NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kutabire Salarymen no Ore, 7nenburi ni Saikai shita Bishoujo V1 Chapter 3

Chapter 3 - I Love You, Sweetie

Dua bulan sudah berlalu sejak aku mulai hidup bersama Aoi. Suatu pagi, ketika aku mulai terbiasa dengan kehidupan baruku, aku terbangun. Saat itu, Aoi sudah menyiapkan sarapan. Dia mengenakan apron putih yang menutupi seragam sekolahnya.

"Selamat pagi, Aoi," sapaku.

"Selamat pagi. Sarapan akan segera siap, jadi silakan bersiap-siap dulu."

"Ya. Terima kasih untuk semuanya."

"Bukan apa-apa, kok. Karena Yuuya-kun menyantapnya dengan sangat nikmat, aku jadi punya tujuan dalam memasak," balasnya.

Hmm~ hmm~ hmm~, Aoi melanjutkan memasak sambil menyenandungkan lagu. Di sisi lain, aku juga mulai terbiasa melihat pemandangan ini. Selanjutnya, aku pergi ke kamar mandi. Sehabis menyikat gigi, aku mengambil pakaian ganti seperti biasanya. Namun, aku melihat sesuatu yang aneh saat berganti pakaian.

"Oh, kerutannya sudah hilang," gumamku.

Lengan dan keliman yang kusut telah dirapikan. Bagian kerahnya juga terasa sangat mantap. Kemeja yang biasa aku kenakan terlihat mengkilap dan baru, pasti karena Aoi yang sudah menyetrikanya. Lalu, aku memasukkan lenganku ke dalam kemeja yang terlihat baru itu, merasa lebih antusias dan segar daripada biasanya. Kemudian, aku mengenakan jas dan dasiku, lalu bersiap- siap pergi ke meja makan. Adapun di atas meja makan, sudah tersedia roti panggang, salad, telur rebus dan susu. Mungkin, menu itu disiapkan dengan mempertimbangkan nutrisi.

"Aoi, kamu yang menyetrikanya, kan? Terima kasih."

"Sama-sama. Menurutku, menjaga penampilan akan membuatmu merasa lebih baik dan membantumu bekerja lebih prima, … seperti yang baru saja kukatakan!"

"Eh? Apanya?"

"Dasimu itu, timpang." Aoi meraih leherku dan mengikat dasiku lagi.

"Mouu. Jangan ceroboh, oke?"

"Ma, Maaf. Aku akan lebih berhati-hati."

Situasi di mana teman seruanganku membantu mengenakan dasi … seperti pasangan pengantin baru yang sedang bermesraan, membuatku malu. Wajahnya begitu dekat denganku. Wajah mungilnya yang berkulit putih, terlihat seperti idola. Mungkin ini berdasarkan pandanganku sebagai orang tua, tetapi menurutku, dia cukup cantik dibandingkan dengan teman-teman seumurannya.

"Ya. Ini sempurna."

"Terima kasih, Aoi."

"Apakah ada yang salah? Apakah lehermu agak tercekik?"

"Tidak, cuma bagaimana mengatakannya, ya … Aoi, kamu sudah menjadi gadis yang cantik."

Oh, astaga! Aku baru saja mengutarakan perasaanku yang sebenarnya.
 
"J-Jangan mengatakan sesuatu yang aneh secara tiba-tiba. Baka!" Bibir Aoi tersenyum ketika dia mengatakan sesuatu seperti itu.

Sementara membayangkan reaksinya yang imut itu, aku tiba di meja makan.



Sekarang sudah hampir pukul 17.00. Sejak aku menjadi walinya Aoi, sikapku terhadap pekerjaan pun berubah. Demi mengurangi kerja lembur dan berusaha pulang lebih awal, aku telah meninjau ulang secara menyeluruh alokasi kerja dalam tim. Bahkan sekarang, aku berkeliling kantor, meminta semua orang untuk melakukan pekerjaan mereka.

"Iidzuka-san. Bolehkah aku memintamu untuk menyelesaikan hal ini pada akhir pekan ini?"

"Dimengerti. Serahkan saja padaku, Yuuya-kun."

Aku menugaskan pekerjaan ini kepada Iidzuka Mayuri-san, anggota proyek lainnya, dan dia langsung setuju untuk melakukannya. Dia dua tahun lebih senior dariku. Dia adalah seorang programmer yang terampil dan pekerja yang cepat. Dia adalah orang yang meyakinkan, yang berkata sambil tersenyum, "Serahkan saja padaku," bahkan ketika dia diminta untuk melakukan sesuatu yang sedikit tidak masuk akal.

"Oh iya, Iidzuka-san. Tentang API, bagaimana perkembangannya?" Sederhananya, API seperti konektor yang menghubungkan A dan B, software dan program yang berbeda, agar mereka dapat bekerja sama. Ini adalah hal yang memungkinkan orang-orang untuk mendaftar dan masuk ke layanan lain menggunakan akun layanan jejaring sosial utama mereka.

(TLN: Ya, seperti mengaitkan akun Google ke berbagai media sosial, begitu)
 
"Menurutku, sudah sekitar 70% selesai. Aku akan menyelesaikannya dalam waktu yang cukup sebelum tenggat waktu, jadi jangan khawatir."

"Terima kasih banyak. Itu sangat membantu," balasku.

Bagus. Sekarang, pekerjaan telah terdistribusi, dan aku juga sudah tahu bahwa Iidzuka-san memiliki waktu yang cukup luang. Aku akan meminta bantuannya lagi saat aku dalam kesulitan. Nah … sekarang aku akan memeriksa perkembangan rekan juniorku, Itou-kun.

Dia sangat cermat dalam bekerja dan jarang membuat kesalahan, tetapi kemajuannya sedikit lambat dan cenderung menyelesaikan pekerjaannya mendekati tenggat waktu. Jelas, pengawasan terhadapnya adalah suatu keharusan. Aku ingin bekerja lembur dan melanjutkan pekerjaanku, tetapi ada Aoi yang menungguku di rumah. Aku ingin pulang lebih awal dan menghabiskan waktu bersamanya. Karena itu, aku akan membatasi kerja lembur sebelum tenggat waktu.

Begitu aku kembali ke mejaku, Chizuru-san, yang duduk di sebelahku, menepuk pundakku, "Yuuya-kun. Kamu juga tampak telah bekerja keras hari ini."

"Ya. Aku telah bergabung dengan perusahaan ini selama tiga tahun. Aku merasa harus menjadi yang terdepan sesegera mungkin."

Sebenarnya, karena ada seorang gadis di tempat tinggalku, dan aku tidak bisa mengatakan itu meskipun aku menginginkannya. Memberitahu bahwa aku hidup bersama seorang gadis SMA, sama saja membuatku mati secara sosial terlebih dahulu, dan kalaupun tidak terjadi, aku pasti akan diolok-olok olehnya. Chizuru-san adalah orang yang seperti itu.

"Fufu. Kamu akan menjadi yang terdepan sekarang. Setidaknya, begitulah penilaianku. Senang rasanya melihat bawahanku yang imut tumbuh dewasa."

"Hah? T-Terima kasih." Pipiku menjadi rileks saat mendengar kata-kata pujian tak terduga dari atasanku.

Namun kegembiraan itu hanya berlangsung sesaat.

"Oh, begitu. Kamu berkembang dengan sangat cepat … bahkan dengan cara yang tidak wajar."

"Ya?"

"Kamu mengubah metode kerjamu baru-baru ini, kan? Kamu telah menyeimbangkan alokasi pekerjaan dengan mengidentifikasi mereka yang mampu dan mereka yang masih membutuhkan pengawasan. Padahal sebelumnya, kamu biasa menindaklanjuti semua anggota sendirian. Bukankah itu benar?"

"Ya. Apakah ada masalah?"

"Tidak. Dari sudut pandangku, ini adalah perubahan yang bagus. Tapi, seorang bawahan yang biasanya bekerja lembur tiba-tiba mulai mengubah rutinitas kerja mereka itulah yang membuatku khawatir. Seolah-olah dia ingin pulang lebih awal."

B-Begitu jeli. Chizuru-san sangat cermat dalam mengawasi bawahannya.

"Maaf, Chizuru-san. Menurutku, wajar jika seseorang ingin pulang lebih awal."

"Memang benar, tapi—"

"Bukan karena ada alasan yang penting juga, sih. Chizuru-san sudah mengatakannya sebelumnya bahwa cara bekerja itu juga merupakan sebuah pilihan. Aku hanya mempraktikkan saran atasanku."

"Hmm. Mempraktikkan saranku, ya …." Chizuru-san menatapku seolah-olah dia sedang memeriksa seluruh tubuhku.

Ini gawat. Dia mulai curiga padaku. Aku tidak berniat untuk menyerah, tetapi lawanku ini adalah Chizuru-san. Dia adalah orang yang sangat memperhatikan bawahannya, mungkin karena itulah dia merasakan ada yang aneh dengan perubahan pada diriku.

"Yuuya-kun. Jam berapa kamu akan pulang hari ini?"

"Eh? Mungkin setelah pukul 18:30."

"Oke. Semoga sukses dengan pekerjaanmu." Dengan kata-kata ini, Chizuru-san kembali ke pekerjaannya.

Mengapa dia menanyakan waktuku pulang bekerja?

"Aku memiliki firasat buruk tentang hal ini," gumamku sendiri.

Tanpa mengetahui maksud sebenarnya dari Chizuru-san, aku pergi menuju meja kerja Itou-kun.



Seperti yang sudah direncanakan, aku menyelesaikan pekerjaan sekitar pukul 18:30. Dibandingkan dengan hari-hari ketika aku bekerja hingga pukul 21:00, aku yang pulang kerja lebih awal seperti sebuah kebohongan.

"Terima kasih atas kerja keras kalian. Aku pulang duluan."

Dengan menyapa para karyawan di sekitarku, aku menuju pintu keluar kantor. Saat menunggu lift, aku mendengar suara derak hak sepatu, sehingga aku menoleh ke arah sumber suara. Di sana ada Chizuru-san yang menghampiriku sambil tersenyum, "Hei. Yuuya-kun. Aku juga sedang dalam perjalanan pulang sekarang."

"Anda meninggalkan kantor seperti yang aku jadwalkan."

"Apa yang kamu bicarakan?"

"Jangan bermain-main denganku. Anda tadinya bertanya kapan aku akan pulang, kan?"

"Aah~. Sepertinya, aku pernah menanyakan hal seperti itu. Aku benar-benar sudah lupa."

Sudah pasti itu kebohongan. Meskipun Chizuru-san sering membuat komentar yang tidak berarti tetapi dia tidak akan pernah menanyakan sesuatu tanpa tujuan. Aku, yang merupakan bawahannya sangat memahami hal itu.

"Astaga … bukannya lebih bagus kalau Anda langsung saja mengatakan ‘ayo pulang bersama’, begitu?"

"Umm. Bisa saja sih aku mengajakmu pulang bersama. Tapi, kurasa akan lebih baik jika kita pulang bersama secara alami mengingat waktu pulang kita yang bersamaan."

"Lebih baik?"

"Sederhananya saja. Seandainya aku mengajakmu kencan, ada kemungkinan kamu akan menolak, kan? Namun, jika waktu pulang kita kebetulan bertepatan, maka kamu tidak punya pilihan lain selain pulang bersamaku."

"Uwaa. Pintar sekali."

"Ha-ha-ha. aku percaya diri dengan kepintaran dan kemampuan minumku."
 
"Jadi begitu. Itulah sebabnya Anda tidak bisa mendapatkan pacar."

"Ha!? Mau kubakar mejamu?!"

"M-Maafkan aku. Aku terbawa suasana."

Dia menatapku dengan tatapan jahat dan saat itu juga aku merasa tidak bisa mengalahkan Chizuru-san selamanya.

"Terlepas dari semua lelucon itu, aku ingin berbicara dengan Yuuya-kun hari ini. Sesekali, tidak ada salahnya pulang bersama sambil bersenang-senang dengan atasanmu."

"Itu sesuatu yang biasanya tidak aku sukai, tetapi … apakah itu artinya kamu mengajakku pergi untuk minum-minum?"

Chizuru-san adalah orang yang sangat suka minum-minum. Seringkali dia membawaku ke restoran dengan sake dan makanan yang lezat. Namun akhir- akhir ini dia tidak mengundangku karena aku yang sering lembur. Jika itu terjadi pada saat yang biasa, aku tidak akan keberatan untuk pergi minum- minum dengan Chizuru-san. Lagi pula, aku punya banyak masalah dan keluhan tentang pekerjaan. Namun sekarang, aku ragu untuk menerima undangannya yang mendadak karena ada Aoi yang sedang menungguku dengan makan malam yang sudah tersedia. Jika aku akan pergi keluar untuk minum, aku harus memberitahunya terlebih dahulu.

Ketika memikirkan apa yang harus dilakukan, Chizuru-san menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak, aku minta maaf karena mengajakmu pergi minum. Tapi, selama aku bisa pulang sambil berbicara denganmu, maka itu sudah cukup."

"Pulang bersamaku?" Aku kehabisan napas. Apa-apaan ini? Jadi, bukan ajakan untuk pergi minum?
 
Sementara itu, apa maksudnya dengan "aku minta maaf"?

"Untungnya, stasiun terdekatku dan Yuuya-kun sama. Jadi, kita punya lebih dari cukup waktu untuk berbicara dalam perjalanan pulang."

Aku dan Chizuru-san tinggal berdekatan dan menggunakan stasiun yang sama. Itulah sebabnya, apa yang dia katakan itu semakin mencurigakan. Padahal, kami bisa saja minum-minum sampai larut malam di izakaya terdekat. Terlebih lagi, jam pulang kerja kami lebih awal hari ini, sehingga ini menjadi kesempatan yang bagus untuk minum lebih banyak dari biasanya. Sebenarnya, apa yang dia rencanakan sampai mau melewatkan kesempatan yang bagus ini?

"Baiklah ... Yuuya-kun. Lift-nya ada di sini."

"I-Iya," aku naik ke lift, sambil merasa curiga dengan perilaku Chizuru-san.



Hari ini aku beruntung mendapatkan tempat duduk. Setelah naik kereta, aku bersyukur karena dua penumpang yang duduk di depanku turun di stasiun berikutnya. Sekarang, sambil terombang-ambing di dalam kereta, aku mengeluhkan tentang pekerjaanku kepada Chizuru-san.

"Sebenarnya, beban pekerjaan kami yang harus dilakukan begitu banyak. Tanpa adanya Iidzuka-san, aku pasti sudah bekerja lembur sampai larut malam bahkan sampai hari ini."

"Haha. Iidzuka-kun bekerja dengan sangat cepat. Pinjamlah bantuannya, oke?"

"Mn. Namun begitu, tidak bagus jika aku membebankan pekerjaan itu kepada Iidzuka-san."

"Tentu saja, akan buruk untuk terlalu bergantung padanya. Tapi dia adalah tipe orang yang sangat termotivasi ketika dia sedang terbakar oleh semangat. Tetapkan tenggat waktu yang cermat agar tidak menjadi beban yang terlalu berat."

"Aku mengerti. Lalu, apa yang Anda maksud dengan aku yang sudah belajar banyak hal?"

Suatu hal yang penting untuk mendistribusikan pekerjaan setelah mengetahui karakteristik dan kekuatan setiap individu secara menyeluruh. Seperti yang diharapkan dari Chizuru-san, apa yang dia nasihatkan itu sangat membantu. Aku terkesan, tetapi sekarang aku menyadari bahwa aku adalah satu-satunya yang mengeluh.

"Ehh! …. Um, aku minta maaf karena selalu mengeluh tentang pekerjaan."

"Tidak, tidak apa-apa. Sangat menarik mendengarkan ceritamu. Karena kamu orang yang menyenangkan untuk digoda," candanya.

"Anda memiliki standar kesenangan yang aneh. Ngomong-ngomong, apakah ada yang ingin Anda sampaikan kepadaku? Bahkan, sampai menyergapku dalam perjalanan pulang."

"Umu ... begitulah." Chizuru-san menunjuk dengan jari yang tajam di antara kedua alisku dan kemudian berkata, "Kamu punya pacar, kan?"

"Hah?"

"Dan kamu hidup bersama, kan?"

"Apa!?"

Tiba-tiba saja rahasiaku terbongkar dan pikiranku pun menjadi kosong. Suatu hal yang gila. Bagaimana bisa Chizuru-san tahu tentang hal itu? Aku sangat yakin bahwa tidak pernah memberitahu siapapun kalau aku hidup bersama Aoi.

"Fufufu, sepertinya aku benar, ya."

"B-Bagaimana Anda bisa tahu?" tanyaku heran.

"Pertama, adalah penampilanmu. Aku melihat sesuatu yang aneh ketika kamu mengenakan dasi, yang biasanya tidak pernah rapi. Aku penasaran, jadi aku mengamatimu lebih dekat lagi dan melihat ada satu perubahan lagi. Kemejamu, yang sebelumnya kusut, sudah disetrika dengan baik, kan?"

Dia bercanda, kan? Dia memperhatikan anak buahnya sampai ke hal yang begitu detail.

"Aku telah menjadi atasanmu selama ini dan kamu tidak pernah menyetrika rapi pakaianmu. Sulit membayangkannya sih kalau kamu tiba-tiba mulai menjaga penampilan. Jadi, aku berasumsi bahwa Yuuya-kun tidak akan mungkin menyetrika dengan rapi sendiri, melainkan dia akan menyuruh orang lain menyetrikanya."

"H-Hebat …."

"Jadi siapa yang menyetrika pakaianmu? Sangat mudah untuk menebaknya bahwa itu adalah istri atau pacarmu. Tapi, karena kamu belum menikah, aku menduga itu adalah pengikut setiamu."

Ggh … membuat gelisah, dah … sejauh ini tebakannya benar. Namun, aku masih memiliki celah untuk membantah.

"Tapi itu saja tidak cukup untuk menjadi alasan kalau kami 'hidup bersama', kan?"

"Itu karena dasimu. Kamu sering mengenakan dasi yang timpang, kan? Seperti halnya menyetrika, jika dia juga memperbaiki yang satu ini, lalu kapan dia akan merapikannya?"

"Tentu saja dilakukan saat sebelum aku pergi bekerja!"

"Umu. Pagi ini, penampilanmu dirapikan oleh seorang wanita. Fakta bahwa dia bersamamu di pagi hari membuktikan bahwa kamu hidup bersamanya."

"Lo-Logika yang sempurna!"

"Puncaknya, perubahan cara kerjamu terhadap pekerjaan. Bukankah alasan kamu bekerja begitu keras karena kamu menemukan seseorang untuk dilindungi? Bukankah alasanmu ingin pulang lebih awal karena ada orang penting yang menunggumu pulang? Ayolah! Menyerahlah dan akui saja!"

"Detektif-san … aku menyerah."

Entah apa yang sedang terjadi, tetapi dia telah menjebakku. Melawannya pun aku takut.

"Ah … Mungkinkah Chizuru-san tidak mengundangku pergi untuk minum- minum hari ini?"

"Bukankah tidak baik jika pacarmu sudah menyiapkan makan malam dan menunggumu? Mulai sekarang aku akan membuat janji terlebih dahulu sebelum mengajakmu pergi."

"Anda tidak hanya menebaknya dengan sempurna, tetapi Anda juga sangat perhatian."

Satu-satunya perbedaan adalah bahwa teman satu tempat tinggalku itu adalah seorang gadis SMA, bukan pacar, dan aku juga adalah walinya. Akan tetapi, menjelaskan hubungan antara aku dan Aoi akan berakhir dengan merepotkan. Maaf, aku hanya akan membiarkannya seperti ini saja.

"Kamu baru saja hidup bersama, kan?"

"Ya, baru sekitar dua bulanan."

"Oh, benarkah? Bagaimana mungkin kamu bisa menjadi orang sukses hanya dalam waktu dua bulan? Kekuatan cinta itu memang luar biasa, ya."

"Hei, jangan menggodaku."

"Ha-ha-ha. Lalu, seperti apa dia? Orang dari tempat kerja?"

"Tidak. Aku sudah mengenalnya sejak lama dan dia lebih muda dariku."

"Lebih muda? Terlepas dari penampilanmu, ternyata kamu cukup mesum, ya."

"Mengapa Anda berkata seperti itu?"

Ketika kami berada di kereta, Chizuru-san bertanya banyak hal tentang teman satu tempat tinggalku. Aku dengan hati-hati menjawab berbagai pertanyaannya agar dia tidak tahu bahwa orang itu adalah seorang gadis SMA. Setelah beberapa saat, kereta pun tiba di stasiun terdekat.

"Chizuru-san. Kita sudah sampai."

"Oh, sayang sekali. Waktu bertanya sudah berakhir."

Kemudian, kami turun dari kereta dan melewati gerbang tiket. Ketika kami sampai di pintu masuk stasiun, kami melihat orang-orang berlalu-lalang membawa payung, mungkin sudah mulai musim hujan.

"Sepertinya sedang turun hujan."

"Memang benar. Astaga, aku lupa membawa payungku."

Eh? Bahkan Chizuru-san yang selalu sempurna pun terkadang melupakan sesuatu. Hal ini sangat mengejutkan. Kemudian, aku mengeluarkan payung lipat dari dalam tas dan berkata, "Ini payung, silakan gunakan jika Anda suka."

"Apa? Aku menghargai kebaikanmu, tapi bagaimana denganmu, Yuuya-kun?"

"Ini hanyalah hujan gerimis, jadi aku masih bisa pulang dengan berlari."

"Itu tidak bagus, tahu. Aku akan membeli payung di minimarket saja," balas
Chizuru-san.

"Jangan khawatir tentang hal itu. Selain itu, aku memang sedang ingin berlari."

Ketika aku mengangkat kakiku untuk menunjukkannya, Chizuru-san tertawa kecil.

"Kamu benar-benar baik hati, ya. Meskipun tidak perlu sampai sekhawatir itu."

"Haha … apakah itu tampak sedikit berlebihan?"

"Ya. Aku menghargai perhatianmu. Tapi aku masih merasa tidak nyaman meminjam payung itu darimu. Bagaimana kalau kita berbagi payung? Mungkin akan menyenangkan untuk kembali merasa seperti mahasiswa lagi."

"Eh, dengan Chizuru-san?"

"Kenapa? Kamu keberatan? Apakah terlalu berat bagimu untuk berbagi payung dengan seseorang yang sudah berusia 30-an?"

"Tidak, bukan begitu maksudku."

"Hmm. Apakah kamu tidak enak dengan pacarmu? Seperti yang diduga dari seorang pria yang populer, dia pasti punya alasan untuk dikatakan, ya?" Chizuru-san menatapku dengan cemberut. Si gadis sensitif ini, dia datang lagi.

Sewaktu aku sedang memikirkan cara untuk memperbaiki suasana hati Chizuru-san, aku melihat seorang gadis yang menatapku dari kejauhan.

"Eh … Aoi?" ucapku.

Aoi mengenakan seragam sekolahnya, memegangi payung kuning sambil menatapku dengan gelisah. Kemudian, dengan ragu-ragu dia mendekatiku.

"Terima kasih atas kerja kerasmu, Yuuya-kun," sapa dia.

"Aoi … apakah kamu di sini untuk menjemputku?"

"Ya. Pagi ini, aku tidak memeriksa apakah Yuuya-kun sudah membawa payung atau tidak, jadi aku khawatir kalau kamu akan kehujanan. Aku sudah meneleponmu … tidakkah kamu menyadarinya?"

"Serius? Maaf, aku tidak menyadarinya."

Oh, sial. Karena Chizuru-san mengajukan begitu banyak pertanyaan, aku sampai tidak punya waktu untuk memeriksa smartphone-ku. Aoi mengalihkan pandangannya dariku dan menatap Chizuru-san. Matanya serius, seakan-akan dia sedang menilai sesuatu dengan teliti.

"Oh iya, Yuuya-kun. Siapa ini?" tanya Aoi.

"Dia, Tsukishiro Chizuru-san. Dia atasanku dan aku sangat berhutang budi padanya."

"Jadi, dia bosmu, ya?"

"Ya. Karena kebetulan berada di stasiun yang sama, kami jadi naik kereta yang sama."

"Oh, begitu. Salam kenal, namaku Shiratori Aoi." Aoi menyapa Chizuru-san. Apakah ini hanya imajinasiku, kalau dia kelihatan cukup lega?

"Salam kenal juga, Aoi-chan. Aku Tsukishiro Chizuru. Senang bertemu denganmu … Yuuya-kun. Bolehkah aku bicara denganmu sebentar?"

Chizuru-san menarik tanganku dan menjauh dari Aoi, lalu berkata, "Yuuya- kun. Kamu terkadang melampaui ekspektasiku."

"Apa yang Anda maksud dengan melampaui ekspektasi?"

"Kalian hidup bersama, kan?"

"Eh?"

Darahku seolah membeku.

Astaga, atasanku tahu bahwa aku tinggal dengan seorang gadis SMA. Jika sudah begini, aku harus mencari-cari alasan dan menutupinya sekarang. Tidak, itu sudah tidak mungkin. Aoi menggunakan kata "pagi ini" dalam percakapan sebelumnya. Jadi, sudah jelas bahwa dia tidur di tempat tinggal yang sama denganku. Chizuru-san sudah pasti akan bertanya, "Kalian hidup bersama, kan?" berdasarkan pernyataan Aoi sebelumnya.

Belum lagi, aku tidak percaya diri dengan kemampuanku untuk menipu Chizuru-san yang cerdas dalam situasi seperti ini. Aku menyerah dan memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Ya, aku hidup bersama Aoi." Aku menjelaskan secara singkat bahwa aku hidup bersama Aoi sebagai walinya.

"Oh, begitu. Jadi, itulah alasannya, ya. Sekarang aku mengerti mengapa Yuuya-kun ingin merahasiakannya."

"Maafkan aku … apakah Anda akan menyebarkannya?"

"Aku terkejut sih, tetapi aku tidak akan menyebarkannya. Kamu telah bekerja keras demi dirinya dan dia juga sudah berusaha mendukungmu. Ini adalah hubungan yang indah."

"Chizuru-san, …." Aku sempat cemas memikirkan bagaimana reaksinya, tetapi setelah tahu dia menerimanya, aku menjadi lega. Mungkin merupakan berkah tersembunyi kalau Chizuru-san adalah orang yang kebetulan mengetahuinya.

"Ngomong-ngomong, apakah Aoi-chan, mengenakan apron dan seragam sekolahnya saat di rumah? Bagaimana menurutmu? Apakah dia imut?"

Aku menarik kembali komentarku yang sebelumnya. Aku sudah lupa bahwa Chizuru-san memang orang yang menyebalkan dengan gayanya sendiri.

"Asal tahu saja, aku tidak punya yang namanya fetish apron dan seragam sekolah, oke?"

"Jawab saja pertanyaanku. Apakah dia imut?"

"Tentang itu … yaah~"

"Selamat. Kamu baru saja dipromosikan menjadi kepala bagian permesuman."

"Aku telah dipromosikan ke posisi yang memalukan?!"

Justru, aku lebih suka naik pangkat melalui pekerjaan. Rasanya ingin menangis, dah.

"Ehm, apa yang kalian bicarakan?" Aoi bertanya dengan rasa penasaran.

"Oh, tidak. Aku hanya sedang membicarakan tentang meminjamkan payungku kepada Chizuru-san."

Karena tidak ingin melibatkan Aoi dalam pembicaraan yang tidak penting ini, aku mengecohnya dengan mengatakan sesuatu yang masuk akal.

"Jadi, Chizuru-san ... kali ini, Anda akan menerimanya, kan?"

"Ya, begitulah. Aku akan mencoba menyelamatkan wajah seseorang yang peduli dengan teman satu tempat tinggalnya." Chizuru-san melirik ke arah Aoi yang wajahnya tersipu ketika digoda.
 
"Ah, baiklah, aku dan Yuuya-kun akan—"

"Yuuya-kun baru saja bercerita tentang hubungan kalian. Tidak apa-apa, Aoi-chan. Aku tidak akan mengumbarnya kepada siapapun. Dan satu nasihat dari Onee-san-mu ini ... sering-seringlah bersikap manja kepada pacar yang lebih tua. Keimutanmu itu akan memenangkan hatinya."

Aoi semakin tersipu malu dan berusaha menundukkan wajahnya ketika diberitahu hal seperti itu. Aku sendiri bahkan tidak mengerti maksud dari kata-kata Chizuru-san. Eh? Apakah maksudnya itu karena dia masih di bawah umur, Aoi harus lebih bersikap manja kepada walinya? Aku penasaran, tetapi aku tetap memberikan payung yang terlipat kepada Chizuru-san.

"Terima kasih, Yuuya-kun. Aku akan membalas budi dengan setengah dari nilai bantuan ini."

"Bukankah balas budinya jadi semakin kecil? Tapi, jangan khawatir. Aku tidak meminjamkannya kepadamu untuk menerima balasan."

"Fufu. Kamu orang dewasa yang sangat peduli, ya. Aku harus belajar darimu," kata Chizuru-san sambil mengucapkan selamat tinggal dan menghilang di tengah kerumunan hujan.

"Maafkan aku, Yuuya-kun. Seandainya saja aku tidak datang dengan mengenakan seragam, kamu bisa saja mengecoh dia yang mengira kamu hidup bersama seorang gadis SMA."

"Kamu tidak harus meminta maaf, Aoi. Akulah yang seharusnya minta maaf, lagi pula dia orang yang berisik, kan?"

"Oh, tidak. Dia tampak seperti seorang wanita yang sangat dewasa, orang yang sangat baik."

"Yah, yah, mungkin dia orang yang menyenangkan untuk dilihat dan diajak bekerja sama."

Demi Chizuru-san, aku tidak mengatakan bahwa dia adalah seorang wanita yang suka minum-minum.

"Yuuya-kun. Chizuru-san itu hanya sebatas atasanmu, kan?"

"Eh? Ya, memang begitu … tapi kenapa?"

"Umm … apakah yang seperti Chizuru-san, orang yang kamu suka?"

"Itu tidak benar!" Aku menjawab dengan tegas.

"Benarkah?"

"Ya. aku menghormati Chizuru-san, tetapi hanya sebagai atasan. Aku tidak pernah memandangnya sebagai pasangan secara romantis."

"Oh, begitu ... aku bisa tenang …." Aoi menghela napas lega.

Mungkinkah … dia khawatir karena berpikir aku akan jatuh cinta dengan Chizuru-san?

"Aoi … apa kamu cemburu?" tanyaku.

"T-Tentang itu … sedikit, sih."

Aoi menatapku dengan wajah dingin dan berkata, "Jangan tanyakan hal itu kepadaku. Baka!" Pipinya pun sedikit merona.

"Maaf. Aku memang sedikit tidak peka." Sambil menepuk-nepuk kepala Aoi, tiba-tiba aku menyadari kalau aku tidak pernah memikirkan tentang cinta dalam beberapa tahun belakangan. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tiada waktu untuk memikirkannya. Di sisi lain, aku juga belum menemukan seorang wanita yang membuatku tertarik, sehingga aku pun penasaran seperti apa wanita idamanku.

Menurutku, penampilan memang penting, tetapi seseorang yang sefrekuensi denganku dan bisa bersenang-senang bersamaku, itulah yang terpenting. Kemudian ... ya. Tipeku adalah seseorang yang memiliki senyum manis dan sifat yang menggemaskan. Seandainya ada wanita seperti itu di sekitarku, aku sangat ingin melindunginya—

Ketika membayangkan hal itu, seketika wajah Aoi terlintas di dalam benakku. Di mana ada pemandangan sehari-hari kami berdua yang dengan senang hati duduk mengelilingi meja makan, membahas tentang tempat kerja dan sekolah. Mengingat hal itu, membuatku terkejut dan terkesiap. Aku yang sedang membayangkan tipe idealku, malah secara sadar memikirkan Aoi.

"Yuuya-kun. Kamu bengong, ada apa? Kamu lapar?"

Kemudian Aoi lanjut berkata, "Fufu. Wajahmu lucu, dah," sambil tertawa. Senyumnya yang manis tumpang-tindih dengan ekspresi Aoi yang ada dalam benakku, membuatku gugup.

"Um. Bukan apa-apa, kok."

Aku tidak bisa mengatur bagaimana perasaanku, tetapi setidaknya berusaha agar dia tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan. Oleh karena itu, aku tersenyum padanya, sementara khawatir kalau-kalau aku tersenyum canggung.

"Um, kamu yakin baik-baik saja? Aku merasa seperti ada yang aneh …," balas Aoi khawatir.

"Aku baik-baik saja, oke. Ayo, kita pulang. Terima kasih sudah membawakanku payung."

"Umm … Tentang itu …." Aoi tiba-tiba mulai gelisah. Dia menggumamkan sesuatu yang sulit untuk dikatakan.

"Memangnya ada apa?"

"Tidak. Payungnya … hanya ada satu."

Aku menatapnya dengan serius saat dia mengatakan hal itu. Memang benar, dia hanya membawa satu payung.

"Oh, begitu. Tidak apa-apa, jangan khawatir. Kamu lupa, kan?"

"Tidak, aku tidak lupa. Aku sengaja hanya membawa satu."

"Sengaja?"

"Aku ingin kita berada di bawah payung yang sama."

"M-Maksudku kamu ingin kita berpayungan bersama?"

"Ya. Itu … sebelumnya, Yuuya-kun pernah berkata untuk 'jangan malu-malu', jadi … tidak apa-apa, kan?"

Melihat Aoi yang bertanya dengan gugup, membuatku secara spontan tersenyum. Permintaan murni yang sesuai dengan usianya itu, terlalu imut, kan? Membuatku sangat bahagia. Aku sangat menghargai Aoi yang berani mengatakan apa yang diinginkannya tanpa ragu-ragu. Lagi pula, berpayungan bersama itu … sedikit memalukan untuk anak seusianya, tetapi dia memiliki keberanian untuk memintanya dan aku akan memenuhi perasaannya itu.

"Oke! Kalau begitu, ayo kita pulang ke rumah dengan berpayungan bersama!"

"Eh? K-Kamu tidak keberatan? Jika seorang pria yang bekerja pulang sambil berbagi payung dengan gadis SMA, bukannya dia akan mendapat tatapan yang aneh?"

"Aku tidak peduli jika mereka menatap kita. Ayo lakukan apa yang Aoi inginkan. Oke?"

"Terima kasih, Yuuya-kun …."

Kami berbagi payung dan pulang ke rumah. Langit tertutup awan kelabu. Saat itu, hujan turun terus-menerus dengan derasnya dan tidak bisa diharapkan. Dengan kondisi seperti itu, kemungkinan hujan baru akan berhenti besok.

"Yuuya-kun. Bahumu basah." Aoi mendorong payung ke arahku, tetapi aku juga melakukan sebaliknya kepada Aoi.

"Tidak apa-apa. Kalau Aoi basah dan demam, maka itu akan menjadi masalah.

"Seharusnya aku yang mengatakan itu! Lebih buruk lagi, jika Yuuya-kun demam. Aku bisa saja mengambil ijin dari sekolah … sebaliknya, kamu tidak bisa dengan mudah mengambil cuti dari pekerjaan," balasnya.

Payung yang kami berdua pegang bergerak bolak-balik di antara kami. Ternyata, Aoi lebih kerasa kepala daripada yang aku duga.

"Rumit, dah … kalau begitu, mendekatlah padaku."

"Oh, tunggu!"

Aku melingkarkan tanganku di bahu Aoi dan dengan lembut memeluknya. Memang terasa kurang nyaman karena berdempetan, tetapi dengan ini kami berdua bisa berada di bawah payung.

"Bagaimana? Kita tidak akan saling kehujanan sekarang, kan?"
 
"Yuuya-kun … memang licik. Baka!"

"Eh? Kamu marah padaku?"

"Tidak, aku tidak marah, sih. Hanya saja, itu tidak adil. Tapi, terima kasih."

"Terlalu membingungkan antara marah atau berterima kasih kepadaku."

"Cukup. Baka!"

Setelah mengatakan hal itu, Aoi hanya terdiam. Karena dia terlihat bahagia, maka aku bisa mengatakan bahwa dia tidak marah, tetapi aku masih tidak tahu bagian mananya yang tidak adil.

"Yah, anak gadis seusiamu memang sulit, ya …. Aoi? Kenapa kamu tertawa?"

"Fufu. Itu karena aku bahagia dan terima kasih telah mendengarkan permintaanku."

Senyumnya yang lembut memiliki keindahan laksana bunga hydrangea yang mekar di kala hari hujan. Aku merasa hatiku yang lelah karena pekerjaan, telah disembuhkan berkat Aoi.

"Oh, inilah sebabnya aku bisa melakukan yang terbaik, ya?" gumamku.

"Ya? Apa maksudmu?"

"Tidak, aku hanya berbicara sendiri. Lupakan saja." Aku berbohong secepat mungkin.

Terlalu malu untuk mengatakan bahwasanya aku bisa melakukan yang terbaik di tempat kerja karena ada Aoi di sisiku.

"Jika kamu mengatakannya seperti itu, itu malah membuatku penasaran. Tolong beritahu aku."

"Tidak. Aku harus merahasiakannya dari Aoi."

"Muuu ... Yuuya-kun, kamu sangat kejam!"

Wajah Aoi yang kesal begitu lucu sampai-sampai aku ingin tertawa. Sementara berdekatan, kami berjalan pulang secara perlahan di tengah turunnya hujan.



Keesokan harinya, Aoi mengalami demam lebih dari 38 derajat Celcius dan jatuh sakit.

"Yuuya-kun. aku minta maaf karena telah merepotkanmu." Aoi meminta maaf dengan nada penuh penyesalan saat berbaring di atas kasur. Wajahnya memerah dan jelas terlihat tidak sehat.

Pagi ini, Aoi hanya berdiam diri di atas futon dan menatap kosong ke langit- langit. Dahinya berkeringat dan napasnya pun terengah-engah, jadi jelas sekali bahwa dia sedang tidak enak badan. Aku pun segera meminta Aoi untuk mengukur suhu tubuhnya dan memberitahu pihak sekolah bahwa dia berhalangan hadir hari ini.

"Orang yang sedang sakit tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal seperti itu. Ketika ada seseorang yang sakit, maka sudah seharusnya yang lain membantunya."

"Terima kasih …. Um, bukankah sudah waktunya bagimu untuk pergi bekerja?"

"Jangan khawatir. Aku baru saja menghubungi mereka bahwa aku mengambil cuti."

"Eh?" Aoi duduk dengan cepat. "Tidak, kamu tidak bisa begitu. Kamu harus segera berangkat," lanjutnya.

"Tidak apa-apa. Chizuru-san ahli dalam hal itu dan dia sudah memberitahu kantor dengan baik."

"T-Tapi …."

"Ayolah. Orang sakit harus tidur." Dengan lembut aku menekan pundak Aoi dan menidurkannya kembali.

"Aku ingin Aoi segera sembuh. Jadi, maukah kamu mengizinkan aku merawatmu hari ini?"

"Terima kasih, Yuuya-kun. Kalau begitu, aku akan memegang kata-katamu." Dengan putus asa, Aoi menerima kebaikanku. Aku tidak tahu alasannya, tetapi entah kenapa dia terlihat bahagia.

"Untuk sekarang, kita sarapan dulu."

"Aku sedang memikirkan nasi, salmon, dan sup miso untuk sarapan kita. Pertama-tama, tolong cuci dua cangkir beras. Sementara itu, aku akan menyiapkan sup misonya—"

"Hei, hei. Aku sudah memintamu untuk tidur, lho. Orang yang sakit tidak seharusnya bekerja. Lagi pula, tidak mungkin orang yang sedang demam memakan salmon dan sup miso, kan?"

"Ugh … ketika kamu mengatakannya, maka itu benar."

"Aku akan pergi ke minimarket untuk membeli sarapan. Ada beberapa barang lain juga yang ingin kubeli."

"Ah, kalau begitu, ke apotek saja, sekalian membeli obat-obatan."

"Bahkan, sekarang masih belum jam 8 pagi. Mereka belum buka."

"Oh, benar juga."

Aoi biasanya merupakan orang yang penuh perhitungan, tetapi hari ini dia kelihatan linglung, mungkin karena efek dari demamnya.

"Baiklah, aku akan pergi ke minimarket dulu. Pastikan kamu tetap berada di tempat tidur. Oke?"

"Uh … baiklah …. Tolong, ya."

"Serius?"

"Aku sudah bilang tidak akan melakukan apapun …."

"Ha-ha-ha. Aku khawatir kamu bakalan bekerja jika aku tidak memberitahumu, jadi aku hanya ingin memastikanmu saja. Kalau begitu, aku pergi dulu."

Setelah memberitahu Aoi dengan baik, aku pun meninggalkan ruangan. Bahkan, dalam perjalanan ke toko swalayan, aku masih memikirkannya. Aoi adalah orang yang biasanya merawatku, tetapi hari ini giliranku yang merawatnya. Aku akan berusaha semampuku agar dia bisa sembuh secepat mungkin.

Pertama-tama yang harus dilakukan adalah memberinya makanan. Aku akan menyiapkan sesuatu yang mudah dimakan bagi orang sakit dan pada saat yang sama menggugah selera. Sembari memikirkan menunya, aku bergegas menuju minimarket.



"Aku pulang!"

Ketika aku pulang, Aoi masih berada di atas kasur sesuai instruksiku. Dia kelihatan tidak bisa tidur, tetapi aku lega bahwa dia sudah beristirahat. Aku pun duduk di dekat futon-nya dan meletakkan sebuah kantong plastik. Ini berisi minuman untuk rehidrasi, makanan untuk orang sakit, dan lembaran pendingin untuk ditempelkan di dahinya.

"Selamat datang kembali, Yuuya-kun. Kamu membeli banyak barang, ya."

"Ya. Aku membeli bubur retort dan udon beku, pilih mana yang kamu suka."

Saat aku mengeluarkan barang-barang yang dibeli dari kantong plastik, Aoi mengerutkan dahinya dan berkata, "Sarapan Yuuya-kun adalah roti pizza? Makanan yang tampak tidak sehat lainnya …."

"Whoa. Kalau kamu sudah bisa mengomeliku, itu berarti kamu akan segera baik-baik saja," candaku.

"Yuuya-kun, kamu jahat ya hari ini."

Kemudian, Aoi berkata "aku ingin bubur" dan menutupi wajahnya dengan futon. Lucu sekali, karena posisi kami terbalik dari yang biasanya, sehingga aku tidak bisa menahan tawa.

"Ha-ha-ha. Oke, aku akan menyiapkannya … tapi yang terpenting sekarang, aku akan meletakkan lembaran pendingin ini padamu. Bolehkah aku melihat dahimu?"

"Uh … silakan."

Aoi mengeluarkan wajahnya dari balik futon, kelihatan sedikit cemberut. Dia memang imut, tetapi aku tidak akan menggodanya lagi. Aku menyeka dahi Aoi dengan handuk dan meletakkan lembaran pendingin di atasnya.

"Bagaimana? Membuatmu merasa sedikit lebih baik?"

"Wafuu … rasanya sejuk dan nyaman."

"Syukurlah. Kalau begitu, aku akan membuatkanmu sarapan." Aku meninggalkan kamar tidur Aoi dan berdiri di dapur. "Nah. Ayo kita buat bubur!"

Namun, ini bukan hanya sekadar memanaskannya di dalam microwave. Aku akan menambahkan sedikit sesuatu yang ekstra pada bubur retort, yang disebut dengan resep varian. Ada kaldu sup ayam dalam bahan makanan yang kubeli dan kali ini aku memutuskan akan menggunakannya untuk membuat bubur yang lezat.

"Hmm. Aku akan memberikan kejutan kepada Aoi." Dengan penuh semangat, aku mengeluarkan smartphone-kun dan membuka halaman resep yang kucari.

Pertama-tama, aku menaruh bubur nasi retort dan kaldu sup ayam ke dalam mangkuk tahan panas dan mengaduknya. Selanjutnya, aku mengeluarkan telur mentah dari lemari es, memecahkan cangkangnya, dan menaruh isinya di mangkuk lain. Kemudian, aku mengaduk perlahan kuning telur dan putih telur menggunakan sumpit. Setelah tercampur rata, aku memasukkannya ke dalam mangkuk yang berisi bubur. Sehingga, hal yang tersisa hanyalah menutupinya dengan bungkus plastik dan memanaskannya dalam microwave.

Suara pengatur waktu microwave bergema di seluruh ruangan. Kemudian, buburnya aku pindahkan dari mangkuk ke piring saji. Namun sebelum itu, aku mencicipi rasanya terlebih dahulu.

"... Umm!"

Bubur telurnya kental dan manis. Selain itu, rasa kaldu ayam yang ringan tercampur dengan lembut, meingkatkan rasanya menjadi bubur dengan kualitas yang lebih tinggi. Uap yang mengepul dengan lembut sekaligus aromanya, juga menggugah selera. Bubur ini mudah dimakan, dan kuyakin Aoi akan puas dengan ini.

Kemudian, aku duduk di samping Aoi dengan membawa bubur itu. "Yuuya-kun. Kamu berhasil memasaknya?" tanya Aoi.

"Bisa dibilang begitu, sih. Meski aku tidak bisa memasak sebaik Aoi," balasku.

"Fufu. Karena kamu jarang memasak sendiri." Aoi mengatakan itu dan menyipitkan matanya. Meskipun wajahnya masih memerah, tetapi aku merasa sedikit lega, karena dia masih memiliki energi untuk bercanda.

"Kamu bisa memakan buburnya?"

"Ya. Itadakimasu."

"Tampaknya kamu punya nafsu makan yang baik. Selama kamu makan dan beristirahat, kamu akan segera sembuh," kataku sambil menyendok sesendok bubur.

"Um … Yuuya-kun ... apa yang kamu lakukan?"

"Apa maksudmu, aku mau menyuapimu."

"Eh? Tidak apa-apa, kok! Aku akan memakannya sendiri!"

"Orang yang sakit seharusnya menerima kebaikan yang ada. Ini, tiup dulu …."

Tanpa menghiraukan protes Aoi, aku mendekatkan bubur itu ke mulutnya.

"A-Aku malu …." Meskipun dia berkata seperti itu, Aoi tetap meniup bubur untuk mendinginkannya.

"Baiklah. Aaahn~."

"Ah, ahn ….."

Nyam~ Saat dia menerimanya, ekspresi malu Aoi perlahan-lahan berubah menjadi terkejut.

"Aah … ini enak sekali."

"Serius?"

"Ya. Sangat enak." Aoi menganggukkan kepalanya dan memberikan senyuman lembut.

Aku senang. Mendengar dia mengatakan hal itu sungguh melegakan. Pada saat yang sama, rasa bahagiaku pun meluap. Diberitahu bahwa masakanku "lezat" membuatku begitu bahagia. Yah, meskipun aku tidak yakin apakah aku bisa menyebut bubur yang buatanku sebagai hidangan, tetapi—

"Yuuya-kun. Apakah ini bubur retort yang kamu variasikan?"

"Ya. Aku menemukan resepnya di internet dan mencoba menirukannya."

"Kamu melakukannya dengan baik. Keren, dah."

"Oi, oi. Aku bukan anak kecil, tahu."

"Maaf, aku tidak bermaksud mengolok-olokmu. Terima kasih telah membuatkan ini untukku … fufu, Yatta!" Aoi membuat pose kemenangan.

Ehmm, kenapa malah dia yang melakukan pose kemenangan itu?

"Hei. Apa maksudnya, ekspresi ‘Yatta’ itu?"

"Itu karena … kemarin Yuuya-kun meminjamkan payungnya kepada Chizuru- san. Saat itu, aku melihat Yuuya-kun bersikap baik pada wanita lain dan merasa sedikit tertekan … tapi aku memaafkanmu. Aku mendapatkan perlakuan darimu hari ini yang jauh lebih baik daripada Chizuru-san kemarin."

Aoi berkata, "Aku menang" dan terlihat sangat bangga. Menurutku, bersikap baik kepada teman satu tempat tinggal adalah hal yang wajar, tetapi … tidak apa-apa. Karena Aoi yang bahagia itu kelihatan imut.

"Yuuya-kun. aku masih ingin makan bubur lagi."

"Silakan makan. Masih banyak lagi, kok."

Aku menyuapi bubur kepada Aoi, yang sedang merasa bahagia. Awalnya dia malu-malu, tetapi menjadi terbiasa setelah beberapa kali disuapi. Dia pun menyantap bubur itu dalam waktu singkat.

"Yuuya-kun. Terima kasih atas makanannya."

"Sama-sama. aku senang kamu punya nafsu makan yang baik. Aoi, apakah kamu berkeringat?"

"Ya, tubuhku panas. Aku berkeringat saat tidur dan piyamaku basah kuyup."

"Oke. Tunggu di sini sebentar."

Setelah membersihkan piring dengan cepat, aku menyiapkan dua handuk. Aku menghangatkannya dengan air hangat dan membawanya ke Aoi beserta pakaian gantinya.

"Maaf membuatmu menunggu, Aoi."

"Um … apa selanjutnya?"

"Kamu berkeringat, kan? Kamu harus membersihkan diri dengan handuk dan berganti pakaian."

Membiarkan tubuh mengenakan pakaian yang berkeringat, hanya akan membuat demam semakin parah. Sejak awal hal itu tidaklah bagus, dan Aoi pun jelas akan merasa tidak nyaman.

Selanjutnya, aku melihat sekilas ke jam tanganku, yang menunjukkan sudah saatnya apotek dibuka.

"Aku akan pergi ke apotek di dekat sini. Sementara itu, kamu bisa membersihkan dirimu dulu dan berganti pakaian."

"O-Oke …."

"Ya? Ada masalah?"

"Tidak. aku hanya berpikir bahwa Yuuya-kun sangat perhatian hari ini."

"Ha-ha-ha. Apakah biasanya aku tidak perhatian?"

"Bukan begitu. Umm … kamu lebih bisa diandalkan dari biasanya, keren, sih. Aku hanya ingin mengatakan itu. Pahami sendiri … baka." Aoi kembali menyembunyikan wajahnya di balik futon.

Aku merasa malu ketika dia memujiku dengan kata-kata yang begitu jujur seperti itu. Bahkan, aku juga ingin menutupi kepalaku dengan futon.

Kemudian, Aoi tiba-tiba menunjukkan wajahnya. Entah apakah itu karena kepanasan atau karena malu, tetapi pipinya sedikit merona.

"Um ... bagaimanapun juga, Yuuya-kun tetaplah Yuuya-kun."

"Apa-apaan, dah? Apa yang tiba-tiba terjadi?"

"Ketika kita kembali bertemu untuk pertama kalinya, kupikir kamu telah berubah setelah tujuh tahun berlalu. Tapi kenyataannya tidak. Aku senang kamu masih menjadi Onii-san yang baik hati dan dapat diandalkan, Yuuya- kun, … sama seperti dulu."

Sama seperti dahulu, ya … padahal aku merasa telah banyak berubah sejak saat itu. Aku telah menjadi pekerja kantoran yang kelelahan dan tidak secemerlang dahulu. Namun, jika Aoi menganggapku 'sama seperti dulu' sekarang, itu pasti karena pengaruh demamnya.

"A-Apakah aku mengatakan sesuatu yang memalukan? Mungkin ini karena efek badanku yang panas."

"Tidak. Aku justru senang kamu mengatakannya begitu. Terima kasih. Dan Aoi juga … tetaplah Aoi. Senyummu yang manis, tidak pernah berubah sejak dulu, dan sikapmu yang manja sekaligus kekanak-kanakan adalah bagian dari pesonamu."

(TLN: Kyaa >////<, haha. MC-nya si paling pintar merangkai kata-kata.)

"Jangan katakan hal yang memalukan, oke. Kamu membuatku semakin panas. Baka!"

Aoi menyembunyikan dirinya di balik futon untuk yang ketiga kalinya hari ini. Aku rasa dia akan bahagia jika aku mengatakan apa yang sebenarnya kurasakan, tetapi apakah itu … salah?

Saat sedang memikirkan hal itu, "Aku senang mendengarnya. Jika memungkinkan, malah aku ingin lebih dimanjakan oleh Yuuya-kun seperti di masa lalu …." Sebuah suara kecil yang teredam menjawab.

Menurutku, cara dia yang malu-malu mengatakan "jika memungkinkan" itu memang benar dirinya.

"Aku selalu siap memanjakanmu kapan saja. Oh iya, pastikan kamu membersihkan diri dan mengganti pakaianmu, oke?"

Aku mengambil dompet dan meninggalkan tempat tinggalku. Sambil berjalan, aku memikirkan apa yang mau kulakukan selanjutnya. Setelah memberikan obat kepada Aoi, aku harus melakukan pekerjaan rumah. Sampah sudah kubuang tadi pagi, kan? Sisanya … oh iya, aku harus menyelesaikan cucian. Adapun makan siang, aku akan menyiapkan udon yang sudah kubeli sebelumnya, dan makan malam akan kuputuskan setelah melihat kondisi fisik Aoi. Hmm … tugas rumahan apa lagi yang harus dilakukan?

Memikirkan hal itu, aku menyadari betapa kerasnya Aoi melakukan pekerjaan rumah tangga setiap hari.

"Ah, mungkin aku sudah membuatnya bekerja terlalu berlebihan."

Memulai kehidupan bersama yang masih asing, dan hari-hari yang dipenuhi pekerjaan rumah tangga sekaligus tugas sekolah. Tidak heran jika dia merasa tidak enak badan. Sebisa mungkin, aku ingin mengurangi beban Aoi. Apakah ada yang bisa aku lakukan?

Sambil memikirkan hal itu, aku pergi ke apotek.



Keesokan paginya, demam Aoi sudah turun. Dia tidak merasa lesu seperti kemarin, dan tampak dalam kondisi yang lebih baik. Meskipun harus libur sekolah untuk berjaga-jaga, tampaknya dia akan pulih sepenuhnya besok.

"Aoi, karena kamu masih belum sembuh, jangan bertindak gegabah, oke?" Sebelum berangkat kerja, aku mengingatkan Aoi di pintu masuk.

"Aku mengerti. Aku hanya akan menyiapkan makan malam saja."

"Masih belum ingin menyerah tentang hal itu?"

"Fufu. Karena memasak adalah alasanku untuk hidup."

"Kamu terlihat sangat sombong, tapi aku tidak bisa menahanmu juga, dah. Walaupun begitu, jangan lakukan pekerjaan lainnya, oke?"

"Aku tahu. Yuuya-kun sudah membantuku dari tadi, jadi hampir tidak ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan."

Pagi ini, aku bangun lebih awal dari Aoi dan bertanggung jawab untuk mencuci pakaian, membuang sampah, membersihkan kamar mandi, dan menyiapkan sarapan. Meskipun sarapannya, adalah menu sederhana dengan roti bakar dan kopi.

"Dengar, Aoi. Mulai dari sekarang, aku akan membantumu mengerjakan pekerjaan rumah. Kita akan berbagi pekerjaan."

"Kenapa tiba-tiba? Kamu dapat menyerahkan pekerjaan rumah tangga kepadaku."

"Mana mungkin begitu. Kita sudah hidup bersama, maka kita harus membantu satu sama lain."

"Kita sudah hidup bersama … harus membantu satu sama lain …." Aoi mengulangi kata-kataku, dan akhirnya tersenyum.

"Begitu ya. Tapi, aku akan mengajari Yuuya-kun beberapa pekerjaan rumah. Instruksiku sangat ketat, tahu?"

"Haha. Pelan-pelan saja, Shisho. Yah, aku pergi dulu."

Aku pun membelakangi Aoi, mengenakan sepatu dan beranjak pergi ke tempat kerja.

Hmm?

Ada apa ini? Aku merasa seperti ditarik dari belakang. Ketika berbalik, Aoi memegangi ujung jasku.

"Aoi?"

"Hati-hati di jalan."

"Eh. Aku tidak bisa pergi bekerja jika kamu tidak melepaskan tanganmu."

"Oh, aku minta maaf." Aoi buru-buru menarik tangannya dan menatapku dengan tatapan penuh penyesalan di matanya.

Mungkinkah dia tidak ingin aku pergi bekerja?

Tidak, tidak. Bahkan Aoi yang penyendiri pun, tidak akan mengatakan permintaan yang terlalu egois seperti itu. Mungkin aku hanya salah sangka.

"Yuuya-kun Kamu tidak keberatan jika aku bersikap manja, kan?"

"Eh? Ya, tentu saja."

"Kalau begitu, permisi." Aoi mendekat ke arahku, melingkarkan tangannya di pinggang dan memeluk aku dengan lembut.

"Ah, Aoi? Ada apa?"

"Aku kesepian karena tidak bisa bertemu denganmu sampai malam nanti. Jadi, izinkan aku mengisi ulang dayaku sebentar."

Itu adalah alasan yang sangat lucu. Memang, aku mengatakan kepadanya untuk tidak malu-malu, tetapi bukankah dia terlalu manja? Ketika membayangkan seseorang yang kesepian menunggu kepulanganku di apartemen, yang terpikirkan hanyalah bahwa aku pasti akan pulang kerja tepat waktu. Aku harus bekerja keras hari ini juga.

"Kamu adalah anak yang manja, Aoi."

"A-Apakah aku kekanak-kanakan?"

"Tidak. Ini sama seperti Aoi yang biasanya. Menurutku, kamu menggemaskan."

"Baka~" Mengatakan hal itu, Aoi mendekatkan wajahnya ke dadaku. Meski wajahnya yang kemerah-merahan tersembunyi, tetapi tidak untuk telinganya yang berwarna merah cerah.

Setelah beberapa saat, Aoi mengangkat wajahnya dan berkata, "Yuuya-kun. Aku sudah mengisi dayaku. Terlebih lagi, kamu akan terlambat, tahu?"

"Baiklah. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang."

Dengan lembut aku menjauh dari Aoi dan menyentuh gagang pintu depan.

"Yuuya-kun "

"Iya?"

"Cepatlah pulang, ya."

"Serahkan saja padaku. Aku akan cepat pulang." Aku berjanji kepada Aoi dan meninggalkan ruangan.

Cepatlah pulang ya … Mana mungkin aku bisa lembur jika dia bersikap menggemaskan seperti itu. Belum lagi, aku sendiri menantikan makan malam bersama Aoi setiap hari. Lagi pula, pulang lebih cepat juga demi kebaikanku sendiri.

Sambil berjalan, aku merenggangkan tubuhku. "Oke. Aku akan berusaha keras hari ini."

Apa ya menu makan malamnya? Dengan membayangkan menu makan malam nanti, aku berjalan menuju stasiun.



Musim gugur telah tiba. Sekarang bulan Oktober, yang mana enam bulan telah berlalu sejak kami hidup bersama.

Di luar jendela kantor, langit berwarna biru cerah membentang. Matahari sudah naik jauh ke langit sedangkan tidak ada awan yang menghalangi. Panas terik musim panas telah sepenuhnya menghilang dan cuaca menjadi lebih nyaman. Seingatku, suhu maksimumnya adalah 20 derajat Celcius.

Aoi juga menunggu kepulanganku hari ini, maka wajar jika aku bekerja keras. Dengan kegiatan rutin seperti, rapat internal, pertemuan dengan klien, membuat notulensi, mengawasi para programmer, membuat malam pun tiba menjadi lebih cepat. Sekarang, aku sedang memeriksa kemajuan para anggota dan mengatur jadwal.

"Iidzuka-san. Aku membutuhkan bantuanmu. Jika tidak keberatan, bisakah kamu membantuku dalam pekerjaan ini juga?"

"Hmm ... coba kulihat dulu …. Baiklah. Serahkan saja pada Onee-san-mu ini."

Ketika aku memintanya untuk melakukan beberapa pekerjaan, Iidzuka-san dengan senang hati menerimanya. Jam lemburku pun berkurang drastis sejak kami mulai berbagi pekerjaan di antara semua anggota. Aku biasanya berada di kantor hingga sekitar pukul 21:00, tetapi sekarang aku bisa pulang paling lambat pukul 19:00. Proyek-proyek yang aku kerjakan berjalan dengan lancar. Bahkan jika ada masalah, aku bisa menyelesaikannya sebelum tenggat waktu.

"Iidzuka-san. Terima kasih karena selalu menanggapi sehingga aku sangat terbantu."

"Tidak apa-apa. Jangan ragu untuk mengandalkanku, oke? Aku bisa menyelesaikan ini dalam waktu singkat. Oh iya, tetapi Yuuya-kun sudah banyak berubah, kan?" Iidzuka-san mengatakan itu sambil tersenyum.
 
Seperti Chizuru-san, para gadis di tempat kerja ini memiliki intuisi yang tajam.

"Apakah aku telah berubah sejauh itu?"

"Ya. Semua orang bilang begitu. Enam bulan yang lalu kamu seorang 'pekerja yang kelelahan’, tetapi sekarang kamu menjadi seorang pria tampan menyegarkan, berbakat dalam pekerjaan."

"Kamu juga berpikir seperti itu sebelumnya?" Aku sangat terkejut. Tidak hanya Chizuru-san, tetapi semua orang di tempat kerja pun mengira aku pria yang kelelahan.

"Maafkan aku. Tapi kamu keren sekarang, Kouhai! SEKARANG!"

Iidzuka-san dengan antusias mengacungkan jempol. Ini sama sekali bukan memberikan dukungan, dan tolong berhenti menekankan kata "Sekarang" itu.

"Ngomong-ngomong, mengapa perubahannya mendadak? Kamu juga lebih memperhatikan penampilanmu dibandingkan sebelumnya. Mungkinkah kamu punya pacar?"

Pertanyaan utamanya itu membuatku gugup.

"Apa yang kamu bicarakan? Mana mungkin seperti itu."

"Serius? Kupikir, pasti kamu mulai pacaran dengan Kak Chizuru. Soalnya, hubungan kalian sangat dekat …."

"Eh? Itu salah! Aku dan Chizuru-san tidak punya hubungan seperti itu, kami hanya atasan dan bawahan!"

"Ha-ha-ha! Tidak, kamu panik?! Reaksi Yuuya-kun sangat menarik, dah." Iidzuka-san tertawa. Dia lebih tua dariku, tetapi ekspresinya dengan kerutan di sudut matanya saat tersenyum lebar, sungguh menawan dan imut. Sebagai tambahan, dia adalah satu-satunya orang yang memanggil Chizuru-san dengan sebutan "Kakak perempuan (lebih tua)/ Anego".

"Nah, mengapa kamu berubah baru-baru ini? Beritahu Onee-san-mu. Hmm?"

"Yah, tentang itu …."

Mana mungkin aku bisa dengan jujur mengatakan, ‘Sebenarnya, aku hidup bersama seorang gadis SMA’. Hadehh. Bagaimana aku bisa melewati ini?

Ketika aku bingung bagaimana harus menjawabnya, Iidzuka-san tertawa pahit sembari berkata, "Yuuya-kun, kamu terlalu serius. Kamu tidak perlu menjawab jika tidak ingin menjawabnya."

"Y-Ya. Maafkan aku."

"Aku juga minta maaf karena telah mengganggumu. Baiklah, mari kita kembali bekerja. Kakak bakalan marah padaku jika aku terlalu sibuk denganmu."

Iidzuka-san menoleh ke komputernya dan berkata dengan gembira, "Kamu adalah anak kesayangannya Kakak." Anak kesayangan? Atau lebih tepatnya, dia memperlakukanku seperti mainan akhir-akhir ini.

Sambil menghela napas, aku kembali ke mejaku. Mengetik keyboard tanpa suara, aku membalas email yang masuk di sore itu. Pekerjaan yang tersisa hari ini hanya beberapa tugas kecil. Tidak masalah jika aku tidak menyelesaikannya hari ini. Aku hanya perlu bekerja hingga batas waktu, dan seandainya belum selesai, aku dapat melanjutkannya besok. Ketika sedang memikirkan teks email balasanku, Kakak perempuanku, atau Chizuru-san, dengan lembut menepuk pundakku.

"Hei Yuuya-kun. Pekerjaan tampaknya berjalan dengan baik, ya."

"Ya. Jam lembur telah banyak berkurang."

"Senang mendengarnya. Kamu juga terlihat lebih baik daripada sebelumnya. Efek Aoi-chan memang hebat." Chizuru-san membisikkan hal itu dengan suara yang sangat pelan sehingga orang lain di sekitar tidak bisa mendengarnya.

"Tunggu, Chizuru-san. Anda tidak boleh membicarakan hal itu di tempat kerja."

"Ups, maaf. Itu rahasia, kan. Mari kita ngobrol secara rahasia."

"Eh? Rahasia?"

(TLN: Dari sini, kalian mungkin akan sedikit kebingungan. Karena, percakapan mereka menggunakan bahasa plesetan/satire. Maka, aku bakalan memberikan catatan sebagai penjelasan.)

"Umu. Jika kita menyamarkannya menggunakan istilah IT, maka tidak akan menjadi masalah jika seseorang mendengar obrolan kita. Selanjutnya, aku akan memanggil Aoi-chan dengan istilah ‘Agenda’. Kedengarannya seperti nama gadis asing, kan?"

"Ya, itu kedengaran seperti nama ‘Amanda’."

‘Agenda’ itu merupakan susunan poin-poin utama dalam rapat, kan? Istilah itu tidak ada hubungannya dengan Aoi.

"Agenda tidak hanya imut, tetapi tubuhnya juga mantap. Bisa disebut sebagai tipe modem."

"Maksudmu, punya tubuh seperti model, kan? Aku akan terkejut jika Aoi memiliki tubuh seperti modem …. Begini, bukankah bahasa rahasia ini tidak ada gunanya?"

"Umu. Tidak ada maksud tertentu, sih. Ini hanya permainan kata-kata, seperti ‘Kode-mo’."

(TLN: Di sini Chizuru-san bermaksud mengatakan ‘Kode/ コード/ Kōdo’ tetapi dalam pengucapannya dia memplesetkan kata-katanya menjadi Kode- mo/ コードも yang jika sekilas didengar berarti ‘anak-anak’. Meskipun penulisan yang benarnya adalah 子供/子ども/Kodomo)

"Kodomo (anak-anak), tahu! Kita juga tidak perlu menyamarkan hal itu!"

"Oh, ayolah. Jangan terlalu Wiki-ritatsu (kesal), begitu dong!"

(TLN: Chizuru-san ingin mengatakan jangan marah/kesal yang dalam bahasa Jepangnya いきり立つ, tetapi diplesetkannya menjadi Wikiり立つ)

"Tinggal bilang saja "kesal"! Aku tidak bisa mengikuti lelucon Anda!

Ada terlalu banyak bug untuk dianalisis. Bisakah seseorang membantuku untuk men-debugnya.

"Astaga, Chizuru-san, berhentilah berpura-pura idiot dan lakukan pekerjaan Anda, kumohon!"

"Aku akan kembali bekerja tanpa kamu suruh. Aku hanya ingin berbicara denganmu karena berpikir kamu sedang perlu istirahat. Ini, ambillah."

Chizuru-san meletakkan sebuah catatan dan cokelat yang dibungkus satuan di atas meja.

"Terima kasih. Aku akan mengambilnya."

"Silakan dinikmati. Jangan bekerja terlalu berlebihan. Pastikan juga untuk beristirahat." Setelah mengatakan hal itu, Chizuru-san duduk di kursinya.

Chizuru-san mengkhawatirkan aku lagi. Mungkinkah aku bekerja terlalu berlebihan tanpa menyadarinya? Kemudian aku membuka pembungkusnya dan melemparkan cokelat ke dalam mulutku. Seketika, rasa manis dari cokelat susu secara bertahap menyebar di mulut. Kalau dipikir-pikir, dia meninggalkan catatan. Aku ingin melihat apa isinya.

"Mana yang lebih manis, cokelat atau bibir Agenda?"

"Aku tidak tahu seperti apa rasa bibir Agenda!"

Aku tidak sengaja berteriak dan memelototi Chizuru-san. Dia memegangi perutnya dan gemetar saat mencoba menahan tawan. Pasti, dia mengira aku adalah mainannya. Kemudian, aku langsung mengirim pesan internal kepada Chizuru-san.

'Asal tahu saja, aku tidak pernah merusak agenda, oke? Ya ampun … Anda tidak akan bisa mendapatkan pacar jika terus bersikap seperti ini, tahu?'

Aku menyentuh masalah sensitifnya dalam upaya yang berani untuk membalasnya. Kemudian, balasan datang hanya dalam waktu dua detik. Itu terlalu cepat. Ini seperti email balasan otomatis yang datang dalam hitungan detik setelah kamu mendaftar keanggotaan. Lalu, aku membuka pesan tersebut dengan gentar.

Teks tersebut berbunyi: ‘Hah? Kamu ingin aku mengubah tampilan desktopmu menjadi foto selfie seksi?'. Hukuman macam apa itu? Apakah ini tempat penyiksaan?

Dengan perasaan ngeri, aku segera mengirim pesan permintaan maaf.



Aku meninggalkan kantor tepat waktu dan kembali ke apartemen di mana Aoi sedang menungguku. Begitu saya membuka pintu kamar, aroma rempah- rempah yang menggugah selera menggelitik hidungku. Pasti malam ini ada menu kari. Selanjutnya, aku melepas sepatuku di pintu masuk dan masuk ke dalam.

Di sana, kudapati Aoi sedang belajar dengan menggunakan earphone. Di atas meja, terdapat sebuah buku pelajaran Literatur Kuno dan sebuah buku catatan. Seketika itu, Aoi menyadari kehadiranku, melepas earphone-nya dan berdiri.

"Selamat datang kembali, Yuuya-kun," sapanya.

"Aku pulang. Apakah kamu sedang belajar?"

"Ya. Aku lemah dalam pelajaran Literatur Kuno, jadi aku mempelajarinya dengan menyiapkan terjemahan modern."

"Oh, begitu. Kamu belajar dengan serius dalam studimu, keren dah."

Ketika aku mengusap-usap kepalanya, Aoi berkata malu, "Oh, kamu melebih- lebihkannya, dah" dan pipinya sedikit merah.

"Daripada itu, apakah kamu ingin mandi dulu atau makan malam?"

"Aku ingin makan malam dulu. Aku sudah sangat lapar tahu? Apalagi, saat memasuki ruangan, aromanya begitu harum."

"Fufu Makan malam hari ini adalah kari daging sapi."

Kemudian Aoi lanjut berkata, "Aku akan segera menyiapkan makan malam" dan menyimpan peralatan belajarnya. Sementara itu, aku mencuci tangan dan berkumur-kumur, ikut menyiapkan hidangan.
 

Setelah selesai menyiapkan makan malam, kami duduk saling berhadapan.

"Selamat makan!" aku menyendokkan kari ke dalam mulutku. Dagingnya terasa empuk dan meleleh di mulut. Kentangnya lembut, dengan tekstur yang nyaman di mulut. Wortel dan bawang bombaynya juga terasa manis. Kami menyantap kari sambil mengobrol dan tertawa, sampai-sampai tidak terasa bahwa kari itu dengan cepat habis dimakan.

"Terima kasih atas makanannya. Aoi, karinya benar-benar lezat, lho."

"Terima kasih atas makanannya. Oh, aku akan mencuci piringnya."

"Tidak, biar aku saja. Aoi, silakan bersantai."

"Tidak, biar aku saja yang mencucinya."

"Tidak, tidak, biar aku … eh, Aoi. Ada kari di mulutmu."

"Eh?"

"Di sini. Tahan dulu." Aku pun mengambil tisu dan menyeka mulut Aoi. Seketika itu juga, pipinya merona dan kelihatan gugup.

"Ya, sekarang sudah bersih."

"T-Terima kasih."

"Ha-ha. Sekarang situasinya berbalik dengan yang sebelumnya."

"Mouu. Tolong jangan bandel, Yuuya-kun."

Sambil disembuhkan oleh senyum Aoi, aku bangkit untuk membuang tisu ke tempat sampah.

"Hmm? Apa ini?"

Aku menemukan sebuah salinan di tempat sampah dan mengambilnya. Rupanya itu lembaran berukuran B5 yang dibagikan di sekolahnya Aoi. Judulnya bertuliskan 'Pemberitahuan Kunjungan Kelas'.

"Heh. Ada kunjungan kelas di sekolah, ya?"

"Ya. Tapi ibuku sedang berada di luar negeri, jadi dia tidak bisa datang ke sekolah."

"Aoi"

"Aku sudah lama tidak terlibat dalam acara seperti ini. Ibuku selalu sibuk dengan pekerjaannya, jadi tolong jangan terlalu khawatir, oke?"

Aoi berkata sambil tertawa supaya aku tidak mengkhawatirkan hal itu, tetapi dia melihat salinan itu dengan pandangan yang sedih, mungkin teringat akan Bibi Ryoko. Dari reaksinya itu, aku menyadari bahwa dia menahan dirinya. Dia baru saja menyerah karena tidak pernah mengikuti kunjungan kelas. Sebenarnya, dia sangat ingin orang yang dicintainya datang. Maka, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan.

"Baiklah, bolehkah aku menghadiri kunjungan kelasmu?"

"Iya? Eumm … kamu tidak bercanda, kan?"

"Ya. Di sini, bacalah apa yang ada di salinannya. Tertulis "Orang tua/Wali murid", kan? Aku walinya Aoi, yang berarti aku juga memenuhi syarat untuk menghadiri kunjungan kelasmu."

"Eeh—"

Aoi kelihatan begitu tidak percaya dan aku sendiri sadar kalau aku juga mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Mungkin ini adalah pengaruh Chizuru-san.

"Kumohon padamu. Tidak maukah kamu mengizinkan aku menghadiri kunjungan kelasmu sebagai pengganti Bibi Ryoko?" tanyaku.

"Ehmm … jika aku bertanya padamu, kenapa Yuuya-kun memohon hal ini padaku?"

"Karena aku memang ingin pergi. Aku ingin melihat bagaimana keadaan Aoi di sekolah."

Aku yakin bisa melihat sisi lain Aoi yang berbeda dari ketika dia yang menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang apartemen ini.

"Tapi bukankah kamu harus bekerja pada hari itu?"

"Aku bakalan mengajukan cuti. Lagi pula, aku masih punya banyak cuti yang belum digunakan."

"Kamu yakin … mau melakukan ini?" Aoi bertanya dengan ragu-ragu. Aku yang ingin meredakan kekhawatirannya pun tersenyum.
"Tentu saja aku yakin. Aku sangat menantikan kunjungan kelasmu."

"Fufu … Kenapa malah Yuuya-kun yang begitu menantikannya? Itu aneh, tahu." Aoi tersenyum gembira dan melihat hasil cetakan kunjungan kelas. Dia bukan gadis yang jujur, tetapi itulah yang membuatnya begitu imut.

"Kalau begitu, aku akan percaya pada kata-katamu. Aku juga sangat menantikan kunjungan kelas itu," lanjut Aoi.

"Ya. Aku juga sudah tidak sabar lagi, sih."

"Mouu. Seharusnya aku yang begitu … Baka!"

Belakangan ini, aku mempelajari sesuatu yang baru. Kata "Baka/Idiot" dari sudut pandang Aoi adalah kebalikan dari ungkapan "suka". Terlepas dari kata-katanya yang tidak sopan itu, aku merasa dia sebenarnya bahagia.

"Ngomong-ngomong, aku akan mencuci piring."

"Kamu memang keras kepala, ya … kalau begitu, aku juga akan mencuci piring."

"Apa boleh buat, dah. Aku akan menyerahkannya padamu."

"Hoho ... Kamu orang yang cukup sombong dan bandel untuk seorang anak kecil, ya."

"J-Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!"

"Ha-ha-ha. Maaf, maaf." Aku tertawa dan mengusap kepala Aoi.

"Aku tidak akan memaafkanmu hanya karena kamu mengusap kepalaku."

"Jadi, aku harus berhenti mengusap kepalamu?"

"Jangan, aku tidak suka kalau kamu berhenti."

Aku menyukai malam hari di mana kami bisa bercanda bersama, karena hal itu membuatku merasa sangat bahagia. Entah bagaimana mengungkapkannya, tetapi hal ini membuatku ingin bekerja keras lagi besok. Hidup bersama Aoi adalah suatu kebahagiaan. Itu adalah malam di mana aku sekali lagi berpikir demikian.



Beberapa hari telah berlalu, dan hari kunjungan kelas pun tiba. Aku berdiri di depan gerbang sekolah dan menatap papan namanya.

"Jadi ini adalah SMA tempat Aoi bersekolah, sama dengan nama sekolah yang tertulis di lembar cetakan."

Dari apa yang Aoi katakan padaku, sekolah ini adalah SMA prefektur yang cukup terkenal. Dengan budaya sekolahnya yang mengutamakan prestasi dalam bidang akademik dan atletik, sehingga mendukung penuh dalam hal studi dan kegiatan klub. Bahkan, skor deviasinya lebih dari 60, dan beberapa klub olahraga telah berpartisipasi dalam turnamen nasional.

"Jadi, Aoi juga pintar dalam belajar, ya …"

Sambil membayangkan dia yang sungguh luar biasa dan mampu melakukan apa saja, aku melewati gerbang sekolah. Saat itu sedang jam makan siang sehingga sekolah dipenuhi dengan kebisingan. Anak laki-laki bercanda dan membuat keributan, dan anak perempuan mengobrol dengan gembira. Aku juga bisa melihat sepasang anak muda yang terlihat seperti pasangan sedang berbincang-bincang di pojokan. Pemandangannya tidak jauh berbeda dengan ketika aku masih menjadi pelajar.

Terhanyut dalam perasaan nostalgia, aku langsung menyusuri koridor gedung sekolah dan berhenti di depan ruang kelas Aoi—Kelas 3-2. Di depan ruang kelas terdapat meja dengan lembar kehadiran orang tua.

"Hmm. Apakah aku cukup dengan menuliskan namaku di sini?"

Ketika sedang mengisi namaku, seseorang muncul di belakangku dan berkata, "Oh, itu Yuuya-san! Chisu-chisu!"

Aku berbalik dan menyadari orang yang ada di sana adalah Rumi. Aku belum pernah melihat dia yang mengenakan seragam sekolah sebelumnya.

"Ah, Rumi-chan. Halo."

"Chisu-chisu. Heee, apakah tidak apa-apa jika pacar yang menghadiri kunjungan kelas?"

Astaga. Dia pikir Aoi dan aku berpacaran?

"Maaf. Aku akan sangat menghargai jika kamu tidak menceritakannya kepada siapapun."

"Tidak, aku tidak memberitahu siapapun, oke? Aku akan merasa kasihan pada Aoi-cchi yang dibombardir pertanyaan jika orang-orang mengetahuinya."

"Oh, begitu. Terima kasih, Rumi-chan."

Aku lega sekaligus sangat senang bahwa Rumi adalah gadis yang baik hati dan peduli dengan temannya. Lalu, aku melirik ke arah ruang kelas sekilas. Sebagian besar siswa sudah duduk dan mengobrol dengan teman-teman yang duduk di sekitar mereka. Mereka mungkin sedang membicarakan tentang wali murid yang datang untuk kunjungan kelas.

Adapun para wali murid, berjejer di bagian belakang ruang kelas. Selain aku, mereka semua adalah perempuan. Mereka semua mengenakan pakaian modi dan berdandan. Sedangkan aku satu-satunya yang mengenakan setelan biasa.

"Yuuya-san, apakah kamu mencari Aoi-cchi? Dia sudah berada di dalam kelas. Lihat, dia duduk di sebelahku."

"Di mana? Sejak awal, aku tidak tahu di mana Rumi-chan duduk."

"Ha-ha-ha, serius? Lawak, dah."

Kemudian Rumi berkata, "Baiklah, aku akan duduk dulu," lalu masuk ke dalam kelas yang diikuti olehku. Aku berdiri di sudut, sambil berpikir bahwa mungkin bukan ide yang bagus untuk mengamati dari tempat yang mencolok.

"Ha-ha-ha! Aoi-cchi, aku serius!"

Aku melihat ke arah di mana aku mendengar suara tawa Rumi. Dia berbicara dengan Aoi yang duduk di sebelahnya dan menunjuk ke arahku. Mata kami pun berpapasan dan dia tersenyum malu-malu saat melambaikan tangannya dengan pelan. Aku juga membalas lambaian kecilnya.

Selanjutnya, Aoi mengalihkan pandangannya dariku dan kembali mengobrol dengan Rumi. Gadis yang berada di depan juga ikut bergabung di tengah obrolan mereka, dan Aoi secara alami berinteraksi, tertawa dan marah dengan nada bercanda. Seperti yang Rumi katakan, Aoi tampaknya bisa bersenang-senang dengan teman-teman sekelasnya. Melihatnya suasananya seperti itu, aku merasa lega.

Ketika sedang tersenyum melihat keadaan Aoi di sekolah, tiba-tiba aku merasa ada yang melirik. Itu berasal dari ibu yang berada di sebelahku yang mengenakan pakaian elegan dalam balutan warna merah muda. Dia membungkuk dan berbicara kepadaku.

"Halo. Kamu terlihat muda, ya."

"Eh? Kelihatannya begitu, ya?"

"Ya. Kamu bukan ayahnya, kan? Melainkan, Onii-san-nya?"

Tidak, dia teman satu tempat tinggalku. Mana mungkin aku bisa mengatakan hal seperti itu dan memutuskan untuk bermain aman.

"Yah, aku adalah kerabatnya. Orang tua keponakanku itu tidak bisa datang hari ini, jadi aku yang menggantikannya."

"Ara? Kamu sangat peduli dengan keponakanmu, ya. Itu berarti kamu adalah paman yang baik dan kuyakin keponakanmu juga anak yang baik."

"B-Begitu, ya. Ha-ha-ha."

"Itu benar, lho. Kuharap dia bisa berteman baik dengan Rumi anakku. Ohohoho!"

"N-pfftt! Hahahaha!"

Gawat, dah! Aku hampir saja kebablasan. Wanita anggun ini adalah ibunya Rumi? Ibunya tertawa dengan sangat elegan. Ketika aku terkejut melihat perbedaan aura antara orang tua dan anak, pintu ruang kelas pun terbuka.

"Baiklah. Apakah semuanya sudah duduk?"

Seorang sensei wanita muda memasuki ruang kelas. Para siswa dan orang tua berhenti mengobrol dan semua melihat ke arah podium.

"Sekarang, beri hormat."

Seorang siswa di barisan depan memberi aba-aba dan kelas pun dimulai.

"Silakan buka buku pelajaran sastra kuno kalian ke halaman 34. Seperti yang sudah saya katakan pekan lalu, kita akan membaca dan mendiskusikan ‘The Pillow Book’."

The Pillow Book, penulis adalah Sei Shonagon. Aku rasa semua orang pernah mendengar bagian yang dimulai dengan "Fajar di musim semi—", setidaknya satu kali.

"—Sekarang mari kita lanjutkan ke paragraf berikutnya. aku akan meminta kalian untuk menerjemahkan ‘Senja di musim gugur’ ke dalam bahasa Jepang modern. Kalau begitu … Shiratori-san." Aoi telah ditunjuk oleh sensei.

Apa yang harus kulakukan? Entah kenapa aku begitu gugup meski bukan aku orang yang dipilih. Kalau dipikir-pikir, dia mengatakan bahwa tidak pandai dalam Literatur Kuno ketika dia belajar di rumah. Aoi, berjuanglah. Tidak masalah jika kamu gagal, jawab saja dengan percaya diri!

"Baik." Aoi menjawab singkat dan dengan tenang berdiri dari tempat duduknya.

"Senja di musim gugur begitu indah. Ketika matahari mulai terbenam, maka akan terbenam di tepi pegunungan, dengan burung-burung gagak yang kembali ke sarangnya "

Terlepas dari kekhawatiranku, Aoi menerjemahkan kata-kata tersebut ke dalam bahasa modern tanpa ragu-ragu. Aku terpesona dengan penampilannya, yang belum pernah kulihat saat di dalam ruang apartemen.

Aoi tidak hanya ahli dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga tetapi juga belajar dengan tekun. Ini sama dengan tujuanku yang menyeimbangkan antara waktu di rumah dan pekerjaan … tidak. Sebaliknya, Aoi lebih mengesankan lagi, karena dia sudah langsung mempraktikkannya. Dia imut dan kuat. Tidak hanya itu, dia adalah seorang pekerja keras. Dia mengatakan bahwa dia bekerja keras dalam pelatihannya demi menjadi seorang istri. Terlepas dari perihal usia, aku menghormatinya secara pribadi.

"—Suara desiran angin dan gemerisik serangga, sulit diungkapkan dengan kata-kata."

"Cukup. Sampai di sana. Shiratori-san, itu luar biasa. Itu adalah terjemahan modern yang patut dicontoh."

Terdengar sorak-sorai kecil dari para orang tua, membuat pipi Aoi memerah dan dia duduk dengan malu-malu. Dia juga melirik ke arahku sehingga mata kami berpapasan. Diam-diam, dia membuat pose jari V. Gerakannya sangat imut sehingga aku tidak bisa menahan senyum. Teman satu tempat tinggalku, yang dalam versi siswanya, bahkan terlalu imut. Begitulah yang kupikirkan saat kunjungan kelas.

"Baiklah, ini adalah akhir dari pelajaran. Silakan bubar."

Seakan-akan mendapat aba-aba, suasana di ruang kelas pun menjadi lebih rileks. Beberapa siswa berbicara dengan teman sebelah mereka, sementara yang lain mengunjugi meja teman mereka.

Aoi bangkit dari tempat duduknya setelah mempersiapkan diri untuk kelas berikutnya dan pergi ke koridor. Sepertinya itu ciri khasnya untuk beristirahat sejenak setelah mempersiapkan diri. Aku harus memberitahu Bibi Ryoko tentang apa yang terjadi hari ini. Kuyakin, dia akan senang saat mendengar bahwa Aoi bersenang-senang bersama teman-temannya.
 
Setelah beberapa saat, para wali murid berbondong-bondong keluar ke koridor, aku juga mengikuti mereka. Ketika pergi ke koridor, Aoi sedang berbicara dengan seorang anak laki-laki di kelasnya. Dia tinggi dan memberikan kesan sebagai pemuda yang menyegarkan. Dari penampilannya, dia juga tampak sebagai anak yang baik hati. Mereka berdua tertawa dan berbicara bersama. Mungkin dia adalah teman baiknya Aoi.

"Aoi-chan. Apakah kamu punya rencana sepulang sekolah? Umm, aku mau pergi bermain bersamamu … berdua saja."

Tidak ada niatku untuk mendengarkan percakapan itu, tetapi aku mendengar kata-kata yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebagai seorang siswa, Aoi harus memiliki waktu bermain dengan anak laki-laki sekelasnya. Namun, fakta bahwa mereka hanya berdua saja merupakan kekhawatiran bagi para wali murid.

Tidak, bukan begitu.

Perasaan ini tidak datang dari sudut pandang walinya. Aku tidak ingin dia pergi bersamanya, tidak rela Aoi pergi bermain hanya berdua dengan pria yang tidak dikenal. Perasaan seperti kecemburuan seorang pria berputar- putar di dalam hatiku. Aku pun menyaksikan percakapan mereka dari kejauhan.

"Um … aku sudah punya rencana hari ini. Maafkan aku." Aoi dengan penuh permintaan maaf menolak undangannya.

Pada saat yang sama terasa melegakan, tetapi ada satu pertanyaan yang tersisa. Aoi tidak memiliki rencana apapun hari ini. Malam ini, seperti biasa, dia hanya menghabiskan waktu bersamaku di apartemen. Aku penasaran mengapa dia berbohong tentang dia yang memiliki rencana.

"Oh, begitu. Apa boleh buat, kan. Mungkin aku akan mengundangmu lagi lain kali."

Lelaki tersebut berkata seperti itu sambil tersenyum. Meskipun dia ditolak, dia menarik diri dengan sopan dan kembali dengan senyumannya yang menyegarkan. Tidak diragukan lagi, anak ini pasti populer di kalangan wanita.

"Maafkan aku. Padahal kamu sudah bersusah payah mengundangku pergi."

"Tidak, tidak apa-apa. Ini salahku karena mengajakmu pergi secara tiba-tiba. Jika kamu sudah punya rencana, maka apa boleh buat. Lagi pula, hal itu penting bagi Aoi-chan, kan?"

"Benar. Urusannya sangat penting, malah. Aku sangat menantikan makan malam dengan orang yang aku cintai," kata Aoi sambil tersenyum bahagia.

Makan malam dengan orang yang dia cintai … itu berarti makan malam denganku, kan?

Aoi sangat memikirkanku sampai-sampai dia menolak undangan dari teman sekelasnya, dan hal itu membuatku sangat senang. Tanpa sadar aku tersenyum meskipun sedang berada di tempat umum, sehingga aku buru-buru menutup mulut dengan tanganku. Di sisi lain, lelaki itu tersenyum pahit. Dia terlihat sedang dalam masalah, seperti "Kamu punya pacar?"

Maaf, tampan. Mungkin sikapku ini tidak dewasa ... tetapi aku yang menang.

Mengapa hatiku begitu tenteram ketika Aoi memikirkanku? Aku sudah tahu jawabannya.

Seketika itu juga, aku teringat hari ketika aku pulang ke rumah bersama Aoi sembari berbagi payung. Ketika sedang memikirkan tentang tipe wanita yang aku sukai, wajah Aoi terlintas di benakku. Aku sudah menyadarinya sejak saat itu. Aku jatuh cinta kepada Aoi.

Aku ingin melindungi Aoi yang kesepian. Aku harus menjadi wali yang bisa dia andalkan. Dengan mengingat hal ini, aku telah berusaha dengan caraku sendiri. Dalam prosesnya, perasaanku pun berubah sedikit demi sedikit. Aku merasa terhibur dengan senyum manisnya. Tatkala dia bersikap manis memanja, jantungku jadi berdebar tak menentu. Rasanya menyenangkan ketika dia mengandalkanku, atau ketika dia bersikap sedikit egois padaku. Saat itu juga, aku mulai ingin membuatnya bahagia dan ingin lebih sering bersamanya. Perasaan itu berubah menjadi rasa sayang yang istimewa, terlahir dari kecintaanku padanya. Aku ingin menceritakan perasaan ini kepada Aoi. Tidak, aku harus memberitahunya. Karena aku percaya pada pertunangan kami dan ingin setia pada dia yang selalu memikirkanku.

"Yuuya-kun!"

"Whoa! Aoi?"

Tanpa sadar, Aoi sudah ada di sana, membuatku sontak berteriak kaget. Sepertinya mereka telah selesai berbicara dengan dan dia sendirian sekarang.

"Ada apa? Sepertinya kamu sedang bengong."

"Eh? Ah, iya. Terjemahan bahasa modern Aoi sangat bagus, sampai-sampai aku terbuai akan kesan yang kamu tinggalkan."

Sulit bagiku mengatakan yang sebenarnya, jadi aku sesegera mungkin berbohong. Ini mustahil. Pipiku terasa panas saat sedang memikirkan Aoi.

"Oh, Aoi-cchi dan Yuuya-san ... Chisu-chisu."

Rumi berlari ke arah kambil sambil menyapa. Sejujurnya, aku tidak bisa tenang, jadi akan sangat membantu jika ada dia dalam percakapan.

"Yuuya-san! Aoi-cchi, terjemahanmu ke dalam bahasa modern sangat bagus, kan? Bahkan sensei pun memujimu, kamu benar-benar jenius!"

Dengan bangga, Rumi melihat Aoi yang sedang tersipu.

"Moou. Kenapa malah kamu yang begitu antusias, Rumi-san?"

"Tentu saja aku akan antusias ketika temanku dipuji! Sangat membanggakan!"

"B-Begitu ya … rasa antusiasmu begitu menggebu-gebu. Apakah ada sesuatu yang baik terjadi?

"Oh, kamu tahu? Baru saja, pacarku mengajakku pergi ke taman hiburan."

"Hee, itu bagus, kan?"

"Ehehehe. Rupanya dia ingat kalau aku pernah berkata ingin pergi ke taman hiburan. Dan dia juga mengatakan begini, 'Wajar sih jika aku mengingat tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi', membuatku sangat tersentuh."

Rumi menekan kedua pipinya dengan kedua tangannya sambil bertingkah malu-malu. Meskipun, dia terkesan sebagai seorang gadis yang energik, rupanya dia juga memiliki sisi yang feminin.

Tempat yang ingin dia kunjungi, ya ….

Kalau dipikir-pikir, Aoi belum pernah mengatakan bahwa dia ingin pergi ke suatu tempat. Bahkan hampir tidak pernah meminta apapun yang dia inginkan. Termasuk kunjungan kelas hari ini. Seandainya aku tidak menyarankannya, dia tidak akan memintaku untuk datang. Menurutku, dia masih menahan diri. Baiklah, dalam waktu dekat aku akan mengajak Aoi berkencan. Saat di akhir kencan nanti, aku akan mengungkapkan bagaimana perasaanku padanya.

Ketika memikirkan hal itu, bel sekolah pun berbunyi.

"Oh, kelas akan segera dimulai. Ayo, Aoi-cchi," panggil Rumi.

"Ya, Aoi! Oke, Yuuya-kun. Sampai jumpa lagi."

"Oke ... Sampai jumpa, Aoi. Rumi-chan."

Sambil melambaikan tangan, mereka memasuki ruang kelas.

Yah ... aku harus memutuskan rencana kencan. Ke mana tempat yang harus dikunjugi demi membuat Aoi bahagia? Bagaimana aku harus mengungkapkan perasaanku padanya?

Sambil memikirkan hal itu, aku meninggalkan sekolah.

TL: Zho (YouthTL)   

 

Prev Chapter || ToC || Next Chapter

0

Post a Comment

close