NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Mushoku Tensei: Redundancy Jilid 2 Bab 13

 Penerjemah: Kryma

Proffreader: Kryma


Bab 13 

Nina Britts


Hari itu, rombongan Rudeus akhirnya menginap semalam di Tanah Suci Pedang.

Mereka diberi sebuah kamar di dojo utama untuk bermalam di sana.

Akan tetapi, hanya Eris yang diundang ke rumah Nina. Tadinya ia berniat untuk menginap di dojo bersama Rudeus dan yang lain, tetapi Nina memaksa.

Rumah Nina. Dengan kata lain, rumah Jino Britts.

Saat Eris memberitahu Rudeus bahwa ia akan menginap sendirian, suaminya itu tampak khawatir sekaligus dengan lembut mencoba menolaknya. Pasti karena melihat sikap para Santo Pedang tadi.

Para Santo Pedang tampak begitu haus darah karena Gal telah terbunuh. Rudeus pasti merasakan aura membunuh itu.

Tetapi sejauh yang Eris tahu, Tanah Suci Pedang memang sudah seperti ini sejak dulu.

Pada dasarnya, kebanyakan dari para ahli pedang di sini bukan ingin menjadi kuat, melainkan ingin dianggap kuat.

Meskipun begitu, tidak ada yang punya cukup nyali untuk melancarkan serangan kejutan pada lawan yang lebih kuat di luar dojo.

Yang akan melakukan hal seperti itu mungkin hanyalah Eris di masa lalu.

Bagaimanapun juga, Eris meninggalkan Rudeus dan yang lain di dojo, dan datang sendirian ke kediaman Britts.

Sebuah rumah kecil yang terletak agak jauh dari dojo, tidak pantas untuk menyandang nama Dewa Pedang.

"Nah, silakan masuk. Jino sedang latihan sekarang, jadi dia belum akan pulang."

"P-Permisi."

Eris masuk melewati pintu depan dengan perasaan gugup.

Kalau dipikir-pikir, mungkin ini adalah pertama kalinya bagi Eris.

Berkunjung ke rumah teman. Ia memang selalu bertemu dengan Isolte yang tinggal di ibu kota Kerajaan Asura setiap kali ia pergi ke sana, tetapi ia tidak pernah berkunjung ke rumahnya.

Ia pernah ke dojo yang bersebelahan dengan rumahnya, tetapi rasanya kurang pas jika itu disebut 'berkunjung ke rumah'.

"Selamat pulaaang!"

Yang menyambut Eris yang sedang gugup adalah sebuah suara yang bersemangat.

Bersamaan dengan suara langkah kaki yang berdebum, dua orang anak keluar dari dalam rumah.

"Ibu! Selamat datang kembali!"

"Slamat dataaang!"

Satunya adalah anak laki-laki yang bersemangat. Di tangan kanannya ia memegang pedang kayu, dengan senyum lebar di wajahnya.

Satunya lagi adalah anak perempuan. Ia masih sangat kecil dan berlari tertatih-tatih seolah mengejar si anak laki-laki.

Saat mereka berdua sampai di pintu depan, mereka terkejut melihat sosok Eris dan berhenti.

"Ini putraku, Nere, dan putriku, Jill. Kalian berdua, ini Eris. Teman Ibu."

"S-Saya Eris. Salam kenal."

Diperkenalkan sebagai 'teman' oleh Nina, Eris menundukkan kepalanya dengan bibir yang terkatup rapat.

Saat mendengar nama Eris, Nere melebarkan matanya.

"Rambut merah! Jangan-jangan, Raja Pedang Gila Eris!?"

"Wambut melaaah!"

Sepertinya Jill tidak begitu mengerti dan hanya ikut-ikutan.

Akan tetapi, meskipun tidak mengerti, sepertinya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dengan mata berbinar-binar, ia mendekati Eris.

Mungkin rambut merah adalah hal yang langka baginya. Jill mengulurkan tangannya ke arah rambut Eris yang bergelombang.

Akan tetapi, sebelum itu, ia sudah diangkat oleh Nina.

"Eits."

"Aah, melaaah!"

Jill meronta-ronta sambil mengeluarkan suara tidak puas.

Melihat Jill seperti itu, Nere dengan panik berseru.

"Jill, jangan! Dia itu Raja Pedang Gila! Nanti kau dimakan kalau menyentuhnya!"

"Hap?"

Jill menatap Eris dengan mata ketakutan.

Melihat itu, Eris tertawa kecil.

Entah kenapa, hubungan mereka berdua mengingatkannya pada Ars dan Sieg beberapa tahun yang lalu.

"Aku tidak akan memakanmu."

"...Kau bilang begitu supaya kami lengah, lalu kau akan memakannya, 'kan?"

Yang berkata begitu adalah Nina. Ditatap dengan pandangan curiga, Eris cemberut dengan bibir terkatup rapat.

Melihat wajah itu, Nina tersenyum lebar dan menyodorkan Jill.

"Aku cuma bercanda. Mau menggendongnya?"

"Boleh."

Eris menerima Jill dari Nina.

Awalnya Jill tampak ketakutan, tetapi mungkin karena ia merasa cara Eris menggendongnya lebih terampil daripada ibunya sendiri, ia pun langsung ceria.

Ia menjambak rambut merah Eris, tertawa senang sambil berkata, "Yang melaaah, cantiiik!", lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Ah, hei, Jill. Tidak boleh dimakan!"

"...Uuh."

Dimarahi oleh Nina, Jill langsung melepaskan rambut itu dari mulutnya. Meskipun warnanya merah, itu tetaplah rambut, jadi tidak mungkin rasanya enak. Rambut Eris pun menjadi basah.

"Sepertinya malah aku yang dimakan, ya."

Eris berkata begitu sambil tertawa dan mengelus kepala Jill.

Melihat pemandangan itu, Nina tampak terkejut.

Eris yang itu, pikirnya.

Tidak, ia pernah melihatnya sekali saat pergi ke Kerajaan Asura. Dia sekarang adalah seorang ibu dan bisa bersikap seperti ini.

"Kalau sudah tahu tidak enak, jangan dimakan lagi, ya?"

"Iya."

Saat Eris menurunkan Jill, ia berlari ke bagian dalam rumah sambil melompat-lompat.

"Saya Nere Britts!"

Dan saat itu, seolah bertukar tempat, Nere muncul.

Ia berlutut dengan sebelah kaki dan memberi hormat.

"Raja Pedang Gila-sama! Anda yang asli, 'kan! Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Anda!"

"...Aku Eris Greyrat. Kau tidak perlu sampai menunduk begitu."

"Tidak! Anu! Anu! Saya, sudah sejak lama..."

Ucap Nere sambil menatap Eris dengan mata berbinar-binar.

Dengan ekspresi gembira, ia hendak mengatakan sesuatu.

"Iya, iya, cukup. Nere, sampai kapan kau mau menahan Eris di depan pintu? Setidaknya tunggulah sampai setelah makan malam."

Dan saat itu, Nina menyela.

Ia meletakkan tangannya di kepala Nere dan mengacak-acak rambutnya dengan sedikit keras.

"Baaiik..."

Nere menunduk dengan wajah tidak puas.

Ia ingin mendengar lebih banyak. Kalau bisa, ia juga ingin dilatih... tetapi ibunya pasti akan bilang tidak boleh. Selalu begitu. Bahkan jika ada ahli pedang ternama yang datang ke Tanah Suci Pedang, ia tidak pernah diizinkan bertemu dengan mereka.

Mengabaikan Nere yang tidak puas, Eris pun diundang masuk ke dalam rumah.

"Semuanya sudah berubah, ya."

Setelah selesai makan malam, Eris bersantai di ruang keluarga sambil mengobrol dengan Nina.

Tidak ada Jino. Setelah makan malam, ia pergi ke ruangan lain bersama anak-anak.

Mendengar suara tawa anak-anak, sepertinya ia sedang bermain bersama mereka.

"Aku tidak menyangka akan jadi seperti ini."

Nina, Eris, dan Jino.

Di antara mereka bertiga, Jino-lah yang tertinggal satu langkah. Jino yang selalu mengayunkan pedang dengan wajah cemberut dan tidak bisa menjawab pertanyaan Dewa Pedang dengan baik. Jino yang seperti itu, sekarang telah menjadikan Nina sebagai istrinya dan mencapai level di mana ia bisa mengalahkan Eris dalam satu serangan.

Melihat kenyataan itu, Eris tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Ia memang sudah mendengarnya dari Gal, tetapi setelah melihatnya secara langsung, rasanya Jino benar-benar telah menjadi orang yang berbeda.

"Nina. Kau juga, di dojo tadi kau bahkan tidak memegang pedang."

Nina pun sama.

Padahal dulu ia begitu mati-matian ingin menjadi lebih kuat. Di dojo, ia hanya memperhatikan Eris. Bahkan, ia membiarkan Jino melakukan sesukanya. Sesuatu yang tidak terpikirkan dari Nina yang dulu.

"Sudah ada, kok, anak berikutnya di sini."

Nina berkata begitu sambil mengelus perutnya.

Memang sulit dilihat dari luar, tetapi jika diperhatikan baik-baik, perutnya memang terlihat sedikit membuncit.

"Jino bilang aku boleh menyandang gelar Kaisar Pedang, tapi sepertinya aku akan pensiun."

"Apa kau puas dengan itu?"


Mendengar Nina yang tertawa menertawakan diri sendiri, Eris spontan bertanya begitu.

Meskipun Nina menunduk, ekspresinya tampak puas.

"Iya... aku puas. Memang ada sedikit perasaan ingin terus berlatih pedang. Tapi, entah kenapa, ya. Anehnya, tidak banyak penyesalan. Pedangku mungkin sudah berakhir saat aku kalah dari Jino."

"Kau kalah?"

"Iya, sebelum Jino menantang Dewa Pedang, dia bilang, 'Kalau aku menang, jadilah milikku.' Lalu kami bertarung sungguhan, dan aku kalah."

"Lamaran yang romantis, ya."

"Benar, 'kan?"

Nina tersenyum kecil saat mengingat kejadian waktu itu.

Sampai hari itu, Nina selalu ingin menjadi ahli pedang terkuat di dunia, yaitu Dewa Pedang.

Akan tetapi, keinginan itu lenyap dalam sekejap. Sebegitu kuatnya Jino. Seolah menertawakan semua usahanya selama ini, ia mengalahkan Nina dalam satu serangan. Sama seperti Eris tadi siang...

Mungkin, jika lawannya bukan Jino, ceritanya akan berbeda.

Sama seperti saat ia kalah dari Eris, mungkin ia akan bangkit dan kembali menekuni ilmu pedang sambil menangis.

Akan tetapi, lawannya adalah Jino.

Jino menjadi kuat demi bisa menikahinya.

Lalu ia mengalahkannya, dan dengan langkah yang sama, ia pergi menemui Dewa Pedang Gal Farion dan menang.

Jino, yang kembali dengan membawa gelar Dewa Pedang, merampas bibir Nina dengan paksa, lalu langsung menindihnya.

Pada hari itu, Nina telah menjadi milik Jino. Baik hati, maupun raganya.

Nina tahu, untuk menjadi seorang Dewa Pedang, dibutuhkan usaha yang luar biasa.

Hanya dengan usaha saja tidak akan bisa, hanya dengan bakat saja juga tidak akan bisa. Atau mungkin, bahkan jika memiliki keduanya, itu adalah sesuatu yang tidak akan bisa tercapai.

Bahkan sebelum itu, Jino, seolah terseret oleh Nina, telah berusaha sama kerasnya.

Dan di atas fondasi itu, ia berusaha lebih keras lagi dari Nina, usaha yang seolah-olah sampai memuntahkan darah.

Jino telah mencapainya.

Level seorang Dewa Pedang. Tempat yang hanya bisa dicapai oleh segelintir orang.

Karena itulah Nina juga berpikir bahwa Jino pantas mendapatkan 'ganjaran yang setimpal'.

Jika diungkapkan dengan gaya Gal Farion, 'ganjaran yang setimpal' itu adalah "melakukan sesuka hati". Seorang Dewa Pedang boleh melakukan apa pun sesuka hatinya.

Karena itu, bahkan saat Jino bersikap seperti hari ini, ia tidak mengatakan apa-apa. Ia memang punya pendapat dan ada hal yang ingin ia katakan, dan jika ia mengatakannya, Jino pasti akan mendengarkan.

Tetapi, ia merasa jika ia melakukannya, Jino entah kenapa akan tiba-tiba menjadi lemah.

Nina tidak bisa menghalangi jalan seseorang yang telah menjadi sosok yang ia kagumi.

Bagaimanapun juga, Nina telah meninggalkan ilmu pedang dan memutuskan untuk fokus pada hal berikutnya.

Membesarkan anak. Dan ia puas dengan itu.

"Bagaimana denganmu, Eris? Apa kau puas dengan keadaan sekarang?"

"Aku puas."

"Meskipun ada dua istri lain?"

"Bukan masalah, itu hal yang biasa. Ayahku memang hanya punya satu istri yaitu Ibuku, tapi Kakek punya banyak. Ayah Rudeus juga punya dua istri."

"Aku bukan penganut ajaran Millis, tapi... aku tidak bisa membayangkan punya lebih dari satu pasangan."

Tentu saja, ada hal-hal yang membuat Eris tidak puas.

Ia juga pernah berpikir, bagaimana jika ia adalah satu-satunya istri Rudeus.

Pasti akan bahagia. Hanya berdua dari pagi sampai malam, tanpa ada yang mengganggu.

Tetapi, ya, hanya berdua saja.

Jika dibandingkan dengan 'keluarga Greyrat yang sekarang', bagaimana, ya?

Rumah tanpa Sylphie atau Roxy... kalau begitu, Lucy, Lara, Sieg, dan Lily juga tidak akan ada.

Ars dan Chris mungkin akan ada, dan sebagai gantinya mungkin akan ada lebih banyak anak antara dirinya dan Rudeus. Tetapi... anak yang lebih dari yang sekarang, rasanya tidak bisa ia bayangkan.

Benar, justru karena ia tahu keadaan yang sekarang, ia malah akan merasa ada yang kurang.

Saat selesai latihan seharian dan basah kuyup oleh keringat, mereka akan memberikan handuk.

Saat aku hendak mandi untuk membersihkan diri, mereka akan menitipkan Lara yang penuh lumpur sambil berkata, "Sekalian mandikan dia."

Saat aku keluar setelah memandikan anak-anak, pakaian ganti dan pakaian dalam sudah disiapkan.

Jarak yang pas, di mana mereka tidak terlalu lengket dan menyebalkan, dan kami juga bisa saling melimpahkan pekerjaan tanpa sungkan.

Sylphie dan Roxy. Sulit bagi Eris untuk membayangkan kehidupannya yang sekarang tanpa mereka berdua.

Lagi pula, hidupnya saat ini sudah terasa penuh. Melihat pertumbuhan anak-anak itu menyenangkan, dan ada kepuasan tersendiri.

Sebentar lagi, ia mungkin akan mulai mengajari mereka ilmu pedang dengan lebih serius.

Lucy lebih mementingkan sihir daripada pedang, dan Lara masih belum jelas, tetapi Ars dan Sieg sepertinya tertarik pada ilmu pedang. Bahkan Sieg sudah mulai mempelajari Aliran Dewa Utara.

Bagaimana cara mengajarinya, akan tumbuh menjadi seperti apa mereka.

Hanya dengan memikirkan hal-hal seperti itu saja, ia sudah merasakan kebahagiaan.

"Eris, kau juga sudah berubah, ya."

"Begitulah."

"Kalau kau yang dulu, anak kecil mungkin sudah kau tendang."

"Enak saja, aku tidak akan menendang mereka."

"Dulu kau seperti anak kecil, tapi sekarang kau benar-benar memperhatikan anak-anak."

"Aku sudah melahirkan dua anak, sih."

"Bagaimana dengan yang ketiga?"

"Anak-anak sudah cukup."

"Bagaimana dengan 'urusan yang itu'?"

Saat Nina bertanya begitu, wajah Eris memerah.

"...A-Kalau 'urusan yang itu', aku mau lebih banyak lagi."

Itulah perasaan jujur Eris.

Hanya saja, perasaan berat dan tidak bebas selama masa kehamilan adalah sesuatu yang tidak bisa ia sukai.

"Bagaimanapun juga, Eris yang sekarang lebih mudah diajak bergaul."

"Aku juga lebih suka Nina yang sekarang. Kau yang dulu itu agak merepotkan."

"Tentu saja."

Nina yang dulu sangatlah tajam.

Ia berpikir dirinyalah yang terbaik, dan orang di bawahnya boleh ia perlakukan sesuka hati.

Sikap sombongnya itu bisa lenyap sepenuhnya mungkin sebagian karena interaksinya dengan Eris, tetapi pernikahannya dengan Jino juga punya andil besar.

"...Ah, ngomong-ngomong, Isolte juga sudah menikah, lho. Kau dengar?"

Isolte Cruel. Saat ini ia menyandang nama Dewa Air Reida dan berdiri di puncak Aliran Dewa Air.

"Iya, aku dapat surat undangan pernikahannya. Tapi aku tidak bisa datang karena sedang hamil."

"Lalu, soal dia yang sudah melahirkan?"

"Baru dengar. Laki-laki? Perempuan?"

"Perempuan. Sebagai Dewa Air, ia tidak bisa punya banyak anak, jadi ia mengeluh karena kecewa tidak bisa melahirkan seorang pewaris."

"Kasihan juga, ya. Tapi, pasangannya 'kan Kaisar Utara? Apa dia tidak marah atau kecewa karena anaknya perempuan?"

"Doga tidak akan berkata seperti itu. Dia orang yang baik."

Eris berkata begitu sambil mengingat-ingat.

Kalau dipikir-pikir, orang yang paling heboh soal pernikahan Isolte dan Doga mungkin adalah Rudeus. Rudeus sangat memercayai Doga. Karena Doga pernah menyelamatkan nyawanya dalam pertempuran di Kerajaan Biheiril.

Penyelamat nyawanya.

Saat Rudeus mendengar bahwa Doga yang lugu, jujur, dan mudah ditipu akan menikah dengan Isolte yang pemilih soal tampang, ia sampai diam-diam melakukan penyelidikan latar belakang Isolte, khawatir kalau-kalau "tujuannya adalah uang" atau "nanti dia akan selingkuh."

Padahal, Isolte juga pernah menolongnya...

Bagaimanapun juga, Doga yang lugu dan begitu dipercaya oleh Rudeus itu tidak mungkin akan kecewa pada putrinya sendiri.

Terakhir kali Eris melihatnya, ia sedang tersenyum-senyum sambil menggendong putrinya yang mirip ibunya itu di pundaknya.

Katanya, ia bahkan berinisiatif untuk bersih-bersih, mencuci baju, sampai mengurus anak.

Bahkan Eris, yang pada dasarnya jarang sekali mengerjakan urusan rumah tangga, sampai berkata, "Apa sebaiknya Isolte juga ikut mengerjakan sesuatu?"

Saat itu, aku tidak akan pernah lupa bagaimana Isolte dengan canggung memalingkan wajahnya dan bergumam, "Dia... lebih jago dariku..."

"Nanti, akan bagus sekali ya kalau anak-anak kita bisa menjadi teman yang saling memotivasi."

Mendengar kata-kata Nina, Eris pun mengangguk.

"Iya, ya. Kalau perlu, sekolahkan saja mereka di Universitas Sihir."

"Terdengar menarik. Tapi, Jino tidak akan pernah mengizinkan mereka sekolah di luar. Orang itu tipe yang ingin menyimpan semua yang ia cintai di sisinya."

"Kalau begitu, anak-anakmu tidak akan pernah bisa keluar dari Tanah Suci Pedang seumur hidup mereka, dong."

"Jika saatnya tiba, mereka pasti akan pergi sendiri."

Mendengar percakapan dengan Eris itu, Nina terkekeh pelan.

Sungguh, ini adalah percakapan yang tidak terbayangkan dari Eris yang dulu.

"Hm?"

Eris tiba-tiba merasakan kehadiran seseorang dan berbalik.

Di pintu masuk ruang keluarga, di sana berdiri seorang anak laki-laki.

Nere. Di tangannya, ia menggenggam sebuah buku. Saat matanya bertemu dengan Eris, ia berjalan mendekat dengan langkah cepat seolah sudah membulatkan tekad.

"Anu! Raja Pedang Gila-sama!"

"...Apa?"

"A-Anda kenal dengan orang yang ada di buku ini, 'kan!?"

Judul buku yang ia sodorkan adalah 'Petualangan Suku Supard'.

Sebuah buku yang juga Eris kenal baik. Buku yang ditulis oleh Norn, diterbitkan oleh Rudeus, dan dijual oleh Zanoba serta Aisha.

"Maksudmu Ruijerd? Atau Norn?"

"Norn... maksudnya, Anda juga kenal dengan pengarangnya!? Ah, tapi benar juga, ya, nama keluarga kalian sama...!"

"Norn itu adik iparku. Adiknya Rudeus."

"Maksud Anda Rudeus 'Rawa Gila', Peringkat Ketujuh Kekuatan Dunia! Yang juga dikenal sebagai Tangan Kanan Dewa Naga, 'Raja Sihir' Rudeus!"

"Benar. Kau tahu banyak, ya."

"Aku dengar dari Ibu, soal Suku Supard, soal Eris-san! Aku juga dengar dari para penyair keliling, cerita soal Rawa Gila dan Raja Pedang Gila! Kukira itu hebat sekali, dan aku selalu ingin bertemu dengan Anda walau hanya sekali!"

Ucap Nere sambil menatap Eris dengan mata berbinar-binar.

Bagi anak laki-laki itu, Eris adalah tokoh dalam sebuah cerita yang dikisahkan oleh para penyair keliling.

Dengan kata lain, ia adalah sosok yang legendaris. Berbeda dengan ayahnya, Jino, ia sangat tertarik pada 'dunia luar'.

Suatu saat nanti, ia juga ingin pergi ke dunia luar dan menjadi sosok yang akan dikisahkan oleh para penyair keliling.

Itulah impiannya di masa depan.

"Begitu, ya. Suatu kehormatan bagiku."

Eris merasakan sudut bibirnya nyaris menyeringai.

Akan tetapi, agar tidak menghancurkan impian anak laki-laki di hadapannya, ia menahan ekspresinya tetap tegang dan mengangguk dengan khidmat.

Yang ia bayangkan di dalam kepalanya adalah wajah kalem dan sopan milik Roxy.

"Rudeus dan Orsted juga ada di sini, jadi sebaiknya kau temui mereka sebelum pulang. Dewa Utara Kalman III juga ada, lho."

"Apa boleh!?"

Nere menatap Eris seolah hendak melompat.

Peringkat Ketujuh dan Peringkat Kedua Kekuatan Dunia. Dan Kalman, yang terkenal dari kisah kepahlawanan Dewa Utara.

Sosok-sosok yang setara atau bahkan lebih hebat dari ayahnya sendiri yang memiliki kekuatan seperti monster.

Ia tidak pernah menyangka impiannya untuk bertemu dengan sosok-sosok seperti itu di hari biasa seperti ini akan terwujud.

"Anu..."

Di sana, Nere menyembunyikan bukunya di belakang punggung dan dengan malu-malu menggesekkan kedua lututnya.

"Raja Pedang Gila-sama, Anda pernah berkeliling dunia, 'kan?"

"Iya, dari Benua Iblis sampai Benua Millis, dan sampai ke ujung Benua Tengah. Aku juga pernah ke Benua Langit. Tapi aku belum pernah ke Benua Begaritt."

"Cerita petualangan... apa saya boleh mendengarkannya?"

"Ceritaku? Bukan cerita Rudeus?"

"Iya, saya lebih suka cerita Raja Pedang Gila-sama!"

Eris mengangguk sambil membiarkan senyumnya mengembang.

Kalau dipikir-pikir, dulu ia juga suka mendengar cerita semacam itu. Ia sering merengek pada Ghislaine, meminta diceritakan kisah petualangannya.

Akan tetapi, ia tidak pernah menyangka bahwa suatu saat ia akan berada di pihak yang bercerita.

Tidak, ia memang sering bercerita jika diminta oleh Ars atau Sieg.

Bahkan sekarang pun, Sieg sering mendengarkan cerita lama Eris... tetapi entah kenapa, rasanya sedikit berbeda.

Itu karena ia tidak diperlakukan sebagai seorang ibu, melainkan sebagai seorang pahlawan.

Tetapi Eris tidak mengerti. Ia hanya merasa sedikit senang.

"Baiklah... kalau begitu, akan kuceritakan saat aku berteleportasi ke Benua Iblis."

Eris dengan gembira mulai menceritakan kisah lamanya.

Melihat itu, Nina juga merasakan senyum mengembang di bibirnya.

"Dia benar-benar sudah berubah..."

Dirinya telah berubah, Eris juga telah berubah.

Sudah tidak bisa lagi dibilang sebagai teman yang saling memotivasi, tetapi justru ia merasa hubungannya dengan Eris menjadi lebih dekat.

Saat pertama kali bertemu, ia berpikir mereka tidak akan pernah bisa akrab.

Bahkan saat Eris menjadi Raja Pedang dan meninggalkan Tanah Suci Pedang, meskipun ada semacam rasa hormat, hubungan mereka masih canggung untuk disebut sebagai sahabat.

Tetapi, sekarang berbeda. Rasa hormatnya mungkin sudah berkurang, tetapi ia merasakan sesuatu yang dulu tidak pernah ia rasakan.

Sudah lama ia tidak bertemu dengannya, tetapi mungkin jika ia bertemu dengan Isolte pun, ia akan merasakan hal yang sama.

Bagi Nina, yang hampir tidak punya teman akrab sejak kecil, ini adalah perasaan yang langka.

"Eris."

"—Lalu Ruijerd tiba-tiba membunuh si penculik hewan itu... ada apa?"

"Lain kali, ayo kita bawa anak-anak dan berkunjung ke tempat Isolte."

Mendengar itu, Eris mengerjapkan matanya, lalu mengangguk pelan.

"Baiklah."

Jino telah menjadi Dewa Pedang dan berubah.

Dengan Dewa Pedang yang seperti itu, Tanah Suci Pedang juga pasti akan terus berubah.

Situasi saat ini tidak mungkin akan bertahan lama.

Jino pun, mungkin akan dikalahkan dengan mudah oleh orang lain.

Itulah takdir bagi mereka yang hidup sebagai ahli pedang. Seorang ahli pedang adalah makhluk yang tidak stabil.

Tetapi, persahabatan ini pasti akan bertahan lama.

Karena, dirinya sudah bukan lagi seorang ahli pedang.

Begitulah, pikir Nina.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close