Chapter 161 — Si Tukang Selingkuh yang Menantang Orang yang Tak Seharusnya Dilawan
— Gurun Sahara —
“Kenapa aku bisa sampai seperti ini…”
Aku tergeletak lemas setelah bekerja keras di tengah
gurun dan akhirnya tumbang.
Para pekerja lokal di sekitarku tertawa cekikikan
sambil bercanda dengan rekan-rekan mereka. Apa sih stamina mereka? Kalau aku
harus melakukan ini setiap hari, rasanya aku bakal mati.
Kenapa hidupku jadi begini? Kenapa bisa seperti ini?
Saat aku meringkuk di ranjang susun bagian bawah sambil diselimuti dan
menggigil, seorang pria lokal mengguncang tubuhku cukup keras untuk
membangunkanku.
Dia berteriak dalam bahasa lokal. Satu-satunya kata yang kupahami hanya “cola.” Kukira dia berniat
memberikannya padaku, tapi ternyata dia malah menunjuk ke arah vending machine.
Tidak mungkin…
Pria itu jelas terlihat berkata, “Hei, anak baru.
Belikan aku cola.”
Aku jadi pesuruh???
Padahal aku seharusnya pewaris grup Hongo!
“Apa kau tahu siapa aku, hah!!”
Aku berteriak dari dasar hati. Tapi setelah melihatku marah, tatapan pria itu berubah dingin.
Seperti tentara profesional atau pembunuh.
Ia mengeklik lidahnya, lalu rasa sakit luar biasa
menusuk perutku. Tanpa ragu sedikit pun, dia menghantam ulu hatiku dengan
pukulan telak.
Aku roboh karena mual dan rasa sakit yang menyiksa.
Kalau begini terus, aku bisa mati. Dan lukaku yang kudapat dari insiden di
kapal kemarin pasti makin parah. Aku meringkuk, berusaha melindungi kepala dan
wajah dengan tangan. Hantaman dan tendangan menghujani tubuhku. Air mata keluar
karena rasa sakit yang tak tertahankan.
Aku akan dibunuh. Tidak… aku
tidak mau mati lagi. Kali ini aku…
Tanpa sadar, aku bergumam:
“Maaf… sorry, sorry! Tolong maafkan
aku… Aku akan lakukan apa saja… jadi tolong…”
Aku merasa sangat hina. Di kamar, terdengar suara
tawa mengolok-olokku.
Kenapa hidupku bisa remuk begini…
Lalu terdengar hitungan mundur. Dari angka sepuluh
turun perlahan.
Terdengar juga suara menyuruhku cepat. Dengan tubuh sakit, aku berlari. Aku harus membeli cola secepatnya.
Kalau tidak, aku tidak tahu apa lagi yang akan dilakukan padaku.
Jika begini, lebih baik aku tetap sendirian di
pulau tak berpenghuni dulu itu. Kenapa sejak menjalani kehidupan yang sekarang, aku
terus membuat kesalahan? Cepat… cepat… cepat…
Di kehidupan sebelumnya aku orang yang hebat. Aku
cukup berkuasa hingga bisa menghancurkan orang seperti Yaguchi Michitaka secara
sosial. Tapi sekarang, aku berada di pihak yang diinjak.
Andai saja waktu itu Miyabi tidak mengalami
kecelakaan…
Tidak. Semua salah perempuan itu. Kalau bukan karena
dia, aku tidak akan terikat takdir dengan Yaguchi Michitaka.
Aku buru-buru membeli cola lalu berlari kembali.
Karena terlalu tergesa-gesa, sodanya meledak, dan aku kembali membuat marah si
pemilik kamar. Ia memukul kepalaku dengan kepalan tangan, membuat penglihatanku
berkunang-kunang. Aku berteriak, “Tolong aku,” tapi seperti biasa,
tak ada yang menolong.
Chapter 162 — Sebuah Legenda yang Mulai Menyebar
— Sudut Pandang Mizuki (Sekretaris Manajer
Sugawara) —
Aku datang ke pesta industri bersama manajer
divisi. Beliau langsung naik ke atas panggung untuk memberikan pidato. Tanpa
naskah pun, ia mampu merangkai kata-kata indah dengan lancar. Seperti yang
diharapkan dari atasan yang ku kagumi—seorang kreator terbaik di industri—ia
menyedot perhatian banyak orang.
“Seperti yang diharapkan dari Sugawara-san.”
“Ya, kali ini juga pidatonya mulus sekali.”
“Wajar saja, beliau sudah bertahun-tahun mendominasi
industri.”
Hampir semua orang di venue ini memperlakukan
Sugawara-san seperti dewa. Banyak kreator sudah mencoba menantangnya, namun
semuanya tersingkir. Prestasi itu menciptakan aura ilahi yang begitu kuat.
“Memang panjang juga ya, era Sugawara. Kenapa tidak
ada yang bisa mengalahkannya?”
“Kalau begitu, coba kita tebak siapa yang akan jadi
puncak berikutnya.”
“Aku rasa tetap Shiga-san, murid utama Sugawara-san.
Berapa banyak penghargaan yang mereka menangkan sebagai pasangan?”
“Kalau begitu, bukankah Terada-san sang pembawa
bendera game berbiaya rendah juga hebat? Ia bisa membalikkan keadaan hanya
dengan ide. Di era musim dingin industri game yang akan datang, orang seperti
itu yang akan berkuasa.”
“Menurutku, era berikutnya tetap milik perempuan. Bagaimana dengan Tenjouin-san? Setiap
game yang ia buat begitu indah.”
Nama-nama besar terus bermunculan, semuanya kandidat yang masuk akal.
Mereka semua pembuat game yang juga aku sukai.
“Benar juga. Mizuki-san, bagaimana menurutmu?”
Seseorang yang agak mabuk menanyakan pendapatku. Dia berharap aku bisa
memberikan jawaban menarik karena aku adalah orang yang paling dekat dengan
Sugawara-san. Kalau begitu… kurasa boleh saja aku meledakkan cerita andalanku.
“Sebenarnya, belum lama ini aku membicarakan hal yang sama dengan
Presiden Hongo.”
Begitu kukatakan, orang-orang langsung berseru,
“Eeeh!?” Mereka mengepungku, minta aku segera melanjutkan.
“Saat itu, presiden bertanya padaku: ‘Kau tahu siapa
yang mungkin mampu melampaui Sugawara-kun?’”
Semua orang mengangguk, menunggu kelanjutan cerita.
“Aku menjawab jujur: aku tidak tahu.”
Memang tidak ada orang yang kupikir bisa melampaui
Manajer Sugawara. Prestasinya dan penghargaan yang ia raih benar-benar luar
biasa.
“Lalu beliau berkata, ‘Benar. Pendapatmu akan tetap
berlaku selama tiga hingga lima tahun lagi. Dia akan terus memimpin industri.’”
Suara orang-orang menelan ludah terdengar jelas.
Tentu mereka penasaran—kalau begitu, apa yang terjadi setelah itu?
“Presiden melanjutkan, ‘Sepuluh tahun lagi adalah
era milik Yaguchi Michitaka.’ Saat itu aku bahkan tidak mengenal nama itu, jadi
aku bertanya siapa dia. Presiden lalu menunjukkan kredit sebuah game doujin yang belum lama ini
jadi pembicaraan di internet…”
Begitu kusebutkan judul game itu, semua orang berteriak, “Yang itu!?”
“Jadi anak-anak muda itu sampai mendapat pengakuan dari Presiden Hongo…”
Seseorang bergumam, dan aku menanggapinya.
“Bukan hanya presiden. Manajer Sugawara juga… Sebenarnya, belum lama ini,
anak-anak circle itu diundang ke perusahaan. Presiden dan manajer divisi
menyambut mereka bersama-sama.”
Hal seperti ini pasti mengguncang industri. Dan memang, suara gemuruh
yang mirip jeritan memenuhi ruangan. Karena pertemuan itu pada dasarnya
berarti: dua orang teratas di Hongo Group telah secara tidak langsung menunjuk
para kreator muda berbakat itu—anak SMA—sebagai calon penerus. Bahkan terlihat jelas bahwa manajer divisi menaruh harapan pada mereka.
Mungkin memang begini caranya legenda tercipta.
Akulah yang telah menyebarkan cerita yang kelak akan dikenal sebagai “Pertemuan
Sugawara–Yaguchi”.
Chapter 163 — Komunitas yang Mulai Ramai
Dalam kehidupan pertamaku, aku hidup dengan penyesalan yang terus
membebaniku.
Aku gagal menyadari kondisi kesehatan ibu. Penyakit
itu mungkin bisa dicegah jika saja aku menyuruhnya ke dokter lebih cepat—dan
itulah yang semakin memperdalam penyesalanku. Lalu, sebelum lukanya sempat
sembuh, aku bahkan kehilangan Rika.
Di kehidupan sebelumnya, kalau bukan karena Katsuya,
Misato, dan Airi, aku mungkin sudah hancur. Namun, pada akhirnya, aku tetap
kehilangan mereka juga.
Aku hidup dalam rasa rendah diri. Miyabi—pacar
pertamaku—mengkhianatiku, dan aku bahkan tak mampu melindungi orang-orang yang
ingin kubela meski harus mengorbankan nyawaku.
Tak peduli seberapa keras aku berjuang, pada
akhirnya, kebahagiaan yang berhasil kukumpulkan selalu menghilang dari
genggamanku.
Bahkan setelah mendirikan perusahaan, aku tidak
pernah menjadi yang terbaik. Keberhasilan yang kudapatkan pun berkat Katsuya
dan para karyawan yang berbakat. Tugas utamaku hanya menentukan arah;
selebihnya berjalan dengan sendirinya. Dan bahkan perusahaan penting itu pun
sempat hampir hilang dariku.
Di kehidupan sebelumnya, aku selalu menjadi orang
yang dilindungi oleh semua orang. Karena itu, kali ini, akulah yang akan
melindungi mereka. Langkah pertama menuju tujuan itu adalah apa yang sedang
kulakukan sekarang.
Kami mengunggah perkembangan pembuatan game dan
video behind-the-scenes ke media sosial. Berkat itu, kami bisa mempertahankan
minat para penggemar yang jumlahnya semakin bertambah.
“Sebentar lagi Comiket ya!”
“Tidak sabar menunggu versi lengkapnya.”
“Aku sudah tamatkan demo-nya lima kali!!”
Banyak komentar seperti itu masuk. Komentar yang
membuat kami senang itu kami kumpulkan dan baca bersama-sama.
“Eh, apa ini!?”
Itu adalah sebuah artikel berita internet—dari
situs yang merangkum informasi game indie.
Artikel itu menyatukan berbagai informasi
tentang kami.
“Industri memberikan perhatian luar biasa pada
game doujin buatan anak SMA!?”
Melihat judulnya saja sudah membuatku agak
panik.
Isinya menjelaskan bagaimana game kami beberapa
kali viral di internet, serta fakta bahwa demo game yang dirilis saat festival
budaya telah diunduh dalam jumlah besar.
Dan di dalamnya tertulis juga rumor bahwa “sebuah
perusahaan game besar telah menaruh perhatian pada mereka dan sudah melakukan
kontak.”
Aku tak bisa menahan senyum kecut. Informasinya cepat sekali bocor.
Di akhir artikel tertulis:
“Bakat mereka berpotensi mencapai puncak
industri. Dan dalam sepuluh tahun… saya memprediksi merekalah yang akan
menguasai pasar.”
Masalah penerus Sugawara.
Di kehidupan sebelumnya, selama bertahun-tahun
tidak ada yang mampu melampaui Sugawara.
Media industri selalu membahas siapa yang akan
menjadi penerusnya—dan bahkan hingga aku meninggal, penerus itu tak pernah
muncul.
Terus terang, perasaanku bercampur antara dua
hal yang berlawanan.
Pertama, perasaan ingin tertawa geli karena
orang-orang terlalu melebih-lebihkan kami.
Dan yang satunya lagi…
Harapan kecil—ambisi halus—bahwa mungkin,
jika bersama semua orang, kami memang bisa mewujudkannya.
Terlepas dari semuanya, yang paling penting sekarang
adalah menghasilkan hasil nyata.
Aku menyimpulkan demikian—lalu melihat ponselku, dan
ternyata ada pesan dari Ketua klub.
“Villa-nya sudah siap. Minggu depan atau dua minggu
lagi, ayo kita adakan training camp bersama.”
Chapter 164 – Area Baju
Renang Masa Remaja
Hari untuk training camp sudah ditentukan, dan kami mulai mempersiapkan
semuanya. Hari ini kami pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang
yang diperlukan. Meski begitu, pekerjaan kami sebenarnya berjalan sangat
lancar, jadi sepertinya di sana kami tidak akan benar-benar hidup terkurung
untuk bekerja. Kami akan mengerjakan sedikit demi sedikit, lalu
sisanya digunakan untuk bermain sebagai penyegaran.
Namun, vila dengan halaman yang bisa dipakai untuk
barbeque dan memiliki pantai pribadi—ini benar-benar seperti dunia anime atau
manga.
Karena ini perjalanan 2 malam 3 hari, kami tidak
mungkin barbeque setiap hari. Karena situasinya mirip camping, menu standar
seperti kari atau variasi mi instan mungkin jadi pilihan.
Orang tua ketua klub yang akan mengantar kami, dan
kami diperbolehkan bebas menggunakan bangunan terpisah dari vila utama. Vila
saja sudah luar biasa, ini ditambah ada bangunan terpisah; aku bahkan tak mau
repot lagi untuk mengomentarinya. Kaya banget, toh?
Karena kami akan merepotkan mereka, kami memutuskan
untuk mengurus sendiri masakan selama menginap.
Jadi, hari ini aku dan Rika pergi berbelanja.
Bahan makanan segar bisa dibeli di sana, jadi sekarang yang kami cari adalah
snack dan baju renang.
“Terima kasih sudah ikut memilih baju renang
bersamaku,” kata Rika sambil wajahnya memerah karena malu.
Jujur saja, aku juga malu. Tapi memilih baju renang
bersama pacar saat SMA—rasanya seperti hal wajib, atau impian kecil. Sesekali
aku ingin merasakan hal-hal penuh nuansa remaja seperti ini.
“Nggak apa-apa. Aku juga butuh beli kok.”
Yah, baju renang cowok kan pilihannya sedikit, jadi
asal pilih saja juga bisa.
“Di sana, Senpai yang akan masak ya. Aku juga akan
bantu nanti.”
Sepertinya dia menantikan masakan buatanku.
“Oh ya, sepertinya di halaman ada perlengkapan
barbeque juga, termasuk kompor, jadi aku berpikir kita bisa memanfaatkannya.
Makan kari, mi, atau yakisoba di luar itu enak soalnya. Aku juga ingin sedikit
modifikasi, supaya bisa kita makan ramai-ramai.”
“Wah, kedengarannya bagus sekali! Kari buatan Senpai
enak, jadi aku menantikannya!”
“Kari sayur musim panas yang digoreng ringan juga
enak ya.”
Begitu kukatakan, dia tertawa. Aku juga ingin
mencoba mi tonkotsu rasa carbonara, dan untuk yakisoba, pasti makin enak kalau
dimasak pakai teppan. Yakisoba dengan jeroan juga enak. Ah, darahku sebagai
pria paruh baya pecinta barbeque terasa bergejolak. Airin juga dulu bilang dia
suka camping bersamaku. Jadi nostalgia rasanya.
Kalau bisa, aku ingin camping lagi bersama Airin. Di
dunia ini mungkin kemungkinannya tidak besar, tapi siapa tahu terjadi
keajaiban.
“Tapi karena kita akan banyak bermain, soal
pembuatan game kita harus tetap semangat ya. Ah…”
Sambil mengobrol, akhirnya kami sampai juga.
Di area penjualan baju renang…
Chapter 165 –
Memperlihatkan Baju Renang
—Sudut Pandang Rika—
Uu… Hanya karena ini semacam tradisi… aku sampai
menyeretnya untuk ikut memilih baju renang.
Sejujurnya, aku sangat malu. Bagaimana ini… apa
kelihatannya aneh nanti? Aku meminta pegawai toko untuk memilihkan beberapa
yang direkomendasikan, lalu mencoba juga yang mungkin sesuai seleranya… dan
tentu saja aku juga memilih yang kusukai.
“Aku gugup…”
Kami pernah pergi ke kolam renang bersama
berkali-kali. Waktu SD, sih. Tapi aku tidak bisa memakai baju renang sekolah
seperti waktu itu… Jadi hari ini aku harus berusaha!
Pertama, aku mencoba baju renang model one-piece
bermotif dedaunan. Ini paling minim dari segi keterbukaan kulit, jadi
rasa malunya pun masih tertahan.
Warna utamanya putih, terlihat tenang.
“Bagaimana…?”
Aku cepat-cepat berganti pakaian dan berdiri di
depannya. Ia terlihat sedikit canggung karena tempat itu
dipenuhi perempuan, tapi saat melihatku, ia tersenyum.
“Hmm, sangat cocok. Meski baju renang, kesannya
tetap anggun. Tenang, dan pas banget untukmu, Rika.”
“T-Terima kasih…”
Aku buru-buru menutup tirai ruang ganti. Ah… ini
bahaya. Aku tidak menyangka akan dipuji seakurat itu… padahal aku ingin
membuatnya berdebar seperti dulu… tapi di percobaan pertama saja aku sudah kena
serangan telak… itu pun dengan baju renang paling sopan…
Membayangkan kalau setelah ini bakal semakin
banyak bagian tubuh yang terekspos, rasanya aku gemetar.
Selanjutnya yang ini. Kali ini baju renang hitam
model terpisah. Bagian perut sedikit terlihat, tapi hanya itu—masih aman…
“Bagaimana yang ini?”
Tetap saja, memperlihatkan sedikit kulit membuatku
gugup. Sejak tahu akan ada training camp di musim panas, aku sudah diet selama
sebulan. Tapi… apa sudah cukup, ya?
Apa dia akan berpikir aku gemuk?
“Hmm. Karena bajunya hitam, kulit putihmu jadi lebih
menonjol. Perutmu yang ramping juga terlihat jelas… lumayan menggoda, sih.”
Ya. Perkataan terbaik yang pernah kudengar.
Uu… karena aku mengkhawatirkannya dan sudah
mati-matian diet, dipuji seperti itu rasanya sangat menyenangkan.
Aah, tidak. Padahal sebelumnya aku takut, tapi kini
malah muncul keinginan aneh ingin dipuji lebih lagi. Kalau begini terus, aku
bakal benar-benar hilang kendali. Tapi senyum bodoh ini tidak bisa kuhentikan.
Astaga… aku ini memang sederhana sekali…
Selanjutnya… kupikir ingin mencoba yang sedikit
lebih dewasa, rekomendasi dari pegawai toko. Meski aku tahu jelas bahwa itu
bakal menjadi serangan mematikan juga buatku…
Chapter 166 – Insiden Baju
Renang
—Sudut Pandang Michitaka—
Seperti yang diduga, ini benar-benar wilayah musuh. Saat para perempuan
memilih-milih baju renang lucu, hanya ada satu laki-laki berdiri di depan ruang
ganti. Bisa-bisa aku disangka orang mencurigakan.
Rasanya sangat tidak nyaman. Lagipula, baju renangku sendiri hanya butuh
lima menit untuk kupilih, jadi aku tidak punya hal lain untuk dilakukan. Baju
renang laki-laki tidak banyak variasinya, jadi kupilih saja yang kira-kira
cocok. Mungkin akan beda ceritanya kalau aku lebih paham soal tren…
“Pacar kamu cantik sekali, ya. Seperti boneka. Dia bukan selebritas,
kan?”
Mungkin melihatku yang tampak tidak nyaman, pegawai toko mencoba
mengobrol denganku.
“Terima kasih. Dia orang biasa, kok.”
Sambil tersenyum kecut, aku tetap terpikir bahwa
Rika memang sangat cantik. Kalau sampai ada yang mencoba menggoda dia di
pantai, bagaimana? …Ah, tapi tidak mungkin. Soalnya itu pantai pribadi. Kalau
ada orang tak dikenal menyelinap, keluarga ketua divisi bisa saja mengusir
mereka.
“Oh begitu. Yang model terpisah tadi sedang
populer, lho. Dan sangat cocok dengan dia.”
“Begitu ya.”
Memang, baju renang tadi benar-benar punya daya
rusak besar. Kalau aku belum mendapat pengalaman “uji coba baju” saat kencan
tempo hari, mungkin aku sudah tumbang seketika.
“Saya juga punya rekomendasi yang sangat imut.
Jadi, bersiaplah ya.”
“Eh!?”
Masih ada yang daya rusaknya lebih besar!?
Itu tidak baik untuk jantungku.
Aku harus mempersiapkan diri.
Saat aku berpikir begitu, suara kecil Rika
terdengar dari dalam ruang ganti.
“Eh—ini sih terlalu… luas area yang buka… Aku cuma pernah lihat yang
beginian di film barat…”
Ya. Ini sudah berbahaya.
Kalau Rika sendiri sampai segugup itu, bagaimana denganku…?
“Kayaknya… ini keterlaluan… bahkan untuk pacar sendiri…”
Yah, aku tentu ingin melihat. Tapi kalau Rika sendiri merasa
tidak nyaman, tidak usah dipaksakan. Aku berteriak dalam hati, dan beberapa
saat kemudian kudengar ia berkata hendak mengganti pakaian.
Aman… Syukurlah.
Benar-benar syukurlah.
Namun tepat saat aku merasa lega… tiba-tiba
terdengar suara keras dari dalam ruang ganti.
Seperti benda logam jatuh dan tumpukan sesuatu
berantakan.
Sejenak, firasat buruk menyelimuti. Tanpa pikir
panjang aku menarik tirai ruang ganti.
“Rika, kamu gak apa-apa!?” teriakku.
“Ah—tunggu!”
Rika menyadari aku mendekat dan berusaha
menghentikan, tapi sudah terlambat.
“Kya—!”
“Uwah—!”
Sepertinya ia kehilangan keseimbangan dan
menjatuhkan gantungan baju untuk baju renang hingga berserakan di lantai. Rika
panik memunguti semuanya.
Namun—pemandangan itu terlalu menggoda.
Seorang gadis cantik memakai bikini hitam berdesain
dewasa dengan kain yang sangat minim… sedang membungkuk mengambil gantungan
baju, sehingga bagian tubuh tertentu malah semakin terekspos.
Dalam beberapa detik sebelum aku menutup kembali
tirainya, pemandangan itu terpatri kuat di benakku.
Chapter 167 – Kencan
Canggung tapi Membahagiakan
—Sudut Pandang Rika—
Pada akhirnya, aku memilih baju renang model one-piece. Setelah berdiskusi dengan dia, kami sepakat memilih yang itu. Soalnya…
bikini hitam itu terlalu menggoda bagi kami berdua…
Sejak kejadian tadi, suasananya agak canggung.
Tapi aku merasa senang juga. Karena begitu mendengar teriakanku, dia langsung
bergegas menolongku. Meskipun sebenarnya aku berharap dia memikirkan
situasi dan tempat… Kalau dipikir-pikir, bisa saja dia sampai melihatku tanpa
apa pun…
Dan di situ aku tersadar.
Ah… aku dan dia sekarang sudah sampai di
hubungan seperti itu ya…
Saat menyadarinya, wajahku langsung memanas. Apa
yang harus kulakukan…? Aku belum siap…
Aku makin gelisah sendiri, tapi saat kembali
berpikir jernih, aku merasa mungkin masih terlalu dini untuk memikirkan sejauh
itu. Ya Tuhan, emosiku hari ini benar-benar tidak stabil…
“Maaf soal tadi. Aku panik waktu
dengar kamu teriak,” katanya, berkali-kali meminta maaf.
Mendengarnya begitu, aku malah merasa akulah yang
bersalah karena membuat suara berisik sampai menjatuhkan barang.
“Tidak apa-apa. Aku malah senang… soalnya aku tahu
kamu mengkhawatirkanku.”
“Terima kasih.”
Cara dia mengatakan itu membuatku tertawa kecil.
“Senpai, cara ngomongnya terlalu punya makna ganda,
tahu?”
“Ah…”
Kali ini justru dia yang wajahnya merah padam.
Sesekali menggoda seperti ini ternyata menyenangkan juga. Reaksi malu-malu dia
sangat lucu, meski kalau kukatakan langsung, dia pasti makin salah tingkah—jadi
biar kupendam saja.
“Kita makan siang di mana?”
Dia dengan mulus mengganti topik. Entah kenapa aku
merasa dia pandai melakukan itu. Kalau ini diriku yang dulu, mungkin aku tak
akan sadar.
“Aku sebenarnya penasaran sama satu tempat… Aku mau
makan taco.”
Sebelumnya aku sudah meneliti beberapa tempat makan
di daerah ini. Kudengar ada toko pusat dari food truck taco terkenal yang
sering muncul di event.
“Jarang juga kamu pilih taco. Tapi oke, ayo.”
Senpai cukup suka makanan pedas. Jadi kupikir dia
akan suka kalau kusarankan.
Selama ini dia sering memilih tempat makan sesuai
keinginanku. Sesekali aku ingin membalasnya.
Saat kami tiba di tokonya—yang mirip kafe
estetik—karena masih sedikit awal, kami langsung dapat tempat duduk. Meski
terlihat trendi, harganya masih terjangkau untuk anak SMA.
Isiannya bisa pilih: beef, pork, atau chicken. Level
pedasnya juga bisa pilih: manis, sedang, atau sangat pedas. Kalau pesan set,
dapat minuman.
“Kalau begitu aku chicken level manis. Set dengan melon soda.”
Dari ulasan yang kubaca, level manis cocok untuk yang tidak tahan pedas,
sedangkan level sangat pedas itu… benar-benar pedas.
“Aku beef level sangat pedas… minumnya cola.”
Seperti yang kuduga, dia tetap memilih tingkat
paling pedas. Aku kagum…
Dari meja sebelah, seorang lelaki paruh baya
sedang batuk-batuk. Tampaknya dia juga pesan level sangat pedas, dan sekarang
hampir menangis.
“Ini bukan pedas lagi… ini sakit,” ujar si paman
itu, terdengar berusaha menutupi rasa malunya.
Sepertinya dia mendengar pesanan Senpai.
“Saya menantikannya,” kata Senpai.
“Haa, muda sekali, ya kalian. Nikmati kencannya, ya.
Paman akan bertarung dengan pedas ini…”
Paman itu bercanda sambil tersenyum, dan kami pun
ikut tertawa.
Chapter 168 – Taco yang Panas
Lalu, makanan kami pun dihidangkan.
“Terima kasih sudah menunggu~”
Pegawainya terlihat ceria. Ya, seperti
yang diharapkan dari restoran taco.
“Ini acar sebagai pelengkap. Yang di tengah
adalah guacamole dari alpukat, bawang merah, dan lemon. Kalau terlalu pedas,
coba tambah ini supaya rasanya lebih lembut. Dan ini salsa tomat segar.”
Isian dagingnya penuh, tapi sayurnya bahkan
lebih banyak. Untuk makan siang, ini termasuk sehat. Bahkan ada
acar untuk menetralkan rasa kalau terlalu pedas.
Sepertinya ini tempat yang dipilih Rika setelah
menganalisis seleraku. Itu saja sudah membuatku sangat senang.
Dari tacoku tercium aroma rempah yang sangat kuat. Wah… ini sepertinya pedas tingkat tinggi.
Syukurlah Rika tidak memaksakan diri mencoba
yang pedas. Mungkin rasanya terlalu kuat sampai dia tak bakal bisa
menghabiskannya. Salsa manis saja sudah punya rasa sayur yang enak—itu pun
sudah sangat cukup.
“Selamat makan.”
Saat aku menggigit tacoku, pertama-tama rasa sayur
dan daging muncul kuat. Tapi setelah itu, pedasnya makin lama makin terasa. Ini
benar-benar pedas. Keringatku langsung mengalir.
“Enak. Kukira bakal lebih pedas, tapi ini lebih
terasa tomatnya daripada rempahnya. Aku masih bisa makan ini.”
Rika makan taco manisnya dengan lahap. Dia membawa
melon soda untuk mengantisipasi, tapi sepertinya tidak banyak dibutuhkan.
“Yang punyaku ini luar biasa, sih.”
Pernah ada bapak-bapak di sebelah kami yang tampak
hampir menangis saat melawan pedasnya—dan dia memang benar. Untung aku pesan
cola.
“Senpai…”
Nada suaranya membuatku punya firasat buruk. Ini
suara Rika saat sudah menetapkan tekad.
“Mungkin…”
Aku bahkan belum sempat bertanya, rasa khawatir
sudah terucap lebih dulu.
“Bolehkah aku mencoba sedikit punyamu?”
Benar saja—diapit penggemar makanan pedas, dia
seperti berubah haluan, ingin mencoba rasa pedas itu.
“Boleh, tapi kamu yakin?”
“Aku nggak sekecil itu, kok.”
Itu adalah tanda bahaya yang 100% jelas. Tapi tetap
saja, aku mendekatkan taco itu padanya dengan hati-hati. Ia menggigit
sedikit—pelan-pelan.
“Kupikir masih… h—”
Awalnya Rika terlihat baik-baik saja, tapi wajahnya
perlahan memerah.
“Mm—mm—!!”
Seperti kubilang, pedasnya datang belakangan. Suara jeritan tanpa suara terdengar jelas. Sudah kuduga. Aku cepat-cepat
memberinya melon soda. Untung dengan itu dia bisa bertahan.
“Bibirku sakit…”
Ia berkata begitu sambil hampir menangis, lalu
menghela napas panjang.
“Kenapa kamu memaksakan diri?”
“Soalnya… aku penasaran apa yang Senpai makan.”
Aku hanya bisa tersenyum kecut sambil lanjut makan
taco. Saat itu, Rika mendadak berkata, “Ah,” pelan. Saat aku menoleh dengan
heran, ia berucap dengan nada berbeda dari tadi—lebih malu-malu.
“Kalau dipikir lagi… kita baru saja ciuman tidak
langsung, ya…”
Saat ia mengatakan itu, panas yang menyerang kami
bukan lagi karena cabai.
Chapter 169 – Perjalanan
Laut semakin dekat.
Asisten rumah tangga keluarga ketua klub meminjamkan
sebuah bus kecil untuk mengantar kami sampai ke vila. Sungguh pelayanan yang
luar biasa sampai aku sempat merasa sungkan, tapi ibu ketua klub berkata,
“Jangan terlalu kaku. Ini kesempatan langka bagi putriku untuk merasakan masa
remajanya. Kalau dia melewatkannya, masa mudanya mungkin akan jadi kelabu, jadi
jangan sungkan,” sehingga akhirnya kami menerima kebaikan mereka.
“Wah, terima kasih sudah datang semuanya. Tak
kusangka aku bisa melewatkan liburan seramai ini.”
Ayahnya—petinggi dari perusahaan farmasi
raksasa—menyambut kami dengan hangat dalam suasana yang tenang dan berwibawa.
“Betul sekali. Kami sampai terkejut karena ini
pertama kalinya anak ini bilang ingin pergi liburan bersama teman. Senior klub
komputer tahun lalu memang orang-orang baik, tapi dia tidak bisa sedekat ini
dengan mereka. Sebagai ibu, aku benar-benar senang.”
Aku sudah pernah bertemu ibunya beberapa kali, dan
seperti biasa, ia tersenyum ramah. Tapi… aku penasaran biaya sewa bus kecil ini
pasti mahal, bukan? Ternyata bus itu memang milik keluarga mereka, digunakan
untuk keperluan mobilitas para pekerja. Keluarga ini benar-benar level sultan…
“Saya sudah menyetir selama dua jam, jadi kita akan
istirahat di rest area berikutnya.” Kata sang sopir.
Aku menantikan rest area. Karena kami berkumpul
sejak pagi buta, aku belum sarapan dan sekarang lapar. Kalau food court sudah
buka, aku ingin makan ramen atau soba.
“Rasanya seperti piknik, menyenangkan sekali!”
Rika yang otomatis duduk di sebelahku tampak
bersemangat.
“Ya, betul juga. Hanya dengan melihat
pemandangan yang belum kita kenal saja sudah terasa menyenangkan… Mau makan di rest area nanti?”
“Bagus, ayo!”
Memang benar, food court rest area sangat menggoda. Itu salah satu
kesenangan dari perjalanan darat.
“Oh, kedengarannya menarik. Aku ikut.”
Ayah ketua klub bergabung dengan ceria. Rika sempat
terkejut dan berkata, “Eh, food court lho?” tapi beliau hanya tertawa.
“Ramen di food court itu enak, tahu? Kalau aku naik
tol untuk urusan kerja, selalu makan ramen atau soba di sana. Paman ini cukup
paham soal kuliner rest area. Di rest area berikutnya, ada miso butter moyashi
ramen yang luar biasa.”
Sulit percaya orang sehangat ini adalah ayah dari ketua klub yang pemalu.
Tidak terlihat seperti orang yang merasa dirinya penting, justru terasa
sangat dekat. Ia seperti contoh orang dewasa yang sederhana dan bersahabat.
Mungkin karena sifatnya itulah ia mampu memimpin
perusahaan besar—semacam karisma alami.
“Oh ya, kamu… bukankah hasil pemeriksaan
trigliserida kamu kemarin buruk?”
Semua orang langsung menahan napas kecil, “Ah…”
“Itu… maksudku…”
“Masak presiden perusahaan farmasi dalam kondisi
tidak sehat? Itu bisa mempengaruhi harga saham. Jadi hari ini cukup makan udon
atau soba polos saja. Kan nanti kita barbeque di vila, jadi tahan dulu
godaannya.”
“Jangan begitu… setidaknya tempura lah… atau bakwan
sayur…”
“Tidak boleh.”
Mendengar percakapan itu, aku tak kuasa menahan
senyum.
Liburan menyenangkan kami pun dimulai.
Chapter 170 – Ramen di Rest
Area
Kami tiba di rest area. Karena sopir hendak beristirahat, kami mendapat
waktu jeda sekitar satu jam.
Aku tidak tahu kenapa rest area saat perjalanan
terasa begitu menyenangkan. Bagiku, rasa excited-nya sebanding dengan kios
bento di stasiun sebelum naik shinkansen. Perasaan antusias akan keseruan yang
menanti, makanan yang terlihat lezat… semua hal yang terasa “di luar rutinitas”
terkumpul di sini.
“Rika mau makan apa?”
“Bingung juga. Ramen memang
enak, tapi porsinya banyak sekali… Aku pilih kitsune udon saja.”
“Kalau begitu, aku pesan miso ramen yang tadi
direkomendasikan. Mau coba sedikit?”
“Boleh kah!?”
“Tentu. Tidak mungkin kamu bisa habiskan porsi
sebesar ini sendirian kan.”
“Terima kasih!”
Sambil mulut kami mengobrol bahagia, aku melihat
ayah ketua klub terlihat sedikit murung sedang membeli tiket makan untuk wakame
soba. Sepertinya satu-satunya topping yang diizinkan
untuknya hanya rumput laut. Memang wajar, kalau pesan tempura pasti dimarahi.
Katsuya berkata, “Kalau begitu aku juga ramen,” lalu
membeli tiket. Ketua klub berkata sambil tertawa, “Maaf ayah, tapi aku pesan
soba dengan tempura seafood,” sedangkan Takashi memilih curry rice sambil
tersenyum.
Ya, curry di rest area memang enak.
“Kalau begitu, bersulang!”
Meski tanpa alasan, rasanya ingin bersulang. Jadi kami bersulang dengan
air dari dispenser.
Aku mengambil mie, sayur, dan kuah ke piring kecil yang sudah kuambil
dari counter, lalu menyodorkannya ke Rika. Wajahnya langsung berbinar.
Ketika semua mulai makan, aku pun menyeruput ramenku. Manis dan gurih
dari mentega dan jagung berpadu sempurna dengan kuah miso yang dalam. Rasanya
hampir sekelas restoran terkenal. Kuah yang sarat dengan kelezatan sayuran bisa
bikin ketagihan.
Saat aku melirik ayah ketua klub di meja sebelah…
“Ahh… wakame ini enak. Kalau ada sedikit minyak
pasti lebih enak…”
“Tidak boleh.”
“Baik…”
Ternyata, beliau sempat mencoba menambahkan banyak
tenkasu gratis, tapi istrinya langsung menepuk tangannya keras-keras untuk
menghentikannya. Sebagai gantinya, beliau diberi taburan banyak daun bawang dan
jahe. Yah, itu memang lebih sehat.
Memang, tertulis bahwa wakame yang digunakan di
restoran ini berkualitas karena dekat dengan laut. Wakame memang enak—rasa
umaminya padat…
Mungkin merasa kasihan, ketua klub berkata, “Ini
ayah,” lalu memasukkan sedikit remah tempura ke dalam soba ayahnya.
Ibunya menghela napas, “Aduh,” tapi sepotong kecil tampaknya masih ditoleransi. Mendapat izin diam-diam, ayahnya makan tempura pemberian putrinya—dan hampir meneteskan air mata saat berkata, “Hadiah dari putriku… bahagia sekali.”
Chapter 171 – Kehidupan di Vila
“Wah, vila yang sangat besar. Rasanya seperti
lokasi dalam novel misteri!”
Rika berseru. Ya, bukan sekadar vila—bangunannya
lebih mirip rumah bergaya Barat. Bahkan bangunan tambahan tempat kami menginap
pun terasa seperti cottage yang sangat stylish… Sementara bangunan utamanya
sudah seperti rumah mewah.
Selain itu, di dalam area vila ini juga ada pantai
pribadi. Ini benar-benar level selebritas.
“Uwaaah, benar-benar terasa seperti keluarga kaya
beneran.”
Takuji tertawa.
“Eh, bukannya keluarga Takuji juga kayak semacam
konglomerat?”
Katsuya menyela.
“Tidak, keluarga kami pernah merosot setelah
pembubaran zaibatsu, jadi rumah kami tidak semewah ini. Rumah mewah lama juga
sudah dijual dan sekarang jadi museum.”
Uhh, ceritanya terdengar luar biasa. ‘Pembubaran
zaibatsu’ dan ‘museum’—itu istilah yang biasa muncul di pelajaran sejarah
Jepang…
“Itu saja sudah luar biasa…”
Sebagai rakyat jelata, itu saja yang bisa kukatakan.
Kami segera meletakkan barang-barang di bangunan
tambahan. Data game ada di cloud, jadi bisa dikerjakan di mana
saja. Laptop dan tablet pun sudah kami bawa. Meski bangunannya terlihat seperti
mansion tua bergaya Barat, katanya koneksi internet di sini terbaik. Bahkan,
ketua klub pernah menghabiskan sebagian libur musim panas untuk berkemah coding
sendirian di sini…
Kami sudah makan siang lebih awal di rest area
sebelumnya, jadi kami langsung mulai beraktivitas. Hari pertama ini kami
latihan sedikit seperti kegiatan klub, lalu menjelang sore berencana
berjalan-jalan di sekitar vila.
Malamnya, kami berencana memasak kari di area barbeqyu
di taman. Area barbeqyu di taman—kata-kata yang sangat powerful, tapi ya
sudahlah…
Kupikir aku bakal sulit berkonsentrasi karena berada
di lingkungan yang berbeda, tapi ternyata bisa fokus lebih dari perkiraanku.
Mungkin karena suasananya berubah?
“Michitaka-san, ilustrasinya sudah jadi.”
“Oke, masukkan datanya ke folder berbagi.”
“Michitaka, software ini tiba-tiba nge-freeze. Kenapa ya?”
“Hmm, mungkin ini karena…”
Entah bagaimana suasananya jadi seperti biasa saja.
“Wah, kalian serius ya. Aku bawakan es serut.
Istirahat dulu, yuk?”
Ayah ketua klub datang sambil mengangkat cooler
box. Isinya penuh dengan
cup es serut ala zaman dulu.
Apakah beliau benar-benar seorang petinggi perusahaan besar? Rasanya
lebih seperti paman ramah dari kampung. Tapi karena sifatnya seperti itu,
justru mungkin dia bisa memimpin perusahaan besar. Bahkan kepada kami yang
hanya pelajar, dia menunjukkan perhatian sebesar ini.
Kalau berhadapan sebagai lawan, pasti langsung
dijauhi semua orang. Ia punya pesona lembut yang membuat orang-orang berpihak
padanya.
Dan karena itu bukan dibuat-buat, tapi alami,
orang-orang mengikuti ayah ketua dengan sendirinya. Dari sudut pandang mantan
pekerja sepertiku, itu adalah bakat yang langka—seorang tipe yang paling tidak
boleh dijadikan musuh.
Sebuah tipe pengusaha yang berbeda dari Presiden
Hongo, yang menyelesaikan pekerjaan lewat karisma murni…
Chapter 172 – Memasak Kari
— Area Barbeqyu —
Aku sedang menyiapkan makan malam. Barusan kami
selesai berjalan-jalan di tempat wisata dekat vila, dan itu sangat
menyenangkan. Pantai yang semua orang tunggu-tunggu akan kami kunjungi besok.
Karena kami menginap di sini, kami sepakat untuk
menyiapkan makan malam. Yah, meskipun disebut “kesepakatan”, pada dasarnya kami
hanya ingin seru-seruan bersama seperti suasana perkemahan. Dan kalau bicara
tentang masak di alam terbuka, rasanya kari adalah pilihan paling tepat. Jadi
aku meminjam panci besar dan mulai menyiapkan kari untuk semua orang.
“Ngomong-ngomong, Takuji-kun makan kari dua kali
hari ini. Beneran nggak apa-apa?”
“Tentu saja. DNA keluarga Hongo sudah terukir dengan
kari. Ini makanan lengkap bernutrisi dan di mana pun dimakan rasanya selalu
enak. Bahkan ada teori yang bilang bahwa leluhur kami adalah orang pertama di
Jepang yang makan kari.”
Aku tahu Takuji suka kari, tapi… jadi ada latar
belakang seperti itu rupanya. Benar juga, kari cafeteria milik Grup Hongo cukup
terkenal… Katanya mereka fokus membuat kari yang bisa dinikmati orang dari
berbagai budaya.
“Kalau begitu baguslah. Kari restoran dan kari
buatan rumah itu rasanya berbeda, lho.”
“Betul betul, kari buatan Michitaka itu enak.”
Katsuya berbicara dengan logat yang belum pernah
kudengar. Karena terlalu dibuat-buat, kami semua tertawa. Hari
ini kami harus membuat dalam jumlah banyak, pasti akan jadi kari yang lezat.
Soalnya kami harus memasukkan banyak bahan…
Ketua klub dan Rika tampak bersenang-senang sambil
memotong sayuran.
Kami bertugas menyalakan api.
“Oh, kalian sedang bekerja ya.”
Itu lagi-lagi ayah ketua klub.
“Hah? Ayah, santai saja lah.”
Saat Takuji berkata begitu, beliau membalas, “Aku
tak punya alasan untuk dipanggil ‘Ayah’ oleh kalian. Hehe… cuma sekali saja aku
ingin mengatakan kalimat itu! Di dalam sana sudah masuk waktu minum teh, dan
obrolan cewek-ceweknya sedang seru, jadi aku merasa tersisih. Jadi aku kabur ke
sini,” katanya sambil tertawa.
“Kalau begitu, biar aku buat hidangan pendamping.
Aku membeli gurita segar dari pasar tadi, jadi kupikir akan kubuat marinasi
dengan tomat.”
Kami terpukau melihat ayah ketua membuat hidangan
pendamping dengan sangat bergaya. Orang ini benar-benar berkemampuan tinggi.
“Punya banyak hobi itu bagus. Kamu bisa nyambung
obrolan dengan siapa saja dan bisa berteman dengan siapa pun. Aku menjalankan
perusahaan farmasi, jadi komunikasi dengan banyak orang itu penting. Agar
orang-orang mau membuka hati, kita harus memperluas dunia kita sebanyak
mungkin.”
Beliau mencampur minyak zaitun dan lemon sebagai
saus marinasi, lalu mencampurkan mentimun, tomat, dan gurita. Gerakannya sangat
cekatan.
Aku tulus merasa ingin menjadi orang seperti itu.
Podoman yang kuimpikan—berbeda arah dengan Presiden Hongo, tapi tetap
mengagumkan.
***
Kami menaruh panci di atas api, lalu mulai merebus
sayuran dan daging.
“Kalau hanya menunggu, biar aku saja yang jaga.
Kalian istirahat di dalam.”
Aku tipe orang yang sudah senang cukup dengan
memandangi api panggangan saja.
“Bapak juga…”
Kami berdua melihat yang lain kembali ke dalam rumah
tanpa protes. Kupikir hanya akan kepanasan, tapi beliau perlahan menggeleng.
“Istriku dan putriku sudah banyak cerita tentangmu,
tapi kamu ternyata jauh lebih menarik dari yang kubayangkan, Yaguchi
Michitaka-kun.”
Nada suaranya lembut, tapi wajahnya memancarkan
sedikit wibawa yang kuat.
“Terima kasih…”
“Aku hanya ingin ngobrol sedikit denganmu. Mari kita
minum soda dingin sambil bicara santai.”
Sambil berkata begitu, ayah ketua klub mengambil
soda yang dingin sekali dari cooler box tempatnya juga menyimpan marinasi agar
tidak rusak.
Chapter 173 – Obrolan Antar Pria
Suara api berkeretekan terdengar, dan ketika
kaleng soda dibuka, bunyi karbonasinya pun meletup.
“Benar-benar musim panas, ya.”
Aku tanpa sengaja mengucapkannya.
“Benar.”
Kami mengangkat kaleng kami tanpa banyak bicara
dan bersulang.
“Aku selalu mengkhawatirkan putriku. Dia tipe
yang sulit maju ke depan. Memang dia akrab dengan para senior di klub, tapi
mereka semua sudah lulus. Aku sempat berpikir dia mungkin akan terus hidup
hanya dengan komputer.”
“Ketua itu orang yang kuat. Memang sulit untuk
menjadi akrab dengannya, tapi… sekarang kami tak bisa berkegiatan tanpa dia.
Kami sangat bergantung padanya.”
“Begitu ya. Aku senang mendengarnya. Tapi
putriku bisa berkembang karena ada orang-orang yang memahami dirinya—terutama
kau, Yaguchi-kun. Sekalipun seseorang punya kemampuan luar biasa, tanpa orang
yang mengerti dirinya, dia tidak bisa bersinar.”
Aku memperhatikan ayah ketua ketika ia meminum
sedikit soda.
“Mungkin itu benar, tapi… ketua tak diragukan lagi
adalah seorang jenius.”
Soal bakat, dia benar-benar luar biasa. Bahkan tanpa campur tanganku, cepat atau lambat dia pasti akan ditemukan
seseorang.
“Terima kasih. Aku senang kau menilai putriku
setinggi itu. Tapi, dunia ini punya contoh seperti Van Gogh. Meski jenius, ia
tak bisa memanfaatkan bakatnya sendirian. Dan kurasa… kau punya kualitas untuk
menjadi orang yang memahami seorang jenius.”
“Kau terlalu melebih-lebihkan. Aku hanya didukung
oleh teman-teman berbakat.”
“Mungkin begitu. Namun kau yang menyatukan mereka
dan menciptakan sinergi. Jika wadahnya tidak besar, air mudah tumpah.”
Mendengar itu, rasanya hatiku geli. Memang
menyenangkan mendengar pujian semacam ini…
“Awalnya, kupikir kau adalah pacar putriku.”
Tanpa sadar aku hampir memuntahkan soda yang tengah
kuminum.
“Hahaha, bercanda. Tapi sempat
terpikir, seandainya memang begitu, mungkin akan menyenangkan. Tentu saja, kau dan Takanashi Rika sangat serasi, dan putriku takkan
memikirkan hal seperti itu.”
“Itu pasti. Aku punya Rika.”
“Tentu. Tapi tetap saja, aku bisa mempercayakan
putriku padamu—bukan dalam arti romantis. Sejujurnya, selama putriku bahagia,
bagiku tak masalah bagaimana pun caranya. Aku yakin kalian akan menjadi sahabat
seumur hidup. Dan persahabatan yang terbaik itu melampaui cinta romantis,
membuat satu sama lain bahagia. Kalian sudah mulai memikirkan masa depan bahkan
di usia semuda ini. Aku menantikan bagaimana kalian berkembang nanti.”
“Terima kasih. Tapi dalam waktu dekat, anda akan
semakin menyadari betapa hebatnya putri Anda. Saat dunia mengetahui bakatnya,
tak seorang pun akan bisa menghentikannya—dia akan mengalir maju seperti
longsoran salju.”
“Benarkah? Dan aku yakin kaulah yang akan
membantunya naik setinggi itu. Aku benar-benar senang bisa berbicara denganmu.
Harapanku kini telah berubah menjadi keyakinan.”
Tertarik aroma kari yang wangi, kami berdua pun
tersenyum.
Chapter 174 – Sudut Pandang
Seorang Pengusaha
—Sudut Pandang Ayah Ketua—
Aku menyantap kari lezat yang penuh dengan bahan. Mungkin karena banyak
sayuran yang dimasak lama, rasanya sangat kaya dan nikmat. Sepertinya daging
yang dipakai hari ini adalah ayam. Mungkin juga mereka menggunakan kaldu tulang
ayam.
“Ayah, ini enak sekali.”
Putriku memuji marinatako yang kubuat. Teman-temannya juga mengangguk setuju.
Sebenarnya, ini adalah salah satu mimpiku—berkemah
dengan putriku beserta teman-temannya.
Tapi, karena dia tipe yang lebih suka di dalam
ruangan, sulit mewujudkannya.
Dan akhirnya, mimpiku terwujud. Memang, senyum
anak-anak itu luar biasa. Karena pekerjaanku, ketika berurusan dengan anak-anak
selain putriku, biasanya mereka adalah anak-anak yang sakit. Maka, hanya dengan
melihat anak-anak sehat yang menikmati hari-harinya seperti ini saja… rasanya
aku ikut terselamatkan.
Karena itu aku merasa, melihat putriku tertawa
bahagia seperti ini saja sudah cukup membuatku bahagia.
Bahkan setelah menghitung porsi para pelayan, kari
masih tersisa banyak. Mungkin aku akan tambah lagi. Memang, kari saat berkemah
adalah yang terbaik.
***
Selesai makan, kami kembali ke vila. Anak-anak yang akan membereskan semuanya, jadi yang tersisa hanya
bersantai. Minum wiski sambil bercakap-cakap dengan pengelola vila dan istriku
tidak terdengar buruk. Vila yang dikelilingi alam semacam ini betul-betul
menenangkan jiwa.
Aku berpikir, seandainya Yaguchi dan teman-temannya
bisa rutin melakukan pelatihan di sini setiap tahun pasti menyenangkan. Aneh
juga. Putriku akan lulus tahun ini. Biasanya, klub juga berakhir sampai di
situ. Tapi entah kenapa, aku punya keyakinan bahwa anak lelaki dengan pesona
aneh itu akan tetap menjadi orang yang memahami putriku.
Saat aku menyiapkan wiski, ponselku berbunyi.
“Presiden Hongo, ada apa?”
“Ah, putraku merepotkan kalian. Aku hanya ingin
mengucapkan terima kasih.”
Heh, si karismatik itu juga bisa terdengar
menggemaskan.
“Tidak, justru kami yang berterima kasih. Kami diberi kari lezat, soalnya.”
Setelah sapaan-sapaan standar, entah bagaimana
pembicaraan mengarah pada Yaguchi-kun.
“Jadi, bagaimana? Apa pendapatmu tentang Yaguchi
Michitaka?”
Sepertinya inilah yang benar-benar ingin ia
tanyakan.
“Anak itu luar biasa. Aku sampai berpikir, apa benar
dia itu masih anak SMA?”
“Kami yang duluan menemukan dia, jadi jangan
coba-coba mengambilnya dariku.”
Nada suaranya terdengar mengintimidasi, membuatku
hanya bisa tersenyum kecut.
“Sayangnya, aku sudah ditolak.”
“Kau berniat merebutnya dariku ya!”
Kedengarannya seperti dia marah, tapi kemudian
terdengar tawa samar. Jadi sebenarnya tidak.
“Pastilah kau juga ingin mengumpulkan
orang-orang berbakat, kan?”
Itu adalah naluri dasar seorang pengusaha.
“Itu benar.”
“Tapi kurasa, Yaguchi bukan tipe yang akan
bekerja di bawah seseorang. Dengan kapasitas sebesar itu… orang-orang hebat pun
tidak akan mampu menanganinya, dan dia sendiri pasti tidak akan tahan.”
“Kapabilitas, ya…”
Chapter
175 – Malam Para Lelaki
Hari pertama training camp sudah berakhir, dan kami semua
bersenang-senang bermain UNO.
Karena malam sudah larut, kami pun bubar dan kembali ke kamar laki-laki.
Besok kami akan pergi ke laut. Kami harus menghemat tenaga.
Yah, kami ini masih anak SMA… setelah tidur nyenyak, besok juga langsung
pulih. Pemikiran tentang “menyimpan stamina” ini lebih cocok sebagai kebiasaan
dari masa saat aku jadi om-om.
Saat aku mengatakannya ketika bermain UNO tadi, aku malah ditertawakan,
dibilang “kamu kayak om-om”, dan itu sedikit memalukan.
“Aah, nanti juga kalian bakal kayak gitu,”—hanya kalimat membela diri
seperti itu yang bisa keluar dari mulutku… makin memalukan.
Kami berbaring di tempat tidur yang sudah disiapkan lalu mematikan lampu.
“Seru banget ya,” Takuji berbisik pelan.
“Iya. Aku juga merasa begitu.” Jawaban itu
keluar begitu saja.
Aku merasa momen ini seperti sepotong kenangan masa
remaja—membahagiakan tapi agak memalukan.
Kami tertawa kecil. Lalu sahabatku melanjutkan:
“Kayaknya, aku nggak bakal lupa tiga hari ini. Momen
ini… suatu hari nanti pasti bakal aku ingat, lalu aku akan merasa malu, tapi
juga bahagia. Aku yakin itu.”
Kata-kata itu sangat dalam. Seperti ia sedang
menikmati masa muda untuk kedua kalinya. …Tidak, mana
mungkin. Itu hanya aku yang berpikir begitu karena situasiku yang spesial.
Tidak mungkin ada orang lain yang sama seperti
aku.
“Hey, jangan ngomong kayak om-om lebih dari
aku,” kataku spontan.
Mereka tertawa.
Saat aku memulai hidupku yang baru, sempat
terpikir—apakah Rika atau ibuku juga membawa ingatan kehidupan sebelumnya? Aku ingin menggantungkan harapan pada kemungkinan itu.
Tapi tentu saja, itu tidak terjadi.
Keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka juga tidak bisa
membayangkan bahwa masa depan mereka suatu saat akan direnggut. Karena itu, aku
memilih untuk memastikan kebahagiaan mereka tetap berlangsung.
Karena aku tidak ingin merasakan perasaan itu lagi.
“Ah—aku juga pengin punya pacar,” kata sahabatku.
Padahal dia populer, tapi hubungannya selalu tidak
bertahan lama. Sulit menerima Katsuya sepenuhnya. Di kehidupan sebelumnya juga
begitu—dia tidak pernah kehabisan pasangan, tapi dia tidak pernah menetap pada
satu orang.
Aku ingin dia bahagia. Itu yang kupikirkan.
Pacar yang ia maksud… mungkin lebih seperti
“seseorang yang benar-benar memahami dirinya”. Kesepian seorang jenius, ya
begitulah…
Karena itulah dia begitu menyayangi Airi seperti
putrinya sendiri.
Aku teringat dirinya di kehidupan sebelumnya, yang
tertawa sambil berkata, “Aku sudah menikah dengan pekerjaanku.”
Kalau Katsuya yang meneruskan perusahaan, pasti dia
bisa melakukannya dengan baik. Mungkin bahkan lebih baik dariku.
Saat perasaan sentimentalku mulai menenggelamkanku,
kesadaranku perlahan mulai masuk ke dalam kegelapan…
“Hey, kalian nggak lapar?” tanya Katsuya.
Begitulah—nafsu makan anak SMA itu tak terbatas.
“Sebenernya aku bawa mi instan,” kata Takuji.
Persiapannya terlalu matang.
“Apa!?” Aku dan Katsuya berseru bersamaan.
“Gimana… mau kita sikat?”
Junior itu membisikkan godaan iblis kepada kami.
Mi instan rasa miso dari Sapporo yang sudah lama
dikenal, ramen luar negeri yang terkenal pedas, dan cup noodle rasa seafood
yang enak… semuanya menunggu kami di dalam tas.
Sungguh… dosa banget.
Chapter 176 – Dosa?
— Sudut Pandang Ketua Klub —
Aku sedang asyik mengobrol dengan Rika-chan soal cinta. Aku bahkan belum
pernah membicarakan hal seperti ini dengan para senior, jadi rasanya sangat
seru.
“Jadi, Yaguchi-kun selalu mengajakmu dengan baik ya.”
Aku mendengar cerita pamer mengenai restoran western populer dan kencan
di Odaiba. Tak pernah terpikir aku bisa menikmati obrolan seperti ini… tapi
jujur saja, aku sangat bersemangat.
“Iya… aku selalu cuma bergantung padanya.”
“Kalau begitu, besok saat kembang api, kamu yang mengambil inisiatif. Siapa tahu dia jadi terkejut dan bersikap kikuk. Aku sih pengin lihat itu.”
“Jangan bilang seperti itu dengan mudah…”
“Lalu, apa kamu tidak ingin melihat sisi Yaguchi-kun
yang seperti itu?”
“Kalau bilang tidak, itu bohong sih…”
“Kan benar, kamu ingin melihatnya. Kalau begitu kita harus membuat rencana. Besok ada laut, BBQ, dan kembang
api. Acaranya banyak. Aku akan bantu.”
“Ketua, kepribadianmu agak berubah, lho.”
Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar itu.
Memang… tapi aku sedikit mengagumi masa muda seperti ini, jadi aku jadi terbawa
suasana. Selain itu, aku bisa merasakan betapa mereka saling
menyayangi satu sama lain, dan itu membuatku ingin mendukung mereka.
“Tidak apa-apa kan? Ini pantai musim panas.”
Benar. Dalam novel, manga, atau game, pantai di
musim panas selalu terasa spesial. Karena itu, tidak masalah kalau pihak
perempuan yang berusaha lebih dulu.
Obrolan para gadis semakin seru, dan tanpa sadar
waktu sudah lewat jam 11 malam. Kami sudah bubar satu jam yang lalu. Saat
kupikir sudah saatnya tidur, aku mencium aroma yang menggugah dari lantai
bawah.
Rika-chan juga menyadarinya.
“Jangan-jangan ini…”
Dia mengirim isyarat dengan matanya.
“Padahal sudah larut malam…”
Benar—ini adalah tindakan terlarang. Salah satu
hal yang paling tidak boleh dilakukan bagi anak SMA yang peduli dengan bentuk
tubuhnya.
““Bau ramen.””
Ramen tengah malam. Memang sering terlihat di
TV, tapi bagaimanapun itu sesuatu yang harus dihindari, jadi kami menahan diri.
Namun, sekarang kami sedang dalam perjalanan. Artinya, ini bukan rutinitas.
Jadi mungkin… boleh sedikit mencoba…
Sepertinya anak-anak laki-laki sedang
bersemangat dan bertindak tanpa kendali. Aku ingin menegur mereka, tapi
dari aromanya, sepertinya sudah matang. Sayang kalau dibuang…
“Ketua…”
Suara Rika-chan terdengar sangat bimbang.
Yah, tentu saja. Logika bilang berhenti… tapi…
“Yuk, kita lihat sebentar.”
Dengan begitu, kami pun membuka kotak Pandora itu.
Chapter 177 – Jalan Kabur
Kami mulai membuat mi cup di dapur.
Aku memilih rasa miso, Katsuyas seafood, dan Takuji
rasa pedas.
“Senpai, aku juga beli ini tadi.”
Oh iya, Takuji tadi terlihat sibuk saat belanja
bahan makanan. Kupikir, dia membeli sesuatu.
Ternyata, dia mengeluarkan keju pizza dan mentega
kecil dari kulkas.
“Kau ini dewa,” kata Katsuya sambil bercanda memeluk
Takuji.
Takuji pun menolak, “Tolong hentikan, aku tidak
punya hobi seperti itu.”
Melihat keseharian damai seperti itu, aku tak bisa
menahan senyum.
Tujuan hidupku dalam kehidupan sekarang ini adalah
hidup bahagia bersama Rika dan keluarga.
Tapi, saat menikmati hari-hari menyenangkan seperti
ini… Aku jadi menginginkan lebih banyak lagi.
Sebuah mimpi konyol— Hidup bahagia dengan semua
teman klub ini selamanya…
Sebagai orang yang sudah pernah ditempa kerasnya
kehidupan sosial, aku tahu benar bahwa momen ini adalah kebahagiaan.
Dan aku tahu juga—di masa depan, ketika aku
melihat kembali momen seperti ini, inilah yang akan menjadi sorotan terbaik
dalam hidupku.
Ah, aku bahagia sekali.
Karena di kehidupan sebelumnya aku mati dengan
cara paling buruk, mungkin ini bonus yang diberikan Tuhan.
Pikir begitu saja membuat mataku hampir
berkaca-kaca.
“Ah, curang. Enak-enakan makan camilan malam cuma
cowok doang.”
Tentu saja… ketahuan.
Dari belakang ketua klub, terdengar suara Rika.
Kami pun kaku berdiri seperti pelaku yang tertangkap
basah.
Kami ingin membuat alasan, tapi itu mustahil.
Karena jelas sekali—kami kedapatan sedang menyiapkan
air panas dan membuat mie cup. Tertangkap basah, tidak bisa menyangkal.
Kalau begitu…
Buat saja saksi mata jadi kaki tangan.
Sebenarnya, itu memang rencana awal kami.
Tentu saja, Takuji juga sudah memperhitungkannya.
“Nih, untuk ketua dan Rika. Takuji sudah siapkan.
Kami berencana memanggil kalian begitu air panasnya siap.”
Seperti dalam skenario, aku menyerahkan cup mie
kecil kepada mereka.
Seperti yang diharapkan dari pewaris DNA Presiden
Hongo—Takuji bahkan menyiapkan mi cup ukuran mini rasa shoyu, agar perempuan
tak merasa terlalu bersalah memakannya.
Kalau para gadis masih tidur, akan kasihan
membangunkan mereka, jadi ia menunggu dulu untuk melihat keadaan.
““Eh?””
Sepertinya mereka tak menyangka sudah ada jatah
untuk mereka.
Meski cup mie kecil untuk anak-anak, rasanya sama
dengan versi normal.
Bedanya hanya porsinya lebih kecil dan ada naruto
karakter lucu di dalamnya.
“Kalorinya lebih rendah daripada es krim setelah
mandi, lho.”
Takuji mengeluarkan kalimat mematikan itu.
Kalimat berbahaya yang membuat otak salah paham,
seolah itu hampir tanpa kalori.
“Kalau kamu bilang begitu…”
Dan begitu saja, karena jalan kabur sudah disiapkan
dengan sempurna, jumlah kaki tangan (pelaku) bertambah dua orang lagi.
Chapter 178 – Protagonis Tak Sadar
Setelah selesai makan mi, Katsuya langsung
tertidur.
Melihat dia mendengkur kecil, aku dan Takuji
tertawa.
“Wajah tidur Katsuya-san ternyata cukup imut
ya.”
“Benar. Dia selalu tidur dengan tenang. Bahkan saat pelajaran pun, dia tidak pernah menimbulkan suara.
Sampai-sampai tidak ada yang sadar.”
“Hebat juga… itu pun termasuk bakat, ya.”
“Ya, dia memang bisa melakukan apa saja.”
Benar-benar tipe manusia jenius.
Dalam musik dan menulis cerita, dia berkembang
begitu cepat.
Dalam memimpin perusahaan pun dia sangat hebat.
Dalam negosiasi dengan pihak mana pun, dia selalu
mampu menemukan jalan tengah yang menguntungkan kedua belah pihak.
All-rounder terkuat.
Itulah julukannya di industri.
Mungkin, di luar sana orang mengira bahwa Katsuya adalah presiden sebenarnya,
sedangkan aku hanyalah pajangan.
Namun aku tidak keberatan.
Karena akulah yang pertama menyadari bakatnya— dan aku berhasil
menciptakan lingkungan agar ia bisa memanfaatkan kemampuannya semaksimal
mungkin.
Aku suka melakukan hal seperti itu.
Karena itulah aku selalu berusaha menemukan potensi
mentah, mengasahnya, lalu mendorongnya ke panggung dunia.
Berkat itu, aku dapat membangun perusahaan kecil
yang berisi orang-orang berbakat.
Meskipun perusahaannya kecil, kami menempatkan
talenta unik pada bidang terbaik mereka, dan semua kekurangan ditutupi oleh aku
dan Katsuya.
Manajemen organisasi seperti itu berjalan dengan
sangat baik.
“Memang hebat ya… Katsuya.”
Kata-kata puji itu lolos dari mulutku tanpa sengaja.
Takuji tersenyum.
“Sang jenius mengenali jenius.”
“Jenius? Aku? Jangan bercanda. Aku bukan tipe
seperti itu.”
Aku hanya seorang sutradara— orang yang dibantu
oleh orang-orang berbakat di sekitarku.
“Itu dia… Yaguchi-san selalu merendahkan dirinya.”
“Tidak, sungguh. Aku hanya didukung oleh
orang-orang berbakat seperti kamu.”
“Dan karena Anda bisa mengatakan itu dengan
tulus tanpa menyadarinya… orang-orang jadi ingin mendukung Anda. Kalau begini
terus, mungkin nanti anti-fan terbesar Yaguchi Michitaka adalah dirinya
sendiri… ironis ya?”
Aku hanya bisa tertawa malu.
Dengan suara pelan, Takuji berkata:
“Benar-benar karisma tanpa sadar… Kalau ini konteks
percintaan, Anda pasti tipe protagonis bodoh yang tidak peka… Tapi entah
kenapa, meski Anda bisa memahami perasaan Takatsukasa-san dengan baik, dalam
urusan pekerjaan malah jadi kurang percaya diri…”
Sepertinya dia mengatakan hal yang rumit.
“Yaguchi-san, aku sangat menikmati kehidupan SMA.
Kurasa itu karena aku bertemu dengan Anda. Jadi mari kita jadikan klub ini yang
terbaik. Bersama semua orang, aku merasa kita bisa pergi ke mana pun.”
Sungguh api semangat muda yang hangat.
Dan aku bisa merasakannya, menikmatinya— Karena aku
sudah pernah menjalani hidup sebagai pria dewasa.
Sekarang, aku tahu betapa berharganya itu.
Chapter 179 — Si Pecundang
— Sudut pandang pria selingkuh —
Ini adalah neraka. Bekerja dari pagi sampai sore dengan penuh tenaga,
lalu hanya bisa tidur. Tapi aku diperlakukan seperti budak oleh para pekerja
lokal.
Mungkin karena aku lebih banyak membuat kesalahan dibanding para pekerja
lain, aku benar-benar menjadi sasaran.
Hari ini pun aku disuruh menyiapkan cola. Meski aku
tidak mengerti bahasanya, entah bagaimana aku tahu apa yang mereka katakan.
“Apa-apaan sih dia, nggak berguna banget.”
“Kerjaannya cuma bisa nyiapin cola.”
“Kenapa dia sebegitu payahnya dalam bekerja ya?”
Aku terus-menerus mendapat komentar seperti itu.
Berapa tahun lagi aku harus bertahan di tempat ini? Kapan utangku bisa
berkurang?
Aku kabur ke toilet. Satu-satunya yang bisa
kugunakan hanyalah ponsel.
Tanpa sadar, aku membuka media sosial yang
menghubungkan aku dengan teman-teman saat masih di Jepang — akun-akun yang
entah kenapa tidak bisa kuhapus dari daftar “follow”. Foto kencan, makanan
enak, foto bersama teman klub…
Hanya dengan melihatnya saja aku merasa iri. Padahal
sampai belum lama ini aku hidup lebih bahagia dari mereka, namun sekarang aku
berada di negara asing dalam keadaan menyedihkan seperti ini.
“Kenapa jadi begini…”
Tidak, ini masih lebih baik daripada tinggal di
pulau tak berpenghuni. Iya kan? Aku tidak sendirian, tidak dalam keadaan
tersesat. Ya, aku masih cukup beruntung.
Sudah saatnya tidur. Aku harus kembali ke kamar.
Dari cermin wastafel, pantulan sosok menyedihkan
terlihat.
Wajahku cekung akibat kecelakaan sebelumnya — tak
berbekas lagi wajah tampanku yang dulu sering dipuji. Badanku yang dulu lumayan
berisi kini kurus karena pengalaman terdampar dan stres berat di sini.
Sungguh penampilan yang menyedihkan.
Notifikasi ponsel berbunyi.
Itu pemberitahuan pembaruan SNS yang biasanya
kuabaikan. Dalam usahaku melarikan diri dari kenyataan, aku membukanya.
Itu akun milik Yaguchi Michitaka — seseorang yang dulu ku-follow hanya
untuk bahan ejekan.
“Apa-apaan ini…”
Aku baru tahu apa yang terjadi padanya selama aku
tak ada.
Game yang ia buat menjadi sangat populer di festival
budaya.
Salah satu anggota timnya adalah Takuji, adik tiriku
yang dulu selalu kucemooh.
Dan sekarang, mereka sedang menikmati masa muda
mereka, menjalani kamp pelatihan klub di vila dekat pantai.
Hanya dengan melihat foto mereka berkumpul sambil
makan kari yang terlihat lezat, air mataku mengalir.
Bukankah itu hanya sandiwara masa muda yang murahan?
Apa yang membuatnya begitu menyenangkan? Dulu, aku menghambur-hamburkan
uang orang tuaku untuk bersenang-senang di luar negeri. Menghabiskan waktu
bersama teman-teman di vila pantai sambil berkemah…
Itu tidak perlu diinginkan… kan?
Lalu kenapa aku merasa seperti benar-benar kalah
dan air mataku tidak bisa berhenti!?
Ini benar-benar memalukan!!
Aku, yang selalu meremehkan Yaguchi Michitaka,
kini kalah telak dan hanya bisa menangis di tempat yang bahkan tidak diketahui
oleh dirinya…
Aku telah menjadi sesuatu yang lebih rendah dari
pecundang.
Aku ingin pulang.
Aku ingin kembali ke Jepang.
Chapter 180 — BBQ Airi
— Garis dunia α (alpha) • Sudut pandang Airi —
Ini adalah liburan musim panas pertamaku sejak masuk
SMP. Memanfaatkan waktu libur klub, kami pergi berkemah.
“Ngomong-ngomong, kakakmu juga suka BBQ, kan?”
Saat itu disebut, aku langsung teringat dan kami
berdua tertawa. Paman juga ikut tersenyum nostalgia.
“Iya, iya. Dulu kami juga sering diajak. Saat
masih pacaran maupun setelah menikah.”
Ya, ayah sangat suka memanggang daging.
Aku teringat bagaimana ayah selalu menyiapkan
bermacam-macam bumbu BBQ, dan betapa ia meneliti berbagai racikan saus. Rasanya
jadi bernostalgia.
“Waktu kalian menikah, ayah tidak menentang?”
Sejak nenek meninggal, ayahlah yang praktis
menjadi orang tua bagi kami. Kudengar ia sangat menyayangi adiknya, jadi
kupikir ia mungkin akan menentang keras, seperti “Tidak akan kuberikan adikku
kepada orang asing tak jelas!”
“Tidak, dia tidak pernah seperti itu.”
“Ya. Kakak sangat senang, lho. Katanya, akhirnya
bisa memberi kabar baik kepada Kaede-san. Oh, Kaede-san itu ibu kami. Kakak itu
punya rasa tanggung jawab yang terlalu besar, jadi dia sangat
mengkhawatirkanku.”
Mereka tertawa saat mengatakannya.
Begitu, ya. Tapi aku juga mengerti perasaan ayah.
Karena, paman itu… penuh perhatian dan sangat baik. Orang seperti itu tidak
mudah ditemukan.
Ia memperlakukanku, yang bukan anak kandungnya,
seperti putrinya sendiri. Ia selalu berusaha menciptakan banyak kenangan agar
aku tidak merasa kesepian. Orang seperti itu benar-benar jarang sekali.
Kalau nanti aku bertemu seseorang yang baik seperti
itu di masa depan, aku ingin memperkenalkannya kepada ayah…
Saat aku memikirkannya, rasanya sedikit sedih. Tidak
boleh, tidak boleh. Hari ini hari yang menyenangkan. Terus mengingat kehilangan
hanya akan membuat ayah merasa tidak enak.
“Nah, sudah matang! Ini daging panggang bumbu
spesial ala Michitaka-san dan yakiniku gaya bulgogi. Ini dibuat dengan bumbu
Holin○ favorit Michitaka-san, plus apel, kecap bawang putih, madu, dan
gochujang. Ayo makan banyak!”
Benar-benar… Ini adalah bentuk kebaikan paman!
“Wah… sejak kapan kamu belajar dari kakakku?”
“Hahaha, BBQ itu kan impian para lelaki. Aku juga
ingin jadi laki-laki yang bisa barbeque bersama keluarga suatu hari nanti. Dan sekarang, mimpiku terkabul.”
Cara dia bercanda agar aku tidak merasa terbebani pun… itu bentuk
kebaikan terbaik.
“Enak… rasanya persis seperti masakan ayah.”
Saat aku berkata begitu, mereka berdua
benar-benar terlihat sangat senang.
Aku pun ikut tersenyum.
Saat seperti ini, aku sadar betapa beruntungnya
diriku.
Untuk mereka berdua, aku harus berusaha.
“Terima kasih untuk semuanya, selalu.”
Aku menyampaikan rasa terima kasih dari lubuk hati
terdalam.
Setelah kehilangan, barulah aku sadar betapa
beruntungnya kondisi yang kumiliki sekarang.
Sekarang, aku bisa tersenyum dari hati.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter



Post a Comment