NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Jinseigyakuten Uwakisare Enzai wo Kiserareta Orega Gakuenichi no Bisyoujo ni Natsukareru V3 Chapter 1

 Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 1

Kejatuhan Keluarga Kondou


── Hari yang Sama · Sudut Pandang Kondou (Ayah) ──


Aku segera memacu mobil menuju SMA itu. Masalah seperti ini sebaiknya dibereskan secepat mungkin. Sama seperti kasus hotel sebelumnya—selama kita menumpuk uang secara paksa, kebanyakan masalah bisa ditutup-tutupi. Itulah semacam kiat hidupku.


Waktu sudah lewat pukul 12:30. Aku sengaja memilih jam istirahat makan siang. Dengan begitu, akan lebih mudah berbicara dengan guru yang menjadi target.


Dalam kasus kali ini, yang menjadi pusat perhatian tampaknya adalah seorang guru SMA bernama Takayanagi, usia sekitar tiga puluhan, serta kepala sekolah. Usia yang pas. Takayanagi punya prospek karier ke depan. Kepala sekolah punya "umpan" yang bagus berupa jabatan setelah pensiun.


Cukup pamerkan itu, dan mereka pasti bisa ditundukkan.


Di bagian resepsionis, aku menyampaikan keperluan. 


"Saya anggota dewan kota, ayah dari Kondou kelas tiga. Saya ingin berbicara dengan kepala sekolah dan Pak Takayanagi…"


Aku sengaja datang sebagai seorang politisi, memberi tekanan pada sekitar.


Dengan ini, pertemuan seharusnya bisa segera diatur.


Benar saja, petugas resepsionis langsung menghubungi mereka berdua. Aku pun diantar ke ruang kepala sekolah. 


Baiklah, mulai dari sinilah pertarungan sebenarnya.



"Wah, wah, selamat datang, Kondou-san."


Sekitar sepuluh menit kemudian, dua orang guru masuk—kepala sekolah dan Takayanagi, demikian mereka memperkenalkan diri.


"Maaf telah merepotkan di tengah kesibukan Anda. Saya ingin berkonsultasi mengenai urusan anak saya."


Aku sengaja merendah untuk memuaskan harga diri mereka. Kalau ini tak mempan, barulah aku mengancam.


"Oh? Maksudnya bagaimana?"


"Ya, saya mendengar bahwa Bapak berdua mencurigai anak saya. Katanya, terkait insiden kekerasan yang terjadi dua minggu lalu…"


Mendengar itu, keduanya memasang ekspresi bingung seolah sedang berakting.


Lalu Kepala sekolah yang menjawab. 


"Tidak, kami tidak mencurigai putra Anda. Kami hanya menyampaikan hal itu kepada seluruh siswa dalam apel sekolah. Namun, jika Anda berkata demikian, apakah artinya Anda memang punya sesuatu yang menjadi kekhawatiran terkait putra Anda?"


Sial. Aku diarahkan dengan halus. Jadi mereka belum menuduh secara langsung, ya. Dasar anak bodoh itu.


"Ya, tampaknya begitu. Dari penjelasan anak saya, katanya ia terlibat masalah asmara dan karena emosi sesaat, ia memukul juniornya. Ia sangat menyesal dan benar-benar merefleksikan perbuatannya. Karena itu, saya berharap masalah ini bisa diselesaikan secara damai."


Sekolah pun pasti tak ingin skandal seperti ini muncul ke permukaan. Aku menyiratkan bahwa kepentingan kami sejalan.


"Begitu ya. Sejujurnya, kami ingin mendengar itu lebih awal. Kami sudah memanggilnya dan mendengar penjelasan langsung darinya. Anda tidak mengetahuinya?"


Kepala sekolah tetap saja licin dan sulit ditebak.


"Itu baru saya dengar. Usianya sedang masa remaja. Mungkin dia tak ingin menunjukkan kelemahannya kepada orang tua. Anak saya sedang berada di masa penting menjelang masuk universitas. Kami juga mempertimbangkan jalur rekomendasi olahraga, dan pihak universitas sudah memberi tanggapan positif. Jika hal seperti ini menjadi konsumsi publik, itu akan berdampak buruk bagi masa depannya. Bapak-bapak tentu mengerti. Skandal semacam ini adalah santapan empuk media. Kalau bisa, jelas lebih baik tidak dipublikasikan. Dari sudut pandang generasi kami, ini hanyalah pertengkaran anak-anak. Demi hal sepele seperti itu, alangkah baiknya kita menghindari kerugian besar bagi kedua pihak."


Mendengar itu, sikap mereka berdua menjadi kaku. Tampaknya ancamanku mulai mengena.


Akhirnya Takayanagi, yang sejak tadi diam, membuka mulut. 


"Hanya pertengkaran anak-anak, katamu?"


"Benar. Di masa muda saya, perkelahian antar anak adalah hal biasa. Sekarang, para orang tua terlalu berlebihan. Kepada orang tua pihak sana pun, saya akan menyampaikan permintaan maaf dengan sungguh-sungguh. Tentu saja, saya juga berniat menunjukkan itikad baik. Jadi, saya berharap pihak sekolah juga bisa menyelesaikan ini secara damai. Jika masalah ini mencuat, penilaian terhadap para guru dan jumlah pendaftar ujian masuk sekolah pun akan terdampak."


Baiklah, saatnya mulai mengancam.


Guru muda itu melanjutkan. 


"Menyelesaikan secara damai maksudnya pihak sekolah harus menutup-nutupi?"


"Kata ‘menutup-nutupi’ terdengar kurang enak. Namun, karena profesi saya, saya punya koneksi di berbagai tempat. Jadi, selama pihak sekolah tidak bergerak secara terbuka, semuanya bisa diatur. Reputasi buruk tak akan muncul ke permukaan. Dengan begitu, kita sama-sama untung, bukan?"


Ekspresi Takayanagi membeku seolah kehilangan kata-kata, lalu ia menghela napas kecil. Ah, tipe seperti ini rupanya.


"…Jangan main-main."


Wah, tipe guru berdarah panas yang jarang ditemui sekarang.


"Takayanagi-san, anggap ini sebagai pembicaraan bisnis. Jika kalian tutup mulut, saya juga akan memberi kemudahan bagi kalian ke depannya. Atau, Anda lebih memilih menjadikanku musuh dan terus makan nasi dingin selamanya?"


Topeng kesopanan sudah kulepaskan. Sisanya tinggal menekan dengan alat kekerasan bernama kekuasaan.


"……"


Diam saja, ya. Rupanya diri sendiri tetap yang paling berharga. Yah, wajar.


"Sudah paham? Anak saya punya masa depan—masa depan yang cerah. Cobalah bersikap dewasa. Lagipula, hanya pertengkaran anak-anak sampai dibesar-besarkan begini… Katanya dipukul, tapi bukankah itu cuma bercanda kasar? Kalau ini saja dianggap masalah besar, bukankah kemampuan manajemen kalian yang bermasalah? Enak ya jadi pegawai negeri. Kalau di swasta, kalian sudah dipecat."


Aku melontarkannya bertubi-tubi. Guru muda itu gemetar hebat. Ah, perasaan menekan orang dengan kekuatan seperti ini memang nikmat.


"Dengan segala hormat—"


Aku mendekat menatap wajah Takayanagi yang memerah karena marah. Tapi anak muda seperti ini tak bisa berbuat apa-apa.


Hanya seorang guru belaka.


"Takayanagi-sensei, tenanglah."


Kepala sekolah buru-buru menengahi. Memang pengalaman usia, tampaknya dia paham situasi.


"Tapi, Pak Kepala Sekolah…"


Melihat wajah Takayanagi yang menatap atasannya dengan penuh penyesalan, aku yakin akan kemenangan.


"Takayanagi-sensei. Kamu masih muda, tak perlu berdiri di garis depan menggantikan kepala sekolah yang lebih tua. Hal seperti ini adalah tugas orang yang lebih berpengalaman. Mohon maaf, Kondou-san…"


Kepala sekolah tampak ramah, tapi rupanya pengecut. Yah, justru itu mempermudah urusan.


"Memang, Pak Kepala Sekolah paham situasi. Kalau begitu, ke depannya—"


Saat aku hendak memaparkan rencana selanjutnya, kepala sekolah menghantam meja dengan keras.


BANG! Suara keras menggema.


"Apa—"


Tanpa sadar aku bersuara lemah karena kaget.


"Hanya pertengkaran anak-anak, katamu!? Malulah! Malu!! Gara-gara anakmu, masa depan seorang siswa SMA hampir hancur total!"


Suara amarah yang menggelegar memenuhi ruangan—tak terbayangkan berasal dari kepala sekolah yang tadi tersenyum lembut.


"Hah…?"


Aku bertanya balik, tak memahami apa yang terjadi.


"Dan aku tak akan membiarkanmu terus menghina bawahanku!! Takayanagi-sensei tidak pantas diremehkan oleh orang sepertimu!!"


Serangan balik yang dahsyat pun menghantamku.



── Sudut Pandang Takayanagi ──


Aku melihat kepala sekolah marah besar dan meninggikan suara untuk pertama kalinya. 


Aku dan anggota dewan Kondou sama-sama terdiam membeku. Aku pernah mendengar bahwa saat menjadi anggota klub rugby, kepala sekolah dijuluki "panglima tempur". 


Karena biasanya beliau tak pernah memarahi siapa pun dan selalu tersenyum ramah, aku mengira cerita itu hanya dilebih-lebihkan.


Namun kini aku sadar—cerita itu benar adanya.


Bahkan anggota dewan yang tadinya datang untuk memberi tekanan pun kini terintimidasi oleh wibawa itu.


Kepala sekolah melanjutkan. 


"Ketika kami bersikap rendah hati dan mendengarkan, yang keluar justru ucapan-ucapan yang semakin kurang ajar. Dengarkan baik-baik. Anda adalah anggota dewan kota. Seharusnya, itu adalah profesi yang menjadi teladan bagi warga. Dalam urusan keluarga sendiri pun, orang yang paling pertama merasa bertanggung jawab seharusnya adalah Anda sendiri. Namun apa yang Anda lakukan? Anda mengabaikan tanggung jawab itu dan justru merendahkan Takayanagi-sensei yang dengan setia menjalankan tugasnya. Itu sungguh tidak dapat diterima. Anda adalah orang yang menerima gaji dari pajak warga, posisi yang penuh tanggung jawab. Meski begitu, Anda memaksa pihak sekolah untuk menutupi kasus kekerasan yang dilakukan anak Anda. Jangan main-main. Itu adalah perbuatan tercela yang bahkan mengkhianati kepercayaan warga yang memilih Anda."


Dengan lancar dan terstruktur, ia mengkritik sang anggota dewan, namun nada suaranya sama sekali tidak menurun.


Melihat kepala sekolah dengan sikap tegas menolak tuntutan penutupan kasus dari anggota dewan Kondou, aku hampir saja bertepuk tangan.


Anggota dewan yang sempat membeku itu akhirnya membuka mulut untuk membalas. 


"Apa-apaan ini… Kalau masalah seperti ini sampai mencuat ke publik, bagaimana dengan wibawa sekolah? Gara-gara kepala sekolah yang mengibarkan rasa keadilan hijau seperti Anda, nama besar SMA yang punya sejarah dan tradisi panjang ini akan tercoreng."


Namun kepala sekolah menjawab tanpa sedikit pun gentar. 


"Kalau wibawa sekolah bisa rusak hanya karena hal seperti ini, lalu apa sebenarnya yang pantas dibanggakan? Justru jika sekolah ini harus ditunjuk-tunjuk karena menutup mata terhadap masalah seperti ini, saya akan malu sebagai kepala sekolah. Dengarkan baik-baik. Apa gunanya melindungi sejarah dan tradisi yang tak bermakna dengan membiarkan kekerasan dan perundungan merajalela? Tradisi yang patut dibanggakan adalah sesuatu yang diciptakan oleh setiap siswa yang belajar dan kemudian melangkah keluar dari sekolah ini. Lalu apa nilai dari mengorbankan masa depan anak-anak yang menciptakan tradisi itu demi terikat pada masa lalu? Itu tidak lebih dari salah paham terhadap tujuan dan makna pendidikan."


"Apa—"


Anggota dewan Kondou tampak membeku, jelas tidak pernah membayangkan akan ditolak sedemikian keras.


"Jika bahkan satu siswa saja tidak bisa kami lindungi, kami tidak pantas menyebut diri sebagai pendidik. Demi melindungi siswa, luka sebesar itu adalah harga yang murah. Bukankah Anda yang keliru memahami sesuatu, Kondou-san?"


"Tapi anak saya juga siswa di sini. Sekolah punya kewajiban untuk melindunginya… Lagipula, reputasi kalian juga akan tercoreng—"


"Kondou-kun telah melakukan sesuatu yang secara hukum tidak boleh dilakukan. Mengajarkan itu kepadanya juga merupakan tugas guru. Melindungi dan memanjakan adalah dua hal yang berbeda. Jika seseorang melakukan kesalahan, membimbingnya untuk bertanggung jawab adalah bagian dari pendidikan. Justru jika kami menutupi tindak kriminal, itulah yang akan benar-benar mencoreng wibawa sekolah bersejarah ini. Penilaian kami pun akan jatuh. Cara berpikir seperti itulah yang seharusnya Anda malukan."


Anggota dewan Kondou memerah wajahnya, namun tak mampu membantah logika lurus kepala sekolah dan hanya tampak menahan amarah.


"Begitu ya. Sekarang aku paham. Kalian rupanya orang-orang bodoh. Ini seharusnya kesempatan. Tapi kalian menginjak-injaknya. Jangan menyesal nanti. Dengan ini, karier guru kalian dan tradisi sekolah ini akan mendapatkan luka besar."


Melontarkan kata-kata itu dengan kesal, sang anggota dewan membuka pintu dengan membantingnya dan pergi.


Aku dan kepala sekolah saling menatap. Lalu beliau tersenyum. 


"Takayanagi-sensei, apa pun yang dia katakan, saya bangga dengan tindakan Anda. Jangan dipikirkan. Dan waktu untuk peringatan terakhir sudah lewat. Tidak perlu sungkan lagi."


Kepala sekolah membuka pintu yang terhubung ke ruang tamu di sebelah.


Di sana, keluarga dari putra pertama pria yang pernah diselamatkan itu menyambut kami dengan senyum pahit.


Ternyata, orang yang diselamatkan oleh Aono dan yang lain adalah Yamada-san, mantan ketua DPRD prefektur yang telah pensiun. Karena faktor usia, ia mundur dari dunia politik dan posisinya diteruskan oleh putra sulungnya. 


Artinya, putra tersebut adalah anggota DPRD prefektur yang sedang menjabat—dan anggota dewan Yamada itu menundukkan kepala dengan penuh rasa bersalah.


"Saya tidak menyangka Kondou-san adalah orang seperti itu… Sebagai sesama anggota partai, saya benar-benar merasa malu. Soal ini, kami juga akan menanganinya dari pihak kami. Aono-kun, ini pasti berat bagimu."


Atas kejadian ini, Aono dan Ichijou menerima ucapan terima kasih dari keluarga Yamada.


"Terima kasih banyak, Bapak dan Sensei…"


Ketahuan juga, ya. Aku berniat menyelesaikannya dengan damai karena ada Aono, tapi tak kusangka ancamannya akan sejelas itu.


"Kamu tidak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan dan mengatakan apa yang harus kukatakan."


Kepala sekolah menepuk bahu Takayanagi-sensei dengan ringan. 


"Benar. Sebenarnya ini bukan pembicaraan yang seharusnya kau dengar. Aku kurang mempertimbangkan perasaanmu. Justru aku yang minta maaf."


Mata Aono tampak berkaca-kaca. Sementara Ichijou yang berdiri di sebelahnya jelas dipenuhi amarah. Ia memasukkan tangan ke saku dada seragamnya dan menggerakkan sesuatu. Bersamaan dengan bunyi logam kecil klik, terdengar suara seolah sesuatu telah berubah.



── Jam Istirahat Siang · Sudut Pandang Aida dari Klub Sepak Bola ──


Kami kembali ke kelas dari kantin. Waktu sudah lewat sekitar tiga puluh menit dari tengah hari.


Saat berjalan santai di lorong, ponsel di sakuku bergetar pelan. Grup LINE klub sepak bola berbunyi menandakan pesan masuk.


"Sejauh mana ketahuan? Apa cuma soal kami ikut menyebarkan, atau sampai ke keterlibatan dalam perundungan juga? Kekerasan itu sebenarnya sejauh mana sih yang disebut kekerasan…" 


"Gimana ini. Aku butuh rekomendasi olahraga, setidaknya harus masuk empat besar tingkat prefektur. Gimana kalau aku nggak bisa ikut turnamen?" 


"Mana mungkin bisa, dasar bodoh." 


"Hei, ngomong apa kamu sama senior—"


Pemandangan neraka penuh jerit tangis.


Semua orang panik dan berteriak. Rasanya darahku surut dari wajah. Kalau ada yang harus pingsan, rasanya aku saja yang ingin roboh.


Situasi yang terus berkembang secara real time membuat semua yang ada di sana diliputi ketakutan. Bisa saja, guru berikutnya yang dipanggil adalah aku.


Tidak—bahkan mungkin aku atau Shimokawa. Soalnya, kami sudah pernah dimintai keterangan. Waktu itu berakhir begitu saja, jadi aku merasa aman. Tapi jangan-jangan kami hanya dibiarkan lengah? Kalau begitu… gawat.


Langkah kaki bergema di lorong. Dengan rasa takut, aku menoleh ke belakang dan melihat Wakil Kepala Tingkat, Iwai-sensei, berdiri sambil tersenyum ramah. 


Bukan wali kelasku, Takayanagi—itu sedikit melegakan. Tapi… dengan senyum dingin, beliau berkata:


"Maaf ya, Aida. Ada sedikit yang ingin kutanyakan. Bisa ikut ke ruang bimbingan siswa?"


Instingku langsung berteriak bahaya, dan aku mencoba mengelak. 


"Eh, habis ini ada pelajaran. Lagipula—"


"Tidak apa-apa. Mulai sekarang, ada hal yang lebih penting daripada pelajaran yang harus kupelajari kepadamu. Aku sudah bicara dengan guru mata pelajaran berikutnya. Dan kau sendiri punya gambaran, kan?"


"Eh, anu…"


Kata-kata tak keluar dengan baik. Dengan ekspresi dingin yang belum pernah kulihat sebelumnya, beliau melanjutkan. 


"Jangan coba-coba kabur. Kami sudah tahu semuanya."


Wakil Kepala Tingkat mengeluarkan selembar kertas dari sakunya dan menunjukkannya padaku.


Itu adalah riwayat pesan grup LINE siswa kelas dua klub sepak bola. Di sana tertulis seluruh rencana kami untuk mengganggu Aono.


[Memangnya Aono pantas pacaran sama Amada? Itu sudah gila. Nggak selevel.]


[Iya. Senior-senior juga bilang, biar kami yang satu angkatan ini mendidik dia dengan benar. Jadi ya mau nggak mau.]


[Benar. Nggak bisa dimaafin kalau katanya dia pernah main kasar sama pacarnya yang cantik.]


[Kalau sudah dibilang sama Kondou-senpai dan kapten, ya harus jalan.]


[Oke, setelah latihan pagi, kumpul di kelas kita!]


Pesan-pesan yang seharusnya tak mungkin bocor itu—kenapa…?


Jawabannya segera muncul. Tidak ada kemungkinan lain selain seseorang menjual kami demi menyelamatkan dirinya sendiri.


"Bukan begitu, Pak. Ini cuma bercanda saja—"


"Oh, begitu ya. Tapi kepala sekolah sudah bilang, kan? Kalau ada siswa yang merasa bersalah atau tahu sesuatu, diminta melapor ke wali kelas sebelum tengah hari. Dan itu adalah peringatan terakhir. Kamu paham maksudnya, kan? Detailnya nanti kita bicarakan pelan-pelan di ruang bimbingan siswa. Waktu kita banyak kok…"


Aku merasa seolah lantai di bawah kakiku runtuh.


Di sekolah ini, peristiwa yang kemudian dijuluki ‘Pembersihan Besar Klub Sepak Bola’ atau ‘Insiden Senin Berdarah’—sebuah hukuman massal—resmi dimulai.



── Sudut Pandang Kapten Klub Sepak Bola ──


Aku dibawa oleh wali kelasku ke ruang persiapan kimia yang sedang kosong.


Suasana yang tidak biasa membuat firasat buruk menjalar di dadaku.


Tidak, seharusnya aku sudah mengerti. Hanya saja, aku tidak mau mengakuinya dalam hatiku sendiri.


Foto-foto memalukan Kondou sudah terlanjur tersebar. Penyelidikan pasti akan semakin ketat. Dalam proses itu, semuanya akan terbongkar. Kalau dipikir-pikir, itu adalah penjelasan yang paling masuk akal.


Di sana, berdiri wakil kepala sekolah.


"Apakah kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?"


Biasanya dia adalah pria setengah baya dengan tutur kata sopan dan sikap santai, tapi hari ini dia terasa seperti algojo kejam yang akan menjatuhkan hukuman mati.


"Aku tidak tahu."


Aku mencoba melawan sedikit saja, meski sadar itu sia-sia.


"Begitu ya. Sebenarnya, saya menilai tinggi klub sepak bola kalian. Kalian selalu meraih hasil di kejuaraan tingkat prefektur, dan meskipun sekolah negeri memiliki banyak keterbatasan, kalian bertarung dengan berani. Namun, sejak kapan kalian mulai menjadi sombong? Orang yang memiliki kekuatan, lalu mabuk oleh kekuatan itu. Kami sebagai pihak guru juga gagal mengoreksinya. Dalam hal itu, kami benar-benar menyesal."


Nada bicaranya seolah mengatakan bahwa dia sudah mengetahui segalanya.


"……"


Detak jantungku semakin cepat. Tidak ada lagi jalan untuk kabur.


"Pihak sekolah sudah memastikan berbagai bukti mengenai sejumlah tindakan bermasalah yang dilakukan oleh Kondou. Dan juga, terkait kasus perundungan terhadap siswa kelas dua, Aono Eiji, telah dipastikan adanya keterlibatan terorganisir dari klub sepak bola……"


Wakil kepala sekolah yang menekan kami dengan dingin, datar, dan rasional itu terasa seperti detektif terkenal dalam novel misteri.


"Aku tidak melakukan apa pun……"


Belum sempat menyelesaikan kalimatku, dia sudah menggelengkan kepala.


"Itu kebohongan, dan kami sudah mengetahuinya. Jadi hentikan hal sia-sia seperti itu. Memang benar, kamu tidak terlibat secara langsung. Namun, kamu memerintahkan beberapa adik kelas untuk melakukan perundungan terhadap Aono Eiji. Ini adalah riwayat percakapan dari aplikasi pesan yang kalian gunakan. Selain itu, kami juga sudah mengetahui akun media sosial cadangan milikmu. Kamu menyebarkan informasi palsu dan menghasut para junior. Untuk memastikan, saya bertanya sekali lagi. Tidak salah jika kami menyimpulkan bahwa kamu adalah salah satu dalang utama perundungan ini, bukan?"


Keringat dingin, jantung berdebar, penyesalan, dan ketakutan. Semua emosi negatif itu menyerbu sekaligus. Menghadapi tekanan wakil kepala sekolah, tanpa sadar aku mengakui semuanya.


"Iya. Memang, aku sudah keterlaluan. Aku minta maaf. Aku juga sudah merepotkan sekolah. Tapi mulai sekarang aku akan menyesalinya dan bekerja lebih keras lagi dalam sepak bola……"


Aku berusaha melanjutkan pembelaan diri dan pernyataan penyesalan dengan putus asa, namun wakil kepala sekolah menepukkan kedua tangannya, membuat kata-kataku terhenti.


"Minta maaf? Merepotkan sekolah? Bekerja lebih keras dalam sepak bola? Apa kamu benar-benar berpikir seperti itu?"


Nada bicaranya memperlihatkan sedikit harapan. Aku langsung mengangguk cepat.


"Iya. Itu bukan kebohongan. Mulai sekarang aku akan serius……"


Namun sebelum aku selesai bicara, suara teriakan yang belum pernah kudengar sebelumnya memotong kata-kataku.


"Orang pertama yang harus kalian minta maaf adalah Aono Eiji, bukan!"


Wakil kepala sekolah berteriak dengan kemarahan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku sampai kehilangan kata-kata, hanya bisa menatap sumber teriakan itu.


"Pertama-tama, mintalah maaf kepada korban. Sekarang bukan waktunya memikirkan diri sendiri atau melindungi diri. Perundungan adalah tindakan kriminal. Ini bukan lagi zaman di mana hal seperti itu bisa dimaafkan. Apa yang kamu lakukan adalah tindakan yang menghancurkan hidup seseorang. Sepertinya kamu belum benar-benar memahami makna sesungguhnya dari perbuatanmu. Orang tua Aono sudah melaporkan kasus perundungan ini ke polisi. Besar kemungkinan mereka juga akan mengajukan gugatan perdata, seperti tuntutan ganti rugi, terhadap kalian dari klub sepak bola dan siswa-siswa lain yang terlibat. Jika itu terjadi, sebagai pelajar kalian tidak akan bisa berbuat apa-apa. Orang tua kalianlah yang harus bertanggung jawab. Sebagai kapten yang seharusnya melindungi para anggota, tindakan cerobohmu justru menyeret mereka ke neraka. Kamu tidak layak menjadi kapten."


Rasanya seperti pedang sedingin es kering mencabik jantungku.


Wakil kepala sekolah menatapku tanpa belas kasihan.


"Klub sepak bola…… apa yang akan terjadi dengan klub sepak bola?"


"Benar-benar…… baiklah. Akan saya jawab. Banyak anggota, termasuk kamu, yang terlibat dalam kasus perundungan ini akan menerima hukuman berat. Menurutmu, apakah pihak sekolah akan mengizinkan kelangsungan sebuah klub yang menjadi sarang perundungan? Klub sepak bola saat ini sedang disesuaikan ke arah pembubaran. Tentu saja, partisipasi dalam turnamen tidak akan diizinkan."


"Kalau tidak masuk empat besar, rekomendasi olahraga milikku……"


"Apa yang kamu bicarakan. Tidak mungkin sekolah memberikan rekomendasi kepada siswa dengan perilaku buruk. Kalian sendiri yang melukai masa depan cerah yang pernah kalian miliki. Itulah hal yang klub sepak bola kalian coba lakukan terhadap Aono Eiji. Dengan hasil ini, pahamilah dengan sungguh-sungguh beratnya dosa yang telah kalian perbuat."


Setelah berkata demikian, wakil kepala sekolah keluar dari ruang persiapan. Aku menangis sambil merebahkan diri di atas meja.


Mungkin para anggota klub sepak bola lainnya juga sedang mengalami hal yang sama saat ini.


Dan kemarahan serta kekecewaan terhadap Kondou, yang telah membawa kami pada hasil seperti ini, perlahan-lahan mendidih di dalam hatiku.



──Sudut Pandang Kondou (Anak)──


"Permisi. Kami dari kepolisian, apakah ini rumah Kondou? Kami datang karena ingin menanyakan sesuatu terkait putra Anda. Bisa tolong buka gerbangnya?"


Sore hari. Aku mendengar suara ketukan di gerbang rumah. Saat mengintip lewat kamera keamanan, beberapa polisi berseragam terlihat sedang menunggu di sana.


"Hah!?"


Tanpa sadar aku mengeluarkan suara yang memalukan. Apa maksudnya ini. Tidak mungkin aku yang ditangkap. Ayah kan sudah turun tangan.


Tidak mungkin kami, kaum elite, akan ditangkap. Ini pasti suatu kesalahan. Pasti cuma mimpi atau semacamnya…… 


Aku bergerak tergesa dan kakiku membentur meja. Rasa sakitnya luar biasa.


Dan saat itu aku sadar, ini bukan mimpi.


"Kondou-san? Tolonglah, buka gerbangnya. Setidaknya maukah Anda mendengarkan kami sebentar?"


Hatiku tercekik, seolah-olah sebuah guillotine dingin sedang menungguku.


"Aku harus kabur."


Aku mengambil keputusan itu, memanjat pagar di samping tempat polisi mondar-mandir, lalu berlari sekuat tenaga.


Namun, aku langsung ketahuan.


"Hei, ada yang kabur!"


Sial, mereka menyadarinya terlalu cepat.


Aku berlari tanpa arah, hanya memacu tubuhku dengan kecepatan penuh. Tanpa sadar, aku berlari ke arah sekolah.


"Hei, tunggu!!"


Teriakan keras terdengar dari belakang.


Sambil menyadari bahwa singgasana yang selama ini kududuki runtuh tanpa suara, aku hanya berlari menuju jalan keputusasaan.


"Sial, kenapa bisa jadi begini. Aku ini ace klub sepak bola, bakat yang seharusnya kelak bermain untuk tim nasional Jepang……"


Seberapapun aku mencoba membangkitkan rasa percaya diri, teriakan polisi yang mengejar tidak kunjung berhenti.


"Jangan kabur. Hei, ada yang memutar!"


Mendengar itu, aku sengaja berbelok ke gang sempit. Karena aku kabur lewat jalur sekolah yang sudah sangat kukenal, aku langsung tahu dari mana polisi akan mencoba memotong jalan. Aku melempar peti kayu yang ada di sana ke arah seorang polisi.


"Ugh!"


Sepertinya berhasil. Polisi yang berada paling depan tumbang karena kesakitan.


Untungnya aku mengenakan pakaian rumah yang mudah bergerak dan sepatu lari, jadi kondisiku sangat prima.


Sial, kalau sudah begini, aku pasti akan kabur.


Lagipula, mereka cuma polisi. Tidak mungkin bisa menandingi kemampuan fisik ace klub sepak bola.


Tidak kusangka aku harus berlari sejauh ini, bahkan lebih dari saat pertandingan sepak bola, tapi di saat genting seperti ini, tubuhku justru terasa ringan.

Aku berlari sejauh mungkin lewat jalan yang kukenal, dan setelah berhasil mengelabui polisi, aku akan menghubungi ayah dan menyuruhnya mengurus semuanya. Itu rencana terbaik.


"Ayo, bisakah kalian mengikutiku saat aku serius?"


Sambil berkata demikian, aku menambah kecepatan. Gedung sekolah yang sudah kukenal perlahan terlihat. 


Sedikit lagi sampai. Kalau aku bisa masuk ke area sekolah, polisi tidak akan bisa dengan mudah mengejarku. Setelah itu, aku tinggal memutar lewat pintu belakang dan menghilang.


Namun, sesuatu terjadi di luar perkiraanku.


Padahal seharusnya belum benar-benar lewat jam pulang sekolah, entah kenapa banyak orang berkumpul di sekitar gerbang sekolah.


Akibatnya, kecepatanku turun drastis. Gawat, kalau begini aku akan segera tertangkap.


"Hei, minggir. Kalian pikir siapa aku ini. Aku Kondou, siswa kelas tiga!"


Sambil memaki dengan suara keras seperti itu, aku memaksa maju ke depan.


"Hei, ada yang bisa bantu! Tangkap dia!"


Polisi di belakang berteriak. Kerumunan langsung ricuh. Bagus, manfaatkan kekacauan ini untuk melepaskan diri dari mereka.


Saat cahaya harapan terlihat di depan mata, kaki kananku menghantam sesuatu dan aku kehilangan keseimbangan.


"Hah!?"


Aku berteriak kaget, lalu tubuhku terhempas keras ke tanah. Aku bahkan tak sempat melakukan gerakan menahan diri, wajahku langsung membentur aspal yang keras.


Rasa sakit yang bahkan tak sempat menjadi jeritan menjalar ke seluruh tubuh. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi sakitnya luar biasa sampai membuatku berguling-guling. Lututku juga terbentur keras. Sakit, terlalu sakit.


Namun kenyataan tak memberi waktu. Segera terdengar suara dua orang pria.


Salah satunya adalah suara polisi yang lantang dan penuh tenaga, "Tertangkap."


Yang satunya lagi…… suara dingin.


"Aku tidak akan membiarkan panggung kebahagiaan sahabatku dirusak. Tanah ini cocok buatmu."


Aku buru-buru mencoba melihat wajahnya, ingin memastikan siapa yang menjegal kakiku.


Itu seorang pria berkacamata. Kalau tidak salah, ace klub kyudo…… namanya Imai, ya. Apa maksudnya ini. Aku bahkan tidak punya hubungan apapun dengannya.


Namun, polisi-polisi yang datang berhamburan langsung menindihku, membuatku tak bisa mengangkat kepala.


"Berhenti, berhenti, berhenti."


Perlawanan putus asaku sia-sia, aku ditahan oleh beberapa polisi.


Melihat kejadian itu, para siswa yang menonton sempat terdiam sejenak, lalu seseorang berteriak.


"Hei, itu yang ditangkap polisi kan Kondou-senpai kelas tiga, ace klub sepak bola itu!"


Tak lama kemudian, suara rana aplikasi kamera bergema di sekeliling.



──Sudut Pandang Kondo (Ayah)──


Untuk mengalihkan rasa hina yang baru saja kuterima di sekolah anakku, aku sedang memeriksa dokumen persetujuan kerja di ruang kantorku, tiba-tiba sekretaris masuk dengan wajah panik.


"Ada apa?"


Saat aku bertanya demikian, dengan wajah pucat dia menamparku dengan kenyataan.


"Barusan pihak kepolisian…… menghubungi…… mereka mengatakan tuan muda telah ditahan atas dugaan penganiayaan……"


Mendengar laporan itu, tanpa sadar pena di tanganku jatuh ke lantai.


Aku tak mengerti apa yang terjadi. Memang, pihak sekolah bersikap konfrontatif, tapi aku tidak paham kenapa polisi bisa bergerak secepat ini. Apa yang sebenarnya terjadi.


"Segera hubungi pengacara Sawabe."


Belum sempat aku menyelesaikan kalimat itu, sekretaris sudah menyerahkan telepon kepadaku. 


"Sudah tersambung."


"Sawabe-san. Sepertinya Anda sudah mendengar dari sekretaris, tapi apa yang harus aku lakukan…… kalau kabar anakku ditangkap menyebar, tamatlah aku."


Dari seberang telepon, terdengar suara pengacara itu yang jelas-jelas gelisah.


"Ini situasi yang buruk. Kemungkinan besar sudah ada laporan penganiayaan yang masuk ke polisi. Saya akan segera ke sana untuk berbicara dengan polisi dan juga tuan muda. Namun, kalau kondisinya sudah memburuk sejauh ini, satu-satunya jalan adalah berdamai dengan korban dan meminta mereka mencabut laporan……"


"Oh, begitu. Ada cara seperti itu rupanya. Sawabe-san, tolong segera temui anak bodoh itu. Soal uang, aku akan bayar berapapun. Tak peduli sebesar apa pun biayanya, kita harus menyelesaikan ini dengan damai dan setidaknya mencabut laporan……"


Hanya satu secercah harapan yang tersisa, membuat detak jantungku tak bisa berhenti berdebar.


"Tuan. Kami sudah mengetahui siapa yang mengajukan laporan. Kemungkinan besar seorang siswa bernama Aono Eiji. Para siswa juga membicarakannya. Keluarga siswa itu mengelola sebuah restoran bernama Aono Kitchen di dekat stasiun."


Laporan itu datang dari sekretaris yang kukirim ke sekolah untuk mengumpulkan informasi.


Sebagai sekretaris yang cakap, dia juga mengirimkan data lokasi restoran itu ke ponselku.


Dengan ini, aku bisa langsung mendatangi mereka dan menyelesaikan semuanya.


Tenang saja, tak ada sesuatu pun yang tak bisa dibeli dengan uang. Apapun yang terjadi, aku harus membawa ini ke meja damai.


Itu satu-satunya cara untuk bertahan hidup.


Aku mengemudikan mobil kesayanganku.


Dalam belasan menit, aku tiba di tujuan.


Jadi ini Aono Kitchen.


Sampai di lokasi yang ditunjukkan sekretaris, terlihat sebuah restoran ala Barat yang tenang dengan nuansa toko lama.


Menurut informasi, ayah Aono Eiji yang dulu menjadi pemilik dan meninggal karena sakit beberapa tahun lalu, dan kini ibunya serta kakak laki-lakinya yang mengelola tempat ini. Itu kabar baik. Dengan struktur keluarga seperti ini, biasanya mereka kekurangan uang. Jadi meski awalnya menolak, kalau ditumpuk dengan uang…… mereka pasti mau berdamai.


Aku membuka pintu. Seharusnya masih sebelum jam buka.


"Selamat data…… ah, kami belum buka. Ada keperluan apa, Kondou-san, anggota dewan kota?"


Yang muncul adalah ibu Aono Eiji.


Dan melihat dia sudah mengenal siapa diriku, kemungkinan besar dialah orang yang melaporkan kasus anakku.


"Apakah Anda ibu dari Aono Eiji?"


Pertama-tama, aku bersikap sopan, seperti seorang pria terhormat.


"Benar…… ada keperluan apa?"


Penolakan jelas terlihat di wajahnya. Ini akan sulit.


"Kali ini, saya datang untuk meminta maaf atas masalah yang ditimbulkan anak saya. Saya baru mengetahui kebodohan anak saya barusan. Seharusnya saya datang lebih awal untuk meminta maaf, tapi mohon maaf atas keterlambatan ini."


Aku menundukkan kepala dengan sungguh-sungguh.


"Saya tidak ada urusan membicarakan hal itu. Kami akan menyerahkan semuanya kepada penyelidikan pihak kepolisian."


"Jangan berkata begitu. Tolong, bisakah Anda mencabut laporan tersebut. Anak saya sedang menghadapi turnamen penting dan ujian masuk universitas. Tolong selesaikan ini secara damai……"


"Anak saya dipukuli, tahu!? Lalu hanya karena Anda minta maaf, saya harus memaafkannya? Jangan bercanda!"


Dia pun meledak marah. Ini jadi merepotkan.


"Ya, tentu saja. Kemarahan Anda sangat wajar. Karena itu, saya tidak berniat menyelesaikannya tanpa imbalan. Kami akan membayar uang damai yang layak. Jadi, mohon, mohonlah."


Dalam situasi seperti ini, bicara soal uang biasanya akan menggoyahkan hati.


"Apakah Anda pikir saya akan bergerak karena uang. Anda sungguh orang yang tidak sopan."


Hm, hanya berpura-pura tegar. Tidak apa. Mulai dari sini, ini perang.


"Tapi, uang tetap dibutuhkan, bukan? Eiji juga akan segera menghadapi ujian masuk universitas. Tak ada ruginya memiliki uang lebih."


Sekarang, setelah dihadapkan pada kenyataan, dia pasti akan sedikit bimbang. Bagaimana reaksinya.


"Jangan meremehkan saya. Kalau Anda tidak berhenti, saya akan memanggil polisi!"


Ah. Itu kesempatan terakhir. Dia benar-benar membuatku marah.


"Aono-san. Saya ini anggota dewan kota dan juga menjalankan bisnis konstruksi. Kalau memungkinkan, saya ingin menyelesaikan masalah ini dengan tenang. Anda orang dewasa, pasti mengerti maksud saya, bukan?"


"Apakah Anda mengancam saya?"


"Sama sekali tidak. Ini hanya perkenalan diri."


Tentu saja ini ancaman. Sebagai anggota dewan kota, aku bisa menekan balai kota dan ikut campur dalam berbagai izin. Dan aku juga punya uang.


"Orang seperti Anda ini……"


Dia mulai goyah. Sekarang, aku tekan terus.


"Ini hanya gumaman. Toko ini adalah tempat berharga yang ditinggalkan almarhum suami Anda, bukan? Jadi, sebaiknya Anda menjaganya dengan baik. Kalau aku serius, aku bisa melakukan apa saja terhadap toko sekecil ini."


Ayo, cepat setujui damai. Ambil uangnya dan puaslah.


Saat aku yakin akan kemenangan, terdengar suara tepuk tangan dari bagian dalam toko.


Bersamaan dengan suara langkah kaki, bunyi tepuk tangan yang kering mendekat. Siapa ini, apa dia anak sulung yang disebut dalam laporan?


"Pidato yang luar biasa, Kondou."


Sebuah suara serak memanggil namaku dengan nada akrab. Seketika, kemungkinan bahwa itu anak sulung keluarga Aono pun sirna. 


Suara ini pernah kudengar. Siapa dia.


Pemilik suara itu perlahan menampakkan diri. Gerakannya melepas topi seperti seorang aktor memancarkan wibawa yang luar biasa.


"A…… Anda adalah……"


Kemunculan sosok yang sama sekali tak terduga itu membuat suaraku serak.


"Tak kusangka, seorang anggota dewan kota sepertimu memiliki kekuasaan sebesar itu. Terus terang, aku tidak tahu. Sepertinya memang aku yang kurang belajar. Jadi, bolehkah kau menjelaskannya dengan baik pada kakek tua pensiunan ini?"


Mantan wali kota Minami tersenyum lalu duduk di hadapanku. 


Sudah beberapa tahun sejak ia pensiun, tapi sampai sekarang ia masih dipercaya para pegawai dan anggota dewan, serta memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan kota. Kenapa orang sebesar itu berada di restoran kecil seperti ini?


Tidak masuk akal.


"Ayo, coba ulangi sekali lagi, Kondou. Katakan padaku, apa sebenarnya yang bisa kau lakukan."


"Apa yang Anda bicarakan……"


Dengan suara gemetar, tanpa sadar aku melontarkan kata-kata itu.


"Percuma kalau kau mencoba mengelak. Kondou. Aku sudah mendengar semuanya dari belakang. Kalau memang ingin meminta maaf, etika yang benar adalah menghubungi terlebih dulu. Datang tiba-tiba, langsung bicara soal uang. Bahkan tanpa memikirkan perasaan korban, kau mencoba memaksakan jalan damai. Sebagai manusia, itu perbuatan yang paling rendah."


Mendengar itu, darahku terasa tersedot habis.


"Itu, itu karena…… kami juga sudah kehabisan jalan, jadi tanpa sadar aku memakai kata-kata yang agak keras……"


Aku sendiri sadar betapa terbata-batanya diriku.


"Oh begitu, begitu. Tapi, Kondou. Sebenarnya, kepala sekolah tempat putramu bersekolah adalah rekan sesamaku dalam kegiatan relawan. Kalau sampai sini saja, kau pasti sudah mengerti. Kau paham maksudku, bukan?"


Keringat dingin merembes di punggungku. Apa yang tadi siang kukatakan di sekolah saat jam istirahat siang kembali teringat dengan jelas.


"Itu……"


Semua itu sudah sampai ke telinga mantan wali kota!?


Begitu aku menyadarinya, tubuhku tak bisa berhenti gemetar.


"Sudahlah. Aono-san, tolong nyalakan televisinya. Sudah waktunya, bukan? Ini panggung kebanggaan Eiji. Memang sudah direkam, tapi aku ingin menontonnya secara langsung. Orang bodoh seperti ini biarkan saja dulu."


"Baik."


Seolah sudah ada naskahnya, mereka berdua mengabaikanku dan menyalakan televisi yang terpasang di restoran. Berita sore sedang ditayangkan.


Penyiar wanita mulai membacakan berita berikutnya.


"Seorang siswa SMA telah menunjukkan aksi terpuji. Penghargaan dari pemadam kebakaran diberikan kepada Aono Eiji, siswa kelas dua SMA, dan Ichijou Ai, siswa kelas satu, yang tinggal di Kota ○○. Pada Sabtu lalu, keduanya memberikan pertolongan kepada seorang pria yang tiba-tiba pingsan di depan stasiun. Setelah menyerahkan pria tersebut kepada ambulans, keduanya pergi tanpa menyebutkan nama. Video yang merekam aksi pertolongan mereka menyebar di media sosial dan menuai banyak simpati, sehingga pihak pemadam kebakaran dan kepolisian berusaha mencari mereka. Identitas keduanya akhirnya diketahui melalui guru di sekolah mereka……"


Setelah suara penyiar, sepasang siswa SMA muda tampil di layar, menjawab wawancara dengan senyum penuh kebahagiaan.


Begitu mendengar nama Aono Eiji, aku langsung mengerti bahwa dialah anak dari keluarga ini. Namun aku belum memahami nilai sebenarnya dari kisah indah ini.


"Kondou. Kau tahu siapa pria yang diselamatkan Eiji?"


Saat Minami menanyakan itu, aku hanya bisa menggelengkan kepala.


"Sebenarnya, itu Yamada. Mantan ketua DPRD prefektur. Kebetulan memang menakutkan ya. Kau tahu Yamada, bukan? Tokoh besar dari partai yang sama denganmu."

Aku tahu. Dia adalah tokoh besar di DPRD prefektur, orang yang bahkan anggota parlemen nasional pun segan padanya. Meski kini sudah pensiun, putranya mewarisi basis politiknya, dan putranya itu pun figur besar…… keringat dinginku tak berhenti mengalir.


"Begitulah. Kondou, ada seseorang yang ingin kuperkenalkan padamu. Hei, Yamada!"


Dari belakang kembali terdengar langkah kaki.


"Padahal aku ingin menikmati dengan tenang panggung kebanggaan ayahku yang telah ditolong. Tapi suasananya jadi rusak. Benar begitu, anggota dewan kota Kondou?"


Anggota DPRD prefektur Yamada muncul. Pewaris basis politik ayahnya, dan harapan besar generasi muda yang digadang-gadang akan melangkah ke panggung nasional.


"Ke, kenapa……"


"Sebenarnya, tadi aku sempat bertemu Eiji di sekolah. Aku juga ingin memberi salam dengan layak kepada orang tuanya, jadi aku meminta Minami mengantarkanku ke sini. Tapi aku justru mendengar ucapan sekeji itu…… aku benar-benar kecewa."


Dia mengoperasikan ponselnya, lalu memutar rekaman suara dari alat perekam.


[Aono-san. Saya ini anggota dewan kota dan menjalankan usaha konstruksi. Sebisa mungkin saya ingin menyelesaikan masalah ini secara damai. Anda orang dewasa, pasti mengerti maksud saya, bukan?]


[Ini hanya gumaman. Toko ini adalah tempat berharga yang ditinggalkan almarhum suami Anda, bukan? Jadi, sebaiknya Anda tidak terlalu ceroboh menjaganya. Kalau saya serius, toko seperti ini bisa saya apa-apakan.]


Kepalaku mulai sakit karena beban keputusasaan.


"Tak mungkin ucapan seperti itu dibela dengan alasan ‘gumaman’. Apa Anda tidak tahu berita tentang anggota dewan kota dan prefektur lain yang bermasalah karena penyalahgunaan kekuasaan? Kalau ini sampai ke media, semuanya tamat. Malulah. Jika hal ini dipublikasikan, di partai, pemecatan Anda pasti akan dibahas."


Biasanya ramah, anggota DPRD Yamada kini menekan dengan amarah yang jelas.


"Itu cuma pilihan kata saja. Lagi pula, kenapa Minami-san ada di sini……"


Yamada dan Minami menjawab dengan helaan napas panjang.


Sang pria pensiunan berkata dengan dingin.


"Pemilik lama tempat ini adalah sahabat karibku. Dia juga sangat aktif dalam kegiatan relawan. Aku dan pemerintah kota terlalu bergantung pada kekuatan dan kebaikannya. Aono, dalam arti tertentu, adalah pahlawan yang mengorbankan dirinya demi kota ini, dan kami punya utang budi yang tak akan pernah terbalas. Bahkan itu pun tidak kau ketahui, tapi kau masih bisa duduk sebagai anggota dewan kota. Melukai peninggalannya, merendahkannya, lalu mengancamnya. Kau sudah siap menanggung akibatnya kan?"


Aku mendengar suara hatiku runtuh. Gawat. Semua yang telah kubangun akan hancur.


"S-saya mohon maaf……"


Saat aku tergesa hendak menyampaikan permintaan maaf pada Minami, teriakan keras menggema.


"Arah permintaan maafmu salah. Putramu memukul Eiji yang sama sekali tidak bersalah di depan umum, lalu demi melindungi dirinya sendiri menyebarkan informasi palsu, mengucilkannya, dan berusaha membunuhnya secara sosial. Itu belum cukup, kau bahkan mencoba mengancam keluarganya demi keselamatan dirimu sendiri."


Bahkan informasi yang tidak kuketahui terungkap. Seperti yang kuduga, semuanya sudah sampai ke mereka. Tak ada lagi jalan untuk kabur.


Wajahku memucat, dan aku berhadapan langsung dengan ibu Aono Eiji yang tadi sempat kuhadapi dengan kata-kata keras. 


Lututku hampir menyerah, kepalaku jatuh ke lantai karena kalah oleh gravitasi. Aku bersujud. Tanpa diperintah siapa pun, demi memohon ampun, aku sendiri yang melakukan dogeza. 


Untuk pertama kalinya dalam hidupku, kehinaan menyerah total pada orang lain. Dan ketakutan kehilangan segalanya yang jauh lebih besar dari rasa malu itu.


Ketakutan menang atas segalanya.


"Tadi saya telah mengucapkan kata-kata yang sangat tidak pantas. Saya benar-benar minta maaf."


Permintaan maaf yang disertai sujud itu hampir sepenuhnya diabaikan dalam suasana yang dingin. Dengan perasaan seperti terpidana yang naik ke tiang gantungan, aku berdiri di neraka. Dan neraka itu masih berlanjut.


Meski aku terus bersujud, tak seorang pun berkata apa-apa. Keheningan yang menjijikkan menggerogoti hatiku.


"Apa yang sedang Anda lakukan, Kondou-san?"


Suara wanita yang dingin menusuk tajam ke arahku.


"Jadi, saya sedang meminta maaf……"


"Sudah berkali-kali saya katakan. Pergi dari sini. Siapa yang akan memaafkan orang yang mencoba melukai putra berharga saya dan toko penting yang ditinggalkan suami saya? Apapun yang Anda lakukan, percuma. Laporan tidak akan pernah kami cabut. Tidak, soal ancaman tadi pun pasti akan kami laporkan. Kalau Anda punya sesuatu untuk dikatakan, silahkan sampaikan pada polisi atau di pengadilan. Kami tidak punya kewajiban untuk mendengarkan. Sampai jumpa di ruang sidang."


"Tolong, tolong…… pikirkan kembali."


Aku membenturkan kepalaku ke lantai berkali-kali.


Kepalaku terasa perih, darah mengalir tipis.


"Memalukan sekali. Tadi saya sudah mendengar semuanya dari Minami-san. Anda memaki kepala sekolah dan Takayanagi-sensei yang dengan tulus bergerak demi Eiji, lalu mengatakan dengan sombongnya bahwa anak bodoh Anda punya masa depan gemilang, bukan? Anak saya juga punya masa depan gemilang. Jangan meremehkannya. Urusan bisnis? Bicara sesuka hati Anda. Demi reputasi anak saya yang terluka karena ulah Anda, pertarungan ini tidak akan pernah kami mundurkan. Sampai Anda hancur, kami tidak akan memaafkan."


Melihat wajahnya, aku menjerit tanpa suara.


"M-maafkan saya."


Aku tak bisa berbuat apa-apa selain mundur. Padahal masih bulan September, tapi angin di luar terasa sedingin hingga membuat tubuhku gemetar.


Aku tidak mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya tubuhku yang gemetar sendiri…… aku hanya berdiri terpaku.


Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di hadapanku. Dari dalamnya keluar seorang siswi SMA yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengan sekolah anakku. Ketidakcocokan itu justru menanamkan rasa takut yang lebih dalam padaku.


"Jadi memang Anda ada di sini, ya. Kondou-san."


Seorang gadis yang tidak kukenal memanggil namaku. Dalam situasi seperti ini, yang kurasakan hanyalah ketakutan.


"Kenapa kau tahu namaku…… siapa sebenarnya dirimu?"


Dia menampilkan senyum yang sesuai dengan usianya, namun dari tubuhnya terpancar aura menekan yang kuat.


"Namaku Ichijou Ai. Mungkin akan lebih mudah dipahami kalau kukatakan bahwa aku adalah putri dari …… orang itu."


Nama ayahnya adalah sosok yang luar biasa besar. Siapa pun yang berada di dunia ini pasti mengenalnya. Jauh melampaui mantan Wali Kota Minami maupun anggota DPRD Yamada tadi…… sebuah nama monster. 


Darahku terasa menghilang dari wajahku.


Aku merasa pernah mendengarnya, dan ternyata benar. Dia adalah siswi yang bersama Aono Eiji menerima penghargaan karena penyelamatan nyawa. Artinya, keluarga Aono juga memiliki hubungan dengan ayahnya…… begitu.


"Maksudnya…… ada keperluan apa?"


Tanpa sadar, aku menggunakan bahasa sopan kepada gadis yang jauh lebih muda dariku.


"Untuk memberi peringatan. Mungkin sudah terlambat, tapi tetap saja. Kami telah menyelidiki Anda. Semuanya…… sampai di sini saja, Anda pasti sudah mengerti. Apa yang akan terjadi jika Anda atau putra Anda masih berani melukai atau mengganggu keluarga Aono. Termasuk jika Anda mencoba menghalangi pemulihan nama baik Aono Eiji. Aku tidak akan pernah memaafkannya."


Kenapa, kenapa orang-orang sebesar itu semua berdiri di belakang keluarga itu! Bukankah itu hanya restoran Barat biasa.


"A-ah…… tapi masa depan anakku……"


Kalau begini terus, anakku akan kehilangan segalanya. Tidak, aku juga. Jika rekaman ancaman tadi diserahkan ke polisi, aku pun akan…… ditangkap.


"Memalukan sekali. Tanggung jawab atas perbuatan Anda harus Anda tanggung sendiri. Kami sudah mendapatkan informasi bahwa berita tentang Anda akan diberitakan besok pagi. Mungkin tentang kasus putra Anda kali ini, dan tentang upaya Anda mengancam pihak sekolah."


"Kenapa, kenapa bisa secepat ini. Apa pihak sekolah diam-diam merekam percakapan itu? Bukankah itu pelanggaran kewajiban menjaga rahasia! Apa mereka menjual orang tua murid ke media!?"


"Tadi, sampai beberapa saat yang lalu, para wartawan memang ada di sekolah. Untuk meliput aksi penyelamatan nyawa yang kami lakukan. Karena Anda berbicara dengan suara keras, kemungkinan besar percakapan itu ikut terekam. Benar-benar bunuh diri sendiri. Pelanggaran kewajiban menjaga rahasia, ya. Kalau begitu, justru laporan kali ini mutlak diperlukan demi pemulihan nama baik Aono Eiji. Dan jika Anda menuntut sekolah, itu akan dianggap sebagai deklarasi perang terhadapku."


Saat itu juga aku menyadari bahwa aku sepenuhnya telah dipermainkan sebagai badut. Mungkin semua skenario ini digambar oleh gadis yang berdiri di hadapanku. 


Benarkah gadis ini lebih muda dari anakku? Sampai-sampai aku diliputi rasa curiga, tekanan yang dia pancarkan begitu kuat.


"Mustahil, mustahil, mustahil."


Aku ambruk ke tanah dan menghantamkannya dengan kedua tanganku. Darah merembes dari telapak tanganku, tapi ledakan emosiku tak bisa dihentikan.


"Kalau begitu. Sepertinya kita tidak akan pernah bertemu lagi, Anggota Dewan Kota Kondou. Aku masih punya janji makan malam, jadi mohon pamit."


Dia melewati tubuhku yang terpuruk, lalu melangkah menuju Aono Kitchen. Ekspresinya telah berubah, dari dingin dan kejam menjadi wajah polos gadis seusianya.



Saat aku pulang ke rumah, Paman Minami, Yamada-san, dan keluarga Ichijou sudah berkumpul. Kukira Ichijou-san akan pulang bersamaku hari ini, tapi karena ada urusan mendadak, dia pulang lebih dulu dengan mobil keluarga dan kami bertemu di sini.


"Selamat datang kembali, Eiji. Selamat atas penghargaanmu. Kau benar-benar anak yang bisa dibanggakan."


Ibu menyambutku dengan senyum. Kakakku juga tersenyum tanpa berkata apa-apa. Begitu pula para orang dewasa di sekeliling dan Ichijou-san.


Dunia yang seharusnya kehilangan warna sejak insiden itu, entah sejak kapan justru menjadi lebih cerah daripada sebelum kejadian.


"Terima kasih, Bu, Kak, semuanya. Ini semua berkat kalian."


Karena mereka ada, aku bisa terus berjuang tanpa menyerah. Jika saat itu aku tidak bertemu Ichijou-san di atap sekolah, aku tidak akan pernah sampai di ruang bahagia ini. 


Aku benar-benar menyadari bahwa takdirku berubah di tempat itu. Tidak ada lagi keinginan untuk mati dalam diriku. Aku ingin terus berada di ruang hangat ini. Andai saja momen ini bisa berlangsung selamanya.


"Ayo, kita makan. Hari ini aku sengaja menutup restoran untuk umum. Apa pun yang kau suka akan kubuatkan, ya. Kakakmu yang memasak."


Candaan itu membuat semua orang tertawa.


"Oh iya, Satoshi juga bilang dia akan datang ke sini setelah latihan klub."


"Oh begitu. Harus kubuatkan banyak hamburger kesukaannya!"


Seolah sudah sangat paham selera sahabat masa kecilku, ibu berkata begitu.


Aku mendapat pesan dari Satoshi. Sepertinya dia melihat langsung bagaimana senior Kondo dibawa polisi di dekat sana. Dengan itu, aku bisa sedikit lebih tenang. 


Aku tidak ingin orang itu lagi-lagi ikut campur dalam hidupku. Ibu juga bilang bahwa ia sudah melaporkan kasus kekerasan yang menimpaku. 


Ke depannya, mungkin akan ada saat-saat di mana aku harus bersaksi tentang pengalaman pahit itu di pengadilan. Memikirkannya membuatku sedikit murung, tapi aku tidak ingin lari.


Orang itu telah menghancurkan kehidupan banyak orang. Aku rasa, dia harus bertanggung jawab atas semuanya.


Karena itu, aku akan bertarung. Untuk bisa melangkah lebih maju……


Berkat makan malam yang menyenangkan itu, aku baru menyadari jauh setelahnya bahwa ponsel di dalam tasku berkali-kali mengeluarkan nada notifikasi kebahagiaan.



──Sudut Pandang Ichijou Ai──


Tadi, file audio rekaman yang kuambil sudah aku bocorkan ke media secara anonim. Dengan ini, Anggota Dewan Kota Kondou tak akan bisa kabur lagi. 


Kemungkinan besar, ibunya senpai juga akan melakukan serangan balik dengan cara yang sama. Dua bukti ini merupakan luka fatal bagi seorang politikus. Dari hasil penyelidikan, Anggota Dewan Kota Kondou memang sosok yang cukup merepotkan. 


Sepertinya dia juga punya jaringan sampai ke anggota parlemen. Kalau dibiarkan seperti ini, aku khawatir dia akan melakukan berbagai bentuk intimidasi tanpa peduli cara…… karena itu, aku harus menang cepat dalam adu kecepatan.


Fakta bahwa aku selalu menyelipkan perekam suara di saku dada demi mengumpulkan kesaksian yang menguntungkan bagi senpai ternyata sangat membantu. Dengan ini, aku bisa melindungi orang dan tempat yang paling berharga bagiku.


Meski begitu, aku tetap tak bisa menghentikan rasa muak pada diri sendiri karena memilih cara seperti ini. 


Aku jadi bertanya-tanya apakah aku memang pantas berada di tempat yang hangat dan penuh kebahagiaan seperti ini.


Di tengah acara makan, ibu senpai mengajakku bicara berdua, katanya ada yang ingin dibicarakan. Dengan sedikit tegang, aku masuk ke ruang istirahat. Aku sempat berpikir, jangan-jangan semuanya sudah ketahuan.


Masuk dengan perasaan cemas seperti itu, ternyata ibu benar-benar lembut.


"Ai-chan, terima kasih banyak ya."


Tiba-tiba beliau membungkuk dalam-dalam.


"Jangan begitu…… soal penyelamatan nyawa itu, sebagian besar karena Eiji-senpai……"


"Bukan itu maksudnya. Sebenarnya, sekolah menghubungi kami dan memberi tahu bahwa ada kemungkinan Eiji sempat memikirkan untuk bunuh diri akibat perundungan dan kekerasan yang dialaminya. Mungkin, di tengah pemeriksaan, ada seseorang yang memberikan kesaksian."


Dadaku terasa nyeri. Baik ibu maupun aku sama-sama tahu siapa orang yang memberikan kesaksian itu. Kami hanya memilih untuk tidak menyebutkan namanya. 


Dan kesaksian itu berasal dari informasi yang tanpa sadar aku sampaikan kepadanya. Seharusnya aku tidak mengatakannya. 


Aku telah menyampaikan sesuatu yang akan membuatnya sedih, meski secara tidak langsung dan bertentangan dengan keinginan Eiji. Penyesalan itu menggores hatiku.


"……"


Aku tahu aku harus mengatakan sesuatu, tapi tak satu kata pun keluar. Itu adalah persetujuan dalam diam. 


Aku seharusnya pandai berbohong. Selama beberapa tahun terakhir, aku hidup dengan kebohongan. Aku terus menyembunyikan lingkungan dan perasaanku yang sebenarnya. Karena itu, seharusnya aku menyangkal di sini.


Tapi jika aku terus menumpuk kebohongan di hadapan senpai dan keluarganya, aku merasa kami benar-benar tak akan bisa bertemu lagi.


Aku memang lemah. Aku tahu itu, tapi tetap saja aku tak bisa melangkah pada satu langkah terakhir.


"Dari melihat anak itu saja sudah jelas. Sekarang ini, dia pasti sama sekali tidak memikirkan hal seperti itu. Mungkin setelah kejadian kekerasan itu, ditambah pengkhianatan dan perundungan, Eiji sudah mencapai batasnya. Saat itu, secara impulsif…… kami juga tak menyadarinya. Tidak, kami berpikir kami tidak boleh ikut campur, dan justru pada saat kami seharusnya meraih tangannya, kami tidak melakukannya. Kami salah. Yang menyelamatkan Eiji adalah kamu, Ai-chan. Saat dia dirundung pun, kamu selalu berada di pihaknya. Itu saja sudah membuatmu jadi penolongnya, dan kalau sampai kamu juga menyelamatkan nyawanya, kami tak akan pernah bisa cukup berterima kasih. Terima kasih banyak."


"Bukan begitu, justru aku yang ditolong……"


Ibu menatapku lurus dan mengangguk seolah sudah memahami segalanya. 


Benar, akulah yang terus ditolong. Saat pertama kali bertemu, dan bahkan sekarang, aku selalu diselamatkan. Aku terus bergantung. Padahal aku belum menceritakan semuanya. 


Aku terus bersandar pada kebaikan para senpai. Itu yang selama ini menyiksaku. Aku ingin bahagia dikelilingi semua orang. Tapi aku takut melangkah sendiri. Terlalu banyak kontradiksi yang kupendam sampai aku hampir tak mengenali diriku sendiri.


"Meski begitu, karena kamu ada, nyawa Eiji terselamatkan. Kalau bukan karena kamu, keluarga kami pasti akan menyesal seumur hidup. Ini semua berkatmu."


Sambil berkata begitu, beliau memelukku dengan lembut seperti seorang ibu kandung. Sejak ibuku meninggal, mungkin ini pertama kalinya aku merasa setenang ini.


"Aku yang diselamatkan. Kalau tidak ada Eiji-senpai, aku pasti sudah hancur…… tidak, bukan begitu. Aku sudah hancur, lalu diselamatkan oleh senpai. Tapi tetap saja, masih ada hal yang belum bisa kuceritakan pada kalian berdua. Padahal itu penting, tapi aku tidak punya keberanian…… meski aku tahu kalau begini terus, aku sama saja menipu senpai dan ibu."


Tanpa berkata apa-apa, pelukannya justru semakin erat.


Jadi, ibu memang sudah menyadarinya. Tentang aku yang juga sempat ingin mati. Tentang hubungan aneh setelah liburan musim panas. Mungkin bahkan lebih dari itu.


"Aku baik-baik saja. Eiji juga pasti…… jadi, Ai-chan, bersandarlah pada Eiji. Aku percaya pada anak itu. Kamu juga percayalah padanya. Kalau kalian berdua, kalian pasti bisa melewatinya. Dan aku juga akan membantu kalian berdua sepenuh tenaga."


Perlahan-lahan, aku mulai bisa menyadari beban yang selama ini kupendam.


Aku ingin bergantung pada seseorang, tapi aku tidak bisa. Aku ingin mengucapkan terima kasih, tapi kata-katanya tak keluar. Ibu menyadarinya. Dengan kata-kata lembut yang seolah membungkusku, beliau menenangkanku.


"Mungkin tidak sopan mengatakan ini tentang anak orang lain, jadi aku minta maaf dulu. Tapi aku merasa harus mengatakannya. Karena ada urusan Eiji juga. Ai-chan, bagiku kamu sudah seperti keluarga kami sendiri. Aku mencintaimu lebih dari anak kandungku sendiri. Kalau kamu mengalami hal yang menyakitkan, tanpa melibatkan Eiji pun, datanglah dan bergantunglah padaku. Kamu tidak sendirian. Kalau aku kehilanganmu, aku akan menyesal seumur hidup, sama seperti kalau kehilangan Eiji."


Mendengar kata-kata itu, benang kesabaranku yang kutahan putus. Melihat bayangan mendiang ibuku, aku memeluk ibu sekuat tenaga.


Dipeluk oleh ibu senpai, perasaan bahagia meluap dari dalam diriku.


Sampai sebelum ibuku meninggal, aku rasa hubungan keluargaku baik-baik saja. Dan sekarang, aku bisa mendapatkan kembali sesuatu yang telah hilang dariku. Kehangatan dan rasa aman dari cinta yang diberikan dengan tulus terasa begitu nyata.


Senpai tumbuh menjadi orang yang begitu baik karena dibesarkan dengan cinta dari ibu ini dan ayahnya yang telah meninggal. Sampai-sampai dia melampaui bahaya bagi dirinya sendiri demi menolongku.


Dia selalu berterima kasih padaku, tapi itu hanyalah balasan. Kepada dirinya yang mempertaruhkan nyawa dan menunjukkan padaku tempat yang penuh kebahagiaan ini, aku tak akan pernah bisa cukup mengucapkan terima kasih.


"Ai-chan. Kamu sudah berjuang sejauh ini. Karena kamu berusaha, kita bisa berada di sini sekarang. Tolong, manjalah sepuasnya pada keluarga kami."


Begitu mendengar itu, perasaanku meledak. Aku meluapkan emosiku dengan jujur sampai membuat baju ibu basah, menangis tersedu-sedu seperti bayi. 


Mungkin nanti aku akan malu setelah kembali ke kamar. Tapi aku tak bisa menghentikannya.


Aku sangat menyayanginya.


Perasaanku terhadap senpai yang telah mengajariku bahwa dunia yang hangat seperti ini benar-benar ada, menjadi semakin besar.



"Hei, Eiji. Hamburger untuk Satoshi sudah jadi. Aku pakai saus demi-glace kesukaannya dan kutambahkan telur mata sapi juga. Ambil, ya."


Kakak berteriak dari dapur. Ibu sepertinya sedang berbincang dengan Ichijou-san. Karena itu, aku yang mengantarkan makanan.


Seporsi nasi besar untuk Satoshi dan hamburger raksasa. 


Dapur dipenuhi aroma saus demi-glace yang membahagiakan. Bagi kami berdua, itu adalah aroma ayah.


Saus demi-glace ini adalah saus yang dibuat ayah saat pertama kali membuka usaha, lalu terus ditambah dan diwariskan. 


Ini juga menjadi dasar cita rasa dari menu andalan di rumah kami. Aroma ini terasa seperti kebanggaan ayah, dan kenangan keluarga yang berharga—yang kini kakak mewarisinya.


Saat ayah meninggal mendadak dan aku serta ibu tenggelam dalam kesedihan, kakak berkata seperti ini.


"Aku masih belum matang. Tapi sampai Eiji lulus kuliah, aku bukan lagi kakakmu—aku akan jadi ayahmu. Mungkin aku tak bisa menjalankannya sebaik ayah, tapi sampai adikku benar-benar mandiri, aku pasti akan menghidupinya. Jadi, Bu… biarkan aku yang meneruskan Aono Kitchen."


Sejak menjadi pemilik generasi kedua, dia menghabiskan waktu berharganya di usia dua puluhan demi toko dan keluarga. Sampai rasanya, hiburan satu-satunya hanyalah menonton drama luar negeri di sela waktu istirahat.


Saat aku diterima di SMA ini, kakak justru lebih senang daripada aku sendiri.


Aku benar-benar tak akan pernah bisa membalas semua kebaikannya.


"Eiji, hebat sekali ya. Ayah di surga pasti senang. Sialan seperti Kondou itu pengen rasanya kupukul balik, tapi ibu melarang. Kalau saja aku bisa lebih kuat, aku pasti bisa melindungimu lebih baik. Maaf."


Aku langsung menyangkal kata-katanya.


"Bukan begitu. Kakak benar-benar bekerja demi aku. Aku cuma bisa berterima kasih. Terima kasih selalu. Kalau bukan karena kakak, mungkin aku sudah hancur."


Mendengar itu, kakak memalingkan wajah dengan malu, matanya sedikit berkaca-kaca.


"Begitu ya. Demi-glace hari ini buatan terbaikku. Coba kamu makan juga. Ayah pasti sedang melihat."


Katanya, saus yang diwariskan biasanya isinya sudah berganti dalam tiga bulan. Jadi, saus yang dibuat ayah seharusnya sudah tak tersisa. Tapi entah kenapa, dari aromanya aku masih bisa merasakan kehangatan ayah.


Aku membawa hamburger milikku dan Satoshi kembali ke meja.


"Wah, kelihatannya enak lagi hari ini. Ngomong-ngomong, Eiji. Dari tadi ponselmu bunyi terus. Banyak notifikasi, kan?"


Baru kusadari aku belum mengeceknya, lalu mengambil ponsel dari tas dan menyalakannya.


Di sana, ada tumpukan notifikasi dari aplikasi situs novel.


Ratusan komentar. Pemberitahuan kenaikan peringkat mingguan. Dan pesan dari pihak pengelola.


Hidupku yang seharusnya berada di titik terendah, terasa mulai terbuka ke arah yang sama sekali berbeda. Firasa itu muncul dalam hatiku. Aku segera membuka notifikasinya.


Banyak sekali komentar tertulis di sana. Jumlah pembaca meningkat puluhan ribu hanya dalam beberapa jam.


Aku terkejut, sekaligus sedikit takut. Jangan-jangan isinya bermasalah dan jadi bahan hujatan? Dengan cemas, aku membuka kolom komentar.


[Walau cuma cerpen, emosiku jadi kacau. Tapi setelah selesai membaca, rasanya segar. Benar-benar menarik. Menunggu karya berikutnya]


[Baru saja kubaca tiga kali. Setiap kali dibaca tetap luar biasa]


[Tingkat penyelesaiannya gila. Jangan-jangan ini nama pena penulis profesional?]


[Aku sudah menulis ulasan. Novel yang bikin hati hangat dan ingin berusaha lagi besok]


[Aku lagi down karena gagal di pekerjaan, tapi semua rasa itu lenyap. Semoga dibukukan]


Hampir semua komentar dipenuhi kesan hangat. Selain itu, hanya ada sedikit koreksi typo. Komentar-komentar yang membahagiakan terus bertambah. 


Mataku basah oleh haru. Padahal ini hanya novel yang kutulis untuk klub sastra SMA… aku tak pernah membayangkan bisa sampai ke begitu banyak orang.


Novel yang seharusnya dibuang oleh ketua klub. Berkat Ichijou-san, aku bisa mendapatkan kembali naskahnya, lalu atas sarannya aku mengunggahnya ke situs web… aku benar-benar berhutang segalanya padanya.


Aku berlari ke arahnya yang baru keluar dari dalam bersama ibu. Satoshi sampai terkejut.


"Ichijou-san, lihat ini!"


Aku ingin dia menjadi orang pertama yang tahu. Karena dia adalah penyelamatku.


"Eh? Ada apa? Ah, ini novel yang kemarin itu, kan? Eh—eh!? Jumlah pembacanya naik jauh, dan peringkatnya nomor satu!"


Biasanya tenang, kali ini dia tampak benar-benar terkejut. Bahkan dia menyadari peringkat yang luput dari perhatianku—benar-benar khas dirinya.


"Luar biasa. Novel Eiji ternyata sepopuler ini. Kak, lihat ini!"


Ibu menyebarkannya ke semua orang meski belum sepenuhnya paham.


"Senpai, pemberitahuan ini apa?"


Aku terdorong untuk menekan pesan berwarna merah dari pihak pengelola.


Isinya tertulis seperti ini.



Kepada Yth.

Aono Eiji


Kami dari pengelola situs novel Maruyomu.


Terkait karya Anda, kami menerima permintaan dari penerbit ○○ untuk memasukkan karya Anda ke dalam antologi cerpen yang akan mereka terbitkan. Selain itu, pihak penerbit juga ingin membaca karya lain Anda jika ada.


Mohon balasan mengenai kesediaan Anda. Jika memungkinkan, kami akan menghubungkan Anda langsung dengan pihak penerbit.



Sesaat aku tak langsung memahami maksudnya.


Ichijou-san yang pertama bersuara.


"Hebat. Seperti yang kukira, novel Senpai memang menarik. Sampai penerbit sendiri yang menghubungi!"


Kata-katanya memicu kami semua bersorak bersamaan. Waktu bahagia yang tak akan pernah kulupakan pun dimulai.



Karena sudah larut, aku mengantar Ichijou-san pulang.


Setelah itu, semuanya dipenuhi senyum—waktu yang benar-benar bahagia. Mungkin semua orang sudah sangat lelah secara mental akibat masalah perundunganku. Pasti, mereka akhirnya bisa merasa lega.


"Terima kasih, Senpai. Sudah mengantarku ya."


"Tidak apa-apa. Berkat Ichijou-san juga, novelnya berjalan lancar."


"Aku tidak melakukan apa-apa kok. Semua karena kemampuan Senpai sendiri. Sepertinya penilaianku tidak salah."


Sambil berkata begitu, dia tertawa kecil.


"Terima kasih, sungguh. Kalau kamu tidak menyelamatkan naskah itu, mungkin aku sudah berhenti menulis."


"Begitu ya. Kalau aku bisa sedikit membalas budi, aku senang."


"Lain kali biar aku benar-benar mengucapkan terima kasih. Kita makan kue bersama, ya."


Mendengar itu, junior itu tersenyum usil.


"Ini undangan kencan kan? Senang sekali. Kalau begitu, aku akan berdandan cantik."


Karena godaan yang begitu langsung, suhu tubuhku langsung naik. Saat aku tak bisa membalas apa-apa, dia mengangguk puas dan melanjutkan.


"Makan malam tadi menyenangkan. Aku tak pernah menyangka bisa kembali ke dunia yang hangat seperti itu. Semua berkat Senpai. Mengambil kembali novel saja rasanya belum cukup. Tapi, bolehkah aku meminta satu hal yang egois?"


Di setiap katanya, aku merasakan kesepian Ichijou-san menyelip. Sebagai senpai, yang bisa kulakukan hanyalah menjawab dengan tegas.


"Tentu."


"Mulai sekarang juga, tolong buat banyak kenangan indah seperti hari ini—bersama."


Matanya sedikit berkaca-kaca.


"Iya, aku janji."


Tak perlu berpikir lama. Jawaban itu langsung keluar dari mulutku.


"Terima kasih. Aku menantikannya. Janji, ya?"


Kami mengaitkan jari dan saling tersenyum. Andai momen bahagia ini bisa berlangsung selamanya. Dengan perasaan yang sama di hati, berbagi sisa kehangatan yang nyaman, kami berjalan perlahan.



──Sudut Pandang Ketua Klub Sastra──


Kondou-kun katanya ditangkap polisi. Syukurlah, penghapusan pesan di SNS tepat waktu. 


Sepertinya dia mengira laporan itu hanya soal insiden kekerasan dan penyebaran informasi palsu yang menjatuhkan Eiji-kun.


Untung aku cepat memutus hubungan. Aku tidak mau ikut hancur bersama pria bodoh seperti itu. Biarlah Eri-san dan Amada-san saja yang jatuh ke neraka.


Aku cukup menonton dari zona aman. Bisa menyaksikan situasi terbaik di puncak klimaks—sempurna.


Saat itu, ponselku berdering. Dari junior klub sastra.


"Senpai, gawat! Tolong lihat situs Maruyomu. Novel itu—novel itu—entah kenapa ada di peringkat atas!"


"Apa yang kamu bicarakan? Maruyomu? Tunggu sebentar, aku buka… eh!?"


Di peringkat teratas, aku melihat judul novel yang seharusnya tidak mungkin ada.


Karena naskah itu ada di ruang klub, dan seharusnya sudah kubuang. Apa dia punya cadangan data? Tapi dalam kondisi mental seperti itu, mustahil dia bisa mengunggah novel ke situs web.


Pasti kebetulan. Judulnya saja yang mirip. Pasti karya orang lain. Tidak mungkin junior diakuinya lebih dulu daripada aku. Aku tidak mau itu terjadi.


Rasa iri mulai berputar kental di dalam dadaku. Tanpa menyadari bahwa aku tinggal selangkah lagi memahami rasa rendah diri yang putus asa, aku membuka halaman novel itu.


Dan saat itu, aku belum menyadari bahwa aku baru saja membuka kotak Pandora bernama keputusasaan.


Previous Chapter | Next Chapter

1 comment

1 comment

  • vcmlskiioksisukev
    vcmlskiioksisukev
    28/12/25 17:33
    Ketua klub sastra mending lu tobat dah
    Reply
close