NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Yamamoto-kun no Seisyun Revenge! Volume 1 Chapter 8

 Penerjemah: Ikaruga Jo

Proffreader: Ikaruga Jo


Chapter 8 - Rokok Ramune


Setelah kembali ke wujud aslinya, aku dan Kashiwagi-san berada di atap rumah sakit, memandangi langit berbintang. Meskipun suhu di Amerika lebih tinggi daripada Jepang, udara yang kering membuatnya tidak terasa pengap.

"Mau?" kata Kashiwagi-san sambil menyodorkan sebatang Ramune Cigarette padaku. Tidak ada pilihan lain selain memakannya.

Sambil diterpa angin malam, Kashiwagi-san yang rambut dan jas putihnya berkibar, mulai bercerita seraya menghisap Ramune Cigarette.

"Sungguh khas Tohsaka, membayar biaya rumah sakit yang sangat mahal demi merawatmu. Apalagi di Amerika, biaya medisnya mahal sekali dan tidak ditanggung asuransi."

"Ahaha, tapi aku sudah menolaknya. Ini hanya uang pinjaman yang nanti akan kubayar kembali," jawabku.

"Benarkah? Tapi jumlahnya fantastis, kau harus bekerja berapa tahun untuk melunasi?" tanyanya khawatir.

"Ugh... Aku juga bingung bagaimana cara membayarnya nanti saat kembali ke Jepang... Mungkin aku harus minta bantuan Rensuke-san... Tapi rasanya tidak enak juga..."

Aku pusing memikirkan tagihan yang akan datang. Setidaknya aku ingin Ayaka bisa menjalani hidup yang dia inginkan tanpa perlu memikirkan uang.

Teringat Rensuke-san, aku jadi penasaran dengan Kashiwagi-san. Sekarang setelah perawatannya selesai, mungkin dia bisa bercerita lebih banyak.

"Kashiwagi-san, kenapa Anda memutuskan menjadi pengembang obat sekaligus dokter? Apalagi Anda bisa lulus cepat dan mengembangkan obat baru untuk DeBSyang langka itu... Sungguh luar biasa, tapi Anda bahkan masih seumuran denganku."

Kashiwagi-san menggigit-gigit Ramune Cigarette yang dia hisap sambil menatap langit.

"Tidak perlu basa-basi lagi. Sayangnya, aku bukan dokter yang baik. Membantu banyak pasien DeBSitu hanya alasan di permukaan, sebenarnya aku hanya ingin mewujudkan keinginanku sendiri."

"Keinginanmu.... Mendapatkan persetujuan obat baru di Jepang, ya?"

Kashiwagi-san mengangguk dan mulai bercerita panjang lebar tentang latar belakangnya.

"Keluaraku masih memegang tradisi kuno di mana anak laki-laki lebih diistimewakan. Aku anak ketiga dan satu-satunya perempuan, jadi tidak banyak diperhatikan oleh ayah dan ibu yang sibuk mendidik kedua kakakku menjadi dokter. Ayahku memang dokter, ibuku perawat. Mereka hanya fokus pada kedua kakakku, sementara aku yang bukan anak kandung ibu, bahkan tidak pernah diajak bicara. Mereka hanya bersikap ramah di permukaan, tapi sebenarnya tidak peduli padaku. Tapi justru karena diabaikan, aku bisa menjadi dokter paling hebat di antara kami. Aku bahkan lebih terkenal daripada orang tua kandungku sekarang, dan juga menjadi pengembang obat di Amerika. Berkat bantuanmu, aku bisa menyelesaikan obat baru dan akan segera mendapat penghargaan. Bagaimana, cerita kesuksesan yang menarik bukan?" 

Kashiwagi-san tertawa dengan senang dan mengeluarkan permen ramune berbentuk rokok yang baru lagi. Sambil mengangkatnya ke langit malam, dia melanjutkan ceritanya. Aku terus mendengarkan tanpa berkata apa-apa.

"...Semua ini berawal dari peristiwa yang mengubah hidupku. Aku sudah pernah cerita sebelumnya, kan? Aku bertemu dengan 'orang takdirku'." Saat itu, aku teringat kembali pada cerita sebelumnya. Bagi Kashiwagi-san, dia adalah pahlawan. Tapi, dia juga jadi orang yang membawanya ke jalan yang penuh duri.

"Waktu itu, kami lagi main di sungai bareng keluarga. Meskipun aku minta, orang tuaku gak mau temenin aku. Itu hadiah buat kakak-kakakku yang dapet nilai bagus di ujian. Aku selalu dapet nilai sempurna, tapi tetap aja gak diperhatiin. Ayah sama ibu seneng liat kakak-kakakku main-main, tapi aku diabaikan gitu aja."

"Aku coba mikir cara buat narik perhatian orang tuaku. Soalnya aku masih anak kecil, pikiranku sederhana, aku kira aku cuma perlu bikin orang tuaku khawatir. Mungkin remaja nakal juga ada dalam situasi kayak gini, kan?"

"Aku ambil sebatang rokok sama korek api dari mantel orang tuaku yang tergeletak. Terus aku sembunyi diam-diam di semak-semak deket situ. Aku yakin orang tuaku bakal sadar aku gak ada di sana dan datang nyariin, terus marahin aku gara-gara merokok. Kalo mereka gitu, mungkin akhirnya aku bisa ngerasain cinta."

"Tapi, aku gak bisa nyalain rokoknya dengan baik. Aku sembunyi gak terlalu jauh, pasti suara panggilan orang tuaku kedengeran dalam 5 menit. Tapi, aku sadar udah 30 menit aku berusaha keras tapi rokoknya gak mau nyala-nyala."

"Aku pergi liat orang tuaku, dan aku liat mereka masih asyik main-main sambil ngobrol, ngomongin masa depan mereka jadi dokter. Mereka gak sadar kalo aku gak ada di sana."

"Waktu itu, kecemasanku berubah jadi keyakinan. Aku yakin kalo aku gak dibutuhkan orang tuaku. Jadi, aku memutuskan buat ngilang. Soalnya kita lagi di tepi sungai, aku memutuskan buat lompat ke sungai dan mati."

"Satu-satunya penyesalanku cuma gak bisa nyalain rokoknya. Di tepi sungai yang deras, aku berusaha keras nyalain rokoknya. Aku pikir aku bisa merokok sepuasnya karena aku udah gak peduli lagi sama tubuhku."

"Tiba-tiba, ada anak laki-laki yang nemuin aku dan bilang, 'Jangan merokok itu.' Aku jawab dingin, 'Bukan urusanmu. Biarin aku sendiri.' Tapi, anak itu duduk di sampingku dan ngeluarin kotak permen."

"Itu permen ramune yang bentuknya kayak rokok. Dia bilang, 'Ini lebih enak, coba yang ini.' Dia ngambil rokokku terus masukin ke mulutku tanpa izin."

"Waktu rasa manis ramune menyebar di mulutku, air mataku menetes. Anak itu bilang, 'Enak kan? Kalo merokok, rasanya juga jadi gak enak.' Dia ketawa polos, tanpa tahu betapa aku merasa tertekan."

"Saat itu, aku ngerasain cinta buat pertama kalinya. Dan aku sadar, aku gak perlu maksa-maksa diri ke orang tuaku. Cinta bisa diberikan ke siapa aja, dan diterima dari siapa aja."

"Terus, anak itu bilang, 'Aku punya penyakit yang namanya DeBS. Mulai sekarang, tubuhku bakal terus gemuk cuma dengan minum air, dan aku gak bakal bisa hidup lebih lama dari orang lain.' Air mataku gak bisa berhenti netes waktu dia cerita gitu."

"Itu udah cukup buat bikin aku berubah pikiran."

"Terus, ada anak kecil yang hanyut dari hulu. Seorang cewek kecil tenggelam. Dia teriak, 'Rumi!' terus langsung lompat buat nyelamatin dia."

"Aku lari panik ke darat, nemuin tongkat kayu panjang, terus kasih ke dia. Dia udah terluka parah banget waktu lindungin cewek itu dari batu di sungai. Terutama di dahinya."

"Anak itu nerima tongkat kayu yang aku kasih, sambil meluk cewek itu, dia naik ke darat. Cewek itu gak sadar. Dia susah payah lakukan pijat jantung dan napas buatan sambil berdarah-darah. Mungkin dia masih inget pelajaran sekolahnya dengan baik. Sekarang aku tahu, seharusnya aku manggil orang tuaku, tapi waktu itu aku sama sekali gak mikir kalo mereka bakal datang kalo aku manggil. Sambil nangis, aku berdoa di sampingnya."

"Terus, cewek itu muntahin air dan mulai napas lagi. Anak itu meluk dia, terus pegang tanganku dan ngucapin terima kasih. Setelah itu, dia pergi tanpa sempat tanya namaku."

"Waktu itu, aku pertama kali ngerasa pengen jadi sesuatu. Aku pengen jadi pahlawan kayak dia, yang bisa nyelamatin nyawa orang lain. Aku punya tujuan hidup tanpa harus bergantung ke orang tuaku."

"Dan aku pengen nyelamatin dia dari DeBS dengan cara apa pun. Aku cari tahu soal DeBS meskipun masih kecil, dan berusaha cari cara buat nyembuhin dia. Aku belajar keras, terus masuk fakultas farmasi di Amerika dengan loncatan kelas. Dan itu alasan aku kembangkan obat ini buat kamu."

"Jadi, aku ada di sini sekarang. Dan aku ketemu banyak orang baik. Ini adalah kehidupan terbaik yang bisa aku dapet. Kalo aku gak ketemu dia, kalo aku gak dapet permen ramune ini, mungkin aku udah kutuk hidupku dan mati, atau mungkin aku masih mimpi buat dicintai orang tuaku dan hidup hampa kayak gitu." 

Setelah selesai bercerita, Kashiwagi-san tertawa sambil menghisap permen ramune berbentuk rokok itu.

"Jadi, maaf ya, aku cuma memanfaatkanmu saja. Aku ingin obat baru ini disetujui di Jepang juga, supaya aku bisa menyembuhkan penyakit DeBS anak laki-laki yang baik dan berani itu. Meskipun aku tak bisa bertemu dengannya lagi, asal dia sembuh itu sudah cukup... Itu keinginanku. Maaf kalau membuatmu merasa tidak enak."

"..."

"Tapi, perjuanganmu benar-benar menyentuh hatiku. Haha, terakhir kali aku menangis itu waktu itu. Kau berusaha keras, membuktikan yang mustahil bisa jadi mungkin. Demi keinginan pribadiku yang seperti ini."

"..."

Mendengar cerita Kashiwagi-san, aku terdiam.

Tidak mungkin... Pasti benar.

Pipi Kashiwagi-san sedikit memerah dan berdeham.

"Kalau kau tidak keberatan... Setelah pemantauan akhir ini selesai, dan obat barunya disetujui di Jepang... Maukah kau ikut denganku ke Jepang?"

"Eh, apa itu kejadian di Sungai Iwakura, Miyagi, waktu aku masih kelas 1 SD?"

Saat aku menyela, mata Kashiwagi-san membulat melihatku.

"...Hah? Kau... Tahu dari mana?"

Aku mengangkat poni di dahiku, memperlihatkan bekas luka di sana. Luka yang kudapat saat berusaha menyelamatkan Rumi waktu itu.

"Ja-jangan-jangan..."

Kashiwagi-san menjatuhkan permen ramune yang sedang dihisapnya.

◇◇◇

Beberapa hari kemudian, di kediaman Tousaka.

"Renji-sama, ada surat dari Yuri-chan."

"Ah, pasti tagihan biaya rumah sakit lagi. Bakar saja dan buang."

"Sebaiknya Anda sendiri yang melakukannya, Renji-sama."

Renji Tohsaka menerima surat itu sambil bercanda, lalu membukanya.

"Meski ini akan dibayar oleh Yamamoto-kun nantinya... Sebaiknya aku kurangi setengahnya deh. Harga di Amerika kan jauh lebih mahal dibanding Jepang."

"Tapi tetap saja itu jumlah yang besar, bukan? Lebih baik kita lihat dulu berapa jumlahnya."

Mereka membuka tagihan yang ada di dalam surat itu, lalu membelalakkan mata melihat isinya.

'Jumlah tagihan: 0 dolar. Sudah dibayar lunas 10 tahun yang lalu.'

'―Dengan 1 permen ramune.' 




Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close