NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Hitotsu Yane no Shita, Boukei no Konyakusha to Koi wo Shita V1 Chapter 4

 Penerjemah: Rion

Proffreader: Rion


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Chapter 4 - Tempat Dan Menu Yang Berkesan.


Setelah membulatkan tekad untuk mewujudkan impian kakak, aku memutuskan untuk memulai dengan belajar terlebih dahulu.

Sebab, aku tidak memiliki pengetahuan tentang kedai kopi maupun kantin anak-anak sama sekali. 

Sebegitu tidak punya pengetahuannya, bisa dibilang aku benar-benar awam. 

Meskipun ada banyak hal yang tertulis dalam buku catatan kakak---lebih tepatnya dalam rencana bisnis---aku tidak dapat memahami atau mengerti isinya karena terlalu awam.

Selain itu, isi dalam buku catatan tersebut lebih mirip buku ide daripada rencana bisnis. 

Meskipun berisi banyak hal seperti gambaran toko, konsep menu, denah toko, dan hal-hal terkait prosedur; tidak ada hal konkret yang tertulis di sana. 

Kakak mungkin merasa tidak perlu menulisnya karena itu hanya catatan untuk dirinya sendiri. 

Buktinya, tulisan yang ada di buku itu sangat berantakan, hampir seperti coretan. Kakak semasa hidup pernah berkata, 'Tulisanku memang jelek, tapi aku berusaha menulis sedemikian rupa supaya orang lain masih bisa membacanya, meskipun tetap saja jelek.'

Sungguh sikap yang terpuji, meskipun ketika aku dan Shiho-san melihat deretan tulisan yang bahkan tidak bisa kami pecahkan selama 30 menit pada malam hari, kami merasa seperti menjadi arkeolog yang mencoba menguraikan tulisan yang belum pernah dilihat sebelumnya. 

Mungkin tidak ada rencana bagi tulisan itu untuk dibaca orang lain, tapi aku berharap kakak menulisnya dengan sedikit lebih rapi...

Intinya adalah, karena ada rencana bisnis yang akurat di dalam kepala kakak, catatan tersebut hanya berisi ide-ide dan bukan tulisan untuk dibaca orang lain. 

Jadi, aku memutuskan untuk belajar sedikit demi sedikit setiap malam...

Sampai pada akhirnya, tiba-tiba Shiho-san menghentikanku.


"Aku akan ikut mewujudkan impian Takeru, tetapi Minoru-kun sendiri saat ini masih SMA. Sebagai wali, aku tidak bisa membiarkan studi-mu terabaikan. Maka dari itu, biarkan aku yang akan mempelajari tentang kantin anak-anak, sedangkan Minoru-kun bisa belajar tentang bagian kedai kopi-nya, oke?"

"Aku mengerti. Memang lebih efisien jika kita berbagi tugas."

"Mari kita satukan apa yang telah kita pelajari dan bagikan satu sama lain nantinya."


Begitulah cara kami memutuskan untuk membagi peran, meskipun secara paksa.

Tapi jujur saja, usulan Shiho-san memang sangat masuk akal. 

Terlepas dari pelajaran atau pekerjaan, dengan cara ini kami dapat meningkatkan pemahaman dengan cara berdiskusi, menjelaskan, serta menyampaikan informasi kepada satu sama lain.

Karena hampir mustahil untuk menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak dipahami, aku pikir ini menjadi ide yang bagus; baik untuk mengajarkan kepada pihak lain maupun untuk mengonfirmasi pemahaman kita sendiri.

Namun begitu, aku memiliki satu kekhawatiran... Kurasa akan sulit bagi Shiho-san untuk belajar tiap malam ketika dia sendiri pulang ke rumah dalam keadaan lelah setelah bekerja setiap harinya.


"Belajar seperti ini bisa mengingatkanku pada masa-masa sekolah dulu♪"


Yang mengejutkan, dia tampak sangat menikmatinya.

Melihat dia membeli buku catatan serta pena warna-warni di toko alat tulis di pusat perbelanjaan sepulang kerja, dan duduk di meja dengan punggung membungkuk seperti siswa SMA yang sedang menghadapi ujian, membuatku tersenyum. 

Ketika aku mengatakan hal itu kepadanya, dia bertanya dengan mata penuh harap, "Kalau aku pakai seragam sekolah, kira-kira masih bisa kelihatan seperti anak SMA, tidak ya?!" ...Aku hanya diam tanpa berkomentar, yang membuat dia terlihat sangat tidak puas.

Seraya mengeluarkan seragam SMA-nya dari lemari dan dengan pipi yang menggelembung, dia berkata, "Aku akan buktikan kalau aku masih bisa terlihat seperti anak SMA! Jadi ayo kita pergi keluar memakai seragam sekolah ini suatu hari nanti!" 

Alasan aku diam bukan karena kupikir dia tidak akan terlihat seperti anak SMA. Sebaliknya, aku terdiam karena tidak menyangka bahwa orang dewasa masih menyimpan seragam SMA mereka.

Dan lalu, beberapa malam kemudian, setelah Shiho-san selesai mandi.

"Sepertinya siapa pun bisa menjalankan kantin anak-anak asal mereka mau."

Saat aku mengeringkan rambut Shiho-san dengan pengering rambut, dia berbicara dengan suara yang cukup keras untuk mengalahkan suara mesin pengering rambut, sambil menghadap meja belajarnya.

"Maksudnya bagaimana?"

"Ternyata, untuk membuka kantin anak-anak, tidak diperlukan izin dari pemerintah atau kualifikasi khusus."

"Wow... itu sedikit mengejutkan."

Sebelum menjawab, aku mengecilkan kekuatan pengering rambut satu tingkat agar suaranya tidak terlalu bising.

Ngomong-ngomong, alasan aku mengeringkan rambut Shiho-san adalah karena dia tidak suka mengeringkan rambutnya sendiri. Lebih tepatnya, dia tidak suka mandi. 

Dikarenakan wanita harus menghapus make-up sebelum mandi, dan setelah mandi mereka harus mengeringkan rambut yang panjang, banyak dari mereka yang merasa malas untuk mandi.

Beberapa hari setelah mulai tinggal bersama, aku menyadari bahwa dia selalu enggan untuk mandi, dan ketika aku bertanya, itulah alasannya. 

Namun, aku kesulitan jika dia tidak mau mandi, karena aku perlu membersihkan kamar mandi setiap kali setelah digunakan. Sampai pada akhirnya, dia berkata, 'Kalau Minoru-kun mau mengeringkan rambutku, aku akan mandi,' dan begitulah, dengan terpaksa aku mulai mengeringkan rambutnya setiap hari sampai sekarang.

Tentu saja tidak masalah jika aku harus mengeringkan rambutnya... 

Yang jadi masalah adalah aroma harum dari tubuhnya yang membuatku berdebar-debar.

"Ada banyak kantin anak-anak di seluruh negeri, misalnya seperti yang diadakan oleh perkumpulan ibu rumah tangga atau yang dilaksanakan oleh organisasi nirlaba sebagai bagian dari kegiatan kontribusi sosial. Bentuknya bervariasi tetapi pada dasarnya adalah bebas."

"Aku merasa lebih lega karena ternyata tidak sesulit yang aku kira."

"Hanya saja, karena ini tentang makanan, tampaknya kita perlu memiliki kualifikasi terkait dan melapor ke dinas kesehatan."

"Aku mengerti... Jadi itulah peran kedai kopi disini."

"Apa maksudmu?"

Shiho-san memiringkan kepalanya dengan bingung.

"Aku pikir alasan kakak ingin menjalankan kedai kopi bersamaan dengan kantin anak-anak bukan hanya untuk mengamankan lokasi dan penggalangan dana, tetapi juga untuk menyelesaikan masalah kualifikasi dan laporan tersebut. Jika kita menjalankan kedai kopi, secara otomatis kita akan memenuhi persyaratan untuk menyediakan makanan untuk kantin anak-anak."

"Benar juga. Selain itu, menurutku itu juga karena Takeru menyukai kopi."

Ya, seperti yang dikatakan Shiho-san, kakakku sangat mencintai kopi.

Dia tidak pernah melewatkan sehari tanpa minum kopi, hobinya adalah mengunjungi kedai kopi dengan suasana klasik.

Meskipun rewel soal rasa, faktanya dia tidak pandai menyeduh kopi. Namun, karena terlalu suka, dia sampai rela menyewa mesin espresso agar bisa menikmati kopi berkualitas di rumah setiap hari.

...Aku ragu apakah kakak benar-benar bisa menjalankan kedai kopi.

"Rangkuman kualifikasi dan laporan yang diperlukan sudah kumpulkan, jadi aku akan membagikannya nanti."

"Terima kasih. Lalu, tentang topik berikutnya---"

Shiho-san kembali menatap catatannya dan melanjutkan.

"Untuk menjalankan kantin anak-anak, tempat dan kolaborator sangat diperlukan."

"Tempat dan kolaborator?"

"Ada dua arti untuk tempat, jadi aku akan jelaskan satu per satu."

Shiho-san melanjutkan sambil mengangkat satu jari.

"Pertama, kita perlu mempertimbangkan pilihan antara menyewa tempat atau membangun sendiri untuk membuka kedai kopi. Memilih untuk menyewa dapat mengurangi biaya awal tetapi menimbulkan biaya sewa tiap bulannya, sementara membangun sendiri tidak memerlukan biaya sewa tetapi membutuhkan investasi besar di awal. Karena kantin anak-anak ini akan mengandalkan keuntungan dari kedai kopi, kita perlu mengendalikan biaya tetap seperti biaya sewa seefisien mungkin."

"Benar juga..."

Seperti yang dikatakan Shiho-san, kantin anak-anak ini akan dioperasikan dengan keuntungan dari kedai kopi.

Sebaliknya, jika keuntungan yang didapatkan rendah, menjalankan kantin anak-anak akan sulit dilaksanakan.

Keuntungan adalah pendapatan yang dihitung dari selisih antara hasil penjualan dan biaya operasional. Oleh karena itu, akan lebih baik bagi kami jika bisa menekan biaya tetap seperti biaya tenaga kerja dan sewa yang harus dibayar setiap bulan, dibandingkan dengan biaya variabel seperti biaya listrik dan bahan baku.

Saat meneliti tentang kedai kopi, aku sering kali melihat pentingnya penekanan biaya. 

Salah satu alasan terbesar mengapa kedai kopi atau restoran bisa gulung tikar adalah karena biaya operasional tetap. 

"Namun, membangun toko untuk menekan biaya tetap itu..." 

Meskipun bisa mengurangi total pengeluaran dalam jangka panjang karena tidak adanya biaya sewa, biaya awal yang tinggi pasti akan membuat modal operasional awal menjadi tidak stabil. 

Dengan kata lain, mustahil bisa membangun toko dengan 4 juta yen peninggalan kakakku.

Pastinya, Shiho-san juga mengusulkan ini dengan pemahaman tersebut. 

"Agak berisiko untuk membangun toko sebelum ada jaminan bahwa toko itu akan bertahan lama. Selain itu, setelah melihat harga pasar untuk membangun toko di area ini, menurutku biaya yang diperlukan sungguh tidak realistis… "

Shiho-san mengerutkan kening dengan ekspresi serius. 

"Jika kita membeli properti bekas dengan harga murah lalu merenovasinya, mungkin masih ada ruang untuk dipertimbangkan." 

Saat aku mengusulkan itu, ekspresinya langsung berubah, dia menepuk tangan seolah mendapatkan ide. 

"Benar! Akhir-akhir ini kedai kopi dengan bangunan klasik sedang populer!"

Memang, kedai kopi klasik dengan bangunan tua sudah menjadi gaya yang populer dalam beberapa tahun terakhir. 

Sebuah tempat yang direnovasi dari bangunan tradisional, dan digunakan kembali sebagai bangunan untuk bisnis.

Di daerah pedesaan, terdapat sistem yang menyediakan bangunan kosong dengan harga murah untuk pendatang atau orang yang ingin menjalankan bisnis. Sistem ini merupakan solusi dari masalah banyaknya rumah kosong sekaligus sarana untuk revitalisasi pada daerah tersebut.

Jumlah orang yang memulai bisnis dengan memanfaatkan bangunan tua sendiri kian meningkat. 

Aku membaca di sebuah artikel bahwa ini menjadi tren tersembunyi karena bisa memulai bisnis dengan modal awal yang rendah. 

"Jangan berpikir tentang apakah bisa atau tidak, mari kita pertimbangkan berbagai pilihan tanpa mengesampingkan apapun. Keputusan untuk menyewa atau memiliki toko tergantung pada harga properti dan total biaya awal yang kita miliki." 

"Benar. Jujur saja, aku punya hobi melihat-lihat denah properti, jadi aku akan memeriksanya nanti." 

Shiho-san menulis 'Mencari Properti♪' di buku catatannya agar dia tidak lupa. 

Rasanya mengejutkan bisa mengetahui hobi Shiho-san yang tak terduga.

"Lalu, bisakah kamu memberi tahuku arti kedua dari 'tempat'?" 

Shiho-san mengangkat jari kedua dan melanjutkan. 

"Yang kedua adalah pemilihan lokasi, yaitu tempat di mana kita akan membuka kedai kopi. Aku mendengar bahwa lokasi sangat berperan penting dalam setiap bisnis, termasuk kedai kopi. Namun, saat aku merisetnya, aku merasa bahwa ini mungkin akan menjadi tantangan sulit..."

"Apa itu?"

"Kurasa ada perbedaan antara tempat yang cocok untuk kedai kopi dan tempat yang cocok untuk kantin anak-anak.”

"…Memang benar...."

Dengan satu kalimat itu, aku hampir sepenuhnya memahami apa yang ingin dikatakan oleh Shiho-san.

"Kedai kopi cocok berada di tempat yang ramai atau di kawasan perkantoran dengan akses transportasi yang baik, sedangkan kantin anak-anak sebaiknya berada di dekat area pemukiman atau sekolah agar anak-anak mudah datang, bukan?"

Dari sudut pandang kedai kopi, area pemukiman mungkin bukan lokasi yang ideal. Namun, dari sudut pandang kantin anak-anak, justru itu adalah lokasi yang bagus, dan ketentuan sebaliknya juga berlaku.

Artinya, kita perlu mencari lokasi yang sesuai untuk keduanya. 

Selain masalah biaya awal dan biaya operasional, kita juga harus mempertimbangkan masalah lokasi... 

Untuk beberapa alasan, kondisinya tampak sulit.

"Kita perlu pertimbangkan ini secara bertahap."

Untuk sementara, mari kita simpan kesimpulan ini dan beralih ke topik berikutnya.

"Selanjutnya, mengenai kolaborator, ada dua jenis: dukungan finansial dan dukungan tenaga kerja."

"Maksudnya orang yang bekerja sama dengan kita menggunakan uang atau barang, serta orang yang membantu kita dengan pekerjaan praktik, kan?"

"Benar sekali."

Dalam buku catatan kakak, ada juga sedikit catatan tentang kolaborator.

"Jika kita mendapatkan dukungan dalam bentuk dana atau bahan makanan, beban pengeluaran kita akan lebih ringan. Sementara bantuan tenaga kerja, semakin banyak orang yang membantu di kedai kopi akan semakin baik. Namun, karena kita akan membuka kantin anak-anak di kedai kopi dalam skala kecil, mungkin kita tidak memerlukan banyak dukungan tenaga kerja, bahkan jika hanya ada kita berdua."

Jadi, dalam kasus ini, dukungan finansial jauh lebih penting.

"Kolaborator... Menurutmu, apakah sulit jika hanya kita berdua?"

Sejujurnya, sebagai siswa SMA, aku tidak begitu memahami betapa sulitnya mengoperasikan kafw maupun kantin anak-anak. 

Sebagai seorang dewasa yang sudah bekerja, aku berpikir bahwa dia mungkin memiliki gambaran meskipun itu bidang yang tidak dikenal olehnya. 

Dia mengangguk dengan ekspresi serius saat aku mulai bertanya.

"Jika kedai kopi memiliki banyak keuntungan dan kita memiliki cukup dana, itu adalah cerita yang berbeda. Namun, karena kita juga akan menyediakan makanan secara gratis, akan sulit untuk bertahan lama tanpa dukungan finansial."

Faktanya, Shiho-san memberitahuku bahwa ada banyak kantin anak-anak yang menerima bantuan semacam itu.

Sumbangan dari penduduk setempat, bahan makanan dari petani, toko-toko, perusahaan makanan, atau bank makanan setempat.

Beberapa kota bahkan memberikan hibah kepada organisasi yang menjalankan kantin anak-anak secara berkelanjutan. Namun, meskipun begitu, ada banyak juga kantin anak-anak yang terpaksa tutup karena kurangnya dana...

Hal ini bisa dimaklumi, karena semakin lama kantin anak-anak berlanjut, maka semakin banyak pula defisit yang terjadi.

Seperti yang diharapkan dari orang dewasa yang sudah menjadi anggota masyarakat, penjelasan Shiho-san sangat meyakinkan.

"Benar sekali…"

Mungkin terdengar egois jika memikirkan hal ini.

Tapi... jika memungkinkan, aku ingin menjalankan 'Koneko Biyori' hanya dengan kami sendiri.

Bukan berarti aku tidak membutuhkan bantuan, tetapi aku ingin mewujudkan impian ini bersama orang-orang yang memiliki visi yang sama dengan aku dan Shiho-san, bukan dengan orang atau organisasi yang tidak dikenal.

Mungkin… kakak juga memiliki pemikiran yang sama.

Itulah sebabnya ia memilih untuk memulai dari sebuah kedai kopi kecil alih-alih menjalankannya secara besar-besaran.

“Tentu saja, ini bukan sesuatu yang secara mutlak harus dilakukan dengan pasti.”

Shiho-san mungkin memahami perasaanku.

Dia berkata dengan lembut seperti biasanya.

"Apa yang kuberikan padamu hanyalah contoh kasus. Tidak perlu memaksakan semuanya; pasti ada metode yang cocok untuk kita, atau metode yang hanya bisa kita lakukan. Kita bisa mempertimbangkannya sesuai kebutuhan.”

“Benar juga.”

“Tapi untuk berjaga-jaga, aku akan mencoba mencari bantuan dari rekan kerja atau teman-temanku yang mungkin bisa membantu. Aku punya teman yang bekerja di kantor pemerintah kota, jadi aku bisa menanyakan apakah ada subsidi dari bagian kesejahteraan sosial."

“Terima kasih banyak.”

Aku merasa beruntung memiliki seseorang seperti Shiho-san yang berpikiran sama denganku.

Jujur, meskipun aku telah memutuskan untuk mewujudkan impian kakak, perasaanku mendahului tindakan itu sendiri, dan aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku senang Shiho-san mau menunjukkan pengertiannya dan membimbingku.

Jika aku sendirian, mungkin aku belum melangkah maju sama sekali.

Namun… perasaan yang aku rasakan bukan hanya rasa terima kasih.

Aku masih terus merasa ragu apakah aku layak melibatkan Shiho-san.

Aku merasa sungkan karena harus merepotkan Shiho-san dan khawatir bahwa aku mungkin akan mengikat masa depannya karena itu. Bahkan sekarang, aku membuatnya ikut andil dalam impian kakak.

Mungkin seharusnya aku menolak bantuannya sejak awal, tetapi sekalipun aku melakukan itu, Shiho-san pasti tetap akan bersikeras membantu. Sama seperti aku yang tidak akan menyerah pada impian ini.

Itulah sebabnya, selain rasa terima kasih, aku juga merasakan perasaan yang sulit untuk dijelaskan.

“Sejauh ini, itu saja dariku. Jika ada sesuatu lagi, aku akan memberitahumu.”

“Terima kasih.”

“Sekarang giliranmu, Minoru-kun. Bagaimana dengan kedai kopi-nya?”

Aku baru saja selesai mengeringkan rambut Shiho-san, mematikan pengering rambut, kemudian menyimpannya.

Aku duduk di sebelah Shiho-san, dengan membawa buku catatan di tangan, aku mulai menjelaskan apa yang telah aku pelajari.

Pertama, mengenai kualifikasi yang diperlukan, seperti yang juga dikhawatirkan oleh Shiho-san, adalah sertifikat penanggung jawab kebersihan makanan yang wajib dimiliki untuk membuka usaha makanan, izin usaha makanan yang harus diajukan ke dinas kesehatan, dan tergantung pada ukuran toko, mungkin diperlukan juga sertifikat pengelola kebakaran.

Selain itu, jika ingin menyediakan roti atau kue, juga diperlukan izin usaha pembuatan kue.

Aku membagikan informasi tentang makna kualifikasi tersebut serta cara memperoleh dan mendaftarkannya kepada Shiho-san 

“Sepertinya ada banyak kualifikasi dan izin yang dibutuhkan lebih dari yang aku kira.”

“Benar. Tapi, semua kualifikasi tersebut bisa didapatkan dengan mengikuti pelatihan, jadi sepertinya tidak akan terlalu sulit. Hanya saja, ada batasan usia atau mungkin ada daerah di mana siswa tidak bisa mendapatkannya, jadi aku masih memikirkan bagaimana caranya...”

“Kalau begitu, biar aku saja yang mengambil kualifikasinya. Kamu bisa melakukannya setelah lulus SMA, ini tidak masalah.”

Itu adalah tawaran yang sangat bagus, tapi aku tidak bisa benar-benar merasa senang menerimanya.

“Asalkan bisa didapatkan sebelum pembukaan, kita tidak perlu terburu-buru.”

Selanjutnya, aku membuat daftar perlengkapan yang dibutuhkan untuk membuka kedai kopi.

Juga, hal-hal yang perlu diperhatikan saat menentukan interior, serta contoh model biaya yang dibutuhkan untuk membuka usaha.

Di zaman sekarang, semuanya serba mudah, hanya dengan mencari kata kunci seperti ‘kedai kopi, membuka, kebutuhan’ di internet, kita bisa mendapatkan banyak informasi, termasuk halaman panduan untuk membuka kedai kopi.

Namun, semua ini hanyalah pengetahuan yang diperoleh dari teks.

“Kenyataannya, kita tidak benar-benar tahu bagaimana rasanya mengelola kedai kopi, bukan?”

“Benar… Kalau ada seseorang yang bisa kita ajak bicara, itu akan sangat membantu.”

Di satu sisi, dunia yang serba mudah ini juga membawa kekurangan, karena informasi yang didapatkan dengan mudah seringkali kurang realistik dibandingkan dengan pengalaman langsung.

“Itu dia!”

Tiba-tiba Shiho-san tampak mendapatkan ide dan mengatupkan tangannya.

“Bagaimana kalau kita melihat-lihat beberapa kedai kopi?”

“Melihat-lihat… maksudmu?”

"Kita berkeliling untuk mengunjungi berbagai kedai kopi sebagai tempat belajar. Menjadi pelanggan dan mengamati pengelolaan kedai kopi secara langsung pasti akan memberikan perspektif dan pengalaman yang berbeda. Dengan pengalaman ini, kita akan mendapatkan banyak wawasan baru."

"Begitu ya..."

Dalam segala hal, cara penerimaan seseorang bisa berubah tergantung pada perspektif dan kesadaran masing-masing.

Sekarang setelah aku memiliki pengetahuan yang cukup, mungkin memang ide yang baik untuk mengunjungi beberapa kedai kopi.

"Kalau begitu, akhir pekan ini mari kita berdua berkeliling ke berbagai kedai kopi♪"

Shiho-san langsung mengambil tindakan begitu terpikirkan ide itu, tanpa menunggu jawaban dariku, dia langsung membuat rencana.

Dengan demikian, kami memutuskan untuk minum teh bersama sambil memperdalam pemahaman lebih lanjut kami tentang kedai kopi.


◈ ⟡ ◈


"…………"

Dan tibalah akhir pekan, Minggu pagi terakhir di bulan Mei.

Sambil setengah mendengarkan pembawa ramalan cuaca di TV yang mengatakan 'Musim hujan mungkin akan dimulai minggu depan,' yang tentunya bukan kabar yang menyenangkan, aku terdiam di ruang tamu.

Tepatnya, bukan hanya aku saja, bahkan Chikuwa yang ada di kakiku pun terkejut.

"Aku mencoba memakainya lagi setelah tiga tahun, bagaimana menurutmu?"


Sebab, Shiho-san turun ke ruang tamu dengan mengenakan seragam SMA-nya.

Dia mengenakan kardigan di balik blazer abu-abu, lengkap dengan dasi pita lucu di lehernya. Roknya bermotif tartan yang sama dengan pita itu, menjadikannya potongan yang sederhana namun berdesain tinggi.

SMA khusus perempuan tempat Shiho-san bersekolah terkenal dengan seragamnya yang lucu, sehingga banyak siswi SMP yang memilih sekolah itu hanya karena seragamnya. Bahkan pada hari libur sekolah, ada banyak gadis-gadis yang keluar dengan mengenakan seragam itu.

Mungkin untuk menyesuaikan dengan seragamnya, riasan Shiho-san hari ini lebih natural dari biasanya.

"Menurutku, aku masih bisa terlihat seperti siswa SMA kok~♪"

Shiho-san dengan senang hati bersenandung, lalu berputar sekali.

Rok setinggi 15 cm di atas lututnya melayang ke garis yang berbahaya karena gaya sentrifugal.

Meskipun dia tidak memakai kaus kaki seperti siswi SMA pada umumnya, melainkan mengenakan stoking, secara pribadi aku lebih menyukainya. Saat aku memikirkan hal itu, aku merasa pusing karena kurangnya disiplin diri.

"Haa..."

Karena merasa sangat tidak puas pada diri sendiri, aku tanpa sadar meletakkan tangan di dahi dan menghela napas.

Aku bertanya-tanya. Sebenarnya, mengapa aku memiliki perasaan bersalah terhadap Shiho-san?

Memang benar bahwa merasa terkejut melihat penampilan menarik seorang wanita adalah naluri alami pria.

Aku teringat saat kakakku pernah berkata, 'Seoarang pria, seberapa tua pun usianya, selalu merasa ada romantisme dalam seragam SMA perempuan,' sebuah pernyataan yang seharusnya tidak diucapkan oleh pria dewasa, bahkan mungkin perlu melibatkan polisi.

Dulu aku menganggapnya sebagai omongan orang bodoh, tapi sekarang aku mulai mengerti.

Tidak peduli seberapa keras kita mencoba mengendalikan diri, kita tidak bisa sepenuhnya meniadakan hasrat tersebut.

Secara singkat, jujur saja, itu hampir mustahil.

"Apa harus sampai menghela napas sedalam itu...?"

Tiba-tiba, suasana hati Shiho-san merosot tajam.

Ada kesedihan yang terpancar seolah-olah ini adalah akhir dunia.

"Oh, tidak, maksudku bukan begitu."

"Ehmn... ya. Jadi, bagaimana pendapatmu?"

Shiho-san menunjukkan padaku seragamnya sambil menggembungkan pipinya.

Di dalam kepalaku, malaikat bernama akal sehat dan setan bernama hasrat saling bertarung.

Meskipun aku merasa berat untuk memujinya, aku juga tidak bisa membiarkan kesalahpahaman ini berlarut-larut, jadi setelah berpikir panjang tentang apa yang harus kukatakan... akhirnya aku memutuskan untuk mengungkapkan pendapatku dengan jujur.

"Aku pikir itu sangat cocok untukmu."

Aku menyampaikan pendapatku dengan tulus, tanpa maksud apa pun.

Aku merasa sedikit bersalah, meskipun mungkin hanya sebesar satu milimeter.

Maksudku, tolong maafkan aku untuk yang satu milimeter ini.

"Orang yang tidak tahu pasti tidak akan meragukan bahwa kamu adalah siswa SMA."

"Fufufu~ Itulah sebabnya aku bilang aku masih bisa terlihat seperti siswa SMA, kan?"

Shiho-san menunjukkan ekspresi bangga, lalu sedikit berpose.

Namun, meskipun cocok, ada satu hal yang mengganjal di pikiranku.

"Apa kamu benar-benar berencana pergi keliling kedai kopi dengan pakaian seperti itu hari ini?"

"Tentu saja♪"

Begitu ya...

"Apa kamu ingin mengenakan seragam ini karena kita sempat membicarakan seragam saat kita belajar bersama kemarin?"

"Itu juga salah satunya, tapi kupikir jika seorang wanita dewasa berjalan-jalan dengan anak laki-laki SMA, orang-orang mungkin akan salah paham seperti saat mendapat gangguan di pusat perbelanjaan waktu itu, kan? Jika kita berdua memakai seragam, orang akan mengira kita sama-sama siswa SMA dan tidak akan berpikir aneh-aneh."

"Jadi begitu... Makanya kamu menyuruhku memakai seragam juga..."

Sebenarnya, aku juga sedang mengenakan seragam sekolah karena diminta oleh Shiho-san.

Aku bertanya-tanya mengapa harus memakai seragam di hari libur, tapi inilah jawabannya.

"Karena persiapan sudah selesai, ayo kita berangkat♪"

Apa pun yang kukatakan sekarang tidak akan mengubah situasinya.

"Chikuwa, kami akan belikan camilan saat pulang, jadi tolong jaga rumahnya, oke?"

Sambil mengantar kami pergi, Chikuwa menggosokkan kepalanya ke tangan Shiho-san yang membelai tubuhnya.

Dulu, saat kakak masih hidup, aku tidak pernah memiliki perasaan aneh terhadap Shiho-san... sambil berpikir begitu, aku hanya bisa berharap tidak bertemu dengan salah seorang yang kami kenal.


◈ ⟡ ◈


Saat akhir Mei, suhu mulai naik, hari ini adalah hari yang sempurna untuk berjalan-jalan.

Karena masih pagi dan sinar matahari belum terlalu kuat, memakai blazer masih terasa nyaman, meskipun saat siang nanti matahari semakin tinggi dan kami mungkin akan berkeringat. 

Kami berjalan menuju stasiun. Langit bersih tanpa awan, cerah sekali.

"Sesekali jalan-jalan santai seperti ini bagus juga ya."

Shiho-san berjalan sambil mengayunkan rambut panjangnya dan bersenandung.

Apakah karena dia memakai seragam sehingga suasana hatinya lebih ceria dari biasanya? Rasanya seperti usia mentalnya juga ikut menurun bersamaan dengan penampilannya... tapi yah, itu bukan suatu hal baru.

Meski kalau aku bilang begitu, dia pasti marah, jadi lebih baik aku diam saja.

"Ya, menurutku ini musim yang paling bagus untuk jalan-jalan."

"Sebentar lagi musim hujan, jadi kalau mau jalan-jalan, sekarang lah waktu yang tepat!"

Ngomong-ngomong, ada dua alasan mengapa kami tidak menggunakan mobil hari ini.


Pertama, tujuan kami berada di sekitar area stasiun.

Ini adalah sesuatu yang sering terjadi di kota pedesaan, di mana area perkembangan biasanya berpusat di sekitar stasiun. Oleh karena itu, banyak restoran, bar, hotel, dan terutama kedai kopi, yang menjadi tujuan kami juga berlokasi dekat stasiun.

Sebaliknya, semakin jauh dari stasiun, semakin sedikit toko yang ada, dan satu-satunya tempat lainnya hanyalah pusat perbelanjaan.

Selain itu, toko-toko di sekitar stasiun sering kali tidak memiliki tempat parkir khusus atau tempat parkirnya sempit, sehingga lebih efisien jika berjalan kaki atau bersepeda.


Alasan lainnya adalah karena hari ini Shiho-san mengenakan seragam.

Meskipun sudah dewasa dan memiliki SIM, jika dilihat oleh polisi saat mengemudi dengan mengenakan seragam SMA khusus perempuan, pasti akan menjadi masalah.

Shiho-san awalnya tidak keberatan mengeluarkan mobil, tapi ketika aku mengusulkan agar kami berjalan kaki seperti layaknya pelajar karena mengenakan seragam, dia dengan senang hati berkata, 'Benar juga! Itu pasti akan lebih cocok!'

Meskipun merasa sedikit canggung pergi berdua dengan tunangan kakakku dalam keadaan seperti ini, aku menerimanya karena Shiho-san tampak puas.


"Kedai kopi mana yang harus kita kunjungi dulu?”

Sementara itu, kami sampai di stasiun.

Meletakkan satu jari di dagunya, Shiho-san tampak berpikir keras.

Ngomong-ngomong, Shiho-san yang akan memilih tempatnya, jadi aku hanya akan mengikuti pilihannya.

Dia mengatakan bahwa dia pernah mengunjungi hampir semua kedai kopi di kota ini bersama kakakku yang menyukai kopi, dan akan membawaku ke kedai kopi yang menjadi favorit mereka.

Aku tidak tahu banyak tentang kedai kopi, jadi ini sangat membantu.

"Berapa banyak kedai kopi yang akan kita kunjungi hari ini?"

"Yah... jika satu tempat memakan waktu satu jam, mungkin lima atau enam tempat? Tidak, tidak perlu menentukan jumlahnya, kita bisa berkeliling santai saja. Kita tidak harus mengunjungi semuanya hari ini."

"Betul, aku setuju."

Selama tujuannya jelas, hal lainnya bisa disesuaikan tanpa rencana.

Aku teringat saat kami bertiga selalu pergi tanpa rencana yang ketat.

"Baiklah, ayo kita coba kunjungi kedai kopi yang pertama."

Kedai kopi pertama yang kami kunjungi terletak sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari stasiun.

Itu adalah kedai yang cantik, tersembunyi di jalan belakang area gedung perkantoran.

Bangunan berbentuk kotak dengan dinding luar berwarna putih. Bagian yang menghadap taman memiliki jendela besar dari kaca, sehingga sebagian dalam kedai terlihat dari luar. Kursi di dekat jendela menawarkan pemandangan taman yang hijau dan menenangkan.

Kedai kopi ini memberikan kesan yang sedikit menantang bagi siswa SMA.

Dengan sedikit gugup, aku mengikuti Shiho-san masuk ke dalam kedai.

Bagian dalam kedai ternyata memiliki suasana hangat yang terbuat dari kayu, yang tidak terduga dari penampilan luarnya.

Dindingnya sama seperti luar, berwarna putih, tetapi lantainya terbuat dari papan kayu berwarna gelap, dan semua meja serta kursi juga terbuat dari kayu. Bagian belakang kedai yang sedikit lebih tinggi, memberikan kesan ruang yang lebih luas dari ukuran sebenarnya.

Tanaman hias yang ditempatkan dengan seimbang juga sangat cocok dengan nuansa ruangannya.

Suara sepatu para pegawai yang berjalan di dalam toko, menapak di lantai papan kedai kopi, menimbulkan irama yang terdengar menyenangkan.

"Selamat datang."

Ketika sedang menunggu di pintu masuk, seorang pelayan wanita segera menyambut kami.

"Hari ini Anda berpakaian tidak biasa, bukan?"

"Tee-hee. Aku berpikir untuk kembali merasakan suasana seperti murid sekolahan."

"Sangat cocok untuk Anda. Apa Anda ingin duduk di tempat yang biasa?"

"Iya. Jika masih kosong, aku ingin duduk di sana."

Dari percakapan tersebut, terlihat bahwa Shiho-san sudah mengenal pelayan tersebut.

Kami dipandu oleh pelayan wanita yang tersenyum manis dan duduk di kursi dekat jendela.

Seperti yang kubayangkan saat melihat dari luar, kursi ini memiliki pemandangan taman yang indah di depannya.

"Ini kedai kopi yang indah. Apa kamu sering datang ke sini?"

"Iya, aku sering datang ke sini bersama Takeru. Ketika janjian dengan teman-teman, kami sering bertemu di sini juga. Kantor tempatku bekerja juga dekat, jadi aku sering datang untuk makan siang atau istirahat sejenak setelah pulang kerja."

"Perusahaan tempatmu bekerja itu perusahaan komunikasi besar, bukan?"

"Begitulah. Aku bekerja di bagian pemasaran regional perusahaan ponsel yang kamu gunakan. Kami sedang sibuk karena ada rencana perubahan struktur internal dalam waktu dekat, jadi aku sering datang ke sini dengan rekan kerja untuk makan atau menghilangkan stres."

"Perubahan struktur, ya... Aku tak begitu mengerti, tapi sepertinya itu sulit."

Aku ingat beberapa waktu lalu ada berita tentang penurunan tarif, dan saat itu Shiho-san tampak sangat lelah setiap hari karena pekerjaan, sampai-sampai dia sering mengelus-elus Chikuwa, untuk menghibur dirinya sendiri.

Kakak juga sering memberinya cokelat untuk menyemangati.

"Iya, memang sulit... Kami belum diberi tahu detailnya oleh atasan, jadi aku sangat khawatir. Sepertinya akan sibuk untuk sementara waktu---Ah! Maaf, membicarakan pekerjaan mungkin membosankan untukmu."

"Tidak, kalau itu bisa membuatmu merasa lebih baik, aku akan mendengarkannya kapan saja."

"Terima kasih. Hahaha... Kamu memang baik, Minoru-kun."

Rasanya sedikit memalukan mendengar itu secara langsung.

Aku berpura-pura mengalihkan pandangan ke dalam toko untuk menyembunyikan rasa maluku.

Aku tak begitu mengerti kesulitan pekerjaan Shiho-san, tapi aku bisa melihat mengapa tempat ini populer di kalangan wanita.

Pasalnya, selain aku, semua pelanggan di dalam toko adalah wanita. Ada yang asyik mengobrol dengan teman, ada yang membaca buku dengan tenang sendirian, dan ada juga dua wanita yang tampaknya ibu rumah tangga dengan anak-anak mereka.

Sekarang aku bersama Shiho-san, jadi tidak masalah, tapi datang ke sini sendirian sebagai seorang pria pasti membutuhkan keberanian besar.

"Jadi, Minoru-kun mau pesan apa?"

Shiho-san membuka menu agar kami bisa melihatnya bersama.

"Begitu ya... hmm, apa ya?"

Menu minumannya sendiri cukup beragam sampai membuatku bingung pesan yang mana.

"Kalau mau, aku sangat merekomendasikan es kopi cold brew ini."

Shiho-san menyarankan dengan senyum yang sedikit memiliki arti.

Sepertinya ada alasan di baliknya, tapi apa ya?

"Kalau begitu, aku pesan itu saja."

"Aku akan pesan es teh, dan mousse cake cokelat dan jeruk."

Setelah memutuskan apa yang akan dipesan, Shiho-san memanggil pelayan dan menyampaikan pesanannya.

Sambil menunggu pesanan datang, kami kembali menatap menu.

"Kalau dilihat lagi, menunya banyak sekali ya."

"Iya, di sini tidak hanya menyediakan makan siang, tapi juga sarapan."

Ketika aku memeriksa jam operasional yang tercantum di menu, terlihat bahwa kedai kopi ini buka dari pukul 08:30 sampai pukul 21:00.

Kedai kopi ini buka dari pagi hingga malam, jadi selain menu kedai kopi biasa, mereka juga menyediakan menu sarapan dan makan siang, serta menyediakan minuman beralkohol di malam hari.

Pilihan minuman juga beragam, selain kopi dan teh, mereka juga menyediakan teh hijau.

Dengan banyaknya variasi menu seperti ini, orang-orang pasti merasa ingin datang berulang kali.

"Kita juga harus memikirkan menu kita nantinya."

"Ya, mari jadikan hari ini sebagai referensi."

Sambil berbincang seperti itu, kami menunggu sekitar sepuluh menit.

"…Ini apa?"

Saat pelayan membawa es kopi, aku tanpa sadar bertanya dengan suara bingung.

Di atas meja ada gelas dengan es bulat dan teko yang berisi es kopi.

Bukannya disajikan dalam gelas yang sudah diisi, kita sendirilah yang harus menuangkan kopi ke dalam gelas berisi es, dan itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.

Yang membuatku terkejut adalah es bulat di dalam gelas.

Karena, es bulat itu bukan transparan, melainkan berwarna cokelat.

"Terkejut, ya?"

Ternyata Shiho-san sudah tahu tentang ini.

"Itu, es yang terbuat dari kopi."

"Es yang terbuat dari kopi?"

Aku tanpa sadar mengulangi kata-katanya karena terlalu terkejut.

"Pernahkah kamu minum es kopi dan esnya mencair sehingga rasanya menjadi tawar?"

"Pernah. Pada akhirnya rasanya terlalu tawar, sehingga aku ragu untuk meminumnya perlahan. Namun, rasanya sayang untuk tidak dihabiskan, jadi tetap kuminum..."

"Benar, itu masalah umum pada es kopi. Tapi, di sini es kopinya dibuat dari kopi, jadi meskipun mencair, rasanya tidak akan menjadi tawar dan tetap enak sampai akhir."

"Begitu ya..."

Aku tak bisa menahan diri untuk tidak berdecak kagum.

Meskipun berlebihan jika dikatakan untuk semua pecinta es kopi di dunia, siapa pun yang suka minum es kopi pasti pernah mengalami masalah ini setidaknya sekali. Ide ini benar-benar luar biasa.

"Aku senang bisa menikmati rasa yang enak sampai akhir, tapi bagiku, yang lebih penting adalah bisa menikmatinya tanpa terburu-buru. Banyak orang yang datang ke kedai kopi karena ingin menghabiskan waktu dengan santai."

Shiho-san mengangguk setuju berkali-kali.

"Selain itu, ada cara lain untuk menikmatinya. Karena esnya terbuat dari kopi, jika ditambahkan susu, rasanya akan mirip kopi susu, dan jika ditambahkan café au lait, kamu bisa menikmati perubahan rasanya."


TL/N:

Café au lait adalah campuran kopi hitam yang tajam dengan susu panas.


"Wah..."

Pada titik ini, aku benar-benar kagum.

Setidaknya, aku belum pernah mendengar atau melihat cara menikmati kopi seperti ini.

Tidak hanya menyelesaikan masalah es yang mencair dan membuat rasa menjadi tawar, tetapi juga menambahkan nilai tambah dengan memungkinkan kita menikmati minuman lain. Ini pasti hasil dari upaya pengembangan produk kedai kopi ini.

Mengubah kelemahan menjadi kelebihan adalah hal yang luar biasa.

"Takeru sangat menyukainya, dia selalu memesan café au lait dingin sebagai gelas kedua."

"Kakak juga suka tempat ini ya."

"Iya, sebulan sekali kami datang bersama, dan selalu duduk di tempat ini berhadapan..."

Shiho-san menundukkan kepala dan menatap gelas di tanganku.

Matanya yang indah tampak begitu rapuh, mungkin karena mengingat kenangan bersama kakak.

"Aku akan mencobanya segera."

Aku menuang es kopi dan sedikit sirup ke dalam gelas.

Es batu di dalam gelas berputar-putar saat aku mengaduknya, kemudian aku menempelkan bibirku dengan lembut ke tepi gelas. 

Setelah meneguknya dan menelan perlahan, aroma segar yang cocok dengan hari yang hangat seperti hari ini mengalir melalui hidung, bersamaan dengan rasa lembut khas dari es kopi. 

Saking enaknya, aku hanya bisa mengangguk tanpa kata.

"Enak, kan?" tanya Shiho-san sambil sedikit memiringkan kepalanya. Meskipun nadanya bertanya, kata-katanya penuh keyakinan.

"Enak sekali. Walaupun aku tahu rasanya tidak akan berubah jadi tawar meskipun diminum pelan-pelan, tapi aku merasa ingin segera menghabiskannya karena tidak ada rasa pahit dan sangat mudah diminum. Terutama di hari yang hangat seperti hari ini."

"Kalau begitu, sebelum esnya mencair, pastikan untuk memesan juga es café au lait."

"Baik. Sepertinya juga segera habis, jadi aku akan pesan sekarang."

Segera aku memesan café au lait kepada pelayan yang berada di dekatku.

"Tapi ini... meskipun esnya terbuat dari kopi, rasanya tetap enak." 

Aku tidak tahu banyak tentang kopi seperti kakakku, tapi karena sering minum kopi karena pengaruhnya, aku sedikit mengerti tentang gambaran rasanya. 

Maksudku, dibandingkan dengan es kopi yang pernah kuminum sejauh ini, meskipun rasa kopinya kuat, tidak ada rasa pahit atau getir yang berlebihan, rasanya segar sehingga bisa diminum dengan cepat. 

Selain itu, untuk ukuran es kopi, warnanya juga cukup bening.

"Itu karena metode cold brew, yaitu biji kopi yang digiling diekstrak dengan air," Shiho-san segera menjawab keraguanku.

"Es kopi pada umumnya dibuat dengan menyeduhnya dengan air panas lalu didinginkan, tetapi proses itu juga melarutkan minyak. LMinyak mengandung aroma biji kopi, semakin banyak minyak, semakin kuat aromanya, tetapi di sisi lain, itu juga bisa membuat rasa pahit atau getir yang berlebihan."

"Kalau begitu, itu agak tidak cocok untuk es kopi, bukan?" 

Karena rasa pahit akan lebih terasa pada suhu rendah. Aku ingat guru mengatakan itu di kelas kimia atau tata boga dulu.

"Selain itu, minyak akan mengalami oksidasi seiring berjalannya waktu. Semakin banyak minyak, semakin kuat rasa pahit atau getirnya. Di sisi lain, jika diekstrak dengan air, karena air dan minyak berlawanan, hasilnya mengandung lebih sedikit minyak dan rasanya lebih jernih. Warna yang bening juga disebabkan oleh kandungan minyak yang lebih sedikit."

Shiho-san menjawab pertanyaanku dengan sempurna.

"Sebagai penggemar kedai kopi, kamu sangat berpengalaman."

"Aku ingin bilang 'tentu saja, bukan?', tapi itu semua dari Takeru."

"Dari kakak?"

"Dia terkesan dengan es kopi di sini dan memutuskan untuk mempelajarinya."

"Oh begitu ya..."

Aku merasakan betapa kuatnya keinginan kakak untuk menjalankan 'Koneko Biyori'.

Aku merasa bisa menyadarinya bahkan di tempat seperti ini.

"Baiklah, aku juga akan mulai menikmatinya bagianku."

Aku menikmati es kopi sementara Shiho-san menikmati es teh dan kue pendamping.

Setelah beberapa saat, pelayan datang dengan tepat waktu membawa es café au lait.

Café au lait yang ditempatkan dalam teko dituangkan ke dalam gelas, dan aku sengaja menunggu sampai esnya sedikit mencair selama sepuluh menit lebih sedikit. Saat esnya sedikit mengecil, aku mengaduknya ringan dan mencicipinya.

"Ini..."

Aku tak bisa menahan senyum yang merekah di wajahku.

Di dalam rasa susu khas café au lait, ada sisa rasa kopi yang kuat. Seiring es mencair, rasa kopi semakin kuat, dan semakin lama menunggu, semakin tajam rasa yang terbentuk.

Bahkan orang yang tidak suka susu pun bisa menikmatinya, dan café au lait ini jelas bisa menjadi pilihan.

Sekali lagi, aku berpikir bahwa orang yang memikirkan es ini dan cara menikmatinya adalah seorang jenius.

"Kedai kopi yang memiliki menu andalan seperti ini memang menarik ya."

"Kita juga harus memikirkan menu andalan untuk 'Koneko Biyori' nanti"

Menu andalan... memang benar bahwa toko yang dicintai dalam waktu lama selalu memiliki sesuatu seperti itu.

Sepertinya kami juga harus memikirkannya sebelum pembukaan.

"…Hah?"

Saat aku memikirkan hal ini, aku merasakan tatapan dan mengangkat wajah.

Di sana, ada Shiho-san yang menatapku dengan intens.

Tidak, lebih tepatnya dia tidak menatapku, tapi menatap gelas yang aku pegang.

Ketika aku menurunkan gelas sebagai percobaan, tatapan Shiho-san juga turun, dan ketika aku mengangkat gelas, tatapan Shiho-san juga naik. Tatapan itu terlihat sangat sayu, sehingga aku segera menyadari apa maksudnya.

"Shiho-san juga ingin mencobanya?"

"Iya!"

Jawaban yang sangat baik.

Seperti jawaban yang sangat baik dari Chikuwa di depan makanan yang membuat kucing terobsesi.

"Ayo pesan saty untuk Shiho-san juga. Maaf---"

"Oh, bukan begitu, aku hanya ingin satu tegukan."

"…Hah?"

Kata terakhir saat memanggil pelayan berubah menjadi tanda tanya.

Suara yang terdengar dari dalam tenggorokanku terdengar seperti tercekik.

"Aku selalu mendapatkan satu tegukan dari Takeru, jadi aku hanya ingin mencicipinya."

Tidak, tidak, tidak, itu jelas tidak boleh.

Sebenarnya aku tidak keberatan memberikan satu tegukan, tapi menggunakan gelas yang sudah aku pakai itu terlalu mengganggu, apalagi bagi remaja laki-laki. Ini bukan tentang dia bisa menggunakan sisi lain dari gelas atau sebagainya.

Ini juga berbeda dengan saat aku memberikan sepotong chicken katsu di restoran kemarin.

"Eh..."

Shiho-san tidak menunjukkan tanda-tanda peduli dengan pergulatan batinku.

Sebaliknya, dia memasang pose memohon dengan tangan di depan wajah.

Memang, ada tipe orang yang tidak peduli dengan hal semacam ini, meskipun begitu aku adalah adik tunangannya. Aku berpikir apakah dia tidak merasa risih, tapi ternyata karena aku adalah adik tunangannya itulah, dia jadi tidak merasa risih.

Bagi Shiho-san, aku seperti seorang adik. Bukti dari hal ini adalah bahwa dia tidak melihatku sebagai seorang pria, yang jika dipikir-pikir sebenarnya tidak terlalu buruk... saat aku memikirkannya lagi.

"Kalau begitu. Ayo kita saling bertukar!"

"Apa---?"

Situasi semakin memburuk, menuju arah yang tidak masuk akal.

Shiho-san mungkin salah paham mengira aku enggan memberikan satu tegukan kepadanya.

Tanpa menunggu jawaban, dia menawarkan mousse cake cokelat dan jeruk dengan sendok ke arah mulutku.

"Tunggu, tidak..."

Tidak ada yang mengatakan ingin memberi atau meminta, kenapa jadi begini!?

Jika begini, 'tidak mau' = 'tidak memberi' mungkin akan dianggap sebagai jawaban.

Apa yang harus dilakukan... tidak, tidak ada apapun yang bisa dilakukan, ini jelas tidak boleh. Menggunakan sendok yang sama lebih sulit bagi remaja laki-laki dibandingkan menggunakan gelas yang sama.

Lagipula aku belum pernah berciuman, bahkan ciuman tidak langsung sekalipun.

Akan jadi sejarah yang kelam jika orang pertama yang berciuman secara tidak langsung denganku adalah tunangan kakakku sendiri.

Tapi aku lebih memilih berada dalam suasana hati yang buruk daripada dianggap telah menolak dengan buruk...

Suara menelan ludah terdengar di tenggorokanku.

"Mousse cake cokelat dan jeruk ini, Takeru juga menyukainya."

Aku tahu kakak suka coklat, bukan hanya kue ini.

Dia sangat menyukainya sampai suatu waktu dia pernah menaruh coklat pada semua jenis makanan, dan membuatku kesulitan karenanya.

Choco fondue mungkin terdengar enak, tapi aku benar-benar marah ketika melihat dia menggunakankannya sebagai bumbu serbaguna seperti mayones dalam salad.

Tapi, mari kita kesampingkan selera makan kakakku yang terlalu pilih-pilih itu.

"Apa kamu yakin?"

"Tentu saja♪"

Setelah banyak berpikir, aku akhirnya memutuskan bahwa jika Shiho-san sendiri mengatakan tidak apa-apa, maka aku akan membuka mulutku.

Mengucapkan "aanh~," Shiho-san membawa sendok ke mulutku.


Saat aku memasukkan ke dalam mulut, rasa manis yang menyebar begitu luar biasa menghapus rasa malu yang sempat kurasakan. 

Rasa cokelat yang kaya dan aroma jeruk yang segar. Ini memang kombinasi yang sudah cocok sedari awal, tetapi mousse jeruk dan karamel yang dilapisi cokelat pahit sungguh sangat serasi. 

Tidak terlalu manis namun menyegarkan, dengan masing-masing rasa yang berpadu dengan sempurna. 

Memang benar ini adalah rasa yang pasti akan disukai oleh kakakku.

"Bagaimana?"

"Dalam banyak hal, ini manis sekali…"

"Kalau begitu, aku juga mau mencoba punyamu."

Tanpa ragu sedikit pun, aku menyodorkan gelas kepada Shiho-san.

"Terima kasih!"

Shiho-san mengucapkan terima kasih sambil mengambil gelas dan meletakkan bibirnya di tepi gelas. Meskipun awalnya tidak berniat untuk menatap, namun aku terpana oleh bibirnya yang berkilau.

"Memang enak sekali!"

Saat Shiho-san tersenyum, aku segera mengalihkan pandangan agar tidak ketahuan.

"Aku setuju…"

Komentar itu tulus dari hati, baik kue maupun es kopinya memang sangat lezat. 

Namun… meskipun manisnya coklat masih tersisa di mulutku, ada juga sedikit rasa pahit yang menyebar.


◈ ⟡ ◈


Setelah beberapa saat, kami meninggalkan kedai kopi pertama dan melanjutkan ke tempat kedua dan ketiga. 

Meskipun aku berpikir jarak antara setiap kedai akan cukup jauh meskipun area di sekitar stasiun ramai, ternyata kebanyakan malah berkumpul di area yang relatif sempit sehingga memudahkan perpindahan.

Dari sudut pandang pelanggan, senang rasanya memiliki banyak kedai di dekat sini. 

Namun, dari sudut pandang kedai kopi, pasti sulit karena banyaknya persaingan. 

Dalam dunia bisnis makanan dan minuman, di mana tingkat kegagalan dalam tiga tahun pertama lebih dari 70%, keberadaan toko pesaing, ciri khas untuk tetap populer, dan menu andalan serta cara menawarkannya itu sangat penting.

Kedai kopi yang kami kunjungi di pagi hari juga unik, toko pertama populer di kalangan wanita muda, toko kedua adalah kedai kopi retro yang mengingatkan pada era Showa dengan banyak pelanggan yang lebih tua, dan toko ketiga adalah toko yang dikelola secara pribadi dengan nuansa rock. 

Dari sini, kami juga menyadari bahwa kami perlu memikirkan matang-matang, terutama soal menu yang akan menjadi andalan.

Setelahnya, karena sudah lewat pukul 13.00, kami makan siang dan melanjutkan untuk sesi sore.

Mengunjungi dua kedai di sepanjang jalan utama dan makan serta minum setiap kali masuk, perut kami menjadi penuh. Untuk mengurangi rasa kenyang, kami memutuskan berjalan-jalan sejenak ke kedai kopi bergaya Jepang yang berjarak sedikit lebih jauh.

Meskipun tempat ini lebih seperti rumah teh daripada kedai kopi, tapi memang tidak ada salahnya menyajikan banyak teh di kedai kopi.

Dengan begitu, kami mengunjungi enam tempat dalam satu hari dan tanpa sadar waktu sudah menunjukkan lebih pukul 18.00. 

Sinar matahari sore mewarnai kota dengan warna oranye ketika kami berjalan pulang.

“Bagaimana menurutmu setelah mengunjungi kedai-kedai kopi ini?”

“Yah, ada banyak hal yang bisa dipelajari.”

Berbeda dengan kunjungan sebelumnya, kali ini aku mendapat banyak wawasan dari sudut pandang pengelolaan. 

Misalnya, tata letak interior, berbagai menu, cara memastikan alur kerja karyawan, dan hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan ketika membuka kedai kopi. 

Terutama yang kurasakan adalah pentingnya karakteristik dan keunikan toko, atau bisa dikatakan... konsepnya. 

Kedai yang populer memang memiliki daya tarik yang mudah dipahami oleh pelanggan. 

Mengetahui hal-hal ini membuatku berpikir bahwa kami telah mencapai tujuan hari ini.

“Seperti yang dikatakan Shiho-san, sudut pandang yang berbeda memberikan pandangan yang berbeda juga.”

“Benar, kan? Kalau itu bisa menjadi referensi, ajakan ini tidak sia-sia.”

Shiho-san berjalan di sampingku dengan suasana hati yang ceria, rambut panjangnya bergoyang seperti biasa.

“Ada banyak kedai kopi yang direkomendasikan, jadi mari kita lakukan tur kedai kopi lagi di lain waktu. Tapi sebelum itu, ada satu kedai yang ingin aku ajak kamu kunjungi. Mau ikut?”

“Sekarang? Tentu saja, aku ikut. Tapi, apa waktunya cukup?”

Kebanyakan kedai kopi biasanya tutup sekitar jam tujuh malam. 

Tentu, ada yang buka lebih lama, seperti kedai yang juga menyajikan makan malam atau kedai kopi jaringan besar yang buka hingga sekitar jam sepuluh malam.

“Itu tidak masalah. Kita sudah membuat janji untuk datang setelah kedai tutup.”

“Janji---?”

Shiho-san tidak menjawab pertanyaanku dan terus berjalan. 

Kami menuju sebuah gedung tua di ujung jalan perbelanjaan tradisional yang disebut ‘Sirius Street’, yang terletak di belakang jalan utama. 

Tujuan kami adalah bangunan sewaan tua di pinggiran daerah tersebut.

Di lantai pertama, ada kedai kopi bergaya antik yang memberikan kesan usia yang baik. 

Papan di pintu masuk bertuliskan ‘Café Orion’.

"Selamat malam."

Mengikuti Shiho-san, aku melangkah masuk sambil mengamati keadaan sekitar. 

Interior toko, meskipun terlihat sedikit dingin pada pandangan pertama, memancarkan suasana yang hangat. Dinding beton yang terekspos dan lampu dengan cahaya hangat. Meja, kursi, dan konter semuanya terbuat dari kayu, menciptakan kontras yang menarik dengan dinding dan lantai yang bersifat industrial. Sebuah tanaman hias diletakkan di sudut ruangan, memberikan sentuhan yang menyatu sempurna dengan sekitarnya.

Mungkin karena sudah tutup, tidak ada pelanggan lain di dalamnya.

"Selamat datang."

Seorang pria muncul dari balik konter.

"Maaf sudah merepotkan di waktu yang terlambat, Manajer-san."

"Ah, tidak apa. Jangan sungkan."

Pria yang dipanggil manajer itu mungkin berusia sekitar empat puluh tahun. Dia tersenyum ramah kepada Shiho-,san. Sikap dan nada bicaranya yang lembut mencerminkan kepribadiannya.

"Kamu juga, Minoru-kun, terima kasih sudah datang."

Tampaknya dia juga mengenalku. Dari fakta bahwa janji dibuat setelah toko tutup dan interaksi antara dia dan Shiho-san, aku bisa menebak bahwa mereka sudah saling kenal. Namun, aku tidak menyangka dia akan mengenalku juga.

Meski begitu... Aku tidak bisa mengingat-ingat siapa dia meskipun sudah berusaha keras.

"Maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Saat menghadiri pemakaman Takeru, aku sempat menyapa."

"Maaf, aku tidak terlalu ingat masa itu..."

"Tidak apa-apa, jangan dipikirkan."

Manajer itu berkata dengan lembut.

"Seperti biasa, ya?"

"Ya, untuk dua orang, tolong."

Shiho-san menjawab dan duduk di kursi konter tinggi di dekat jendela. Seolah-olah itu sudah menjadi kebiasaan, dia duduk tanpa ragu. 

Ketika aku duduk di sebelahnya, Shiho-san menatap pemandangan luar dengan ekspresi melankolis.

"........"

Jelas sekali bahwa Shiho-san tidak seperti biasanya. 

Dia yang selalu tersenyum, ceria, dan riang, bahkan setelah kematian kakak, sekarang menunjukkan ekspresi penuh kesedihan, meskipun tidak sampai menangis. 

Ini adalah pertama kalinya aku melihat Shiho-san dalam keadaan seperti ini sejak kami bertemu.

"Takeru dan aku... kami pertama kali bertemu di tempat ini."

Shiho-san mulai berbicara seolah-olah mengenang ingatan yang jauh.

"Takeru dan aku bertemu melalui temanku, Yuuka, yang bekerja di perusahaan tempat Takeru bekerja. Setelah itu, untuk kencan pertama kami, dia membawaku ke sini, dan dia mengungkapkan perasaannya di sini juga. Bahkan, dia melamarku di sini. Setiap kali ada hal penting yang perlu dibicarakan, kami selalu datang ke sini."

Shiho-san dengan lembut mengusap cincin tunangan di jari manisnya. Artinya, tempat ini adalah tempat yang penuh kenangan bagi mereka berdua.

"Terima kasih sudah menunggu."

Tak lama kemudian, manajer kembali dengan pesanan kami. Yang disajikan adalah es latte dan puding kopi yang unik. Di dalam gelas, terdapat puding kopi berbentuk kubus kecil yang diisi dengan susu di sela-selanya. Penampilannya seperti es hitam yang mengapung dalam susu.

Di atasnya ada krim kocok yang dihias dengan indah dan daun mint sebagai aksen. Ini adalah hidangan yang sangat menarik dan tampak fotogenik.

"Aku yang traktir, jadi jangan sungkan."

" "Terima kasih banyak." "

Setelah mengucapkan terima kasih, aku mengambil sendok dan mencicipi puding kopi. 

Memasukkannya ke dalam mulut, aku terkejut betapa berbeda rasanya dari puding kopi yang pernah kucoba. Puding yang kenyal meletus setiap kali dikunyah, bercampur dengan susu, menciptakan rasa yang sempurna di dalam mulut.

Rasa kopinya sangat kuat untuk sebuah hidangan penutup, hampir terasa seperti memiliki karakter yang kuat, tetapi tidak terlalu kasar. Selain itu, krim kocok menambahkan kelembutan yang membuat rasanya menjadi sempurna. Ini jelas puding kopi terbaik yang pernah kurasakan.

"Kamu suka?"

"Ya, sangat enak... sungguh mengejutkan."

"Syukurlah. Aku yakin Takeru juga akan senang."

Takeru akan senang...?

"Kedai kopi ini adalah tempat Takeru bekerja saat dia masih SMA."

Shiho-san menjawab pertanyaanku.

"Kakak bekerja di sini...?"

Memang, kakakku bekerja paruh waktu di sebuah kedai kopi saat dia masih SMA. Saat itu aku masih SD, jadi meskipun aku tahu dia bekerja paruh waktu, aku tidak pernah mengunjungi tempat kerjanya, dan aku juga tidak tahu kedai kopi mana tempat dia bekerja.

"Selain itu, puding kopi ini adalah menu yang diciptakan oleh Takeru sendiri."

"Ini dibuat oleh kakak...?"

Aku terkejut mendengar kata-kata yang tak terduga itu.

Memang, kalau dipikir-pikir, rasanya sesuai dengan selera kakakku, tapi...

"Pada saat itu, kedai kopi kami tidak memiliki menu andalan. Suatu hari, ketika kami sedang memikirkan apa yang bisa menjadi menu yang baik, Takeru berkata, 'Bagaimana kalau kita coba membuat puding kopi?' Dia mengatakan bahwa kita tidak seharusnya hanya mengandalkan kopi yang kuat, tetapi juga harus mempertimbangkan selera wanita," ucap manajer dengan nada nostalgia.

Sejak saat itu, kabar tentang puding kopi menyebar dan pelanggan wanita mulai bertambah.

"Namun, untuk menjadi menu andalan, rasanya harus unik. Setelah banyak percobaan, suatu hari Takeru mendapatkan inspirasi dari es kopi yang dia minum di sebuah kedai kopi tertentu."

"Es kopi dari kedai kopi tertentu?"

"Itu es kopi dari tempat pertama yang kita kunjungi."

Mendengar itu, aku teringat cerita yang diceritakan Shiho-san di kedai kopi pertama.


Biasanya, es kopi dibuat dengan menyeduh kopi menggunakan air panas lalu didinginkan. Namun, menyeduh dengan air panas menyebabkan banyak minyak yang mengandung aroma kopi larut, sehingga rasa kopi menjadi kuat tetapi juga memiliki kelemahan berupa rasa pahit dan getir yang lebih kuat. 

Selain itu, minyak tersebut akan teroksidasi seiring waktu, sehingga rasa kopi menjadi lebih tidak enak.

Sebaliknya, air tidak melarutkan minyak secara berlebihan, sehingga menghasilkan rasa yang lebih bersih dengan sedikit rasa pahit atau getir. 

Ini adalah pengetahuan yang Shiho-san dengar dari kakakku.

Rasa kopi yang kuat namun tanpa kekasaran itu mungkin karena diseduh dalam waktu lama menggunakan air.

"Takeru ingin membuat ini sebagai menu andalan di 'Koneko Biyori'."

"Jadi, kakakku bekerja paruh waktu di kedai kopi ini untuk..."

"Untuk belajar agar suatu hari bisa membuka 'Koneko Biyori'."

Seperti yang kuduga...

"Aku masih ingat dengan jelas saat Takeru, yang saat itu masih SMA, datang sebagai pelanggan pertama kali, minum secangkir kopi, lalu berkata, 'Aku ingin membuka kedai makanan untuk anak-anak suatu hari nanti, jadi izinkan aku belajar di sini!' Ketika aku menolak karena kami tidak mempekerjakan anak SMA, dia datang setiap hari setelah sekolah untuk memohon... Sampai pada akhirnya aku menyerah."

Manajer mengingat kenangan itu dengan senyum lembut.

"Hei, Minoru-kun, bagaimana kalau kamu bekerja paruh waktu di sini?"

"Bekerja paruh waktu...?"

Aku sebenarnya sudah sedikit menduga alasan mengapa Shiho-san membawaku ke sini.

"Kami menghabiskan sepanjang hari ini mengunjungi banyak kedai kopi untuk mewujudkan impian Takeru. Kupikir hanya dengan melihat-lihat saja sudah bisa menjadi pembelajaran, tetapi yang terbaik adalah benar-benar bekerja di sana. Seperti kata pepatah, 'lebih baik melihat sekali daripada mendengar seratus kali,' tetapi 'lebih baik mengalami sekali daripada melihat seratus kali.' Maka dari itu pasti ada banyak hal yang bisa didapatkan."

Memang benar seperti yang dikatakan oleh Shiho.

"Sambil belajar tentang kedai kopi, Takeru mengajariku cara membuat puding kopi. Aku rasa pengalaman ini akan berguna saat kamu akan menjalankan 'Koneko Biyori' suatu saat nanti.”

Namun, itu hanyalah kenyamanan kita saja.

"Jika Minoru ingin, aku akan dengan senang hati menyambutnya."

Manajer kedai mengatakannya tanpa ragu-ragu, mungkin Shiho-san yang sudah memberitahunya.

Tepat setelah aku berpikir begitu, aku segera menyadari bahwa itu adalah kesalahpahaman.

"Karena itu adalah janjiku dengan Takeru."

Janji dengan kakak---?

"Sebelum Takeru meninggal, saat aku mengunjunginya di rumah sakit, dia memintanya. Dia tidak ingin memaksakan mimpinya pada adiknya. Jadi dia bahkan tidak menceritakan mimpinya. Tapi, jika adiknya menyadari mimpinya dan ingin mewujudkannya... dia memintaku untuk membantu sebisanya."

"Kakak mengatakan hal seperti itu...?"

Tanpa sadar aku menatap Shiho-san, dan dia menggeleng kecil.

"Aku juga baru pertama kali mendengarnya saat aku menghubungi manajer-san hari ini."

Bahwa aku mencoba mewujudkan mimpi kakak, dan Shiho-san akan membantu.

Bahwa Shiho-san membawaku ke sini, dan manajer menyarankanku untuk bekerja paruh waktu di sini, seolah-olah kakak sudah merencanakan semua itu sebelumnya.

Tidak, kenyataannya, kakak mungkin memang sudah merencanakannya.

"Sekarang tergantung pada Minoru-kun. Bagaimana?"

"Ya, aku..."

Aku mengulur kata-kata seolah berpikir, tetapi sebenarnya tidak ada yang perlu dipertimbangkan lagi.

Seperti yang dikatakan Shiho-san, ada banyak yang bisa didapatkan, dan ini adalah jalan yang tidak bisa dihindari.

Meskipun aku memiliki dana pembukaan yang ditinggalkan oleh kakak, mendapatkan uang tambahan dari bekerja paruh waktu akan sangat membantu. Terlebih lagi, ini adalah langkah pertama untuk mewujudkan impian kakak, jadi tidak ada alasan untuk menolaknya.

Ini pasti, petunjuk jalan yang ditinggalkan oleh kakak---

"Bolehkah aku bekerja di sini?"

"Tentu saja, mulai sekarang mari bekerja bersama."

Manajer kedai mengulurkan tangan kepadaku, dan aku menjabat tangannya.

Aku merasa akhirnya telah mengambil langkah nyata menuju impian.

"Kalau begitu, mari kita mulai akhir pekan depan. Ada beberapa prosedur dan penjelasan yang perlu disampaikan, jadi bisakah kamu mampir setelah pulang sekolah suatu hari nanti?"

"Baik, aku mengerti"

"Baiklah, kalau begitu pembicaraan ini selesai... tapi ada satu hal yang mengganjal di pikiranku."

" "Yang mengganjal di pikiran?" "

Aku dan Shiho serempak memiringkan kepala.

"Kalau Minoru-kun sih tidak masalah, tapi kenapa Shiho-san juga memakai seragam sekolah?"

" "Ah---" "

Kami berdua tanpa sadar setelah memeriksa penampilan Shiho-san.

Ngomong-ngomong, aku benar-benar lupa bahwa Shiho-san juga sedang mengenakan seragam sekolah.

Aku mencoba menjelaskan, tetapi apapun yang kukatakan sepertinya hanya akan menimbulkan firasat buruk.

"Umm... ini, ada berbagai alasan..."

Shiho-san juga tampak kesulitan menjawab, dan menghindari kontak mata sambil bergumam.

Kemudian, manajer kedai tampak jelas berusaha untuk tidak menyinggung perasaan kami.

"Yah, yah... ada juga orang yang memiliki hobi semacam itu, kan..."

"B-bukan begitu! Ini bukan soal hobi atau yang semacamnya!"

"Kudengar cosplay sedang populer di kalangan anak muda, dan baru-baru ini ada yang namanya kedai kopi konsep... jangan-jangan Shiho-san pindah kerja ke tempat semacam itu?"

"Ini juga bukan soal cosplay, dan aku juga tidak bekerja di tempat seperti itu! Wanita, tidak peduli berapa usianya, hatinya tetap berusia tujuh belas tahun! Ah, maksudku mereka masih ingin memakai seragam meskipun sudah tua---Eh? Ugh!"

Manajer berusaha untuk memahami, tapi Shiho-san tidak ingin disalahpahami, sehingga semakin dia mencoba menjelaskan, semakin terjebak dia dalam kesalahpahaman.

Akhirnya, hari itu berakhir dengan kejadian yang aneh, tapi tidak ada yang bisa dilakukan.

Begitulah, aku mulai bekerja di kedai kopi yang penuh kenangan bagi kakak dan Shiho-san.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Join server Discord disini: https://discord.com/invite/HMwErmhjMV

0

Post a Comment

close