Penerjemah: RiKan
Proffreader: RiKan
Chapter 5
Ratu yang Memicu Riak
Padahal, aku baru saja bersemangat kencan lokal dengan Yamamoto, tapi gara-gara siapa suasana jadi berubah begini?
Mungkin, ini salahku sendiri yang malah mengantarnya ke stasiun padahal niatnya mau ke pelabuhan ikan.
...T-Tapi biarpun begitu, Yamamoto juga, genit banget sama cewek kayak begitu.
Memang, sih, cewek bernama Matsuo itu manis...
Apa jangan-jangan, Yamamoto suka tipe cewek seperti itu, ya...?
Sambil memikirkan banyak hal, aku tidak mungkin membiarkan Yamamoto berduaan dengan cewek bernama Matsuo itu, jadi aku berjalan mengikuti di belakang mereka.
Tempat yang kami tuju adalah restoran keluarga di depan stasiun.
“Kenapa Hayashi-senpai ikut juga?”
Di tengah jalan, si Matsuo itu menatapku dengan mata penuh permusuhan.
“Ah, tidak apa. Aku hari ini memang pulang kampung untuk menjemput Hayashi.”
Keren, Yamamoto!
Dari cara Yamamoto mengatakannya, hubungan kami pasti terdengar seperti sepasang kekasih!
...Hm?
Kekasih?
“B-Bukan berarti aku dijemput karena kami pacaran atau semacamnya, ya!?”
“Ah, jadi bukan, ya.”
G-Gawat...!
Memikirkan orang lain menganggapku pacaran dengan Yamamoto membuatku sangat malu sampai tidak tahan, dan aku malah mengatakan kenyatannya!
Duh, kenapa sih aku selalu begini...?
“Tapi, sampai dijemput begitu, hubungan kalian apa, dong?”
“Hm? Kami tinggal bareng.”
“Eh?”
Si Matsuo tampak terkejut.
“Itu... room share, begitu?”
“Ah, yah, semacam itulah.”
Yamamoto tersenyum kaku, seolah mengelak.
“Jadi? Matsuo, bisa ceritakan lebih detail lagi?”
Yamamoto melanjutkan, seolah mengalihkan pembicaraan.
“Kau ingin festival budayanya dibuka untuk umum? Seingatku, dulu festival budaya di SMA kita juga dibuka untuk umum, boleh didatangi selain siswa, ‘kan?”
“Eh, memang iya?”
Aku mengatakannya, sama sekali tidak tahu.
“Iya, itu jadi ajang untuk calon siswa tahun ajaran baru merasakan suasana sekolah, atau supaya orang tua melihat rutinitas sekolah anak-anak mereka. Ada banyak makna dari membukanya untuk umum.”
“Benar juga.”
Hebat, Yamamoto. Tahu banyak soal hal-hal yang tidak penting.
“Eh, tapi... kalau begitu, kenapa dihentikan?”
“Itu kan baru terjadi beberapa tahun lalu, kau pasti ingat juga, ‘kan?”
“...Itu...”
“Dampak pandemi global.”
...Kejadian yang tidak bisa kulupakan meski aku ingin.
Waktu itu, aku hanya bisa kontak-kontakan dengan teman dekat lewat ponsel, tidak bisa ke sekolah, bahkan karya wisata SMP pun diganti dengan acara misterius bernama ‘karya wisata jarak jauh’.
Waktu kami dikumpulkan di aula dan disuruh menonton video promosi tempat wisata dari seorang mbak-mbak agen perjalanan, aku benar-benar tidak mengerti apa maksudnya.
“Yah, seperti yang kalian tahu, sekarang pandemi sudah berakhir. Festival budaya juga sudah diadakan lagi, tapi tetap saja tidak dibuka untuk umum seperti dulu.”
Aku sama sekali tidak tahu ada kisah di baliknya.
“Senpai, hebat, ya, tahu banyak.”
“Yah, aku sudah riset sedikit.”
“...Itulah kenapa aku ingin berkonsultasi dengan Senpai, yang tahu banyak soal festival budaya. Seperti yang kubilang tadi, sebagai ketua panitia, aku ingin festival budaya tahun ini dibuka kembali untuk umum. Aku ingin minta saran bagaimana caranya mewujudkan target itu.”
Tepat saat kami mengerti tujuan si Matsuo, kami tiba di restoran keluarga dekat stasiun.
Begitu masuk, kami disambut oleh pelayan dan diantar ke tempat duduk sofa.
“Oke.”
Si Matsuo duduk duluan di sofa.
Yamamoto duduk di sofa seberangnya.
“Yamamoto, geser.”
“Hm? Oh.”
Aku pun dengan santainya duduk di sebelah Yamamoto!
“...Hayashi-senpai, bagaimana kalau kita duduk sebelahan sesama cewek?”
“Tidak bisa.”
“Tapi...”
“Aku pemalu.”
“Eh?”
“Sangat pemalu.”
“...Kalau begitu, yah, mau bagaimana lagi.”
“...Aneh juga, ya. Hayashi, kamu ternyata pemalu, ya!”
“Gahaha,” Yamamoto tertawa.
Apa lucunya, sih, cowok ini?
...Lagipula, aku sudah menduganya, tapi ini pasti.
Cewek ini naksir Yamamoto!
...Kurang ajar.
Aku bukannya mau mengeluh soal si Matsuo. Yang ingin kukeluhkan itu Yamamoto.
Cowok ini, gayanya sok-sok tidak mungkin populer di kalangan cewek... padahal.
Dia ditaksir si Matsuo.
Terus, temannya Akari di kampus juga naksir dia.
Malah, dia kelihatannya akrab juga dengan Akari di belakangku...
Dan dia juga sudah merebut hatiku...!
Apa dia tidak terlalu merendahkan dirinya sendiri!?
...Lain kali, kalau muncul lagi cewek yang gelagatnya naksir Yamamoto, aku pasti akan menampar cowok ini.
“...Maaf, Matsuo. Sebenarnya kami belum makan siang. Boleh kami makan di sini?”
“Ah, begitu. Sebenarnya aku juga belum.”
“Oh? Kalau begitu, kita makan siang bertiga saja.”
...Cowok ini, biasanya dia kikuk sekali, tapi di depan si Matsuo, dia memimpin obrolan dengan sangat alami.
...!
J-Jangan-jangan...!
Si Yamamoto juga, naksir si Matsuo...?
Saling suka?
Jadi mereka saling suka?
Apa aku akan dibuat menangis lagi?
“Hayashi, kamu mau makan apa?”
“Maaf. Aku nggak lapar.”
Hatiku terlalu penuh memikirkan Yamamoto...
Kruuuk...
Tepat di saat itu, perutku berbunyi.
“Maaf. Kayaknya aku makan, deh.”
“Ah, iya... oke.”
Sambil setengah menangis, aku melihat tablet yang dioperasikan Yamamoto, memilih-milih menu makan siang.
Tentu saja, urusan tablet kuserahkan pada Yamamoto. Bisa-bisa tabletnya meledak kalau aku yang mengoperasikannya.
“...Kalian berdua, beneran nggak pacaran?”
“Hm? Iya. Enggak kelihatan kayak orang pacaran, ‘kan?”
...Apa maksudnya cara bicara begitu.
Yah, nyebelin sih, tapi aku setuju dengan Yamamoto.
Sialan. Kalau saja aku tidak malu sampai jantungku mau copot, aku pasti sudah bermesraan...
“...Begitu, ya?”
Si Matsuo memiringkan kepalanya, tampak bingung.
Meskipun suasananya jadi aneh, kami berhasil memesan makan siang masing-masing.
Setelah itu, kami sejenak melupakan konsultasi si Matsuo dan asyik mengobrol hal-hal sepele.
Usai makan siang, sambil minum jus yang kami ambil dari drink bar, pembicaraan soal festival budaya dilanjutkan.
“Jadi, Senpai... menurut Senpai, apa yang harus kulakukan?”
Si Matsuo memulai pembicaraan.
“Sebenarnya, aku sudah mengajukan permintaan ke pihak sekolah agar dibuka untuk umum. Kami juga sudah rapat dua kali. Tapi, pihak sekolah sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda setuju. Sambil berjalan, kami sudah mulai membuat pamflet promosi, tapi festivalnya tinggal sebulan lagi, dan diskusi dengan sekolah masih buntu. Aku bisa merasakan semangat teman-teman mulai menurun.”
“Yah, wajar sih jadi begitu kalau tidak ada kemajuan.”
“...Aku, apa pun yang terjadi, ingin festival budaya tahun ini dibuka untuk umum.”
“Kenapa kau ngotot sekali ingin dibuka untuk umum?”
“...Alasannya, ada banyak.”
Banyak, ya. Dia kelihatannya pintar, pasti banyak yang sedang dia pikirkan.
“Jadi, apa ada ide bagus?”
“...Hmm.”
Yamamoto menggeram, lalu meminum es kopinya.
“...Ngomong-ngomong, siapa guru penanggung jawab panitia festival budaya tahun ini?”
“Kurasa Senpai tidak akan kenal biarpun kusebut namanya. Guru baru.”
“Oh.”
Hening sejenak.
Yamamoto meminum es kopinya lagi.
“Susah juga, ya.”
Lalu, saat gelasnya sudah kosong, Yamamoto berkata.
...Padahal sudah bikin orang menunggu, jawabannya tidak berisi sama sekali, pikirku.
“...Begitu, ya.”
“Iya, aku kan bukan siswa sana lagi. Kalau tidak tahu suasana sekolahnya, aku tidak bisa memberi saran yang tepat.”
“...Maaf. Meskipun begitu, aku malah mengandalkan Senpai.”
“Tidak perlu minta maaf. ...Bagaimana cara supaya festival budaya ini agar dibuka untuk umum, yang harus bertindak adalah kalian, panitia festival budaya tahun ini.”
“...Iya.”
“Jadi, anggap saja yang akan kukatakan ini hanya sekadar ide.”
“...!”
“I-Itu berarti...”
“Tidak bisa dibilang ide cemerlang, sih, tapi aku memang punya ide.”
...Kalau begitu bilang dari tadi, dong. Sok jual mahal. Cowok merepotkan. Tapi, bagian itu juga yang aku suka...!
“Pertama, kau bilang negosiasi dengan pihak sekolah soal pembukaan untuk umum masih berlanjut, ‘kan?”
“Ah, iya.”
“Dan saat ini masih buntu.”
“Iya...”
Lagipula, kenapa guru-guru itu pasif sekali? Padahal murid-murid sudah meminta, kabulkan saja permintaan sepele itu.
“Menurutmu, kenapa guru-guru enggan membukanya untuk umum?”
Yamamoto bertanya pada si Matsuo.
“Eh...?”
Si Matsuo tampak bingung dengan pertanyaan mendadak itu.
“A-Aku tidak tahu...”
“Begitu. Kalau menurutku, ada tiga alasan.”
“Tiga...?”
“Iya. Oke, yang pertama.”
Yamamoto mengangkat satu jari.
“Dengan membukanya untuk umum, pihak sekolah tidak tahu siapa saja yang akan datang ke festival.”
“...Apa masalahnya dengan itu?”
Tanyaku, yang sedari tadi menyimak.
“Pandemi sudah usai, kata ‘jaga jarak sosial’ juga sudah tidak terdengar. Sudah tidak ada yang ribut soal kerumunan, jadi siapa pun yang datang ke sekolah, tidak masalah, ‘kan?”
“Ini bukan soal pandemi. Masalahnya adalah membiarkan orang luar yang tidak jelas asal-usulnya masuk ke sekolah.”
Si Matsuo bergumam pelan, “Ah...”
“Bagaimana kalau ada orang mencurigakan yang menyusup ke sekolah dengan memanfaatkan festival budaya yang dibuka untuk umum?”
“Ah...”
“Orang luar datang ke sekolah. Itulah masalahnya. Apalagi akhir-akhir ini, sering terjadi insiden kriminal keji yang menargetkan sekolah. Meski begitu, dengan sengaja membuka kesempatan bagi orang luar yang tidak jelas asal-usulnya untuk masuk, itu sama saja mencari risiko.”
“T-Tapi... dulu tidak masalah, ‘kan?”
“Benar. Itulah alasan kedua. Artinya, aturan itu gampang diubah jadi lebih ketat, tapi tidak gampang diubah jadi lebih longgar.”
Yamamoto mengangkat satu jari lagi.
“Yah, faktor psikologisnya besar. Contohnya... dulu, di kompetisi renang, atlet yang memakai baju renang khusus memecahkan banyak rekor dunia, akhirnya baju renang itu dilarang. Andaikan sekarang baju renang itu diizinkan lagi, lalu tercipta banyak rekor baru, terus tiba-tiba diputuskan, ‘kami larang lagi baju ini. Rekor yang dibuat pakai baju ini kami anggap catatan referensi saja.’ Kalau ada pengumuman begitu, kamu akan bagaimana?”
“Kuhajar.”
“Hebat, Hayashi. Jawaban 100 poin. Tidak, 120 poin.”
Ehehe. Jadi malu, ah.
“Intinya begitu. Saat melonggarkan sesuatu yang sudah dilarang, mereka harus ekstra hati-hati. Kalau mau melonggarkan, harus ada alasan yang kuat. Kalau melonggarkan tanpa alasan, lalu terjadi masalah, pasti akan dihujat masyarakat.”
“...Alasan.”
Si Matsuo bergumam.
“Tepat sekali, kasus ini adalah salah satu contohnya. Guru-guru tidak mau bergerak, salah satu alasannya adalah karena tidak ada ‘alasan’ atau ‘bukti’ yang menunjukkan bahwa membukanya untuk umum tidak akan menimbulkan masalah.”
Yamamoto mengangkat jari ketiga.
“Dan yang terakhir... yah, jujur saja ini pemikiran yang agak jahat, tapi...”
“...Apa tuh?”
“Pada akhirnya, bagi guru-guru, ini hal yang ‘merepotkan’.”
“...Hah?”
“Hayashi, kamu suka belajar?”
“Apaan, sih, tiba-tiba.”
Aku memiringkan kepala.
“Jelas benci.”
“A-Aku suka.”
...Hah? Apa-apaan, sih, anak ini. Padahal Yamamoto sedang bertanya padaku.
“Mungkin Matsuo suka... tapi intinya, bukan cuma belajar, semua orang pasti malas melakukan hal yang tidak mereka sukai, ‘kan?”
“...Yah.”
“Jadi, guru-guru juga tidak mau mengerjakan sesuatu yang tidak mereka sukai. Apalagi sesuatu yang berisiko, pasti mereka sangat benci. Ditambah lagi, untuk hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya, kalau mau cari-cari kesalahan, pasti selalu ada.”
“...Artinya?”
“Membuka festival budaya yang tadinya hanya untuk siswa menjadi umum, berpotensi menimbulkan skandal seperti penyusupan orang mencurigakan. Dan kalau sampai terjadi skandal, yang pertama kali dihujat adalah guru-guru yang mengizinkannya. Artinya, dari sudut pandang guru, apa yang sedang Matsuo coba lakukan adalah hal yang sangat merepotkan, penuh risiko, dan tidak ada untungnya sama sekali bagi mereka.”
“...Apa-apaan itu.”
“Makanya, biarpun kalian rapat, tidak ada kemajuan. Karena ‘merepotkan’. Tujuan guru-guru sekarang mungkin... hanya membuka jalur negosiasi ala kadarnya, membiarkan kalian meluapkan emosi, sambil mengulur waktu dengan membahas detail-detail kecil. Mereka sengaja mengulur waktu sampai festival tiba. Dan ujung-ujungnya, mereka berniat tetap menyelenggarakannya hanya untuk siswa.”
“Jahat banget! Apa-apaan itu!”
Yang mendengar itu dan jadi marah besar justru aku, yang seharusnya orang luar.
Tapi wajar saja. Orang dewasa, yang seharusnya membimbing pertumbuhan anak-anak, tapi ini malah menganggapnya ‘merepotkan’, ‘lari dari tanggung jawab’, ‘mengulur waktu’... mana mungkin aku tidak marah.
“...Tenang. Aku jadi dilihatin pelanggan lain, nih.”
Benar juga, karena aku meninggikan suara, pelanggan lain di restoran keluarga sepertinya memperhatikan kami.
“...Hah.”
Aku, yang tidak bisa menahan emosi, memperbaiki posisi dudukku di sofa.
“...Senpai, terima kasih.”
Si Matsuo berkata dengan suara lirih sambil terus menunduk.
“Aku jadi paham. Bagaimana situasi kami sekarang, dan betapa sulitnya tantangan yang sedang kami hadapi.”
“...Begitu.”
“Tapi... aku tidak mau menyerah.”
“...”
“Aku, benar-benar ingin festival budaya ini dibuka untuk umum.”
Si Matsuo menatap Yamamoto dengan pandangan serius.
Melihat ekspresinya, aku jadi teringat pertanyaan Yamamoto tadi.
...Kok dia ngotot banget ingin festival budayanya dibuka untuk umum?
“Sebenarnya, apa yang harus kami lakukan sekarang?”
Si Matsuo yang bertanya begitu.
“...Alasan negosiasi dengan para guru buntu sudah jelas. Kalau begitu, sisanya gampang.”
Yamamoto menjawab.
“Yang harus kalian lakukan sekarang adalah menambahkan syarat yang membuat guru-guru berpikir, ‘Mungkin tidak apa-apa jika festival budaya dibuka untuk umum’.”
“...Maksudnya?”
“Sudah kubilang, ‘kan? Alasan guru-guru sekarang tidak mau membukanya untuk umum ada tiga: ‘Adanya risiko kedatangan orang mencurigakan jika dibuka untuk umum’, ‘Perlu menunjukkan bukti bahwa tidak akan ada masalah jika dibuka untuk umum’, dan ‘Tidak ada untungnya bagi guru untuk menyetujui pembukaan untuk umum’. Penjelasan di dua rapat sebelumnya sepertinya tidak membuat guru-guru yakin, tapi intinya, kalian hanya perlu mematahkan alasan-alasan ini satu per satu. Buat agar kedua belah pihak sama-sama untung.”
Yamamoto melanjutkan.
“Pertama, ‘Tidak ada untungnya bagi guru untuk menyetujui pembukaan untuk umum’... yah, kalau tidak ada, ciptakan saja. Keuntungan bagi guru.”
“...Sebenarnya, kami sudah menyampaikan soal seberapa besar kontribusi bagi daerah sekitar jika dibuka untuk umum. Hal semacam itu sudah kami sampaikan dalam dua kali rapat itu.”
“Meskipun bisa berkontribusi bagi daerah, kenapa menurutmu guru-guru tidak mau menyetujuinya?”
“...Karena bukti kontribusinya lemah.”
“Bukan. Guru-guru tidak mengharapkan kontribusi daerah melalui festival budaya yang dibuka untuk umum.”
...Yamamoto menepisnya mentah-mentah, ya.
“Tentu saja, di depan umum mereka akan berbasa-basi. ‘Seberapa besar kontribusinya bagi daerah?’ Tapi, dalam hati mereka tidak peduli. Kenapa? Karena biarpun berkontribusi bagi daerah, yang dipuji adalah para siswa, bukan guru.”
“...Begitu, ya.”
“Makanya, arah keuntungan yang kalian tawarkan pada guru harus diubah. Misalnya, bagaimana kalau mengambil angket?”
“Angket?”
“Iya, tapi angketnya bukan diambil dari siswa atau warga sekitar. Tapi dari wali murid.”
“Orang tua?”
“Benar. Karena pihak sekolah sudah dititipi anak-anak mereka, guru-guru itu posisinya lemah di hadapan orang tua murid. Kalau orang tua murid bisa datang ke festival budaya, itu jadi kesempatan bagi mereka untuk melihat anak-anak mereka menjalani kehidupan sekolah tanpa rasa cemas. Bagi guru-guru, ini adalah kesempatan emas untuk memperbaiki hubungan dengan orang tua murid, ‘kan? Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya sebagai bahan negosiasi.”
“...Tapi, bagaimana kalau orang tua murid tidak menginginkannya?”
Ucapan si Matsuo itu ada benarnya juga, pikirku.
Kemungkinan datangnya orang mencurigakan jika festival dibuka untuk umum, pasti terlintas juga di benak para orang tua.
“Oi, oi, kalian ini... angka angket itu kan bisa dimanipulasi sesuka hati.”
“Hei, Yamamoto?”
“Senpai, aku marah, loh?”
Tumben aku sependapat dengannya.
“...Kalau kalian tidak mau curang, atur cara penulisan angketnya. Pertanyaannya, jangan, ‘Apa Anda berharap festival budaya dibuka untuk umum?’ tapi ganti jadi, ‘Jika festival budaya dibuka kembali, Anda berharap mulai kapan?’ begitu.”
“Apa bedanya?”
“Kalau, ‘Apa Anda berharap festival budaya dibuka untuk umum?’, jawabannya ‘Ya’ atau ‘Tidak’, jadi ada pilihan ‘Tidak’. Tapi kalau, ‘Jika festival budaya dibuka kembali, Anda berharap mulai kapan?’, jawabannya bisa ‘Sekarang juga’, ‘Dua tahun lagi’, atau ‘Lima tahun lagi’... intinya, kalian bisa membuat angket yang meniadakan pilihan ‘Tidak’.”
Seperti biasa, cowok ini pintar sekali kalau soal akal licik.
“Dengan format pertanyaan ini, kemungkinan besar wali murid akan melingkari ‘Sekarang juga’. Kenapa? Karena biarpun dibuka kembali beberapa tahun lagi, saat itu anak mereka sudah lulus. Normalnya, orang tidak akan tertarik dengan festival budaya orang lain, ‘kan?”
Benar juga.
“Lalu, berikutnya. ‘Perlu menunjukkan bukti bahwa tidak akan ada masalah jika dibuka untuk umum’... ini juga sama, tunjukkan saja buktinya.”
“...Tapi, biarpun dibilang bukti, kami harus bagaimana...”
“Masa? Gampang, ‘kan.”
Berbeda dengan si Matsuo yang cemas, Yamamoto mengatakannya dengan enteng.
“Intinya, kalian tinggal buat landasan agar tidak terjadi masalah. Misalnya, patroli festival budaya di sekolah kita kan biasanya dilakukan guru, bagaimana kalau panitia festival budaya ikut berpatroli bergiliran?”
“...Begitu, ya. Itu mungkin ide bagus.”
“Iya. Kalau panitia festival ikut berpatroli, beban kerja guru selama festival berkurang, dan kalau panitia yang berpatroli dibekali kamera, mereka bisa sekaligus merangkap tugas humas. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.”
“Benar juga.”
“Terutama dari sudut pandang guru, berkurangnya beban kerja mereka selama festival pasti akan terasa menguntungkan.”
“...Lalu, yang terakhir?”
“...’Adanya risiko kedatangan orang mencurigakan jika dibuka untuk umum’, ya.”
“Iya.”
“...Jujur, soal ini aku juga agak bingung.”
“...Iya.”
“Soalnya... aku tidak tahu kenapa kamu sengotot itu ingin membukanya untuk umum.”
“...Itu...”
“Yah, kalau tidak mau bilang juga tak apa. Ucapanku ini hanya sekadar ide. Jadi, mau dipakai atau tidak, terserah kalian.”
“...Iya.”
“Nah, soal solusi untuk pengunjung mencurigakan yang kupikirkan...”
...Yamamoto menarik napas dalam-dalam.
“Lupakan soal pembukaan untuk umum.”
◇◇◇
Usai membeberkan idenya, Yamamoto pergi ke toilet dengan raut puas. Sepertinya dia jadi kebelet karena dari tadi terus-terusan menenggak kopi.
“...”
Oleh karena itu, sekarang Yamamoto menghilang dari tempat duduknya, dan aku jadi berduaan dengan si Matsuo.
Waktu SMA, biarpun aku sangat berkuasa di sekolah, aku sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengannya.
Omonganku soal pemalu tadi memang bohong... tapi tetap saja aku merasa sedikit canggung.
“Hei, Matsuo... chan?”
Tapi, aku bukan tipe orang yang tidak bisa mengajak bicara hanya karena canggung.
Aku mengajak si Matsuo bicara.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
Habisnya, pertemuan ini membuatku punya banyak hal yang ingin kutanyakan padanya.
Spesifiknya, apa yang ingin kutanyakan pada si Matsuo...
Bagaimana dia bertemu Yamamoto?
Hubungan seperti apa yang mereka jalani saat jadi panitia festival budaya?
Dan banyak hal lainnya.
Tapi, aku tidak punya waktu untuk menginterogasinya. Mungkin, sebelum aku selesai bertanya, Yamamoto akan kembali.
“Kamu, suka sama Yamamoto?”
Makanya, aku mengatakannya terus terang, sambil menatapnya penuh permusuhan.
...Si Matsuo itu.
“...Tidak.”
Dia menyangkalnya.
“Aku tidak menyukainya. Aku mencintainya.”
...Ternyata bukan sangkalan.
“...Oh.”
“Kalau itu permintaan Yamamoto-senpai, kurasa aku bisa melakukan apa saja.”
...Kacau, perasaannya ternyata dalam sekali.
“...Apa, sih, bagusnya cowok kayak begitu.”
Kukatakan itu dengan ketus sebagai gertakan.
“...Dari luar, dia memang punya sifat yang gampang disalahpahami, sih.”
...Hah?
“Mulutnya selalu resek. Makanya dia sering bentrok dengan orang lain. Tapi, kalau kita amati lebih dekat, dia itu berdedikasi, baik hati... bisa diandalkan, dan keren.”
“...Oh.”
Oh?
Oh...
...Ohhhh.
Ternyata dia tahu.
Aduh. Astaga...
Cewek ini, boleh juga, dia punya mata yang tajam.
“Dengar, ya, lebih baik kamu cari orang lain saja.”
Tapi, itu urusan lain.
Aku kembali mengatakannya terus terang. Habisnya, kalau dia terus menyukai Yamamoto, aku akan dirugikan.
“Senpai bilang begitu, tapi Hayashi-senpai juga tidak pacaran dengan Yamamoto-senpai, ‘kan?”
“...Eh?”
Gawat. Benar juga, tadi aku sudah menyangkalnya mati-matian di depan si Matsuo dengan wajah merah.
Memang, kalau didengar orang, tinggal bersama tapi tidak pacaran, wajar kalau dikira tidak punya perasaan cinta.
“Kalau bukan pacarnya, aku harap Senpai tidak ikut campur urusan kami.”
“I-Itu...”
“Lagipula, tadi Senpai sengaja duduk di sebelah Yamamoto-senpai seolah pamer. Jangan-jangan, Senpai sedang menggoda Yamamoto-senpai? Padahal Senpai tidak menyukainya?”
“B-Bukan...”
“Justru, aku yang mau bilang! Tolong jangan dekati Yamamoto-senpai lagi!”
“Aku suka dia!”
Aku berteriak... bukan hanya si Matsuo, seisi restoran keluarga jadi hening.
“...Pembohong.”
Si Matsuo menyangkal perasaanku pada Yamamoto.
“Padahal waktu SMA, Senpai membencinya setengah mati!”
...Iya, sih.
Waktu SMA aku membencinya setengah mati, lalu sekarang tiba-tiba bilang suka, memang enak banget, ya. Terutama dari sudut pandang cewek ini, yang mungkin sudah memendam perasaan pada Yamamoto sejak SMA, wajar kalau dia marah.
“...Aku tahu!”
“Eh, beneran nangis.”
Akibat aku yang nyaris mengamuk, si Matsuo malah jadi ciut.
“Aku tahu aku sudah jahat sama Yamamoto... Tapi, itu salah dia. Dia menolongku berkali-kali! Makanya aku jadi suka!”
“...”
“Sudah tidak bisa dihentikan! Tinggal bersamanya itu berat! Aku tidak mengerti diriku sendiri! Kadang aku tidak tahu apa yang akan kulakukan! Kadang emosiku naik turun tak terkendali! Waktu Yamamoto pergi kuliah, aku kesepian sekali! Makanya aku sering tidur siang sambil memeluk futonnya dan mencium baunya! Salah!?”
Saking kalapnya, sepertinya omonganku jadi ngelantur. Apa cuma perasaanku?
“S-Senpai beneran suka dia?”
“Iya!”
“...Sulit dipercaya Senpai dulunya dijuluki ‘Ratu’.”
“Berisik.”
“Kalau begitu, harusnya tadi Senpai tidak perlu menyangkalnya dengan wajah merah.”
“Ugh...”
“Yamamoto-senpai itu tipe yang nggak bakal sadar, loh, kalau nggak didekati secara agresif.”
“Aku tahu!”
Jahat banget, sih, menikamku berkali-kali?
Tentu saja aku sadar, kalau aku tidak mendekatinya duluan, Yamamoto tidak akan melakukan apa-apa. Aku sudah merasakannya selama berbulan-bulan tinggal bersamanya... tapi dia malah mengatakannya terang-terangan di depanku.
“Baru kali ini aku berpikir Hayashi-senpai orang yang menarik.”
“...Kamu juga, kelihatannya saja pendiam, tapi ternyata cewek menyebalkan yang suka bicara blak-blakan.”
“Bukan, kayaknya mental Hayashi-senpai saja yang lemah.”
Dia menepisnya lagi!
...Sial.
“...Yah, soal aku kelihatan pendiam itu mungkin ada benarnya. Sebenarnya, sampai setahun lalu aku memang pendiam.”
Si Matsuo menunduk sambil tersenyum pahit.
“...Aku tidak percaya diri. Waktu semua orang bersenang-senang, aku selalu berpikir, ‘Apa boleh aku bicara?’, ‘Apa aku akan merusak suasana?’. Tapi, gara-gara sifatku itu, aku gagal, dan aku memutuskan untuk berubah. ...Aku tidak mau merasakan perasaan seperti itu lagi, takkan pernah.”
Aku tidak terlalu paham apa yang dibicarakan si Matsuo. Tapi, aku bisa merasakan semacam tekad darinya.
“Tapi, tetap saja, berhentilah mengincar Yamamoto.”
Yah, tekadnya urusan dia, tapi aku tetap mengatakan apa yang tidak kusuka.
“Tidak bisa. Karena aku mencintainya.”
“...Aku juga mencintainya!”
“Aku tidak peduli. Hayashi-senpai saja yang menyerah!”
“Enggak bisa! Nggak bakalan!”
Kami saling melotot.
“...Padahal sampai kemarin Senpai membencinya.”
“Kan sudah kubilang... aku berubah karena dia menolongku.”
“Sebenarnya, kenapa Senpai dulu membencinya?”
“Itu...”
...Kenapa, ya?
...Ah, benar juga.
“Karena waktu kelas satu, dia mengacaukan festival budaya!”
“...Yamamoto-senpai? Di festival budaya?”
Si Matsuo membelalakkan matanya.
Kalau dipikir-pikir, mungkin si Matsuo tidak tahu, karena waktu itu dia belum masuk SMA. Dilihat dari cara dia memuja Yamamoto, sepertinya Yamamoto berjaya sekali di festival budaya tahun lalu.
Mungkin bagi si Matsuo, yang sepertinya sedikit mengidolakan Yamamoto, sulit dipercaya kalau Yamamoto bisa melakukan kesalahan.
...Mungkin, ini kesempatan.
“Di acara penutupan festival budaya kan ada api unggun?”
Akan kuhancurkan citra Yamamoto yang bisa diandalkan di dalam otak si Matsuo.
“Waktu kami kelas satu, api unggunnya dibatalkan.”
Dan akan kujatuhkan reputasi Yamamoto sampai ke dasar bumi...!
“Alasannya Yamamoto lupa memesan kayu bakar.”
Eh, apa aku jahat banget, ya, sama Yamamoto...?
“G-Gimana, sekarang kamu tahu, ‘kan? Dia itu tidak sesempurna yang kamu kira. Jadi, tolong, tolong, tolong, lupakan Yamamoto!”
“Niat banget.”
Si Matsuo menanggapinya dengan datar.
“...Ah, jadi soal itu.”
“Eh?”
Dia tahu?
Waktu kami kelas satu, dia kan masih SMP.
Tapi... kenapa dia tahu soal itu?
“Wajar, ‘kan, ingin tahu segalanya tentang orang yang kita sukai.”
...Segalanya?
Aku mengerti keinginan untuk tahu tentang orang yang kita sukai.
Tapi... segalanya?
Apa cuma perasaanku, kata-kata itu terdengar sangat kelam.
“...Soal api unggun waktu Senpai kelas satu, ya.”
“...Ada apa?”
“...Soal itu, aku tidak akan memaafkannya seumur hidupku.”
“...Ah, begitu.”
Padahal tadi dia tidak ragu menunjukkan rasa sukanya pada Yamamoto. Kenapa dia begitu marah soal kayu bakar api unggun yang tidak dipesan, padahal tidak terlibat langsung?
“Hayashi-senpai mungkin salah paham.”
Si Matsuo mengatakannya dengan nada tegas.
“...Yang tidak bisa kumaafkan adalah, semua orang yang menjebak Yamamoto-senpai.”
...Dijebak?
Jadi, insiden Yamamoto lupa memesan kayu bakar api unggun waktu kami kelas satu itu, akibat dijebak seseorang?
“He-hei, kalau kamu tahu, ceritakan yang sebenarnya!”
Aku bertanya pada si Matsuo dengan raut wajah putus asa.
“...Tidak mau.”
Tapi, si Matsuo ini jahat.
“Setidaknya, aku tidak akan memberitahukannya pada Hayashi-senpai.”
“...A...!”
Kenapa cuma aku?
...Apa dia sebegitu waspadanya padaku sebagai saingan cinta?
Memang, sih, aku juga sangat mewaspadainya!
“Kalian berdua, dari tadi ribut banget, sih?”
Saat itu, Yamamoto, yang tidak tahu apa-apa, kembali dari toilet.
“Enggak boleh, tahu, teriak-teriak di restoran keluarga.”
Benar-benar cowok yang tidak tahu situasi.
“...Yah, katanya kalau sering bertengkar tandanya akrab?”
“Tentu saja tidak.”
“Benar. Mustahil.”
“...Oh, begitu.”
Yamamoto duduk di sofa dengan bingung.




Post a Comment