Chapter 61 – Hubungan kita mulai Sekarang (?)
[Bagian 2]
Kami membersihkan sisa makanan sebelum melanjutkan percakapan kami.
“Nah, mari kita lanjutkan…”
“Mnm…”
Setelah meneguk coke-nya dengan cepat, Umi membuka mulutnya untuk berbicara.
“Umm.. Pertama-tama, soal pengakuanku... minggu lalu. Meskipun itu tiba-tiba. Tapi, aku tidak menyesalinya. Lagipula, perasaanku padamu tulus, Maki."
"Jadi, bolehkah aku menganggap bahwa kau ingin pacaran denganku?"
"Mnm, aku ingin.. Kita memiliki kesukaan yang sama, seperti makanan, hobi dan hal lainnya. Kalau aku mengabaikan penampilanmu, kamu tuh orangny asyik di ajak ngobrol."
“Oi.."
"Ehehe. Maaf, maaf.. Tapi, seperti yang kukatakan padamu tempo hari. Kalau kamu sedikit mengubah penampilanmu. Kurasa kamu akan terlihat keren kok. Jadi, kamu nggak perlu khawatir dengan penampilanmu, Maki."
"Begitukah?"
"Mnm, itu yang membuatku jatuh cinta padamu.."
"Uh-huh .…"
....Nah, seperti yang kuduga.. dia benar-benar mencintaiku.
Sebaliknya, perasaannya tampaknya lebih kuat daripada perasaanku.
Tapi, ada satu hal yang menggangunya jika dia pacaran denganku.
“Mungkin aku terlalu memikirkannya... Maki, aku takut... kalau aku berpacaran denganmu, aku akan berakhir sama seperti sebelumnya. Meskipun aku seharusnya mempercayaimu. Tapi tetap saja, aku tidak bisa berhenti memikirkan bahwa gadis lain akan mengambilmu dariku."
'Hah? Gadis lain merebutku darimu? Lagian, siapa yang mau dengan orang sepertiku?'
Aku ingin mengatakan itu padanya, tetapi aku menahan diri untuk tidak menyela dan membiarkannya melanjutkan.
Kurasa trauma karena dibohongi oleh teman yang dia percayai masih membekas dalam hatinya.
Bahkan jika teman-temannya meminta maaf padanya, aku ragu bekas luka di hatinya akan hilang.
“Dengan kata lain, kau takut aku mengkhianatimu… Itu sebabnya, kau ragu-ragu, kan?”
“Mnm, sesuatu seperti itu… aku tahu bahwa aku harus menghadapi perasaan itu suatu hari nanti atau aku tidak akan bisa move on. Tapi… aku hanya tidak tahu harus berbuat apa…”
Umi tertawa lemah.
Gadis ini sudah menolak pengakuan yang tak terhitung jumlahnya, tetapi ketika sampai pada pengakuannya sendiri, dia menjadi seperti ini.
Itu seharusnya menjadi masalah sederhana. Kalau kau menyukai orang itu, kau bisa berpacaran dengan orang itu. Tapi, kalau kau tidak menyukainya, maka kau tidak akan melakukannya. Sesederhana itu. Tapi sayangnya, itu bukan masalah yang sederhana bagi kami berdua.
“Yah, itu saja. Perasaan jujurku. Seperti yang aku katakan, aku gadis yang merepotkan…”
"Kau benar."
“Muu…”
“Jangan cemberut. Memang benar kau itu merepotkan. Tapi, Umi yang merepotkan itulah yang membuatku jatuh cinta padamu."
“…Baka…”
Aku mengerti kekhawatirannya.
Jika dia merasa tidak nyaman berpacaran denganku, maka yang perlu kulakukan hanyalah menghilangkan perasaan itu untuknya.
Seharusnya tidak sulit.
Aku bisa memegang tangannya dan mengatakan kata-kata indah untuk menenangkan pikirannya.
“Umi, um… Tanganmu…”
“Eh? A-Ahh… Mnm…”
Aku dengan lembut menggenggam tangan Umi dan dia menjawab dengan menggenggam tanganku.
Ini adalah rutinitas kami, cara kami untuk saling menghibur.
Kecuali kali ini, aku ingin melangkah lebih jauh dari ini.
“Dan juga… tolong pejamkan matamu…”
“Eh? …Kenapa?"
“…Apa kau ingin aku menjelaskannya?”
“… Hmm…”
Dia bingung dengan permintaanku yang tiba-tiba. Tapi, sepertinya dia mengerti maksudku saat wajahnya memerah.
“.…!”
“Hm? Ada apa, Umi?”
“U-uhm… A-Apa aku benar-benar perlu memejamkan mata?”
"Yah, kalau kau tidak memejamkan matamu, itu akan membuatnya sedikit canggung."
“A-Aku tidak mau…”
Dia memalingkan wajahnya. Tapi, kali ini aku tidak akan mundur.
"Ini mungkin menyakitkan karena baru pertama kali, Umi. Tapi jangan khawatir, aku akan bersikap selembut mungkin."
"A-Apa yang kamu bicarakan, baka ?!"
Dia mencoba melepaskan tanganku. Tapi, aku menggenggam tangannya dengan sekuat yang aku bisa. Jadi, usahanya sia-sia.
“M-Muu! Aku memang mencintaimu, Maki… Tapi, ini sangat tiba-tiba! Aku belum siap! …Setidaknya, buat suasananya lebih romantis lagi dong!"
"Nggak apa-apa, Umi.. Ini sama sekali tidak menyakitkan."
Aku memojokkannya ke tepi sofa sambil perlahan mendekatinya.
"T-Tolong, lakukan dengan lembut, oke..?"
"Iya, jangan khawatir. Aku akan bersikap lembut…”
“B-Bodoh! Maki, kamu mesum!”
Dia akhirnya menyerah, tetapi tubuhnya masih tegang. Dia memejamkan matanya sambil mengarahkan bibirnya yang cemberut ke depan.
“Kalau begitu, aku datang …”
“M-Mnm …”
Aku memegang tangannya sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya.
“Eei.”
"Ow!"
Aku menjentikkan dahinya dengan kekuatan sedang.
“Bodoh, kau pikir apa yang ingin aku lakukan? Yah, maaf.. itu sedikit menyakitkan, bukan?”
“Uuu… Nggak apa-apa. Aku hanya terkejut, aku tidak berharap bahwa ..."
“Ya, iya... Aku minta maaf karena membuatmu takut. Lagipula, tadi itu kesempatanku untuk menggodamu. Jadi, sangat di sayangkan, jika dilewatkan begitu saja."
“Muu, apa-apaan itu? Dasar, Maki bodoh!"
"Ya, aku minta maaf 'oke?"
"Hm~.. Yah, aku maafkan. Lagipula, aku sering menggodamu.. Jadi, anggap saja kita impas~. Btw, jentikan dahi itu, apakah itu semacam hukuman?”
“Yah… Sesuatu seperti itu.”
Sekarang setelah masalah ini diselesaikan, giliranku untuk memberitahunya dengan benar tentang perasaanku.
“Hei, Umi, saat kau mengatakan bahwa kau khawatir berpcaran denganku. Apa kau berharap aku akan menghiburmu?”
“Ugh …”
“Jangan khawatir, aku tidak akan marah padamu bahkan jika itu masalahnya.”
“…H-Hanya sedikit…”
"Hanya sedikit?"
“...T-tidak, aku ingin kamu menghiburku! Aku cemas, oke? Hibur aku …!"
Jadi, begitu ....
“…Yah, sejujurnya, aku ingin menghiburmu. Mengatakan kata-kata sederhana seperti 'Aku tidak akan mengkhianatimu' atau meredakan kecemasanmu dengan mengatakan 'Aku mencintaimu'…”
“…Lalu, kenapa kamu tidak melakukan itu?”
“Karena itu tidak akan menyelesaikan apapun. Kata-kata itu hanya akan meringankanmu untuk sementara, tetapi kecemasanmu tidak akan hilang begitu saja.”
Mungkin jika aku menenangkannya dengan kata-kataku, perasaannya terhadapku mungkin semakin dalam dan hubungan kami mungkin akan berkembang lebih jauh.
Tapi, aku tidak melakukan itu karena aku tahu lebih baik. Aku tahu pasangan tertentu yang jatuh cinta satu sama lain dengan cara yang sama, tetapi pada akhirnya hubungan mereka menjadi tidak dapat didamaikan.
“Umi, apa kau mau mendengar cerita tentang orang tuaku?"
"…Apa kamu yakin?"
“Iya …”
“...…”
Meskipun ini bukan cerita yang bagus untuk di dengar. Tapi, aku ingin dia tahu tentang hal ini.
"…Baiklah. Biarkan aku mendengar ceritamu, Maki…”
“Terima kasih, Umi…”
Saat itu, pada musim dingin di tahun ketiga SMP-ku.. Atau tepat ketika persahabatan Umi dengan temannya retak.
Ada sebuah masalah yang terjadi di dalam keluargaku.
|| Previous || Next Chapter ||