarin memang ke Futaba, tapi saking gugupnya ia tak bisa merasakan rasanya dengan benar. Takumi bahkan bisa melihat matanya melirik gelisah setiap kali topik Futaba dibicarakan.


Saat itu, tanpa sengaja mata Takumi dan Kotori bertemu. 


Kotori yang menyadarinya segera berkedip, lalu sedikit canggung memalingkan wajah.


Gadis-gadis di sekitarnya sama sekali tak menyadari hal itu, tetap asyik ngobrol dan tertawa.


Dari luar, ia hanya tampak tenang, memberi balasan singkat dengan sikap cool.


Namun berbeda dengan waktu SMP dulu, kini ia sudah berada di tengah lingkaran pertemanan. Hal itu membuat Takumi menyipitkan mata, silau melihatnya.


Di tengah pelajaran, Takumi terus memikirkan Kotori.


Di masa SMP, ia selalu gugup, jarang bicara, dan malah terisolasi. Kini, meski caranya berbeda, ia sudah bisa berada di tengah lingkaran. Takumi tak bisa menahan rasa iri.


Toh, Takumi sendiri sebenarnya tidak suka sendirian.


Sejak kecil, karena wajahnya, ia dijauhi teman sebaya. Saat anak-anak lain bermain bersama, ia hanya bisa menonton dari jauh.


Bermain sendirian itu membosankan. Hari-harinya hanya dipenuhi rasa iri melihat mereka. Setiap kali mencoba mendekat, anak-anak lain langsung kabur.


Kalaupun ada yang mau mendengar, sifat pendiamnya membuat komunikasi tersendat, akhirnya ia kembali ditinggalkan.


(……Acchan, ya)


Namun dulu, ada satu orang yang mau meraih tangannya.


Orang itu tidak peduli pada wajah atau kekurangannya dalam bicara. Ia selalu menjadi pusat permainan anak-anak, seorang "ketua geng kecil."


Takumi masih ingat betul, wajah dan tubuhnya selalu penuh luka kecil.


Mereka bermain di taman dan perumahan sekitar: main kasti kaleng, petak umpet, lompat tali, bahkan "daruma-san ga koronda."


Di tepi sungai, mereka pernah lomba lempar batu pipih atau mencari semanggi berdaun empat.


Permainan lama tanpa alat, tapi selalu seru karena semua bergerak bersama. Takumi pun bisa ikut masuk ke lingkaran tanpa banyak bicara.


Itulah awal juga ia bisa akrab dengan Kotori, yang sama-sama pendiam sejak dulu.


Tapi suatu hari, Acchan harus pindah rumah mendadak.


Seiring kepergiannya, lingkaran bermain itu pun bubar.


Tanpa Acchan, Takumi dan Kotori kembali terisolasi.


Meski begitu, kenangan bermain bersama di lingkaran itu masih berkilau dalam hatinya. Karena itulah ia masih punya keinginan untuk bisa kembali masuk ke dalam lingkaran pertemanan.


"Takumi kan larinya kenceng, coba ikut atletik aja."


Bagi Takumi, Acchan sudah seperti penyelamat. Ia memutuskan ikut atletik juga karena dorongan darinya.


Karena atletik itu olahraga individu, ia tak perlu banyak bicara. Ia bisa berlatih diam-diam, cocok dengan sifatnya. 


Dan di dalam hati, ada harapan kecil: mungkin kalau terus berlari, suatu hari ia akan bertemu Acchan lagi.


Mungkin ia juga akan bisa ditarik kembali ke dalam lingkaran bersama yang lain. Namun tahun lalu, cedera karena kecelakaan memaksanya berhenti dari atletik.


Ia tahu, berharap atletik akan memperbaiki segalanya hanyalah harapan kekanak-kanakan.


Meski begitu, bekas luka di lutut kanannya masih terasa nyeri.


Kini, meski ikut rutinitas Kotori bukanlah bentuk ideal yang ia harapkan, mungkin karena ia merasa Kotori sudah bisa kembali ke dalam lingkaran seperti dulu.


Seolah-olah ia melakukannya menggantikan Takumi yang tak mampu. Takumi melirik Kotori yang sedang mencatat, lalu menelan rasa sesak yang menghimpit dadanya.


Begitu bel istirahat siang berbunyi, sekolah langsung dipenuhi keramaian.


Beberapa teman menggeser meja untuk makan bersama, yang lain berkelompok menuju kantin.


Kotori terlihat membawa bekal bersama kelompok gadis populer. Sepertinya mereka akan makan di taman sekolah atau tempat lain.


Takumi, sambil melirik ke arah itu, berjalan sendirian menuju koperasi sekolah.


Kantin selalu penuh, tapi yang membuatnya enggan adalah fakta kalau kursi di sebelah dan di depannya selalu kosong begitu ia duduk. Itu menyakitkan, jadi ia berhenti ke kantin.


Roti dari koperasi bisa dimakan di mana saja, cocok untuk menyendiri.


Meski koperasi sama ramainya, para siswa terlalu sibuk berebut roti populer sehingga tak ada yang memperhatikannya. 


Itu justru membuatnya nyaman. Sama halnya ia tidak membenci kereta penuh sesak.


Takumi pun ikut berebut, menembus kerumunan.


Beruntung, ia berhasil meraih roti korokke yakisoba terakhir, salah satu yang paling populer. Namun di saat bersamaan, ada tangan lain yang juga meraihnya.


"Ah."


Takumi refleks mengeluarkan suara rendah, tangannya bergetar.


Baru kali ini ia mengalami hal seperti itu. Roti yang susah didapat ini sayang kalau dilepas.


Apa yang harus ia lakukan? Bicarakan baik-baik? Atau adilnya, suit saja?


Saat masih bingung, suara gemetar penuh ketakutan terdengar dari samping.


"Ma-maaf!"


Ia menoleh, tampak seorang siswa laki-laki pucat ketakutan.


Takumi hanya bisa terbata, "Ee, aa……"


Entah bagaimana dimaknainya, siswa itu langsung melepaskan rotinya dan lari terbirit-birit.


Takumi meringis. Bisik-bisik langsung menyebar, menciptakan ruang kosong di sekitarnya.


Bahkan pegawai koperasi pun menatapnya bingung. Kalau begini terus, bisa-bisa ia dituduh mengganggu ketertiban. Lebih cepat pergi akan lebih baik.


Dengan wajah setengah kesal, ia segera membayar lalu meninggalkan tempat itu dengan perasaan tak enak.


Takumi berjalan cepat di koridor, matanya bergerak mengamati sekeliling.


Suasana istirahat siang begitu ramai, sulit menemukan tempat untuk menyendiri.


Para siswa yang lewat pun berjalan menjauh seakan menghindarinya. 


Takumi menghela napas panjang, kepalanya tertunduk. Namun tiba-tiba, ia melihat seseorang berjalan ke arahnya tanpa berusaha menghindar.


Ia mendongak, ternyata seorang siswa laki-laki kelas satu, dilihat dari warna sepatu dan lambang sekolah. Ia berjalan terseok, membawa tiga kotak kardus bertumpuk.


Sepertinya sedang mengangkut perlengkapan. Tidak terlihat berat, tapi ukurannya besar sehingga menutup pandangan ke depan.


Takumi mengerutkan dahi.


Kalau sebagai manusia, seharusnya ia menawarkan bantuan. Lagipula ini bisa jadi kesempatan untuk memulai pertemanan.


Namun berdasarkan pengalaman, ia bisa dengan mudah ditolak atau malah disalahpahami.


Lebih baik tak ikut campur. Mungkin kalau ia menjauh, akan ada orang lain yang menolong.


Saat ia hendak berbalik, tiba-tiba suara ceria terdengar.


"Kelihatannya berat tuh, biar aku bantuin!"

"Eh?"


Seorang siswi dengan senyum cerah tiba-tiba mengambil salah satu kardus.


Dilihat dari sepatu, ia kelas dua. Tubuhnya agak mungil, matanya besar, hidung mancung, rambut semilong lurus berkilau, rok rapi tapi tidak terlalu panjang. 


Ia benar-benar tampak seperti siswi teladan nan anggun. Begitu cantiknya sampai Takumi tertegun.


Bahkan bagi siswa laki-laki biasa, tiba-tiba ditolong gadis secantik itu pasti bikin salah tingkah. Siswa pembawa kardus itu pun ternganga, berkedip cepat.


Gadis itu sedikit memiringkan kepala, bertanya dengan manis.


Ia pun langsung mengangguk-angguk cepat.


Siapa yang bisa menolak bantuan semanis itu?


Takumi yang memperhatikan dari jauh, mendadak merasa iri. Saat wajahnya makin terlihat bengis, tatapannya bertemu dengan gadis itu.


Ah, gawat. Jangan-jangan ia bakal kabur──tapi ternyata gadis itu tersenyum cerah kepadanya juga.


"Kamu juga bantuin, ya!"

"Eh?"


Ia berjalan mendekat dengan langkah ringan dan langsung menyerahkan kardus ke Takumi.


Dengan wajah bengong, Takumi refleks menerimanya, tangan satunya masih memegang roti.


Lalu gadis itu menoleh ke siswa lain, bertanya dengan riang seolah tak ada yang aneh.


"Namaku Aki, kelas dua, Ikoma Akira. Kamu siapa?"

"A-aku Tsutsui, kelas satu."

"Oh, Tsutsui-kun ya. Kalau kamu?"

"H-Hashio……"

"Hashio-kun, ya!"

"……!"


Diperlakukan sama seperti siswa lain, Takumi merasakan jantungnya berdetak kencang. Bukan hanya percakapan biasa, tapi senyum dari senior secantik idol membuatnya makin gugup.


Akira lalu tersenyum ke arah Tsutsui.


"Ini ternyata ringan ya. Isinya apa?"

"K-kain, buat praktik tata boga……eh maksudnya pelajaran keterampilan, bikin celemek……"

"Ooh gitu~. Jadi dibawa ke ruang keterampilan, kan?"

"Y-ya."

"Oke!"


Dan Akira dengan penuh percaya diri mengedipkan sebelah mata, lalu mulai berjalan menuju ruang tata boga.


Gayanya yang terlalu meyakinkan membuat Takumi dan yang lain sampai terpesona tanpa sadar.


Namun, Akira yang berjalan sedikit di depan tiba-tiba berhenti, menyadari mereka belum mengikutinya, lalu menggembungkan pipinya sambil mengeluh.


"Hei, kalian juga cepatlah ikut!"

"Ba,baik!"

"……Oke"


Tsutsui yang terburu-buru bersama Takumi yang sedikit terlambat akhirnya menyusul Akira.


Ia lalu mengangguk dengan santai, seakan-akan berkata bagus begitu, tapi tetap dengan penuh kelucuan.


Kemudian, seakan ingin memulai ulang suasana, ia berbicara dengan nada ceria.


"Apron ya, nostalgia banget~. Aku juga buat waktu kelas satu lho~. Soalnya tiap tahun di pelajaran pertama pasti bikin itu~"

"Begitu ya?"


Tsutsui bertanya sambil mengangguk-angguk, dan Akira menjawab dengan gaya seorang senior.


"Soalnya kan, kalau praktikum masak nggak bisa mulai tanpa apron, kan? Aku sih, kemarin waktu praktikum bikin okonomiyaki, pas coba mengeluarkan sisa saus yang tinggal sedikit, malah muncrat keluar kenceng banget! Untung yang kena apron, jadi bisa dibilang masih aman deh!"

"Ahaha, iya, itu memang kadang bisa kejadian"

"Kalau ngomongin okonomiyaki, waktu bikin di rumah aku pernah ganti kol sama selada. Rasanya renyah segar gitu, enak banget! Kalian ada tahu bahan unik lain gitu nggak?"

"Hmm~ standar sih, tapi mungkin mochi ya?"

"Mochi sering juga aku dengar ya~. Hashio-kun, ada ide nggak?"

"Eh──"


Takumi tak menyangka tiba-tiba disuruh menjawab langsung, kepalanya seketika kosong.


Namun, saat melihat tatapan penuh harap dari Akira, ia tidak bisa mengabaikannya. Ia memaksa diri berpikir keras dan akhirnya berhasil memeras jawaban.


"──…ki, kimchi"


Namun, kata yang keluar hanyalah bahan favorit Takumi sendiri. Jawaban yang agak tidak nyambung itu membuat Akira dan Tsutsui terdiam sesaat.


Takumi langsung menyesalinya dan mengernyit.


"Kimchi ya, pedas-pedas enak gitu. Kalau kimchi dimasukin ke takoyaki juga ternyata lumayan──"


Tapi Akira segera mengubah arah pembicaraan dan melanjutkan obrolan.


Takumi pun bisa bernapas lega.


Setelah itu, Akira bercerita tentang merasa kalah kalau harus pakai alat bantu memasukkan benang ke jarum, atau bagaimana ia salah menjahit hiasan naga yang sudah disiapkan supaya tampak unik, malah terpasang di bagian dalam kain.


Selain itu, ia juga bertanya pada Takumi dan Tsutsui hal-hal ringan, seperti "Kalau pakai jarum suka nusuk jari nggak?", "Kalau kamu pasang aplikasi gambar, mau gambar apa?", dan obrolan terus berlanjut dengan meriah.


Berkat itu, perjalanan menuju ruang tata boga terasa begitu cepat.


Begitu tiba, Akira menurunkan kardus di dekat meja guru, lalu berputar dengan lincah.


"Kalau gitu, sampai sini ya!"


Ia tersenyum manis sambil melambaikan tangan, lalu pergi.


Tsutsui menatap punggungnya dengan wajah penuh rasa sayang sekaligus seperti orang melayang di awang-awang.


Takumi bisa mengerti. Kalau bisa mengobrol dengan gadis secantik itu, pipi siapa pun pasti ikut mengendur.


Mereka berdua sepenuhnya sudah terbawa suasana yang diciptakan oleh senior aneh tapi perhatian itu.


Saat bertemu tatap dengan Tsutsui, ia hanya bisa membalas dengan senyum bodoh.


Namun Takumi terbelalak. Karena bahkan Tsutsui pun, yang biasanya cuek, memperlakukannya seolah-olah ia benar-benar orang biasa.


Takumi membalas dengan senyum samar, lalu cepat-cepat menumpuk barang bawaannya di atas kardus yang ditinggalkan Akira, dan keluar dari ruang tata boga sebelum suasana ajaib yang diciptakan senior itu menghilang.


Sambil berjalan, jantungnya berdebar kencang sampai terasa sakit.


Ia tidak mengerti. Apakah yang disebut "seperti ditipu rubah" itu begini rasanya? Ia mengingat kembali kejadian barusan. Berbicara dengan senior bernama Akira benar-benar menyenangkan.


Obrolan ringan di dalam lingkaran orang lain, ternyata sangat menyenangkan.


Namun di dalam dadanya, masih berputar rasa bingung dan pertanyaan. Dan sedikit rasa rindu entah dari mana.


Dengan bingung, Takumi akhirnya mengucapkan pertanyaan itu dalam hati.


──Tadi, saat bersama Akira-senpai… aku diperlakukan seperti orang normal?


Ada bagian dalam dirinya yang menyangkal, mungkin itu hanya kebetulan.


Tapi sisa kehangatan di dadanya belum juga hilang.


Ungkapan seperti "durian runtuh" atau "keledai keluar dari kendi" terus berputar di kepalanya, dan ia tidak bisa mengatur perasaannya dengan baik.


Yang jelas, ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang senior bernama Ikoma Akira.


Takumi, yang sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya, memutuskan untuk menyelidiki tentangnya. Namun, ia tidak punya teman untuk menanyakannya, apalagi tentang senior perempuan.


Menyadari tindakannya agak nekat, saat jam istirahat berikutnya ia berjalan dengan punggung membungkuk, diam-diam naik ke lantai tempat kelas dua berada.


Untungnya, ia segera menemukan Akira.


Ia sedang menempelkan poster seperti "Kebersihan" dan "Info Kesehatan" di papan pengumuman.


Di sebelahnya ada siswa lain yang juga membawa poster. Sepertinya ia sedang membantu lagi.


Sejak itu, setiap jam istirahat Takumi mencari sosok Akira dan terus mengamatinya.


Di tiap jam istirahat, ia terlihat mengantar lembaran, membawa buku catatan bersama guru ke ruang guru, selalu membantu sesuatu.


Bahkan saat jam pelajaran, ia terlihat dari jendela membawa rompi latihan ke lapangan.


Sepulang sekolah, ia pergi ke ruang OSIS membawa dokumen, lalu ke gedung klub menyerahkan kardus yang tampaknya berisi peralatan pada anak-anak olahraga, bahkan para guru juga sering memintanya bantuan.


Di mana pun di sekolah, ia selalu melakukan hal yang sama seperti siang tadi: membantu orang lain.


Namun, ia tidak tampak bergabung dengan organisasi atau klub tertentu.


Mungkin memang itu sudah sifatnya?


Dari sekeliling terdengar suara: "Terima kasih, Ikoma-san!", "Kamu selalu membantu banget!"


Ada juga murid laki-laki yang menatapnya dengan wajah mabuk kepayang, dan murid perempuan yang menatapnya dengan kagum.


──Malaikat penolong.


Ternyata, Akira memang sepopuler itu sampai dijuluki demikian. Takumi pun merasa julukan itu memang cocok.


Ia memang ingin sekali menyapanya. Tapi ia juga sadar betul dengan bagaimana dirinya dipandang orang lain.


Kalau ia berani menyapa, apa yang akan terjadi?

Ia tidak ingin merepotkannya.


Selain itu, Akira juga terlihat sangat sibuk. Menyapanya tanpa alasan jelas hanya akan mengganggu.


Dan jujur saja, ia sendiri tidak tahu bagaimana harus memulai.


Saat ia tersadar, waktu sudah cukup banyak berlalu.

Sekolah pun mulai sepi.


Meski begitu, hanya dengan mengetahui keberadaan dan sifat Akira saja, hari ini terasa seperti pencapaian besar.


Dengan pikiran itu, ia menuju pintu keluar dan mengganti sepatu.


"……Ugh"


Ternyata hujan deras turun tiba-tiba. Tanpa payung, ia akan basah kuyup kalau keluar.


Takumi hanya bisa berdiri terpaku menatap hujan yang menghantam tanah.


Saat menengadah, langit tertutup awan hitam tebal. Tidak ada tanda-tanda hujan akan reda.


Lalu apa yang harus ia lakukan? Ada beberapa payung di rak payung, tapi ia tidak bisa sembarangan mengambil milik orang lain.


Ia juga tidak bisa menunggu selamanya di sana.


Ia pun bersiap-siap untuk berlari sampai stasiun. Tepat ketika itu, seseorang menepuk bahunya.


"Halo halo, kelihatannya kamu kesusahan karena hujan mendadak ya, adik kelasku"

"!? I-Ikoma-senpai……"


Takumi terkejut sampai tubuhnya tersentak, lalu menoleh.


Di belakangnya berdiri Akira, menyeringai nakal seperti anak kecil yang berhasil usil.


Akira mengulurkan sebuah payung yang agak sederhana.


"Pakai ini aja. Kalau nggak salah kamu yang siang tadi bantu angkat barang…… Hashio-kun si Kimchi!"

"Eh, tapi……"

"Jangan dipikirin. Aku masih punya payung lipat kok. Nanti kamu taruh aja payung ini di rak payung dekat loker kelas dua, kapan-kapan juga nggak apa-apa!"

"……Baik…"


Takumi tidak pernah membayangkan bisa diajak bicara langsung oleh Akira. Kepalanya langsung kosong lagi.


Saat ia masih bingung untuk menjawab, Akira sudah cepat-cepat membuka payung lipat dari tasnya.


"Kalau gitu, daaah!" Ia melambaikan tangan lalu pergi.


Semuanya terjadi begitu cepat.


Kini Takumi hanya berdiri bengong, memegang payung yang baru saja ia terima.


Seumur hidupnya, ia belum pernah dipinjami barang apa pun oleh orang lain.


Ia tidak tahu harus merasa bagaimana. Antara senang, bersyukur, atau bingung, semuanya bercampur.


Namun, yang jelas ia tidak merasa buruk. 


Perlahan rasa hangat menyebar di dadanya, bahkan langkah kakinya terasa ringan, seakan sedang bermimpi.


Tiba-tiba notifikasi ponselnya berbunyi, membawanya kembali ke kenyataan.


"! Kotori……?"


Satu-satunya orang yang biasanya menghubungi Takumi, selain orang tuanya, hanyalah Kotori.


[Tolong! Besok aku harus pakai parfum eau de cologne ke sekolah! Katanya cocok banget buatku, jadi aku dipaksa buat pakai]


Sepertinya, lagi-lagi ada permintaan rutin darinya.


Seperti biasa, Takumi pun pergi ke kamar Kotori untuk menjalankan rutinitas itu.


Hujan sudah reda. Matahari sudah condong jauh ke barat, mewarnai kamar dengan sinar jingga.


Diiringi suara jarum jam weker kesayangan Kotori sejak kecil dan bunyi seragam yang sedang ia rapikan, Kotori kali ini bertanya dengan nada sedikit cemas, hal yang jarang ia lakukan.


"U-um… hari ini, kamu nggak merasa enak, ya?"

"Eh?"


Sampai sekarang belum pernah ditanya seperti itu, membuat Takumi tertegun.


Saat menatap Kotori yang baru saja selesai merapikan pakaian dalamnya, ia melihat gadis itu menunduk dengan wajah muram dan berbisik.


"Entah kenapa hari ini, kau seperti melamun, atau gimana ya…"

"Itu…"


Dada Takumi berdegup kencang. Karena pikirannya penuh dengan Akira, meski berusaha bersikap biasa saja, tak bisa dipungkiri mungkin ada perbedaan dari biasanya.


Tampaknya Kotori yang peka bisa merasakan perbedaan kecil itu.


Dengan keringat dingin mengalir di punggungnya, Takumi menjawab dengan kelancaran yang jarang ia tunjukkan.


"Bukan gitu kok. Dibanding kemarin juga, jumlahnya sama kan?"

"Itu… iya, sih, tapi…"

"Soalnya dua hari berturut-turut, mungkin karena itu."


"Hahaha…" Takumi memaksakan tawa kering. Ia sadar alasan itu terdengar cukup memaksa. Mereka sudah lama dekat, jadi Kotori pasti bisa menebak yang sebenarnya.


"Aku… ada yang aneh ya?"

"Enggak, bukan begitu!"

"Tapi…"


Saat ia berkata dengan mata berkaca-kaca dan arah pembicaraan melenceng, Takumi jadi panik dan meninggikan suara.


Namun ia juga mengerti perasaan Kotori yang rendah diri. Jika dibiarkan, mungkin rutinitas yang selama ini ada bisa goyah.


"…………"

"…………"


Keduanya saling menatap diam-diam.


Takumi tahu kebohongan atau alasan lemah akan cepat ketahuan.


Lagipula, setelah dipikir lagi, ini bukan hal yang perlu disembunyikan.


Dengan pipi memanas karena malu, Takumi akhirnya pelan-pelan menceritakan apa yang terjadi siang tadi.


"Sebenarnya waktu istirahat siang tadi, ada seorang senpai yang mau ngobrol biasa denganku."

"Eh!?"


Kotori membuka mata lebar-lebar, berteriak kaget seakan tak percaya. Lalu dengan cepat ia bertanya bertubi-tubi.


"Itu bukan karena hukuman atau diganggu orang nakal kan!?"

"Ah, enggak. Aku cuma bantuin bawa barang ke ruang tata boga. Di jalan, kami ngobrol soal okonomiyaki pakai selada enak atau enggak, terus aku jawab kalau kimchi juga cocok."

"Waah, itu percakapan orang populer…! Takumi, hebat!"

"Hehe."


Kotori menatap dengan tatapan berbinar penuh rasa iri dan mengatupkan kedua tangannya.


Takumi yang merasa tidak buruk dipuji begitu, menggaruk hidungnya sambil tersenyum malu.


"Terus, senpai itu orang seperti apa?"

"Cewek kelas dua. Keliatan kayak murid teladan, imut juga. Namanya kalau nggak salah Ikoma… Akira, gitu."

"Ikoma Akira… kayaknya pernah dengar namanya."

"Serius!?"


Kali ini Takumi yang langsung mendekat, menatap Kotori penuh harap.


Kotori menyentuh dagunya, mengernyit, lalu membuka mulut sambil mengingat-ingat.


"Dia itu cantik banget, sering bantuin berbagai klub, komite, bahkan OSIS… kalau nggak salah disebut Malaikat Penolong?"

"Ah, iya, itu orangnya. Pantesan terkenal ya."


Takumi mengangguk. Kalau memang sehari-harinya seperti itu, wajar saja tadi ia dengan ramah menawarkan bantuan.


Kotori lalu bergumam dengan nada kagum.


"Tapi aneh juga, ya. Dia bisa ngobrol sama Takumi tanpa takut, apalagi cewek."

"Iya, aku juga kaget banget. Kira-kira bisa ngobrol lagi nggak ya?"

"Mungkin bisa, tapi… jangan terlalu berharap. Bisa aja ada maksud lain."

"……ah."


Mendengar suara Kotori yang agak keras, wajah Takumi langsung kaku.


Kotori buru-buru menambahkan dengan panik.


"A-aku nggak maksud jahat kok! Maksudku, aku juga nggak kenal dia secara pribadi… cuma, aku nggak mau Takumi sampai terluka…"


Itu adalah ucapan yang sebenarnya peduli pada Takumi yang tadi agak terbawa suasana.


Kotori sendiri pernah dikhianati lewat pengakuan palsu dan terluka dalam, jadi ucapannya cukup meyakinkan.


Takumi menarik napas, lalu memaksakan senyum kikuk.


"Aku ngerti kok. Lagi pula, infonya juga masih sedikit, jadi ya kita lihat nanti."

"Iya. Aku juga jadi agak penasaran. Aku bakal coba cari tahu."

"Ah, tolong ya."


Keduanya menarik napas lega.


Kotori lalu menepuk tangannya dengan semangat, mencoba mengubah suasana.


"O-oh iya! Takumi, aku coba pakai eau de cologne itu sebagai latihan. Kau kasih pendapat ya!"

"Aku yang nilai?"

"Iya. Soalnya besok aku harus bilang pendapat orang. Jadi, referensi gitu. Lagipula, selain kau, aku nggak ada yang bisa diandalkan."

"Begitu ya."


Dengan wajah malu-malu, Kotori mengobrak-abrik tasnya lalu mengeluarkan eau de cologne itu.


Sebuah botol kecil berwarna oranye yang terlihat elegan.


Kotori memandanginya sebentar, lalu bersuara mantap. "Baiklah!" Setelah itu ia menyemprotkan cairan itu ke kedua sisi lehernya.


"G-gimana?"

"Kalau dari sini, terlalu jauh. Aku nggak bisa cium."


Takumi tersenyum kecut. Kotori pun mengeluarkan lidah kecil sambil tersipu, menyadari kebenaran ucapannya.


Lalu ia mengalihkan wajah, mengangkat rambutnya, memperlihatkan lehernya yang putih.


"Dengan begini…"


Leher jenjang Kotori terlihat jelas, membuat Takumi menelan ludah. Entah kenapa terlihat begitu sensual, seolah ia sedang melihat sesuatu yang terlarang.


Jantungnya berdetak kencang menyakitkan.


"…boleh aku?"

"Iya. Soalnya kalau nggak cium langsung, nggak tahu hasilnya."


Jawabannya wajar saja, tapi membuat Takumi makin gugup.


Ia menatap Kotori lagi. Kini berbeda dari dulu, Kotori selalu memperhatikan penampilannya, memakai makeup dengan rapi, hingga pantas disebut cantik dan mempesona.


Untuk mencium aromanya, ia harus mendekat sejauh jarak ciuman. Itu membuatnya canggung, apalagi mereka sudah kenal sejak kecil.


Keheningan penuh kegugupan mengisi ruangan.


Kotori tampak memerah sampai ke telinga, bulu matanya bergetar. Sepertinya ia sudah bulat tekad.


Takumi pun tak bisa terus pengecut.


"…Aku mendekat ya."

"…Hmm."


Ia menyatakan itu lalu maju. Entah kenapa, kali ini ia lebih gugup daripada saat rutinitas.


Semakin dekat wajah cantik Kotori, tenggorokannya makin kering.


Saat jarak keduanya begitu dekat hingga napas bisa terasa, aroma manis asam itu menyusup ke hidungnya.


"……ah."


Sekilas kepalanya terasa pusing.


Aroma feminin yang baru pertama kali ia cium menimbulkan rasa bersalah sekaligus gairah.


Pikirannya dipenuhi Kotori, darah mengalir deras ke tubuhnya—saat itu.


"Gi-gimana? Aneh nggak?"


Suara lirih Kotori membuatnya tersadar.


Takumi buru-buru menjauh, berusaha menenangkan jantung yang berdegup kencang, lalu menjawab sebisa mungkin dengan tenang.


"Aromanya segar tapi juga manis. Menurutku bagus banget."

"Benarkah!?"

"Aku merasa… kayak aroma seorang gadis."

"Syukurlah…"


Kotori tersenyum lega, wajahnya melunak.


Takumi buru-buru memalingkan wajah, malu karena sempat berpikiran nakal.


Meski tahu ucapannya terbata-bata, itu adalah yang terbaik yang bisa ia katakan.


Dalam suasana canggung itu, Kotori tiba-tiba tertawa kecil.


"Aneh ya. Padahal kita biasanya melakukan hal lebih dari ini, tapi kok malah malu."

"…Haha, iya. Tadi juga aku bereaksi kayak pemula."

"Rutinitas ya tetap rutinitas, ya."


Kalau dipikir-pikir, memang agak lucu.


Takumi menggaruk kepala, berdiri, lalu mengambil tasnya.


"Kalau begitu aku pulang dulu."


"Iya, sampai ketemu besok."


Dengan cepat Takumi meninggalkan kamar Kotori.


Begitu keluar dari rumah keluarga Nabata, ia menahan dadanya yang masih berdebar, lalu bergumam dengan wajah bingung.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close