Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.
Chapter 5: Perpisahan
“Sudah siap semua!? Jangan sampai ada yang ketinggalan, ya!?”
“Udah kok, tenang aja.”
“Kamu bawa kunci kamar? Bawa camilan buat tetangga?”
“Udah aku bilang, semuanya beres.”
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah sibuk belajar buat ujian akhir, mengerjakan video, dan menikmati waktu sambil melihat bintang, tiba-tiba sudah akhir Juli. Hari ini, Nito pindah, hanya beberapa hari sebelum siaran langsung.
“Duh, aku cemas banget...” kataku sambil menunggu di stasiun JR Ogikubo untuk mengantarnya. Aku merasa sangat gelisah.
“Aku punya firasat kalau kamu pasti ada yang ketinggalan, ini bikin aku deg-degan.”
“Meguri, kenapa kamu malah yang panik?” Nito tersenyum, sedikit bingung tapi tampaknya menikmati kekhawatiranku. “Kan bukan kamu yang pindah.”
Dia benar. Nito yang pindah hari ini, bukan aku. Jadi, nggak ada alasan buatku merasa panik.
Tapi tetap saja, “Aku nggak bisa tenang!” jawabku dengan cemas. “Aku merasa pasti ada yang bakal salah… hmm.”
Akhir-akhir ini aku menyadari bahwa kemampuan Nito sangat bervariasi tergantung pada apa yang dia kuasai atau nggak.
Contohnya, jadi murid teladan di sekolah. Lebih spesifik lagi, dia hebat dalam hal dapat nilai bagus dan menjaga kata-kata serta tindakannya. Dia juga sangat berbakat dalam musik, nggak bisa dipungkiri dia jenius di bidang itu.
Tapi, dia payah dalam hal keterampilan hidup dasar, seperti bersih-bersih, masak, dan mencuci baju. Bahkan dalam persiapan pindahnya hari ini, dia kelewatan banyak hal, dan keluarganya akhirnya harus turun tangan untuk membantunya.
Apalagi, ketika dia terlalu fokus dengan pengulangan waktu. Saat tekanan untuk mengulang datang, dia bisa mengambil keputusan impulsif saat terdesak. Pikirannya begitu terpaku pada berbagai hal sehingga hal lain sering terabaikan.
Dan sekarang dia akan pindah. Sulit dipercaya kalau semuanya bakal lancar tanpa hambatan, dan kalau ada yang salah, aku merasa itu bisa jadi masalah besar. Apalagi sebentar lagi ada live performance. Kalau ada masalah sekarang, bakal berantakan...
“Yah, kalau ada yang lupa, nanti kita bantu bawa, atau beli aja yang kurang,” kata Rokuyo-senpai sambil tersenyum santai. Dia juga datang untuk mengantar Nito.
“Kita santai aja dan antarkan dia dengan tenang.”
“Hmm... mungkin kamu benar.”
Iya, meskipun ada kesalahan, nggak ada yang nggak bisa diperbaiki. Mungkin ini saatnya aku tersenyum dan mengantarnya. Tapi rasa cemas ini nggak hilang, dan aku masih gelisah.
Keluarga Nito juga hadir hari ini. Orang tuanya dan kakak perempuannya, yang wajahnya nggak terlalu mirip Nito. Seperti yang dia bilang, keluarganya terlihat sangat biasa, dan aku baru saja menyapa mereka beberapa waktu lalu—
“H-Halo... Aku Sakamoto, temannya Chika-san!”
“Oh, jadi kamu Sakamoto-kun! Kami sering dengar tentang kamu dari Chika.”
“Ah, kamu pacarnya yang dia ceritakan!”
“Terima kasih sudah menjaga Chika…”
Awalnya aku sedikit gugup bertemu mereka, tapi aku lega karena mereka sangat ramah. Mengingat ini keluarganya Nito, aku pikir mereka bakal sedikit eksentrik. Tapi ternyata, mereka sopan dan normal sekali, sampai aku bertanya-tanya bagaimana Nito bisa lahir di keluarga seperti itu.
“Tapi...” gumam Rokuyo-senpai sambil melihat ponselnya. “Mone telat.”
“...Iya, benar juga.”
Semua anggota Klub Astronomi seharusnya datang hari ini untuk mengantar Nito. Bukan perpisahan, tapi ini titik penting dalam hidup Nito, jadi kami ingin bersama-sama di sini. Tapi Igarashi-san belum muncul.
“Sudah lewat waktu yang dijanjikan. Biasanya dia paling tepat waktu…”
Dari semua anggota klub yang cenderung malas, Igarashi-san adalah yang paling disiplin. Setiap kali kami keluar bareng untuk coba berbagai aktivitas, dia nggak pernah terlambat sekalipun, dan dia selalu tepat waktu mengumpulkan tugas sekolah.
Tapi… kali ini dia nggak muncul. Padahal ini hari penting buat Nito.
“...Aku coba hubungi dia,” kataku sambil membuka ponsel dan membuka LINE. “Aku agak khawatir...”
Tinggal beberapa hari lagi sampai penampilan live Nito, dan aku sadar bahwa pertengkaran besar antara Nito dan Igarashi-san juga semakin dekat...
Aku pun mengirim pesan ke Igarashi-san, “Kamu di mana sekarang?”, dan beberapa saat kemudian muncul tanda [Read] di sebelah pesanku.
Mone: 『Maaf.』
Balasan singkat itu datang, lalu diikuti pesan lainnya.
Mone:『Aku sedikit terlambat.』
Meguri: 『Stiker VTuber terkenal yang bertanya ‘Kamu baik-baik aja?’』
Mone: 『Aku baik-baik saja. Tapi Mama lagi agak sakit.』
Mama. Ibunya Igarashi-san yang aku temui beberapa waktu lalu. Dia terlihat muda untuk usianya dan sangat akrab dengan Igarashi-san. Aku ingat dia bilang bahwa ibunya akan datang hari ini, tapi... ternyata ibunya nggak enak badan?
Meguri: 『Mau aku jemput?』
Mone: 『Nggak apa-apa. Kami bisa jalan kalau istirahat sebentar-sebentar. Aku rasa kami sampai sebentar lagi.』
Baiklah, kalau begitu aku tenang dulu. Nggak perlu terlalu khawatir.
Aku pun memasukkan ponsel ke saku dan hendak memberitahu Nito tentang pertukaranku dengan Igarashi-san.
Tapi—
“...Wah, seriusan?”
—Nito juga sedang melihat ponselnya.
Dari cara dia tiba-tiba bersuara, tampaknya dia sedang membaca pesan seseorang.
“Aduh, gimana ini... Ugh...”
“Ada apa?” tanyaku pada Nito yang terlihat panik. “Igarashi-san kirim pesan juga ke kamu?”
“Bukan, ini pesan dari Saki-chan...”
Oh, begitu ya? Kupikir tadi Nito juga khawatir soal ibunya Igarashi-san karena menerima pesan yang sama denganku...
“Apa yang Saki-san bilang?”
“Koneksi internet di apartemen katanya lagi bermasalah...” Ekspresi Nito mulai berubah suram. “Siaran langsung Saki-chan semalam gagal gara-gara itu. Dia bilang mungkin teknisi bakal dipanggil buat cek jaringan... dan kamarku mungkin sama...”
“...Oh, begitu?”
“Iya, bisa jadi parah banget...”
Ini memang bikin pusing.
Nito pindah untuk dapat kedap suara yang lebih baik dan koneksi internet yang lebih cepat, dan siaran langsung pertamanya tinggal beberapa hari lagi. Kalau koneksinya nggak lancar, semuanya bakal sia-sia.
Aku teringat apa yang Nito bilang saat double date kami—
“Kalau aku gagal di sini, bakal benar-benar parah... Integrate Mug bisa bangkrut.”
Koneksi internet adalah nyawa bagi siaran langsung Nito.
Aku nggak tahu apakah masalah yang dialami Saki-san juga bakal terjadi di kamar Nito, tapi dia pasti khawatir. Wajahnya makin lama makin suram.
“...Aku harus cek sekarang juga!” katanya sambil menatap semua orang yang berkumpul. “Kalau aku nggak bisa nyambung, bakal kacau banget… jadi aku harus cek sekarang!”
Dia jelas mulai panik. Kabar soal masalah koneksi di saat seperti ini membuatnya ketakutan. Wajahnya terlihat cemas, dan sepertinya dia mulai kehilangan kendali.
Dia menggantungkan tasnya di bahu dan berjalan ke arah stasiun Ogikubo—
“Tunggu sebentar!” Seruanku keluar dengan suara tinggi secara refleks. “Kalaupun kamu pergi sekarang, kamu nggak bisa ngapa-ngapain juga kan!? Jadi, tunggu sebentar aja?”
“Mmm, tapi lebih baik kalau aku urus secepat mungkin...”
“Igarashi-san bakal segera sampai!” rayuku. “Dia cuma terlambat sedikit karena ibunya lagi sakit. Dia bilang dia bakal sampai sebentar lagi, jadi... tolong, tunggu sedikit lagi, ya?”
Ini hari penting. Hari di mana jarak antara dua sahabat yang dulunya begitu dekat mulai terbentang lebih lebar. Hari di mana hubungan mereka berubah drastis.
Makanya Igarashi-san memaksakan diri untuk datang ke sini. Berjalan perlahan dengan ibunya yang sakit.
Setidaknya aku ingin dia melihat wajah Nito. Setidaknya aku ingin Nito menyapanya. Dan aku yakin itu bisa membantu mencegah perkelahian antara mereka berdua—
“Maaf aku telat!”
Saat itu, aku mendengar suaranya. Baru saja aku memikirkan Igarashi-san, dan di detik berikutnya aku mendengar suaranya.
“Mama tadi sempat pusing, jadi...”
“Maaf sudah bikin kalian menunggu...”
Melihat ke arah suara itu, aku melihat Igarashi-san. Keringat menetes di dahinya, dan poni basah karena dia harus menopang ibunya yang berdiri di sana seakan masih bergantung pada bahu putrinya.
“Oh, lama nggak ketemu!”
“Kamu baik-baik aja?”
“Iya, maaf... mungkin aku kecapekan gara-gara pekerjaan...”
Orang tua Nito langsung bergegas menghampiri dan mulai berbicara dengan ibu Mone. Tidak mengherankan, kedua keluarga itu memang terlihat sangat akrab. Mereka mengobrol seperti teman lama, dan orang tua Nito tampak sibuk mengurusi sahabat mereka.
Sementara itu—
“Chika, aku benar-benar minta maaf karena telat...”
—kata Igarashi-san sambil berjalan menghampiri Nito dengan senyum penuh penyesalan.
“Tapi aku benar-benar pengen ngantar kamu hari ini, tahu—Eh?” Tiba-tiba dia menyadari sesuatu. “Tunggu, sebentar… kamu tadi mau pergi ya?”
Jujur, nggak mengherankan kalau dia langsung menyadari. Tas besar yang ada di pundak Nito dan langkahnya yang sudah menuju ke arah stasiun bikin semuanya cukup jelas.
“...Iya, maaf, ada sedikit masalah,” jawab Nito kepada Igarashi-san, terdengar agak ragu. “Aku pikir aku harus pergi sekarang juga, tapi…”
Bahkan Nito, seperti yang bisa diduga, mungkin merasa agak aneh mengatakan itu langsung di hadapan Igarashi-san. Nada suaranya terdengar pelan, tidak seperti biasanya, dan dia tidak berani menatap Igarashi-san.
“Tapi! Setelah ngobrol sama Meguri, aku dengar kamu bakal segera datang, jadi aku pikir lebih baik nunggu! Jadi, nggak apa-apa kok!”
Wajah Igarashi-san tampak sedikit tegang sesaat setelah Nito selesai bicara.
Namun, ketegangan itu hilang secepat kilat, dan senyum kembali muncul di wajahnya. Setelah jeda singkat, seolah sedang menelan sesuatu, dia berkata, “Ya, kalau kamu memang harus pergi, nggak masalah kok kalau pergi duluan.”
Dia memaksakan senyum cerah dan menjaga nada suaranya tetap ringan.
“Atau, kamu harus nunggu gara-gara kami? Aduh~, maaf ya.”
“Enggak, nggak apa-apa! Aku nggak terburu-buru kok...”
“Tapi, kan kita masih bisa ketemu lagi nanti, bukan~?”
Perasaan gelisah bergejolak di perutku. Ada ketidaksesuaian antara apa yang dikatakan Igarashi-san dan ekspresinya. Bukankah dia terlalu memaksakan diri? Bukankah dia berusaha keras menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya?
“...Igarashi-san,” aku memanggil namanya sebelum bisa menghentikan diri. “Apakah... itu benar-benar baik-baik saja?”
Igarashi-san dan Nito berbalik menatapku. Aku bisa merasakan ketegangan halus di wajah mereka berdua.
Tapi aku nggak bisa berhenti.
“Apakah benar-benar baik... bersikap seperti itu sama Nito?”
“...Apa maksudmu?” suaranya tetap tenang. “Apa maksudmu dengan ‘seperti itu’? Apa yang mau kamu katakan, Sakamoto...?”
“Nito kan sahabat terbaikmu, bukan? Orang yang paling penting bagimu, kan?”
“Ya, benar.”
“Aku tahu kamu bilang ingin mencari jenis hubungan yang baru.” Kata-kataku mengalir seperti bendungan yang pecah. Mungkin aku seharusnya berhenti, tapi aku nggak bisa menahannya.
“Kamu bilang ingin mencari hubungan yang lebih baik, tapi apakah ini yang kamu maksud? Maksudku, kamu pasti ingin mengantar Nito pergi hari ini, kan? Kamu pasti ingin memastikan Nito meninggalkan Ogikubo dengan baik?”
Benar, itu masuk akal. Sahabatnya pergi dari kota tempat mereka tumbuh bersama. Dia jelas ingin berada di sana untuk itu. Itu sebabnya Igarashi-san membawa ibunya yang sakit sampai ke sini...
Aku juga pasti akan melakukan hal yang sama kalau aku berada di posisinya.
“Jadi kenapa kamu bertingkah seolah itu bukan masalah besar?”
Aku merasa gelisah sejak hari double date, saat Mitsuya-san menyatakan perasaannya padanya.
“Kamu... memaksakan diri, kan, Igarashi-san?” Aku benar-benar yakin akan itu. “Bukankah kamu memaksakan diri untuk menekan perasaanmu...?”
Hanya itu yang bisa kulihat. Dia mati-matian menekan keinginannya untuk dekat dengan Nito. Berpura-pura tidak melihat emosinya sendiri, dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Apakah itu benar-benar yang dimaksud dengan “hubungan baru”? Apakah itu yang akan membawa masa depan bahagia bagi Nito dan Igarashi-san?
Namun, ketika Igarashi-san menjawab, suaranya terdengar agak sendu.
“...Apa ada cara lain?”
Aku pikir dia mungkin akan marah padaku. Aku sudah siap untuk berdebat dan bicara sampai tuntas.
Tapi, mendengar suaranya, aku sadar mungkin aku tidak cukup memahami dirinya. Atau mungkin aku tidak memahaminya sama sekali.
“Aku yakin... ini yang dimaksud.”
“...Apa itu?”
“Aku pikir ini yang dimaksud dengan waktu yang berlalu, tahu.”
“Waktu...”
“Jadi nggak apa-apa, ini nggak bisa dihindari.”
Saat aku melihatnya, Igarashi-san tersenyum. Matanya setengah terpejam, dan dia tampak pasrah, seolah sudah menyerah pada sesuatu.
“Aku—akan menerima ini.”
Apa memang begitu caranya? Seiring bertambahnya usia, menjadi dewasa, dan mulai menempuh jalan masing-masing, apa kita harus menerima jarak yang terbuka di antara kita, baik secara fisik maupun emosional? Apa itu yang dimaksud dengan “hubungan baru”?
Aku tidak bisa memahaminya, tidak bisa setuju ataupun tidak setuju.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada mereka.
₊ ✧ ₊
“Ugh, mukamu muram banget!”
Aku kembali ke masa sekarang untuk melihat situasi. Di ruang Klub Astronomi setelah kelulusan.
Makoto yang tampak kesal langsung berkomentar begitu melihat wajahku.
“...Mukaku sebegitu muramnya?”
“Iya, beneran. Kamu kayak personifikasi kata ‘melankolis’.”
“Segitu parahnya, ya...”
Jujur, aku agak terkejut. Dulu sifat ceria dan periangku adalah satu-satunya hal yang kuandalkan... Bahkan dalam situasi sulit, aku biasanya tetap tenang dan menghindari terlalu serius. Itu adalah nilai jual utamaku.
Makoto pasti terganggu dengan hal ini. Bahwa senpai-nya yang kembali dari masa lalu tiba-tiba menjadi begitu murung.
Dia mungkin akan memarahiku, atau bahkan mendorongku pergi, sambil berkata, “Kalau kamu kayak gitu, aku pergi aja.”
Tapi saat pikiran itu mulai muncul—
“Serius, ekspresi itu nggak cocok buat kamu,” kata Makoto dengan santai. “Tolong tersenyum. Itu lebih cocok buat kamu, Senpai.”
“...M-Makoto!”
Apa yang terjadi dengannya?! Dia bilang kata-kata yang begitu baik! Ini pertama kalinya dia seserius ini menghiburku, bukan? Aku begitu terharu sampai rasanya mau menangis.
Benar... Aku bertingkah seolah-olah aku bekerja keras sendirian, tapi gadis ini ada di sini bersamaku. Makoto, yang telah melihat segalanya, ada bersamaku.
Jadi... mulai sekarang, aku akan lebih menghargainya. Seperti Igarashi-san memiliki Nito, mungkin Makoto adalah sahabat terbaikku selama ini.
“Tapi tahu nggak, muka murung kayak gitu...” Makoto melanjutkan dengan ekspresi datar. “Hanya bagus kalau dilakukan oleh cowok cantik yang lembut.”
“...Apa?”
“Hanya bagus kalau dilakukan oleh cowok kurus, berambut hitam, yang suka baca buku. Tapi kalau Senpai yang biasa-biasa aja kayak kamu yang melakukannya, itu malah bikin susah liatnya.”
“Hey, siapa yang kamu bilang biasa-biasa aja!?”
Aku juga punya sisi sensitif, tahu! Aku sering nangis waktu nonton anime!
“Tapi tetap, menurutku lebih baik kamu tersenyum. Itu lebih cocok buat kamu, tampang yang sedikit bodoh.”
“Ayo lah, nilai akademisku memang jelek, tapi jangan gitu juga dong!”
Tapi aku benar-benar berusaha keras saat mengulang, jadi tolong beri aku kredit untuk itu!
“...Haaah.”
Sebelum aku menyadarinya, aku sudah kembali menjadi diriku yang enerjik.
Aku melihat sekeliling setelah menghela napas.
Berapa kali sudah aku mengunjungi ruang klub di garis waktu sekarang? Tidak ada perubahan besar sejak terakhir kali aku datang, tapi...
“Ngomong-ngomong, bagaimana keadaannya?” Aku bertanya ragu pada Makoto. “Aku sudah mencoba banyak hal sejak terakhir kali aku di sini, tapi... ada yang berubah?”
Memang benar aku sudah mencoba berbagai hal sejak terakhir kali kembali ke masa depan. Aku berusaha keras untuk menemukan hobi bagi Igarashi-san, dan bertemu Mitsuya-san. Dia akhirnya menyatakan perasaannya pada Igarashi-san, dan apakah itu hal baik atau tidak, seharusnya ada perubahan besar.
Ada hal-hal lain yang juga aku coba pengaruhi. Seperti Nito yang menjelaskan soal kepindahannya atau Igarashi-san yang menemui Nito pada hari dia pindah. Meski tidak ada tanda-tanda masalah terpecahkan, seharusnya ada perubahan signifikan dari itu juga.
“Banyak yang berubah,” jawab Makoto dengan santai, tetap dengan sikap yang agak jauh. “Tapi nggak ada perbedaan besar.”
Jujur saja, perubahan pada Makoto ini juga jadi kekhawatiranku. Seiring aku terus mengubah masa depan, aku merasa jarak antara aku dan Makoto semakin tumbuh sedikit demi sedikit.
“Oh, bagaimana tepatnya?”
“Pertama, Nito-senpai dan Igarashi-senpai nggak bertengkar besar pada hari siaran langsung.”
“Oh, serius!?”
“Iya.”
Mendengar itu sedikit mengangkat semangatku.
“Tunggu, bukankah itu kemenangan besar? Itu berarti kita semakin dekat untuk menyelesaikan masalah, kan!?”
Tapi, “...Hubungan mereka memudar.”
“Ah...”
“Setelah siaran langsung, hubungan Igarashi-senpai dan Nito-senpai perlahan-lahan menghilang. Hasil akhirnya tetap sama seperti sebelumnya.”
“...Aku mengerti.”
Dengan kata lain, mereka hanya tidak bertengkar secara terang-terangan. Tidak ada pertengkaran dramatis, mereka hanya menjauh dan selesai. Jadi, masalahnya masih belum terselesaikan sama sekali...
Tapi aku merasa itu masuk akal juga. Igarashi-san menekan dirinya sendiri. Dia berusaha mematikan perasaannya, seolah-olah itu adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Mungkin itulah sebabnya pertengkaran itu tidak pernah terjadi. Dia tidak membiarkan perasaannya meledak keluar, dan hanya menjauh dari Nito... Hanya permukaannya yang berubah. Masalahnya jelas masih ada.
“Haah...” Aku menghela napas lagi dan mulai berpikir. “Apa yang harus aku lakukan...?”
Hanya tinggal beberapa hari lagi sampai siaran langsung di garis waktu yang lain.
Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki ini sebelum saat itu tiba? Bagaimana aku bisa menjadi penengah di antara mereka berdua...?
“Oh, benar.” Aku punya ide, dan menoleh ke Makoto. “Bolehkah aku... minta pendapatmu soal apa yang bikin aku khawatir sekarang?”
“...Pendapatku?”
“Iya.”
Makoto sudah banyak membantuku sebelumnya. Setiap kali aku butuh saran, dia selalu punya ide-ide yang luar biasa. Mungkin Makoto akan punya cara untuk mengubah keadaan kali ini juga!? Dia juga cewek, jadi dia seharusnya lebih tahu soal hubungan antar cewek daripada aku.
“...Aku bisa coba,” kata Makoto ragu.
Tapi Makoto—Makoto yang duduk di depan kursi di depanku—terlihat sangat tidak antusias.
“Aku... Aku nggak tahu semua orang dengan baik, jadi aku nggak tahu apakah aku bisa kasih saran yang bagus...”
Dia nggak tahu banyak. Yah, wajar saja... Mungkin Makoto nggak sering datang ke ruang klub di garis waktu ini. Aku menduga dia nggak banyak bergaul dengan anggota klub lain selain aku. Tapi sekarang bukan saatnya untuk membahas itu.
“Um, jadi pertama, mari kita bicara tentang hubungan antara Igarashi-san dan Nito...”
Untuk saat ini, aku memberikan gambaran singkat kepada Makoto tentang semua yang sudah terjadi sejauh ini. Tentang hubungan di antara mereka berdua, dan bagaimana Igarashi-san sedang berusaha mencari mimpinya. Juga, bagaimana Igarashi-san tiba-tiba menjadi lebih menahan diri setelah semua itu—
“Oke, aku paham,” Makoto menarik napas panjang setelah aku selesai bercerita. “Aku ngerti situasinya, tapi...”
Dia menyilangkan tangan dan mulai berpikir… Sebelum akhirnya menyerah dan menoleh ke arahku.
“Maaf, sepertinya aku nggak bisa menemukan solusi cepat untuk ini...”
“Ya, aku ngerti.”
Wajar sih. Dia bukan detektif dadakan, jadi nggak adil kalau aku berharap dia bisa langsung menemukan solusinya hanya dengan mendengar cerita. Aku harus lebih hati-hati. Mungkin aku terlalu sering mengandalkan Makoto selama ini.
“Maaf ya, kayaknya aku terlalu berharap banyak. Maksudku, wajar kalau kamu nggak tahu jawabannya.”
“Iya, maaf, tapi...” Makoto menundukkan kepala. “Ada satu hal yang agak menggangguku.”
“Apa itu?”
“Itu soal Igarashi-senpai yang berusaha mencari ‘impian’nya,” katanya sambil menghela napas pelan, lalu menyandarkan pipinya di tangannya. “Kelihatannya Igarashi-senpai benar-benar yakin kalau dia harus menemukan satu. Dan kayaknya kamu juga nggak mempertanyakannya, Senpai...”
Makoto menatap keluar jendela, memandangi pemandangan Ogikubo di sore musim semi itu.
“Apa itu memang perlu?” gumamnya, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Aku suka hidup santai, tahu. Nonton V-tuber favoritku, main game, dan hidup seperti dulu, sebelum semua ini berubah...”
Kata-katanya membekas di hatiku. Hidup tanpa obsesi terhadap apa pun—seperti tiga tahun yang sudah kulewati bersama Makoto.
“Apa itu benar-benar buruk...?” katanya pelan, tanpa menatapku.
“Apakah hidup yang penuh gairah dan indah adalah satu-satunya bentuk masa muda yang layak dijalani?”
₊ ✧ ₊
Setelah itu, aku kembali ke masa lalu dan terus berinteraksi dengan mereka berdua, mencoba mencari tahu apa yang harus dilakukan. Tapi, aku masih nggak menemukan jalan keluar. Hingga pada hari Jumat, saat siaran langsung, sesuatu yang tak terduga terjadi.
₊ ✧ ₊
Aku mendengar langkah kaki yang tergesa-gesa dari lorong. Seseorang sedang berlari menuju ruang klub di mana aku, Igarashi-san, dan Rokuyo-senpai sedang bersantai.
Nito nggak ikut kegiatan klub hari ini karena siaran langsungnya dijadwalkan mulai pukul 8 malam.
Bingung dengan apa yang sedang terjadi, kami saling bertukar pandang—
“Permisi, aku masuk!”
Tanpa mengetuk, pintu terbuka dengan cepat.
“...Ah, di sini rupanya, Igarashi-san!”
Chiyoda-sensei berdiri di sana, terengah-engah.
“Ada apa...?” Igarashi-san, yang sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya, berdiri dari kursinya dengan wajah bingung. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Ibumu...”
Chiyoda-sensei menelan ludah, melihat wajah cemas Igarashi-san.
“Aku baru mendapat telepon bahwa ibumu pingsan di tempat kerja.”
Post a Comment