NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 4 Chapter 8

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 8

Ratu yang Terpinggirkan


“Ooi, sudah mau sampai, loh.”


“Ngh...”


Aku membangunkan Hayashi yang tertidur di kursi sebelah, sambil bersiap-siap turun dari kereta.


Gedung-gedung pencakar langit yang tadi memenuhi pandangan sebelum naik kereta sudah tak nampak lagi. Pemandangan dari jendela kereta kini berganti menjadi laut dan deretan pepohonan yang familier di mata.


“Nghhh... Puasnya tidur.”


“Aku sih nggak bisa tenang gara-gara ada kamu di sebelah.”


Belakangan ini, aku semakin sadar betapa parahnya buta arah Hayashi, sampai-sampai aku mulai berpikir tidak seharusnya aku sembarangan menyarankannya bepergian.


Apalagi karena harus membawa Hayashi, awalnya aku sendiri tidak terlalu bersemangat untuk pulang kampung kali ini.


Tapi, berkat rengekan Hayashi yang ingin ikut, dan kemudian badai telepon dari Matsuo yang sepertinya tidak akan menyerah sampai aku bilang ‘iya’, akhirnya aku takluk.


“Yah. Masa orang yang paling berjasa membuat festival budaya tahun ini bisa didatangi wali murid dan alumni malah nggak datang, sih.”


Saat sekolah kami mulai terlihat di kejauhan, Hayashi berkata begitu.


“Orang yang paling berjasa itu Matsuo, dia yang berhasil mendapatkan izin dari sekolah.”


“Iya, iya.”


Aku sungguh-sungguh berpikir begitu, tapi sepertinya Hayashi tidak mau mendengarkan.


Pukul sebelas pagi.


Di trotoar sepanjang jalan yang setahun lalu biasa kulewati untuk pergi sekolah, tampak orang berjalan-jalan santai meskipun di jam makan siang. Kalau melihat ke samping, di jalan raya ada cukup banyak mobil. Kebanyakan penumpangnya kelihatannya pasangan suami istri.


“Orang-orang di mobil itu, jangan-jangan semuanya mau ke festival budaya sekolah kita?”


“Mungkin saja. Pakaian mereka terlihat rapi, dan kebanyakan pasangan suami istri.”


Ditambah lagi, hari ini hari Sabtu. Mungkin bagi para orang tua, rasanya mirip seperti menghadiri kunjungan kelas.


Setelah melewati deretan pepohonan, sekolah kami mulai terlihat.


Rasa nostalgia sedikit menyergapku, tapi melihat dekorasi balon dan suasana sekolah yang sudah ramai, alih-alih merasa rindu sekolah, aku malah teringat festival lokal, jadi perasaanku campur aduk.


“Enggak sabar, ya, Yamamoto.”


“Iya.”


Aku tersenyum getir.


“Rasanya kayak datang ke taman hiburan, ya. Jadi semangat nih...”


“Kalau merasa seperti di taman hiburan, jangan pasang muka mayat begitu, dong.”


...Maaf kalau mukaku seperti mayat.


Sayangnya, aku ini tipe orang yang suka ketenangan. Aku tidak suka tempat ramai penuh kehebohan begini.


“Apa Anda alumni?”


Saat aku sedang cemberut, seorang siswa yang sepertinya panitia festival budaya memanggil kami.


“Ah, iya.”


“Saat ini kami sedang mengadakan angket untuk alumni. Kami membagikan buku panduan dan kertas voting khusus bagi yang berpartisipasi dalam angket, apakah Anda bersedia bekerja sama?”


“Boleh.”


“Terima kasih.”


Panitia itu menunjuk ke arah resepsionis.


“Kalau begitu, silakan menuju ke sana.”


“Oke, oke. Ayo, Yamamoto.”


“Iya.”


“...Idemu benar-benar dipakai mentah-mentah, ya.”


“Kata pengantarnya harusnya dibikin lebih menarik lagi, sih.”


Kalau pakai cara bicara panitia tadi, keuntungan mengisi angket jadi terasa kurang.


Kalau mau ngomong begitu, lebih baik jangan sebut soal kertas voting, cukup bilang ‘ada hadiahnya, jadi mohon berpartisipasi’, rasanya itu lebih baik.


“...Tapi kelihatannya, tidak banyak yang menolak permintaan panitia, ya.”


Sebagian besar pengunjung dengan patuh berjalan menuju resepsionis. ...Yah, mungkin orang yang tidak bermoral dan suka bikin masalah di sekolah anaknya atau bekas sekolahnya sendiri, dari awal tak akan datang ke festival budaya.


Kalau begini, tergantung hasil angket kali ini, tahun depan sepertinya tidak masalah kalau resepsionis dibuka terang-terangan untuk cek identitas, tanpa perlu ditutupi kedok angket.


Di sepanjang jalan menuju resepsionis, papan petunjuk dipasang di mana-mana. Kami mengikuti papan petunjuk itu dan sampai di resepsionis dengan selamat.


“Meguuu!”


Sesudah mengisi angket, terdengar suara melengking dari belakang.


“Ah, Akari.”


Hayashi menjawab panggilan Kasahara. Sebaliknya, aku pura-pura tidak menyadari keberadaannya.


Awalnya, kami berencana pulang bareng Kasahara di kereta yang sama dan pergi ke festival budaya bersama, tapi gara-gara Hayashi kesiangan, Kasahara berangkat duluan dan kami janjian bertemu di sini.


“Aku sudah nungguin, loh, Megu!”


“Gueh!”


Saat aku sedang muak membayangkan Hayashi dan Kasahara akan melakukan adegan reuni yang mengharukan, tiba-tiba aku disikut Kasahara. Kenapa? Apa karena aku tidak menyapa?


“...Yo. Kasahara.”


“Halo. Kamu kelihatan sehat kayak biasa ya, Yamamoto-kun!”


“Akari, maaf ya! Aku kesiangan.”


“Tidak apa-apa. Aku sama sekali nggak keberatan, kok!”


Hayashi tersenyum lega.


Ngomong-ngomong, alasan Hayashi kesiangan adalah karena dia bingung mau pakai baju apa hari ini. Dia menghabiskan semalam suntuk mematut diri di depan cermin sambil bilang ini-itu.


Saking lamanya, aku sampai keceplosan bilang, ‘Pakaianmu kan nggak penting.’


‘Menurutmu, gara-gara siapa aku bingung begini?’


Akibatnya, Hayashi jadi ngambek. Aku benar-benar tidak mengerti maksudnya.


“Akari, kamu sudah lihat penampilan kelas mana?”


“Belum. Aku nunggu di sini terus!”


“Eh, di sini?”


Eh... sampai segitunya.


“Iya. ...Habisnya, kan jarang-jarang bisa keliling festival budaya bareng Megu lagi? Aku mau kita lihat bareng-bareng dari awal.”


“Eh? Ah, iya. Benar juga, ya?”


Tuh kan. Karena dia menumpahkan emosi yang terlalu berat, Hayashi saja biarpun mulutnya setuju, reaksinya kelihatan bingung.


“Loh? Jangan-jangan Hayashi-san dan Akari?”


“Eh?”


Terdengar suara yang cukup akrab, Hayashi dan Kasahara menoleh... Siapa, tuh?


“Jangan-jangan, Yoshimi-san?”


Ah... siapa, ya?


Sepertinya dulu sekelas, tapi aku benar-benar tidak bisa mengingat wajah, nama, dan suaranya.


“Wah, lama tidak bertemu! Apa kabar?”


“Baik! Yoshimi-san gimana?”


“Sehat, kok! Sehat banget malah!”


“Oh, baguslah kalau begitu!”


Yoshimi-san dan Kasahara asyik mengobrol. Hayashi memperhatikan percakapan mereka dari jarak satu langkah di belakang.


Kalau dipikir-pikir, waktu SMA, seingatku kalau Hayashi bicara dengan cewek lain, gayanya memang selalu begitu.


Hayashi yang memasang tampang jutek, dan Kasahara yang jadi humas menggantikan Hayashi. Pola yang sudah biasa.


Mungkin itu cara Hayashi menjaga citra ‘Ratu’-nya.


“Eh, ngomong-ngomong, aku lihat di medsos, kamu punya pacar baru, ya?”


“Eh? Iih, jangan dilihat-lihat, dong.”


Mungkin Kasahara juga tidak benar-benar ingin tahu kabar terbaru Yoshimi-san. Orang yang ingin kita tahu kabarnya biasanya cuma artis idola, influencer, atau teman yang benar-benar dekat.


...Kesan pertamaku (?), dia tipe cewek halu yang merasa dunia berputar di sekelilingnya.


“Hei, hei! Kalian berdua! Mau keliling bareng, nggak? Sebenarnya aku mau ketemuan sama Yamai dan yang lain!”


“Hm. Megu, gimana?”


“Aku sih terserah... yang mana saja boleh?”


“Kalau begitu... Yamamoto-kun gimana?”


...Gawat.


“Terserah kalian. Aku mau keliling sendiri.”


Aku langsung kabur dari mereka.


“...Eh. Jangan-jangan yang tadi itu, Yamamoto? Si biang onar itu? Kalian berdua akrab sama dia?”


Terdengar suara Yoshimi-san yang heran dari belakang.


“...Yah, ada banyak kejadian, sih.”


...Benar. Sejak lulus SMA, kami memang sudah mengalami banyak hal.


Orang lain yang mencoba mengorek-ngorek apa yang terjadi di antara kami, atau aku yang mungkin meninggalkan kesan buruk di mata Yoshimi-san saat SMA, ikut berkeliling bersama mereka... kurasa tidak akan menguntungkan siapa pun.


Lagipula, berjalan sendirian di gedung sekolah yang ramai oleh festival budaya membuatku teringat masa lalu.


Diriku yang tidak bisa berbaur dengan keramaian di sekitar.


Diriku yang terlalu sinis sampai tidak bisa menikmati festival budaya dengan baik...


...Satu-satunya yang berubah mungkin aku tidak lagi memakai seragam sekolah.


“Aduh!”


Tiba-tiba tanganku ditarik dari belakang, aku pun menoleh.


Orang yang ada di sana adalah...


“Senpai! Aku cari-cari, tahu!”


“...Matsuo.”


Adik kelas yang tahun lalu memeriahkan festival budaya bersamaku.


“Sesuai janji, Senpai benar-benar datang ke festival budaya, ya.”


“...Kamu yang maksa bikin janji begitu, masih bisa bilang begitu, ya.”


“Tapi faktanya Senpai menepati janji!”


Matsuo tersenyum.


“Terima kasih, Senpai!”


...Aku sedikit berdebar, tapi berusaha tetap tenang.


“Ramai sekali, ya, festivalnya.”


Sejak tadi, banyak wali murid, alumni, dan siswa yang berlalu-lalang di dekatku dan Matsuo.


...Yah, pemandangan siswa berjalan riang di lorong sih sudah biasa kulihat sampai tahun lalu, tapi tahun ini ditambah sosok wali murid dan alumni. Pemandangan yang biasa dan tidak biasa bercampur jadi satu, rasanya sedikit aneh.


“Ini juga berkat Senpai.”


“Bukan. Kamu yang berhasil dapat izin dari sekolah, ‘kan.”


Tadi aku juga bilang begitu ke Hayashi.


“Tidak, tidak, guru-guru semuanya memuji, loh. Katanya idenya matang sekali.”


“Oh, ya?”


“Iya!”


Matsuo mengangguk penuh semangat.


“Terutama Kakogawa-sensei, beliau sangat memuji!”


...Ketahuan, ya?


“Kamu, kayaknya marah, ya?”


“Tidak, sama sekali tidak. Malah aku senang tahu Senpai bergerak di belakang layar demi aku.”


“Tuh kan, marah.”


Lagipula, kenapa bisa ketahuan kalau aku minta tolong Kakogawa-sensei untuk membantu Matsuo?


Rasanya tidak mungkin Kakogawa-sensei sengaja membocorkannya ke Matsuo, dan yang tahu aku berhubungan dengan Kakogawa-sensei cuma Hayashi yang kumintai nomor teleponnya...


...Oh, begitu. Salah Hayashi, ya.


“Maaf, ya. Bergerak sendiri di belakangmu.”


“Iya, tuh. ...Padahal Senpai bilang ‘Membuka festival untuk umum itu tugasmu sebagai ketua panitia tahun ini. Aku cuma bisa kasih ide’, begitu.”


“Ugh...”


Matsuo-san? Tolong simpan pisau kata-katamu yang tajam itu. Sakit, nanti aku harus menjahit luka hatiku lagi.


...Lagipula, Matsuo hari ini bersemangat sekali.


Biasanya dia lebih kalem dan anggun.


...Apa dia tertular suasana festival?


“Senpai, ngomong-ngomong, Hayashi-senpai mana?”


“Hm? Ah, tadi dibawa pergi teman lama.”


“Kalau begitu, Kasahara-senpai?”


“Kenapa nama Kasahara disebut-sebut...”


Matsuo tidak menjawab, hanya menatapku dengan pandangan serius.


“...Dia juga ikut dibawa pergi.”


Jawabku sambil memalingkan wajah dari Matsuo.


“Begitu, ya.”


Entah kenapa, Matsuo mengelus dada lega.


“K-Kalau begitu... Senpai sekarang keliling festival sendirian, dong?”


“Hm? ...Ah, yah, begitulah.”


“Begitu...”


...Tiba-tiba saja.


Matsuo yang tadi bersemangat, mendadak menunduk malu-malu.


Dia terlihat ragu-ragu akan sesuatu.


Tapi, setelah menarik napas panjang, dia kembali menatapku dengan pandangan serius, seolah sudah membulatkan tekad.


Pipi-nya entah kenapa sedikit memerah.


Bibirnya yang terpoles pelembap... sedikit gemetar.


“Senpai, mau nggak keliling festival budaya bareng aku!?”


“Hm?”


“Sebentar aja!”


Suara Matsuo...


“Cuma sebentar aja...”


Semakin dia bicara, suaranya semakin lirih.


“Aku juga ada tugas, jadi... tiga puluh menit. Empat puluh menit. ...Satu jam, mungkin.”


Suaranya yang terdengar rapuh, berbeda dengan keanggunannya yang biasa, membuatku yang mendengarnya ikut berdebar.


“Bagaimana...?”


...Yah.


Aku tidak keberatan keliling festival sebentar bareng Matsuo,.


Justru, kalau bisa keliling festival bareng seseorang, aku yang sewaktu SMA selalu sendirian mungkin bisa melihat festival dari sudut pandang yang berbeda.


Meskipun, kalau ditanya apa perlu melihat festival dari sudut pandang berbeda setelah lulus, jawabannya sih tidak perlu juga.


...Hanya saja, apakah tidak apa-apa bagi Matsuo keliling bersamaku, si biang onar legendaris di sekolah ini?


Habisnya, tadi saja aku masih dikenali sebagai biang onar oleh cewek yang namanya saja tidak kuingat.


“Senpai...?”


Saking asyiknya berpikir, aku sampai lupa Matsuo ada di depanku.


...Gimana nih. Bingung. Jawab apa, ya?


...Merasa tidak enak membiarkan Matsuo menunggu terlalu lama, aku membuka mulut dengan ragu.


“M-Maaf...”


Yang bersuara bukan aku, tapi Matsuo.


Hampir bersamaan saat aku mau bicara, ponselnya berbunyi.


“Halo? Acchan, kenapa?”


Matsuo memunggungiku untuk menjawab telepon. Mungkin dari teman sesama panitia.


“Eh?”


...Kalau dugaanku benar, sepertinya Matsuo sudah tidak bisa berleha-leha keliling festival lagi.


“...O-Oke.”


Sepertinya ada masalah.


“U-Untuk saat ini... aku ke sana dulu.”


Dari suara Matsuo yang panik, dugaanku berubah jadi keyakinan. Ada masalah.


“Maaf, Senpai.”


“Ada apa?”


“Eh?”


“Sudah, bilang saja.”


Matsuo ragu-ragu. Mungkin dia tidak ingin menyeretku ke dalam masalah, padahal aku diundang untuk menikmati festival.


“...Tempat parkir penuh.”


Matsuo berkata dengan pasrah.


“Tempat parkir?”


Di sekolah kami, selain tempat parkir guru, ada tempat parkir untuk sekitar tiga puluh mobil.


“Sebenarnya, kami sudah menghimbau pengunjung lewat medsos dan lain-lain untuk menggunakan transportasi umum, atau parkir di tempat parkir umum terdekat kalau bawa mobil. Tapi kami juga menginformasikan kalau ada tiga puluh tempat parkir di sekolah.”


“Yah, daripada pakai transportasi umum atau parkir berbayar, pasti orang lebih memilih parkir di sekolah yang dekat dan gratis, ‘kan.”


“...Akibatnya, pengguna tempat parkir sekolah membludak. Katanya antrean mobil sekarang sudah sampai ke jalan raya.”


...Benar juga, tadi saat berangkat aku sempat melihat kondisi jalan. Sekitar tiga puluh menit lalu saja jalannya sudah macet. Sampai-sampai aku tahu orang-orang di mobil itu mau ke sekolah ini karena mengenakan pakaian rapi.


“Pengalihan ke tempat parkir umum bagaimana?”


“Katanya guru-guru sudah mengarahkan, tapi antreannya makin panjang... Acchan, temanku, juga sudah bergegas ke parkiran untuk bantu mengarahkan, tapi sepertinya tidak terurai sama sekali.”


Matsuo sudah diambang tangis.


“Perkiraannya meleset, ya?”


“Seharusnya tidak.”


Matsuo menyeka air matanya.


“Soalnya... di festival sebelum pandemi, kondisinya sama, tapi tidak pernah sampai meluber ke jalan raya begini.”


Padahal, festival sebelum pandemi itu dibuka untuk umum. Kali ini hanya untuk wali murid dan alumni. Jumlah orang yang boleh masuk seharusnya jauh lebih sedikit.


Lagipula, tempat parkir umum di sekitar sini seharusnya lebih banyak dibanding sebelum pandemi. Seingatku tahun lalu saja ada tiga bangunan di dekat sekolah yang dirobohkan dan diganti jadi tempat parkir.


“...Ternyata festival tahun ini lebih ramai dari dugaan, ya.”


Di tengah krisis, aku malah berkomentar santai.


“...Oleh karena itu, Senpai, maaf.”


“Begitu, ya. Aku mengerti situasinya.”


Aku menghela napas.


“Ayo, Matsuo.”


Aku mulai berjalan.


“...Eh?”


“Sudah kepalang basah. Aku temani.”


“...!”


“Kenapa?”


“T-Tidak boleh! Senpai kan hari ini datang untuk main?”


“...”


“Makanya, bersenang-senanglah. Aku memaksa Senpai datang hari ini karena aku ingin Senpai bersenang-senang.”


“...Begitu, ya.”


“Makanya...”


“Sudah cukup, kok.”


“Eh?”


“Aku sudah cukup menikmati festivalnya.”


Karena festival kali ini benar-benar berbeda dengan festival masa SMA-ku.


Bisa datang ke sekolah bareng teman (biarpun dia buta arah).


Diajak keliling bareng adik kelas.


“Aku sudah puas.”


Kalau lebih dari ini, aku yang tidak bisa berbaur dengan keramaian, dan terlalu sinis untuk menikmati festival dengan baik... yang ada nanti malah ‘sakit perut’.


“...Terima kasih.”


“Tenang saja.”


Aku mengatakannya dengan arti ‘jangan khawatirkan aku’ dan ‘kita bisa lewati situasi ini’.


“Kalau begitu, ayo lekas ke sana.”


“Tunggu, Matsuo.”


“A-Ada apa?”


“Kamu jangan ke tempat parkir.”


“Eh?”


“Aku bilang terus terang saja. Kamu ke tempat parkir pun tak ada gunanya.”


“T-Tudak mungkin.”


“Tidak, beneran nggak ada. Paling banter kamu cuma tahu kondisi lapangan, terus ikut-ikutan panik bareng panitia lain.”


Matsuo menatapku tajam, sepertinya tersinggung.


“Daripada itu... dengar, ya. Kamu tuh ketua panitia. Tugas ketua bukan kerja teknis di lapangan. Tapi memimpin semuanya.”


Aku mengeluarkan ponsel dari saku.


“...Terus, kita mau ke mana?”


“Ke tempat Kakogawa-sensei.”


“...Kakogawa-sensei?”


“Minta Kakogawa-sensei jadi perantara, kita negosiasi langsung dengan Kepala Sekolah.”


“K-Kepala sekolah!?”


Suara kaget Matsuo menggema di dalam gedung sekolah.


“Pengalihan ke transportasi umum dan parkir berbayar tidak berjalan, dan kalaupun jalan, ada risiko kapasitasnya tidak cukup. Selain itu, sebelum pengalihan selesai, ketidakpuasan orang-orang yang terjebak macet bisa meledak. Kalau sudah begitu, bakal makin susah dikendalikan.”


“...Iya, benar.”


“Makanya, satu-satunya cara adalah menambah tempat parkir darurat di dalam sekolah.”


“D-Di dalam sekolah!?”


Matsuo kaget sejenak, lalu kembali tenang dan melanjutkan.


“...Tapi, di mana?”


“Halaman sekolah.”


“Halaman sekolah?”


“Iya. Halaman sekolah jam segini jadi tempat menaruh kayu bakar buat api unggun nanti malam. Tapi, biarpun dibilang tempat taruh barang, sebagian besar kan lahan kosong.”


“...Ah.”


“Sayang kalau tidak dimanfaatkan jadi parkir darurat. Makanya, kita negosiasi langsung dengan Kepala Sekolah, minta izin pakai halaman sekolah buat parkiran darurat.”


“...Tapi, apa semudah itu bikin parkiran darurat?”


“Itu juga bisa dinegosiasikan. Yah, kalau memikirkan pembagian area per mobil dan tenaga untuk mengarahkan, mungkin perlu minta bantuan OSIS selain guru-guru.”


“...Tapi, negosiasi langsung dengan Kepala Sekolah itu...”


“...”


“Pertemuan dengan guru tempo hari bisa berhasil karena persiapan matang.”


“...”


“Tiba-tiba tanpa janji... itu mustahil.”


“Tidak mustahil.”


“Mustahil, Senpai...”


“Tenang saja.”


“...Kenapa Senpai bisa seyakin itu?”


“Gampang.”


Aku tersenyum.


“Kan ada aku?”


...Rasanya aku pernah bilang begini ke Hayashi.


“Biar aku yang bicara dengan Kepala Sekolah.”


“Senpai...?”


“Iya. Tenang saja. Dalam situasi darurat begini, Kepala Sekolah juga pasti mau menghindari masalah yang tidak perlu. Dia pasti mau mendengarkan dengan positif.”


“...Kenapa?”


“Hm?”


“Kenapa Senpai... mau melakukan semua ini?”


...Kenapa, ya?


Aku tersenyum pahit.


“Karena aku suka.”


Matsuo mematung sesaat...


“Eeeehhhhh!?!?!?”


Lalu berteriak keras.


Agak di luar dugaan.


“Suka berkeringat demi festival budaya sekolah kita, maksudnya.”


Soalnya, kupikir Matsuo yang menjabat sebagai ketua panitia tahun ini juga punya perasaan yang sama denganku.


“...Pokoknya, aku telepon Kakogawa-sensei dulu.”


Di tengah keheningan yang canggung, aku menempelkan ponsel ke telinga.


◇◇◇


Setelah berunding dengan Kakogawa-sensei, kami segera bergegas menemui Kepala Sekolah untuk mengajukan permohonan langsung.


Sesuai rencana awal, isi permohonan kami adalah meminta izin untuk menggunakan halaman sekolah sebagai lahan parkir sementara. Selain itu, kami juga meminta agar para guru turut serta membantu kami mewujudkannya.


Bersama Kakogawa-sensei yang tampak sedikit panik karena baru saja ditarik dari lapangan, dan Matsuo yang terlihat tegang, kami melangkah menuju ruang Kepala Sekolah. Sesampainya di sana...


“Wah, wajah yang sudah lama tak kulihat, ya.”


Begitu melihat wajahku, Kepala Sekolah langsung melontarkan kalimat itu.


Aku sedikit terkejut karena mengira beliau sudah lupa, atau bahkan tidak kenal, dengan wajahku yang lulus tahun lalu. Namun, karena ini adalah momen negosiasi, aku tidak merasa gugup dan pembicaraan pun terus berlanjut.


Mendengar permintaanku, Kepala Sekolah tampaknya tidak keberatan sama sekali.


Kabar mengenai parkiran yang sudah lumpuh total rupanya telah sampai ke telinga beliau, sehingga beliau sendiri pun berpikir bahwa situasi ini harus segera diatasi.


“Baiklah. Kita harus bergerak cepat. Aku akan mengerahkan personel agar halaman sekolah bisa segera digunakan sebagai tempat parkir sementara.”


Singkat cerita, Kepala Sekolah mengabulkan permohonanku dengan nada bicara yang tenang.


Dari situ, kami langsung berdiskusi mengenai penempatan personel.


Jumlah orang untuk pembagian blok di parkiran sementara. Jumlah orang untuk mengarahkan di parkiran berbayar. Jumlah orang untuk memandu dan mengarahkan di parkiran dalam sekolah. Demi menutupi kekurangan tenaga, Matsuo menghubungi anak-anak OSIS, dan kami pun melewati waktu yang sangat sibuk.


“Lalu, siapa yang akan memimpin komando lapangan di parkiran sementara?”


Aku bertanya...


“Biar aku saja.”


Kepala Sekolah mengajukan diri.


“Maaf jadi merepotkan Anda.”


“Jangan dipikirkan.”


“...Tidak, soalnya saya punya pertimbangan agar tidak membebani para guru demi menambah jumlah peserta yang bisa ikut serta dalam festival budaya ini. Ternyata perhitungan saya masih terlalu naif.”


“Begitu ya. Aku mengerti.”


Kepala Sekolah sepertinya menyadari sesuatu.


“Yah, bagaimana ya... Menurutku, panitia pelaksana festival budaya tahun ini sering melontarkan ide-ide yang cukup menarik. Ternyata itu berkat campur tanganmu, ya?”


...Waduh, aku malah kelepasan bicara yang tidak perlu.


“Tidak. Saya baru terlibat di bagian akhirnya saja.”


“Sebelum pertemuan ketiga, mungkin?”


“Yaa, begitulah...”


“Aku sudah baca notulen rapatnya. Kamu masih sama seperti dulu, ya.”


Entah kenapa jadi agak memalukan. Tunggu, apa itu sindiran? Rasanya jadi agak serba salah.


“Ah, itu bukan ejekan, loh. Aku justru memuji.”


“...Benarkah?”


“Ya... Selama ada kamu, segalanya jadi terasa lebih menyenangkan seperti sekarang ini.”


Tolong jangan katakan itu di depan orang-orang yang sekarang sedang ngos-ngosan di lapangan, oke?


“...Dulunya, aku bekerja di perusahaan biasa. Saat itu aku banyak melakukan kesalahan dalam berbagai pekerjaan, bahkan menimbulkan masalah. Gara-gara itulah aku beralih ke dunia pendidikan... tapi di umur segini, perasaan ingin mencari tantangan seperti masa-masa itu mulai muncul lagi.”


“Begitu, ya.”


“Ya. Makanya, saat kamu menunjukkan aksi heroikmu di festival budaya tahun lalu, rasanya sangat memuaskan bagiku.”


“...Ugh.”


“Lalu, saat kamu lulus, rasanya jadi sedikit sepi.”


“Terima kasih kalau begitu.”


“Ke depannya... aku mohon kerja samanya lagi, ya.”


Apa maksudnya minta bantuan lagi kepada alumni yang sudah lulus sepertiku?


“Kalau begitu, mari kita segera siapkan parkiran sementaranya.”


Karena agak ngeri mendengar maksud terselubung dari ucapan Kepala Sekolah, aku memutuskan untuk memotong pembicaraan.


Setelah itu, pengerjaan dilakukan dengan kecepatan tinggi. Mobil-mobil mulai diparkirkan secara berurutan di area yang sudah digarisi dengan kapur.


Meskipun prosesnya terkesan serampangan karena memarkirkan kendaraan disaat pengerjaan masih berlangsung, berkat komando lapangan Kepala Sekolah yang tepat sasaran, pekerjaan itu selesai lebih cepat dari dugaan.


Entah karena pengarahan ke parkiran berbayar, atau karena imbauan humas panitia pelaksana di media sosial untuk menggunakan transportasi umum yang membuahkan hasil... tak lama setelah parkiran sementara selesai dibuat, kemacetan di jalan raya sekitar sekolah pun terurai.


“Haaah... Kelar juga.”


Matsuo berujar dengan wajah kelelahan.


Saat ini, aku sedang berada di ruang panitia pelaksana festival budaya, berbaur dengan para siswa yang terkapar lemas setelah menyelesaikan tugas berat.


Sebenarnya, karena posisiku sebagai orang luar, aku tidak berniat masuk sampai ke ruang kelas ini, tapi situasi membawaku ke sini.


“Semuanyaaa, kerja bagus!”


Para guru yang juga baru selesai bertugas mentraktir jus untuk para siswa.


Tentu saja, aku tidak mengambilnya. Berada di sini saja rasanya sudah cukup canggung.


“Yamamoto-senpai, lama tidak bertemu.”


“Eh? Ah, ya, sudah lama.”


Di tengah keramaian, beberapa adik kelas yang sepertinya juga menjadi panitia tahun lalu menyapaku, tapi aku tidak terlalu ingat wajah mereka.


Sambil membatin ‘maaf ya jadi senpai yang dingin’, aku hanya membalas dengan senyum basa-basi untuk menyudahi interaksi.


“...Ya sudah, kalau begitu aku mau keliling melihat festival dulu.”


Saat anggota panitia festival selesai istirahat dan kembali ke pos masing-masing, aku pun berniat meninggalkan tempat itu juga.


“Ah, Senpai. Sebenarnya masih ada hal yang ingin aku diskusikan...”


Namun, Matsuo menahanku.


“Eh. Sisanya biar diurus panitia pelaksana saja, lah.”


“Kumohon, Senpai. Aku benar-benar ingin berdiskusi dengan Senpai.”


“Yamamoto-senpai. Aku juga mohon banget.”


“A-Aku juga!”


Entah kenapa, beberapa anggota panitia malah ikut-ikutan mendukung Matsuo.


“...Baiklah.”


Yah, lagipula kalau aku kembali ke area festival, aku cuma bakal jadi orang asing yang kesepian. Jadi, dengan enggan aku memutuskan untuk tetap tinggal di kelas.


“Ayo, semuanya. Kembali ke pos masing-masing!”


Salah satu siswi panitia yang paling pertama mendukung Matsuo tadi bertepuk tangan memberi aba-aba.


“Ayo, kamu juga.”


“Eh, Senpai. Waktu istirahatku belum selesai, loh.”


“Sudah, ayo! Ini perintah Senpai.”


“Wow. Otoriter banget...”


Beberapa anggota panitia yang tampak sangat malang itu pun meninggalkan kelas.


Hasilnya, yang tersisa di kelas hanyalah... aku dan Matsuo berdua.


“Jadi, mau diskusi soal apa?”


“Eh?”


“Eh?”


Aku ingin segera menyelesaikan urusan ini, tapi Matsuo, yang seharusnya tadi bilang ingin berdiskusi, malah memiringkan kepala bingung, membuatku mengeluarkan suara aneh.


“...Ah. Ah, maaf. Aku mau berpikir sebentar, jadi untuk sementara silakan minum jus ini dulu, bagaimana?”


“Nggak usah.”


“Jangan begitu, dong.”


“Serius, nggak usah.”


“Ih, terima saja napa jusnya!”


Matsuo yang mulai kesal memaksaku menerima jus jeruk itu.


“...Hari ini, terima kasih banyak ya, Senpai.”


Saat aku sedang meminum jus jeruk itu, dia mengucapkan terima kasih.


“Santai saja. Tak disangka festival budayanya bakal seramai ini, ‘kan?”


“...Iya juga, ya.”


“Mungkin ada guru yang kesal karena pekerjaan mereka jadi bertambah, tapi Kepala Sekolah mungkin justru senang festivalnya mendapat respons positif. Bagaimanapun, ini jadi promosi yang bagus buat sekolah. Ini pasti bakal dimuat besar-besaran di koran sekolah. Tidak, mungkin bukan Cuma koran sekolah. Ini bisa jadi model percontohan yang bagus bagi sekolah-sekolah yang ingin membuka kembali festival budaya untuk wali murid dan alumni pasca-pandemi.”


Bisa jadi stasiun TV lokal juga akan datang meliput. Bagaimanapun, keputusan untuk pembukaan terbatas festival kali ini hampir sepenuhnya didorong oleh para siswa sendiri. Orang dewasa itu paling lemah saat melihat tindakan anak-anak yang punya masa depan menjanjikan.


“Cuma ada satu pertanyaan... kenapa festival kali ini bisa seramai ini, ya?”


Dibandingkan Tokyo, daerah ini memang lebih mengandalkan kendaraan pribadi, jadi wajar kalau banyak orang memilih datang naik mobil daripada transportasi umum... tapi seperti kata Matsuo tadi, meskipun syarat partisipasi festival sebelum pandemi lebih longgar daripada sekarang, pengunjung yang datang biasanya hanya cukup untuk mengisi tiga puluh slot parkir.


Namun kali ini, orang yang berkumpul begitu banyak sampai-sampai kita harus membuat parkiran sementara.


Apakah karena pandemi sudah berakhir, orang-orang jadi merasa bebas dari pembatasan dan semangat untuk keluar rumah meningkat?


Tidak, rasanya pandemi sudah berakhir cukup lama, jadi alasan itu rasanya agak terlambat.


Mungkin para alumni masa pandemi yang dulu tidak bisa menikmati festival budaya datang untuk melampiaskan... tapi rasanya jumlah alumni dari angkatan itu tidak menonjol secara signifikan...


“Senpai, ini cuma dugaanku saja...”


Matsuo membuka suara dengan canggung.


“Soal rekapitulasi angket. Ini baru sebagian yang sempat direkap sebelum masalah tadi terjadi... tapi saat merekapnya, aku menyadari sesuatu.”


“...Menyadari apa?”


“Di angket ada kolom alasan berkunjung, ‘kan?”


“Ah, ada ya.”


Kalau tidak salah... pertanyaannya seputar dari mana tahu tentang festival ini, atau diajak siapa... seingatku begitu.


“Di salah satu kolom alasan berkunjung, bukankah ada pertanyaan kenapa mereka berminat datang ke festival budaya?”


“...Ada, sih.”


“Sejauh ini, sebagian besar pengunjung melingkari opsi ‘untuk memberikan suara pada pertunjukan kelas’.”


“...Tapi seingatku itu pilihan ganda, ‘kan?”


“Benar, tapi jumlahnya jauh lebih banyak dibanding opsi lain.”


...Begitu rupanya.


Kenapa ada perbedaan jumlah pengunjung eksternal yang begitu mencolok antara festival sebelum pandemi dengan yang sekarang.


Itu karena adanya perbedaan semangat promosi dari para siswa aktif.


Festival budaya kali ini menambahkan sistem pengumuman peringkat pertunjukan kelas berdasarkan suara dari pengunjung luar. Dan para siswa merespons hal itu... terutama mereka yang kompetitif dan punya banyak kenalan, pasti secara agresif mengajak orang tua atau kenalan alumni mereka untuk datang.


Dan jika mereka mengajak dengan sangat antusias, orang-orang yang diajak, selama tidak terlalu sibuk, pasti kepikiran untuk mampir sebentar, entah untuk melihat aktivitas anak mereka di sekolah, atau sekadar bernostalgia mengenang masa SMA di sekolah lama mereka.


Ditambah lagi, fakta bahwa ini adalah acara sekolah yang dibuka untuk umum setelah sekian tahun, meningkatkan nilai beritanya... hasilnya, jumlah pengunjung pun melonjak.


Kalau dipikir-pikir, orang-orang sepertiku, Hayashi, dan Kasahara yang tinggal di Tokyo saja sampai datang, jadi lonjakan pengunjung dibanding sebelum pandemi sebenarnya bisa diprediksi.


Intinya, karena berbagai efek promosi tersebut, pengunjung luar yang berkumpul jauh lebih banyak dibanding sebelum pandemi... dan parkiran yang cuma muat sedikit itu pun langsung penuh. Terlebih lagi, festival budaya adalah acara di mana orang wajar menghabiskan waktu berjam-jam, sehingga mobil parkir dalam waktu lama. Perputaran parkir sangat rendah, dan akhirnya antrean mobil mengular sampai ke jalan raya.


...Artinya, kalau ditelusuri, keributan kali ini adalah salah usulanku.


...Hmm.


Apa aku harus minta maaf?


Ah, tidak perlu, mungkin. Karena yang aku lakukan hanya memberi usulan... dan yang menerima usulan itu adalah mereka. Sebagai pemberi usul aku memang merasa bertanggung jawab... tapi kalau aku minta maaf di sini, nanti malah dikira aku terlalu melebih-lebihkan diriku sendiri, bukan?


“...Ah. Maaf ya.”


Yah, minta maaf saja dulu deh.


“Senpai.”


“Ya...”


“Selain itu?”


Matsuo kembali menatapku dengan pandangan serius.


Awalnya, aku mengira tatapan serius itu karena dia sedang memikirkan poin-poin yang perlu dievaluasi kali ini secara mendalam dan ingin meminta saran dariku. Tapi, aku segera sadar bukan itu maksudnya.


Mungkin bagi Matsuo, masalah parkiran yang penuh tadi sudah dianggap selesai.


Tapi kalau begitu... aku sama sekali tidak tahu apa lagi yang dia inginkan dariku.


“Selain itu... tidak ada hal lain yang Senpai perhatikan?”


“Yang aku perhatikan...?”


“Senpai tidak sadar?”


“Sadar apa?”


“Padahal Hayashi-senpai sadar, loh...”


Hayashi?


Memangnya apa yang disadari Hayashi?


“Senpai kan sempat memikirkannya.”


Dari tadi, sebenarnya Matsuo ini ngomong soal apa, sih?


“Alasan kenapa aku bersikeras festival budaya tahun ini dibuka untuk umum.”


...Aku teringat pertanyaanku pada Matsuo saat di restoran keluarga. Waktu itu aku menanyakannya dua kali. Tapi dia terus mengelak dan tak mau memberitahu alasan sebenarnya. Jadi, aku memutuskan untuk melupakannya karena merasa takkan bisa mengorek jawabannya.


“...Memangnya kenapa?”


Sekarang, karena dia tampaknya sudah berniat memberitahu alasannya, aku pun bertanya.


“Karena aku ingin Senpai datang.”


Lalu, dia mengucapkan sesuatu yang tak terduga.


“...Aku?”


“Iya.”


“...Aku nggak paham.”


Itu pendapat jujurku.


Aku tidak suka tempat yang ramai seperti festival. Aku adalah tipe laki-laki yang tidak akan repot-repot datang ke festival budaya sekolah lama meski dibuka untuk umum.


...Yah, kecuali kalau dipaksa oleh adik kelas, itu beda cerita.


Kalau dipikir-pikir, saat Matsuo ngotot mengajakku ke festival budaya, mungkin itu sudah tak ada bedanya dengan pernyataan cinta.


Tapi, muncul lagi pertanyaan.


Kenapa dia sangat menginginkan orang sepertiku datang ke festival budaya?


“Senpai mungkin tidak akan paham kenapa aku ingin Senpai datang, ‘kan?”


“Syukurlah kalau kamu cepat tanggap.”


“...Senpai ingat bagaimana kita pertama kali bertemu?”


“...Mungkin pas jadi panitia pelaksana festival?”


“Betul. Lalu, ingat tidak apa yang pertama kali kita bicarakan?”


“Tentu saja, nggak ingat.”


“Benar juga. Senpai kan emang gitu.”


Matsuo tersenyum pahit.


“Percakapan pertama kita terjadi gara-gara kesalahanku.”


“Kesalahan...?”


“Kalau dibilang anggun mungkin terdengar bagus... tapi dulu aku punya sifat tertutup. Aku susah mengungkapkan apa yang kupikirkan, dan mudah terbawa suasana... temanku juga sedikit.”


Yah, tipe begitu memang banyak, sih.


“Sebenarnya aku ingin jadi petugas perpustakaan. Soalnya aku suka buku. Tapi posisinya diambil oleh anak populer di kelas... Aku dialihkan ke posisi panitia yang tersisa, dan itu adalah panitia pelaksana festival budaya.”


“Oh.”


“Makanya, aku sebenarnya tidak punya semangat kerja sebagai panitia. Tapi aku juga tidak mau dimarahi karena malas... jadi aku kerja setengah hati, bersikap cari aman mengikuti arus untuk bertahan.”


...Kalau diingat-ingat, Matsuo tahun lalu memang punya citra pendiam dan senyumnya sering dibuat-buat. Senyum itu rupanya cara dia bertahan.


“Saat itu, orang yang paling aku waspadai adalah Yamamoto-senpai.”


“Aku?”


“Iya.”


“Kenapa?”


“Soalnya reputasi Senpai buruk banget.”


“Ah, lagu lama.”


“...Padahal belum pernah bicara, tapi aku sudah menganggap Senpai orang yang menakutkan. Walaupun begitu, Senpai saat jadi panitia memang agak menyeramkan, sih.”


“Kenapa?”


“Padahal cuma beda setahun, tapi instruksinya tepat, logis... entah kenapa, Senpai terlihat seperti orang yang perfeksionis.”


“Aku bukan laki-laki sesempurna itu, kok.”


“Sekarang sih aku tahu, tapi aku yang dulu tidak berpikir begitu.”


“...”


“Makanya... aku jadi menekan diriku sendiri. Kalau salah bakal dimarahi Senpai. Kalau salah bakal dibentak Senpai. Kalau salah aku bakal dibunuh Senpai.”


“Woi.”


“Mungkin gara-gara aku tertekan sendiri, hari itu, aku melakukan kesalahan. Kesalahannya adalah... kurang memesan balon untuk dekorasi.”


Sampai di situ, akhirnya aku ingat. Di festival tahun lalu Matsuo memang melakukan kesalahan pemesanan.


“Besoknya, saat melihat email riwayat pemesanan, wajahku langsung pucat pasi. Aku bingung harus bagaimana, tapi takut melapor ke Senpai... Pulang sekolah hari itu, aku pergi ke toko pernak-pernik dan beli balon pakai uang sendiri.”


Bodoh sekali tindakan Matsuo itu.


“Senpai itu sifatnya pelit... jadi saat balon pesanan datang, Senpai mengecek jumlahnya.”


“Yah, kalau itu sih pasti kulakukan.”


“Iya. Tapi masalahnya, saat mengecek jumlah, Senpai membandingkan surat pengajuan dengan riwayat pemesanan, lalu mencocokkannya dengan barang fisik.”


“Iya lah. ...Dan aku langsung sadar jumlah di pengajuan dan riwayat pemesanan berbeda.”


“Tapi, Senpai tahu jumlah barang fisiknya pas... dan Senpai mendatangiku yang bertanggung jawab untuk tanya alasannya.”


“...”


“Ah, tamat sudah riwayatku, pikirku waktu itu...”


Memang benar, padahal aku cuma mau tanya, tapi Matsuo waktu itu terlihat sangat kusut dan ketakutan.


“Karena merasa tidak bisa mengelak lagi, aku jujur menceritakan semuanya. Bahwa aku salah pesan. Bahwa aku beli balon pakai uang sendiri. ...Aku ceritakan semuanya.”


“...Pernah ada kejadian kayak gitu, ya.”


“Waktu itu, Senpai memarahiku.”


...


“Senpai yang marah bilang ‘Dasar Bodoh’ itu menakutkan. Tapi aku pikir itu wajar. Aku yang salah karena tidak becus kerja sampai salah pesan.”


“...”


“Tapi, Senpai marah bukan karena aku salah pesan.”


...


“Senpai marah karena aku tidak melaporkan kesalahan itu. Karena aku beli balon pakai uang sendiri.”


Mungkin karena pengalaman waktu itu begitu menakutkan baginya... Matsuo meneteskan air mata.


“Sampai sekarang aku tidak bisa lupa.”


“...Soal apa?”


“Senpai bilang, ‘Salah pesan begitu bukan masalah, jadi bilang saja terus terang’. Senpai minta maaf bilang, ‘Maaf ya, malah bikin kamu keluar duit sendiri buat beli balon’. Senpai juga menghiburku dengan bilang, ‘Pasti capek ya harus pergi beli balon setelah selesai tugas panitia’. Dan... Senpai mengganti uang balon yang kubeli dengan uang tunai.”


“Memangnya aku melakukan itu?”


“Jangan bilang Senpai lupa. ...Waktu itu Senpai kasih uang ganti balon sambil bilang itu dari anggaran jadi jangan dipikirkan... tapi itu bohong, ‘kan?”


“...Nggak tahu.”


“Senpai sebenarnya mengeluarkan uang dari dompet sendiri, ‘kan?”


...Punggungku rasanya gatal.


“Senpai itu sebenarnya baik banget, ya.”


Sudahlah, lupakan saja cerita masa lalu itu...


“...Sejak saat itu, pandanganku ke Senpai berubah total. Aku kira menakutkan, ternyata orangnya baik. Aku kira perfeksionis, ternyata punya sisi yang rapuh juga. ...Walaupun sampai sekarang aku masih menganggap Senpai orang yang rewel.”


“Berisik.”


“Tanpa sadar, mataku selalu tertuju pada Senpai. Senang rasanya bisa mengenal berbagai sisi Senpai. Senang rasanya bisa melihat Senpai. ...Aku menyesal kenapa tidak mengenal Senpai lebih cepat.”


“...”


“Padahal awalnya sangat takut. Padahal awalnya tak mau bicara. Padahal awalnya tak mau dimarahi...!”


“...Matsuo?”


“Sekarang, aku jadi ingin terus melihat Senpai.”


Matsuo... perlahan berjalan menuju jendela.


Sebentar lagi festival budaya berakhir, dan persiapan pesta penutupan akan dimulai.


“Senpai, sekarang Senpai paham, ‘kan, kenapa aku ingin Senpai datang ke festival budaya?”


Mata Matsuo yang menoleh ke arahku... bergetar penuh kecemasan.


“Tahun lalu, Senpai sukses menyelenggarakan festival budaya. Jadi aku bertekad, aku juga pasti akan menyukseskan festival budaya tahun ini.”


Matsuo berkata dengan suara gemetar.


“Dan, di festival budaya yang aku buat ini, aku ingin mengutarakan perasaanku pada Senpai yang sangat kusukai.”


Matsuo menarik napas panjang.


“Senpai, aku menyukaimu.”


Di belakang Matsuo, matahari senja yang merah membara perlahan terbenam. Turun perlahan-lahan.


Awalnya aku tidak sadar bahwa dia sedang menyatakan cinta. Tapi setelah mencerna kata-katanya, ah, aku ditembak rupanya.


Yang pertama terlintas adalah kecurigaan bahwa ini cuma lelucon.


...Tapi kecurigaan itu langsung lenyap.


Matsuo tidak mungkin seniat itu memanggilku ke festival budaya hanya untuk melakukan lelucon rumit seperti ini.


Tapi, kalau begitu...


...Aku sangat ingin bertanya, apanya yang dia suka dari orang sepertiku? Tapi rasanya tidak sopan menanyakan itu, jadi aku diam saja.


Jujur, menurutku itu tidak buruk.


Setelah menjalani hidup yang kerap dibenci orang lain karena berbagai alasan, mengetahui bahwa ada seseorang yang kupercaya menaruh hati padaku tentu membuatku senang.


Perasaan itu murni. Aku tak berniat menutupinya.


“Maaf, ya.”


Namun, aku tidak berniat membalas perasaannya.


Keheningan menyelimuti ruang kelas untuk beberapa saat.


Keheningan di ruang kelas luas yang hanya berisi dua orang. Waktu yang berlalu terasa seperti keabadian.


“...Ternyata nggak terlalu bikin shock, ya.”


Matsuo menunduk.


“Soalnya aku sudah tahu bakal ditolak.”


Matsuo tidak mengangkat wajahnya.


“Boleh aku tanya alasannya?”


Kalau aku beritahu alasannya, apakah dia akan marah? Atau dia akan tercengang?


...Aku sedikit takut mengetahui apa yang menantiku setelah ini.


Tapi, aku segera membuang rasa takut itu. Menolak orang yang menyukaimu tanpa keberanian adalah tindakan pengecut.


“Kamu kan tahun ini ujian?”


Itulah alasannya aku menolaknya sekarang.


“Bukan waktunya untuk main cinta-cintaan, ‘kan. Fokus belajar dulu supaya lulus di kampus pilihan.”


Kalau ditanya apakah setelah ujian selesai dia boleh menyatakan cinta lagi, itu beda persoalan... tapi intinya, sekarang ada hal yang lebih penting daripada pacaran, itu yang ingin kukatakan.


Mendengar ucapanku, Matsuo...


“...Ahaha.”


Dia tertawa garing.


“Senpai. ...Jujur banget, ya? Sebenarnya, apa pun alasan Senpai menolakku, aku sama sekali nggak berniat untuk menyerah, loh.”


“Apa-apaan itu...”


Ketika aku terpaku setelah mendengar monolog mendadak dari Matsuo, dia mendekatiku.


“Habisnya, mana mungkin aku bisa menyerah semudah itu...”


Lalu, dia memelukku.


“...Soalnya aku sesuka ini sama Senpai.”


“...Maaf, ya.”


“Senpai?”


“Apa.”


“Minta maaf itu curang.”


“...”


“Daripada minta maaf... jangan menolak sambil ngasih harapan, dong.”


“Mau dikasih harapan atau tidak, ujung-ujungnya kamu nggak bakal nyerah juga, ‘kan?”


Matsuo melingkarkan tangannya di punggungku.


“Memang, sih...”


Dia menggesek-gesekkan wajahnya ke dadaku.


“Tapi... untuk hari ini, setidaknya aku senang mengetahui Senpai sempat ragu.”


...Ragu, ya.


Memang benar.


Ucapan Matsuo memang kacau, tapi jawabanku atas pernyataannya juga, harus kuakui, sama kacaunya.


Itu... mungkin karena aku ragu, seperti yang dia bilang.


“...Bisa lepasin nggak?”


“Nggak mau.”


“...Jangan begitu, dong.”


“Sendirinya saja tahun lalu sibuk main cinta-cintaan di waktu seperti ini... Ini hukuman buat Senpai yang tidak membolehkanku melakukan hal sama.”


“Hah!”


Wajahku langsung terasa panas.


Ini anak... tahu soal itu darimana?


“...Senpai.”


“...Apa lagi.”


“Jangan sampai menyesal, ya?”


“Tenang saja. Seumur hidupku, aku belum pernah menyesal sekali pun.”


“...Mulai sekarang belum tentu begitu, loh?”


...Apa maksud sebenarnya dari ucapannya itu, aku sama sekali tidak paham. Tapi, fakta bahwa aku merasa bersalah karena menolak gadis yang masih sempat-sempatnya mengkhawatirkanku sambil melontarkan kata-kata pedas ini, adalah kenyataan yang tak bisa kusangkal.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close