NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ashita Hadashi de Koi Volume 2 Chapter 6

 Penerjemah: Chesky Aseka 

Proffreader: Chesky Aseka


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Chapter 6: Apa Itu Kamu?


Ibunya Mone, Anri Igarashi-san, dibawa ke rumah sakit di pusat kota dekat stasiun terminal.

“...Aku rasa semuanya akan baik-baik saja,” kata Igarashi-san saat kami naik kereta, tubuhnya sedikit bergoyang saat kereta mulai melaju lebih cepat. “Ini sudah beberapa kali terjadi sebelumnya, dan biasanya Mama pulih setelah beberapa waktu. Aku rasa nggak akan ada masalah besar.”  

Namun, meski dia berkata begitu, keringat dingin terlihat di dahinya, dan wajahnya lebih pucat dari biasanya.  

Saat itulah aku menyadari kalau Igarashi-san adalah tipe orang yang sering memaksakan dirinya. Seharusnya aku menyadarinya lebih cepat. Meskipun dari luar tidak tampak, Igarashi-san selalu berusaha terlalu keras.


₊ ✧ ₊


“Aku akan langsung pergi ke rumah sakit,” kata Igarashi-san begitu dia mendengar pesan dari Chiyoda-sensei, wajahnya pucat. “Rumah sakit yang mana? Rumah sakit umum? Atau yang dekat kantornya?”  

Aku bisa melihat dia berusaha tetap tenang. Aku juga bisa melihat dia mati-matian berusaha tidak panik.  

“Di rumah sakit Okubo, yang dekat stasiun.”  

“Aku akan cari informasinya. Kalau di sana, mungkin lebih cepat kalau naik kereta.”  

Namun, gerakannya sangat goyah saat dia mengumpulkan barang-barangnya, dan langkahnya tidak seirama.  

“Ah, aku ikut sama kamu!” kataku tanpa pikir panjang, berdiri dari kursiku. “Aku khawatir kalau kamu pergi sendirian, jadi aku ikut!”  

“...Oke, terima kasih.”  

Chiyoda-sensei mengangguk serius.  

“Hati-hati di jalan, jangan sampai terjadi kecelakaan. Hubungi aku segera kalau ada sesuatu yang terjadi.”  

“Aku sudah cek rutenya dan kukirim ke LINE kalian berdua,” kata Rokuyo-senpai sambil melihat ke arah ponselnya. “Aku rasa naik kereta yang paling cepat tiba dan pakai peta dari stasiun ke rumah sakit adalah cara terbaik.”  

“...Terima kasih banyak.”  

Igarashi-san menundukkan kepala, memandang satu per satu wajah kami.  

“Itu sangat membantu. Baiklah, kalau begitu kami berangkat.”


₊ ✧ ₊


Pemandangan sepanjang jalur Chuo mengalir perlahan di luar jendela kereta.  

Jika melihat jauh ke arah tenggara, aku bisa mulai melihat kumpulan gedung pencakar langit di pusat kota sekunder Shinjuku di balik bangunan-bangunan yang lebih rendah.  

Mereka disinari oleh sinar matahari yang condong, memantulkan cahaya kuning lembut, membuat mereka terlihat seperti monumen yang memperingati sesuatu.  

“Tahu nggak, orang tuaku bercerai waktu aku masih kecil,” kata Igarashi-san tiba-tiba. “Sejak itu aku selalu tinggal sama Mama.”  

“...Oh, jadi begitu ceritanya.”  

Ini pertama kalinya aku mendengar dia bicara soal ini. Kami nggak pernah benar-benar membahas soal keluarga masing-masing, dan aku sama sekali nggak tahu tentang keluarganya Igarashi-san. Tapi sekarang setelah dia menyebutkannya, aku baru sadar kalau dia nggak pernah bicara soal ayahnya.  

“Itulah kenapa rumah kami kecil, dan kami nggak punya kamar terpisah atau apa pun. Kami selalu bersama sepanjang waktu.”  

“...Ah, aku paham.”  

“Pagi-pagi itu susah, kayak rebutan kamar mandi dan lain-lain...”  

“Ahaha, iya, kejadian kayak gitu biasa sih.”  

Semuanya tiba-tiba terasa masuk akal. Aku ingat beberapa kali melihat betapa berharganya keluarga bagi Igarashi-san. Mulai dari cara dia membantu ibunya membawa barang, mendengar dia mencuci piring lewat telepon, dan perhatian detail yang dia berikan saat memasak. Mungkin itu sebagian berasal dari kepribadiannya, tapi aku yakin situasi keluarganya juga berpengaruh.  

“Tapi, kamu tahu, bukan berarti semuanya sulit,” kata Igarashi-san dengan nada datar. “Mama benar-benar merawatku dengan baik. Aku nggak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Sebenarnya, mungkin aku malah terlalu disayang, ya? Rasanya memalukan kadang, tapi setiap hari selalu menyenangkan.”  

“Aku bisa lihat itu.”  

Aku nggak pernah melihat bayangan ketidakbahagiaan di wajah Igarashi-san saat dia bersama ibunya. Mereka tampak seperti memiliki hubungan ibu-anak yang harmonis. Sebenarnya, aku malah merasa mereka mungkin lebih akur dibanding keluarga Sakamoto yang selalu bertengkar.  

“Tapi, kamu tahu…” Igarashi-san menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan. “Aku rasa aku sudah terlalu membebani dia.”  

“Membebani?”  

“Mama sangat ahli dalam pekerjaannya, dan dia sudah sering mendapat promosi di perusahaannya.”  

“Ah, dia memang terlihat seperti seseorang yang bisa menangani pekerjaannya dengan baik.”  

Kesan yang kudapat dari ibunya bukan hanya glamor dan cantik, tapi juga sangat terampil. Aku merasa dia mungkin memegang posisi tinggi di perusahaan besar atau semacamnya.  

“Iya, kan?” Igarashi-san tertawa bangga. “Tapi stamina Mama nggak banyak, jadi kadang-kadang dia mencapai batasnya dan tubuhnya mulai menurun. Tapi dia tetap bekerja keras untukku. Soalnya, aku ingin masuk sekolah kejuruan...”  

“...Iya.”  

Igarashi-san memang akan melanjutkan ke sekolah desain tiga tahun lagi. Biaya sekolah itu mungkin lebih mahal dibanding masuk universitas negeri atau langsung bekerja.  

“Makanya aku bilang aku ingin kerja paruh waktu, tapi dia selalu mati-matian melarangku.”  

“Hah, kenapa...?”  

“Dia ingin aku mengalami hal-hal yang hanya bisa kulakukan saat masih muda. Katanya, dia punya banyak kebebasan saat SMA, jadi dia ingin aku juga punya pengalaman yang sama.”  

“...Ah, aku paham.”  

Aku mengangguk dan menarik napas panjang.  

Dan—  

“Dia ibu yang luar biasa, ya.”  

—Aku mengutarakan pikiranku dengan tulus. Itu adalah hal pertama yang terlintas setelah mendengar ceritanya.  

“Mamamu benar-benar orang yang hebat.”  

“Aku tahu, kan?” Igarashi-san mengangguk setuju, tersenyum getir. “Dia memang ibu yang baik… Jadi…”  

Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi sebelum dia sempat, kereta tiba di tujuan kami. Kami segera turun dan menuju pintu keluar stasiun.


₊ ✧ ₊


Begitu kami sampai di rumah sakit, seorang dokter segera membawa Igarashi-san ke ruang pemeriksaan. Sepertinya mereka menunggu untuk memberi tahu kondisi ibunya.  

Sementara itu, aku hanya bisa menunggu di lobi. Aku mencoba mengisi waktu dengan melihat-lihat ponselku dan membaca majalah yang ada di sana, tapi aku tetap merasa gelisah. Aku berusaha menenangkan diri, tapi tetap aja nggak bisa.  

Lebih parahnya lagi, Igarashi-san belum juga kembali meskipun aku sudah menunggu sekitar dua puluh hingga tiga puluh menit. Kegelisahanku semakin bertambah setiap detik yang berlalu.  

Apakah kondisinya cukup serius? Apakah nyawanya terancam…? Aku nggak tahan lagi, jadi aku berdiri dari kursiku untuk memeriksanya.  

Tapi saat aku hendak melangkah—  

“Terima kasih banyak.”  

—Igarashi-san keluar dari ruang pemeriksaan.  

Dia menundukkan kepala sebagai ucapan terima kasih kepada dokter, melihatku, lalu berjalan ke arahku.  

“...Hah.”  

Dia menarik napas panjang dan duduk di bangku.  

“...Gimana hasilnya?” tanyaku dengan gugup. “Apa ibumu akan baik-baik saja?”  

“Hmm, kami bicara banyak soal itu.”  

“Iya?”  

“Dan, singkatnya…”  

“Iya, terus gimana...”  

Aku menelan ludah, tanganku mengepal erat saat aku menatap mata Igarashi-san—  

“Sepertinya dia akan baik-baik saja,” kata Igarashi-san dengan desahan lega. “Katanya kekebalan Mama melemah karena kelelahan, dan beberapa hal terjadi bersamaan gara-gara itu… Tapi nggak ada yang terlalu serius.”  

“...Oh, aku mengerti.”  

Aku membiarkan tubuhku bersandar ke sandaran bangku.  

“Aku lega sekali...”  

“Maaf sudah membuatmu khawatir...”  

“Nggak, nggak, nggak apa-apa, jangan pikirin aku.”  

“Ya, tapi mereka bilang kondisi Mama sekarang nggak begitu baik, jadi dia akan tetap di rumah sakit untuk sementara waktu, dan ada beberapa prosedur dan persiapan yang perlu dilakukan...”  

“Ah, ya, masuk akal.”  

Oh, jadi itu sebabnya dia lama, karena semua prosedur itu dijelaskan ke Igarashi-san.  

Untuk kami yang masih SMA, pembicaraan semacam itu bisa jadi cukup berat. Tapi aku juga tahu Igarashi-san tipe orang yang selalu berusaha menangani semuanya sendiri.  

“...Kamu tahu kalau kamu bisa mengandalkan orang lain untuk hal-hal seperti itu, kan?”  

Aku mencoba mengatakan itu sambil melihat-lihat situasinya sedikit.  

“Nggak apa-apa kok mengandalkan aku, Rokuyo-senpai, atau bahkan keluarga Nito… Jangan terlalu banyak mikir, langsung aja bilang kalau kamu butuh bantuan.”

Terus terang, kita ini sebenarnya masih anak-anak. Kemampuan kita jauh di bawah orang dewasa, dan seharusnya kita dilindungi oleh masyarakat. Karena itu, menurutku lebih baik minta bantuan kepada orang lain dalam situasi seperti ini.  

Aku ingin Igarashi-san melakukan hal yang sama.  

“Iya, aku paham. Aku akan mengandalkanmu,” katanya.  

“Baik.”  

“Mungkin Mama nggak bisa melakukan itu, makanya dia sampai seperti ini.”  

“...Iya.”  

Kami saling mengangguk dan terdiam.  

Aku bisa mendengar bunyi hummm dari peralatan medis di suatu tempat, dan petugas resepsionis memanggil pasien berikutnya.  

Beberapa waktu lalu, berada di dekat Igarashi-san terasa canggung, tapi sekarang, bahkan dalam keheningan, aku merasakan kenyamanan berada di dekat seorang teman.  

“...Hei, Sakamoto.” Suara Igarashi-san bergetar saat menyebut namaku. “Aku akhirnya… menyadarinya.”  

Aku menatap Igarashi-san. Aku melihat setetes air mata jatuh dari sela-sela bulu matanya yang tertata rapi. Dia buru-buru menghapusnya dengan jarinya, tapi air matanya terus mengalir, perlahan merusak maskara dan eyelinernya.  

“Aku menyadari... tidak, mungkin bukan begitu. Mungkin aku sebenarnya sudah tahu sejak awal. Mungkin aku tahu, tapi pura-pura nggak sadar...” kata-katanya keluar bersamaan dengan air matanya.  

Lalu, dia menatapku, menghapus air matanya lagi.  

“Aku… sebenarnya sudah punya sesuatu yang penting buatku,” katanya sambil tersenyum tipis. “Itu bukan sesuatu yang harus kuperjuangkan dengan putus asa, atau sesuatu yang bisa membuatku terhanyut. Itu adalah sesuatu yang benar-benar nggak bisa aku hidup tanpanya… Aku sudah punya itu.”


Sesuatu yang harus diperjuangkan. Sesuatu yang bisa menyerap seluruh perhatian kita.  

Itulah yang selama ini kami cari, aku dan Igarashi-san.

Dan rasanya aku secara nggak sadar telah mendorongnya ke sudut yang sulit selama ini.

“Sebenernya, aku nggak mau berubah,” katanya langsung. “Aku cuma pengen hidup bahagia bareng Mama, menikmati hari demi hari… dan menghargai hidup yang aku punya sekarang.”

“...Aku ngerti.”

Ah, rasanya semua tiba-tiba jadi jelas. Kata-kata itu... gimana ya bilangnya... sangat cocok dengan Igarashi-san. Bagi Igarashi-san yang belakangan ini terlalu memaksakan diri, kata-kata yang dia ucapkan tadi benar-benar berarti.

“Chika yang jadi terkenal karena musiknya, kamu yang jadi astronom, dan Rokuyo-senpai yang punya perusahaan… aku nggak harus seperti itu. Aku nggak bisa melakukannya, dan aku juga nggak mau mencoba... aku cuma pengen mencintai hidupku yang seperti ini.”

“...Iya.”

“Tau nggak?” Igarashi-san menatapku sambil tersenyum dengan riasan yang mulai luntur. “Gimana rasanya senang cuma karena berhasil bikin sarapan enak. Rasanya puas ngeliat piring-piring yang tertata rapi di rak pengering. Betapa bangganya aku waktu bisa nyiapin makan malam buat Mama yang pulang capek di malam hari…”

Seharusnya aku sudah tahu. Aku benar-benar ngerti kebahagiaan yang seperti itu.

“Rasa canggung waktu pakai baju Mama buat keluar rumah, atau langit senja yang aku tatap dalam perjalanan pulang, atau perasaan senang ketemu Mama di jalan itu… itulah yang nyata buatku.”

Dan Igarashi-san tahu itu lebih baik dari siapa pun. Dia menghargai kebahagiaan itu. Baginya, itu sudah cukup, dan mungkin dia sebenarnya nggak butuh yang lain.

Aku teringat apa yang Makoto bilang, “Apakah hidup yang penuh gairah dan indah satu-satunya jenis masa muda yang layak dijalani?”

Tentu saja tidak. Setiap orang punya jawabannya sendiri, dan mengejar itu mungkin adalah hal yang terbaik.

Igarashi-san seharusnya baik-baik saja sejak awal. Menyadari hal itu sudah cukup.

“Itulah kenapa mulai sekarang aku ingin menghargai hal-hal itu. Aku ingin menikmati mereka setiap harinya. Itu… kebahagiaan terbesar buatku.”

“Aku paham…”

Aku mengangguk dan menarik napas dalam-dalam.

“...Maaf, untuk semuanya.”

Saat memikirkan masa lalu, aku merasa ingin meminta maaf padanya.

“Mungkin aku yang paling menyakitimu, Igarashi-san. Aku terus mendorongmu untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya nggak kamu inginkan.”

“Nggak, nggak begitu.” Mata Igarashi-san melebar terkejut, dan dia menggelengkan kepalanya. “Bukan begitu. Aku yang salah. Kamu cuma mengikuti apa yang aku mau. Kalau ada yang salah, aku yang seharusnya minta maaf. Lagipula…”

Dia tersenyum lagi.

“Kamu kan udah bilang, supaya aku nggak terlalu memaksakan diri atau menekan perasaanku.”

“...Iya, aku bilang begitu.”

“Awalnya, aku agak kesal karena itu. Aku sempat marah, mikir apa yang harus aku lakukan dengan kata-katamu itu.”

“Hah, jadi kamu benar-benar marah waktu itu…”

Aku memang sudah menduganya, tapi tetap saja…

Igarashi-san jelas menyembunyikan amarahnya waktu itu. Tapi mendengarnya langsung seperti ini cukup mengejutkan.

“Jadi... sebenarnya kamu, Sakamoto, yang pertama kali menyadarinya. Yang bilang kalau aku salah…”

Igarashi-san menarik napas cepat.

Rasanya dia akhirnya kembali jadi dirinya yang biasa.

“Aku rasa akan menyenangkan kalau aku bisa terus berhubungan baik dengan Chika seperti ini ke depannya.”

“...Iya.”

“Aku nggak tau apa yang akan terjadi, dan mungkin akhirnya nggak akan berhasil, tapi kita lihat aja nanti. Aku oke dengan itu.”

“...Aku ngerti.”

“Jadi, pencarianku untuk impian berakhir di sini.”

Dia menatapku langsung saat mengatakannya. Dan dengan senyuman paling tulus yang pernah dia tunjukkan padaku, dia berkata, “Terima kasih, semuanya menyenangkan. Nongkrong bareng dan mencoba berbagai tantangan.”

“Iya, aku juga senang.”

“Nongkrong lagi yuk suatu saat nanti, kalau kamu mau, Sakamoto.”

Melihat senyum rileksnya dan mendengar cara bicaranya, aku berpikir, Dia sudah menemukan jawabannya.

Hubungan baru antara Igarashi-san dan Nito yang selama ini aku cari—sudah ditemukan oleh Igarashi-san. Ini adalah jawabannya.

Tapi, aku masih belum selesai. Bukan hanya Igarashi-san yang perlu menemukan jawabannya. Masih ada satu orang lagi yang harus menemukannya juga…

Di masa depan yang aku datangi, Igarashi-san dan Nito bertengkar besar hari ini. Atau, sebagai alternatif, Igarashi-san akan memutuskan untuk membiarkan hubungan mereka menghilang begitu saja.

Pasti ada masalah juga di pihak Nito, dan sikapnya terhadap Igarashi-san.

Aku rasa aku perlu melihatnya lagi dengan lebih jelas...

“Baiklah.”

Sekarang atau tidak sama sekali.

Aku berdiri dari bangku dan memeriksa ponselku—hampir jam 7 malam.

Kalau aku berangkat sekarang, aku masih bisa sampai tepat waktu.

“Aku... akan pergi sebentar.”

“...Iya.”

Sepertinya dia langsung paham maksud dari beberapa kata itu.

Igarashi-san menatapku dan mengangguk.

“Hati-hati, Sakamoto.”

“Kamu yakin bisa di sini sendirian?”

“Iya, aku akan kasih kabar kalau ada apa-apa.”

“Baiklah... sampai nanti.”

“Iya, hati-hati.”

Igarashi-san melambai padaku saat aku mulai berjalan pergi.

Gesturnya entah kenapa terasa sangat menenangkan. Rasanya seperti dialah yang mendorongku untuk maju, dan aku nggak bisa menahan senyum.


₊ ✧ ₊


“Eh, kamar nomor berapa, sih?!”

Aku tiba di tempat Nito. Gedung apartemen yang baru dia tempati, dan tempat dia akan memulai siaran langsungnya.

Tapi, saat berdiri di depan pintu masuk, aku sudah kebingungan.

“Sial… aku pikir bakal inget pas nyampe sini, tapi aku lupa ada kunci otomatis!”

Aku dihadapkan dengan keypad numerik di mana aku harus memasukkan nomor kamar. Awalnya, aku berencana mengetik nomor kamar Nito dan membuat kesan keren, sambil bilang sesuatu seperti, “Nito! Aku datang untuk bicara denganmu!”

“Lantai tiga... aku inget itu. Tapi kamarnya 302 atau bukan ya? Hmm…”

Aku benar-benar nggak bisa ingat. Aku sempat mengunjungi kamar Nito sebentar beberapa hari lalu, tapi aku lupa nomor kamarnya.

“Aduh, nggak percaya aku bisa tersandung masalah kayak gini!”

Yang perlu kulakukan cuma ngomong sama Nito! Aku hanya perlu memberi tahu apa yang terjadi sekarang dan membiarkan dia memikirkan perasaannya sendiri!

Ini memang khas aku, selalu terjebak dalam situasi seperti ini. Maksudku, hal-hal seperti ini cuma terjadi saat aku berusaha terlihat keren!

“Haruskah aku menelepon Nito? Tapi dia mungkin nggak bisa jawab karena siarannya hampir mulai...”

Aku memeriksa waktu—30 menit lagi sebelum siaran dimulai.

Dia mungkin sedang bersiap-siap sekarang, jadi kemungkinan dia nggak akan menyadarinya.

Nito biasanya juga nggak meletakkan ponselnya di dekatnya...

“Baiklah, nggak ada pilihan lain!”

Aku memutuskan untuk mengandalkan instingku dan menekan tombol “302”.

Aku menekan tombol panggilan!

Bunyi bel berbunyi, dan setelah jeda singkat, suara bingung terdengar dari speaker, 『...Ya?』

Itu suara yang salah. Jelas bukan suara Nito. Suaranya serak dan tenang, nggak seperti suara Nito yang lembut dan ceria.

Oh, sial! Aku salah memanggil apartemen orang lain! Mungkin lagi jam makan malam juga...

Tapi—

『Tunggu, kamu pacarnya…』

—Orang di seberang speaker sepertinya mengenaliku.

『Kamu pacarnya Nito-senpai, kan?』

“...Hah? Oh, iya, benar.”

『Um... ini aku.』Pemilik suara itu tampak sedikit rileks. 『Saki, si streamer.』

“A-Ah, oh! Senang bertemu lagi!”

Itu Saki-san. Rekan Nito dari Integrate Mug. Dia adalah orang yang aku temui saat pindah ke sini beberapa hari yang lalu.

Ah, pantesan, aku nggak sengaja menekan kamar sebelah Nito…

『Kamu datang untuk ketemu Nito-senpai, kan?』tanya Saki dari seberang pengeras suara.『Siaran langsungnya sebentar lagi.』

“Iya! Aku ada hal yang ingin kubicarakan dengannya.”


『Aku akan bukakan pintunya untukmu.』

Saat Saki bilang begitu, pintu otomatis di depanku terbuka.

『Kamar Nito-senpai nomor 303, jadi kamu bisa ke sana.』

“Mengerti, terima kasih banyak!”

Aku membungkuk dalam ke arah kamera dan bergegas ke aula lift.


₊ ✧ ₊


“...Ada apa?”

Aku sampai di apartemen Nito. Dia sudah berdiri di depan pintu kamarnya, tempat siaran langsung yang sudah disiapkan.

“Kamu butuh sesuatu...?”

Napasku sempat terhenti sejenak.

Dia sudah dalam mode NITO. Dari tatapannya yang mantap, ekspresinya yang tenang. Dari suaranya yang rendah, hingga gaun hitam yang dia kenakan. Dan yang paling terasa, auranya. Suasana di sekelilingnya benar-benar berbeda dari saat dia biasanya berada di ruang klub.

Aku pernah melihatnya berkali-kali selama kehidupan SMA-ku yang pertama. NITO, sang musisi, yang hanya bisa aku lihat melalui video online. Sekarang, dia ada tepat di depanku.

Aku melirik ke ruang tamu dan melihat keyboard serta mikrofon yang sudah disiapkan. Di sampingnya ada laptop dan peralatan pencahayaan.  

Di sana ada dua orang lain—Minase-san dan seorang pria seusianya, yang tampak sedang sibuk dengan sesuatu. Mungkin dia adalah staf dari Integrate Mug.  

Aku merasa sedikit tertekan. Sebuah siaran langsung yang akan menentukan nasib agensi ini akan segera dimulai. Tak perlu dijelaskan, aku sangat takut mencampuri hal ini dan membuat kekacauan.  

Namun, aku teringat masa depan di mana Nito menghilang dan keputusasaan yang kurasakan saat itu. Jika ini bisa mencegah hal itu, jika ini bisa melindunginya, aku rela maju sekarang.  

“Aku ingin bicara denganmu,” kataku sambil menatapnya langsung. “Ini penting, jadi tolong dengarkan.”  

“Tapi siaran akan segera dimulai,” kata Nito sambil kembali menuju kamarnya. “Apa gak bisa nanti saja?”  

“Aku ingin bicara sekarang!”  

Aku tidak bisa menahan suaraku, dan dengan cepat mengejarnya.  

Minase-san dan pria itu menatap kami terkejut, tapi aku tidak bisa berhenti.  

“Aku benar-benar butuh bicara. Jadi, beri aku sedikit waktu.”  

Nito menatapku sejenak, lalu kembali ke ruang tamu.  

“...Minase-san, Yano-san, boleh aku bicara dengannya sebentar?”  

“Tidak masalah buatku, tapi bagaimana dengan peralatannya, Yano-kun?”  

“Tidak apa-apa. Latihan sudah selesai, kita hanya perlu menyesuaikan beberapa hal setelah siaran dimulai.”  

“Terima kasih.”  

Nito membungkuk pada mereka berdua.  

Kemudian dia duduk di kursi di depan keyboard, yang tampaknya akan digunakan untuk siaran langsung.  

“...Apa yang ingin kamu bicarakan?” Dia menatapku dan memiringkan kepalanya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat terburu-buru?”  

Aku menarik napas dalam-dalam dan menatapnya kembali.  

“Ibu Igarashi-san pingsan,” kataku langsung. “Dia dibawa ke rumah sakit dengan ambulans, dan aku menemani Igarashi-san.”  

Sejenak suasana hening. Ketegangan di ruang tamu seolah bisa dipotong dengan pisau.  

“...Begitu.”  

Namun suaranya terdengar mengejutkan tenang. Suara Nito seperti biasa. Tidak... sebenarnya terdengar lebih datar dan dingin dari biasanya.  

“Bagaimana kondisinya?”  

“Yah, sepertinya dia baik-baik saja. Dia harus tinggal di rumah sakit sebentar, tapi nyawanya tidak dalam bahaya.”  

“Aku senang mendengarnya,” ucap Nito dengan singkat. “Terima kasih sudah memberitahuku. Kalau ada waktu, aku akan menjenguknya.”  

Dia tidak tampak terkejut atau terpukul sama sekali.  

Setelah jeda singkat, aku menyadari sesuatu. Ah, benar... Nito pasti sudah tahu dari awal. Dia tahu bahwa ibu Igarashi-san akan pingsan hari ini. Dan juga tahu bahwa nyawanya tidak dalam bahaya.  

Dia terus mengulang waktu SMA-nya. Melalui tiga tahun yang sama berulang kali. Dia pernah bilang bahwa kejadian-kejadian dalam setiap putaran bisa berubah, dan itu benar, tapi... mungkin ada hal-hal yang tetap sama. Khususnya, hal-hal yang tidak bisa dikendalikan oleh Nito. Seperti kejadian di dunia dan cuaca. Masalah kesehatan ibu Igarashi-san mungkin bukan sesuatu yang bisa diubah oleh Nito.  

Jadi, Nito tidak mendengar kabar ini untuk pertama kalinya.  

“...Jadi begitu.”  

Aku merasa banyak hal mulai terasa masuk akal.  

Ini pasti alasannya. Mengingat bagaimana keadaan Nito saat ini, ini pasti alasan lain mengapa hubungannya dengan Igarashi-san hancur. Nito tidak tahu bahwa sikapnya akan menyebabkan keretakan, meskipun dia tahu tentang rawat inap ini dari pengalamannya. Dia bilang ini pertama kalinya dia sukses sedini ini dalam satu putaran, jadi ini pertama kalinya dia mendengar kabar ini dalam situasi yang penuh tekanan, dan tanpa sadar bereaksi seperti ini terhadap “peristiwa” tersebut. Dengan siaran langsung yang akan segera dimulai dan fakta bahwa dia sudah tahu situasinya, responsnya tetap saja kering dan terlepas.  

Hal itu mungkin juga terjadi ketika berurusan dengan Igarashi-san. Dia berinteraksi dengan Igarashi-san, yang sangat terluka, sebagai musisi NITO dan tetap tenang. Dari sudut pandang Igarashi-san, mungkin terasa seperti dia sedang dijauhkan. Akibatnya, mereka bertengkar hebat, atau hubungan mereka perlahan-lahan memudar. Entah yang mana.  

Jika memang begitu, sekarang aku tahu inti masalah antara keduanya.  

Dan apa yang harus kulakukan sudah jelas.  

“...Dengar aku, Nito.” Aku mencoba mengulurkan tanganku lagi. “Dengar aku bukan sebagai musisi, tapi sebagai sahabat Igarashi-san!”  

Nito menatapku lagi. Dia tidak memahami apa yang kumaksud, dan memiringkan kepalanya bingung.  

“Orang tua Igarashi-san sudah bercerai, kan?” aku melanjutkan, “Ibunya sangat baik padanya. Itulah kenapa dia sangat mencintai kehidupannya sehari-hari. Kamu tahu bagaimana dia mencoba banyak hobi baru belakangan ini, bukan? Tapi pada akhirnya... dia menyadari bahwa yang benar-benar penting hanyalah hari-hari biasa yang berlalu. Dia ingin menghargai waktu yang dia habiskan bersama ibunya...”  

Nito hanya menatapku tanpa bicara. Wajahnya tenang, mengingatkanku bahwa dia masih dalam mode musisi.  

“Itulah mengapa ketika ibunya pingsan, itu sangat memukulnya.”  

Saat aku mengucapkan itu, aku merasa ekspresi Nito sedikit berubah.  

“Tentu, ternyata ini bukan masalah besar. Nyawanya tidak dalam bahaya, dan kurasa dia akan segera kembali ke kehidupan normalnya. Tapi... aku tidak bisa berhenti berpikir betapa takutnya dia. Dia hampir kehilangan satu-satunya orang tua yang paling penting baginya...”  

Hanya membayangkan itu saja membuat dadaku sesak. Bahkan saat aku membayangkan sesuatu terjadi pada orang tuaku, aku merasa bulu kudukku berdiri. Itu datang dari seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang sangat biasa, dan tidak benar-benar merasakan banyak rasa syukur kepada orang tua.  

Jadi, kejutan yang diterima Igarashi-san dan ketakutan yang dia rasakan... pasti sangat besar.  

“...Aku akan bicara dengannya nanti.”  

Namun Nito masih tetap sebagai NITO.  

Dengan suara pelan, dia menjawab, “Aku tidak tahu apakah besok atau awal minggu depan, tapi aku pasti akan bicara dengannya...”  

“Kalau itu yang kamu pikirkan sebagai sahabatnya, Nito, aku tidak masalah,” aku menegaskan lagi. “Tapi itu bukan masalahnya, kan? Kamu sedang mendengarkanku sebagai musisi saat ini, bukan?”  

Aku tahu ini tidak bisa dihindari. Nito akan tampil dalam siaran langsung yang akan menentukan masa depan agensi. Aku tidak bisa menyalahkannya karena bereaksi seperti ini.  

Jadi, “Ini permintaan dariku.” Yang bisa kulakukan hanyalah memohon. “Hanya untuk sesaat, bisakah kamu memikirkannya sebagai sahabat Igarashi-san?”  

Mata Nito melebar.  

“Hanya untuk sesaat, bisakah kamu memikirkannya sebagai teman masa kecilnya? Bisakah kamu memikirkannya sebelum siaran langsung dimulai?”  

Kata-kata itu, kata-kataku, membuat aura Nito tampak goyah. Dan kemudian... ekspresinya melembut. Pipi kaku itu memerah, dan kilauan kembali ke matanya, yang baru saja tampak begitu beku.  

Dia berkedip dua atau tiga kali dan menghela napas kecil.  

“...Minase-san!” Itu suara Nito yang asli lagi. Suara yang sedikit ceria dan bernada tinggi, seperti yang selalu kudengar di ruang klub.  

“Permisi, berapa menit lagi sebelum siaran dimulai!?”  

Minase-san melirik jam dan menjawab singkat, “Um... sekitar lima belas menit.” Dia menambahkan, “Tidak apa-apa jika terlambat lima menit. Bahkan, keterlambatan mungkin akan membuatnya lebih seru.”  

“Terima kasih!”  

Nito membungkuk dengan penuh rasa syukur dan dengan cepat mengambil ponsel dari meja di sampingnya. Lalu, dia dengan cepat menggeser jarinya di layar dan menempelkannya ke telinganya.  

“...Ah, Nito-san!”  

Pria yang sejak tadi diam—Yano-san, seingatku namanya—mengangkat suaranya.  

“Maaf, ponsel itu! Itu masih terhubung dari tes audio sebelumnya, jadi semua suara mungkin akan keluar!”  

Seperti yang dia katakan—nada panggilan LINE mulai terdengar dari speaker yang ada di ruangan.  

Namun Nito hanya meliriknya dan menjawab, “Tidak apa-apa!”  

Dengan sekali klik, panggilan terhubung.  

“Mone!?”  

Nito, yang tepat di sampingku, berteriak begitu keras hingga aku terkejut.  

“Meguri sudah memberitahuku! Kamu ada di mana sekarang!? Kamu baik-baik saja!?”  

Wajah Nito berubah pucat. Itu adalah ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya.  

Setelah jeda singkat, suara Igarashi-san terdengar dari pengeras suara.  

〖Ah, um... Rumah Sakit Okubo. Jangan khawatir. Keadaannya sudah terkendali sekarang...〗  

“Kamu masih di sana!?”  

〖Iya, aku baru selesai dengan pembayaran, lalu aku akan pulang—〗  

“—Aku akan datang sekarang juga!” seru Nito sambil berdiri dari kursinya. “Aku juga akan datang, jadi tunggu aku!”  

Minase-san tampak tersentak dan menatapnya. Pria lain—aku yakin namanya Yano-san—juga terlihat tegang saat melihat Nito.  

〖Hah, sekarang?〗  

“Iya, aku akan datang.”  

〖Chika, kamu datang ke sini?〗  

“Iya! Aku hanya perlu ke lobi, kan?” ucap Nito sambil meraih tas yang ada di sampingnya dan mencoba meninggalkan ruangan.  

Namun—  

〖Chika, kau punya siaran langsung sebentar lagi, kan?〗 suara Igarashi-san terdengar tenang. 〖Tidak apa-apa, fokus saja pada itu...〗  

“Tapi, itu tidak penting sekarang!”  

〖Chika, siaran langsung ini bukan hanya tentang dirimu.〗  

“Tidak apa-apa, aku tidak peduli dengan itu sekarang!”  

Mendengar itu, Igarashi-san terdiam sejenak.  

Minase-san dan Yano-san menatap dengan cemas.  

Lalu—  

〖Apa yang kamu bicarakan!?〗  

—Sebuah suara keras terdengar. Begitu kerasnya hingga mengejutkan kami, dan hampir memecahkan pengeras suara.

〖Chika, kamu sendiri yang bilang kalau siaran langsung ini penting! Katamu, kamu nggak boleh gagal sama sekali!〗  

“T-Tapi, aku...”  

〖Kita berdua punya hal yang harus kita lakukan, tahu!〗  

Meski Nito berusaha mati-matian menahan lewat kata-kata, Igarashi-san sama sekali tak bergeming.  

〖Aku akan urus Mama, dan aku akan baik-baik saja! Jadi, Chika, lakukan apa yang perlu kamu lakukan!〗

Merasakan intensitas dalam suara Igarashi-san, Nito tampak kewalahan dan jatuh kembali ke kursinya.  

“...A-Aku mengerti.” Dia mengangguk pelan. “O-Oke, aku akan lakukan siaran langsung ini... Tapi, aku akan menyanyikan lagu untukmu, Mone! Kalau bisa dengar, dengarlah! Aku akan menyanyikan ini untukmu dan Mamamu!”  

〖...Terima kasih.〗  

Suara Igarashi menjadi lebih lembut, benar-benar berbalik 180 derajat dari sebelumnya. Terlihat jelas, setidaknya bagiku, bahwa Igarashi-san sedang tersenyum di ujung telepon sana.  

“Aku akan datang begitu selesai!”  

〖Baiklah. Aku akan menunggu.〗  

“Oke. Aku bicara lagi nanti. Sampai jumpa.”  

Dengan itu, Nito mengakhiri panggilan. Dia mengunci ponselnya dan meletakkannya kembali di atas meja.  

“...Maaf, yang tadi aku katakan itu egois.” Pertama-tama, dia meminta maaf kepada Minase-san dan Yano-san. “Aku terlalu khawatir, jadi ingin membatalkan siaran langsung dan pergi mengecek kondisinya... Maafkan aku.”  

“...Tidak, tidak apa-apa.” Minase-san menggeleng, memandang Nito seperti seorang kakak yang peduli pada adiknya.  

“Mari kita berikan yang terbaik untuk siaran ini...”  

“...Iya!”  

Igarashi-san telah berubah. Dia menemukan siapa dirinya dan apa yang paling penting baginya. Dan karena itu, Nito juga bisa berubah. Dia bisa menghadapi Igarashi-san sebagai sahabat terbaik. Inilah—hubungan baru mereka.  

“...Baiklah.” Nito mengangguk, ekspresinya berubah. “Mari kita lakukan ini. Kita akan memastikan ini berhasil.”  

Dia memancarkan aura ketegasan. Wajahnya tenang, mulutnya mengencang, dan matanya menyipit dengan pandangan yang tajam.  

Tapi, kenapa? Kenapa dia masih tampak memiliki aura yang sama seperti Nito yang biasa?  

Seolah-olah aku sedang menghirup udara yang sama dengan Nito, seperti saat aku melihatnya bertelanjang kaki di ruang klub.  

“...Semangat,” kata-kata itu keluar begitu saja. “Lakukan yang terbaik, Nito.”  

“Iya.”  

Saat Nito menatapku, dia mengangguk pelan dan tersenyum.


 ✧ ₊



Di awal siaran, jumlah penonton langsung mencapai 10.000 orang. Semua itu, untuk siaran langsung pertama NITO.  

Penampilannya di ruang tamu akan segera dimulai.  

Di bawah pencahayaan redup yang lembut, dia tampak dalam keadaan fokus yang luar biasa, baik ketika melihatnya melalui monitor atau dari jarak dekat dengan mataku sendiri.

Kolom komentar langsung meledak dengan cepat, bersamaan dengan jumlah penonton yang terus meroket.  

Sejauh yang bisa kulihat, tidak ada masalah dengan koneksi. Setidaknya untuk saat ini, tampaknya masalah yang mengganggu Saki-san beberapa waktu lalu tidak terjadi.

Dia berhenti sejenak, menundukkan kepala. Lalu, saat dia mengangkatnya, dia mendekatkan wajahnya ke mikrofon.  

“Senang bertemu dengan kalian.” Itu adalah kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya. “Aku NITO. Senang bertemu dengan kalian.”  

Aku bisa merasakan bulu kudukku meremang. Yang dia lakukan hanyalah memperkenalkan diri. Yang dia lakukan hanyalah menyebut namanya. Namun, aku merasakan gelombang emosi yang besar. Jantungku berdetak begitu keras hingga aku khawatir suaranya akan terdengar di siaran langsung.  

Aku tak bisa bergerak sedikit pun, dan setetes keringat mengalir di punggungku.  

Lalu, entah kenapa—

“...Maaf.”  

—Dia meminta maaf, lalu tertawa.  

“Walaupun aku sudah mengumpulkan kalian semua di sini... hari ini, aku ingin menyanyikan lagu untuk satu orang teman. Untuk sahabat yang sudah bersama denganku sejak kecil.”  

Sahabat yang sudah bersamaku sejak kecil. Ah, benar, hal itu pasti sama saja bagi Nito, baik dia sebagai NITO maupun Nito. Kenyataannya, itu adalah sesuatu yang tidak pernah berubah. Tapi dia sempat salah paham. Sampai sekarang, dia terlalu terpaku pada apa yang ada di depannya, dan tanpa sadar melepaskannya. Namun kali ini berbeda. Kali ini, Nito menggenggam tangan itu dengan erat.  

“Jadi, kalau kalian tidak keberatan,” lanjut Nito dengan suara yang ringan, “aku akan menyanyi sepenuh hati, jadi tolong dengarkan sampai akhir.”  

Dan saat itu, aku menyadarinya. Ini adalah pertama kalinya Nito, sebagai NITO, tersenyum di depan publik. Ini adalah pertama kalinya dia menunjukkan senyuman itu kepada orang lain, baik di masa SMA pertamanya maupun di putaran keduanya ini.  

Kolom komentar ramai sekali. Hampir semua reaksinya positif, dan jumlah penonton melonjak lagi, membuat jantungku berdegup kencang.  

“Baiklah, tolong dengarkan…” kata Nito, dan siaran langsung pertamanya pun dimulai.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close