Penerjemah: Ramdhian
Proffreader: Ramdhian
Afterword
Terima kasih telah membaca. Aku pengarangnya, Shiohon.
Mungkin terkesan tiba-tiba, tapi di sini aku ingin sedikit bercerita tentang Oden Dingin yang juga muncul dalam karya ini.
Cerita ini terjadi pada suatu Sabtu di bulan Desember yang dinginnya menusuk tulang.
Seperti biasa, setelah mengantar istriku kerja, aku menghabiskan hari liburku seperti biasa: mencuci piring, menyalakan mesin cuci, menyedot debu, membersihkan kamar mandi, dan lain-lain.
Ketika siang tiba dan aku hendak mengangkat jemuran di luar, angin dingin yang sejuk menyelimutiku. Saat itu juga, aku dikuasai oleh keinginan, “Ingin makan Oden.” Aku pun memutuskan menu makan malam hari itu adalah Oden. Aku segera pergi ke supermarket terdekat, membeli bumbu Oden instan dan bahan-bahannya, lalu merebusnya di panci sambil menunggu istri aku pulang.
Lalu, aku menikmati Oden bersama istriku yang baru pulang kerja, sambil menonton acara variety show malam.
Saat sedang asyik menikmati makan malam bersama istri sambil mengobrol hal-hal ringan seperti kejadian hari itu atau obrolan pekerjaan, aku bertanya, “Oden-nya enak?” Istriku menjawab, “Iya. Enak, kok, “ sambil tetap menonton TV.
Saat itu juga, entah kenapa, tombol di dalam diriku tertekan.
Aku ingin membuat Oden pamungkas yang bisa membuat istri aku melongo dan melupakan TV saking terpukaunya.
Sejak hari itu, dimulailah hari-hariku dalam pencarian Oden pamungkas.
Aku mulai pilih-pilih soal katsuobushi dan rumput laut untuk kaldunya, pilih-pilih soal cara membuat kaldunya, pilih-pilih soal bahan isiannya, dan pilih-pilih soal cara merebusnya. Oden yang dulunya kubuat pada Sabtu sore dan dimakan malam itu juga, kini prosesnya berubah. Aku mulai menyiapkannya dari Jumat malam, dan baru dimakan pada Minggu malam.
Apa kau tahu? Katanya, bumbu itu lebih meresap saat Oden mendingin, bukan saat sedang direbus panas-panas. Aku mengetahui fakta ini di tengah perjalanan pencarian Oden pamungkas.
Begitulah, proyek Oden pamungkasku, yang mengorbankan hari libur dan uang jajanku tanpa ragu, akhirnya mencapai hasil yang memuaskan sekitar bulan Maret, saat hawa dingin mulai mereda.
Setelah melalui berbagai percobaan, akhirnya, istriku menunjukkan ekspresi terkejut begitu dia menggigit sepotong lobak, “Enak banget!”
Aku langsung melakukan pose kemenangan dan memasang wajah sombong maksimal pada istriku.
Beberapa minggu kemudian, pada Jumat malam setelah menyelesaikan pekerjaan selama seminggu.
Aku kembali berdiri di dapur dengan hati riang, bersiap membuat Oden lagi. Istriku yang melihatku, menatapku dengan ekspresi agak aneh, “Eh? Mau bikin Oden di hari sehangat ini?”
Tanpa kusadari, kalender sudah menunjukkan bulan April, musim semi telah tiba dan bunga sakura bermekaran. Sudah lewat musimnya untuk makan Oden.
Aku menatap istriku dengan ekspresi putus asa, sambil tetap memeluk panci besar untuk Oden.
“Musim Oden... sudah berakhir?”
“Yah, begitulah. Nanti buatkan lagi kalau sudah dingin, ya.”
Ucapan istriku terdengar lembut, namun terasa putus asa bagiku.
Kenapa! Kenapa Oden tidak boleh dimakan saat tidak dingin!? Padahal aku sudah susah payah menemukan Oden pamungkas! Tidak bisa merelakan Oden begitu saja, aku pun melakukan pencarian di internet dengan kata kunci “Musim panas, Oden”.
Di situlah aku menemukan “Oden Dingin”.
Aku ingin mengajak kalian untuk melepaskan anggapan bahwa oden hanya untuk musim dingin, dan coba buat “Oden Dingin” sekali-kali. Kuah kaldu dingin yang diminum saat berkeringat dan haus itu rasanya luar biasa nikmat, jadi aku merekomendasikannya.
Yah, sampai sini aku telah berbicara panjang lebar soal “Oden Dingin”. Tapi, meskipun aku bicara soal Oden pamungkas atau apalah itu, pada akhirnya, yang paling kusukai sebenarnya adalah Oden dari minimarket.
Makan lobak panas sambil menghembuskan napas putih di tengah salju yang turun lebat adalah kenikmatan tiada tara. Hidup yuzu kosho!
Previous Chapter | ToC |



Post a Comment