-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kutabire Salarymen no Ore, 7nenburi ni Saikai shita Bishoujo V1 Chapter 2

Chapter 2 - A Sweet Life with a Reserved, Caring Girl

 

Beberapa hari telah berlalu sejak Aoi dan Bibi Ryoko datang ke apartemenku. Mulai Sabtu pekan ini, aku dan Aoi akan secara resmi hidup bersama, yang ditandai dengan pindahnya Aoi ke apartemenku. Masa depan itulah yang kupikirkan saat sedang mengerjakan dokumen desain di meja kerjaku.

Bibi Ryoko khawatir dengan kepribadian Aoi yang manja dan sering merasa kesepian. Sebagai seorang wali, aku harus selalu ada untuknya sebisa mungkin. Oleh karena itu, aku ingin mengamankan waktu untuk kami berdua, tetapi itu cukup sulit dengan kehidupanku saat ini yang selalu bekerja lembur. Belum lagi, aku pulang larut malam setiap hari dan di akhir pekan aku sulit untuk bangun karena kelelahan. Hal ini jelas membatasi waktu yang bisa aku habiskan bersamanya. Hal yang terpenting sekarang, aku harus mengurangi waktu lemburku.

Ngomong-ngomong, ketika aku pernah mengeluh kepada Chizuru-san, dia menyarankan aku untuk mengubah cara kerjaku. Dengan dasar itu, aku harus mencoba meningkatkan performaku. Seandainya jam lemburku berkurang, maka aku dapat menghabiskan lebih banyak waktu dengan Aoi dan kehidupan pribadiku akan menjadi lebih baik. Sebagai walinya, aku seharusnya bisa bertindak lebih banyak.

"Untuk melakukan itu, aku harus mengubah caraku berkerja dan jatah waktu di rumah.”

"Oya. Kamu terlihat sangat termotivasi hari ini, Yuuya-kun."

Chizuru-san, yang duduk di sebelahku, memanggilku. Saat aku berhenti menekan keyboard dan memalingkan wajahku ke arahnya, aku berkata, "Ha- ha. Apakah aku terlihat begitu termotivasi?"

"Aku dapat mengetahuinya, kamu dengan jelas mengatakan sebelumnya bahwa kamu mau mengubah cara kerjamu."

"Ah, … a-apa benar begitu?"

"Ngomong-ngomong—sejak kapan kamu punya keluarga?" tanya dia.

“Hah?" Pertanyaannya yang menyentuh inti masalah membuat jantungku berdebar.

Aku belum memberitahu kepada siapapun bahwa aku akan hidup bersama Aoi. Lalu, bagaimana Chizuru-san bisa tahu tentang hal itu?

"K-Keluarga? Apa yang Anda bicarakan?"

"Kalau tidak salah, kamu mengatakan ‘rumah’ tadi selain 'pekerjaan', kan?"

Sial. Apakah dia mendengarku berbicara sendiri tadi?

"Tidak, bukan begitu. Ini bukan tentang keluarga. Aku mengatakan tentang 'proses kerja'. Aku berpikir bahwa aku perlu mengevaluasi prosesnya."

"Oh, begitu. Oh, ya. Aku sempat berpikir bahwa kamu pasti punya pacar yang sangat sayang padamu."

Aku hampir saja terhenti. Tidak, bukan itu. Aku hanya hidup bersama Aoi sebagai wali.

"Astaga. Chizuru-san ... kamu mengatakan hal-hal yang aneh. Aku tidak punya pacar, sih."

"Kamu tidak punya? Kamu orang yang baik dan juga tampan, lho. Aku sungguh berpikir kalau kamu bakalan punya satu atau dua pacar.”

"Bukan baik namanya jika punya dua pacar…. Jika Anda bilangnya begitu, maka Chizuru-san juga cantik, dan tidak mengherankan kalau Anda punya pacar."

“Hah? Apa?” Emosi tanpa kehidupan terpancar di mata Chizuru-san. Tidak, aku lupa bahwa dia sangat sensitif.

"Aaah, aku ingin pacar … dan aku ingin pacarku seseorang yang memprogram software dengan gentle …,” lanjutnya.

"Tidak, aku tidak paham maksudmu. Kamu ingin pacar seorang programmer?" tanyaku.

"Tidak! Maksudku, kita harus membuat syarat percintaan bersama!"

“Aku bahkan tidak tahu apa maksudmu itu!"

Syarat percintaan? Pengunaan kata-katanya sudah kuno, Era Showa.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Lagipula, aku adalah wanita menyedihkan dengan cacat serius dalam desain dasarnya. … Tidak ada pangeran yang akan mengulas konstruksinya.”

(TLN: Dia membandingkan hidupnya dengan pemrograman software.)

Sambil mengutuk dirinya sendiri, Chizuru-san melanjutkan pekerjaannya. Ucapannya masih tidak jelas sampai akhir, tetapi menurutku dia mungkin sedang merajuk.

Fiuh … untung saja aku berhasil mengelak dari hal yang sensitif baginya, tetapi akan merepotkan jika aku ketahuan bahwa hidup bersama seorang gadis SMA. Aku harus menghindari membuat komentar yang ceroboh di tempat kerja. Lalu, aku melihat jam dinding yang sekarang sudah pukul 20:00 dan di luar jendela pun sudah kelihatan gelap.

Hari ini aku bekerja lembur lagi, kan? Jika aku hidup bersama Aoi, aku tidak akan bisa pulang larut malam seperti ini setiap hari. Aku harus mengambil tindakan pencegahan yang tepat.

"Aah … pulang ke rumah!"

Dengan menghela napas, aku kembali fokus menghadap monitor untuk lanjut mengetik.
 
 

Ding-dong. Ding-dong. Interkom di apartemenku berdering beberapa kali. Kesadaranku yang terlelap berangsur-angsur terbangun.

"Hmm jam berapa sekarang?"

Aku mengangkat smartphone-ku yang waktunya sudah menunjukkan pukul 12:00. Tidak. Meskipun ini hari Sabtu dan aku tidak bekerja, kenyataannya aku sudah terlambat bangun. Itulah yang menggambarkan betapa lelahnya aku.

Ding-dong ding-dong ding-dong. Interkom terus berdering di dalam ruangan, mengganggu pikiranku.

"Dia benar-benar menghantamku dengan menekannya terus-menerus, ya ….”

Aku bergegas turun dari tempat tidur untuk menuju pintu depan sambil mengucek-ngucek mata yang masih mengantuk. "Oke. Aku ke sana."

Ketika membuka pintu, ada Aoi yang berdiri di sana dengan pakaia kasualnya.

"Halo, Yuuya-kun."
 
"Halo, hah?"

"Kenapa kamu mengenakan pakaian tidur? Kamu tidak lupa, kan?" Aoi menatapku dengan tatapan tegas.

Ya, aku akan hidup bersama Aoi mulai hari ini. Kemudian, aku ingat barang- barang pindahannya seharusnya akan sampai tepat waktu.

"Aku tidak lupa. Kita sudah berjanji untuk membersihkan kamar bersama- sama sebelum barang-barang Aoi tiba."

"Tapi kamu sepertinya baru bangun dari tidur."

"Ugh ….”

"Mouu. Kamu berantakan, dah. Tolong, bersihkan dirimu dulu."

"Maaf ….”

Orang dewasa yang sudah bekerja macam apa yang diceramahi oleh anak berusia enam belas tahun? Begitu menyedihkan.

“Yuuya-kun tolong cuci mukamu dulu. Lalu gosok gigimu dan jika memungkinkan rapikan juga rambut baru bangun tidurmu itu. Untuk pakaian… karena kamu akan membantuku bersih-bersih dan membongkar barang, tolong kenakan saja pakaian yang nyaman dan tidak keberatan jika kotor.”

"O-Okelah. Aku akan memastikan diriku siap. Untuk sekarang, masuklah dulu."

Aku memutuskan pembicaraan dan mencoba mengundang Aoi masuk ke dalam ruangan karena sangat memalukan disuruh bersiap-siap oleh seorang gadis SMA di depan ruang apartemenku.

"Oke. Maaf telah mengganggumu."

"’Maaf telah mengganggu?’ Ini adalah tempat tinggalnya Aoi juga mulai hari ini, lho? Kamu tidak perlu begitu formal."

Ini bukan lagi sekadar tempat tinggalku. Ini sudah menjadi tempat tinggal kami bersama. Menurutku, kata-kata "Maaf mengganggu," seperti itu akan terasa aneh. Namun, Aoi justru menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak. Aku minta maaf atas masalah yang kamu alami karena telah memaksamu untuk terlibat dalam kasus ini." Lalu, dia dengan hormat menundukkan kepalanya.

Tidak masalah kalau dia mau bersikap penuh etika dan sopan, tetapi apa yang dia lakukan itu kelihatan begitu kaku. Apalagi, karena kami teman masa kecil seharusnya dia bisa bersikap lebih santai seperti dahulu.

"Aoi. Jangan ragu untuk memanjakan dirimu, oke?"

"M-Memanjakan diri? Aku tidak akan melakukan hal kekanak-kanakan seperti itu.” Aoi berpaling.

Hmm, dia sangat keras kepala. Kuharap, dia mau membuka hatinya kepadaku sedikit demi sedikit.

"Baiklah, permisi."

Aoi memasuki ambang pintu dan melepas sepatu pump hitam yang memiliki pita di bagian belakangnya. Selain itu, dia mengenakan kemeja bergaris hitam-putih dan mengenakan celana denim sebagai bawahannya. Lalu, di tangannya ada sebuah tas jinjing berwarna krem. Bisa dibilang, pakaiannya sederhana dan mudah untuk bergerak. Ketika kami bertemu sebelumnya, dia hanya mengenakan seragam sekolahnya. Maka, ini adalah pertama kalinya aku melihatnya mengenakan pakaian harian sejak kami bertemu lagi, yang mana terlihat sedikit lebih dewasa.

Saat aku mengaguminya, mataku berpapasan dengan matanya sehingga dia bertanya, “Ada apa?"

"Ah, bukan apa-apa. Aku cuma berpikir bahwa kamu kelihatan dewasa saat mengenakan pakaian harianmu.”

"B-Begitu, ya? Terima kasih."

"Kamu terlihat cantik, sangat cantik malah."

“P-Pujianmu itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Daripada itu, ada kotoran di matamu. Jadi, penglihatanmu bisa saja salah, kan?" Aoi tersipu malu sambil mengatakan lelucon dan masuk ke dalam apartemenku.

"Aku memujinya, tetapi dia malah marah kepadaku. Sepertinya, anak seumuran dia sedang sulit-sulitnya, ya?" gumamku.

Pokoknya, aku harus mencuci muka dahulu agar terasa segar. Tiba-tiba, aku mendengar suara dari ruang apartemenku saat dalam perjalanan menuju kamar mandi.

"Mmm Mmm Mmmm."

Itu adalah Aoi yang sedang bersenandung dan suasana hatinya seperti sedang bahagia. Mungkinkah karena dia senang dipuji tentang pakaian hariannya itu?

"Ha-ha. Dia tidak jujur."
 
Meskipun sudah dewasa, dia masih memiliki sisi imutnya yang sama seperti anak seusianya. Sembari memikirkan hal itu, aku mencuci muka dengan air keran yang dingin.



Aku kembali ke ruangan setelah selesai mempersiapkan diri. Di sana, ada Aoi yang sudah mulai mempersiapkan diri untuk melakukan bersih-bersih, dengan kantong sampah, tali plastik dan gunting berwarna merah muda tergeletak di lantai.

"Yuuya-kun. Mengapa ruang tamu begitu berantakan?” Aoi berkata dengan jijik.

Ughh … kena aku. Ketika Aoi datang sebelumnya, aku menyembunyikan barang-barang yang berantakan di kamar tidur untuk mengelabuinya. Namun sekarang, ruang tamu sudah kembali dipenuhi dengan buku-buku komik dan botol-botol plastik kosong. Tidak heran jika Aoi mengeluhkan hal ini.

"Maaf. Aku belum pernah membersihkan ruangannya sejak hari itu.”

"Meski begitu, ruanganmu terlalu berantakan. Mouuu. Kamu harus merawatnya dengan benar, kan?” kata Aoi sambil menggembungkan pipinya.

Oh tidak ... dia mengomeliku lagi.

"Sungguh menyedihkan … Tapi, terima kasih telah menyiapkan peralatan bersih-bersihnya,” balasku.

"Tidak, tidak apa-apa. Ini adalah ruangan yang akan kurawat mulai sekarang,… jadi mari kita bersihkan sampah-sampahnya terlebih dahulu. Kita pisahkan menjadi sampah umum, sampah plastik, botol PET, dan kertas. aku sudah menyiapkan kantong sampah dan sebagainya."

"Oke." Aku memungut botol-botol plastik yang ada di sekitarnya. "Yuuya-kun. Label dan tutupnya….”

"Aku tahu. Kita akan membuka dan memilahnya sebagai sampah plastik, kan?"

"Rupanya kamu sudah tahu, ya? Anak baik, anak baik.” “Aku … anak yang baik?”

“Fufu. Ketika kamu mengatakannya seperti itu, maka ini jelas seperti kamarnya anak-anak.”

Sementara digoda oleh Aoi, aku membawa botol plastik itu ke dapur. Lalu, aku membersihkannya sekilas, memisahkan label dan tutupnya, dan membuangnya ke dalam kantong sampah. Sambil bekerja, aku melirik ke arah Aoi. Dia dengan cepat memilah sampah dan membuangnya. Dari fakta bahwa dia tanpa ragu-ragu memisahkan sampah, mudah ditebak kalau dia sudah biasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Manga yang berserakan di lantai dimasukkan ke dalam rak buku dengan nomor volume yang sama persis dengan jumlah jilidnya. Majalah lain yang tidak diperlukan, diikat dengan tali, sehingga siap dibuang kapan saja.

Sejujurnya, aku terkejut. Dahulu, aku pernah mendengar dari Aoi sendiri bahwa dia sering gagal dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Ketika dia mencoba mencuci piring, maka dia akan memecahkannya; ketika mencoba menjalankan mesin cuci, dia malah menaruh sabun cuci piring; dan ketika dia menyapu di luar, dia justru dikejar oleh anjing tetangga. Begitu ya, dalam tujuh tahun yang tanpa kuketahui itu, Aoi telah tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab.

Ketika sedang melihat Aoi menyapu, mata kami tiba-tiba bertemu.

"Em, ada apa?"

"Ya. Aku merasa kamu sudah hebat dalam hal pekerjaan rumah tangga. Kamu jadi semakin mahir."

"Itu karena … aku berlatih untuk menjadi seorang istri … aku ingin menjadi gadis yang disukai Yuuya-kun."

Telinga indah Aoi, berubah merah seperti apel. Dia mungkin tidak menyadarinya, tetapi dia menatapku dengan tatapan manja di matanya. Namun, bukankah aku yang seharusnya memanjakan dia?

"Mengesampingkan ceritaku, Yuuya-kun, setidaknya kamu harus bisa bersih- bersih, kan?"

"Ugh … aku akan berusaha, dah."

“Fufu, kamu tidak suka bersih-bersih, ya?”

"Bukannya aku tidak suka, hanya saja aku terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai-sampai aku tidak punya energi untuk bersih-bersih, begitu ….”

"Kalau dipikir-pikir, kamu bilang kamu sibuk dengan pekerjaanmu beberapa hari yang lalu, kan? Fumu fumu ….” Aoi memasang wajah yang sulit, dan sedang memikirkan sesuatu dengan tangan di dagunya. Kemudian, ekspresi muramnya akhirnya berubah. "Kalau begitu, agar Yuuya-kun bisa menghabiskan setiap harinya dengan baik, maka aku yang akan menjagamu, oke?"

Itu tidak lain adalah pernyataan dari seorang istri yang berbakti demi mendukung suaminya. Karenanya, pipiku secara alami memanas akan perasaan malu. Mengapa teman satu tempat tinggalku tanpa sadar mengeluarkan aura seperti seorang pengantin baru? Terlalu terang- benderang.

"Yuuya-kun. Ada apa?" tanya dia.

"Tidak, tidak ada. Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" aku mengelak.

"Begitu, ya. Kalau begitu, tolong bersihkan jendelanya. Aku sudah membawa peralatan bersih-bersihku di dalam tas jinjing, jadi bisa gunakan itu—Kyaa!"

Saat Aoi mendekati tas jinjing, dia tersandung kantong sampah yang ada di dekatnya.

"Oh tidak!" aku memeluk Aoi sesegera mungkin. "Fiuh … kamu baik-baik saja? Apa kamu terluka?"

"Y-Ya … Terima kasih.”

"Ada apa? Masih terasa sakit di suatu tempat?" "Tidak, hanya saja … aku malu dengan situasi ini."
Aku terkejut mendengarnya. Aku melingkarkan tanganku di pinggang Aoi sehingga kami saling berpelukan erat. Suhu tubuh Aoi terasa dari lenganku dan ada sensasi lembut, terutama payudaranya. Payudaranya yang besar terjepit sehingga bentuknya berubah. Aku pun sekali lagi menyadari bahwa wajahku menjadi panas karena perasaan malu terhadap gadis SMA, karena Aoi telah tumbuh terlalu dewasa dalam berbagai hal.

Kemudian, aku melepaskan Aoi dengan tergesa-gesa dan berkata, "Maafkan aku! Kamu tidak menyukainya?"

"Tentu saja aku tidak membencinya! Jangan mengajukan pertanyaan yang tidak sopan. Baka!"

Reaksinya sangat menggemaskan, membuatku bahkan semakin malu. Apa ini? Seperti sepasang siswa yang masih polos-polosnya? Sangat kental akan berbagai nuansa.

Ketika berpikir apa yang harus kulakukan demi mengatasi suasana canggung ini, Aoi malah tertawa.

"Fufu ... mirip seperti saat kita masih kecil, ya. Aku dulu seorang gadis yang bandel sehingga sering jatuh dan melukai diri sendiri. Lalu, aku selalu meminta Yuuya-kun untuk memakaikan perban pada lukaku. Rasanya nostalgia, dah."

"Ha-ha-ha, pernah terjadi juga, kan. Sama seperti waktu itu, haruskah aku merapal mantra? Seperti ‘sakit-sakit, hilanglah’?"

"Fufu. Tapi aku bukan anak-anak lagi dan aku tidak akan melakukan hal yang kekanak-kanakan seperti itu."

Meskipun dia menyangkalnya, Aoi kelihatan bahagia. Ekspresi polosnya tidak pernah berubah. Seperti yang diketahui, orang-orang akan berubah setelah tujuh tahun berlalu. Tidak hanya dalam penampilan luarnya, tetapi juga mentalnya. Namun, pastinya akan ada beberapa hal yang tidak pernah pudar.

Itu adalah siang hari pertama kami hidup bersama, yang mana membuatku menyadari betapa alaminya hal ini.



“Sudah selesai haaaaa!”

Suara seperti itu keluar secara spontan, mungkin karena rasa puas sekaligus lelah setelah bersih-bersih. Ruangannya sekarang sebersih saat pertama kali aku menempati. Ini semua berkat Aoi.

Aku memberi Aoi kamar bergaya barat yang berbeda dengan kamar tidurku. Di kamar bergaya barat tersebut ada barang-barang pribadiku dan persediaan kebutuhan sehari-hari, meskipun tidak banyak. Aku sudah memutuskan akan mengeluarkannya dan membersihkannya sehingga bisa digunakan seperti semula, saat paket Aoi nanti tiba.

Sekarang, aku sedang berbaring di lantai ruang tamu yang mengkilap. Sambil menatap langit-langit, aku menghela napas. Pada saat itu pula, wajah Aoi muncul di sudut mataku, dan mendengar dia berkata, "Tidak ada waktu untuk beristirahat, Yuuya-kun. Barang-barangku akan segera tiba."

"Eeeeh Tidak bisakah kamu beristirahat sejenak?"

“Sekali kamu beristirahat, kamu akan malas untuk beraktivitas kembali. Lihat? Sebelum barang-barangku tiba, mari pastikan tempat di mana kita akan meletakkan perabotannya.”

Grrr.

Aku mendengar suara menggemaskan dari perut yang menggeram. Hanya ada kami berdua di sini. Jika bukan aku, maka itu adalah Aoi. Dia pun menunduk dengan canggung dengan pipinya yang sedikit merona. Apa dia lapar? Seharusnya dia memberitahuku. Tidak. Mungkin anak perempuan seusianya malu untuk mengatakan bahwa dia sedang lapar. Kemudian, aku duduk dan menggosok perutku.

Aku berkata, "Ayo kita beristirahat sebentar. Aku sudah terlalu lapar untuk bergerak. Aku juga belum makan apapun sejak bangun tidur,” kataku mengeluh tanpa menyinggung tentang suara perut. Sebenarnya, aku tidak terlalu lapar, tetapi Aoi mungkin ingin makan sesuatu.

"Y-Yah benar juga, ya. Ada ungkapan bahwa kita tidak bisa bertempur dengan perut kosong. Aku setuju dengan pendapatnya Yuuya-kun." Aoi menganggukkan kepala seolah dia terselamatkan. Bagaimanapun juga, dia masih tidak mau jujur. Yah, mungkin itu bagian dari apa yang membuatnya begitu imut.

“Apa yang kamu mau. Ingin aku memesan delivery?" "Tidak. Itu terlalu mewah, tahu!”
"Terlalu mewah? Aoi orangnya serius sekali, ya?”

“Bukan begitu. Hanya saja, Yuuya-kun orangnya ceroboh.”

Aoi orang yang sembrono dalam berbicara, tetapi nadanya lembut. Dia tampak dalam suasana hati yang baik. Namun begitu, wajahnya yang gembira itu segera berubah menjadi raut kekecewaan.

“Apa-apaan ini?" Aoi membuka lemari es dan mengangkat alisnya.

"Apa itu? Itu lemari es, kan? Sesuatu yang disebut sebagai peralatan elektronik rumah tangga."

"Aku tahu itu! Lagipula apa maksudmu? Kamu pikir aku ini manusia gua?"

“Tidak, aku tidak berpikir begitu.”

“Yang kumaksud adalah apa yang ada di dalam lemari es!” Aoi menunjuk ke bagian dalam lemari es.

"Kenapa isinya kosong?"

"Perhatikan baik-baik dulu. Di sana ada teh, susu, dan mayones."

"Di mana sayurannya? Di mana dagingnya? Keju, daging asap, dan makanan olahan lainnya?”
 
"Tidak punya, sih."

"Aku tidak bisa mempercayainya ….” Kepala Aoi terguncang. Seperti itulah isi lemari es bagi seorang pria yang tinggal sendirian dan tidak memasak sendiri. Bagi sebagian orang, bahkan hanya ada tambahan bumbu lainnya dan bir.

"Apa yang biasanya kamu makan di rumah, Yuuya-kun?" "Makan siang dari minimarket dan mie cup."

"Itu tidak sehat. Kamu mau mati?”

“Kamu mengatakannya sampai sejauh itu?”

“Aku sama sekali tidak melebih-lebihkannya, oke! Jika kamu terus makan dengan pola makan yang tidak sehat, kamu bisa jatuh sakit.”

"Ugh. Aku tidak bisa membantahnya.”

Tidak hanya pola makan, pola hidupku juga tidak teratur karena kerja lembur. Aku berpikir bahwa suatu hari nanti aku akan terdeteksi saat pemeriksaan kesehatan.

"Oh. Tidak ada pilihan lain. Mari kita pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan makanan."

"Eh?" aku terkejut

Pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan, jangan bilang— "Apakah itu berarti Aoi akan memasakkan makanan untuk kita?"

"Ya. Jika kamu tidak keberatan, aku akan memasakan.”
 
"Aku tidak keberatan. Aku sangat senang malah. Aku akan menantikan masakannya Aoi.”

"Jika kamu berkata begitu, itu juga membuatku bersemangat. Fufufu, tanganku sudah tidak sabar lagi. Kalau begitu, ayo kita pergi belanja!"

Ketika Aoi mengatakan hal ini dengan penuh semangat, interkom pun berdering.

"Halo! Ini adalah Chotto Moving Center!” suara penyedia jasa pindahan bisa didengar dari luar pintu depan. Itu berarti, barang-barang milik Aoi telah tiba.

"Aku sangat bersemangat sampai-sampai aku lupa untuk menerima barang- barang tersebut."

"Ha-ha-ha. Aoi adalah gadis yang ceroboh, kan?" Ketika aku menggoda Aoi yang terlihat malu, dia menjadi tersipu dan memelototi aku.

"Gununu … sudah! Itu karena lemari esnya Yuuya kosong!"

"Ya, maaf, dah!" Sambil meminta maaf dengan datar, aku berlari menuju pintu depan.



Setelah menerima barang-barang Aoi, kami berganti pakaian dan pergi ke supermarket lokal. Matahari mulai terbenam, dan kota pun berubah menjadi warna jingga di mana warna-warna matahari saat terbenam tampak begitu lembut. Sudah lama sekali aku tidak melihat suasana kota saat senja, karena biasanya aku menghabiskan waktu liburku di dalam rumah.

"Yuuya-kun. Kamu mau makan apa?"

"Hmm. aku tidak keberatan dengan apapun yang Aoi masak.”

"Mmm. Itu adalah hal yang paling menjengkelkan. Silakan ajukan keinginanmu."

"Baiklah, kalau begitu, steak hamburger."

"Jika itu hamburger, bukankah kamu sering makan hamburger dari minimarket?"

"Ya. Tapi aku ingin memakan hamburger buatan Aoi.”

"Oh, begitu. Okelah. aku akan membuatkannya untukmu."

Aoi berkata, "Daging cincang, bawang bombay … apakah ada susu di lemari es?" dan mulai memikirkan bahan makanan apa yang harus dibeli. Sedangkan aku, berjalan di sampingnya dengan menyamai langkahnya. Setelah beberapa saat, kami tiba di tempat tujuan kami, sebuah supermarket. Ini adalah afiliasi dari supermarket besar, dengan harga murah dan pilihan barang yang bagus. Aku merasa penduduk di lingkungan sekitar sering menggunakannya. Yah, meskipun aku sendiri lebih sering pergi ke minimarket.

"Baiklah. Dari mana harus memulai?" Aku bertanya kepada Aoi sambil memegang keranjang belanja.

"Mari kita mulai dengan sayuran."

"Oke. Barusan kamu bilang ingin membeli bawang, kan?" Kemudian, aku mengambil bawang bombay di bagian sayuran saat melewatinya.

"Tunggu!"

"Aduh!"
 
Aoi menampar tanganku.

"Ah, Aoi? Bukannya kamu mau membeli bawang bombay?"

"Bukan sembarang bawang bombay. Pilihlah dengan cermat."

"Kamu sangat detail, ya ….”

“Yuuya-kun yang terlalu ceroboh, tahu. Benarkan? Lihatlah permukaan bawang bombai terlebih dahulu. Pilihlah bawang bombay dengan kulit yang bersih dan tidak ada cacatnya.”

"Heee~. Lalu, bagaimana dengan yang satu ini?”

"Mari kita lihat … yang satu ini terlihat bagus, tapi agak ringan. Seharusnya lebih berisi. Bawang yang lebih berat memiliki lebih banyak air di dalamnya sehingga lebih segar dan lezat."

Aoi kembali memilih bawang bombay, dengan mengatakan, "Bawang bombay yang bentuknya mendekati bulat, akan lebih bagus lagi".

"Hal yang biasa memikirkan bahan-bahan yang mau dibeli. Tapi, dari caramu berbelanja seperti ibu rumah tangga yang berpengalaman."

"Fufu. aku bukan seorang yang sudah berpengalaman. Justru, ini adalah pertama kalinya aku memasak untuk Yuuya-kun. Hari ini adalah debut pertamanya, kan?”

“Oh, begitu. Lalu, debut seperti apa yang akan terjadi padaku?” "Debut seorang pria yang dirawat oleh seorang gadis muda."

"Itu sudah merupakan pengasuhan namanya. Kedengarannya seperti debut bagi seorang pembantu rumah tangga.”
 
“Selamat atas debutmu. Yuuya Oji-chan!” “Jangan perlakukan aku seperti orang tua!”

Menurutku, dianggap paman justru masih lebih lumayan. Memang benar bahwa Aoi telah banyak membantuku. Akan tetapi, diperlakukan sebagai Yuuya Ojii-chan rasanya sangatlah mengerikan. Tunggu dulu! Aku menyadari sesuatu saat digoda oleh Aoi. Aku ini adalah wali, tetapi aku malah menjadi orang yang dirawat oleh anak di bawah umur!

Ketika aku berhenti, gerakan Aoi juga berhenti.

"Yuuya-kun? Ada apa?"

"Umm, begini. Aku minta maaf karena telah menjadi wali yang buruk. Mulai sekarang, aku akan mencoba menjadi wali yang lebih baik.”

“Itu tidak benar. Yuuya-kun selalu baik dan dapat diandalkan … ditambah lagi, kamu yang mau menerimaku kali ini, itu saja membuatku sangat berterima kasih.”

"Yang Itu berbeda dengan yang ini. Aku bahkan tidak tahu siapa di antara kita yang menjadi wali."

"Tidak apa-apa. aku sangat senang bisa merawat Yuuya-kun.”

"Meski begitu—"

“Sebaliknya aku merasa bersalah. Aku egois karena tiba-tiba menerobos masuk dan memintamu untuk hidup bersamaku, kan?"

"Aoi ….”
 
Aku tidak pernah menyangka kalau Aoi akan berpikir seperti itu. Mungkin itulah sebabnya dia bersikap kaku seperti, "Maaf mengganggumu". Padahal, aku sama sekali tidak pernah menganggapnya egois.

"Hei .... Apakah kamu berpikir kalau aku adalah orang yang akan merasa terganggu oleh keegoisan Aoi?"

“I-Itu … kurasa tidak.”

"Kalau begitu, kamu harus lebih mengandalkan aku. Jangan pernah sungkan. Mungkin aku memang seperti paman-paman yang kelelahan, tetapi aku adalah walinya Aoi sekarang."

"Yuuya-kun ….”

"Umm, kita sudah seperti keluarga mulai sekarang, kan? Itulah sebabnya, kamu bisa lebih santai terhadapku seperti dulu."

Apakah kata-kataku terlalu keren? Dahulu aku bisa mengucapkan kalimat yang memalukan seperti itu, tetapi sekarang aku merasa agak malu. Aoi menatapku dengan penuh keheranan dan pipinya pun sedikit memerah.

"Yuuya-kun, terima kasih. Aku akan berusaha yang terbaik."

"Tidak, kata-katamu itu. Dari mana kamu mempelajarinya? Apakah aku masih belum bisa diandalkan?"

“Bukan itu yang kumaksud. Mustahil bagiku untuk tiba-tiba bersikap manja. Itu memalukan."

Aoi berkedip-kedip dan mengalihkan pandangannya dariku dengan malu. Itu adalah tanda bahwa, "aku benar-benar ingin dimanjakan oleh Yuuya-kun!"

Dia benar-benar anak yang manja, kan? Hmmm … secara tidak sadar dia bisa bersikap manja tetapi dia sulit mengakuinya secara sengaja? Itu adalah masalahnya.

"Nah, apakah ada sesuatu yang kamu mau? Silakan apa saja."

"Umm, tidak ada yang terpikirkan sekarang. Jadi, tidak apa-apa."

"Kamu orang yang teguh, ya. Lalu apa yang kamu mau aku lakukan?"

"Apa yang aku mau dari Yuuya-kun?”

"Ya. Silakan apa saja.” “Nah, hanya satu hal.”

“Apa? Katakan padaku.”

"Jangan terlalu menekankan bahwa kamu adalah 'wali'. Aku ingin menikah dengan Yuuya-kun, oke? Aku ingin kamu lebih melihatku sebagai seorang 'istri'. Apa tidak boleh?" Aoi berkata dengan nada tertekan.

Permintaannya yang terlalu menggemaskan membuat kepalaku pusing. Sungguh mengherankan bahwa hal ini tidak termasuk dalam kategori "memanjakan" dari sudut pandangnya Aoi.

"Oke, aku mengerti. Aku akan memperbaikinya."

"Oh, curang. Kamu berusaha kabur, kan?"

“Aku tidak melarikan diri dan aku sangat memahami perasaan Aoi. Tapi untuk saat ini, kamu harus membiasakan diri dengan kehidupan barumu terlebih dahulu." Sambil mengatakan itu, aku ingin merahasiakan bahwa aku gugup mendengar permintaannya sebelumnya.
 

Kemudian, kami melanjutkan belanja yang sempat terhenti. Kami berkeliling toko dan memasukkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat hamburger ke dalam keranjang belanja. Di dalam keranjang terdapat bahan- bahan untuk makan malam dan sarapan esok hari, ditambah beberapa perlengkapan rumah tangga. Sepertinya, Aoi tidak berniat membeli apapun untuk dirinya sendiri, mungkin karena dia masih menahan diri.

Menurutku, tidak baik untuk terus seperti sekarang. Aku harus lebih mengubah diri agar Aoi bisa bersikap manja tanpa ragu-ragu. Ketika sedang memikirkan hal itu, Aoi tiba-tiba berhenti. Ada seorang gadis yang kira-kira seusia dengan Aoi di depannya. Gadis berambut pirang dengan kuncir kuda. Dia mengenakan gaun rajut dengan lubang besar di bahu kanan dan rok pendek sekaligus sepatu bot hitam. Dari penampilannya, dia terlihat seperti seorang gyaru.

"Heh? Bukankah itu Aoi?" Gadis itu melambaikan tangannya dan berlari ke arah kami.

Aku mengira mereka berdua sudah dekat satu sama lain karena dia memanggilnya dengan nama Aoi.

"Ah, Rumi-san. Selamat malam."

"Chisu-chisu. Aoi-cchi, kamu belanja di supermarket ini? Gila banget, kan? Kamu sama sepertiku!"

"Fufu, Gila banget, ya. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Rumi-san di supermarket.

“Benar, kan? Serius, menarik banget, dah.” “Ya. Serius, ini menarik, haha.”

Haha, mereka saling tertawa. Meskipun tampak berlawanan, tetapi yang mengejutkanku adalah mereka tampak akur. Selain itu, aku juga senang Aoi memiliki teman di sekolah. Aku akan memberitahu Bibi Ryoko tentang hal ini lain kali.

"Yuuya-kun. Mari aku perkenalkan padamu. Ini adalah Kanbe Rumi. Dia adalah teman sekelasku.”

“Salam kenal. Senang bertemu denganmu, Rumi-chan.” “Ya. Senang bertemu denganmu juga. Hnn? Mmmu?"
Aku tidak tahu mengapa, tetapi Rumi menatapku serius. Ada apa, ya? Apakah ada sesuatu di wajahku?

“Yuuya-san itu, seperti Onii-chan-nya Aoi-cchi, kan?" "Eh?"
Rumi mengalihkan pandangannya dariku dan melihat ke arah Aoi sambil berkata, "Hei, Aoi-cchi. Dia onii-chan-mu? Bukankah kalian terlihat sangat mirip? Selain itu, dia terlihat sedikit lebih tua darimu, kan?"

"Heh? T-Tentang itu ….”

Aku tidak bisa mengatakan bahwa dia teman satu tempat tinggalku. Namun, aku juga tidak bisa memikirkan alasan yang bagus. Adapun Aoi, dia kebingungan dengan wajah yang begitu gelisah.

"Oya, oya? Mungkinkah kamu tidak bisa memberitahunya?" "Tidak. Bukan seperti itu, tapi ….”
 
"Kaku sekali, ya~ Aku akan bertanya pada Yuuya-san. Hei, hei Yuuya-san. Apa hubunganmu dengan Aoi?"

"Hmm … benar juga, ya ….”

Seperti yang sudah kupikirkan, aku tidak bisa menjelaskan padanya bahwa aku adalah walinya, kan? Aku harus merahasiakan hubungan kami secara spesifik dan hanya mengatakan kepadanya bagaimana perasaanku yang sebenarnya terhadap Aoi.

"Aoi adalah gadis yang sangat penting bagiku," jawabku.

Ketika baru saja mengatakan apa yang kupikirkan, aku menyadari bahwa Aoi tersipu malu di sampingku. Entah mengapa, mulutnya bergerak seperti, "Yuuya-kun, apa yang kamu bicarakan?”.

"Eh, serius? Pacar yang lebih tua? Astaga, kamu super emo, lho!" Mata Rumi berbinar saat dia meraih tangan Aoi dan mengayunkannya ke atas dan ke bawah—Tidak, aku bukan pacarnya.

"Aoi-cchi! Kamu berhasil! Dari mana kamu mendapatkan pacar yang begitu tampan!?"

"J-Jika kamu bertanya di mana … dia adalah tetanggaku yang dulu merawatku di masa lalu …."

"Tetangga di masa lalu? Maksudmu, teman masa kecil? Apa kamu serius? Terlalu emo, Aoi-cchi! Singkatnya Emo-cchi!"

"Tolong berhenti memberiku julukan yang aneh! Um, tolong jangan beritahukan hal ini ke teman-teman di kelas."

"O-oke. Sebagai imbalannya, beritahu aku sesuatu .... Apakah kamu sudah menciumnya?"

"Tidak, aku tidak pernah melakukannya!"

Aoi memprotes pendekatan agresif Rumi. Mungkin dia bereaksi terhadap kata "ciuman", tetapi dia terlihat begitu malu. Sambil tersenyum melihat keduanya bercanda bersama, smartphone Rumi berbunyi.

"Ah, ini dari Mama. ‘Masih belum pulang?’ Katanya. Oh tidak, Aku merasa dia marah. Aoi-cchi. aku akan pulang sekarang."

"Ya. Um, tolong jangan lupakan tentang hal ini."

"Rahasiakan tentang hal ini, kan? Aku tahu. Yuuya-san, jaga Aoi-cchi!"

"Ya. Senang bertemu denganku. Aku akan senang jika kamu bisa akur saat berteman dengan Aoi."
 
"Oh, sungguh kalimat yang dewasa! Ya sudah! Sampai jumpa nanti, kalian berdua!" Rumi melambaikan tangannya dan berlari ke konter ikan.

"Dia adalah seorang gadis yang ramah dan lincah."

"Daripada membahas itu, Yuuya-kun. Mengapa kamu mengatakan hal itu ketika Rumi menanyakan hubungan kita sebelumnya?"

"Kamu tidak keberatan, kan? Dia tidak akan mengira bahwa kita hidup bersama karena komentar itu. Maksudku, Aoi tidak akan menyangkal soal kata 'pacar', kan?"

"Y-Yah … Aku senang sih kamu dikira pacarku."

"Maaf, suaramu begitu pelan sehingga aku tidak mendengarmu. Apa yang baru saja kamu katakan?"

"Tidak ada, tidak ada! Pokoknya, tolong jangan mengatakan sesuatu yang sembarangan. Nanti Yuuya-kun yang terlibat dalam masalah."

"Baiklah, aku minta maaf karena mengatakannya dengan cara yang dapat menyebabkan kesalahpahaman. Tetapi memang benar bahwa Aoi adalah gadis yang penting bagiku."

"Jangan … mengatakan hal-hal yang membahagiakan. Itu melanggar hukum." Aoi bergumam dan terdiam. Adapun pipinya masih merona merah.

"—dan aku satu-satunya yang gugup, ini tidak adil. Baka!" lanjutnya.

"Apakah kamu marah?"

"Tidak, aku tidak marah. Baka!"

Meskipun begitu, kata "Baka/Idiot" di akhir kalimatnya itu menggangguku.
 
"Fufu …. Wajah Yuuya-kun yang penuh kebingungan, entah kenapa begitu menawan," Aoi tersenyum malu-malu.

Aku tidak yakin, tetapi jika dia tertawa, dia mungkin tidak marah. "Baiklah, Yuuya-kun. Mari kita bayar tagihannya."

"Oke. Ayo cepat bayar dan lalu pulang. Aku sudah tidak bisa lagi menahan lapar."

 "Fufu, kamu lapar? Seperti anak kecil, ya?"

Tidak, bukannya perutmu juga berbunyi tadinya? …. Tapi, aku akan berhenti menggodanya atau Aoi akan menyebutku ‘Baka’ lagi.



"Silakan, nikmati makanannya," kata Aoi sambil melepas apronnya dan duduk di hadapanku.

Di atas meja tersaji steak hamburger demi-glace yang kuminta. Di sampingnya ada telur goreng, tomat kecil dan kentang goreng yang menghiasi. Adapun salad Caesar disajikan di sebuah piring yang besar.

"Aah~! Kelihatannya sangat lezat!" kataku.

"Fufu. Aku sangat percaya diri dengan masakanku ini. Sekarang, ayo kita makan selagi masih hangat."

 "Benar juga, ya. Itadakimasu!"

Ketika aku memasukkan sumpit ke dalam hamburger, cairan daging meluap dari dalam. Pada titik ini, kuyakin bahwa ini benar-benar lezat. Sementara Aoi memperhatikanku dengan raut wajah gugup, aku membagi steak hamburger menjadi beberapa bagian dan memasukkannya ke dalam mulut. Begitu aku menggigitnya, steak hamburgernya hancur. Rasanya lembut dan juicy. Ada cairan panas yang menyelimuti lidahku, dagingnya terasa sangat lezat, dan saus demi-glace-nya kaya akan rasa.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku menikmati steak hamburger yang begitu lezat. Ini adalah kualitas yang tidak bisa aku dapatkan dari paket makan siang minimarket yang biasa kumakan.

"Hafu hafu … Aoi. Rasanya sangat lezat."

"Benarkah? Syukurlah." Aoi tampak lega.

"Yuuya-kun. Tolong makan sayurannya juga, ya? Makan siang di minimarket dan mie instan terlalu tidak seimbang dalam hal nutrisi. Jadi kamu perlu mengonsumsi serat dan vitamin."

"Caramu mengatakannya, terdengar seperti Okaa-san-ku."

"Muu. aku masih seorang gadis SMA."

Pipinya yang menggembung sangat imut sehingga aku tidak bisa menahan tawa. "Ha-ha, maaf. Tapi aku terkejut, sih. Kamu pernah bilang bahwa kamu dilatih untuk menjadi seorang istri, tapi kemampuan memasakmu ini sudah sangat mengagumkan, tahu."

"Aku ingin memasakkan makanan yang lezat untuk Yuuya-kun, jadi aku berusaha dengan giat untuk belajar memasak."

"Aoi sangat mengagumkan, ya. Aku juga akan berusaha keras untuk menjadi orang dewasa yang tidak malu berada di samping Aoi."
 
"Tentang itu … Yuuya-kun sudah lama berada dalam pikiranku …, kamu akan tersedak jika makan dengan terburu-buru, lho."

"Aku tidak bisa berhenti makan. Rasanya terlalu lezat."

"B-Benarkah begitu? Yuuya-kun, ada saus di mulutmu." Aoi mengambil tisu di tangannya, mendekatkan wajahnya ke arahku sambil menyeka mulutku. Apa yang tiba-tiba terjadi itu membuatku sangat gugup.

"Ya, kamu sudah bersih sekarang. Mouu. kamu bukan anak kecil lagi, kan?"

"Ah, ya. Terima kasih."

Ini … rasanya benar-benar memalukan ketika diurus oleh seorang gadis yang lebih muda. Namun, aku merasa bahwa inilah saat-saat yang paling nyaman. Duduk di sebuah meja makan yang hangat bersama orang yang disayangi, sesuatu yang tidak dapat aku nikmati saat aku tinggal sendiri. Meskipun ini baru hari pertama kami hidup bersama, tetapi menurutku tinggal berdua itu juga menyenangkan.

"Yuuya-kun. Masih ada porsi buat nambah."

"Terima kasih. Itadakimasu."

"Fufu. Silakan makan yang banyak," dengan mengatakan itu, Aoi tersenyum lembut dan pipiku secara tidak sengaja menjadi rileks.

Selama makan, kami menghabiskan waktu yang sangat menyenangkan.



Setelah makan, Aoi yang mencuci piring sedangkan aku yang bertugas mengeringkannya. Aoi menaruh sedikit sabun pencuci piring di atas spons, lalu dengan cepat menyabuni dan mencuci piringnya. Saat itu juga, aku sekali lagi menyadari bahwa Aoi sangat terampil dalam pekerjaan rumah tangga.

Setelah mencuci piring, kami mengobrol sejenak dan membicarakan tentang barang-barang yang baru saja tiba hari ini. Seluruhnya ada lima kotak kardus dan beberapa di antaranya terasa cukup berat.

"Yuuya-kun, membongkarnya …," kata Aoi sambil melirik ke arah kotak kardus dan tampak ragu untuk mengatakan sesuatu. Karena dia telah membersihkan kamar, berbelanja, dan bahkan memasak untukku, pastinya dia juga lelah, "Menurutku, lebih baik membongkarnya besok. Kamu mungkin ingin bersantai malam ini," lanjutnya

"Be-Benar juga, ya? Besok juga hari libur, mari kita lakukan besok saja," balasku.

Mendengar itu, Aoi menghela napas lega. Dia bisa saja mengatakan kalau dia lelah hari ini dan belum ingin membongkarnya. Kemudian, aku berdiri dan memindahkan kardus-kardus itu ke kamar Aoi.

"Nah, apa yang harus kita lakukan setelah ini?"

"Kalau mau, kamu bisa mandi dulu. Aku tidak keberatan kok jika mandinya nanti." Aoi menambahkan, "aku baru saja memanaskan air". Kata-kata dan tindakannya benar-benar seperti seorang istri.

"Baiklah, kalau begitu, aku akan melakukannya."

"Oh, ya. Sampomu hampir habis."

"Serius. Aku lupa membeli stoknya."

Aku harus membelinya selagi aku libur—dan kemudian aku tersadar.
 
"Aoi. Besok, setelah selesai membongkar barang-barang, bagaimana kalau kita pergi berbelanja di sore harinya?"

"Eh? Kita berdua?"

"Ya. Sambil mengobrol, mari kita berbelanja santai."

Hari ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama, aku dan Aoi menghabiskan waktu bersama. Aku merasa mengetahui secara bertahap apa yang telah berubah dan apa yang tidak berubah dari diri Aoi. Namun, tetap saja ada beberapa aspek yang belum tersentuh. Contohnya, bagaimana kehidupan sekolah Aoi. Oleh karena itu, besok aku akan mengajak Aoi berbelanja dan minum teh di café sambil bertanya-tanya tentang kehidupan sekolahnya di sana.

Aoi pun tersenyum senang dan berkata, "Belanja ya … kita bisa pergi bersama lagi, kan?"

"Oke. Aku akan ikut denganmu. Jika aku meminta Yuuya-kun untuk mengurus belanjaan, aku khawatir kamu bakalan membeli barang-barang yang tidak perlu," imbuhnya.

"Padahal kamu sendiri tersenyum saat mengomel …," gumamku.

"Kamu mengatakan sesuatu?"

"Tidak, tidak ada. Aku cuma bilang kalau Aoi tetap imut seperti biasanya."

"Mouu. Apakah kamu memperlakukanku seperti anak kecil lagi?"

"Ha-ha-ha. Tidak. Kalau begitu, aku akan mandi."

Sementara Aoi menatapku dengan tajam, aku bergerak ke ruang ganti. Di sana, aku menaruh pakaian di keranjang cucian dan masuk ke kamar mandi. Sambil mengucuri dengan air hangat, aku menghembuskan napas panjang.

"Wah ... benar-benar hari yang melelahkan." Aku merenungkankan hari itu sambil mengeramasi rambut dengan sampo.

Terkadang aku diomeli oleh Aoi. Namun, kebanyakan dari omelan itu hanya berupa ocehan kecil karena dia mengkhawatirkan aku. Kata-katanya sama sekali tidak menyinggung perasaanku, justru aku merasakan kebaikannya. Kami menghabiskan waktu bersama, membersihkan rumah, berbelanja, dan dia memasakkan makanan untukku. Mengingatnya kembali, hari ini adalah hari di mana kemampuan Aoi sebagai istri meledak. Aku ingat dia pernah mengatakan bahwa dia telah berlatih untuk menjadi seorang istri, yang membuatku yakin bahwa dia sudah sangat berusaha.

"Aku juga tidak boleh kalah. Sebagai seorang wali, aku harus bisa menjadi orang dewasa yang dapat diandalkan." Dengan itu, aku membilas rambutku dan mematikan shower.

Saat itu juga, aku mendengar pintu kamar mandi terbuka. "Permisi," aku mendengar suara Aoi di belakangku.

Berbalik dengan rasa takut, rupanya ada Aoi yang berdiri di sana dengan handuk mandi melilit tubuhnya, menggeliat gelisah. Meskipun tertutupi oleh handuk mandinya, aku masih bisa mengetahui keindahan postur tubuh Aoi. Tidak, sebaliknya, lekuk tubuh indahnya lebih menonjol karena terbungkus erat oleh handuk di sekeliling tubuhnya. Bukan hanya tubuhnya yang seksi, tulang selangkanya juga menonjol. Belum lagi, tahi lalat di payudaranya dan kulitnya yang kemerahan, terlihat sangat seksi. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa selain terpukau oleh tubuhnya, yang terlihat matang layaknya orang dewasa.

"Oh, um, tolong jangan terlalu menatapku. Um, aku malu …."

"Maafkan aku!" Setelah meminta maaf, aku memalingkan muka dan menutupi bagian depanku dengan handuk. "Mengapa kamu datang ke kamar mandi? Apa yang kamu inginkan?" lanjutku.

"Itu, aku kepikiran ingin membasuh punggung Yuuya-kun."

Aku yakin tidak salah mendengarnya. Aoi dengan jelas mengatakan ingin membasuh punggungku.

"Umm … ya. Aoi, ayo tenang dulu."

"Aku tenang, tahu. Hal yang wajar untuk membasuh punggung seseorang yang kamu sukai."

"Tidak, itu tidak wajar. Bukannya kamu terlalu memaksakan diri?"

"Muu, aku tidak memaksakan diri. Aku melakukannya karena memang aku ingin."

Aoi meneteskan sabun mandi pada handuk dan dengan cepat membuat busa. "Biar aku yang membasuh punggungmu."

"Oh, tunggu!"

Sebuah handuk diletakkan dengan lembut di punggungku. "Nn … hnn … ah …!"

Setiap kali dia menggerakkan handuk ke atas dan ke bawah, napas menggoda keluar dari bibir Aoi yang menyegarkan. Mungkin dia tidak menyadarinya, tetapi setiap gerakannya sangatlah erotis. Bayangan handuk mandi Aoi terpatri dalam benakku dan aku tidak bisa menyingkirkannya. Kakinya yang terentang begitu indah, dan belahan payudaranya begitu merusak. Aku tidak akan mengatakan apa-apa, tetapi belahannya hampir tumpah dari handuk mandinya.

"Yuuya-kun … begitu besar. Kamu sangat berotot."

"Ya!?" balasku terkejut.

"Aku tidak tahu kalau punggung laki-laki bisa selebar ini."

"Eh? Ya, punggungku, ya!" Aku mengira handuk yang menutupi bagian depanku menghilang. Kuharap dia tidak menggunakan frasa yang ambigu seperti itu.

Sejujurnya, aku merasa agak bingung. Karena, mandi bersama bukanlah tipe kepribadiannya Aoi dan tidak peduli bagaimana aku melihatnya, karakternya agak aneh. Apa yang sebenarnya dia coba lakukan?

"Hei, Aoi. Mengapa kamu melakukan ini?" tanyaku.

"Rupanya aku masih merasa gelisah …," balasnya samar.

"Apanya?" aku tidak mengerti apa yang Aoi katakan, jadi aku hanya menatapnya dan bertanya balik.

"Aku merasa gelisah karena mengganggumu dengan tiba-tiba menerobos datang ke tempat tinggalmu. Selain itu, Yuuya-kun adalah orang yang baik hati, jadi aku merasa kalau kamu hanya sekadar menjagaku … Hal-hal seperti itulah yang menjadi bahan pikiranku."

"Aoi …."

"Itulah sebabnya, aku ingin membalas budi walaupun hanya sedikit. Aku ingin berguna untukmu. Jika Yuuya-kun merasa tidak membutuhkanku, aku ragu apakah aku mampu untuk tetap tinggal di sini."
 
Suara melankolisnya menggema di kamar mandi. Apa yang dia bicarakan? Mana mungkin aku bisa benar-benar bahagia jika dia melakukannya karena rasa kewajiban seperti itu. Aku malu pada diriku sendiri karena membuat Aoi melakukan hal yang sangat berlebihan. Alasan baginya untuk tinggal di apartemen ini karena dia ingin bersamaku saja itu sudah cukup.

"Itu tidak benar, Aoi. Aku ingin hidup bersamamu dan juga ingin melindungimu. Hal ini bukanlah gangguan bagiku. Jadi, jangan berpikir terlalu berlebihan sehingga kamu harus membalas budi padaku."

"Tapi, aku belum bisa membalas kebaikan Yuuya-kun."

"Ya. Menurutku, sejak awal itu adalah hal yang berbeda." "Eh?"

"Aku senang kalau Aoi memasak untukku dan membantuku, tahu? Tapi, kurasa ini bukanlah hal yang harus kamu lakukan untuk membalas budi. Tidaklah benar bagi Aoi untuk melayaniku, sang tuan rumah, hanya demi bisa tinggal di sini. Lagi pula ini sudah menjadi tempatnya Aoi juga."

"Yuuya-kun …"

"Memasak dan membantuku. Jangan mengatakan hal-hal menyedihkan itu seolah-olah kamu melakukan semuanya hanya karena kamu membutuhkan tempat tinggal ini. Sebaliknya, aku ingin kamu melakukan pekerjaan rumah tangga ini semampumu, tanpa harus merasa tertekan. Hal yang paling membuatku bahagia adalah jika kamu dengan senang hati menghabiskan hari-harimu dengan senyuman, oke?"

Setelah mengatakan itu, pipiku menjadi panas. Mungkin, aku berusaha terlalu keras untuk terlihat keren. Sial, padahal dulunya aku bisa mengatakan hal ini dengan mudah tetapi sekarang malah menjadi peran yang sulit bagi paman- paman yang kelelahan.

"Baiklah, kamu tidak keberatan jika ruangannya agak kecil, kan? Bahkan untuk bergerak saja, aku terlalu sibuk. Ha-ha-ha." Ketika aku menutupi rasa malu dengan sebuah lelucon, Aoi tersenyum lembut.

"Oke. Memang tidak mungkin untuk langsung berubah, tetapi aku akan mengubah cara berpikirku dan melakukan yang terbaik untuk membantu."

Tidak, tidak. Bukankah pola bicara seperti itu pada akhirnya tidak akan menghasilkan perbaikan? Aku sempat berpikir demikian, tetapi aku memutuskan untuk tidak mengolok-oloknya. Aoi juga memiliki kecepatannya sendiri. Meski sedikit demi sedikit, maka itu bukan masalah, kan? Aku akan menjaganya sebagai orang dewasa.

Ketika merasa lega karena kasus ini sudah selesai, Aoi tiba-tiba mulai gelisah.

"Hnn? Ada apa?"

"Tidak, hanya saja … sudah waktunya untuk mencuci bagian depanmu."

"Apa-apaan, dah?"

Itu bukan ide yang bagus. Bagaimanapun juga, aku adalah seorang laki-laki dan tidak menutup kemungkinan aku bisa kehilangan akal sehat saat ada seseorang yang membasuh bagian tersebut.

Kemudian, aku menoleh ke arah Aoi dan memegang bahunya dengan kuat.

"Yu, Yuuya-kun?"

"Aku sangat senang dengan perasaanmu. Tapi, aku tidak ingin kamu melakukan hal semacam ini lagi."

"Tidak. Aku tidak keberatan dengan hal itu."

"Aku juga seorang laki-laki. Jika kamu terus melakukan ini padaku, aku tidak tahu kapan aku akan menyerang Aoi."

"Aaaaah, menyerang?!" Wajah Aoi memerah seakan-akan dia kepanasan.

"Itu benar. Mungkin saja aku akan mendorong Aoi ke bawah seperti ini, lho?"

"M-Mendorongku ke bawah?"

"Aoi sudah bukan gadis kecil lagi. Kamu tahu apa yang kumaksud, kan? Itulah betapa menariknya dirimu."

"Aaaah, t-tidak boleh. Hal itu …."

"Ya, aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Kalau sudah mengerti, silakan pergi."

"T-Tapi …."

"Aku akan menyerangmu, tahu? Kamu tidak keberatan?"

"Ya, aku pergi sekarang!"

Mungkin karena sangat malu, dia meninggalkan kamar mandi layaknya kelinci yang kabur. Sebuah strategi yang ampuh. Selanjutnya, aku membilas diri di kamar mandi dan masuk ke dalam bak mandi. Mungkin karena terbebas dari ketegangan, seketika aku menghela napas panjang.

"Haaaaah … ketika seorang gadis yang sangat menarik seperti itu datang, bahkan akal sehatku pun akan terguncang."

Aku penasaran apakah Aoi juga merasa gugup sekarang. Sambil memejamkan mata dan berendam di dalam air hangat, aku memikirkan hal itu.



Malam sebelum tidur, kejadian seperti itu terulang lagi. Sekarang, aku sedang duduk di lantai sambil menghadap Aoi yang mengenakan piyama, berdiskusi dengannya. Topik pembahasannya adalah  "Tempat tidur kami berdua".

"Aku agak bingung, Aoi. Tolong jelaskan sekali lagi secara singkat, oke?"

"Baiklah. Futon-ku belum ada dalam paket barang yang datang hari ini, karena aku membeli yang baru. Menurut jadwalnya, akan tiba besok, sih. Jadi tolong biarkan aku tidur di tempat tidur yang sama dengan Yuuya-kun malam ini."

"Maaf, aku tidak bisa," jawabku segera. Apakah dia sudah lupa tentang percakapan kami di kamar mandi sebelumnya?

"K-Kenapa?" tanya dia.

"Dengar, Aoi. Jika kita tidur di ranjang yang sama, bagaimana jika sesuatu yang khilaf terjadi? Biar aku saja yang tidur di lantai. Aoi, silakan gunakan tempat tidurku."

"Itu tidak baik. Nanti kamu bakalan masuk angin."

"Jika cuma sehari aku akan baik-baik saja."

"Ceroboh satu hari saja bisa menyebabkan sakit, tahu. Hal itu bisa menyakiti dirimu sendiri. Bagaimana jika itu menghambat pekerjaanmu?"

"Tapi, tidur di ranjang yang sama terlalu berlebihan."  

"Kumohon, aku khawatir dengan kesehatan tubuh Yuuya-kun."
 
Aoi tampaknya tidak berniat untuk menyerah sedikitpun. Meskipun wajahnya imut, ternyata dia orang yang keras kepala. Namun, aku membiarkan dia mengambil tempat tidurku karena tidak ingin dia masuk angin dan hal itu juga membuatku paham akan kepeduliannya.

Baiklah … aku akan mengalah untuk hari ini.

"Oke. Mari kita tidur bersama untuk hari ini."

"Terima kasih. Maaf telah merepotkanmu."

"Tidak. Aku tidak merasa terganggu dengan hal itu."

Bahkan, aku cukup senang kalau Aoi sangat peduli dengan kesehatan tubuhku. Aku juga tidak bisa mengatakannya dengan lantang karena akan menciptakan suasana yang aneh.

Selanjutnya, kami mematikan lampu dan naik ke tempat tidur bersama. Rasanya akan tidak nyaman jika tidur saling berhadapan, jadi aku berbaring dengan membelakangi Aoi. Tentu saja, tempat tidur ini bukanlah tempat tidur ganda, melainkan tipe tunggal. Karena kami berdua tidur di tempat seperti itu, sudah jelas kami akan saling berdempetan. Di sisi lain, aku dapat mendengar napas Aoi yang samar-samar di belakang punggungku. Pada titik ini, aku memiliki firasat yang aneh.

"Tempat tidur ini, aromanya seperti Yuuya-kun."

"Eh? Aromanya tidak enak?"

"Tidak. Ini adalah aroma nostalgia dan … menenangkan." Sebuah suara lembut berbisik di telingaku dan entah bagaimana menggelitikku sehingga membuatku menggeliat. Aku juga menjadi lebih berhati-hati dalam bergerak agar tidak menyenggol tubuh Aoi.
 
"Yuuya-kun. Sempit, ya?"

"Begitulah. Mau bagaimana lagi karena ini adalah tempat tidur untuk satu orang."

"Um, bisakah kamu mendekat ke sini lagi? Kalaupun kita berdempetan, ini memang sudah sempit dan tidak bisa dipersoalkan juga," katanya dengan nada suara yang menggoda. Aoi-san. Tolong jangan mengundangku dengan tingkah imutmu. Seperti yang kukatakan di kamar mandi, aku juga seorang laki-laki.

"Terima kasih. Tapi, tidak dulu … Selamat malam, Aoi."

"Ya. Selamat malam."

Kami saling bertukar salam dan memejamkan mata.

Waktu pun berlalu tanpa suara, dalam keheningan. Namun, aku tidak bisa tidur. Memang menyedihkan, tetapi mungkin penyebabnya karena aku gugup menghadapi situasi ini. Aku juga penasaran apakah Aoi sudah tertidur.

Sementara aku memikirkan hal itu, dia berbicara kepadaku, "Yuuya-kun. Kamu belum tidur?"

"Ya. Aku belum tidur."

"Mataku masih belum mengantuk. Tolong ceritakan sebuah cerita lucu sampai aku tertidur."

"Aku tidak menyangka kalau kamu akan meminta sesuatu yang tidak masuk akal. Maksudku, bukannya kamu bakalan tidak bisa tidur jika aku menceritakan sebuah cerita lucu?"

"Kalau begitu, ceritakan apapun yang kamu suka."

"Baiklah, mari kita bicara tentang masa lalu. Saat kamu pindah, kenapa kamu bilang ingin menikah denganku?" Aku bertanya.

"Tidak adil untuk mengungkit topik itu. Mouu. Dasar tidak peka!"

"M-Maaf. Mari kita bicarakan hal lain."

"Tidak, tidak apa-apa. Mari kita bicarakan tentang hal itu." Aoi dengan lembut meraih lengan piyamaku.

"Ketika aku masih kecil, aku secara alami jatuh cinta pada Yuuya-kun saat bermain denganmu. Suatu saat, aku pun mulai berpikir ingin menjadi istrimu… tetapi sekarang kamu jadi agak ceroboh sehingga aku akan mengurangi poinmu. Jadi, tolong berusaha lebih baik, ya?"

"B-Baiklah. aku akan melakukan yang terbaik."

"Aku mengandalkanmu," Fufu, kata Aoi terkikik sambil berbicara dengan nada yang terdengar agak mengantuk.

"Yuuya-kun itu … adalah Onii-san yang aku kagumi, tahu?"

"Begitu, ya?"

"Ya … kamu orang yang baik hati, bisa diandalkan, serta bisa melakukan apa saja … dan aku selalu mencintaimu."

Hal ini sangat jauh berbeda dengan citraku yang lelah sebagai seorang karyawan. Apakah aku benar-benar setampan itu dahulunya?

"Aoi. Aku akan menjadi laki-laki yang bersinar seperti dulu. Menjadi laki-laki keren yang dikagumi Aoi."

"Zzz … Zzzz "

"Haha … sudah tidur, ya?"

Aku pun membalikkan badanku dan menatapnya. Wajah Aoi yang sedang tidur tampak damai dan bahagia.

"Aku juga akan tidur," kataku sambil berbalik dan memejamkan mata. Tidak butuh waktu lama sampai aku terlelap.



Langit senja menyelimuti kota dengan syahdu.

Ada sebuah taman yang terhampar di depanku. Terdapat perosotan dan kolam pasir, batang-batang besi yang membentuk jungle gym, serta peralatan bermain umum lainnya. Di sisi lain, ada sebuah menara jam yang tinggi berdiri di sudut. Itu adalah menara jam dengan gaya yang unik, disertai patung sayap malaikat. Tidak salah lagi, ini adalah taman tempatku pertama kali bertemu Aoi, di kota tempat aku dulu tinggal.

Pada saat yang sama ketika aku merasakan nostalgia akan tempat kenanganku, aku menyadari bahwa aku pasti bermimpi tentang kenangan di masa lalu. Sekitar waktu Aoi meninggalkan kota itu, sebagian peralatan bermain di taman telah dipindahkan. Salah satunya termasuk jungle gym. Jadi, akan terasa sangat aneh jika jungle gym masih ada di sana.

Kemudian, aku memandang ke sekeliling taman dan melihat seorang gadis kecil yang berada di kolam pasir. Tubuhnya pendek, dan kira-kira seusia dengan anak yang akan masuk sekolah dasar. Aku yakin itu adalah Aoi sewaktu kecil.

Saat itu dia sedang menangis karena tempurung lututnya tergores. Jika aku tidak salah, kaki Aoi tersangkut di bak pasir, sehingga dia terjatuh dan terluka. Selanjutnya, ada tiga anak laki-laki seusianya yang berdiri di sekelilingnya.

"Hei! Kamu jatuh lagi!"

"Dasar gadis kikuk! Kamu sangat bodoh!"

"Itu untuk bermain pasir! Jika kamu ingin bermain rumah-rumahan, lakukanlah di rumah!"

Salah satu anak laki-laki memegangi boneka lucu beruang yang mengenakan pita. Itu adalah boneka yang biasa digunakan Aoi saat ia bermain rumah- rumahan.

"Ugh … hikks … boneka beruangku, kembalikan!"

"Oh, tidak. Oii tangkap ini."

"Hei. Kemarilah."

Mereka pun mulai mempermainkan boneka itu. Aoi mati-matian mengejarnya, tetapi dia tidak bisa mendapatkannya kembali. Saat aku menyaksikannya dengan perasaan tidak tega, ada seorang anak laki-laki berseragam sekolah muncul dari sudut pandangku. Dia berlari ke arah anak- anak tersebut tanpa ragu-ragu. Pemuda itu adalah—aku yang masih SMP. Aku berlari ke arah Aoi yang sedang menangis.

"Maaf membuatmu menunggu! Maaf, aku salah menentukan tempat kita ketemuan! Kesalahan ‘Onii-chan’ yang ceroboh, dah!"

"Eh? O-Onii-chan?" Aoi terlihat kebingungan.
 
Tentu saja. Aoi adalah anak tunggal dan dia tidak memiliki kakak laki-laki. Dia jelas tidak mengerti apa yang dikatakan oleh siswa SMP yang ada di depannya.

"Ayo, mari kita pulang bersama! Ibu bilang hari ini ada kari favoritmu!"

Aku terus berakting sebagai ‘Onii-chan’ palsu. Tujuannya adalah untuk memberitahu anak-anak itu, "Jika kalian merundung Aoi, maka aku yang akan menghadapi kalian!" dan untuk membuat mereka sadar akan keberadaan kakak laki-laki yang lebih tua itu menakutkan. Menurutku, itu merupakan keputusan yang sangat bijaksana bagi seorang siswa SMP. Kemudian, aku memalingkan wajahku dari Aoi yang kebingungan dan menghadap ke arah anak-anak.

"Bisakah kalian mengembalikan boneka itu?"

"Eh?"

"Kalian tahu apa yang aku maksud, kan? Itu adalah teman berharganya adik perempuanku."

"Uh, ya."

Salah satu dari ketiganya langsung mengembalikan boneka itu. Bagi seorang anak kecil, siswa SMP terlihat seperti orang dewasa. Jika kamu sedikit menggertak mereka, tentu saja mereka akan ketakutan. Lalu, aku tersenyum pada mereka dan berkata, "Juga, bersikap baiklah kepada adikku, ya?"

Setelah mengatakan itu dengan nada rendah, anak-anak tersebut menganggukkan kepala dan bergegas pergi. Bisa dibilang, strategi ini berhasil.

Selanjutnya, aku memberikan boneka binatang itu kepada Aoi, "Yaps. Ini dia."

"Umm, Onii-san … siapa kamu? Aku tidak punya kakak laki-laki, lho."

"Ha-ha-ha, itu bohong. Itu hanya mantra untuk menghentikan mereka mengganggumu di kemudian hari."

"Uh?"

"Ah, apakah lebih mudah jika mengatakannya sebagai … sihir? Aku merapalkan sihir padamu supaya kamu tidak diganggu."

"Onii-san, kamu bisa menggunakan sihir?"

"Ya, aku bisa. Aku sangat pandai dalam sihir yang membuat gadis menangis menjadi tersenyum." Aku mengucapkan kata-kata yang sok sambil mengelus kepala Aoi.

Akan menjijikkan jika aku mengatakan hal yang sama sekarang, tetapi aku dulu adalah seorang anak laki-laki yang segar dan berkilauan. Bisa dibilang, aku adalah laki-laki yang cukup tampan.

"Oh, aku harus berterima kasih kepadamu. Terima kasih telah mengembalikan boneka beruang itu."

"Sama-sama. Ngomong-ngomong, siapa namamu?"  

"Aoi! Aku Shiratori Aoi!"

"Aoi, ya. Itu nama yang bagus. Aku Amae Yuuya. Senang bertemu denganmu."

"Ya! Senang bertemu denganmu juga, Yuuya-kun!"

"… Lututmu lecet, kan? Sakitkah?" "Ya. Walau sakitnya cuma sedikit …."

Mungkin karena teringat akan lukanya, Aoi tiba-tiba kehilangan tenaganya.

"Oh, begitu. Kamu harus membersihkannya dan memasang plesternya segera. Kamu bisa pulang?"

"Yuuya-kun, maukah kamu menemaniku?"

Dengan matanya yang berkaca-kaca, dia memanja. Begitu imut sampai- sampai aku ingin melindunginya, tetapi menurutku, tidak tepat untuk membawa anak kecil pergi dari taman.

"Hmm. Untuk sekarang mari kita cuci lukanya. Siapa gadis kuat yang bisa menahan rasa sakit?"

"Ya, itu aku!"

Aku mencuci lukanya dengan air keran di taman. Aoi terlihat seperti akan menangis, tetapi dia menahannya dengan mulut yang tertutup rapat. Ketika Tepat ketika aku baru saja selesai membersihkan lukanya, datanglah seorang wanita yang bergegas ke arah kami. Itu adalah Bibi Ryoko.

"Aoi!"

"Oh, Okaa-san!"

Aoi meninggalkanku dan berlari ke arah Bibi Ryoko. Apakah dia sangat senang bertemu ibunya sampai rasa sakit di lututnya pun lenyap? Dia gadis yang sangat ceria.

Kemudian dia memeluk Bibi Ryoko sambil berkata,"Okaa-san!"

"Nmouu. Aku khawatir karena kamu tidak kunjung pulang ke rumah. Ara~ Apakah lututmu tergores?"

"Ya. Aku terjatuh sedikit … tapi Yuuya-kun ada di sana, jadi aku baik-baik saja!"

Aoi menarik tangan Bibi Ryoko dan menghampiriku. "Okaa-san. Ini Yuuya- kun. Dialah yang menolongku."
 

"Oh, aku tidak tahu itu. Onii-chan. Terima kasih telah merawat putriku,” kata Bibi Ryoko sembari membungkuk.

"Tidak. Jangan khawatir tentang hal itu. Aku melakukan apa yang harus aku lakukan."

"Ara~ … apakah kamu Yuuya-kun dari keluarga Amae-san?"

"Eh? Obaa-san kenal aku?”

"Ya, aku mengenalmu. Kamu terkenal di lingkungan sekitar sebagai pemuda yang baik. Obaa-chan di rumah sebelah juga mengatakan bahwa kamu baik padanya.”

"B-Begitu, ya. Entah kenapa aku jadi malu ….”

"Ufufu. Begitulah. Jika kamu tidak keberatan, kamu bisa kok mampir dulu ke rumah kami. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu putriku, mari kita makan kue bersama."

"Oh, tidak. Aku mau—"

“Yuuya-kun. Kamu mau pergi?" Aoi meremas tanganku dan mengatakan itu dengan wajah seperti mau menangis. Sikap manjanya yang spontan ini tidak pernah berubah sejak dia masih kecil.

"Oke. Aku akan mampir sebentar."

"Serius? Yay!"

Aoi melompat-lompat dengan gembira sehingga membuatku bertanya-tanya ke mana perginya rasa sakit di lututnya itu. Di bawah langit yang tampak seperti menumpahkan jus jeruk, kami bertiga pergi ke rumah Aoi. Dalam perjalanan pulang, Aoi mengobrol dengan riang gembira. Entah itu tentang Bibi Ryoko, boneka beruang milik temannya, dan buku bergambar favoritnya. Dia sangat membanggakan semua hal itu, seakan-akan sedang memamerkan harta karunnya.

"Hee. Artinya Aoi menyukai banyak hal, kan?"

"Ya! Aku sangat menyukai mereka semua!"

Ekspresi Aoi bersinar terang di bawah naungan cahaya matahari senja. Begitulah awal pertemuan antara Aoi dan aku. Sebuah kenangan nostalgia, kenangan yang diwarnai dengan warna senja yang memukau.



Kesadaranku terbangun dan penglihatanku menunjukkan kamarku yang gelap. Aku terbangun dari mimpi di tengah malam dan bergumam, “Itu benar… Aku yang dulu sangat keren, dah."

Onii-san keren yang bisa melindungi Aoi. Jauh berbeda dengan aku yang sekarang, yang merupakan seorang pekerja yang membosankan. Sebaliknya, Aoi telah tumbuh dengan sangat luar biasa.

"Kamu seorang pekerja keras, ya.” Aku bergumam.

Aku juga tidak boleh kalah dan aku harus bisa menjadi orang dewasa yang layak sebagai walinya—Namun, suhu di balik selimut rasanya lebih hangat daripada biasanya. Selain itu, seperti ada sesuatu yang lembut menyentuh punggungku.

"Eeh!” Aku mengeluarkan suara kaget.

Aoi tidur dengan tangannya melingkari pinggangku. Situasi di mana posisi kami begitu erat. Karena itu pula, payudara Aoi yang luar biasa menghantamku. Tidak peduli seberapa besar tekanan payudaranya menekanku, ada semacam kelembutan yang seolah-olah menyelimutiku. "Funyaaa!" Sebuah suara menggoda terdengar di telingaku.

Mungkinkah dia bangun?

Dengan takut-takut aku menoleh dan menatap wajah Aoi.

"Yuuya-kun, hehehe. Aku sangat mencintaimu." Aoi bergumam dengan wajah yang gembira.

Ini bahaya. Gumamannya ketika tidur begitu imut. Belum lagi, kelembutan ini... astaga, mengapa gadis ini tanpa sadar menggodaku! Aku mulai merasa pusing. Aku tidak bisa menahannya lebih jauh lagi. Kemudian, aku melepaskan diri dari jeratannya dan bergegas turun dari tempat tidur.

"Maaf, Aoi. Silakan gunakan tempat tidurnya."

Lalu, aku diam-diam meninggalkan Aoi dan tidur di lantai ruang tamu.



Keesokan paginya, aku terbangun karena alarm smartphone-ku berbunyi. Punggungku pun terasa sedikit sakit, seperti yang sudah kuduga. Aoi memang benar, tidur di lantai bukanlah hal yang baik. Selanjutnya, aku menyadari kehadiran selimut di sana ketika aku duduk, mungkin dia yang telah menyelimutiku.

"Ah, Yuuya-kun. Selamat pagi." Aoi menyapa dan berlari ke arahku.

Dia sudah berganti pakaian santai dan mengenakan apron merah muda di atasnya.

"Selamat pagi, Aoi. Terima kasih untuk selimutnya."

"Terima kasih apanya? Bukannya aku sudah bilang jangan tidur di lantai?…. Ada apa?"
 
"Oh, ya. Sangat menyegarkan ketika bangun di pagi hari, ada seseorang di sana."

Mulai sekarang, Aoi akan berada di sana setiap pagi. Ini adalah pemandangan yang tidak bisa kubayangkan beberapa waktu yang lalu.

"Fufu. Aku juga merasa begitu. Tinggal satu ruangan bersama Yuuya-kun rasanya seperti sebuah mimpi."

"Seperti mimpi? Apanya, sih? Ha-ha-ha," balasku bercanda.

"Hmph, Yuuya-kun ini …. Jangan berpura-pura tidak tahu dengan tertawa. Sudah kubilang untuk tidak tidur di lantai, kan?"

"Oh, ya. Maafkan aku."

Mengecewakan sekali. Strategi "tertawa dan berpura-pura tidak tahu"-ku gagal.

"Aku sedang menyiapkan sarapan. Yuuya-kun silakan bersiap-siap dulu. Cuci muka dan gosok gigi juga, ya?"

"Kamu malah terdengar seperti seorang ibu." Sambil tertawa, aku meletakkan selimut kembali ke tempat tidur dan pergi ke kamar mandi.



"Terima kasih atas makanannya." Aku menyatukan kedua tanganku setelah menghabiskan makanan yang disiapkan oleh Aoi.

Sarapan pagi itu terdiri dari kombinasi sosis, telur goreng dan sup miso. Semuanya lezat, terutama telur dadarnya sangat istimewa. Rasanya pas, tidak terlalu manis, dan teksturnya yang lembut sempurna.
 
"Terima kasih atas makanannya … fuaahhh." Aoi meletakkan tangannya di atas mulutnya dan sedikit menguap.

"Arara. Tidak bisa tidur tadi malam?" tanyaku.

"Tidak, aku tidur dengan nyenyak, tapi mungkin aku lelah karena bergerak." Kemudian, Aoi menggosok matanya yang mengantuk, "Aku baik-baik saja. Jadi jangan khawatir," tambahnya.

Aku mengerti. Dia tidak memiliki energi untuk membongkar barangnya kemarin, jadi bisa dipastikan dia sangat lelah. Selain itu, besok adalah hari kerja, yang mana berarti Aoi harus bersekolah di pagi harinya. Mengingat hal itu, dia harus beristirahat hari ini. Walaupun sibuk dengan kegiatan membongkar barang dan berbelanja, tetapi setidaknya aku ingin membiarkan dia beristirahat di malam harinya.

"Ngomong-ngomong, Yuuya-kun. Apa rencanamu untuk hari ini?"

"Benar juga, ya …."

Aku ingin mendengarkan cerita Aoi di café, tetapi mungkin lebih baik kami pulang lebih awal dan segera makan malam. Dengan begitu, Aoi bisa beristirahat setelahnya. Memikirkan hal itu, aku mendapat ide yang bagus.

"Pertama-tama kita akan membongkar barang-barangmu. Setelah itu kita pergi berbelanja ke supermarket dan makan malam di luar, bagaimana?"

"Yuuya-kun. Jangan boros, oke?"

"Aku tidak boros, kalau sekadar makan di restoran itu masih wajar."

"Tapi …."

"Kamu tidak perlu sungkan, tahu? Lagi pula, aku sudah memutuskan kita akan pergi."

"Betapa keras kepalanya … Ah. Mungkinkah, kamu mengkhawatirkan aku? Karena aku lelah, kamu jadi menyarankan untuk makan di luar demi mengurangi pekerjaan rumah?"

"K-Kamu berpikirnya terlalu berlebihan, dah. Aku hanya ingin makan steak. Ha-ha-ha …." Aku tertawa dan menutupinya.

Aoi adalah seorang pekerja keras. Meskipun dia lelah, dia mungkin akan memasakkan makan malam untukku. Namun, aku tidak ingin memaksanya jika dia sendiri merasa lelah. Itulah sebabnya aku menyarankan untuk makan malam di luar. Di sisi lain, aku juga mendengarkan ceritanya Aoi di restoran, dan dia bisa beristirahat dengan lebih baik di sana.

"... Fufu. Memang seperti Yuuya-kun, ya."

"Eh? Apanya? Apa maksudmu?" tanyaku bingung.

"Bukan hal yang penting jika kamu tidak menyadarinya. Daripada itu, mari kita bersihkan piring-piring dan membuka barang-barangnya."

"Uh, ya?" Aku tidak mengerti apa yang dimaksud Aoi, tetapi tampaknya suasana hatinya sedang baik, jadi menurutku itu bukan masalah.

Selanjutnya, kami mencuci piring-piring dengan cepat dan mulai membongkar barang-barangnya.

"Aku akan mengurus pakaianku, jadi Yuuya-ku, tolong bantu urus kardus- kardus berat yang ada di sana."

"Oke."

Seperti yang diberitahukannya padaku, aku membuka kotak kardus yang telah ditentukan. Ada banyak buku di dalamnya. Selain novel dan buku masak, ada juga buku referensi belajar dan kamus bahasa Jepang.

"Apakah kamu suka belajar, Aoi?" aku bertanya kepada Aoi sambil meletakkan buku-buku di rak buku.

"Bagaimana mengatakannya, ya. Tapi, aku suka menghabiskan waktu di rumah untuk mempersiapkan pelajaran dan mengulasnya."

"Heee. Sungguh luar biasa kamu juga belajar di rumah."

"Bukan seperti itu. Lagi pula, tugas seorang pelajar itu belajar."

Aoi memang rendah hati, tetapi wajahnya tampak senang saat dipuji. Meskipun ini hanyalah percakapan santai, tetapi menurutku penting untuk mengetahui sisi lain dari dia yang tidak kuketahui.

"Hehe … aku jadi mendengar lebih banyak tentang Aoi …. Eh? Ini …."

Dari dalam kardus muncul sebuah boneka beruang. Ini benar-benar baru, berbeda dari yang biasa dimainkan Aoi ketika dia masih kecil.

"Aoi. Di mana kamu mau meletakkan boneka beruang ini?"

"Baiklah, letakkan saja Beatrix di atas rak buku."

"Ha? Beatrix?"

Dari alur percakapannya, Beatrix pasti boneka beruang ini. Jangan bilang, dia menamai boneka beruangnya sendiri? Aoi yang menyadari tatapanku, sedikit menghela napas kecil, dan mengambil Beatrix dariku.

"Aku sudah tidak main rumah-rumahan, oke?!"

"Ha-ha-ha. Aku tidak meragukanmu tentang hal itu. Aku hanya berpikir kamu memberinya nama."

"Apakah aku kekanak-kanakan?"

"Tidak, tidak kekanak-kanakan, sih. Aku juga akan memanggilnya Beatrix. Senang bertemu denganmu, Beatrix."

"Huuuh, syukurlah ya, Beatrix. Kamu sudah mendapatkan teman selain aku." Aoi dengan lembut memeluk boneka binatangnya. Ekspresinya selembut malaikat, dan sulit untuk tidak terpana saat melihatnya.

Aoi dibesarkan dalam keluarga yang hanya terdiri ibu dan anak, jadi dia pasti menghabiskan banyak waktu sendirian. Aku yakin boneka beruang ini menjadi teman bicaranya saat di rumah. Kebiasaan menenggelamkan kesepiannya ini mungkin terus berlanjut sampai sekarang. Karena itu … sebagai walinya, aku harus memastikan Aoi tidak lagi merasa kesepian. Ngomong-ngomong, ada satu hal yang membuatku penasaran.

"Umm begini? Mengapa kamu menamainya Beatrix?" tanyaku penasaran.

"Eh? itu …."

"Mungkin ini adalah permainan kata, karena dia beruang, jadi dia dipanggil Beatrix."

"Ya, begitulah! Bukankah namanya lucu?"

"Ha-ha-ha. Ya, menurutku namanya itu lucu."

"Moo! Kamu pasti menggodaku, kan?"

Wajah Aoi memerah dan dia memukul-mukul punggungku. Reaksinya sangat imut, tetapi dia akan marah jika aku mengatakannya, jadi aku memilih untuk menahan diri. Kemudian, Aoi mulai mengomeliku kalau "Yuuya-kun masih memperlakukanku seperti anak kecil," sembariterus membongkar barang-barangnya.

Proses pembongkaran belum selesai di pagi hari, dan kami harus berhenti untuk makan siang. Aku tidak ingin Aoi yang sedang lelah memasak. Karena itu aku menyarankan untuk membeli paket makan siang sederhana di minimarket dan menyantapnya dengan singkat. Meskipun Aoi merasa ragu dan sempat mengatakan untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya, tetapi dia menyantap makan siang minimarket itu dengan senang hati. Aku juga menyangka dia akan melarangku dengan alasan kesehatan, tetapi mengingat dia yang begitu mempedulikanku, membuatku merasa bahagia.

Setelah makan siang, kami melanjutkan pekerjaan. Selama pekerjaan berlangsung, futon Aoi pun tiba. Sekarang kami bisa tidur terpisah mulai malam ini. Lega rasanya, karena aku tidak akan bisa tidur jika jantungku terus berdebar setiap malamnya. Setelah membongkar barang-barang, kami beristirahat sejenak dan pergi ke supermarket bersama. Meski kami datang ke sana hanya untuk membeli beberapa kebutuhan sehari-hari dan makanan, Aoi merasa begitu bahagia.

Sekarang, setelah selesai berbelanja kami langsung pulang ke rumah sembari mengobrol santai.

"Yuuya-kun. Sudah hampir waktunya makan malam."

"Benar. Mari kita pergi ke restoran sesuai rencana."

"Yuuya-kun, kamu mau makan steak? Jangan makan terlalu banyak, lho. Apalagi, kamu sudah tidak muda lagi," katanya.

"Hei, hei …. Berhentilah memperlakukan aku seperti orang tua."

"Fufu, aku bercanda. Sekarang, ayo kita pergi lagi."

Sambil digoda oleh Aoi, aku bersiap-siap untuk meninggalkan rumah.

Kami melewati area perumahan dan berjalan di sepanjang jalanan utama. Jika kami berjalan lurus ke sini, kami akan tiba di depan stasiun. Seiring berjalan, kami mengobrolkan hal-hal sepele dan akhirnya segera tiba di sebuah restoran. Ini adalah restoran bergaya barat dengan reputasi yang baik di kalangan penduduk setempat, dan aku juga sudah pernah ke sana beberapa kali. Steak di sini begitu lezat dan restorannya cukup ramai, meski ada beberapa kursi yang kosong. Aku sempat berpikir tempatnya mungkin akan ramai pada waktu-waktu seperti sekarang, tetapi untungnya kami tidak perlu menunggu.

Pelayan meminta kami untuk mengisi tempat yang kosong, dan ketika memikirkan di mana harus duduk, "Oh, Aoi-cchi! Yuuya-kun juga ada di sini!" Tiba-tiba namaku dipanggil.

Aku pun melihat ke arah sumber suara dan mendapati ada seorang gadis berambut pirang yang sudah tidak asing lagi, duduk sendirian di meja untuk empat orang.

"Itu Rumi-chan, kita jadi sering bertemu dengannya, ya."

"Benar juga, sih."

Kami saling berpandangan, tertawa, dan pindah ke tempat Rumi duduk.

"Halo, Rumi-san," sapa Aoi.

"Aoi-cchi! Chisu-chisu ... aku tidak menyangka akan bertemu denganmu dua hari berturut-turut. Apakah ini takdir?"

"Ini namanya kebetulan, kan? Ngomong-ngomong, bukannya kamu bilang mau bermain dengan teman-temanmu hari ini?"

"Benar, dah. Aku bersamanya sebelumnya tahu, tetapi dia berkata 'aku akan pulang untuk makan malam' dan pergi meninggalkanku. Sayangnya, aku jadi makan malam sendirian. Apakah kalian berdua sedang berkencan?"

"Ke-Kencan, apanya? Kami di sini hanya untuk makan malam."

"… Walaupun sebenarnya, Aoi diam-diam senang karena dianggap sedang berkencan dengan penuh mesra."

"Moou! Rumi-san!"

"Oh, kamu malu!"

"Aku tidak malu!" Pipi Aoi yang menggembung begitu imut sehingga aku tidak bisa menahan tawa.

Berbicara tentang hal itu, Aoi sangat alami saat mengobrol dengan Rumi, tetapi aku penasaran tentang bagaimana dia bergaul dengan teman sekelasnya yang lain. Aoi berbicara dengan penuh hormat kepada semua orang, dan aku jadi khawatir kalau dia sedang membangun tembok di antara hatinya dan orang lain. Kebetulan Rumi ada di sini, mungkin menjadi kesempatan yang bagus untuk mendengar apa yang tidak kuketahui tentang Aoi di sekolah.

"Hei, Rumi-chan. Jika kamu tidak keberatan, bolehkah kami makan malam denganmu?"

"Tentu. Oh, tapi Aoi-cchi, apakah kamu lebih suka berduaan dengan Yuuya-san?"

"Tentu saja, itu salah. Mari kita makan malam bersama."

Lalu, Aoi lanjut berkata manja dengan nada yang sangat rendah, "Kita hanya berdua saja saat di dalam ruangan apartemen, jadi aku bisa menahannya untuk saat ini." Padahal, sebelumnya aku sudah bilang untuk tidak bersikap seperti itu padaku.

Aoi dan aku duduk berdampingan di hadapan Rumi. Kemudian, kami melihat satu menu bersama-sama. Aku sendiri memesan steak sedangkan Aoi memesan doria. Adapun Rumi, dia sudah memesan spageti telur ikan kod dan sekarang sedang menunggu makanannya tiba.

(TLN: Doria adalah nasi yang dicampur dengan saus putih, keju sekaligus beberapa seafood atau daging ayam dan daging sapi.)

Rumi berbicara kepada Aoi sambil tersenyum, dan berkata, "Hei, Aoi-cchi!"

"Hari ini adalah hari di mana aku ingin kamu menceritakan bagaimana kamu dan Yuuya-san pertama kali bertemu ...," lanjutnya.

"Awal kami bertemu, itu bukanlah cerita yang menarik. Saat itu, lutuku tergores di taman dan Yuuya-kun menyelamatkan aku."

"Oh, begitu. Dan hanya begitu saja? Jadi, Aoi-cchi jatuh cinta pada Onii-san yang baik hati saat masih kecil?"

"J-Jangan membahas tentang aku. Mari kita ngobrol tentang sekolah saja."

Karena topiknya segera menjadi topik yang menarik, aku segera menyela pembicaraan mereka.

"Oh, aku juga ingin mendengarnya."

"Seperti yang diharapkan dari Yuuya-kun. Aku tahu kamu akan menyambung ucapanku."

"Tentu saja, dong. Hei, Rumi-chan ... seperti apa Aoi di sekolah?"

"Bagaimanapun juga, kalian sedang membicarakan aku, kan?"

Aoi memelototiku dengan wajah masam, tetapi menurutku itu lebih baik daripada membicarakan tentang cinta. Dia juga tidak berusaha menghentikan pembicaraan.

"Aoi-cchi di sekolah ya … aku kira dia adalah orang yang serius dan tegas. Aku sudah melihat dia diandalkan oleh teman-teman sekelasnya beberapa kali sejak awal semester baru, dan pada kenyataannya, aku juga bergantung padanya."

"Senang mendengarnya. Apakah dia bergaul dengan baik dengan teman-teman lainnya?"

"Ya. dia punya banyak teman selain aku. Yah, meskipun aku adalah teman terbaiknya!"

"Begitu, ya. Aoi yang dulunya cengeng itu sudah dewasa, kan?"

"Yuuya-kun. Kata-katamu itu sudah seperti seorang Ojii-san dari kerabatku, lho." Aoi mengatakan hal itu dengan ekspresi tercengang di wajahnya.

Tolong jangan perlakukan aku seperti para Ojii-san, aku masih berusia 20-an. Sebelum aku sempat memprotesnya, Rumi berkata dengan wajah marah, "Tapi sayang sekali."

"Sayang sekali? Kenapa?" tanyaku heran.

"Karena, yah, orang-orang tidak menyadari sifat Aoi-cchi yang sebenarnya."

"Sifatnya yang sebenarnya?"

Mengatakan "sifat sebenarnya", maksudnya itu, Aoi menyembunyikan sisi aslinya, kan?

Aoi adalah seorang gadis yang serius, tegas dan dapat diandalkan oleh teman- teman sekelasnya. Sisi asli dari Aoi tersebut adalah … tidak, tidak. Tidak terbayangkan olehku kalau Aoi memiliki sisi rahasianya.

"Rumi-chan. Apa yang kamu maksud dengan sifat sebenarnya?" Aku bertanya dengan ragu-ragu, yang dibalas oleh Rumi sambil menggoyangkan bahunya.

"Orang-orang tidak tahu kalau Aoi-cchi itu sangat imut!" Bang! Rumi memukul meja dengan keras. Bahkan, aku dan Aoi hampir terguncang oleh kata-katanya yang tidak terduga itu.

"Kamu mengerti, kan Yuuya-san? Aoi-cchi itu orang yang kikuk! Dia benar- benar lucu!"

"Ah. Dia biasanya tegas, tetapi terkadang dia bisa bertindak sedikit alami, begitu, sih."

"Benar, kan!? Itulah yang membuatnya menjadi yang terbaik dan paling emo!"

"Rumi-san. Ini memalukan, tolong jangan meneriakkan hal-hal yang aneh di dalam toko."

Pidato Rumi yang penuh semangat itu terus berlanjut, tanpa menghiraukan protes Aoi.

"Dengar, Yuuya-san. Aoi-chi pernah mencoba membuka pintu laboratorium sains beberapa hari yang lalu. Dia berusaha keras untuk menariknya, tetapi tidak mau terbuka sama sekali. Lalu dia berkata dengan wajah serius, seperti ‘Ini aneh … seharusnya pintu ini tidak terkunci," tetapi … itu adalah jenis pintu yang harus didorong! Akhirnya, dengan ekspresi bingung di wajahnya, dia berkata, 'Ugh, pintunya macet ......!’ Tidak, itu mah didorong! Kenapa dia malah bersikeras untuk menariknya!? Biasanya juga, memang harus didorong, tahu! Nah, Aoi yang bengong sejenak saat dia merasa kesal, bukankah sangat menggemaskan!?"

"Iya menggemaskan … atau lebih tepatnya menarik."

"Benarkan? Benar-benar menggemaskan! Ha-ha-ha!"

"Ya. Serius … pfft, haha!"

"—Kalian berdua. Tidak seharusnya kalian mengolok-olok kesalahan orang lain, kan?"

Aoi mengatakan ini sambil tersenyum, tetapi matanya justru sebaliknya. Pesan "Aku bakalan marah, tahu?" terasa sangat jelas dan begitu menakutkan.

""Aoi-san. Maafkan aku …. ""

"Bagus."

Ketika kami meminta maaf serentak, Aoi mengangguk puas. Mulai sekarang, kami akan berhenti terlalu berlebihan dalam mengganggunya.

"Yah, begitulah caraku bergaul dengan Aoi." Rumi mendapatkan kembali ketenangannya dan berbicara kepadaku dengan berbisik.

"Aoi-cchi akan selalu berbicara sopan kepada semua orang, dan ekspresinya kaku sampai kami saling mengenal. Tapi, pada semester yang baru baru saja dimulai ini, dia sudah membuka diri kepada teman-teman sekelasnya yang baru dan bisa tertawa secara alami. Jadi, jangan khawatir, Yuuya-san."

Rumi selesai dan mengedipkan mata ke arahku. Jangan khawatir, ya …. Kamu telah mendapatkan teman yang baik hati … Aoi.

"Terima kasih, Rumi-chan. Sekali lagi, tolong jaga Aoi dengan baik."

"Tidak masalah. Percayakan saja Aoi padaku."

"Apa yang kalian berdua bicarakan?" Aoi memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu.

"Bukan apa-apa. Benarkan, Rumi-chan?"

"Ssst Ssst. Rahasia hanya antara aku dan Yuuya-san."

"Apa itu? Katakan padaku. Kalian membuatku penasaran, tahu?"

"Ti-dak …. Ini rahasia."

"Moo! Jangan jahat begitu, dong!"

Aku tidak bisa menahan senyumku saat melihat mereka berdua dengan riang bercanda bersama dan aku sangat senang kalau dia telah mendapatkan teman yang baik.

—Adapun dalam perjalanan pulang, Aoi terus-menerus bertanya kepadaku tentang apa rahasia itu.
 

TL: Zho (YouthTL)  

 

Prev Chapter || ToC || Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close