NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Mirai Kara Kita Hanayome no Himegi-san V2 Himegi Touka’s Reminiscence 5

Himegi Touka's Reminiscence 5

Pada saat musim panas terakhir di bangku kuliah, aku dan pacarku melakukan perjalanan dengan sepeda motor. Awalnya, kami menuju Tokyo, dan sesampainya di sana, kami menaiki Menara Tokyo. Meskipun aku sudah bilang bahwa aku tidak ingin menaikinya, tetapi si Idiot itu memaksaku untuk tetap naik.

 

Siapa sih orang bodoh yang membuat lantai kaca berbahaya seperti itu? Aku hampir jatuh! Kenapa pula aku harus menaiki enam ratus anak tangga yang menakutkan itu? Yah, walaupun es krim lembutnya memang lezat ….

 

Kemudian, kami melanjutkan perjalanan melintasi wilayah Tohoku dan tiba di tujuan akhir kami, ladang bunga matahari di Hokkaido. Sebuah ladang bunga matahari yang benar-benar menakjubkan, dan ke mana pun aku melihat, semuanya berwarna kuning. Aku kehilangan kata-kata di hadapan pemandangan yang sangat spektakuler itu. Rupanya, ada tempat seperti ini di ujung Jepang.

 

Saat angin bertiup, aroma bunga matahari menusuk hidungku. Aromanya entah bagaimana sama dengan aroma kakak perempuanku, yang sangat aku rindukan. Dia mungkin ingin melihat pemandangan ini.

 

    “Luar biasa, semuanya bunga matahari.”

 

    “Umm, ya. Aku tidak menyangka akan ada sebanyak ini.”

 

Benar-benar jauh lebih indah dari yang aku bayangkan. Sebenarnya, pacarku yang menyarankan perjalanan ini. Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba mengatakan hal itu, tetapi aku tetap senang bisa berbagi pemandangan yang indah ini dengannya. Aku berharap kami bisa datang ke sini lagi.

 

    “Touka,” dia memanggilku.

 

    “Ya?”

 

    “Kamu mungkin tidak percaya, tapi Natsumi-san muncul di dalam mimpiku,” jelasnya.

 

    “—Eh?”

 

    “Dan dia memintaku untuk membawamu kemari.”

 

    “............”

 

    “Karena itu sih aku membawamu ke sini.”

 

    “Oh, begitu. Terima kasih, Ha-kun.”

 

Dia berbicara dengan Natsumi Nee-san dalam mimpinya. Mungkin itu hanya mimpi, atau mungkin itu benar-benar pesan darinya. Apapun itu, aku senang mendengar kabar tentangnya dari mulut pacarku.

 

    “Dan Touka!”

 

    “Ya? Ada apa?”

 

Dia menatapku dengan ekspresi serius, lalu berkata, “Dan tahun depan, lalu tahun setelahnya, kita akan datang kembali untuk melihat ladang bunga matahari ini ….”

 

    “Ya, ya. Ayo kita kembali lagi tahun depan dan tahun berikutnya,” jawabku.

 

Aku merasa senang karena dia merasakan hal yang sama denganku.

 

    “Ah, tidak … maksudku bukan begitu. Eh, bukan … maksudku begini.”

 

    “Apanya?”

 

    “Oh, astaga! Kamu sangat tidak peka hari ini! Kenapa tiba-tiba kamu berubah menjadi bodoh, ya?”

 

Aku tidak tahu mengapa dia marah padaku ataupun alasan kenapa dia sangat malu.

 

    “Maksudku, apa yang baru saja aku katakan adalah ... um … um ....”

 

    “Berhentilah berbicara dengan tidak jelas begitu, oke? Kenapa sih, kamu tiba-tiba seperti ini?”

 

Itu tidak seperti dia. Setidaknya, laki-laki yang kukenal adalah tipe orang yang selalu jujur dan lugas dalam berbicara. Namun, dia menatapku, seraya tersipu. Ini pertama kalinya aku melihatnya seperti ini sejak dia menyatakan perasaan cintanya padaku.

 

    “Touka, aku ingin kamu menikah denganku!”

 

Kata-katanya sampai ke telingaku saat semilir angin berhembus. Meskipun aku sudah sering diajak untuk berpacaran, tetapi ini pertama kalinya aku diajak untuk menikah. Ya, ini adalah pengalaman pertama dalam hidupku, diajak untuk menikah.

 

Ah! Apa dia baru saja melamarku?

 

Dia kelihatan cemas dan berbicara dengan penuh harapan.

 

    “Aku ingin mendengar jawabanmu?”

 

    “M-Maafkan aku ….”

 

    “Heh! Huh, huh, aku ditolak, kan?”

 

    “Oh, tidak, tidak, bukan begitu! Maaf ini karena aku tidak menyadari bahwa kamu melamarku. Umm .... Ya, ayo kita menikah!”

 

    “Kenapa pakai jeda segala?”

 

    “Soalnya, kamu tiba-tiba ….”

 

Melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana Kanako dan Kei saling mencintai setelah menikah, sedikit banyak aku menjadi sadar akan pernikahan. Apabila aku mau menikah, aku tidak bisa melihat orang lain yang pantas selain Ha-kun, dan aku bahkan tidak ingin memikirkan dia menikahi gadis lain. Sama halnya tentang anak. Jika Ha-kun dan aku menikah, aku ingin melahirkan bayi sebanyak mungkin.

 

Aku telah menunggu dengan cemas agar dia melamarku suatu hari nanti. Namun, aku mengira itu akan terjadi di masa depan. Bagaimanapun juga, aku masih berusia 21 tahun, masih berada di tahun keempat kuliahku. Meski terlihat terlalu dini, tetapi aku tahu bahwa aku tidak boleh membuang kesempatan ini. Karena, kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan mati. Kematian kakak perempuanku telah menciptakan nilai-nilai seperti itu dalam diriku. Ya, dunia ini keras. Dunia tidak menjamin hari esok. Jadi jangan menunda apa yang memang kita inginkan. Itulah yang aku pelajari dari kematian kakakku.

 

    “Ya, aku tahu. Aku sedikit gugup karena kamu telah menolakku mentah-mentah di masa lalu.”

 

    “Maaf … untuk waktu itu.”

 

    “Tidak, tidak apa-apa. Itu juga sudah berlalu ….”

 

    “Yah, kupikir itu sudah lama sekali, tapi ayo kita menikah!”

 

    “Terima kasih. Touka, aku akan membuatmu bahagia.”

 

    “Ya. Aku juga akan membuatmu bahagia.”

 

Segera setelah itu, kami berciuman dengan lembut. Aku telah menciumnya berkali-kali, tetapi hari ini mungkin yang paling membahagiakan.

 

    “Aku mencintaimu.”

 

    “Aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini.”

 

Aku merasa sedikit malu. Kapan terakhir kali aku begitu seheboh ini?

 

    “Tapi, Ha-kun, jika kamu mau memintaku untuk menikah denganmu, kamu pasti membutuhkan benda itu, kan? Benda itu?”

 

Aku mengulurkan tangan kiriku padanya, menunggunya untuk memakaikan cincin di jari manisku.

 

    “Benda itu? Benda apa?”

 

    “Ya ampun, aku sudah bilang, kan? Benda itu?”

 

Aku dengan gelisah menggerak-gerakkan jari manis tangan kiriku. Astaga, kenapa dia selalu saja membuatku gelisah?

 

    “............”

 

Kemudian dia terdiam membisu di tempat, terlihat malu dan meminta maaf.

 

    “Ah, ah, apakah … apakah aku memerlukan cincin saat melamar?”

 

Matanya berkibar dan dia bertanya dengan ekspresi yang serius.

 

    “Tentu saja. Bukankah sudah jelas?”

 

Memang, belakangan ini ada tren lamaran yang tidak menggunakan cincin, tetapi sejujurnya, menurutku itu salah. Setidaknya dia sudah menyiapkan sekuntum mawar merah, kan? Ayo, beri aku cincin atau mawar dengan trik sulap seperti yang biasanya.

 

    “B-Benar juga, ya ….”

 

    “Jadi,  cincinnya?”

 

    “A-Aku lupa. Aku sungguh minta maaf.”

 

Dia menundukkan kepalanya dengan lesu. Aku juga merasa sedih dan kecewa. Haaah. Padahal ini adalah kejadian sekali dan seumur hidup

 

Fufufu … Haaah, tidak peduli berapapun usianya, dia tetap saja menjadi Pangeran yang Malang. Akan tetapi, bukan pangeran keren yang berpakaian rapi sambil menunggangi kuda putih yang aku sukai. Sebaliknya, ya, pangeran yang aku sukai adalah Pangeran yang Malang dan ahli dalam trik sulap.

 

    “Aku akan menyiapkannya, jadi tunggulah sebentar.”

 

    “Baiklah. Aku akan menunggumu dengan sabar.”

 

Kendatipun lamarannya tidaklah terlalu bagus, tetapi momen hari ini tidak akan pernah aku lupakan. Ah, bahkan jika aku menjadi seorang nenek-nenek nantinya, aku ingin datang dan melihat ladang bunga matahari ini lagi bersamanya.

 

Sembari membayangkan hal itu, aku menikmati momen kebahagiaanku.

 

TL: Zho (YouthTL)


Prev Chapter || ToC || Next Chapter
Post a Comment

Post a Comment

close