NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Hitotsu Yane no Shita, Boukei no Konyakusha to Koi wo Shita V1 Chapter 3

 Penerjemah: Rion

Proffreader: Rion


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Chapter 3 - Mimpi yang tidak akan menjadi kenyataan


Saat itu Selasa pagi, seminggu setelah kembali ke sekolah.

Setelah selesai bersiap-siap, aku turun ke ruang tamu dan melihat Shiho-san sedang menyiapkan sarapan.

"Selamat pagi. Ada yang bisa kubantu?"

"Selamat pagi. Cuman tinggal menyajikan sup miso saja kok, jadi duduk dan tunggu saja."

Saat aku melihat ke meja, ada ikan salmon panggang, telur dadar, acar, natto, dan berbagai lauk khas sarapan Jepang yang menggugah selera. Aroma lezatnya menyebar di sekeliling.

Aku menunggu dengan patuh, dan segera setelah itu, Shiho-san membawa sup miso.

Melepas apron, Shiho-san duduk di kursi. Kami saling berhadapan dan menyatukan tangan.

" "Selamat makan." "

Saat aku meminum kuah sup miso, rasa lembut m,iso dan kehangatannya membuatku menghela nafas puas.

Kadar garam yang pas menyebar ke seluruh tubuh yang baru bangun, dan kepala yang masih setengah mengantuk mulai terjaga.

Tampaknya, tubuhku secara tidak sadar membutuhkan lebih banyak garam, dan sebelum aku menyadarinya, sumpitku sudah meraih salmon panggang.

Hmm... Kadar garam dan tingkat pemanggangannya sama-sama pas.

"Bagaimana rasanya?"

"Ya. Enak sekali."

Shiho-san terlihat lega dan tersenyum.

Sejujurnya, tanpa basa-basi, Shiho-san memang pandai memasak sejak awal.

Aku sudah tahu ini sejak Shiho-san memasak untuk aku dan kakakku dulu, tetapi setelah dibuatkan setiap pagi seperti ini, ada sesuatu yang kupikirkan selain kelezatannya.

"Mungkin karena aku yang selalu memasak untuk kakakku yang sibuk... Dan terus-menerus makan masakan buatan sendiri, lama-lama bosan dengan rasanya."

Ada cerita umum bahwa masakan bisa berbeda rasa tergantung siapa yang memasaknya atau di mana itu dimasak.

Sederhananya, rasanya memang sama-sama khas rumahan, tetapi karena selalu memasak sendiri, lama-kelamaan semua masakan rasanya menjadi mirip dan membosankan. Terutama bagi mereka yang tinggal sendiri dan memasak sendiri, pasti bisa memahami ini.

Makanya, saat kakak masih hidup, kami biasanya makan di luar seminggu sekali.

"Aku sangat bersyukur bisa makan masakan buatan orang lain,."

"Begitu. Memang, ada banyak manfaat dari tinggal bersama."

Ini satu hal kecil, tapi benar adanya seperti yang dikatakan Shiho-san.

Mengabaikan emosi kecil ini, akhirnya aku benar-benar terjaga dan menyadari sesuatu.

"Shiho-san, hari ini kamu berpakaian lebih kasual dari biasanya."

"Ah, apa terlalu mencolok?"

Shiho-san melihat ke dirinya sendiri sambil memegang sumpit dan mangkuk nasi.

Biasanya pada hari kerja dia mengenakan setelan dengan warna yang tenang, tetapi pagi ini, dia mengenakan pakaian yang lebih kasual, atau bisa dibilang, perpaduan blus dan rok yang cerah khas musim semi.

Jaket yang terletak di sofa juga memiliki warna yang sama dengan roknya.

"Menurutku tidak semencolok itu."

"Baguslah~ Aku membeli pakaian baru untuk hari ini."

"Ada acara makan atau pesta pekerjaan?"

"Itu rahasia♪"

Shiho-san menempelkan jari ke bibirnya sambil tersenyum nakal.

Aku tidak akan memaksakan diri untuk ikut campur, tapi entah kenapa aku merasakan sedikit perasaan tidak enak.

Pengalaman mengajarkanku bahwa saat Shiho-san tersenyum nakal seperti itu, biasanya ada sesuatu yang sedang direncanakannya. Namun begitu, sekarang bukan waktunya untuk mencari tahu.

Setelah selesai sarapan, aku merapikan piring, mengambil tas, dan menuju pintu depan.

"Ini bekalmu. Semangat belajarnya!"

"Terima kasih. Shiho-san juga, semangat."

"Ya. Sampai nanti~"

Aku menerima bekal dan meninggalkan rumah diiringi lambaian tangan Shiho-san.

Beberapa kali aku menoleh ke belakang, dan Shiho-san terus melambaikan tangan sampai aku tidak terlihat lagi.


◈ ⟡ ◈


Tiba-tiba saja, kehidupan bersama yang baru dimulai ini ternyata lebih lancar dari yang kami kira.

Meskipun dia adalah tunangan kakak dan aku sudah mengenalnya, aku tidak pernah berpikir bahwa tinggal serumah dengan wanita yang lebih dewasa akan berjalan dengan baik. Aku sudah bersiap menghadapi berbagai masalah yang akan terjadi, namun...

Anehnya, hal itu tidak terjadi sama sekali, dan kenyataannya, hari-hari berjalan dengan tenang.

Tentu saja, baik aku maupun Shiho-san mungkin memiliki pikiran masing-masing, tetapi ini bukan sesuatu yang hanya terjadi di antara orang asing; bahkan keluarga sungguhan pun hidup bersama dengan cara yang sama sampai taraf tertentu.

Justru jika hal itu sama sekali tidak ada, itulah yang aneh.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, kehidupan kami berjalan dengan baik.

Itu mungkin juga karena kami telah menetapkan beberapa aturan untuk hidup bersama.


① Meskipun saling peduli atau memperhatikan, jangan pernah malu atau sungkan.

② Semakin sulit untuk diungkapkan, semakin harus didiskusikan.

③ Shiho-san menyiapkan sarapan dan saya menyiapkan makan malam.


Poin 1 dan 2 lebih seperti sikap mental daripada aturan. Sedangkan poin 3, karena Shiho-san sering pulang larut karena pekerjaan, aku mengusulkan untuk menyiapkan makan malam, dan sebagai gantinya, Shiho-san yang lebih kuat di pagi hari akan menyiapkan sarapan.

Kami segera menyadari bahwa aturan-aturan ini sangat penting setelah memulai hidup bersama. 

Khususnya, berkat poin 1 dan 2, kami tidak perlu terlalu sungkan atau terlalu berhati-hati, sehingga meskipun tetap menjaga sopan santun, kami bisa lebih rileks dalam berhubungan. 

Tentu saja, bisa jadi hanya aku yang merasa begitu.

Walau tampaknya Shiho-san juga merasakan hal yang sama. Sebab, perilaku Shiho-san tidak berubah sejak kami mulai tinggal bersama.

Jika ada sesuatu yang membuatnya bahagia, dia akan mengungkapkannya dengan gembira. Jika sedang dalam suasana hati yang buruk, dia akan marah dan merajuk. Jika mengalami kejadian yang tidak menyenangkan di tempat kerja, dia akan mengeluh. Jika ada hal yang menyenangkan, dia akan tertawa dengan senyum polos.

Selalu menunjukkan diri tanpa rasa sungkan; dia tidak pernah menyembunyikan perasaan suka dan dukanya.

Namun... justru karena dia tidak pernah berubah, terkadang ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirkanku.


---Aku belum pernah melihat Shiho-san menangis.


Tentu saja, mungkin dia menangis sendirian tanpa sepengetahuanku.

Kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai tidak bisa ditahan dengan usaha atau kesabaran. 

Rasa kehilangan seolah setengah dari dirimu terenggut, dan rasa kesepian yang seakan kamu ditinggalkan sendirian di dunia ini. Aku tahu betul betapa sulitnya menahan semua itu, lebih dari siapa pun.

Aku sempat berpikir bahwa dia tidak menunjukkan kesedihannya karena mempertimbangkan perasaanku. 

Tetapi... mungkin bukan itu alasannya. Aku rasa Shiho-san memang benar-benar tidak pernah menangis. 

Karena, jika dia menangis di tempat yang tidak bisa kulihat, seharusnya masih ada bekas yang terlihat. Misalnya, mata yang merah setelah menangis, atau kelopak mata yang bengkak.

Itu bukan sesuatu yang bisa disembunyikan dengan riasan. 

Karena tidak ada tanda-tanda seperti itu, mungkin dia memang tidak menangis.

Tapi jangan salah sangka, hanya karena dia tidak menangis bukan berarti dia tidak bersedih.

Mungkin ada alasan mengapa dia tetap tidak menitikkan air mata meskipun sedang bersedih. Jika dia harus menahan diri agar tidak terjebak dalam kesedihan meskipun hatinya terluka, lalu apa alasan di balik itu?

Kekuatan hati yang tidak menunjukkan sedikit pun kesedihan, meskipun sebenarnya mustahil bagi dia untuk tidak merasakannya.

Itu menakutkan karena aku merasa kekuatan hati adalah sisi lain dari kerentanan yang sangat rapuh.

Ketika aku memikirkan hal tersebut, satu hari berlalu dengan sangat cepat.

Saat menyadarinya, pelajaran terakhir telah usai, dan ketika aku sedang bersiap-siap untuk pulang dan berdiri dari tempat duduk...

"Lihat-lihat, ada wanita cantik di gerbang sekolah."

Tiba-tiba teman-teman sekelaku mulai membuat keributan.

Aku tak berniat untuk memikirkannya, tetapi ketika mereka mulai berbicara 'Itu ibu siapa?', 'Untuk seorang ibu, dia terlalu muda,', 'Jadi, kakaknya?', atau 'Bagaimanapun juga, dia sangat cantik!' dan para murid laki-laki memandang ke luar jendela dengan riuh, mau tak mau aku harus memikirkannya.

Langkah yang awalnya menuju koridor, aku alihkan untuk melihat keluar, dan di saat itu aku tidak percaya dengan apa yang mataku lihat.

"Shiho-san...?"

Di ujung pandangan, aku melihat Shiho-san berjalan dari gerbang sekolah menuju pintu masuk utama.

Ketika aku kehilangan kata-kata karena terkejut, Shiho-san yang menyadari keberadaanku melambai dengan senyuman.

Murid laki-laki yang salah paham bersorak gembira seperti seorang penggemar yang salah sangka bahwa idolanya sedang melihat mereka di konser.

Mengabaikan para murid laki-laki, aku segera meninggalkan kelas.

"Shiho-san!"

Saat aku sampai di pintu masuk utama, aku melihat Shiho-san baru saja memasuki area sekolah.

"Kenapa Shiho-san ada di sini? Bagaimana dengan pekerjaanmu?"


"Aku ada janji temu dengan wali kelasmu, Minoru-kun."

"Apa...?"

Terkejut, aku melihat Shiho-san menampilkan senyuman nakal yang sama seperti pagi tadi.

"Kupikir sebaiknya aku menjelaskan situasi kita kepada wali kelasmu, jadi aku menghubunginya beberapa hari yang lalu. Dia bilang bisa meluangkan waktu sore ini setelah jam pelajaran selesai, jadi aku mengambil setengah hari cuti untuk datang dan menyapa."

Ingatan tentang Shiho-san yang mengatakan 'sampai nanti' saat melepas kepergianku terlintas di benakku.

Sepertinya, alasan dia berpakaian kasual hari ini juga disebabkan oleh hal ini.

"Umm, ini pertama kali aku mendengar tentang ini..."

"Ya. Aku memang belum memberitahumu."

"Eh? Kenapa diam-diam?"

"Surprise~"

Shiho-san mengatakannya dengan nada bangga, tapi...

Menurutku, kejutan bukanlah sesuatu yang seperti ini.

"Aku hanya setengah bercanda saat mengatakan itu kejutan. Aku merasa jika memberitahumu sebelumnya, kamu akan berkata 'tidak perlu menjelaskan kepada guru' dan tidak mengizinkanku untuk datang."

Memang benar, jika dia berkonsultasi denganku sebelumnya, aku mungkin akan menolaknya.

Tidak mengherankan jika dia pindah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia benar-benar mengenalku dengan sangat baik.

"Tapi, aku juga tidak mendengar apa pun dari sensei... Eh, jangan-jangan..."

"Aku sudah bilang kalau aku yang akan menjelaskan, jadi tidak apa-apa."

Aku sudah menduga hal itu.

"Di mana kamu akan bertemu dengan sensei?"

"Aku diminta untuk datang ke ruang bimbingan."

"Baiklah, ayo aku antar."

Aku membawa Shiho-san meninggalkan pintu utama.

Setelah sampai di depan ruang bimbingan, aku mengetuk pintu dan membukanya.

"Permisi."

Di dalam, ada seorang guru perempuan.

"Maaf membuat Anda menunggu."

"Tidak apa-apa. Kalian tepat waktu."

Dengan senyuman lembut, kami disambut oleh wali kelasku, Azusagawa-sensei.

Lulus dari universitas tahun lalu dan ditempatkan sebagai guru baru, ini adalah tahun kedua bagi guru muda ini.

Karena usianya dekat dengan para siswa, dia disayangi dengan panggilan akrab 'Azusa-chan'.

Cantik dan populer di kalangan siswa laki-laki, dia juga sering diandalkan oleh siswa perempuan sebagai sosok seorang kakak yang dekat dengan usia mereka, terutama karena sering memberi mereka nasihat tentang cinta.

Dia adalah guru yang paling populer di antara para siswa saat ini.

"Silakan duduk"

"Terima kasih"

Kami duduk di kursi setelah diarahkan oleh Azusagawa-sensei.

"Senang bertemu dengan Anda. Saya Azusagawa, wali kelas Nanase."

"Saya Mirumachi. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk kami hari ini."

"Saat Mirumachi-san menelepon, saya sudah mendengar sedikit tentang situasinya... bolehkah saya mendengarkan lebih detail?"

"Ya, tentu saja---"

Shiho-san segera mulai menjelaskan pokok permasalahan.


Seperti yang sudah disampaikan, kakakku meninggal tepat setelah masuk bulan April.

Dia menjelaskan bahwa dia adalah tunangan kakakku, dan bahwa dia akan merawatku menggantikan kakak. Dia juga mengatakan bahwa kami mulai tinggal bersama sejak sepuluh hari yang lalu agar dia bisa menjadi waliku.

Selain itu, dia meminta agar dirinya selalu ikut serta sebagai wali setiap kali diadakan konsultasi tiga arah mengenai kehidupan sekolah dan masa depanku.

Sementara Shiho-san menjelaskan, Azusagawa-sensei mendengarkan dengan anggukan berkali-kali.


"Terima kasih sudah mau menceritakannya."

Setelah penjelasan selesai, Azusagawa-sensei menundukkan kepala dan berkata.

"Saya sudah mendengar dari Minoru-kun bahwa kakaknya meninggal, tapi dia belum memberitahuku detailnya, jadi saya sangat khawatir. Sekarang, saya merasa lega karena tahu bahwa Mirumachi-san ada di sampingnya."

Melihat ekspresi lega dari Azusagawa-sensei membuat dadaku terasa sakit.

"…Maaf karena diam saja sebelumnya."

Jangan minta maaf. Aku hanya khawatir tentang keadaanmu, Minoru-kun, dan bukan bermaksud menyalahkanmu. Masih kurang dari sebulan berlalu, jadi wajar jika kamu merasa sulit mengatakannya. Maaf jika aku membuatmu merasa tidak nyaman."

Aku merasa lebih menyesal atas kata-katanya yang mempertimbangkan perasaanku.

"Baiklah, saya sudah mengerti situasinya. Jika ada sesuatu, saya akan menghubungi Anda."

"Ya. Akan sangat membantu jika Anda bisa melakukan itu."

"Minoru-kun juga, perlahan-lahan... mari kita bersama kembalilah ke kehidupan normalmu."

"…………"

Namun, aku tidak bisa mengatakan 'ya' pada kata-kata itu.

Setelah menyelesaikan pertemuan tiga pihak dengan Sensei Azusagawa, kami menuju tempat parkir di mana mobil Shiho-san terparkir.

"…Maaf."

Tiba-tiba, Shiho-san berhenti dan mengucapkan permintaan maaf.

"Kenapa tiba-tiba minta maaf?"

"Minoru-kun, kamu hampir tidak memberi tahu apapun kepada wali kelasmu."

Ah, soal itu.

"Aku pikir Minoru-kun punya alasan sendiri untuk tidak mengatakan apa-apa. Tapi karena aku ikut campur, akhirnya kita harus membicarakannya... Maaf, seharusnya aku meminta pendapat Minoru-kun terlebih dahulu..."

"Tidak perlu minta maaf."

Shiho-san tidak perlu minta maaf.

"Cepat atau lambat, memang kita harus bicara. Meskipun aku selalu berpikir untuk mengatakannya, aku tidak bisa melakukannya; itu masalahku sendiri… Malahan, aku berterima kasih karena Shiho-san sudah mau menciptakan kesempatan itu."

Tetap saja, Shiho-san masih terlihat merasa bersalah dan menundukkan bahunya.

Aku pikir aku harus bicara jujur agar dia tidak merasa bertanggung jawab.

"Sepertinya, aku hanya tidak ingin menerima kematian kakak."

"Kematian Takeru…?"

Aku mengangguk dalam-dalam dan menghadapi perasaanku sendiri.

"Sewaktu kakak baru saja meninggal, banyak orang datang untuk memberi penghormatan."

Rekan kerja di perusahaan, mitra bisnis, teman-teman dari masa SMA, dan orang-orang yang sudah lama dikenal.

Banyak sekali orang yang datang ke altar untuk mendoakan kakak yang meninggal terlalu cepat.

"Tapi, setelah tiga minggu berlalu, jumlah orang yang datang berkurang. Semua orang kembali ke kehidupan sehari-hari mereka… Seperti tidak ada yang terjadi, dalam beberapa hari terakhir tidak ada yang datang lagi."

Hal itu bukan hanya berlaku untuk kenalan kakak, tapi juga teman sekelasku.

Ketika baru kembali ke sekolah, semua orang memberikan kata-kata penyemangat, tapi itu hanya beberapa hari pertama. Seiring berjalannya waktu, mereka kembali ke sikap seperti sebelumnya seakan kehilangan minat.

Buktinya, saat tiba di sekolah dan membuka pintu hari ini, tidak ada lagi teman sekelas yang memperhatikanku.

"Itu sangat wajar. Aku sendiri juga tidak ingin mereka terus-menerus bersedih atas kematian kakak, sebaliknya aku ingin mereka segera bisa mengatur perasaan mereka. Aku juga tidak ingin teman sekelas terus-menerus bersikap seolah-olah aku adalah masalah besar. Karena itu---"

Ya, karena itu---

"Hanya aku sajalah yang tidak ingin mengatur kembali perasaanku."

"Minoru-kun....."

"Berbicara tentang kakak kepada seseorang berarti aku sendiri harus merapikan perasaanku terhadapnya. Jika aku menerima kematian kakak dan menjadikannya masa lalu, tidak akan ada lagi yang akan meratapi kematiannya. Memikirkan hal itu membuatku ragu untuk menceritakan segala sesuatu yang terjadi kepada seseorang."

Karena itulah aku tidak bisa menjawab ketika Azusagawa-sensei berkata, 'Mari kita kembali ke kehidupan semula.'

Bukan hanya dari Azusagawa-sensei, tetapi dorongan penuh niat baik dari siapa pun terasa menyakitkan.

Aku takut keberadaan kakakku akan memudar dalam diriku.

Faktanya, bahkan sekarang saat aku di sini, kesedihan ini semakin menghilang.

"Suatu hari nanti, semua orang pasti akan melupakan kakakku. Bahkan jika tidak melupakan, mereka tidak akan mengingatnya lagi. Jadi, agar aku tetap bisa mengingatnya, aku tidak ingin menghilangkan perasaan ini---"

Saat aku mengungkapkan perasaan, aku menyadari bahwa emosiku bergejolak.

Hatiku dipenuhi kesedihan yang mendalam saat aku mengucapkan selamat tinggal terakhir pada kakakku.

Meskipun menyakitkan, tapi ternyata itu masih lebih baik daripada kehilangan rasa sedih karena kepergiannya.

Itulah yang aku pikirkan.

"Tidak apa---"

Saat aku berpikir seperti itu, tiba-tiba aku merasakan kehangatan yang akrab dari tangan yang digenggam.

Itu juga merupakan kehangatan yang dulu kurasakan saat aku mengucapkan selamat tinggal terakhir kepada kakak.

"Aku juga akan terus mengingat Takeru bersamamu, jadi kamu tidak sendiri, Minoru-kun"

"Shiho-san……"

Kata-kata itu secara mengejutkan membuatku tenang.

"Ayo pulang"

Shiho-san, dengan senyum seperti biasanya, menarik tanganku dan mulai berjalan.

Tidak pernah aku merasa begitu senang memiliki seseorang bersamaku seperti saat ini.

Meski begitu, perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata masih mengintai di lubuk hatiku yang paling dalam dan tak kunjung hilang.

Andai saja ada sesuatu yang bisa menjadi bukti hidup kakakku……

Aku tidak bisa berhenti memikirkan hal itu.


◈ ⟡ ◈


Setelah itu---meskipun bertentangan dengan perasaanku---aku mulai mendapatkan kembali kehidupan sehari-hariku.

Hari-hari yang kuhabiskan bersama Shiho-san secara perlahan menyembuhkan hatiku.

Kesedihan yang dulu begitu tak tertahankan, kini mulai bisa kuatasi, tapi… aku tidak tahu apakah aku harus senang atau sedih atas hal ini.

Diikuti perasaan yang rumit, aku menyambut akhir Mei, pada pagi hari Senin yang cerah.

Kami mengenakan pakaian berkabung dan datang ke pemakaman yang berjarak sekitar lima belas menit dengan mobil dari rumah.

"Kita tiba sedikit lebih awal, bagaimana kalau kita bersih-bersih sebentar sambil menunggu?"

"Ya, benar."

Mengikuti Shiho-san, aku turun dari mobil sambil membawa kotak kayu yang berisi abu jenazah kakakku.

Kami datang ke makam keluarga Nanase, yaitu makam tempat orang tuaku bersemayam.

Ini adalah pemakaman bersama yang sudah ada sejak lama, dan saat aku masih kecil tempat ini hampir tidak terawat.

Namun, beberapa tahun yang lalu, ketika proyek relokasi pemakaman dalam rencana pengembangan ulang kota dimulai, pemakaman-pemakaman di berbagai tempat dipusatkan di sini, dan area ini diperluas serta diperbaiki dengan sangat indah.

Di sekitar area ini terbentang karpet rumput hijau, pohon sakura ditanam di sepanjang jalan, dan saat hari-hari hangat di musim semi, pemandangan indah dari warna pink sakura, hijau rumput, dan langit biru tanpa awan bisa terlihat.

Hari peringatan kematian orang tuaku jatuh pada musim bunga sakura, jadi setiap tahun kami menikmati hanami (melihat bunga sakura) sambil berziarah ke makam. Meski tahun ini kami tidak bisa datang karena kakak dirawat di rumah sakit.

Namun, kami datang bukan untuk berziarah ke makam orang tuaku hari ini.

Kami mengambil cuti dari sekolah dan pekerjaan karena hari ini adalah hari peringatan 49 hari kematian kakak.

Artinya, hari ini adalah hari pemakaman abu jenazah kakakku, hari perpisahan dengan abu jenazah kakak yang selalu ada di dekat kami.

Memikirkannya, perasaanku jadi campur aduk, seolah-olah aku akan mengucapkan selamat tinggal untuk kedua kalinya.

"Kita harus mengambil air, kan?"

"Tangan kita berdua penuh, jadi nanti aku saja yang mengambil airnya."

Saat tiba di depan makam, kondisinya terlihat kotor karena sudah lama tidak dikunjungi.

Aku meletakkan kotak kayu di ujung makam, kemudian pergi ke tempat pengambilan air dan kembali dengan membawa ember yang sudah diisi air.

Bersama dengan Shiho-san, kami membersihkan makam dengan baik, menuangkan air ke dalam wadah bunga, kemudian menaruh bunga yang kami bawa.

Sebelum penguburan abu jenazah kakak, kami menyapa orang tuaku terlebih dahulu dengan menyalakan dupa, menunggu asapnya reda, kemudian meletakkannya di tempat dupa, dan berdiri sejajar di depan makam untuk berdoa.

Beberapa saat berlalu, kepala pendeta yang biasa membantu tiba.

TL/N: 住職 ( jūshoku ) - kepala biksu/pendeta.

Kami mengeluarkan guci abu jenazah dari kotak kayu dan memasukkannya ke dalam makam.

Setelah persiapan selesai, kepala pendeta memberikan sedikit pengantar, kemudian upacara peringatan dimulai.

Selama pendeta membacakan doa, kami mundur satu langkah dan berdoa.

Selama itu, aku dalam hati melaporkannya semua kejadian yang telah terjadi kepada kakakku.


Aku dan Chikuwa baik-baik saja, dan Shiho-san juga baik-baik saja.

Meskipun rasanya baru 49 hari sejak kakak meninggal, aku terkejut betapa cepat waktu berlalu, namun kami perlahan kembali ke kehidupan normal sehingga tidak perlu khawatir.

Meski hati ini masih belum sepenuhnya tenang, aku berusaha untuk terus maju.

Aku juga berbicara tentang bagaimana aku dan Shiho-san bergaul dengan baik.


Meskipun ini hanya laporan sepihak, rasanya seperti aku sedang berbicara dengan kakak setelah sekian lama.

Mungkin karena percakapan dengan kakak semasa hidup juga terasa seperti ini.

Kakak selalu menjadi pendengar yang baik, tidak pernah memotong pembicaraan.

Baik saat melakukan obrolan ringan, berbincang tentang dunia, atau menerima nasihat serius, kakak selalu mendengarkan dengan diam dan mengangguk, seolah berusaha menyelami perasaan lawan bicaranya.

Sikapnya seakan bukan mendengarkan kata-kata, melainkan menatap hati.

Hanya saja, yang berbeda sekarang adalah tidak ada balasan kata-kata ketika aku selesai berbicara.

Namun, meski tahu tidak akan ada jawaban, ada hal-hal yang tidak bisa aku tahan untuk tidak ditanyakan.

Itu adalah pertanyaan yang terus muncul sejak hari pertama Shiho-san pindah.


---Kenapa kakak mempercayakan aku kepada Shiho-san?


Kakak pasti tahu betul.

Ini sama saja dengan mengikat masa depan Shiho-san.

Kakak bukanlah orang yang akan mengikat masa depan orang yang dicintainya setelah meninggal.

Aku selalu berpikir bahwa kakak ingin orang yang dicintainya melupakan dirinya dan bahagia.

Atau mungkin itu hanya pemikiranku saja... meskipun kami saudara, aku adalah orang lain yang mungkin tidak sepenuhnya memahami perasaan kakak.

Ada kemungkinan kakak ingin diingat saat menghadapi kematian.

Meskipun itu tidak seperti kakak, siapa pun yang menghadapi kematian pasti tidak bisa bersikap seperti biasanya.

Faktanya, wajar jika kita berharap agar orang tidak melupakan siapa dirinya.

Dan kalau dipikir-pikir lagi, kakakku sepertinya memang tidak mengkhawatirkan masa depan Shiho-san. Dia menjalani hari-harinya dengan tenang, seolah-olah tidak ada kekhawatiran sama sekali tentang masa depan orang yang dicintainya.

Aku benar-benar tidak mengerti... apa yang dipikirkan kakakku di dalam hatinya?

Tanpa mengetahui jawabannya, upacara peringatan 49 hari itu berakhir tanpa hambatan.

Setelah mengantar kepala pendeta pergi, kami berkemas dan meninggalkan makam.

Satu-satunya hal yang aku tahu adalah aku tidak bisa terus seperti ini.


◈ ⟡ ◈


"Shiho-san, bisa bicara sebentar?"

Sesampainya di rumah, aku menghampiri Shiho-san yang sedang beristirahat bersama Chikuwa di sofa.

Sejak kematian kakak, aku selalu merasa harus segera menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya kulakukan. Namun, aku terus menunda karena tidak bisa memaksakan diri untuk melakukannya.

"Ada apa?"

"Sebenarnya, aku ingin meminta bantuan Shiho-san."

"Jika ada yang bisa kulakukan untuk membantu, katakan saja."

Sebenarnya, ini adalah sesuatu yang tidak bisa kumintai tolong pada orang lain selain Shiho-san.

Menarik napas kecil, aku kemudian mengatakannya.

"Aku ingin membereskan barang-barang peninggalan kakakku."

"Barang-barang peninggalan Takeru...?"

Sejak kematian kakak, kamarnya tetap tidak tersentuh.

Lebih tepatnya, sejak hari dimana dia dirawat di rumah sakit setelah dokter mendiagnosa bahwa waktunya tidak lama lagi.

Aku merasa harus menerima kenyataan tentang kematian kakak, jadi aku selalu menghindari masuk ke kamarnya, apalagi membereskannya. Tapi, aku tidak bisa terus-terusan begini.

Jika ingin membereskannya, aku pikir tidak ada waktu yang lebih baik selain hari ini, hari ke 49 setelah kematiannya.

"Maukah kamu membantuku?"

Shiho-san menundukkan matanya sejenak.

"Ya... Baiklah. Mari kita lakukan bersama."

Dia segera mengangkat wajahnya dan mengangguk dengan senyum lembut.

Kami meninggalkan ruang tamu dan menuju kamar kakak di lantai dua.

Saat pintu dibuka, Chikuwa masuk lebih dulu melalui celah pintu.

Masuk ke dalam kamar ini setelah sekian lama, pemandangan yang ada masih sama seperti yang terakhir kali kuingat.

Tirai tertutup, ruangan sedikit gelap, dan karena jendela tidak pernah dibuka untuk ventilasi, udara terasa berat, seolah-olah waktu berhenti di dalam ruangan ini.

Pada saat aku membuka tirai dan jendela, udara segar mengalir ke dalam ruangan.

Angin yang hangat berhembus, cukup hangat untuk seukuran angin bulan Mei.

"Mari kita mulai."

Aku berbalik sambil mengatakan itu.

Di sana, aku melihat Shiho-san berdiri terpaku di depan pintu kamar.

"Shiho-san...?"

Apa aku salah lihat?

Ekspresi wajah Shiho-san tampak seperti hampir menangis.

Namun, di saat berikutnya, dia sudah menunjukkan senyum biasanya.

"Ya, mari kita mulai."


Begitulah, kami mulai membereskan barang-barang peninggalan kakak sambil mengenang kenangan bersama kakak.

Barang-barang pribadi kakak tidak terlalu banyak, jadi sepertinya ini tidak akan memakan banyak waktu untuk membereskannya.

Kakak memang bukan tipe orang yang suka menyimpan banyak barang, dan kurasa setelah dokter memberitahu tentang sisa hidupnya, dia mulai membereskan barang-barangnya sedikit demi sedikit selagi dia masih dalam keadaan sehat.

Jika kuingat-ingat kembali, beberapa kali aku memang melihat kakak sedang merapikan kamarnya.

Saat itu, kakak hanya tertawa dan berkata, 'Sekarang lagi tren jadi minimalis, jadi aku juga mau ikut tren.' Tetapi sekarang kalau dipikir-pikir, kakak bukanlah tipe orang yang suka mengikuti tren.

Meskipun kakak mempunyai nilai-nilai yang kuat, dia juga seorang yang optimis, ramah dan santai.

Karena sifatnya itu, dia sering disalahpahami sebagai orang yang tidak serius. Suatu waktu, dia pernah berkata, 'Aku sedih karena Yuuka menganggapku seperti pria yang merepotkan...' Kakak benar-benar pernah meminta nasihat dengan sangat serius tentang bagaimana dia tidak disukai oleh seorang rekan kerja perempuannya. 

Namun begitu, pada kenyataannya, kakak adalah orang yang sangat bijaksana dan lebih menghargai orang lain daripada dirinya sendiri.

Saat kami membereskan barang-barang ini, kenangan tentang kakak terus bermunculan.

Setiap kali kami merapikan satu barang peninggalan, rasanya hati kami juga sedikit demi sedikit menjadi lebih tenang.


"Kurasa sudah cukup."

Ketika matahari mulai terbenam, kami sudah hampir selesai membereskan semuanya dan beristirahat sejenak.

Barang-barang yang ingin disimpan dimasukkan ke dalam kotak kardus, dan barang-barang yang akan dibuang dipisahkan ke dalam kantong plastik atau diikat sesuai dengan aturan pembuangan sampah di daerah kami. Setelah itu, kami hanya perlu memasukkannya ke dalam tempat sampah di hari yang ditentukan.

"Ruangannya jadi sangat bersih..."

"Ya, benar..."

Kami melihat sekeliling kamar yang diterangi sinar matahari senja.

Bagian dalam ruangan sudah bersih dan rapi, tanpa menyisakan jejak dari sebelumnya. 

Perasaanku campur aduk antara sudah bisa menerima dan semakin merasa kesepian.

Namun, aku meyakinkan diri bahwa ini adalah sesuatu yang diperlukan agar kami bisa melangkah maju. 

Aki tak bisa terus-menerus mengatakan bahwa aku tidak ingin menyusun perasaanku.

"Satu-satunya yang tersisa cuman meja yang sering digunakan kakak.”

Sambil mengatakan ini, aku menyentuh meja di sudut ruangan.

Meskipun disebut meja, ini hanyalah meja belajar yang digunakan kakakku sejak dia masih SD. 

Mungkin meja belajar ini terlalu kecil untuk digunakan orang dewasa, tapi kakak sangat menyukai dan terus menggunakannya. 

Berkali-kali aku menyarankan untuk menggantinya, tetapi dia selalu berkata, 'Meja ini lebih fungsional dan mudah digunakan daripada meja kantor yang jelek. Selain itu, karena terbuat dari kayu, ia memiliki nuansa yang bagus, bukan?' Dia bahkan bilang ingin menggunakannya di kantor.

Dan yang paling penting, meja ini adalah salah satu dari sedikit hadiah dari orang tua kami yang telah meninggal.

"Kita harus menyimpan meja ini."

"Ya, aku pikir juga begitu."

Kami memeriksa isi laci untuk merapikannya.

"Hm...?"

"Ada apa?"

"Ya, ini..."

Hanya laci paling atas yang terkunci dan tidak bisa dibuka.

"Ada lubang kunci, tapi entah ada di mana kuncinya."

"Benar---"

Saat aku hendak mengatakan itu, aku tiba-tiba teringat bahwa ada kunci kecil yang terpasang pada kunci mobil kakak. 

Kunci mobil dan kunci rumah selalu kami letakkan di rak kunci yang terpasang di dinding depan. 

Mencoba memeriksanya; aku pergi menuruni tangga menuju pintu depan dan mengambil kunci mobil kakak.

Seperti yang aku ingat, ada kunci kecil yang tidak biasa terpasang di sana. 

Aku kembali ke kamar dengan kunci itu dan menunjukkannya kepada Shiho-san.

"Kunci laci ini?"

"Kurasa begitu."

Saat dimasukkan, kunci itu masuk tanpa hambatan. 

Memutar kuncinya, aku merasakan respons dan yakin bahwa ini adalah kunci yang tepat. 

Namun, tanganku berhenti memutar kunci itu.

".........."

Tiba-tiba terlintas di pikiranku-----apa aku benar-benar boleh membuka laci ini?

Jika dikunci, itu hanya berarti ada sesuatu yang ingin disembunyikan di dalamnya.

Itu tidak hanya berlaku untuk laci meja, tetapi juga loker di sekolah atau kantor, pengaturan kunci di ponsel, dan sebagainya. Orang cenderung mengunci hal-hal yang tidak ingin dilihat orang lain atau hal-hal yang tidak ingin diketahui orang lain.

Dengan kata lain, ini adalah bukti bahwa di dalamnya terdapat rahasia kakakku.

"Minoru-kun, kenapa?"

Shiho-san bertanya dengan lembut padaku.

Dia mungkin khawatir melihatku terdiam dengan kunci yang sudah dimasukkan.

"Kupikir lebih baik tidak membukanya.”

"Kenapa?"

"Karena rumah ini dulunya hanya dihuni oleh aku dan kakakku, jika ada sesuatu yang dikunci, itu hanya berarti ada sesuatu yang tidak ingin dilihat. Kakak selalu berbicara apa adanya tanpa menyembunyikan apapun, tapi justru karena itu... aku merasa di dalamnya tersembunyi rahasia kakak yang tidak ingin diketahui olehku."

Jika benar begitu, sebaiknya aku tidak membukanya.

Saat aku berpikir demikian dan hendak mencabut kuncinya.

Shiho-san meletakkan tangannya di atas tanganku.

"Kurasa bukan begitu."

"Eh...?"

Aku mengeluarkan suara kebingungan mendengar kata-katanya yang tak terduga.

"Alasan seseorang mengunci sesuatu tidak selalu berarti bahwa apa yang dikunci itu tidak ingin dilihat."

"Tidak selalu karena tidak ingin dilihat...?"

"Orang juga mengunci barang-barang yang berharga, bukan?"

Mendengar kata-katanya, kekuatan di tanganku yang hendak mencabut kunci menghilang.

"Jika memang ada sesuatu yang benar-benar tidak ingin dilihat, dia pasti sudah membuangnya sebelum meninggal. Takeru tidak pernah lupa merapikan barang-barang berharga, apalagi jika ada sesuatu yang sangat tidak ingin dilihat sampai harus dikunci, maka tidak masuk akal jika dia malah meninggalkan kuncinya seperti ini."

Aku merasa kata-kata Shiho-san memang benar.

"Bukan karena tidak ingin dilihat... mungkin dia hanya merasa sedikit malu jika dilihat, jadi dia menyimpannya di tempat yang bisa dikunci. Tapi, jika Minoru-kun ingin melihatnya, tidak masalah. Aku rasa meninggalkan kunci ini adalah keinginan dari Takeru sendiri."


---Boleh saja melihatnya, tapi jangan beri tahu orang lain.


Bayangan wajah kakak yang sedikit malu-malu muncul di kepalaku.

Sebagai tunangan kakakku, Shiho-san benar-benar lebih memahami kakak daripada aku.

"Ya... Kurasa Shiho-san benar."."

Aku memasukkan kembali kunci yang hampir tercabut dengan penuh keyakinan.

Dengan tegas memutarnya, kunci itu berputar diikuti suara kecil yang menandakan kunci telah terbuka.

Perlahan membuka laci, terdapat sebuah buku catatan dengan sampul kulit di dalamnya.

Sampul kulit yang awalnya berwarna coklat muda, seiring waktu telah berubah menjadi warna karamel yang mengilap karena sering digunakan. Meski ada beberapa bagian yang rusak di sana-sini, kerusakan itu justru menambah ciri khas dari bentuknya. 

Mudah dibayangkan bahwa buku catatan itu telah digunakan dengan sangat berhati-hati dalam waktu yang lama.

"Buku catatan...?"

"Sepertinya begitu."

Aku mengambil buku catatan itu dari laci. Entah mengapa, rasanya lebih berat dari yang terlihat.

"Karena di sini agak kurang nyaman, mari kita pergi ke ruang tamu."

"Boleh aku melihatnya juga?"

"Tentu saja. Aku yakin kakak juga bermaksud begitu."

Jika kakak mengetahui bahwa aku dan Shiho-san tinggal bersama, dia pasti sudah memperkirakan situasi ini.

Kami membawa chikuwa kembali ke ruang tamu, menyiapkan teh, lalu duduk di sofa. 

Meletakkan buku catatan di atas meja, kami mulai membuka halamannya.


Tanggal yang tertulis di halaman pertama adalah sekitar enam tahun yang lalu. 

Itu dimulai dari hari ketika kakak mulai bekerja dan kami mulai tinggal bersama. 

Meski tidak setiap hari, hari-hari yang kami lalui bersama ditulis dengan gaya narasi kakakku. 

Sambil terkejut bahwa kakak memiliki kebiasaan menulis buku harian, kami membacanya pelan-pelan, halaman demi halaman, seolah-olah mengikuti hari-hari yang ditulisnya.

Kenangan hari-hari biasa yang kami lalui bersama, ulang tahun masing-masing dan hari natal. Bahkan, upacara masuk dan kelulusan SMP-ku, semuanya ditulis seperti orang tua yang mencatat tumbuh kembang anaknya.

Dari pertengahan, Shiho-san juga muncul dalam buku harian, termasuk dengan kenangan bahagia kami bertiga yang tercatat di sana.

Rasanya tidak bisa tidak merasakan betapa kami sangat dicintai.


" ".........." "

Berapa lama waktu telah berlalu?

Kami memandangi buku catatan itu sebentar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Bagian buku harian berakhir ketika sekitar sepertiga halaman tersisa, dan dipisahkan lagi oleh indeks berwarna-warni. 

Jelas terlihat bahwa bagian terpisah ini digunakan dengan cara yang berbeda. 

Saat aku membalik halaman, mengira bahwa bagian ini mungkin halaman yang digunakan untuk pekerjaan, tanganku terhenti.

"Ini..."



Pada sampul indeks tertulis ‘Rencana Bisnis - Koneko Biyori’.

Aku tidak tahu apa maksud dari kata ‘Koneko Biyori’, tapi melihat ada kata ‘Rencana Bisnis' tertulis di sana, aku berpikir apakah kakakku sedang mempertimbangkan untuk berhenti dari pekerjaannya di perusahaan surat kabar lokal dan memulai bisnis sendiri?

Selama berbagai pertanyaan melintas di pikiran, aku membuka halaman lagi sebelum sempat berpikir lebih jauh.

Segera, jawabannya langsung terpampang di depan mataku.

"…Mengoperasikan kedai makanan untuk anak-anak?"

Di sana tertulis rencana untuk membuka kedai makanan untuk anak-anak.

Setelah membaca lebih lanjut, ternyata 'Koneko Biyori' adalah nama untuk kedai makanan anak-anak tersebut.

Kedai makanan anak-anak---mungkin ini bukan istilah yang umum.

Singkatnya, ini adalah kafetaria atau kantin untuk anak-anak. Lebih spesifiknya, ini adalah tempat yang menyediakan makanan gratis bagi anak-anak dari keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi atau yang kehidupan sehari-harinya sulit karena berbagai alasan.

Aku memang tidak tahu terlalu banyak, tapi setidaknya aku tahu sedikit tentang hal ini.

Pasalnya, hal ini sering diberitakan dalam beberapa tahun terakhir.

Aku tidak tahu bahwa kakak sedang merencanakan untuk membuka kantin anak-anak.

"Apa kamu tahu tentang ini sebelumnya, Shiho-san?"

Aku belum pernah mengetahuinya, tapi Shiho-san mungkin pernah mendengar sesuatu tentang ini.

Bagi kakakku yang akan segera menikah dengan Shiho-san, berhenti dari pekerjaan dan memulai bisnis adalah hal yang berpengaruh pada masa depan mereka berdua. Aku tidak bisa membayangkan dia merahasiakan hal sepenting itu dari Shiho-san, maka dari itu aku memutuskan untuk bertanya padanya.

"Dia pernah bilang bahwa ada mimpi yang ingin diwujudkannya ketika Minoru-kun sudah dewasa nanti."

Shiho-san mengangguk dan mengatakan itu.

"Pada hari kerja, dia bermimpi untuk mengelola sebuah kedai kopi, sementara di akhir pekan, dia ingin membuka sebuah kedai makanan di mana anak-anak dapat makan sampai kenyang. Selain itu, kedai tersebut akan menjadi tempat perlindungan bagi anak-anak yang menghadapi masalah keluarga yang rumit."

Mendengar cerita Shiho-san, aku merasa bahwa itu adalah mimpi yang memang sangat khas dari kakakku.

Dan di saat yang sama, kata-kata yang Shiho-san ucapkan dengan santai menusuk hatiku.


---Ketika Minoru-kun sudah dewasa.


Namun, sekarang aku penasaran dengan kelanjutan catatan ini, jadi aku mengabaikan rasa sakit di dada sambil terus membaca.

Sampai pada akhirnya tiba di halaman terakhir, aku membuka lembaran itu, dan menyadari adanya semacam saku di samping sampul buku catatan yang membengkak dengan aneh.

“Apa ini…”

Ketika aku menariknya keluar, ternyata yang ada di dalamnya adalah buku tabungan bank.

Aku melepas sampul, membuka halaman, lalu melihat entri terakhir yang tidak bisa dipercayai mataku.

Saldo yang tercatat..... lebih dari 4 juta yen---angka yang sulit dipercaya.

Begitu lulus SMA, dia langsung bekerja, menyewa apartemen, dan mulai hidup berdua, menyisihkan biaya hidup sehari-hari, dan dalam enam tahun berhasil menabung sebanyak ini. Fakta ini benar-benar mengejutkanku.

Sekarang setelah aku mengetahui mimpinya, aku menyadari bahwa kakakku sangat hemat bukan hanya karena dia adalah orang yang menghargai barang, tetapi juga karena dia berhemat untuk mewujudkan mimpi itu suatu hari nanti.

Jumlah uang ini adalah bukti betapa kuatnya tekad beliau.

Rasa sakit di dadaku hanya semakin bertambah ketika aku memikirkannya, tapi...

Bukan hanya rasa sakit yang memenuhi dadaku.


◈ ⟡ ◈


Pada malam itu, aku sedang berada di kamar dan membaca buku catatan milik kakak.

Aku membaca ulang dari halaman pertama, terutama bagian tentang 'Koneko Biyori', sebuah kedai makan sekaligus kantin anak-anak.

Di sana tertulis dengan rinci impian kakak dan rencana bisnis untuk mewujudkannya.

Kakakku ingin mendirikan 'Koneko Biyori' sebagai tempat yang menyediakan makanan gratis bagi anak-anak yang mengalami kesulitan hidup, serta sebagai tempat yang aman bagi anak-anak yang memiliki masalah di lingkungan keluarganya.

Bisa dibilang, ini akan menjadi rumah kedua bagi anak-anak tersebut.

Seperti yang dikatakan, tempat ini seperti rumah yang lain.

Namun, untuk mengoperasikan kantin anak-anak, diperlukan dana yang cukup besar.

Karena tujuan dari kantin anak-anak adalah memberikan dukungan, maka tidak ada keuntungan yang didapat, dan penggalangan dana untuk operasional menjadi tantangan besar.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, kakak berencana mengelola kedai kopi pada hari biasa dan menggunakan keuntungan yang diperoleh untuk mengoperasikan kantin anak-anak pada akhir pekan.

Selain itu, terdapat juga rencana untuk mengumpulkan organisasi yang setuju, penyedia bahan makanan, dan kolaborator.

Denah toko, menu yang diusulkan, peralatan yang diperlukan, serta biaya konstruksi toko juga tertulis di sana.

Ngomong-ngomong, 'Koneko Biyori' di sini bukan berarti anak kucing, melainkan mengacu pada anak-anak dan kucing. Terdapat keinginan tersirat agar anak-anak yang tidak memiliki tempat tinggal dan kucing liar dapat menghabiskan waktu dengan tenang di sana.


TL/N: 

子猫日和 - Koneko Biyori.

Koneko Biyori disini bisa diterjemahkan sebagai, 'Hari yang Indah untuk Anak Kucing'. Frasa ini menggambarkan hari atau suasana yang menyenangkan untuk bermain dan bersantai bagi anak-anak kucing.


Juga, entah serius atau bercanda, tertulis bahwa manajer dari 'Koneko Biyori' bukanlah kakakku, melainkan Chikuwa.

Bagaimanapun juga, itu memang terasa sangat sangat khas dari kakakku.

"Jadi kakak ingin mengoperasikan kantin anak-anak, ya..."

Aku tak sengaja berucap sambil menatap buku catatan itu.

Meskipun terkejut, ada bagian dari diriku yang merasa puas. 

Karena aku punya gambaran kenapa kakak bermimpi membuka kantin anak-anak.

Aku yakin, kakak ingin mengulurkan tangan kepada anak-anak seperti kami. 

Ketika aku menutup buku catatan dengan lembut setelah membacanya, kenangan masa kecil yang tak terduga muncul kembali. 

Meskipun hanya dengan mengingatnya saja masih membuat dadaku sakit, ada kenangan yang tidak hanya menyedihkan, tetapi juga menghangatkan hati.


Itu terjadi setelah kami kehilangan kedua orang tua dalam kecelakaan. 

Setelah melewati banyak lika-liku, kami akhirnya diambil oleh paman dari pihak ibu, tetapi sebelumnya, kami sempat tinggal untuk sementara waktu dengan bibi dari pihak ayah. 

Alasan mengapa bibi yang saat itu masih lajang mengambil kami tidak jelas. 

Namun, aku menduga tujuannya adalah uang yang ditinggalkan oleh orang tua kami. 

Aku berpikir begitu karena meskipun masih anak-anak, aku bisa merasakan bahwa bibi tidak menyayangi kami. 

Setiap hari dia pulang larut malam, dan pada hari libur, dia meninggalkan kami untuk pergi bersama seorang pria.

Setelah beberapa waktu sejak kami diambil, pada suatu hari ketika sekolah kakakku sedang libur panjang, bibi meninggalkan kami di rumah dan tidak pulang selama beberapa hari. 

Selama periode itu, persediaan makanan di kulkas habis, dan kami tidak punya uang untuk membeli makanan. 

Dua hari tanpa makan, kakakku mencampur sedikit tepung yang tersisa di dapur dengan air untuk membuat adonan pangsit dan merebusnya untuk memberiku makan. 

Meskipun aku berkata ingin membaginya setengah-setengah, kakakku berkata, "Aku baik-baik saja, makanlah semuanya," dan tersenyum. Senyum kakakku itu tidak pernah kulupakan meskipun sudah sekitar tiga belas tahun berlalu, dan setiap kali aku mengingatnya, hatiku terasa sesak. 

Sungguh, aku merasa kenangan itu terlalu kejam. Namun, untungnya, kenangan itu tidak hanya menjadi kenangan yang menyedihkan.

Setelah itu, bibi tidak pernah pulang, dan kami yang sudah mencapai batas kemampuan, memutuskan untuk mencari bantuan dan keluar dari rumah. 

Meskipun tidak ada orang dewasa di sekitar yang bisa kami andalkan, kami berpikir jika pergi ke sekolah dasar tempat kakakku bersekolah, kami bisa mendapatkan bantuan dari guru di sana. Namun, kami bahkan tidak punya tenaga untuk berjalan.

Meski begitu, kakak terus menggendongku dan berjalan, hingga akhirnya dia mencapai batasnya dan kami pingsan di taman. 

Sekarang, jika aku memikirkannya lagi, seharusnya kami berlari meminta bantuan ke rumah tetangga alih-alih ke sekolah dasar.

Namun, pada saat itu, kami yang masih kecil tentu saja tidak mungkin berpikir seperti itu.

Saat kami duduk di bangku dengan putus asa, seorang wanita tiba-tiba menyapa kami dengan lembut.

"---Ada apa dengan kalian?"

Aku sudah tidak ingat wajahnya dan juga tidak ingat berapa usianya.

Namun, yang masih samar-samar kuingat adalah pikiranku yang menganggapnya sebagai kakak perempuan yang cantik dalam benak anak kecilku.

Wanita itu melihat wajah kami dengan penuh kekhawatiran. Lalu, kakakku berkata, "Kami lapar."

Tanpa bertanya apa pun, wanita itu menggendongku di punggungnya, menggandeng tangan kakakku, dan meninggalkan taman bersama kami.

Kami dibawa ke sebuah rumah kecil yang tampak tua.

Masuk kedalam, tempat itu terlihat seperti restoran kecil yang dikelola oleh pribadi, dengan kursi di bagian konter dan beberapa meja, di mana ada anak-anak seusia kakakku yang sedang makan.

Wanita itu menyuruh kami duduk di meja dan segera membawa nasi kari untuk kami.

Ketika kakak berkata bahwa kami tidak punya uang, wanita itu berkata, "Tidak perlu membayar, tenang saja," dan kami pun makan nasi kari tanpa ragu-ragu, ia bahkan memberi tambahan.

Nasi kari yang manis dan lezat, dibuat agar bisa dimakan oleh anak-anak kecil.

Belakangan, kami diberitahu bahwa rahasianya adalah cokelat yang dimasukkan ke dalamnya, dan sejak itu, makanan favorit kakakku adalah nasi kari dengan cokelat, yang tidak berubah hingga ia dewasa.

Setelahnya, hingga paman dari pihak ibu mengetahui situasi kami dan menjemput kami, kami sering mendapat bantuan dari wanita itu.


---Apa yang dijalankan wanita itu adalah apa yang sekarang kita sebut sebagai kantin anak-anak.

Mungkin selama waktu itu, sudah ada orang-orang dewasa yang memberikan makanan gratis kepada anak-anak seperti yang dilakukan wanita itu, tetapi kegiatan dan istilahnya mungkin belum sepopuler sekarang.

Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu wanita itu lagi, tetapi aku sangat berterima kasih padanya.

"Betapa nostalgianya..."

Kejadian itu tanpa diragukan lagi mengubah hidup kami ke arah yang lebih baik.

Aku merasa itu memberikan pengaruh besar pada cara hidup kakakku lebih dari pada diriku.

Kakak yang selalu lebih peduli pada orang lain daripada dirinya sendiri, yang selalu membantu orang dalam kesulitan tanpa syarat, dan yang setiap kali melihat kucing liar selalu membawanya ke organisasi penyelamat, semua itu mungkin karena peristiwa itu.

Akar dari kepribadiannya berasal dari sentuhan kebaikan wanita itu.

"Tidak pernah terpikirkan bahwa mimpinya adalah mendirikan kantin anak-anak..."

Mungkin kakak sangat mengagumi wanita itu.

Bisa jadi, bagi kakakku, dia adalah cinta pertamanya.

Pada waktu itu, kakakku berada di kelas atas sekolah dasar, jadi tidak aneh jika dia merasakan cinta pertamanya pada usia tersebut. Jatuh cinta pada seseorang yang telah menyelamatkan hidup kita adalah satu hal yang wajar.

Begitulah yang kurasakan, karena kakak sendiri memang sangat dekat dengan wanita itu.

"Mimpi kakak..."

Aku bergumam sambil menyentuh sampul buku catatan.

"...Ini salahku."

Mengejar impian, merencanakan untuk mewujudkannya, mengumpulkan uang... Kakak menunda impiannya demi membesarkanku, dan pada akhirnya, dia meninggal dunia sebelum mimpi itu bisa terwujud.

Dengan kata lain, karena keberadaanku, kakak tidak bisa mengejar mimpinya.

Kata-kata Shiho-san, 'Dia pernah bilang bahwa ada mimpi yang ingin diwujudkannya ketika Minoru-kun sudah dewasa nanti,' terus menusuk hatiku seperti duri.

Tentu saja, kakak tidak akan pernah berpikir bahwa ini adalah salahku.

Aku juga tahu bahwa Shiho-san tidak bermaksud menyalahkanku.

Namun, jika saja aku lebih cepat dewasa, mereka pasti memiliki masa depan yang berbeda.

Aku belum pernah merasa sangat ingin mengutuk diri sendiri karena menjadi anak-anak seperti yang kurasakan saat ini.

Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri---apa yang harus aku lakukan?

"Tidak, bukan begitu..."

Apa yang harus dilakukan sudah diputuskan sejak aku mengetahui tentang impian ini.

Ketika jarum jam melewati pukul 3 dini hari, aku membuat keputusan.


◈ ⟡ ◈

"Shiho-san, boleh minta waktu sebentar?"

Malam berikutnya, selepas makan malam.

Aku memanggil Shiho-san yang sedang beristirahat di sofa setelah makan.

"Tentu, tidak masalah," kata Shiho-san sambil bergeser ke ujung sofa; mengisyaratkan agar aku duduk di sebelahnya. 

Setelah mengucapkan terima kasih, aku duduk dan langsung menyampaikan kesimpulanku.

"Aku sudah memikirkannya sepanjang malam---aku memutuskan untuk mewujudkan impian kakakku."

Dengan satu kata itu, dia memahami semuanya. 

Shiho-san menatap langsung ke mataku saat aku mengatakan ini padanya.

"Aku membaca ulang buku itu berkali-kali, berpikir, dan akhirnya memutuskan untuk menghadapi perasaan terhadap impian kakak. Impian kakak yang belum terwujud, yaitu membuka kafe yang juga berfungsi sebagai kantin anak-anak, 'Koneko Biyori', akan aku wujudkan sebagai gantinya."

Shiho-san, yang selalu tersenyum, menunjukkan tatapan serius. 

Tatapannya terlalu lurus sehingga aku tidak bisa mengalihkan pandangan atau bahkan berkedip.

"Aku selalu memikirkannya... apakah ada cara untuk meninggalkan bukti bahwa kakakku pernah hidup. Dan dengan ini, aku tidak akan pernah melupakan kakak, dan yang terpenting, itu akan menjadi balasan atas semua usaha kerasnya untukku."

Aku tidak tahu bagaimana reaksi Shiho-san saat mendengar keputusanku, jadi aku berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan kesungguhan dalam kata-kataku agar dia tahu aku benar-benar serius. 

Bahkan jika dia tidak mengerti atau menghentikanku, aku akan mewujudkan impian itu.

Tak peduli apa yang dikatakannya, keputusanku tidak akan goyah.

"…Baiklah," Shiho-san berbisik sambil tersenyum lembut. "Aku juga akan membantu. Mari kita bersama-sama mewujudkan impian Takeru."

...Seringkali dikatakan bahwa semakin buruk firasat yang kamu miliki, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menjadi kenyataan.

Jujur, aku merasa mendapatkan jawaban yang paling tidak kuinginkan. 

Aku tahu Shiho-san akan mengatakan itu jika aku memberitahunya bahwa aku akan mewujudkan impian kakak.

Tapi jika itu terjadi... Shiho-san akan semakin sulit melupakan kakak, jadi dengan harapan agar dia tidak menawarkan bantuan, aku berdoa kepada Tuhan saat mengatakannya... tetapi sepertinya itu tidak berjalan sesuai harapan.

"Aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu, Minoru-kun. Jadi, aku ingin mewujudkan impian itu bersama-sama," Shiho-san mengulurkan tangan kanannya kepadaku.

Namun, aku tidak bisa membalas jabat tangan itu. 

Aku harus memberitahu Shiho-san bahwa bantuannya tidak diperlukan, demi dirinya sendiri. 

Tetapi... aku tidak bisa mengatakannya karena aku tahu Shiho-san memiliki perasaan yang sama denganku. 

Sama seperti aku yang berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan keseriusanku dengan kata-kata, tatapan dan kata-kata Shiho-san juga mengandung kekuatan dan tekad yang tidak bisa kusangkal.

Aku... tak punya kata-kata yang cukup kuat untuk menolak tekad Shiho-san.

"…Terima kasih," aku ragu-ragu, tapi akhirnya aku membalas jabat tangan itu dengan lembut.

Dengan begitu, kami akhirnya memutuskan untuk mewujudkan impian kakak bersama.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter


Join server Discord disini: https://discord.com/invite/HMwErmhjMV

0

Post a Comment

close