NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukouna kanojo to, Kanojo no Heya de shiteru koto [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 3

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 3

Saran


Suatu hari libur, Takumi dipanggil ke kamar Kotori.


"…………"

"…………"


Mereka duduk berhadapan dalam diam, hanya dipisahkan oleh meja rendah polos yang lebih mementingkan fungsi daripada gaya.


Kotori, meski setelah debut SMA-nya terlihat lebih cerah dan menarik, tetap mengenakan setelan rumah yang sama seperti dulu—training jelek. Rambutnya diikat sederhana, dan ia memakai kacamata.


Beberapa hari lalu, Takumi sempat dibuat sadar betapa Kotori menjadi lebih imut setelah mengubah penampilan. Karena itu, ia merasa sedikit lega melihatnya kini kembali dengan gaya yang tidak memberi kesan sebagai lawan jenis.


Jadi, ada keperluan apa hari ini?


Kali ini tidak ada stempel kucing meregang, hanya sebuah pesan singkat: "Tolong datang sebentar." Jadi jelas bukan rutinitas biasa.


Mereka memang sudah saling kenal sejak kecil, tapi jarang bermain bersama. Takumi tidak bisa menebak alasan ia dipanggil.


Kalau diingat-ingat, satu-satunya kali Kotori memanggilnya di luar rutinitas adalah saat meminta bantuan menyusun kalimat untuk menelepon salon, demi mengubah gaya rambut ketika masuk SMA.


Bicara soal salon, bagi Takumi itu dunia asing. Bayangannya hanya: tempat siksaan di mana pegawai terus-terusan mengajak bicara. 



Ia masih ingat betapa susahnya menyusun kata-kata waktu itu. Akhirnya diputuskan strategi simpel: hanya menyebut nama dan tanggal yang diinginkan (sedikit lebih jauh supaya pasti dapat jadwal), lalu menutup telepon agar tidak perlu percakapan lebih lanjut. 


Meski pada akhirnya, Kotori ciut sebelum menekan nomor dan mereka kembali ke rutinitas biasa.


Sekarang, Kotori tampak tegang dan kaku sekali. Takumi menghela napas, "fuu", lalu memutuskan untuk membuka percakapan.


"Jadi, ada apa hari ini?"

"H-hari piket… sebentar lagi…"

"Piket… ah, begitu."


Takumi langsung mengerti alasan tegangnya Kotori.


Pekerjaan piket hanya sebatas menghapus papan tulis, memberi aba-aba pelajaran, mengganti air vas bunga, menulis jurnal harian, kadang membuka-kunci ruang kelas pindahan atau mengangkat alat. Tidak sulit sebenarnya.


Namun, fakta bahwa piket dilakukan berpasangan—laki-laki dan perempuan—merupakan momok bagi Takumi maupun Kotori. Di SMP dulu, Takumi bahkan sempat membuat partner ceweknya menangis, meninggalkan trauma ringan.


Piket adalah event muram yang memaksa seseorang menyadari posisi sosialnya, suka atau tidak.


Sementara Takumi berwajah masam, Kotori tiba-tiba melotot, condong ke depan, lalu dengan suara bergetar namun lantang berseru:


"Kali ini piket, aku akan benar-benar menyelesaikannya berdua dengan pasangan cowokku!"

"Ooh…!"


Takumi tak sengaja mengeluarkan suara kagum.


Biasanya, setiap kali Kotori piket, partner cowoknya menyebutnya suram, aneh, gagal total, lalu semua pekerjaan dibebankan padanya. Ia melakukannya diam-diam, tanpa seorang pun peduli.


Tapi sekarang, berkat perubahan penampilan, evaluasi para cowok jadi berbeda.


Kotori menaikkan sudut matanya penuh tekad, menggenggam tangan erat-erat seakan menyemangati dirinya sendiri.


"Tu-tujuanku, membalas yang pura-pura nembak itu…!"

"Maksudmu, jadi anak gaul, punya teman dan pacar keren, lalu menikmati masa muda yang berkilau, kan?"

"Iya. Tapi sejauh ini, prestasiku… masih belum bisa ngobrol normal dengan cowok."

"Itu memang benar."


Faktanya, kalau ada cowok menyapanya, Kotori sering malah melotot tidak tahu harus bilang apa, atau kalau pun menjawab hanya dengan "hmm" atau "oh". Akibatnya, citra "putri es yang tak tersentuh" makin melekat.


"Tanpa ngobrol, piket bakal sulit…"

"Jadi intinya kamu mau tahu cara menyapa partner-mu sebelum piket?"

"Iya…"


Takumi menyilangkan tangan, bergumam rendah. Tapi ia sendiri juga buruk dalam bersosialisasi, tidak tahu harus memberi saran apa.


Kotori menggenggam tangan bergetar, tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Tapi ia tetap berusaha menghadapi misi sulit ini.


Takumi, yang tahu masa lalunya, tak bisa tega menolak niat itu.


"Ngomong-ngomong, partner cowokmu siapa?"

"Toba."

"…Serius?"


Takumi mendongak menatap langit-langit.


Toba adalah anggota kelompok populer di kelas, ceria, agak kocak, tipe penghibur suasana. Pandai bicara dan selalu ramai bersama teman. Benar-benar kebalikan dari Kotori.


Kalau dibiarkan, jelas Kotori hanya akan terdiam, tidak bisa menanggapi ocehan Toba, lalu suasana makin canggung.


Mungkin itu juga yang ia khawatirkan, makanya datang untuk meminta bantuan.


"…………"

"…………"


Suasana berat memenuhi ruangan. 


Dua orang penyendiri, saling menatap, berusaha memikirkan solusi… tapi tentu saja tidak ada ide cemerlang.


Kalau pun mereka tahu caranya, sudah sejak lama mereka tidak akan menjadi penyendiri.


Bagaimana siswa lain bisa melalui hal sesulit ini?


Memikirkan hal itu, Takumi tiba-tiba teringat sesuatu.


"Hei, tujuanmu kali ini cuma menyelesaikan piket tanpa masalah dengan Toba, kan?"

"Benar. Selama ini aku selalu sendirian."

"Tapi kupikir, sebenarnya tidak harus ngobrol banyak, bukan?"

"…Maksudnya?"


Kotori menatap bingung. Takumi tersenyum nakal, memutar jari telunjuknya sambil menjelaskan:


"Lihat saja, biasanya anak-anak yang piket nggak ngobrol akrab kok. Mereka cuma bicara soal pembagian tugas: 'hapus papan tulis', 'tolong kunci lab', 'kau yang tulis jurnal ya', hal-hal begitu. Itu kan cuma koordinasi kerja, bukan ngobrol santai."

"! Benar juga! Kalau sudah ditentukan sebelumnya apa yang harus dibicarakan, nggak perlu bingung waktu ngomong!"


Kotori langsung berseri-seri, menepuk tangan dan bicara cepat.


Takumi mengangguk mantap. Biasanya Kotori macet karena tidak tahu harus jawab apa. Jadi kalau sudah ada naskah, masalah itu bisa teratasi.


Untungnya, pekerjaan piket tidak banyak. Membuat skenario untuk beberapa pola percakapan masih realistis.


Melihat jalan menuju "prestasi terbuka", Takumi tersenyum kecil. Namun, Kotori tiba-tiba menurunkan nada suara, wajah serius.


"Tapi kalau dipikir, lebih baik aku yang memulai bicara duluan, ya? Soalnya kalau aku yang mulai, jumlah percakapannya bisa lebih sedikit."

"Benar. Kalau permintaan datang darimu, Toba juga pasti sulit menolak, jadi tujuan piket juga lebih mudah tercapai."

"Tapi… gimana caranya…"

"Ugh, itu sih…"


Kali ini Takumi yang macet. Kalau ia bisa dengan mudah menyapa orang, tentu sejak awal tidak akan jadi penyendiri.


Keduanya tahu betapa tinggi hambatan psikologis itu.


Suasana kikuk pun tercipta.


Saat mereka sama-sama terjebak dalam kebuntuan, Kotori tiba-tiba menatap Takumi lekat-lekat, lalu bergumam bingung:


"Kalau dipikir, kenapa aku bisa ngobrol normal sama kamu, Takumi?"

"Itu… yah, karena kita sudah kenal lama, jadi terbiasa, mungkin?"


Ucapan polos Kotori terdengar agak menyinggung, tapi bagi mereka itu hal biasa, jadi tidak ada yang tersinggung.


Melihat Takumi lagi-lagi buntu, Kotori malah seperti mendapat pencerahan.


"Kalau begitu, sebelum piket, aku cuma perlu terbiasa ngobrol sama Toba."

"Kotori, itu…"


Lalu ia berdiri, penuh semangat, dan berseru lantang:


"Aku akan bisa menyapa Toba sebelum hari piket tiba!"


Begitulah awal dimulainya "Operasi: Belajar Menyapa Toba" agar Kotori bisa menjalani piket dengan lancar.


Pikirannya sederhana: kalau bisa menyapa, tentu bisa mengucapkan kalimat standar untuk kerja piket juga.


Keesokan paginya, Takumi datang ke sekolah lebih awal dari biasanya.


Kotori belum ada, jadi ia duduk di bangku sendiri dan berniat membaca buku pinjaman dari perpustakaan.


Yang ia keluarkan adalah sebuah light novel.


Isi ceritanya adalah tentang para tokoh utama yang masih SMA, berpusat pada misteri kecil yang tersembunyi dalam keseharian mereka. 


Sambil mengungkap misteri itu, sedikit demi sedikit terjadi salah tafsir atau kesalahpahaman di antara para tokohnya, membuat hubungan antar manusia menjadi semakin rumit. 


Meski masih di tengah jalan, slogan di sampul bertuliskan "Remaja × Misteri, disarankan untuk dibaca ulang setelah mengetahui semuanya" ternyata benar adanya.


Hubungan antarmanusia yang saling tidak nyambung memang membuat geregetan, tapi bagi Takumi yang sering disalahpahami sebagai orang berandal oleh sekitarnya, ada banyak hal yang terasa sangat bisa ia rasakan, menusuk di dada. Tangannya tak bisa berhenti membalik halaman.


Awalnya ia mencoba membaca demi terlihat seperti karakter kutu buku yang keren, tapi ternyata malah benar-benar terhanyut. Karena tidak banyak diperhatikan orang sekitar, Takumi semakin larut ke dunia buku.


Saat heroine yang sebelumnya memberi tanda-tanda menyukai sang tokoh utama tiba-tiba menunjukkan ketertarikan pada guru sekolah lain, Takumi yang membaca dengan tegang sambil membalik halaman menyadari ada secarik catatan kecil terselip.


Bertanya-tanya apa itu, ia mengambil dan membaca cepat—lalu wajah Takumi makin lama makin menyeringai bengis.


"…Cih."


Tanpa sadar ia mengeluarkan suara decakan keras.


Di catatan itu tertulis: "Surat yang dibawa heroine ke guru sebenarnya untuk mendukung cinta orang lain." Ada juga tulisan lain seperti "Gadis gyaru itu dari awal sudah setia pada tokoh utama" dan "Pesawat kertas itulah penyebab kesalahpahaman."


Bagi Takumi yang sudah membaca sejauh ini, jelas sekali itu semua spoiler. Kemungkinan besar, pembaca sebelumnya menuliskannya sebagai pengingat untuk bacaan kedua dan lupa mengeluarkannya.


Memang wajar terjadi hal seperti ini pada buku perpustakaan, tapi tetap saja emosinya tak bisa diredam, dan sikapnya jadi terlihat keluar.


Namun bagi yang lain, perubahan mendadak pada Takumi yang tampak murung justru menakutkan, sehingga suasana di kelas seketika jadi kaku dan sunyi. Udara yang amat canggung menyelimuti seisi ruangan.


Menyadari hal itu, Takumi buru-buru memalingkan wajah dengan rasa malu, menatap ke luar jendela sambil menopang pipi dengan tangan. Saat helaan napas keluar tanpa sadar, tiba-tiba terdengar suara riang seakan hendak menghapus suasana muram tadi.


"Aku mimpi aneh lho semalam. Kalau susu dimasukin ke teko teh, bisa jadi es krim. Jadi pas sarapan tadi, masih ngantuk, aku beneran masukin susu ke teko. Hasilnya aneh banget sampai aku langsung melek, hahaha!"


Sekejap kelas pecah oleh tawa para cowok. 


"Ngapain sih kamu."

"Ya emang khas Toba banget." 


Bahkan Toba sendiri menimpali, 


"Kalau hot milk mungkin masih ada harapan sih." 


Kali ini cewek-cewek menanggapi, 


"Eh, bukannya ada houjicha latte?" 

"Ada juga kan teh susu yang direbus dari awal?" 


Obrolan pun meluas dan suasana kembali cair. Udara beku yang sempat menggantung pun sirna seketika.


Aksi Toba jelas karena dia bisa membaca suasana. Dasarnya memang orang yang peka. Mungkin, bahkan dengan sikap dingin dan kurangnya kata-kata dari Kotori, kalau jadi rekan piket, dia tetap akan menemaninya sampai selesai.


Saat Takumi menyipitkan mata memikirkan itu, pintu kelas terbuka, Kotori masuk.


"Nabacchi, pagi~. Rambutku acak-acakan parah banget hari ini!"

"Eh, Torichii, PR matematikanya udah lu kerjain?"

"Denger deh, kemarin aku nonton live stream, gila banget—"


Seperti biasa, Kotori langsung dikelilingi para cewek populer dan hanya bisa menanggapi canggung dengan, "Iya," atau "Oh." Sampai di situ, suasananya sama seperti biasanya.


Tapi kali ini Kotori kelihatan gelisah, jelas berniat mencoba menyapa Toba.


Saat percakapan dengan geng cewek terhenti, ia meletakkan tas di meja lalu langsung melangkah ke arah Toba.


Biasanya Kotori hanya bergaul dengan gengnya, jarang mau mendekati orang lain. Maka gerakan jelas-jelas menuju Toba itu membuat semua orang kaget, bukan hanya Toba sendiri. Suasana kelas pun seketika senyap.


Berdiri di depannya, Kotori menajamkan mata seakan menahan diri, mengepalkan tangan erat. Meski wajahnya tegang, pipinya sedikit memerah. Tampak sekali ia terlalu gugup hingga kata-kata tak keluar.


"E-eh, Nabata…san?"


Toba yang heran karena hanya ditatap mencoba bicara, tapi Kotori hanya sedikit tersentak bahunya, lalu setelah ragu sesaat, pergi tanpa melakukan apa pun.


Ternyata benar, menyapa cowok yang sama sekali belum pernah ia ajak bicara memang terlalu berat baginya. Dari belakang, Takumi merasa Kotori tampak sedikit putus asa.


Namun bagi orang lain, terlihat berbeda.


"Tadi Nabata-san kayaknya marah, ya!?"

"Toba-kun, itu tadi maksudnya apa!?"

"Eh, kamu bikin apa sih sampai gitu!?"

"Ngg, nggak tahu sama sekali…!"


Suasana di sekitar Toba jadi ramai penuh salah paham.


Padahal Kotori hanya berusaha menyapa, tapi dengan ekspresi tegang dan sikap dinginnya, dari luar terlihat seperti sedang menahan amarah dan ingin menegur.


Takumi pun menepuk dahi, "Aduh…"


Sementara itu Kotori sendiri sudah didesak geng cewek, "Eh ada apa!?" "Cerita dong!?" 


Karena selama ini ia tidak pernah menunjukkan perhatian khusus ke siapa pun, kali ini mereka jadi lebih kepo dan tak mau melepaskannya.


Takumi merasa alurnya makin tidak menyenangkan. Kotori juga melirik padanya dengan wajah bingung, seolah minta tolong.


Seusai itu pun Kotori hanya bisa melirik Toba sesekali, tak mampu mendekat lagi. Tapi justru lirikan itu semakin memperkuat salah paham di mata Toba maupun teman sekelas lainnya.


"Harus segera diselesaikan," pikir Takumi.


Kalau saja Kotori bisa menyapa dengan ceria dan mengucapkan salam sederhana, masalah pasti langsung beres. Tapi kalau bisa, sejak awal dia takkan kesusahan begini.


Saat waktu hampir masuk jam istirahat siang, ponsel Takumi bergetar. Pesan dari Kotori.


"!? "


Yang dikirim hanyalah stiker kucing meregang—tanda khas untuk meminta rutinitas.


Menoleh kaget ke arah Kotori, ia melihat gadis itu mengangguk kecil dengan wajah bersalah.


Waktu istirahat siang, Takumi datang ke sebuah ruang kosong di gedung lama sekolah, sesuai lokasi yang ditunjuk Kotori.


Meski disebut ruang kosong, sebagian besar dipenuhi meja dan kursi cadangan, kerucut lalu lintas, tali pembatas, matras olahraga kotor, kotak lompat rusak, dan banyak kardus. 


Suasananya lebih mirip gudang. Tapi karena banyak tempat bisa untuk sembunyi mendadak, rupanya cocok untuk pertemuan rahasia.


Pintu depan terkunci, tapi pintu belakang tidak.


Takumi cukup kagum Kotori tahu tempat ini. Jauh dari gedung utama, juga dari koperasi maupun kantin. Riuh ramai jam makan siang hanya terdengar samar, seakan dari dunia lain. Saat ia mendecakkan tawa miris, suara pintu terbuka terdengar.


"O-o.. maaf nunggu. Susah nyelinap keluar, jadi agak telat."

"Enggak kok, nggak masalah."


Kotori terengah, sepertinya habis berlari. Padahal ia hanya menunggu dua-tiga menit. Takumi tersenyum kecut, menggeleng kecil, tak menganggap serius.


Kotori terlihat lega, lalu tiba-tiba menyelipkan kedua tangannya ke samping rok.


"J-jadi, waktunya terbatas, ayo cepat."

"Eh, woi, tunggu tunggu tunggu!"

"Eh?"


Kotori sudah menurunkan celana dalamnya sampai paha ketika Takumi buru-buru menghentikan.


Memang ia datang karena dipanggil, tapi Takumi sama sekali tidak berniat melakukan rutinitas itu di sekolah.


Ia paham Kotori kesulitan, tapi tetap saja, melakukannya di sekolah terlalu berisiko.


Saat Kotori menoleh bingung, Takumi mencoba menasihati.


"Aku bukannya nggak mau bantu rutinitas, tapi, ya… ini kan sekolah. Bisa aja tiba-tiba ada orang masuk."

"Aman kok. Dari dalam bisa dikunci. Kalau dikunci berarti lagi dipakai, itu udah jadi aturan tak tertulis."

"Eh begitu ya… kamu kok tahu detail… bukan itu maksudku! Eh, terus, aku kan nggak bawa pengaman."

"Aku bawa."

"Kenapa bawa ke sekolah sih!?"

"Akhir-akhir ini aku selalu simpan di pouch pembalut. Kemarin hampir ketahuan Mama."

"Ugh…"


Setiap alasan yang Takumi lontarkan untuk menolak, Kotori patahkan satu per satu. Ia hanya bisa terdiam kesal.


Kotori pun mengeluarkan pengaman dari tas dan menyerahkannya, tapi saat melihat Takumi masih ragu, wajahnya meredup. Dengan suara hampir menangis, ia berkata,


"T-tolong, Takumi. Kalau begini, aku nggak akan bisa jalanin piket…"

"Itu… tapi…"

"Makanya, rutinitas! Aku anak yang bisa kalau dicoba!"


Sambil berkata begitu, Kotori membungkuk di atas meja terdekat, menyorongkan pinggul ke arahnya. Posisi rutinitas yang biasa.


Biasanya pada titik ini, Kotori akan memaksa dan Takumi membalas dengan kelakar, "Apanya yang anak bisa kalau dicoba, sih."


"......…"

"…Takumi?"


Meski begitu, saat Takumi hanya berdiri terpaku tanpa melakukan apa pun, Kotori menoleh dengan wajah yang hampir menangis.


Dada Takumi terasa perih menusuk. Secara refleks dia meraih pinggang Kotori, membuat gadis itu menunjukkan ekspresi lega seakan merasa tenang.


Namun Takumi justru semakin mengerutkan kening.


Dia bukannya berniat berbuat jahat. Sejujurnya, Takumi memang ingin membantu Kotori yang sudah berusaha keras. Dia pun sudah pasrah dengan keadaan ini.


Tapi entah bagaimana, Takumi tetap tidak bisa memenuhi permintaan Kotori. Ia pun menghela napas panjang dengan suara lemah, lalu berbisik dengan nada kaku.


"Maaf, di sini aku jadi tegang... rasanya nggak bakal bisa ereksi..."

"………………Hah?"


Suara Kotori yang terkejut sekaligus linglung bergema di ruang kosong itu.


Setelah itu, meski mencoba melakukan rutinitas, pada akhirnya Takumi tidak bisa menggunakan miliknya.


Bagaimanapun ia berusaha memaksa, perasaan dan tubuhnya malah berlawanan arah. Semakin berusaha, semakin melemah. Kotori hanya bisa tersenyum pahit dengan wajah sulit dijelaskan.


"Ka-karena ini terlalu mendadak."

"Ka-kalau cowok juga pasti butuh persiapan mental kan."

"A-ah... andai aku bisa jadi sajian yang lebih menggoda, pasti lebih mudah..."


Kotori malah memberi Takumi kata-kata penghiburan seperti itu. Saat berpisah, ia bahkan berkata, "Aku akan coba berusaha sendiri dulu."


Padahal dirinya juga sudah tertekan dan butuh bantuan, tapi tetap saja justru Takumi yang dianggap perlu dikasihani karena benar-benar tidak bisa apa-apa.


Padahal selama ini mereka sudah berkali-kali menjalani rutinitas, tapi hal seperti ini baru pertama kali terjadi.


Takumi sendiri tidak pernah terpikir kalau hanya karena tempatnya berbeda dari biasanya, ia jadi begitu tegang sampai tak bisa berfungsi sama sekali.


Kepercayaan dirinya sebagai laki-laki runtuh seketika.


"…………"


Waktu istirahat siang masih panjang. Namun sama sekali tak ada niat untuk makan siang.


Takumi berjalan lunglai di koridor tanpa tujuan, seolah lari dari keramaian. Hatinyanya dipenuhi rasa malu, hina pada diri sendiri, dan penyesalan.


Untuk menutupi perasaan itu, setidaknya ia ingin membantu Kotori dengan cara lain. Maka ia mencari di ponselnya tentang "cara orang pemalu berbicara dengan orang baru".


Namun hasil pencarian hanya berisi saran seperti: temukan topik umum misalnya cuaca, gunakan pertanyaan untuk memperluas percakapan, tanyakan tentang barang bawaan lawan bicara—semuanya tentang bagaimana memperluas obrolan.


Tidak ada satu pun yang cocok untuk kasus Kotori maupun Takumi, dua penderita parah yang bahkan terhenti di tahap sekadar menyapa.


Takumi pun menghela napas panjang penuh perasaan campur aduk.


"Haa... eh?"


Tanpa sadar, ia sudah sampai di depan perpustakaan. Mungkin karena akhir-akhir ini sudah jadi kebiasaan.


Ia menunduk menatap ponsel. Pencarian online tetap menampilkan hal-hal serupa.


Tapi mungkin di perpustakaan ada buku yang lebih bermanfaat. Maka ia pun masuk.


Meski jam istirahat siang, perpustakaan tetap sunyi.


Hanya beberapa orang membaca atau belajar. Tidak ada yang memperhatikan dirinya. Itu juga salah satu hal yang disukai Takumi dari tempat ini.


Sekarang, di mana ya buku yang ia butuhkan? Biasanya ia hanya mengunjungi rak novel ringan, jadi benar-benar tidak tahu.


Ia berkeliling secara acak.


Ada berbagai ensiklopedia, buku astronomi dan sains, album foto pegunungan dan bintang-bintang dunia, bahkan majalah dan surat kabar.


Selain itu ada esai para tokoh terkenal, juga banyak buku saku dari orang-orang yang dulu disebut sastrawan besar—setidaknya namanya pernah ia dengar. 


Takumi sempat berpikir mungkin lain kali meminjam dari rak itu juga bagus.


Namun entah karena cara mencarinya salah, ia sama sekali tidak menemukan buku atau bahkan genre yang terasa tepat.


Mungkin kalau bertanya pada pustakawan atau guru pengelola perpustakaan bisa cepat ketemu. Tapi bagi Takumi, untuk sekadar memulai percakapan saja sudah terasa berat. Lagipula sepertinya tak ada orang semacam itu di sini saat jam istirahat.


Ia pun berdiri di tempat, menyilangkan tangan dengan wajah muram, menatap rak-rak buku dengan perasaan pahit. Saat ia sudah hampir putus asa dan bahunya merosot, tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya keras.


"Hei, lagi nyari sesuatu ya?"

"Ugh... Ikoma-senpai?"


Saat ia menoleh, di sana ada Akira.


Memang sudah ketiga kalinya bertemu, jadi tidak terlalu terkejut. Tapi tetap saja, saat disenyumi manis oleh kakak kelas perempuan, wajahnya panas karena malu. 


Ia buru-buru mengalihkan pandangan, dan baru sadar kalau Akira sedang mendorong sesuatu yang mirip rak buku kecil beroda.


Saat Takumi menatap penasaran, Akira menjelaskan dengan gaya sok pintar.


"Ini namanya book truck. Di toko buku juga kadang ada, kan?"

"Oh begitu... aku tidak tahu. Senpai, apa ini bagian dari bantu-bantu perpustakaan?"

"Yup, aku lagi balikin buku-buku pinjaman ke tempat asalnya."

"Senpai selalu saja sibuk membantu ya."

"Soalnya aku anggota klub relawan. Kalau ada yang minta bantuan, ya aku ke mana saja~."

"Ah, jadi itu klubnya ya."


Saat Takumi bertanya tentang hal yang ia penasaran, Akira menepuk dada tipisnya dengan bangga.


Seperti biasa, berbincang dengan Akira terasa lancar. Julukan Malaikat Penolong memang pantas untuknya.


Saat Takumi merasa agak lega, Akira kembali menatapnya dengan mata bulat bercahaya.


"Jadi, Hashio-kun. Kalau memang lagi nyari sesuatu, aku bisa bantu."

"Eh, itu..."


Karena ini sebenarnya tentang Kotori, bukan dirinya sendiri, dan karena ia tidak terbiasa mengandalkan orang lain, Takumi malah terdiam.


Hening yang canggung tercipta. Tapi Akira tidak mendesak, hanya tersenyum menunggu sampai Takumi siap bicara.


Pasti dia memang tulus. Selain itu, Takumi sendiri memang sudah buntu. Jadi kali ini ia memutuskan menerima niat baik Akira.


"Sebenarnya──"


Ia membuka pembicaraan dengan peringatan kalau penjelasannya mungkin buruk, lalu sedikit menyamarkan tentang Kotori. Ia menjelaskan soal seseorang yang ingin menyapa orang baru, tapi setiap kali mencoba malah gugup hingga tidak bisa bicara apa-apa.


Akira mendengarkan sampai habis, lalu menempelkan tangan ke dagu, merenung sebentar. Setelah itu ia mengangguk kecil, tersenyum nakal, dan mengangkat jari telunjuk.


"Ya, kalau begitu aku punya cara spesial!"

"Benarkah, Senpai!?"

"Tapi ada satu syarat."

"Syarat...?"


Takumi sempat antusias, tapi lalu ciut saat mendengar ada syarat.


Satu-satunya yang terpikir hanya uang, jadi ia sempat memikirkan berapa isi dompetnya. Namun Akira yang menatap agak galak tiba-tiba mencolek ujung hidungnya dengan telunjuk.


"Jangan panggil aku Ikoma. Panggil nama depanku, Akira."

"Aki... ra?"

"Be-neeeer~. Jangan pakai nama keluarga, tapi panggil Akira. Lebih imut, dan aku juga suka banget sama namaku sendiri."


Sambil berkata begitu, Akira mengedipkan sebelah mata dengan penuh kelucuan.


Takumi tertegun dengan syarat yang terlalu sederhana itu, lalu tanpa sadar menunjukkan wajah bodoh.


"Baiklah... jadi Akira-senpai, ya."

"Bagus, pinter."


Saat Takumi memanggil namanya, Akira mengangguk puas.


Meski agak terlambat, rasa malu muncul di hati Takumi karena pertama kali memanggil nama depan seorang gadis selain Kotori. Tapi ia berusaha tidak menunjukkannya di wajah, lalu kembali ke topik utama.


"Jadi, cara spesial itu apa?"

"Intinya, kamu nggak perlu ngobrol!"

"...Hah?"


Mendengar jawaban yang sama sekali tak terduga, Takumi membalas dengan suara yang terdengar bodoh.


Ingin menyapa, tapi tak harus bicara.


Menatap heran pada Akira yang mengucapkan sesuatu seolah-olah itu teka-teki Zen, ia mendapati gadis itu tersenyum lebar, membentuk mulutnya seperti huruf ω, lalu mengangkat tangan kirinya.


Takumi mengerutkan kening, tak segera paham apa maksud Akira. Saat ia masih bingung di tempatnya, Akira beberapa kali menjinjit seperti memberi isyarat, lalu bersamaan dengan itu menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang terangkat, seakan memanggil. Dari situ, Takumi akhirnya bisa menebak apa yang diinginkan.


Saat Takumi ragu-ragu mengangkat tangan kanannya, Akira menyambut dari seberang dan menepukkan tangan mereka. 


Suara "pan!" yang ringan pun terdengar dari tos itu. Dengan wajah penuh kemenangan, Akira berkata:


"Ya kan? Itu juga bisa dianggap sebagai sapaan, kan?"

"Ah!"

"Selain itu, menurutku dengan hanya tersenyum dan melambaikan tangan kecil saja ke orang lain juga sudah cukup. Jadi walau tidak bicara pun tetap jadi sapaan, kan?"

"Iya, iya, benar!"

"Sapaan itu intinya kan sekadar menunjukkan ke lawan bicara kalau kita nggak ada niat jahat, cuma ingin berteman. Kalau itu bisa tersampaikan, kata-kata sebenarnya nggak harus selalu ada."


Takumi seperti mendapat pencerahan. Pagi ini, meski Kotori tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, dia sudah berani mendekati Toba. 


Memang sulit baginya untuk tersenyum manis, tapi melambaikan tangan kecil pasti bisa ia lakukan. 


Kalau itu berhasil, benar juga—setidaknya dia tidak akan dianggap membenci. Mungkin saja akan mendapat balasan dari lawan bicara, dan dari situ bisa lebih mudah menyambung dengan kata-kata sapaan.


"Eh-hemm," Akira menaruh tangan di pinggang dan sedikit membusungkan dada mungilnya.


Takumi, setengah memuji namun tetap heran.


"Terima kasih, sepertinya dengan ini aku bisa melakukan sesuatu! Tapi… jujur aku tak menyangka bisa mendengar cara seperti ini dari Akira-senpai, yang kelihatannya bisa bicara dengan siapa saja tanpa rasa takut."

"Ahaha, aku juga kadang kalau orangnya terlihat menakutkan, aku nggak berani bicara duluan, kok. Tapi kalau memang harus bicara, ya kita harus menunjukkan dulu kalau kita nggak punya niat jahat."

"Eh!?"

"Wah!?"


Akira mengangkat bahu, dan kali ini Takumi benar-benar terkejut sampai bersuara keras. 


Suaranya bahkan membuat Akira sendiri tersentak kecil. Menatapnya lekat-lekat, Takumi kemudian bertanya hati-hati:


"Soalnya… aku sering ditakuti orang, jadi jarang sekali ada yang berani bicara denganku…"

"Eh, masa? Aku sih cuma merasa kau agak nakal saja, gitu."

"Nakal…?"

"Soalnya coba lihat, dibanding orang yang benar-benar tampak marah dan bisa saja langsung memukul, atau orang yang terlihat seolah bakal mengacungkan pisau setiap saat… kau masih jauh lebih ringan, kan?"

"Yah… kalau begitu memang…"

"Di dunia ini ada orang yang dari awal sudah bersikap siap berantem. Kalau dibandingkan dengan mereka, kau masih jauh lebih gampang didekati."


Takumi sempat terkekeh aneh mendengar istilah "nakal" yang terasa imut, tapi penjelasan lanjutannya membuatnya tersadar. 


Benar juga, kalau yang dijadikan pembanding orang-orang macam itu, dirinya memang jauh lebih mudah diajak bicara.


Perasaan hangat perlahan menyebar di dadanya. Dengan nada penuh kekaguman, Takumi berbisik:


"Jadi, di Klub Relawan kalian memang sering harus menghadapi orang seperti itu, ya…"

"Ya begitulah. Ah, aku harus balikin buku, jadi sampai sini dulu!"


Mengucapkan itu, Akira kembali membantu tugas kepustakaan.


Setelah mengantarnya dengan pandangan, Takumi segera menyampaikan nasihat Akira itu kepada Kotori.


Mendengar nasihat Akira dari Takumi, Kotori langsung merasa, "Oh, bisa juga begitu," dan antusias menanggapinya.


Ia berkali-kali membalas pesan dengan kalimat semangat seperti "Wah, jenius banget! Dengan ini aku pun bisa!".


Bel tanda pergantian pelajaran berbunyi, memberi waktu singkat sebelum kelas siang dimulai.


Kotori kembali ke kelas penuh semangat, dan dengan prinsip "besi harus ditempa selagi panas", ia segera melangkah ke arah Toba. Takumi menahan napas di tempat duduknya, mengawasi.


Saat ini, Toba mengira Kotori membencinya karena sesuatu. Seiring Kotori mendekat, suasana di sekeliling pun ikut menegang.


Begitu tiba di bangku Toba seperti pagi tadi, Toba menunjukkan wajah kaku, pipinya sedikit tegang, lalu berusaha terdengar ceria seperti biasanya sambil menyapanya.


"Nabata… san…?"

"……"


Kotori, dengan canggung tapi tetap mencoba, mengangkat sudut bibirnya sedikit membentuk senyuman, lalu mengangkat satu tangannya seolah berkata "hai".


Meskipun terlihat kaku, Kotori berhasil menyapa dengan benar. Takumi pun meninju udara dalam hati. Namun, sepertinya Toba tak mengerti maksudnya.


"Hah?" gumamnya bingung.


Kotori, panik, melirik ke arah Takumi meminta bantuan. Takumi menanggapinya dengan anggukan dalam, memberi sinyal untuk mencoba sekali lagi.


Kotori menarik napas kecil, lalu sekali lagi mengangkat tangan dengan senyum canggung.


Kali ini, Toba pun ikut mengangkat tangannya dengan ragu, lalu menyapanya dengan nada seperti bertanya:


"Y-ya?"

"!?"


Kotori pun cepat-cepat mengangguk berkali-kali, seakan berkata "benar begitu".


Melihat itu, Toba menghela napas lega, senyumnya melebar, lalu dengan nada berlebihan berkata:


"Haha, syukurlah! Jadi, yang tadi pagi itu juga cuma mau menyapa, ya?"

"…Ya, betul."


Seperti yang diharapkan dari Toba, ia memang peka. Takumi terkesan dengan daya tangkapnya.


Kotori pun mengiyakan cepat, dan itu membuat orang-orang di sekitarnya berkata, "Oh, jadi begitu," "Agak susah dimengerti, tapi khas Nabata-san, ya," dan suasana pun mencair.


Kesalahpahaman berhasil teratasi. Kotori dan Takumi sama-sama menghela napas lega.


Namun, Toba dengan nada santai menjatuhkan sebuah bom.


"Jadi, ada perlu apa denganku?"

""!?""


Kotori dan Takumi langsung membeku. Toba tetap tersenyum riang.


Dipikir-pikir, wajar saja. Biasanya Kotori tak pernah menunjukkan minat pada siapa pun, jadi kalau sampai menghampiri Toba, pasti ada maksud tertentu.


Mereka lengah. Sibuk memikirkan cara menyapa, tapi sama sekali lupa memikirkan kelanjutannya.


Kalau berhenti sampai sini, malah akan jadi terkesan aneh.


Kotori semakin panik, matanya berputar-putar mencari pertolongan.


Takumi buru-buru mengirim pesan singkat lewat ponselnya: [Petugas piket].


Kotori, yang sudah kewalahan di hadapan Toba, segera meraih ponselnya begitu notifikasi berbunyi, lalu membacakan isi pesannya.


"Petugas piket…"

"Ah! Benar juga, sebentar lagi, kan? Jadi maksudmu mau tukaran kontak untuk itu!?"

"Uh-huh."


Kotori mengangguk cepat mengikuti alur. Walaupun jadi salah paham, hasilnya tetap masuk akal.


Dengan gaya bercanda, Toba berseru, "Yes! Dapat alamat kontak Nabata-san!"


Kotori dan Takumi akhirnya bisa bernapas lega. Namun, keduanya terlalu sibuk merasa selamat, hingga tak menyadari riuh reaksi sekeliling.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close