-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kutabire Salarymen no Ore, 7nenburi ni Saikai shita Bishoujo V1 Chapter 1

Chapter 1 - I'm Gonna Live With a High School Girl

 

Suara ketukan tombol keyboard bergema di dalam kantor yang sunyi. Di Malam awal bulan April yang mana masih terasa cukup dingin, aku sedang sibuk bekerja. Aku melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan lewat jam 20.00. Adapun karyawan yang telah menyelesaikan pekerjaannya, pulang lebih awal, dan hanya beberapa yang bekerja lembur, termasuk aku.

 

Aku menghela napas sambil mengetik source code, "Haa, akan lebih baik jika aku bisa pulang ke rumah jam sembilan malam ini."

 

"Terima kasih atas kerja kerasmu, Yuuya-kun."

 

"Uwaa!" Segera setelah mendengar suara wanita itu, sesuatu yang panas menyentuh leherku, membuat tubuhku bergetar karena tindakan yang tiba-tiba. Kemudian, aku berbalik dengan panik, dan ternyata pelakunya adalah atasanku, Tsukishiro Chizuru. Dia menyeringai jahil dengan memegang kopi kaleng di tangannya.

 

"Chi, Chizuru-san. Jangan mengejutkan aku," kataku.

 

"Fufu. Reaksimu itu bagus, lho. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodamu." Kemudian dia melanjutkannya, "Ini, ada sesuatu untukmu," katanya sambil menyodorkan sebuah kopi kaleng.

 

"Terima kasih … astaga. Harusnya Anda melakukan kejutan seperti ini dengan pacar Anda."

 

"Apa? Tidak mau?" Matanya yang sipit menjadi semakin tajam. Sial, membicarakan tentang pacar dan usia adalah hal yang terlarang bagi Chizuru-san.

 

"Yuuya-kun. Mengapa tidak ada pria idaman di sekelilingku?" tanya dia.

 

"Aku kesulitan untuk menjawabnya …. Ngomong-ngomong, seperti apa pria idaman Anda?"

 

"Pastinya, seorang pria tampan yang bisa minum lebih banyak dariku," balasnya.

 

"Spesifikasi yang seperti itu terdengar sulit."

 

Chizuru-san adalah seorang peminum yang kuat. Aku belum pernah bertemu dengan orang yang bisa minum lebih banyak dari dia. Menurutku, hari di mana dia bertemu dengan seorang pria yang lebih baik darinya masih sangatlah jauh.

 

"Hmm. Aku berharap dunia lebih baik hancur jika orang-orang tidak menganggapku menarik.”

 

Chizuru-san memuntahkan kata-kata yang mengerikan itu lalu meneguk kopinya. Sementara itu, aku juga menyesap kopiku. Chizuru-san adalah atasanku. Dia terlihat sangat memperhatikan aku dan sudah merawatku sejak aku bergabung dengan perusahaan ini. Dia memiliki rambut hitam yang indah, aura orang yang berintelektual, dan proporsi tubuh yang seperti idola gravure. Ada banyak unsur kualitas yang menarik darinya, tetapi dia tidak memiliki pacar. Mungkin karena dia seorang peminum berat dan memiliki kepribadian yang merepotkan.

 

"Ngomong-ngomong, Yuuya-kun. Dasimu timpang."

 

"Hah? Oh, maafkan aku. Aku minta maaf karena ceroboh."

Kemudian, Chizuru-san tertawa ketika melihatku buru-buru memperbaiki kembali dasiku dan berkata, "Maaf, bukan bermaksud memarahimu. Hanya saja, pastikan untuk berhati-hati saat bertemu dengan klien."

 

"Ya. Um, terima kasih untuk kopinya. Aku punya pekerjaan lain yang harus dilakukan."

 

"Oh. kamu masih bekerja? Mengapa kamu tidak pulang hari ini?"

 

"Aku inginnya pulang, tetapi aku masih harus memeriksa perkembangan anggota lainnya,” jawabku.

 

Pekerjaan SE tidak terbatas hanya pada merancang pengembangan sistem tetapi juga wajib memiliki pengelolaan jadwal tim secara keseluruhan. Tergantung pada konten dan kemajuan proyek, aku sering kali harus menindaklanjuti kegiatan programmer. Setidaknya, itulah yang aku lakukan.

 

"Kamu bekerja dengan sangat memperhatikan keadaan di sekitarmu dan itulah salah satu alasan mengapa aku sangat menghargaimu. Namun, akhir-akhir ini wajahmu terlihat cukup pucat."

 

"Wajahku … pucat?"

 

"Ya. Saat kamu masih karyawan baru, kamu memiliki wajah seorang pria muda, tetapi sekarang kamu terlalu banyak bekerja dan kelelahan. Kamu terlihat seperti seorang paman-paman yang sudah kelelahan.”

 

Aku terkejut saat Chizuru-san mengkhawatirkanku. Memang, aku cenderung memperhatikan orang-orang di sekitarku, tetapi sebaliknya diri sendiri terabaikan.

 

Apakah aku terlihat begitu lelah? Tapi, bukannya mengatakan aku seperti paman-paman itu terlalu kejam? Aku ini baru berumur 24 tahun, lho. Ketika aku merasa tertekan, Chizuru-san tersenyum dan menepuk pundakku.

"Yah, jika kamu mengalami kesulitan dalam pekerjaan, kamu bisa mengandalkan aku. Aku ini atasanmu. Sudah menjadi tugasku untuk diandalkan oleh bawahanku, kan?"

 

Kata-katanya yang baik itu menyebar dengan lembut ke dalam hatiku yang lelah. Hal seperti inilah yang membuatku sulit untuk membantah Chizuru-san. Dia adalah seorang atasan yang sangat memperhatikan bawahannya.

 

"Terima kasih banyak. Aku akan mengandalkan Anda ketika dalam kesulitan nantinya."

 

"Umu. Namun, kamu sendiri harus bisa mengubah cara kerjamu. Bukankah cara kerjamu yang sekarang ini berlebihan?"

 

“Memang benar ….”

 

"Jika kamu bekerja terlalu berlebihan hingga dirimu kelelahan, maka kamu sendiri juga yang akan rugi. Pandai-pandailah mengatur porsinya, oke?" Kemudian, Chizuru-san melambaikan tangannya dan berkata, "Kalau begitu, selamat tinggal" dan meninggalkan kantor.

 

Dia benar bahwa aku kelelahan karena bekerja. Sangat lelah baik secara fisik maupun mental sampai-sampai aku tidak memiliki energi untuk melakukan pekerjaan rumahan. Kamarku pun sangat berantakan.

 

"Selama tahun pertamaku bekerja, aku masih sering melakukan kegiatan bersih-bersih, kan?" gumamku.

 

Ini adalah tahun ketigaku bekerja di perusahaan ini. Setelah aku mulai berpartisipasi dalam proyek dan diberi tanggung jawab yang lebih besar, kerja lemburku juga meningkat. Akibatnya, tekanan dan rasa lelahku terus menumpuk hingga hari ini.

 

"Haa, bekerja … ayo kita selesaikan."

Untuk saat ini, aku akan melakukan apa yang harus kulakukan. Dengan menghabiskan kopi kalengku, aku kembali bekerja.

 

 

Pada akhirnya, aku bisa meninggalkan kantor sekitar pukul 21.00. Aku menaiki tangga apartemenku dan membuka pintu kamar 202, tempat aku tinggal.

 

"Aku pulang!"

 

Namun, tidak ada yang menyambutku di rumah. Bersamaan dengan perasaan hampa, aku meletakkan tas kerjaku di lantai. Kemudian, aku memanaskan paket makanan dari minimarket dalam microwave selama dua menit dan menyajikannya di atas meja bersama smartphone-ku.

 

"Itadakimasu … eh?" Smartphone tersebut bergetar dan aku melihat ke layar yang menampakkan kata "Haha (Ibu)" di sana.

 

"Ah, sial. Aku baru ingat dia meneleponku kemarin malam."

 

Kemarin malam, aku menyadari ada panggilan tersebut sebelum aku tidur. Niatnya, aku akan menelepon kembali saat makan siang hari ini, tetapi aku malah benar-benar melupakannya. Kemudian, aku mengangkat smartphone-ku dan mengetuk layarnya.

 

"Halo. Okaa-san, lama sudah tidak menelepon."

 

‘Lama? Mana bisa begitu. Aku meneleponmu kemarin dan kamu tidak mengangkatnya, tahu?’

 

"Maaf. Aku lupa meneleponmu kembali.”

‘Kamu menjadi malas sejak bergabung dalam dunia kerja, kan? Kamu tidak seperti ini saat masih mahasiswa. Apakah kamu kelelahan menjadi seorang pekerja?’

 

"Aku tidak menyangka bahkan Okaa-san pun akan mengkhawatirkan aku. Tapi, aku baik-baik saja. Daripada itu, ada apa?"

 

‘Oh, benar. Yuuya, kamu ingat Aoi-chan?’

 

“Aoi? Ya, tentu saja aku ingat.”

 

Mendengar namanya yang penuh nostalgia, pipiku menjadi rileks secara alami. Aoi Shiratori, seorang gadis yang delapan tahun lebih muda dariku. Dahulunya, dia tinggal di dekat lingkungan rumah orang tuaku. Aku begitu menyayanginya dan biasa merawatnya dengan baik. Terakhir kali, aku melihatnya adalah saat dia duduk di kelas tiga SD. Saat itu di bulan Maret, tepat sebelum dia akan naik ke kelas berikutnya. Kami belum pernah bertemu lagi sejak keluarga Shiratori pindah karena pekerjaan orang tuanya.

 

‘Aoi-chan, dia ingin bertemu denganmu, Yuuya. Dia akan pergi ke apartemenmu hari Ahad ini.’

 

"Aku tidak keberatan sih dengan hal itu, tetapi bukannya itu cukup mendadak? Apakah Okaa-san mengatakan ya padanya tanpa menanyakan jadwalku terlebih dahulu?"

 

‘Tidak apa-apa. Lagipula, kamu hanya nongkrong di kamar, kan?’

 

"Itu … benar, tapi—"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Memang benar bahwa aku memiliki waktu luang di hari liburku, kecuali ketika aku harus mengurusi deadline atau menangani masalah.

 

‘Aku dengar bahwa Aoi-chan telah memasuki tahun kedua SMA-nya. Aku juga terkejut saat mendengar bahwa SMA di mana dia bersekolah itu dekat dengan apartemenmu. Sungguh kebetulan, kan.’

 

"SMA? Jadi begitu. Aoi kecil itu sudah menjadi gadis SMA, ya."

 

Aoi adalah seorang gadis yang baik hati ketika dia masih kecil, tetapi dia sedikit cengeng dan kurang bersahabat. Aku teringat bagaimana aku biasa membantunya ketika dia diganggu oleh anak laki-laki atau ketika dia terjatuh sehingga lututnya tergores. Namun, dia sudah tumbuh menjadi gadis SMA. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya sekarang.

 

"Ngomong-ngomong, aku terkejut dengan obrolan yang tiba-tiba ini. Apakah Okaa-san punya sesuatu yang ingin disampaikan padaku?"

 

"Oh, aku lupa memberitahumu. Karena berhubungan dengan pekerjaan ibunya Aoi-chan … Ah, ya! Maaf, Yuuya. Ayahmu memanggilku. Aku akan menutup panggilannya sekarang. Tolong dengarkan saja detailnya langsung darinya. Dia bilang akan tiba di tempatmu sekitar jam 1 siang. Tolong, ya!"

 

"Apa? Tunggu, Okaa-san!"

 

Bip, bip, suara mekanik dapat terdengar melalui smartphone, yang menandakan bahwa panggilan kami telah terputus. Kemudian, aku meletakkan smartphone di atas meja, menyilangkan tangan dan berpikir.

 

Bukannya Okaa-san barusan mencoba memberitahuku tentang ibunya Aoi? Mungkinkah itu ada hubungannya dengan alasan mengapa Aoi datang menemuiku.

 

Menurutku, dia datang mengunjungiku untuk menyapa setelah sekian lama, tetapi mungkin ada alasan lain.

 

“Oh, astaga. Makananku sudah dingin. Itadakimasu."

Aku masih belum mengetahui alasannya. Akan tetapi, untuk sekarang, ayo makan dahulu. Seandainya ada sesuatu yang mereka butuhkan dariku, mereka pasti akan meneleponku lagi. Dengan begitu, aku lanjut menyantap paket makanan minimarket dengan tenang di ruangan yang hanya ada aku sendiri di dalamnya.

 

 

Beberapa hari telah berlalu sejak hari Ibu meneleponku.

 

Bekerja lembur saja sudah cukup berat, tetapi kemarin aku harus bekerja di hari liburku karena klien kami meminta perubahan mendadak dalam spesifikasi persyaratan. Inilah yang biasanya disebut persoalan klien. Untungnya, kami bisa terhindar dari perubahan yang serius. Namun, aku harus menyesuaikan jadwal kami karena hal itu dan harus pergi bekerja pada hari libur untuk menyelesaikan pekerjaan sebanyak mungkin.

 

Hari ini adalah hari Ahad. Perusahaan tempatku bekerja libur, tetapi Aoi akan datang berkunjung pada sore hari. Bisa dikatakan, aku tidak bisa beristirahat. Pagi ini aku bangun sebelum alarm berbunyi, supaya aku punya banyak waktu sebelum Aoi datang.

 

"Baiklah, ayo selesaikan pekerjaan rumah pada pagi ini dan bersiap-siap untuk menyambutnya."

 

Aku menggeliat di tempat tidur dan memeriksa waktu di smarthpone-ku yang menunjukkan sudah lewat jam 12.00 siang. Jam 12? Bukankah sekarang ini masih pagi?

 

"Jangan bilang … aku ketiduran!"

 

Dengan melemparkan smartphone-ku, aku bergegas bangun. Ini mustahil. Tadinya kupikir, aku sudah bangun sebelum alarm berbunyi, tetapi sepertinya aku tanpa sadar tertidur kembali. Janji temu pada pukul 1 siang. Kurang dari satu jam sebelum Aoi datang ke apartemenku. Saat aku melihat ke sekeliling kamar 2DK-ku, ruang tamu dipenuhi dengan buku-buku manga dan botol-botol plastik kosong. Dalam situasi seperti ini, akan sangat buruk untuk menyambut tamu. 

 

(TLN: 2DK maksudnya dua kamar plus dining room dan kitchen.)

 

Hal pertama yang harus kulakukan adalah membersihkan kamar. Buku-buku komik dan botol plastik harus dievakuasi ke kamar tidur. Ada satu lagi kamar bergaya barat yang lebih jarang digunakan daripada kamar tidurku, sehingga kamar itu masih tetap bersih. Meskipun akan kubereskan segera setelah Aoi pulang, aku tidak ingin membuat semuanya berantakan. Di sisi lain, jika aku menyedot debunya dan mengelapnya sekilas, seharusnya itu akan kelihatan baik-baik saja untuk saat ini. Demi berjaga-jaga, aku juga harus memeriksa keadaan toilet. Setelah selesai, aku hanya tinggal menyiapkan teh dan cemilan. Itu berarti, ada banyak pekerjaan yang harus kulakukan.

 

"Kelihatannya sangat mepet ... tapi lakukan saja, dah!" Aku buru-buru menyiapkan diri dan mulai segera membersihkan semuanya.

 

Waktu yang ditentukan akan segera tiba, tetapi Aoi belum juga sampai di apartemenku.

 

"Fiuhh ... aku berhasil menyelesaikannya dengan tepat waktu."

 

Ruanganku sudah bersih dan aku sudah membeli beberapa teh sekaligus cemilan sebelumnya. Sekarang aku bisa menyambut Aoi kapan pun dia tiba. Tatkala aku sedang menyiapkan cangkir teh dan cemilan, interkom pun berbunyi.

 

"Oh, dia sudah tiba! Ya! aku ke sana!"

Aku menuju pintu masuk dengan perasaan begitu bahagia karena bisa bertemu dengannya lagi. Ketika membukanya, ada seorang gadis yang sedang berdiri di sana. Dia mengenakan seragam sekolahnya, meskipun hari itu adalah hari Ahad. Dia mengenakan blazer di bagian atas dan rok kotak-kotak di bagian bawah, merupakan seragam yang sudah tidak asing lagi bagiku. Menurutku, itu seragam yang dipakai oleh para gadis SMA yang kutemui dalam perjalanan ke tempat kerja. Adapun wajah Aoi, sudah jauh lebih dewasa, tetapi matanya yang ramah adalah bayangan dari dirinya di masa lalu. Dia membuka matanya dan berkedip “Amae Yuuya-kun, kan?"

 

"Ya, kamu benar. Sudah lama sekali ya, Aoi."

 

"Sudah lama juga tidak berjumpa, Yuuya-kun." Aoi menyipitkan matanya dan tersenyum lembut. Meskipun senyumnya yang imut dan ramah itu sudah sedikit berubah, tetapi inilah Shiratori Aoi yang kukenal.

 

"Kamu sudah tumbuh jauh lebih tinggi, ya? Dulu kamu masih sangat kecil."

 

Aku kembali melihat postur Aoi yang sedang berdiri. Tingginya sekitar 160 sentimeter. Selain itu, wajahnya menawan. Ada bibirnya yang tebal disertai rambut cokelatnya yang cukup panjang. Ketika melihat sedikit ke bawah, aku menemukan payudaranya yang begitu besar sampai-sampai aku bisa membayangkannya bahkan saat tertutupi oleh seragamnya. Bisa dikatakan, dia telah tumbuh dalam berbagai hal.

 

"Yuuya-kun, kamu sudah tidak sama lagi seperti dulu. Bukannya kamu sedikit kurus sebagai orang dewasa?" Aoi menatap wajahku dengan cemas.

 

Memang aku kurus …, dan sering diejek seperti itu di tempat kerja. Akan tetapi, tidak kusangka kalau Aoi juga akan mengatakan hal seperti itu padaku.

 

“Bukan berarti aku jadi paman-paman, kan?"

 

Ketika aku bertanya dengan ragu-ragu, Aoi langsung menjawab.

"Fufu. Tentu saja kamu sudah jadi paman-paman. Tapi, kamu masih memiliki penampilan yang sama lembutnya."

 

Astaga. Apakah aku sudah setua itu? Ketika terkejut, seorang wanita tua muncul dari sisi Aoi. Aku tidak melihatnya karena dia tersembunyi di balik pintu, tetapi sepertinya memang ada tamu lain.

 

"Halo, Yuuya-kun."

 

"Ha … Ryoko Obaa-san?"

 

"Ya, ini Ryoko Obaa-san. Ehh, Yuuya-kun, kamu sudah menjadi pria yang tampan, ya.”

 

"A-Aku, tampan?"

 

“Benar, tahu. Kamu sangat keren malah. Syukurlah ya, Aoi. Yuuya-kun masih menjadi Onii-san-mu yang keren.”

 

"O-Okaa-san! Jangan mengatakan hal-hal yang tidak perlu!" Aoi tersipu malu dan menepuk pundak Bibi Ryoko.

 

Bibi Ryoko adalah ibu dari Aoi. Sedangkan Ayah Aoi sudah meninggal dunia. Dia meninggal karena penyakit ketika Aoi sendiri masih bayi. Sejak saat itu, Bibi Ryoko membesarkannya seorang diri. Namun bukan itu intinya. Mengapa Bibi Ryoko ada di sini? Agak aneh jika orang tua dan anak datang jauh-jauh ke sini untuk berkunjung. Aku merasa, mereka tidak hanya akan datang berkunjung hari ini.

 

Yah, ini tidak seperti kami hanya berdiri dan mengobrol. Aku akan menanyakan apa tujuan mereka saat di dalam. "Silakan masuk. Meski ruangannya kecil, kuharap kalian bisa bersantai.”

 

“Terima kasih, Yuuya-kun. Aoi, jangan lupa untuk mengatakan, ‘maaf sudah mengganggu’."

 

“Jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Hal itu sudah menjadi norma sehari-hari.”

 

“Ara Ara. Masa pemberontakan, ya.”

 

“Mouu! Okaa-san!" Aoi menggembungkan pipinya dan marah kepada Bibi Ryoko.

 

Pemandangan nostalgia yang biasa aku lihat di masa lalu, membuat pipiku tanpa sadar tersenyum.

 

"Ahaha. Aku tidak punya apa-apa, tapi setidaknya aku bisa menawarkan kalian teh." Aku mengundang mereka masuk ke ruanganku.

 

Mereka duduk terlebih dahulu sedangkan aku pergi ke dapur untuk membuat teh. Earl Grey-Darjeeling—teh dengan rasa favorit Aoi. Kemudian, aku membawa cangkir teh dan menaruhnya di atas meja. Aku duduk di seberang mereka yang duduk berdampingan.

 

Aoi memegang cangkirnya dan menghirup napas panjang. "Aroma jeruk yang menyegarkan … Yuuya-kun, teh ini ….”

 

"Ya. Ini adalah teh dengan merek favorit Aoi, kan?"

 

"Benar. kamu ingat, ya?" Di samping Aoi yang tersenyum bahagia, Bibi Ryoko tersenyum dan berkata, "Ara ara. Kamu beruntung ya, Aoi. Kamu sangat disayang, dah."

 

"Tolong diam sebentar, Okaa-san."

 

"Ara-ara, kamu terlihat sangat menakutkan. Rupanya kamu benar-benar dalam masa pemberontakan.”

 

“Ini salahnya Okaa-san!”

 

Grrr, Aoi menggeram dan memelototi Bibi Ryoko. Masa pemberontakan? Aku merasa itu karena Bibi Ryoko yang terlalu sering menggodanya. Kemudian, Bibi Ryoko dengan santai menanggapi Aoi dengan "Ara-Ara" dan memalingkan wajahnya ke arahku.

 

"Ngomong-ngomong, Yuuya-kun. Aku dengar kamu sibuk dengan pekerjaanmu. Okaa-san-mu yang mengatakannya padaku. Dia bilang kamu bekerja lembur setiap hari. Karena itu, terima kasih telah meluangkan waktu untuk kami."

 

"Tidak masalah. Aku juga ingin bertemu Aoi. Um, apakah kalian datang ke sini hari ini karena ada sesuatu?" tanyaku.

 

"Iya, Okaa-san-mu tidak memberitahu apa-apa?"

 

"Ya. Dia hanya mengatakan bahwa Aoi akan mengunjungi tempat tinggalku.”

 

"Ara ara. Berarti ini kejutan, ya. Maaf, aku menghampirimu dengan sangat mendadak.”

 

“Tidak perlu meminta maaf. Aku juga senang melihat Ryoko Obaa-san. Tapi, karena Obaa-san berada di sini bersama putrimu, menurutku kalian mungkin punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan."

 

"Benar. Aku datang ke sini hari ini untuk membicarakan sesuatu dengan Yuuya-kun." Wajah Bibi Ryoko yang tersenyum berubah menjadi serius. Aku merasakan suasana yang tidak biasa sehingga membuatku gugup.

 

"Okaa-san. Biarkan aku yang menjelaskannya." Aoi berkata sebelum Bibi Ryoko sempat berbicara.

 

"Umm, dengan kata lain, apakah ada sesuatu yang ingin Aoi bicarakan?”

 

"Ya. Ini tentang masa depanku."

 

Tentang masa depannya? Kedengarannya seperti topik yang cukup berat. Ini tidak terdengar seperti ungkapan "tolong berteman denganku lagi seperti dulu".

 

"Aku mengerti. Jika itu adalah hal yang bisa kulakukan, maka aku akan membantu Aoi. Bicaralah padaku, oke?" Aku berkata sambil tersenyum agar Aoi bisa sedikit rileks dan berbicara denganku. Di sisi lain, Aoi yang entah kenapa pipinya memerah, meremas ujung roknya dan membuka mulutnya.

 

"Bolehkah aku hidup bersamamu atas dasar pernikahan?"

 

Pada saat itu, aku merasa seakan-akan waktu berhenti dengan bunyi klik. Aku yakin tidak salah dengar. Aoi dengan jelas mengatakan, "Hidup bersamaku atas dasar pernikahan".

"T-Tunggu sebentar! Apa yang mendadak kamu katakan?"

 

"Ini bukan sesuatu yang mendadak. Selama tujuh tahun, aku telah menunggumu."

 

“Tujuh tahun ...?”

 

“Ya. Tujuh tahun yang lalu, sejak hari kita bertunangan, dan tahun-tahun itu telah berlalu.”

 

"Bertunangan?"

 

Tujuh tahun yang lalu, saat itu aku masih duduk di bangku SMA dan Aoi masih duduk di bangku sekolah dasar. Apa yang aku lakukan ketika bertunangan dengan seorang anak kecil, saat itu? Kurasa, aku tidak punya kelainan yang seperti itu. Tidak mungkin, aku sangat panik sekarang. Terlalu cepat bagiku untuk mengikuti ceritanya. Hidup bersama? Pertunangan? Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan.

 

"Mungkinkah kamu … melupakan pertunangan itu?" Aoi bertanya dengan wajah sedih.

 

Tidak ada yang aku lupakan, dan aku tidak pernah bertunangan dengan seorang siswa SD. Tidak, Bibi Ryoko bahkan sampai ikut datang bersamanya. Mungkinkah kami benar-benar bertunangan. Akan tetapi, akan lebih baik jika mendengarkan cerita Aoi terlebih dahulu dan membuat keputusannya kemudian.

 

"Maaf. Aku tidak begitu ingat masa-masa itu. Apakah aku yang memintamu untuk menikah denganku?" Aku bertanya.

 

"Tidak. Akulah yang memintamu untuk menikah denganku.”

 

"Kalau begitu, apa yang aku jawab?" balasku.

"Kamu dengan tersenyum menjawab, 'Jika kamu masih mencintaiku saat kamu besar nanti, maka aku akan menikahimu'.”

 

Sungguh jawaban yang memalukan. Bahkan dalam manga romansa saat ini, omong kosong itu bahkan tidak ada.

 

“Maaf, Aoi. Bisakah kamu menceritakan lebih detail tentang waktu itu?"

 

"Oke. Aku pindah ketika berusia sembilan tahun, kamu ingat?"

 

"Ya, ketika aku berusia 17 tahun. Aoi pindah karena pekerjaan Bibi Ryoko, kan?"

 

"Ya. Apakah kamu ingat hari ketika kita mengucapkan salam perpisahan?"

 

"Salam perpisahan …?”

 

Tujuh tahun yang lalu … itu sudah lama sekali. Biarkan aku mencoba mengingatnya dengan benar, peristiwa demi peristiwanya. Aku berusaha mengulang kembali kenangan hari itu di dalam benakku.

 

 

Terakhir kali kami berbicara adalah pada hari Aoi pindah rumah, tepat sebelum dia masuk ke dalam mobil. Saat itu, musim semi di akhir Maret, pada hari yang berangin. Aku ingat bunga sakura mekar di awal tahun itu. Bunga sakura yang bertebaran, terserak ke langit biru jernih yang dibawa oleh angin musim semi. Bibi Ryoko sudah masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, sedangkan aku dan Aoi saling mengucapkan salam perpisahan.

 

"Eggu … hikksu ….”

 

"Aoi. Jangan menangis, oke? Bukan berarti kita tidak akan pernah bertemu lagi, kan?"

 

"Tetapi kita tidak bisa bermain dengan bebas lagi. Aku akan kesepian …."

 

"Aku juga akan kesepian. Tapi, jika melihat wajah Aoi yang menangis, aku akan merasa semakin kesepian. Itulah mengapa—"

 

"Ya. Aku tidak akan menangis lagi. Aku tidak ingin merepotkan Yuuya-kun."

 

"Kamu kuat, Aoi. Luar biasa, hebat."

 

Aku sebisa mungkin tersenyum lembut dan dengan pelan mengusap kepala Aoi. Aku sangat menyayanginya. Aku juga merasa sedih, tetapi aku ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya dengan senyuman. Karena aku tidak ingin hari ini menjadi kenangan yang menyedihkan.

 

"Aoi, kamu sudah harus pergi. Ryoko Obaa-san sedang menunggumu, lho."

 

"Ya. Satu hal lagi, bolehkah aku meminta sesuatu yang egois?"

 

"Tentu. Tapi, apa maksudmu yang ‘egois’?

 

"Itu … A-Aku menyukaimu, Yuuya-kun. Menikahlah denganku!"

 

Wajah Aoi memerah dan dia mengatakannya dengan mata terpejam. Ini adalah percakapan antara seorang siswa SMA yang berusia 17 tahun dan seorang siswa SD yang berusia 9 tahun. Terlalu lucu untuk dikatakan sebagai sebuah lamaran sekali seumur hidup. Namun, aku ingin meyakinkan Aoi sambil mengusap kepalanya untuk terakhir kali. Kemudian aku berkata, "Terima kasih telah memberitahuku tentang bagaimana perasaanmu. Kalau begitu, jika kamu masih mencintaiku bahkan ketika kamu sudah besar kelak, maka kita akan menikah."

 

Aoi akan melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMP dan SMA. Dalam prosesnya, dia akan bertemu dengan seseorang yang jauh lebih baik dariku. Cinta yang dia miliki untukku itu akan terukir di halaman albumnya sebagai kenangan cinta pertamanya. Itulah sebabnya, ungkapan cintanya yang penuh akan rasa bahagia bercampur melankolis itu akan terlupakan suatu hari nanti—begitulah yang kupikirkan saat itu.

 

Aoi terkejut dan memandangku dengan wajah tertunduk.

 

"S-Serius?"

 

"Ya. Aku berjanji."

 

Pada saat itu, mata Aoi yang besar berbinar dengan penuh tekad.

 

"Aku akan menunggu … sampai aku menjadi gadis SMA! Sampai saat itu tiba, aku akan berusaha keras untuk menjadi istri yang cantik, siap melakukan pekerjaan rumah tangga, dan pastinya menakjubkan!"

 

"Aku mengerti … aku menantikan hari di mana aku bertemu lagi dengan Aoi yang sudah dewasa."

 

"Ya! Yuuya-kun, jaga dirimu juga!"

 

Aoi mengucapkan selamat tinggal sambil tersenyum dengan air matanya yang sudah mengering. Mobil yang ditumpangi Aoi pun melaju perlahan. Sampai tidak bisa melihat mobil itu lagi, aku terus melambaikan tangan.

 

 

Aku memegangi kepalaku sambil mengingat semuanya.

 

"Aku yang dulu, mengatakan sesuatu yang sungguh tidak masuk akal ….”

 

Apa-apaan, "Jika kamu masih mencintaiku kelak, maka kita akan menikah"? Hanya pria tampan yang boleh mengatakan itu.

 

Aku dulu adalah orang yang bisa dengan santainya mengatakan hal-hal memalukan seperti itu. Entah aku memang tampan atau tidak, tetapi Amae Yuuya di masa sekolah dulu adalah seorang lelaki yang berkilauan, tidak seperti aku yang sekarang. Namun, tetap saja … janji itu, dia mengingatnya selama ini? Sejujurnya aku senang bahwa dia masih sangat mencintaiku seperti yang dia lakukan sekarang, tetapi aku juga merasa bersalah karena benar-benar melupakan pengakuan cintanya itu.

 

"Yuuya-kun. Apakah kamu ingat janji pernikahan kita?"

 

"Ya. Aku benar-benar minta maaf karena melupakannya."

 

"Tidak masalah kalau kamu melupakannya. Lagi pula, itu sudah lama sekali.”

 

“Perasaan Aoi masih belum berubah, kan?"

 

"Itu … ya. Aku menyukai Yuuya-kun. Jangan membuatku mengatakan sesuatu yang memalukan. Baka!"

 

Aoi berkata demikian dengan telinganya yang memerah. Wajahnya bahkan lebih merah. Sepertinya akan ada uap yang keluar dari bagian atas kepalanya. Sulit untuk tidak merasa senang dipuja-puja oleh seorang gadis yang begitu cantik. Namun, aku tidak menanggapi pengakuan Aoi secara serius pada waktu itu. Kupikir, itu adalah cinta pertama yang samar bagi seorang anak dan secara alami akan terlupakan seiring berjalannya waktu. Di sisi lain, aku sebenarnya merasa kesulitan ketika dia ingin hidup bersamaku dengan membawa-bawa cerita lama itu.

 

"Aku mengerti apa yang dirasakan Aoi. Tapi, hidup bersama secara tiba-tiba itu sedikit—"

 

“Yuuya-kun. Tentang hal itu, aku yang akan menjelaskannya. Ini terkait dengan pekerjaan," Bibi Ryoko yang tadinya hanya mendengarkan dengan tenang, ikut bergabung dalam percakapan.

"Dalam pekerjaanku saat ini, aku sering dipindah-pindahkan. Beberapa hari yang lalu, aku dipindahkan lagi,” lanjutnya.

 

"Oh, begitu. Obaa-san mau dipindahkan ke mana?"

 

"Australia."

 

Australia? Aku tidak menyangka bahwa dia akan dipindahkan ke luar negeri. Ini bukan jarak yang mudah untuk ditempuh dari Jepang.

 

“Yuuya-kun. Kamu tahu seperti apa Australia itu?”

 

"Aku tidak terlalu tahu sih, tetapi aku membayangkannya sebagai tempat yang memiliki hamparan alam yang luar biasa, seperti Ayers Rock dan terumbu karang yang indah. Tempat ini juga terkenal dengan koalanya dan … hutan eukaliptusnya juga, kan?"

 

"Kamu tahu banyak, ya. Aku sendiri tidak tahu apa-apa selain koalanya.”

 

"Menurutku, Ryoko Obaa-san setidaknya harus mengetahuinya sih … tapi, yah apa boleh buat jika kamu tidak mengetahuinya."

 

"Benarkan? Kamu tahu, aku merasa menyesal membawa Aoi ke negara asing yang begitu jauh. Tetapi, meninggalkan Aoi dan pergi sendiri ke luar negeri juga tidak membuatku tenang, tahu? Suamiku sudah meninggal dunia dan aku tidak punya kerabat yang bisa diandalkan. Jadi aku harus membiarkan Aoi hidup sendiri. Tetapi, sebagai orang tua, jelas aku mengkhawatirkannya."

 

Bibi Ryoko menatap Aoi dengan penuh kasih sayang dan bergumam, "Karena, dia adalah satu-satunya putriku yang berharga."

 

Oh, begitu. Aku mengerti apa yang dia maksud. Perasaan Bibi Ryoko "Aku tidak ingin Aoi sendirian" dan perasaan Aoi "Aku masih mencintai Yuuya-kun". Kesimpulan yang mempertimbangkan perasaan mereka berdua adalah "Aku dan Aoi hidup bersama".

 

Aku ingin membantu Aoi semampuku. Namun, hidup bersama masih merupakan rintangan yang terlalu tinggi. Pertama-tama, tidakkah sebagai orang tua merasa khawatir untuk meninggalkan putri satu-satunya dalam perawatan seorang pria dewasa? Ketika aku sedang memikirkan hal itu, Bibi Ryoko terus berbicara seolah-olah dia telah membaca pikiranku.

 

"Kurasa, aku bisa mempercayakan Aoi padamu, Yuuya-kun."

 

"Serius? Aku tidak menyangka bahwa Obaa-san punya kepercayaan sebesar itu padaku.”

 

"Yuuya-kun sudah lama merawat Aoi, kan? Aku tahu siapa kamu saat itu, jadi aku bisa mempercayakannya padamu dengan tenang. Yuuya-kun yang baik hati dan penuh perhatian tidak akan pernah melakukan apapun untuk menyakiti Aoi. Penilaianku tidaklah salah."

 

"Tapi seorang pria yang sudah bekerja berbagi tempat tinggal dengan seorang gadis SMA? Menurutku, bakalan ada banyak masalah.”

 

"Maka, itu tidak akan menjadi masalah dalam pandangan masyarakat jika kamu mengatakan bahwa kamu bertunangan dengannya! Sebagai Obaa-san, aku mendukung cinta kalian berdua!"

 

Di samping Bibi Ryoko yang bernapas dengan tidak teratur, ada Aoi yang berkata dengan malu-malu, "Okaa-san, berhenti." Sedangkan aku, hanya bisa tersenyum padanya dan tertawa, "Ha-ha-ha".

 

"Yah, aku hanya setengah bercanda tentang pertunangan itu, Yuuya-kun. Untuk saat ini, aku tidak keberatan jika kamu menjadi walinya. Aku ingin kamu merawat anak ini."

 

“Sebagai wali?”

 

"Anak ini pandai memasak dan mampu mengurus pekerjaan rumah dengan baik, dia juga anak yang kuat. Aku merasa dia bakal mampu hidup sendiri. Tapi aku masih khawatir. Dia adalah anak tunggal dari seorang ibu tunggal, jadi bisa dikatakan dia adalah gadis yang manja dan sering kesepian. Sebagai orang tua, aku tidak ingin putriku yang cantik ini kesepian."

 

Aku bisa memahami perasaannya. Dahulu, ketika Bibi Ryoko pulang terlambat, Aoi menangis karena kesepian. Aku ingat saat itu Aoi selalu menempel padaku dan ingin dimanjakan.

 

"Selain itu, gadis ini sangat antusias, mengatakan ‘Aku akan belajar memasak, dan impianku adalah dipuji oleh Yuuya-kun suatu hari nanti'. Sejak saat itu, dia telah berlatih untuk menjadi seorang pengantin. Dia sangat bersemangat, kan?"

 

"O-Okaa-san! Bukankah sudah kubilang kalau itu rahasia!”

 

"Jangan malu-malu. Kamu juga mengatakan ‘Aku harus bisa mengurus kebutuhan pribadi Yuuya-kun!’ dan berinisiatif melakukan pekerjaan rumah tangga."

 

"Mouu! Jangan katakan apa-apa lagi!"

 

Mataku berpapasan dengan mata Aoi saat dia sedang menepuk pundak Bibi Ryoko. Dia merasa malu dan mulai berbicara, "Um … aku akan melakukan yang terbaik untuk melayanimu, jadi kumohon biarkan aku berada di sisi Yuuya-kun. Apakah tidak boleh? Aku akan sangat senang jika bisa hidup bersamamu."

 

Aoi mengatakan hal ini dengan tatapan mata yang memelas dan gelisah. Ketika dia bercerita tentang janji pernikahan kami yang lama dan hidup bersama, aku sempat kebingungan memikirkan apa yang harus dilakukan. Namun, jika aku merawat Aoi sebagai walinya, itu adalah cerita yang berbeda. Jika aku bisa menghilangkan rasa kesepiannya, maka aku ingin berada di sisinya sebagai wali. Karena, aku merasa dia masih membutuhkan seseorang untuk mendampinginya.

 

"Baiklah. Aku akan menjaga Aoi sebagai wali. Aoi, mari kita hidup bersama."

 

"Ini serius?”

 

"Ya. Aku akan menjagamu mulai sekarang.”

 

"S-Syukurlah! Terima kasih banyak.” Aoi tersenyum lega. Meskipun dia sudah menjadi seorang gadis SMA, senyum ramahnya tidak pernah berubah. Bibi Ryoko yang berada di sebelahnya juga terlihat lega.

 

"Terima kasih banyak, Yuuya-kun. Karena sudah mau menerima permintaanku yang tiba-tiba ini."

 

"Tidak. Kurasa aku memang harus melindungi Aoi setelah mendengar apa yang Obaa-san katakan.”

 

"Ara ara~. Kamu sangat keren, dah. Layaknya seorang ksatria yang melindungi tuan putrinya. Aku mendukungmu!”

 

"Hah? Oh, tidak. Maksudku, aku ingin melindungi Aoi sebagai seorang wali, bukan seperti yang dibayangkan oleh Ryoko Obaa-san.”

 

"Uh-huh. Aku tahu. Kalian berdua, hiduplah bersama dengan baik, oke?" Bibi Ryoko tersenyum sambil mengatakan itu … sebenarnya, dia sama sekali tidak memahaminya, kan?

 

"Okaa-san. Tolong jangan katakan hal-hal aneh kepada orang yang akan merawatku mulai sekarang,” Aoi memprotes dengan cemberut. Pipinya yang seputih salju berubah menjadi kemerahan.

"Oh? Ini bukan kisah yang buruk bagi Aoi, kan?"

 

"Itu … pokoknya ini masalah orang yang bersangkutan! Okaa-san cukup mengawasi saja!"

 

Berbeda dengan nada marah Aoi, Bibi Ryoko justru mengatakan, "Dia sedang berada di tengah-tengah masa pemberontakannya". Ini adalah adegan yang lucu, menunjukkan betapa akrabnya mereka.

 

"Um, Yuuya-kun. Mohon kerjasamanya mulai sekarang," kata Aoi.

 

"Aku juga, tolong, ya. Aku juga sangat menantikan masakan Aoi.”

 

"Tolong jangan ikut-ikutan mengolok-olok aku, Yuuya-kun. Aku akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi harapanmu." Aoi terkikik dan tertawa bahagia. Mulai sekarang, aku harus melindungi senyum polos ini.

 

"Syukurlah. Sekarang aku bisa pergi ke Australia dengan tenang. Ini berkat Yuuya-kun."

 

"Tidak juga. Aku tidak bisa meninggalkan Aoi sendirian.”

 

"Ufufu. Seperti yang diharapkan dari Yuuya-kun, kamu sangat bisa diandalkan. Aku menemukan sebuah restoran barat yang bagus di sekitar sini. Ingin makan malam di sana malam ini? Ini akan menjadi perayaan atas kehidupan kalian bersama."

 

"Oh, bagus sekali. Aku juga punya banyak hal untuk dibicarakan, tentang hal-hal baru, ataupun kenangan lama."

 

"Ya, itu benar. Aoi juga ingin mendengar ceritanya Yuuya-kun, kan?"

 

"Ya. Aku penasaran dengan apa yang Yuuya-kun kerjakan.”

 

"Oh, begitu. Bukankah aku sudah pernah bilang? Tahukah kamu apa kepanjangan dari SE? Singkatan dari System Engineering.”

 

Hingga tiba waktunya makan malam, kami mengobrolkan tentang apa yang telah kami lakukan.

 

TL: Zho (YouthTL)  

 

Prev Chapter || ToC || Next Chapter 

Post a Comment

Post a Comment

close