NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukouna kanojo to, Kanojo no Heya de shiteru koto [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 1

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 1

Rahasia Rutinitas Sang Putri Es yang Angkuh


Kota kecil yang dikelilingi pegunungan di tiga sisi, hanya sejarahnya saja yang terlampau tua.


SMA swasta Misasagi yang terletak dekat kaki gunung, kelas 1-3.


Dari jendela kelas terlihat pohon sakura yang daunnya kini sudah sepenuhnya tertutup oleh hijau muda segar, setelah kelopak merah mudanya berguguran.


Awal masuk sekolah dulu para murid masih kikuk dan penuh rasa canggung, tapi sekarang, di awal bulan Mei, mereka sudah terbiasa dengan kehidupan baru.


Teman sekelas pun perlahan mulai dikenal, hubungan antarmanusia juga sedikit banyak sudah terbentuk, dan di dalam kelas mulai muncul berbagai kelompok. 


Di antara itu, ada satu kelompok yang paling menonjol.


"Eh, kalau dilihat lebih dekat Nabacchi pakai anting!?"

"Waah, cuma di salah satu telinga gitu, keliatannya natural tapi imut banget!"

"Aku sih suka banget sama anting, tapi kalau mikirin harus bikin lubang di telinga jadi agak ragu gitu ya~"

"Iya, ngerti banget. Walaupun demi gaya, tetep aja ya~. Seperti biasa sih, Kotori-chan memang keren!"

"Yang beginian… bukan apa-apa kok…"


Pusat pembicaraan itu adalah seorang gadis dengan ekspresi tenang, kata-katanya sedikit, bahkan terkesan dingin.


Rambutnya dicat cerah, make-up-nya rapi, seragamnya dipakai dengan santai memperlihatkan paha dan dada tanpa ragu, wajahnya selalu terlihat agak malas.


Kesan sedikit dingin dan angkuh itu adalah milik Nabata Kotori. Teman-teman di sekelilingnya juga sama, semua anak yang cantik dan ceria.


Sepertinya mereka sedang asyik membicarakan anting yang Kotori kenakan hari ini. Bahkan di berbagai sudut kelas pun, terdengar bisik-bisik soal itu.


Kelompok yang jadi pusat perhatian itu adalah kasta teratas kelas ini, para gadis satu geng utama.


"…………"


Berbanding terbalik dengan mereka yang ramai dan cerah, Hashio Takumi duduk di pojok kelas, menopang dagu sambil memandang mereka dengan tatapan tajam bawaan lahir.


Saat Takumi mendengus melihat Kotori, tiba-tiba dari luar lingkaran mereka ada seorang laki-laki yang menyapanya. 


Seorang cowok berambut cokelat yang tampak agak genit dan sok akrab. Dia tersenyum tipis, melambaikan tangan, lalu dengan paksa ikut nimbrung dalam percakapan mereka.


"Eh, Nabata-san, itu cocok banget sama kamu! Tapi kayaknya kamu bakal lebih cocok kalau yang lebih rame deh?"

"Begitu ya?"

"Soalnya kalau Nabata-san, anting yang lebih besar pun pasti keliatan bagus. Eh, gimana kalau lain kali aku temenin kamu cari yang bagus?"

"…nggak usah."


Cowok itu terus berusaha akrab, tapi Kotori membalas dengan sikap dingin.


Responnya jelas-jelas menunjukkan tak ada minat, sampai membuat gadis-gadis di sekitarnya tertawa kecil dan menegurnya.


"Tuh kan, kamu nggak diajak kok."

"Lagipula, Kotori-chan emang nggak tertarik sama cowok."

"Ahaha, coba peka dikit dong~"

"Cih~"


Cowok itu mengangkat bahu berlebihan lalu pergi dari sana.


Kotori pun menghela napas panjang dengan ekspresi bosan, "fuu", dan gadis-gadis di sekitarnya ikut cekikikan pelan.


Sikapnya jelas dingin dan tanpa ramah tamah, tapi entah kenapa itu justru terlihat pas banget untuknya.


Dari berbagai penjuru kelas terdengar suara-suara positif, "Nabata-san emang keren banget!"; "Meskipun dingin, tapi gayanya luar biasa ya"; "Aku sih pengen diperlakukan dingin sama dia sekali-kali"; "Haha, bisa jadi sih."


Takumi mendengar semua itu sambil mengerutkan kening, lalu melirik Kotori yang menjadi pusat perhatian dengan wajah bosan. Di sekitarnya sendiri tak ada siapa pun.


Sama-sama pendiam, tapi Kotori dikelilingi orang-orang, berdiri sebagai bunga tinggi yang tak tersentuh.


Sementara Takumi hanya berdiam di sudut kelas, menahan diri dan sendirian.


Dua orang yang benar-benar bertolak belakang. Seperti air dan minyak, seharusnya tak akan pernah bersinggungan.


Saat itu, tiba-tiba ponsel Takumi berbunyi tanda pesan masuk.


Saat ia cek, nama Kotori muncul di layar. Pesan berupa stiker kucing yang meregangkan kaki depannya ke depan.



Sementara Kotori sendiri tetap terlihat angkuh di lingkaran teman-temannya.


Melihat pesan yang merupakan permintaan tertentu dari Kotori itu, kening Takumi berkerut.


Sore hari itu.


Di kamar Kotori di rumah keluarga Nabata, terdengar suaranya yang menyedihkan.


Kamarnya penuh dengan rak buku, sebagian berisi merchandise karakter dari komik shounen, di lantai berserakan kosmetik dan majalah fashion, seolah berkata "baru saja sadar dunia fashion."


"T-tolong aku, Takumi…"


Duduk di seberang meja rendah, Takumi menyilangkan tangan dan menghela napas dengan wajah serius.


Kotori duduk bersila ala gadis di lantai kayu, bahunya gemetar ketakutan, tubuhnya agak membungkuk seperti kucing, matanya melirik ke atas sambil gugup meminta pertolongan.


Melihat sikapnya yang benar-benar berbeda dari di kelas, Takumi menekan pelipisnya yang terasa sakit dan bertanya.


"…Kali ini kenapa lagi?"

"Se-sebenarnya, hari ini, setelah pulang sekolah, aku diajak ke Futaba…"

"Futaba? Maksudmu kafe itu?"

"I-iya, Futaba itu, yang di Goldfish Mall. Soalnya ada menu baru… kayaknya namanya Strawberry Mix Milk gitu…"

"Oh itu. Kayaknya sempet muncul juga di iklan SNS ya. Tapi kenapa malah di rumah?"

"A-aku harus beresin urusan dulu, jadi bilang nunggu dulu, terus…"


Kotori menunduk dengan gelisah.


Tak ada hal istimewa, ternyata hanya diajak nongkrong di Futaba setelah sekolah oleh geng cewek yang biasanya bersamanya.


Sebagai catatan, Goldfish Mall adalah pusat perbelanjaan terbesar di daerah itu dengan lebih dari dua ratus toko spesialis dan bioskop. Takumi dan Kotori juga sudah sering main ke sana sejak kecil.


Takumi menghela napas panjang sekali, lalu menjawab ketus.


"Ya udah, tinggal pergi aja kan."


Kotori langsung mengeluarkan air mata di sudut matanya, lalu dengan cepat-cepat berkata.


"T-t-t-tidak bisa! Anak-anak geng itu suaranya keras, maksa banget, a-aku nanti dimakan habis-habisan…!"

"Ya nggak bakal dimakan juga kok. Lagian sekarang kamu juga termasuk geng mereka kan."

"I-iya sih, tapi…"


Takumi meliriknya dengan tatapan jengkel.


Sebenarnya Kotori itu penakut dan punya rasa percaya diri rendah. Wajah dingin dan pendiam di sekolah hanya karena dia kurang pandai bicara. 


Siapa yang bakalan mengira? Padahal di kalangan cowok, diam-diam dia dijuluki "Putri Es yang tak tersentuh." Kalau tahu dia seperti ini, entah apa yang akan mereka pikirkan.


Kotori masih terus mencari alasan.


"Fu-Futaba itu tempat yang berkilau, aku nggak pernah ke sana, jadi menakutkan. …Lagian, katanya kalau di Futaba harus baca mantra waktu pesan, kan? Aku masih latihan, baru bisa hafal 'Short White Mocha Non-Fat Milk Decaf' aja…"

"Woah, bisa lancar nyebutnya. Beneran kayak mantra, keren juga."

"E-hehe. Masa sih…?"


Begitu Takumi memuji mantranya, ekspresinya langsung berubah, ia menggaruk pipi dengan wajah malu.


Melihat reaksi yang gampang sekali berubah, Takumi tertawa kecil dan berkata.


"Hehe, kalau kamu bisa ngucapin selancar itu, pasti nggak masalah. Tinggal maju aja dengan percaya diri."

"T-tapi, tapi, aku kan mau coba menu baru, jadi mantra itu nggak bisa dipakai…"

"Kalau menu baru, ya tinggal pesan rasa standar dulu aja, nggak perlu mantra kan?"

"Ugh… tapi, Futaba itu pertama kali, aku takut, malu, maksudnya… b-boleh minta yang biasa…?"


Dengan wajah semakin merah, Kotori menunduk malu-malu, melirik ke atas sambil bertanya dengan suara ragu.


Kalau dilihat dari luar, itu terlihat seperti rengekan manja. Dan Takumi tahu persis apa yang dia maksud.


"Rutinitas itu maksudmu?"

"U-u-uhm."


Yang dimaksud rutinitas di sini adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan sebelum menghadapi hal menegangkan, supaya bisa tenang dan percaya diri, seperti mental control dalam olahraga atau bisnis.


Kotori yang dasarnya penakut, setiap kali harus keluar dengan geng populer atau menghadapi sesuatu yang membuatnya gugup, selalu melakukan rutinitas ini.


Dan Takumi adalah orang yang selalu membantunya. Ini bukan pertama kalinya.


Tapi meski begitu, Takumi tetap menunjukkan wajah masam, lalu menelan ludah sebelum memastikan.


"Harus banget?"

"H-harus banget!"

"……."

"……"


Pandangan panas mereka bertemu, membuat suasana jadi gatal.


Kedua pipi mereka makin lama makin panas.


Tiba-tiba suhu ruangan terasa panas, seolah menyongsong awal musim panas lebih dulu.


Takumi tiba-tiba memalingkan pandangannya dan berkata dengan kasar.


"Oke."

"Mm."


Mendengar itu, Kotori mengangguk kecil sambil menunduk, menggenggam erat ujung roknya, lalu merangkak ke atas tempat tidur dengan bertumpu pada lututnya.


Setelah sedikit ragu, Kotori menggerakkan tangannya dari dalam roknya ke atas pinggulnya—lalu menarik celana dalamnya hingga ke lutut sekaligus, dan berbisik dengan suara yang nyaris tak terdengar.


"Ku... kumohon..."

"...oke."


Kotori melemparkan tubuh bagian atasnya ke atas tempat tidur sebelah, menyembunyikan wajahnya dengan memeluk bantal, dan membelakangi Takumi dengan pantatnya menghadap ke arahnya. Posisi yang biasa.


Kemudian, dengan gerakan pinggul yang tampak frustasi, ia menggoyangkan rok pendeknya.


Isi di dalamnya sekarang benar-benar tak terlindungi. Dirinya sendiri yang telah menyingkirkan benteng pertahanan terakhir.


Seolah-olah dia dirayu. Faktanya, memang itulah yang dimintanya.


Jantungnya berdebar kencang hingga sakit. Takumi bisa merasakan darah mengalir deras ke kepalanya. Perasaan nalarnya terkikis oleh Kotori.


Berusaha menyembunyikan kesadarannya yang berkunang-kunang, Takumi bergumam mengejek.


"Seperti biasa, celana dalam yang tidak seksi ya."

"Kya!? Ja-Jangan lihat ke sana...!"

"Tidak seperti dulu, rok seragammu sekarang pendek, kadang-kadang di sekolah juga hampir kelihatan, sebaiknya kau lebih hati-hati."

"Ah, sekarang, hal seperti itu, tidak usah dibahas!"


Kotori yang diejek mengangkat wajahnya dari bantal, menatapnya dengan mata melotot sambil kedua telinganya memerah.


Seolah merasa bersalah, Takumi mengangkat kedua tangannya dengan santai.


"Kondomnya?"

"Di tempat biasa. Laci meja, yang paling atas."


Dengan gerakan tangan yang cepat dan terampil, Takumi mengenakan alat kontrasepsi itu, lalu berpindah ke belakang Kotori dan memegangi pinggulnya.


Posisi seperti menindih gadis cantik di depannya semakin meningkatkan gairahnya.


Bahkan melalui seragamnya, bentuk tubuh Kotori yang bagus sangat terasa.  


Mungkin karena sedikit berkeringat, aroma manis menggelitik hidungnya. Itu adalah aroma Kotori yang sangat terasa kewanitaannya. Itu merangsang naluri Takumi hingga hampir sakit.


Sepertinya dia tidak akan pernah terbiasa dengan ini.


Ucapan bahwa kecantikan akan membosankan dalam tiga hari, pasti bohong.


Takumi bergumam dengan suara yang terdengar terdesak.


"Aku mulai ya."

"Mm."


Suara sayup-sayup dan napas kasar Kotori, serta suara berirama kulit yang beradu bergema di kamarnya.


Apa yang mereka lakukan adalah seks. Ngentod. Hubungan intim. Aktivitas yang dilakukan antara pria dan wanita yang memiliki hubungan dekat.


Namun, hal itu terlalu mekanis dan monoton untuk disebut bercinta.


Dalam rutinitas ini, mereka bahkan tidak saling mencium. Tidak pernah sama sekali. Bahkan tidak ada percakapan.


Setiap kali melakukannya, selalu dari belakang dengan masih mengenakan pakaian, karena Kotori tidak ingin tubuh telanjang dan wajahnya dilihat.


Hanya sebuah ritual untuk mengeluarkan hasrat.

Tapi, hubungan yang terlalu menggoda.


Takumi hampir tenggelam dalam kenikmatan yang diberikan Kotori, dan dengan susah payah ia membuat ekspresi serius untuk menahan diri agar tidak lepas kendali.


Secara etika umum, dia sadar betul bahwa yang dilakukannya adalah sesuatu yang menyimpang.


Bagaimanapun juga alasan yang dicari-cari, dia menemani ritual ini hanya karena terasa enak. Hanya karena kalah pada kenikmatan. 


Tidak bisa berhenti. Sungguh, dirinya sangatlah brengsek.


Hari ini pun, ketika melihat stempel kucing yang meregang—yang merupakan sinyal permintaan rutinitas ini—di ponselnya, mustahil berbohong bahwa dia tidak menantikannya.


Akhirnya, dengan berkedok kewajiban di permukaan, mereka menyelesaikan rutinitasnya.


Dengan sisa-sisa rasa kebas yang manis di kepalanya, Takumi menjauh dari Kotori tanpa sempat menikmati afterglow-nya dan mulai membersihkan diri, tanpa sepatah kata pun.


Kotori juga bangkit dan mulai merapikan pakaiannya yang berantakan.


"........"


"........"


Suasana yang sangat canggung mengalir.


Sebenarnya, wajar saja, karena mereka baru saja melakukan hal yang memalukan.


Dengan sedikit rasa kehilangan, Takumi melirik Kotori. Pipinya memerah, kulitnya sedikit berkeringat, dan terlihat sangat seksi.


Merasa aliran darahnya mungkin akan kembali deras, Takumi dengan panik memalingkan wajahnya.


Ini hanyalah rutinitas yang diperlukan bagi Kotori.


Bukan sekadar mengalirkan nafsu birahi.


Dia hanya seorang rekan. Lagipula, mereka bukanlah sepasang kekasih, jadi wajar jika begitu.


Dia menghela napas, mengeluarkan napas ejekan untuk dirinya sendiri. Lalu, Kotori berbisik dengan ragu-ragu.


"...Hari ini juga, terima kasih. Dengan ini, aku bisa pergi ke Futaba."

"Sama-sama."

"Lalu, um, Takumi, enak?"


Merasa agak kesal menjawab dengan jujur, sebagai gantinya ia mengalihkan pandangannya ke suatu tempat.


"...Seperti yang kau lihat."

"Benar ya. Banyak sekali yang keluar."


Melihat bukti fisik bahwa Takumi terangsang olehnya, Kotori tersenyum puas.


Sebenarnya, hari ini juga cairannya keluar dalam jumlah yang mengejutkan. Kotori memang memiliki daya tarik yang sebesar itu.


Merasa pipinya akan memanas karena dilihat seperti itu, Takumi menyeringai seolah tidak tertarik dan dengan paksa mengubah topik pembicaraan.


"Sungguh, untuk apa sih rutinitas seperti ini diperlukan?"

"...Kamu tahu kan, waktu SMP dulu, pengakuan palsu itu. Ditertawakan di depan semua orang, 'Tidak ada cowok yang mau ereksi untuk si jelek seperti ini'. Dengan melakukan ini, dengan kamu yang mau mengeluarkannya untukku, aku bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa aku juga bisa..."


Kotori bergumam dengan ekspresi keras, seolah mengingat kejadian saat itu.


Pada dasarnya, Kotori sekarang memang bergaul dengan gadis-gadis populer, tapi sebelum masuk SMA, dia sama seperti Takumi, hanya salah satu figuran yang ada diam-diam di sudut kelas.


Penampilannya sekarang adalah hasil dari yang disebut debit SMA. Tapi, meski penampilannya berubah drastis, isinya tidak bisa berubah dengan cepat.


Karena itulah Kotori membutuhkan rutinitas itu untuk melakukan sesuatu.


Saat melubangi telinga untuk anting, yang menjadi bahan pembicaraan di kelas pagi ini, dia juga melakukan rutinitas yang sama.


Meski awalnya berencana melubangi kedua telinga, pada akhirnya dia tidak berani dan hanya melubangi satu.


Selain itu, saat pertama kali pergi membeli kosmetik, saat beralih dari kacamata ke lensa kontak, saat memendekkan rok seragam, atau bahkan di hari pertama masuk SMA, dia ketakutan untuk pergi ke sekolah dengan pakaian yang modis, dan terpaksa melakukan rutinitasnya dengan tergesa-gesa sejak pagi.


Sungguh suatu hubungan yang aneh.


Sambil mengejek dirinya sendiri, Takumi berusaha berkata dengan suara cerah.


"Yah, disebut rutinitas, Kotori benar-benar mesum ya."

"Be-berisik!"

"Jadi, bukankah kau harus cepat pergi ke Futaba? Kau membuatnya menunggu kan? Aku akan membereskannya."

"Oh iya. Maaf, nanti, tolong ya."

"Tidak apa-apa. Ayo, cepat pergi."

"Dengan ini, satu lagi pencapaian terbuka, merayakan masa muda/menaklukkan masa muda bisa dilakukan. Ah, kuncinya, di tempat biasa."

"...Oke."


Mendengar kata itu, wajah Takumi berkerut sejenak.


Sementara itu, Kotori mengenakan kembali celana dalamnya yang tersangkut di lututnya, meraih tasnya, dan buru-buru keluar dari kamar.


Takumi yang tertinggal menghela napas panjang dengan malas "Fuu", sambil memikirkan awal mula hubungannya dengan Kotori yang seperti ini.


Tahun lalu, di awal musim dingin tahun ketiga SMP, Kotori ditembak. Pria itu adalah siswa laki-laki yang terkenal sebagai penggembira di kelas, tapi memiliki paras yang cukup tampan.


Tentu saja, Kotori sangat terguncang oleh kejadian tak terduga pertama dalam hidupnya.


Terombang-ambing oleh perasaan asing, dia tetap serius memikirkannya dan mencoba mempertimbangkan pria itu dengan positif—tapi pengakuan itu adalah yang disebut pengakuan palsu.


Takumi tidak tahu detailnya, tapi sepertinya dia dikatakan hal-hal yang sangat kejam. Bahkan, dia mendengar rumor bahwa Kotori dihina di depan semua orang.


Dari sudut pandang orang lain, Kotori terlihat sangat terpukul.


Sampai-sampai Takumi, yang hubungannya hanya seperti tetangga dan tidak terlalu suka bergaul dengan orang, akhirnya menyapanya. Itulah awal mula hubungan ini.


'To-Tolong, orang culun jelek seperti aku, pasti tidak ingin disentuh juga tidak bisa bikin ereksi, Takumi juga pasti dalam hati menganggap aku bodoh kan?!'


Tapi kata-katanya tidak sampai ke Kotori yang sudah tidak percaya pada manusia sama sekali, dan karena Takumi juga sedang dalam situasi di mana dia harus pensiun dari klub atletik yang telah dijalaninya terus-menerus akibat cedera, akhirnya mereka bertengkar hebat saling membalas ucapan. 


Sama-sama emosi dan tidak bisa mundur, dan akhirnya dalam keputusasaan, mereka kehilangan keperawanan mereka.


Mengingatnya sekarang, itu hal yang keterlaluan.


Sebenarnya, saat itu dia mengalami fase membenci diri sendiri untuk sementara waktu.


Dia tenggelam dalam belajar untuk ujian seolah melarikan diri dari kenyataan, dan ironisnya level sekolah yang diincarnya naik dua tingkat.


Dan ketika hubungannya dengan Kotori hampir renggang karena kecanggungan, suatu hari tepat sebelum masuk SMA.


Kotori yang mengendap-endap di depan rumahnya memohon dengan wajah memerah hingga ke telinga.


“A-aku mau merayakan masa mudaku, tolong bantu aku!”


Dan metode spesifik yang dimintanya adalah rutinitas ini.


Tentu saja awalnya ditolak. Sudah pasti.


Terlalu bertentangan dengan ketertiban umum.


Bagi Takumi, ada etika bahwa hal semacam ini bukanlah sesuatu yang dilakukan oleh pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan pacaran.


Justru karena memilikinya, dia menyesal telah menyentuh Kotori saat itu.


Tapi ketika Kotori memaksanya dengan alasan bahwa dia telah merebut keperawanannya secara paksa, karena merasa bersalah, Takumi hanya bisa mengangguk.


Sejak saat itu, Takumi terus melakukan rutinitas ini sebagai rekan Kotori.


Setelah membereskan segalanya, Takumi meninggalkan rumah keluarga Nabata.


Mengunci pintu dan memasukkan kunci ke dalam kotak surat, matanya secara tidak sengaja menatap ke arah mall, dan bergumam bukan untuk didengar siapa pun.


"Menjadi orang populer, mendapatkan pacar dan teman yang hebat, dan menjalani kehidupan SMA yang berkilau', ya..."


Itulah tujuan Kotori sekarang, yang dia tetapkan untuk membalas dendam pada pria yang melakukan pengakuan palsu padanya.


(Dia bilang ingin bisa aktif mengobrol dan menghidupkan suasana sekitar...)


Meski dia berjuang untuk menjadi diri yang diinginkannya, dia sudah kesulitan pada tahap membuat teman yang bisa diajak bicara tentang apa pun di SMA.


Dengan mudah Takumi bisa membayangkan Kotori yang sekarang, karena gugup, tidak bisa bicara apa-apa di Futaba mall, dan hanya diam-diam menyedut minuman dengan sedotan baru.


Takumi menunjukkan senyum ambigu yang tak terkatakan, dan melangkah ke arah rumahnya.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close