NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Senpai, Watashi to Uwakishite Mimasen ka?~ [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 2

 Penerjemah: Noire

Proffreader: Noire


Chapter 2

Bersikaplah Nyaman Tanpa Ketahuan!



Istirahat sebelum pelajaran pertama dimulai.


Ada bayangan yang mendekati mejaku, saat aku sedang mempersiapkan buku pelajaran. Airi ada di kelas lain, jadi dia tidak ada di sini.


"Pagi, Toshiya."


"Pagi."


Bayangan itu adalah sahabatku—tidak, mantan sahabatku, Shintarou Nakajou.


Sejak dia selingkuh dengan pacarku, Airi, hubungan kepercayaan dengannya sudah hancur. Mulai sekarang, aku hanya akan berpura-pura menjadi sahabatnya demi balas dendam, padahal aku bahkan tidak ingin menatapnya.


"Toshiya, kamu kelihatan kurang semangat. Ada apa?"


"Tidak ada apa-apa, mungkin kurang tidur aja. Aku susah tidur belakangan ini."


Saat aku menjawab sekenanya, Shintarou bergumam "Oh, begitu" dengan wajahnya yang tampan. Sialan, dia pikir ini salah siapa...


"Kalau begitu, aku akan kasih tahu cara tidur terbaik versiku."


"Cara tidur terbaik?"


"Iya. Hitung Rinka."


"Hah?"

"Makanya, hitung Rinka."


Aku terperangah mendengar saran aneh itu.


"Caranya sama seperti menghitung domba. Ganti saja dombanya dengan Rinka. Nanti akan muncul banyak Rinka di otakmu. Bukankah itu menyenangkan? Tapi efek sampingnya, kamu terlalu bahagia sampai tidak bisa tidur."


"Itu bukan kalimat yang pantas diucapkan oleh seorang kakak. Jangan pernah bilang itu lagi, Rinka-chan pasti merinding mendengarnya."


"Sudah terlambat. Aku pernah mengatakannya sekali, dan aku mendapat tatapan jijik darinya. Dia tidak mau bicara denganku selama dua minggu. Padahal kami memang jarang ngobrol... Rinka si tsundere memang merepotkan."


"Itu namanya bukan tsundere..."


Dia masih saja siscon akut.


Dia menaikkan kacamatanya dengan jari tengah.


"Kenapa? Padahal aku sudah kasih informasi berharga. Ya sudahlah. Apa kamu terlalu bahagia setelah pacaran dengan Tsukimiya-san? Mungkin kalian sering teleponan sampai larut malam?"


"Andai saja..."


"Hah?"


"Tidak, bukan apa-apa."


Saat kami terdiam, Shintarou menatapku dengan curiga.


"Ngomong-ngomong, Toshiya, kamu ganti sampo?"


"Tidak."


"Oh, kupikir begitu. Tadi ada aroma yang aku suka, jadi aku mau tanya mereknya."


"Aroma yang kamu suka..."


Sepertinya parfum itu berhasil...


Tidak lama kemudian, bel berbunyi. Guru Bahasa Inggris masuk ke kelas.


"Sampai ketemu nanti," kata Shintarou sambil kembali ke tempat duduknya.


Pagi itu terlihat sama seperti biasa.


Tapi kali ini terasa berbeda.



Pada akhirnya, tidak ada hal berarti yang terjadi hari ini.


Saat jam istirahat, Airi datang ke kelasku dan kami mengobrol ringan. Saat makan siang, kami makan bersama. Aku juga mengobrol seperti biasa dengan Shintarou. Secara objektif, hari-hari berjalan normal.


Tapi, perasaan gelap yang ada di hatiku tidak hilang sama sekali.


Airi dan Shintarou juga sempat bertemu, tapi tidak ada yang aneh.


Mereka terlihat seperti teman sekelas biasa.


Namun, video yang kulihat kemarin terus terngiang di benakku.


"—pai. ...Senpai. Dengar tidak?"


"Ah, apa tadi?"


Saat aku melamun, dia menekan pipiku dengan jarinya.


Saat ini, di apartemenku.


Aku dan Rinka-chan duduk berhadapan dengan meja bundar di tengah.


"Kita lagi bahas cara bermesraan tanpa ketahuan."


"Ah, benar. Maaf, aku melamun."


"Senpai tidak apa-apa?"


"Tidak apa-apa. Iya, aku baik-baik saja."


"Kita istirahat dulu saja. Aku akan buatkan sesuatu."


"Tidak, beneran, aku baik-baik saja!"


Aku menahan Rinka-chan yang mau ke dapur.


"Tidak... Maaf... aku tidak baik-baik saja. Sejujurnya, aku lelah."


Rinka-chan menatapku khawatir, lalu duduk di sebelahku dan menyandarkan bahunya di bahuku tanpa berkata apa-apa.


"Aku takut. Hari ini aku ketemu mereka berdua, dan mereka benar-benar tidak berubah. Padahal mereka sudah mengkhianatiku, tapi mereka bersikap biasa saja. Itu aneh. Memikirkan mereka membuatku gila..."


Karena aku pikir aku sangat mengenal mereka, aku tidak bisa menerima perbedaan ini.


Rinka-chan menyandarkan kepalanya di bahu kananku.


"Percuma memikirkannya. Mustahil untuk memahami perasaan orang yang menyakiti Senpai."


"Rinka-chan..."


Mungkin salahku menganggap aku bisa mengerti mereka.

Airi dan Shintarou yang aku kenal sudah tidak ada. ...Sudah tidak ada.


"Senpai, sekarang kita hanya perlu fokus pada balas dendam."


"Oke, maaf. Aku akan ganti fokus."


"Iya. Ah, aku punya ide. Di gimnasium bawah tanah ada gudang olahraga, kan? Kita jadikan tempat itu sebagai tempat rahasia kita. Aku dengar dari temanku, gemboknya rusak, jadi ada cara membukanya tanpa kunci..."


"Ah, Rinka-chan, sebelum bahas strategi, boleh aku bicara sebentar?"


Rinka-chan memiringkan kepalanya, kebingungan.


"Aku merasa agak berisiko kalau kita langsung balas dendam sekarang."


"Maksudnya?"


"Aku memang melihat mereka selingkuh. Aku dan Rinka-chan juga melihatnya, jadi itu bukan salah lihat. Tapi kita tidak punya bukti fisik, kan? Kalau sekarang aku dituduh selingkuh dengan Rinka-chan, posisiku jadi lemah, kan?"


Mungkin balas dendamnya berhasil dan mereka merasakan hal yang sama sepertiku.


Tapi kalau mereka berhasil mendapatkan bukti perselingkuhan kami, dan melibatkan orang lain, kami akan berada di posisi yang sangat sulit. Meskipun kami bilang mereka juga selingkuh, mereka tidak akan mendengarkan karena kami tidak punya bukti fisik.


"Memang benar kita juga butuh bukti. Kita harus menghindari situasi di mana Senpai dan aku yang disalahkan."


"Itu sebabnya, aku ingin mendapatkan bukti fisik perselingkuhan mereka."


"Aku sangat setuju. Itu harus jadi prioritas utama. Ayo, Senpai, kita mulai sekarang juga!"


"Eh, sekarang?"


Rinka-chan menarik tanganku.


"Lakukan segera selagi semangat. Seorang detektif tidak boleh bermalas-malasan!"


Dan begitulah, kami memulai misi mengumpulkan bukti perselingkuhan.



Tiga hari kemudian.


"Hari ini juga tidak ada hasil..."


Sudah tiga hari sejak kami mulai beraksi untuk mendapatkan bukti.


Kami sudah menyelidiki di berbagai waktu, seperti setelah sekolah dan pagi hari, tapi belum ada hasil.


Larut malam, aku dan Rinka-chan terhubung melalui panggilan suara.


"Tidak berhasil, ya. Tadi aku coba buat Airi sendirian, tapi dia malah main dengan teman-temannya."


"Mungkin ada syarat tertentu... Yah, kita harus sabar. Besok bagaimana?"


"Ah, maaf. Besok aku ada kerja sambilan, jadi tidak bisa."


"Senpai kerja di toko kue tradisional milik keluarga, kan?"


"Iya. Itu salah satu syarat agar aku diizinkan tinggal sendiri, minimal dua kali seminggu... Ah, itu dia. Itu syaratnya!"


"Hah?"


"Hari itu, aku kebetulan pulang lebih awal dari kerja. Seharusnya di jam itu aku masih kerja, jadi mustahil aku melihat mereka selingkuh."


"Itu dia! Pasti itu! Masuk akal kalau mereka janjian saat Senpai lagi kerja! Serahkan padaku, Senpai. Besok aku akan memotret bukti perselingkuhan itu!"


Rinka-chan berkata dengan penuh semangat dan optimisme.


Analisisku sepertinya benar. Jika semuanya berjalan lancar, kami akan mendapatkan bukti perselingkuhan.


"Tidak, ayo kita pergi bersama. Aku akan minta ganti jadwal kerja."


"Memangnya jadwal kerja bisa diubah mendadak?"


"Bisa kok. Lagipula, pekerjaannya tetap jalan meski aku tidak ada."


"Oh, begitu ya. Oke. Kalau begitu, ayo kita tidur untuk persiapan besok. Selamat malam, Senpai."


"Ah, tunggu, Rinka-chan."


"Hm? Ada apa?"


Aku menelan ludah dan menggenggam erat HP-ku.


Sejak hari itu, aku tidak bisa tidur nyenyak. Setiap kali aku sendirian, adegan perselingkuhan itu muncul lagi, menghancurkan hatiku.


Tapi, anehnya, saat bersama Rinka-chan, aku bisa merasa tenang.


"Tolong jangan matikan teleponnya sampai aku tertidur."


"Boleh saja, tapi kenapa?"


"Mendengar suaramu membuatku tenang. ...Aku tidak mau sendirian."

"...Oke. Kalau begitu, ayo kita 'tidur bareng sambil teleponan'. Siapa yang tidur duluan, dia kalah?"


"Oke, aku tidak akan kalah."


"Hehe, aku juga tidak akan kalah."


Aku mematikan lampu dan berbaring di tempat tidur.


Karena rumah kami berdua berada di area yang tenang, aku bisa mendengar setiap hembusan napas dan gesekan pakaian.


Aku bisa membayangkan Rinka-chan masuk ke tempat tidur dari suaranya.


"Nee, Senpai."


"Hm?"


"Kalau kamu pejamkan mata, apa rasanya seperti aku ada di sebelahmu?"


"Iya. Sedikit."


Saat informasi dari mata menghilang, indra pendengaran jadi lebih tajam, menciptakan ilusi seolah dia ada di sampingku padahal jauh.


"Kamu pernah melakukan ini dengan Tsukimiya-senpai?"


"Belum pernah."


"Kalau begitu, aku yang pertama."


"Begitulah."


Seharusnya itu hal biasa, tapi jantungku berdebar kencang.


Ini bukan pertanda baik untuk tidur.


"Ini juga pertama kalinya aku melakukan hal seperti ini, Senpai."


"O-oh."


"Ah, Senpai memikirkan hal aneh ya?"


"Tidak!"


Sial, aku jadi makin kepikiran. Apa aku bisa tidur malam ini...



Hari berikutnya. Kami terus mengobrol santai hingga lewat jam dua pagi.


Dan saat aku sadar, aku sudah tertidur. Hanya sekitar lima jam, tapi ini pertama kalinya aku bisa tidur nyenyak dalam beberapa hari.


Ngomong-ngomong, saat ini sudah sore. Aku sedang berjalan pulang bersama Airi.


Saat sampai di persimpangan, Airi berhenti.


"Semangat kerjanya, Toshi-kun."


"Oke. Sampai besok."


Aku melambaikan tangan ke udara, dan Airi juga membalas lambaian tanganku.


Kalau aku belok kanan, ada toko kue tradisional milik ayahku.


Airi belok kiri di persimpangan dan berjalan pulang dengan langkah ringan. Setelah memastikan dia sudah tidak terlihat, aku mengeluarkan HP-ku.


Rinka-chan, kamu di mana?


Di game center depan stasiun. Kita bisa ketemu?

Oke. Aku ke sana sekarang.


Aku tunggu di restoran seberang, ya.


Aku berjalan lurus di persimpangan untuk bertemu dengan Rinka-chan.



"Di sini, Senpai."


Restoran di seberang game center.


Restoran ini ramah di kantong pelajar karena menyajikan hidangan Italia dengan harga terjangkau.


Rinka-chan duduk di meja sudut dekat jendela. Posisi yang sempurna untuk mengawasi target.


"Di mana Shintarou?"


"Masih di dalam game center. Sepertinya dia sedang main Taiko."


Rinka-chan memasukkan doria ke mulutnya, lalu menghabiskan jus jeruknya. Aku juga sedikit haus.


"Jadi kita tunggu di sini?"


"Iya. ...Ah, Senpai mau coba?"


"Tidak, aku pesan sendiri saja."


"Jangan sungkan. Sini, 'a'."


Rinka-chan menyendok doria dan mengarahkannya ke mulutku.


Aku mengalihkan pandanganku dan memanggil pelayan.


"Apa Senpai tipe yang memikirkan ciuman tidak langsung? Anak SD saja tidak peduli, tahu."

"S-sialan. Aku peduli, tahu!"


Aku memesan drink bar ke pelayan yang datang, lalu menghela napas.


"Aku ambil minuman, Rinka-chan mau apa?"


"Es teh saja."


"Oke."


Aku mengambil dua gelas minuman dan kembali ke meja.


Aku meletakkan es teh di depan Rinka-chan dan menyesap colaku.


"Mereka belum keluar?"


"Belum. Kalau begini, kita malah kelihatan seperti lagi kencan di restoran."


Kalau begitu, tidak masalah juga sih.


Tapi, tidak lama kemudian, situasi berubah.


"Sayangnya, kencan kita tidak bisa berlanjut."


Seorang siswi berambut hitam panjang berjalan dari arah stasiun.


Itu Airi, yang baru saja berpisah denganku tiga puluh menit lalu. Dia langsung masuk ke dalam game center.


"Tebakan Senpai benar."


"Sepertinya begitu..."


Ini kabar baik, justru. Kami maju selangkah dalam mengumpulkan bukti. Ini seharusnya momen untuk gembira.


Tapi, hatiku malah terasa berat. Napasku juga terasa berat.


Rinka-chan menggenggam kedua tanganku, seolah mengkhawatirkanku.


"Tidak apa-apa. Senpai tidak sendirian."


"Ya, terima kasih."


Hatiku terasa sedikit lebih ringan.


Jika aku sendirian, aku pasti sudah sangat tertekan. Aku benar-benar bersyukur Rinka-chan ada di sini.


"Ah, mereka keluar... Kita ambil fotonya?"


Airi dan Shintarou keluar bersamaan dari game center.


Rinka-chan mengeluarkan HP-nya dan memotret mereka dari jauh. Lalu, terdengar suara jepretan lagi, kali ini mengarah padaku.


"Kenapa fotoku juga difoto?"


"Setelah memotret orang yang aku benci, aku mau 'membersihkan' galeri dengan memotret orang yang aku suka."


"Aku tidak mengerti, tapi tolong hapus? Itu memalukan."


"Tidak mau. Aku akan menjadikannya wallpaper."


"Jangan! Itu sangat memalukan!"


"Senpai juga boleh kok menjadikan fotoku wallpaper."


Rinka-chan membuat tanda 'V' dengan jarinya, siap difoto.


"Bukan itu masalahnya... Ayo kejar mereka!"


"Tunggu, Senpai!"


Saat aku berdiri dengan cepat, Rinka-chan menahan lenganku.


"Mereka mau ke restoran ini, kan?"


Airi dan Shintarou berada di arah yang ditunjuk Rinka-chan.


Mereka berjalan lurus menuju restoran ini.


Kami saling bertatapan dan mulai berkeringat dingin.


"Gawat. Kita tidak bisa kabur."


"Untungnya kita di sudut. Kalau kita diam saja, sepertinya kita tidak akan ketahuan... Semoga saja."


Seperti yang Rinka-chan bilang, meja kami di sudut.


Kalau kami tidak melakukan hal mencolok, kemungkinan ketahuan kecil.


Tak lama kemudian, bel pintu berbunyi dan Airi serta Shintarou masuk.

Semoga mereka duduk jauh...


Bertolak belakang dengan harapanku, mereka malah mendekat ke arah kami.


"Ujian akhir semester sebentar lagi. Shintarou, ajari aku belajar."


"Tidak. Minta Toshiya saja."


"Sesekali aku ingin dapat nilai bagus tanpa bantuan Toshi-kun. Siapa tahu dia jadi makin suka padaku."


"Kalau begitu, berusaha sendiri sana."


Ternyata mereka duduk di meja tepat di belakang kami. Suara mereka terdengar dari belakang. Untungnya, dinding pembatas meja cukup tinggi, jadi mereka tidak bisa melihat kami. Tapi, kalau mereka berdiri dan berjalan sedikit saja, kami langsung ketahuan!


Rinka-chan menyalakan mode rekam di HP-nya dan berbisik.

"K-kita harus bagaimana? Ini situasi hidup-mati, Senpai..."


"Tapi kalau sudah begini, kita tidak bisa berbuat apa-apa..."


Untuk ke kasir, kami harus melewati meja mereka. Tidak ada jalan keluar.


"Sini dulu, deh."


"Ah, oke."


Duduk sejajar di sisi yang sama lebih aman daripada berhadapan, karena sudutnya lebih tidak terlihat dari meja mereka.


Aku memindahkan barang-barangku, membuat ruang untuk Rinka-chan. Ini tidak akan menyelesaikan masalah, tapi setidaknya mengurangi risiko.


Rinka-chan merangkak di bawah meja dan duduk di sebelah kananku.

Lalu, dari balik dinding tipis, terdengar Shintarou menarik napas dalam.


"Hmm... Sepertinya aku mencium aroma Rinka."


"..."


Aku dan Rinka-chan menegang.


Orang ini... sangat menyeramkan. Kenapa dia bisa tahu aroma adiknya?


"Ih, jorok banget..."


Bahkan Airi juga menganggapnya menjijikkan.


Tubuh Rinka-chan sedikit bergetar.


Getaran ini sepertinya bukan hanya karena takut ketahuan.


Aku menggenggam tangannya, dan Rinka-chan jadi sedikit lebih tenang.

"Jorok itu kata-kata yang tidak sopan."


"Tapi memang benar, kan. Shintarou, padahal wajahmu tampan, tapi kalau sudah menyangkut Rin-chan jadi hancur."


"Tidak ada yang lebih menggemaskan daripada Rinka."


"Itu bukan alasan. Lagian, itu tidak adil, kan, di depanku?"


"Memangnya kita kan memang begitu. Kenapa baru sekarang kamu bilang begitu?"


"Haha, benar juga."


Kata-katanya aneh...


Kami menahan napas dan mendengarkan percakapan mereka.


"Kalau kamu mau main-main, main saja dengan Toshiya."


"Hah? Ini bukan main-main, aku pacaran serius dengan Toshi-kun!"


"Kalau serius, tingkah lakumu aneh."


"Aku hanya suka Toshi-kun. Aku tidak memberikan hatiku padamu, jadi aman."


Dari yang kudengar, sepertinya mereka tidak benar-benar pacaran. Apa mereka cuma punya hubungan fisik?


Saat wajahku mulai muram, Rinka-chan menggenggam tanganku.


"Aku tetap tidak mengerti. Kalau Toshiya tahu sifat aslimu, dia akan kecewa."


"Asal dia tidak tahu, tidak masalah... Ngomong-ngomong, kenapa sih Rin-chan tidak berubah? Perasaannya ke Toshi-kun itu terlalu jelas, menyebalkan. Padahal dia pikir dia bisa menyembunyikannya."


"Kenapa kamu bilang begitu padaku?"


"Kamu kan kakaknya, atur dia dong!"


"Mana bisa. Rinka saja tidak pernah bicara baik-baik denganku. Aku tidak mungkin bisa mengaturnya."


"Hah... Shintarou tidak bisa diandalkan!"


Airi berkata dengan nada kesal.


Ini bukan percakapan yang menyenangkan untuk didengar.


"Setiap kali seperti ini, kamu selalu menghabiskan waktuku. Ada batasnya, aku juga sibuk."


"Hah? Kamu yang mengajakku duluan, kan. Aku tidak akan membiarkanmu kabur begitu saja."


"Banyak orang lain yang bisa kamu ajak selain aku."


"Saat ini, kamu yang paling gampang dihubungi. Jadi tidak."


"Ini sudah parah. Apa kamu sangat takut sendirian?"


"Tidak, bukan begitu. Aku hanya tidak mau pulang ke rumah yang kosong."


"Kalau begitu, habiskan waktumu dengan pergi ke karaoke atau nonton film sendirian."


"Cih... jangan atur aku! Apa pun yang kulakukan, itu urusanku! Kamu juga, kenapa tidak hilangkan saja sifat siscon akutmu itu!"


Brak! Suara meja dipukul dengan keras. Airi jelas sedang kesal.


Ini suara yang tidak pernah kudengar...


Apakah mereka berdua benar-benar orang yang aku kenal?

"Hah, gara-gara Shintarou tenggorokanku jadi kering. Ambilkan jus jeruk."


"Ambil sendiri."


"Dasar pelit. Kalau Toshi-kun, dia akan ambilkan tanpa diminta."


"Meskipun kamu membanding-bandingkan, itu tidak akan mempan bagiku."


"Masa sih? Aku rasa kamu yang paling peduli pada Toshi-kun, kan?"


"Hmph."


Perasaan kesal dan sedih membanjiriku, membuat hatiku semakin berat.


Lalu, Rinka-chan mulai gelisah.


"Kenapa?"


"Ti-tidak... Itu... aku sudah tidak tahan..."


"Aku mengerti. Tapi kita tahan dulu. Sejujurnya aku juga tidak mau dengar lagi."


"Ehm, selain itu... secara fisik aku juga sudah tidak tahan..."


"Maksudnya?"


"K-kebelet pipis..."


"Hah?"


Aku berkedip-kedip.


Wajah Rinka-chan memerah, dan kakinya bergerak-gerak.


"Sejak Senpai datang, aku sudah minum banyak, jadi... Ya, gawat. Sedikit saja lengah bisa berbahaya..."


"Itu sih gawat beneran."


"S-senpai, kita harus bagaimana...?"


"Bagaimana apanya, kita cuma bisa tahan, kan. Kalau berdiri kita pasti ketahuan."


"Tolong wujudkan yang tidak mungkin, Senpai!"


"Jangan minta yang aneh-aneh. Kalau begini, cuma ada satu cara..."


"Mana mungkin kita bisa melakukan itu!"


Rinka-chan merengek di telingaku dengan mata berkaca-kaca.


Untuk ke toilet, kami harus melewati meja Airi dan Shintarou. Kakak yang super siscon itu sangat sensitif terhadap aroma Rinka-chan.


Kami memakai seragam yang sama, jadi mustahil untuk lewat tanpa ketahuan.


"Duh, merepotkan. Karena Shintarou tidak mau gerak, aku ambil sendiri saja deh."


"Bagus. Oh, sekalian, tolong ambilkan es teh untukku."


"Ambil sendiri sana."


"Tidak pengertian."


"Sama-sama, kan?"


"Benar juga."


Airi dan Shintarou berjalan bersama menuju area drink bar.


Pada saat itu, aku dan Rinka-chan saling bertatapan.


"Ini kesempatan, kan, Senpai?!"


"Iya, sekarang atau tidak sama sekali. Ayo!"


Aku juga tidak mau nanti kebelet.


Aku dan Rinka-chan berdiri dari tempat duduk dan bergegas ke toilet.



"Sial, situasinya malah lebih parah!"


"Aku tidak memikirkan cara pulangnya..."


Setelah selesai dari toilet, kami tidak bisa kembali ke meja. Kepergian Airi dan Shintarou ke drink bar memang memungkinkan kami ke toilet.


Tapi kami tidak memperhitungkan kemungkinan mereka kembali ke meja saat kami di toilet.


"Berdiri di sini malah makin mencolok."


"Tapi kalau kita kembali sekarang, pasti ketahuan."


"Apa ini namanya jalan buntu...?"


"Tidak. Masih ada jalan. Kita keluar saja dulu. Yang penting sekarang kita pergi dari sini."


"Ah, iya. Aku terlalu fokus untuk kembali. Hebat, Senpai!"


Mata Rinka-chan berbinar. Tapi sedetik kemudian, wajahnya menegang.


"Ah, gawat. Gawat!"


"Kenapa?"


Rinka-chan menarik lengan seragamku.


Saat kulihat, Shintarou sedang mendekat ke arah kami. Dia jelas-jelas mau ke toilet.


Sepertinya dia belum melihat kami, tapi itu hanya masalah waktu. Sial...


"K-kita harus bagaimana, Senpai?!"


"Bagaimana apanya..."


Apa kita kabur ke dalam toilet?


Tidak, hanya ada satu toilet pria. Aku tidak yakin Shintarou akan pergi dengan cepat, dan kami bisa terjebak.


Dengan refleks, aku menarik pergelangan tangan Rinka-chan dan menyudutkannya ke dinding.


"S-senpai?"


"Diam."


Aku menaruh jari telunjuk di mulutku.


Aku menempelkan tubuhku ke tubuh Rinka-chan, seolah melindunginya.


Kami sangat dekat, bahkan napasnya bisa kurasakan. Aroma manis parfumnya masuk ke hidungku.


Shintarou seharusnya hanya melihat punggungku. Terlihat aneh sih kami bermesraan di tempat seperti ini...


Aku menelan ludah sambil terus menatap mata Rinka-chan yang dekat sekali.


"..."


Shintarou melirik punggungku, mengerutkan keningnya dengan bingung, lalu masuk ke toilet. Dia tidak melihat wajahku, apalagi Rinka-chan yang bersembunyi di belakangku.


"F-fiuh, sepertinya aman..."


"Iya..."


Aku merasa lemas. Wajah Rinka-chan sangat merah, dan dia menunduk.


Aku melirik ke meja Airi. Dia sedang memainkan HP-nya.

"Ayo keluar sekarang. Airi tidak akan memperhatikan sekelilingnya saat main HP, ini kesempatan."


"Tunggu, Senpai."


"Tapi kita harus cepat."


"Aku tahu. Tapi beri aku waktu sebentar. Kalau tidak, aku tidak akan bisa tenang..."


Wajah Rinka-chan memerah seperti apel, dan dia terlihat gelisah.


Meskipun ini keputusan mendadak, wajar saja setelah wajah kami sedekat tadi. Memikirkannya membuat wajahku panas...



"Kita berhasil keluar..."


"Melelahkan."


Kami meninggalkan restoran dan bersembunyi di area sepi di belakangnya. Barang-barang kami masih di dalam, dan kami belum bayar, jadi kami harus segera kembali.


"Kita hanya bisa menunggu mereka keluar... Tapi aku tidak mau menunggu lama."


Apa ada cara untuk membuat mereka keluar dari restoran...?


Saat aku sedang berpikir, Rinka-chan menyandarkan kepalanya di bahu kananku.


"Aku lelah. Senpai, elus kepalaku."


Aku menggaruk pelipisku dengan jariku, sambil mengalihkan pandanganku.


"Rinka-chan ini manja, ya?"

"Begitulah. Tapi cuma ke Senpai."


"Seperti ini?"


Sambil berkata begitu, aku menaruh tanganku di kepalanya dan mengelusnya dengan lembut.


"Canggung, tapi tidak buruk."


"Aku tidak terbiasa melakukan hal seperti ini."


"Kalau begitu, pakai kepalaku sampai terbiasa."


Rinka-chan tersenyum lebar. Senyumnya itu membuat jantungku berdebar tak karuan.


Lalu, saku kiriku tiba-tiba bergetar.


Aku melihat notifikasi dan wajahku menegang.


"Ada apa?"


Lebih baik menunjukkannya daripada menjelaskan.


Aku memiringkan HP-ku agar mudah dilihat, dan Rinka-chan mengangkat wajahnya.


Bosan


Toshi-kun, temenin aku


Kamu sudah istirahat belum?


Itu notifikasi chat dari Airi. Dia mengirimnya berulang-ulang.


Memangnya dia bosan kenapa? Padahal dia lagi asyik di restoran sama Shintarou.


"Menjijikkan. Dia punya hati nurani atau tidak, sih..."

Rinka-chan menggigit bibir bawahnya, menunjukkan kemarahannya.


Perasaan kecil yang tersisa untuk Airi, lenyap sudah.


Aku tersenyum sinis, lalu membuka chat dari Airi.


"Eh, apa boleh dilihat?"


"Aku bisa memanfaatkan ini. Kalau berhasil, aku bisa mengusir mereka dari restoran."


Aku mengetik pesan tanpa emosi dan mengirimnya ke Airi.


Pas banget. Hari ini aku tidak ada kerjaan, sepertinya kerjaanku akan selesai lebih cepat. Bisa ketemu sekarang?


Langsung dibaca.


"Ah, iya. Tsukimiya-senpai sendiri yang bilang bosan, jadi dia tidak mungkin menolak untuk bertemu."


"Sekarang tinggal tunggu balasannya."


HP-ku bergetar lagi, notifikasi baru muncul.


Iya, bisa kok :)


"Kena pancing."


"Benar. Dengan begini, mereka pasti keluar..."


Aku membalas pesan Airi.


Syukurlah. Kalau begitu, di restoran depan stasiun, ya?


Aku menentukan tempat pertemuan di lokasi yang sama dengan mereka. Dengan begini, Airi dan Shintarou pasti akan keluar.


"Bertemu di sini? Nanti mereka tidak akan pindah dari meja mereka."

"Kalau dipikir dari sudut pandang Airi, tidak mungkin. Dia pasti ingin menghapus jejak kebersamaan dengan Shintarou."


"Benar juga. Tapi, apa mungkin kakak tetap di sana?"


"Shintarou juga tidak mau hubungannya dengan Airi ketahuan. Jadi, dia pasti keluar untuk menghindariku."


Jika mereka merasa bersalah, mereka akan mencoba menghilangkan jejak.


Aku mengamati pintu masuk restoran.


Tak lama kemudian, pintu otomatis terbuka dan Airi serta Shintarou muncul.


"Ah, beneran keluar. Hebat, Senpai!"


Rinka-chan menatapku dengan penuh kekaguman. Aku membungkuk dan mendengarkan percakapan mereka.


"Kamu yang memanggilku, tapi langsung bubar. Kamu egois sekali."


"Aku mau ketemu Toshi-kun, kan. Dia bilang mau ketemu di sini."


"Ya sudah. Toshiya juga kadang tiba-tiba punya waktu luang. Biar ini jadi pelajaran, biasakan sendirian."


"Tidak usah sok tahu. Kamu juga, hilangkan sifat siscon-mu. Itu sangat menjijikkan."


"Itu karena semua wanita di dunia tidak ada yang bisa mengalahkan Rinka."


"Duh... menjijikkan..."


Suasana jadi tegang.


Lalu, Airi mengeluarkan HP-nya dan mengetik sesuatu. Notifikasi masuk ke HP-ku.


Aku langsung ke sana, ya.


Setidaknya, kami tidak akan berpapasan.


Airi berhenti dan menunjuk Shintarou.


"Oke, mulai sekarang kita pisah jalan. Jangan dekati aku."


"Dasar egois."


"Hah? Kalau ada satu saja kemungkinan Toshi-kun melihat kita berdua, kamu mau bagaimana? Kamu bisa bertanggung jawab?"


"Setelah melakukan hal berisiko, kamu masih berani bicara. Jangan-jangan Toshiya sudah tahu?"


"Aku selalu berhati-hati. Lagi pula, Toshi-kun tidak pernah berbohong dan mudah ditebak. Kalau dia sudah tahu, aku pasti akan menyadarinya!"


Airi berbicara dengan nada kesal.


Memang benar, sebelum aku tahu dia selingkuh, aku tidak pernah berbohong padanya.


Airi lari meninggalkan tempat itu.


Shintarou, yang kini sendirian, menghela napas panjang.


"Aku terjebak dengan wanita yang merepotkan..."


Dia lalu pergi seolah tidak terjadi apa-apa.


Setelah Airi dan Shintarou menghilang, ketegangan di sekitarku perlahan mereda.


Sekarang kami bisa bicara seperti biasa.


"Berhasil, ya!"


"Iya. Ayo kita ambil barang-barang kita."


Kami kembali ke dalam. Aku duduk di meja kami dan menyandarkan punggungku.


"Rasanya lemas, teganganku hilang."


"Aku juga, aku sangat mengerti."


"Tapi kita harus cepat keluar, kan. Senpai akan bertemu Tsukimiya-senpai."


"Iya. Tapi sebelumnya, ada satu hal yang ingin aku sampaikan, Rinka-chan."


Rinka-chan mengerutkan keningnya, kebingungan.


"Aku akan putus dengan Airi."


"Putus...? Eh? Senpai gila? Bagaimana dengan balas dendamnya?!"


Rinka-chan terkejut.


"Setelah mendengar percakapan mereka tadi, aku sadar. Airi dan Shintarou yang aku kenal sudah tidak ada lagi."


"Senpai..."


"Perasaanku yang tersisa padanya juga sudah benar-benar hilang. Benar kata orang, lawan dari cinta adalah ketidakpedulian. Aku tidak peduli lagi. Bahkan membuang waktu untuk balas dendam rasanya sia-sia."


"Kalau Senpai bilang begitu, aku akan menghormati keputusanmu, tapi..."


Rinka-chan menunduk sedih.


"Jadi, aku juga tidak perlu jadi selingkuhanmu lagi."


"Ya, begitulah... Kalau kita putus, tidak perlu pura-pura selingkuh."


Semangat Rinka-chan menghilang. Bahkan matanya mulai berkaca-kaca.


Rinka-chan dengan sigap membereskan barang-barangnya dan berdiri dengan cepat.


"A-aku pulang saja."


"Tunggu, Rinka-chan. Ada hal penting yang belum aku sampaikan."


"Hal penting...?"


Ada dua alasan mengapa aku memutuskan untuk berpisah dengan Airi.


Pertama, seperti yang aku katakan tadi, balas dendam tidak lagi menarik bagiku.


Kedua, aku tidak ingin menjadikan Rinka-chan selingkuhanku.


Tanpa Rinka-chan, aku tidak akan bisa bangkit dari keputusasaan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.


Kehadiran Rinka-chan telah tumbuh menjadi hal besar bagiku, dan dia menumbuhkan perasaan baru di hatiku.


"Aku suka Rinka-chan. Mungkin ini terdengar murahan, karena aku baru saja putus dengan Airi. Mungkin kamu tidak akan percaya, tapi aku ingin bersamamu, Rinka-chan."


Ini perasaanku yang sebenarnya. Aku ingin menghabiskan waktuku dengan Rinka-chan, bukan untuk balas dendam pada mereka yang sudah mengkhianatiku.

"Kalau aku memendam perasaan ini dan terus bersamamu, itu akan jadi perselingkuhan yang sesungguhnya. Aku tidak ingin menjadikanmu selingkuhanku, Rinka-chan. Jadi, aku akan putus dengan Airi, dan setelah itu... maukah kamu jadi pacarku?"


Aku menatap mata Rinka-chan dengan serius, lalu dengan berani mengulurkan tangan kananku.


Wajah Rinka-chan memerah, dan air mata mulai jatuh.


"M-maaf! Aku tidak bermaksud membuatmu sedih..."


Rinka-chan menyeka air matanya dengan lengan seragamnya.


"Bukan itu... Maaf. Aduh, air mataku tidak mau berhenti... Karena... sudah lama aku bermimpi jadi pacar Senpai... aku... sangat bahagia."


Rinka-chan menggenggam tanganku yang bergetar dan menjawab dengan suara serak.


"Kalau denganku, tolong jadikan aku pacarmu, Senpai."


Setelah itu, Rinka-chan menangis cukup lama.


Merasakan perasaannya, tekadku semakin kuat.


Sekarang, aku akan putus dengan Airi.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close