NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Boku no Kokoro no Yabai Yatsu Volume 1 Chapter 1

Penerjemah: Tensa 

Proffreader: Tensa 


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


 Chapter 1: Sekine Moeko Melangkah Maju


Liburan musim panas kelas 3 SMP─

Kami memutuskan untuk mengadakan kamp belajar.

Anggotanya adalah:

Aku, Moe alias Sekine Moeko.

Anna alias Yamada Anna.

Serina alias Yoshida Serina.

Bayashiko alias Kobayashi Chihiro.

Dan satu-satunya laki-laki... ah bukan. Dia memang laki-laki. Apa istilahnya kalau laki-laki? Satu-satunya titik hitam? Atau harem sederhana? Yah, terserahlah.

Pokoknya, satu-satunya cowok di antara kumpulan cewek—Icchi.

Icchi alias Ichi... lho?

Gawat. Siapa nama lengkap Icchi, ya? Padahal harusnya aku pernah memanggilnya beberapa kali, tapi kok lupa total! Belakangan ini aku selalu memanggilnya Icchi, sih. Aduh, agak tidak sopan, nih. Maaf ya, Icchi.

Yah, bagaimanapun juga.

Begitulah, lima orang yang terdiri dari empat cewek dan satu cowok menjadi anggotanya.

“Nah, mari kita mulai rapatnya,” kataku sambil memegang minuman, meski sebenarnya aku tidak bermaksud mengambil alih.

Hari ini kami berkumpul di restoran cepat saji langganan untuk membahas rencana kamp belajar.

Yang hadir adalah aku, Serina, dan Bayashiko.

Aku juga mengajak Anna, tapi sepertinya dia ada acara hari ini.

Katanya dia diajak ke rumah Icchi oleh kakak perempuan Icchi.

...Sejak kapan mereka jadi akrab begitu?

Karena Anna tidak datang, rasanya agak aneh kalau mengajak Icchi, jadi rapat hanya dihadiri kami bertiga.

“Waktu rapat sebelumnya, kita tidak banyak membahas, ya.”

“Ahaha, maaf, ya. Adik-adikku jadi terlalu bersemangat waktu kalian datang,” Bayashiko meminta maaf ringan.

Kami memang pernah mengadakan rapat kamp sekali sebelumnya di rumah Bayashiko. Waktu itu Anna dan Icchi juga hadir. Tapi akhirnya kami malah bermain dengan adik-adik Bayashiko, jadi tidak banyak hal konkret yang bisa dibahas.

“Hmm, tanggalnya sudah ditetapkan empat hari mulai tanggal 13, kan... Selanjutnya kita perlu membahas transportasi dan masalah uang, ya?”

“Soal uang, dibagi lima orang saja. Aku, Yamada, Serina-chan, Moe-chan... lalu Ichikawa-kun...” Bayashiko menghitung dengan jarinya, lalu tiba-tiba wajahnya berubah heran.

“...Kalau dipikir-pikir lagi—kenapa ada Ichikawa-kun, ya?”

Dia benar-benar baru memikirkannya sekarang.

“Hm? Ada masalah kalau Icchi ikut?”

“Bukan masalah, sih... tapi aneh, kan? Kenapa cuma Ichikawa-kun sendiri yang cowok... Kita akan tinggal di bawah satu atap selama tiga malam, lho? Rasanya ada banyak masalah...”

Waduh...

Dia baru menyadarinya sekarang, ya.

Kupikir kita sudah tidak membahas ini lagi.


“Ya-yah, mungkin Icchi bisa berguna. Soalnya kalau pergi ke pantai, pasti banyak yang menggoda, kan? Anna juga ikut, lho.”

“Ichikawa-kun pasti tidak bisa diandalkan,” ujar Bayashiko dengan tegas.

Aduh... kita pernah membahas ini sebelumnya!

Waktu pulang beli baju renang, aku, Anna, dan Serina membicarakan hal ini. Saat itu Anna yang membela Icchi, tapi sekarang dia tidak ada.

Be-berarti... aku yang harus melakukannya?

Kok rasanya aku selalu disuruh membela, sih?

“Omong-omong,” Serina membuka mulut saat aku sedang berpikir harus bagaimana.

“Kamp kali ini kan ide Moe-chan dan Ichikawa. Kita cuma numpang ikut rencana kamp belajar mereka berdua... Jadi rasanya tidak pantas mempermasalahkan keikutsertaan Ichikawa.”

“Oh iya, ya. Kita memang yang belakangan memutuskan untuk ikut,” Bayashiko tampak setuju.

“Lagipula, Ichikawa juga... mungkin tidak selemah itu, kok,” tambah Serina, seperti berusaha membela.

Hmm.

Hmmm.

“...Apa?”

“Enggak apa-apa~”

Saat aku terus menatapnya, Serina menyadari tatapanku dan balas memelototiku.

Entah kenapa, ya.

Sepertinya Serina sudah menyadari tentang mereka berdua.

Anna dan Icchi.

Mereka berdua... akhirnya pacaran.

Jadi sepasang kekasih.

Sepertinya di sekolah, hanya aku yang tahu soal itu. 

─Kau pikir Moe bisa diam saja!?

─Iya, kupikir begitu.

─Makanya aku memanggilmu.

...Kalau dibilang begitu, aku tidak bisa diam saja. Dasar Icchi. Biasanya dia pengecut, tapi kadang-kadang bisa menunjukkan sisi kelaki-lakiannya juga.

Pokoknya, hubungan mereka berdua masih dirahasiakan dari orang-orang sekitar.

Tapi yah...

Mereka berdua cukup mudah ditebak.

Rasanya orang-orang akan segera menyadarinya.

Serina juga sepertinya sudah menyadarinya.

Tapi Bayashiko sama sekali tidak menyadarinya.

“Tapi rasanya aneh, ya. Moe-chan yang tidak suka digoda cowok, terasa segar,” kata Bayashiko seolah baru teringat sesuatu.

“Padahal dulu kamu sangat ingin digoda cowok.”

“Ah tidak... itu kan dulu. Sekarang aku calon peserta ujian.”

Hmm. Sepertinya imejku sudah terlanjur seperti itu, ya.

Yah, ini memang akibat perbuatanku sendiri, sih.

“Oh, karena ujian, ya... Benar juga. Hmm. Yah, tapi, begitu ya,” kata Bayashiko sambil terlihat sedikit malu.

Dia berbicara sambil berpikir.

“Dari awal, Moe-chan sepertinya tidak terlalu serius ingin punya pacar.”

Itu kata-kata yang sangat biasa, benar-benar biasa.

Aku berpikir, “Eh?”

Tapi sebelum aku sempat bertanya, Bayashiko sudah berkata, “Nah, ayo kita mulai rapat yang serius,” dan memulai rapat tentang kamp belajar.

Aku juga ikut rapat.

Tapi di dalam hatiku, muncul perasaan aneh yang mengganjal.


Dengan berkonsentrasi, rapat selesai kurang dari 30 menit.

Setelah itu, kami pergi membeli baju renang untuk Bayashiko yang kemarin tidak ikut, dan bubar saat sore hari.

Saat aku berjalan berdua dengan Serina setelah berpisah dengan Bayashiko yang berbeda arah─

“...Ada apa?”

“Hm? Apanya?”

“Tidak, kamu... sepertinya tidak banyak bicara.”

“Ng... sedikit melamun.”

Aku berusaha bersikap seperti biasa, tapi sepertinya dia menyadarinya.

“Serina... apakah menurutmu Moe berbohong saat bilang ‘Aku mau pacar~’?”

“Maksudmu yang tadi dikatakan Bayashiko?”

Serina berpikir sejenak, lalu berkata,

“Aku tidak berpikir itu bohong... tapi rasanya ada kesan seperti pura-pura.”

“Pura-pura...”

“Seperti sengaja berpura-pura gampangan sambil melihat reaksi orang sekitar. Padahal Moe-chan sebenarnya tidak semudah itu, kan.”

“Eeh... begitu ya? Padahal Moe ini cukup suka main, lho?”

Aku pura-pura tidak tahu─tapi sedikit deg-degan.

Pura-pura.

Hmm, yah, mungkin tidak bisa dibilang sama sekali tidak ada unsur pura-puranya.

Ada bagian yang kumainkan juga.

Aku memang sedikit berperan sebagai karakter yang ‘ingin punya pacar’.

Bukan bohong, tapi ada sedikit hiperbola.

Bersikap seperti itu di antara teman-teman─cukup menyenangkan. Daripada benar-benar ingin punya pacar, lebih tepatnya aku menikmati saat-saat berteriak “Aku mau pacar~” bersama teman-teman perempuan...

...Rasanya agak memalukan kalau mengakuinya.

Tapi tidak, tidak semuanya pura-pura kok.

Aku memang benar-benar ingin punya pacar!

“Dengan si Nanpai juga, aku hampir berhasil, lho? Kupikir aku bisa mendapatkannya kalau serius setelah ditolak Anna. Yah, tapi aku menyerah karena kasihan pada Mamiya-senpai.”

“Entahlah. Mengingat sifatmu, Moe-chan, bukankah kamu akan mundur sendiri di tengah jalan meski tanpa Mamiya-senpai? Lagipula─kamu tidak terlalu serius dengan Nanjou-senpai, kan?”

“Eh? Padahal aku cukup serius mengincarnya, lho? Bagaimanapun dia cukup tipeku.”

“Kamu hanya mengincarnya─bukan berarti kamu menyukainya, kan?”

“......”

Aku tidak bisa membalas.

Aku memang mengincarnya.

Cukup serius mengincarnya.

Dia tampan dan tinggi, sifatnya memang terlihat playboy, tapi justru itu yang kusukai. Kupikir dia cocok untuk main-main sebentar.

Tapi.

Kalau ditanya apakah aku menyukainya, sulit untuk mengangguk.

Aku coba mendekatinya sedikit, tapi ternyata Nanpai sama sekali tidak memperhatikanku.

Lalu, aku sadar bahwa meski terlihat playboy, ternyata dia tidak seplayboy itu.

Karena itu aku langsung mundur, tapi—aku sama sekali tidak merasa kecewa atau apa pun.

“Ah... maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud menyalahkanmu. Aku tidak berpikir sikapmu itu buruk, kok,” kata Serina dengan nada sedikit menyesal, mungkin karena aku terdiam.

“Malah aku bermaksud memujimu... Kamu terlihat emosional tapi ternyata cukup tenang, itulah yang khas Moe-chan.”

“...Ah, sudahlah. Cukup sampai di situ.”

Aku menghentikannya karena merasa dia akan mengatakan hal-hal yang semakin memalukan.

“Entahlah, aku sendiri jadi bingung. Tapi bukankah ini hal yang cukup normal? Ingin punya pacar sebelum acara. Mendekati cowok yang menarik perhatian. Mengincar dua atau tiga orang sekaligus. Kalau tidak berhasil, langsung move on. Ini hal yang biasa saja, kan?” kataku sambil menghela napas.

“Tidak semua orang mengalami cinta murni yang polos. Dimulai dari cinta sepihak, saling menyukai sedikit demi sedikit, dengan gelisah mengurangi jarak, lalu bersemangat dengan perasaan ‘kamu yang paling kucintai di dunia ini’... Cinta murni yang manis seperti itu hanya ada di dunia manga shoujo—”

Di tengah-tengah perkataanku, aku tersadar.

Dimulai dari cinta sepihak.

Saling menyukai sedikit demi sedikit.

Dengan gelisah mengurangi jarak.

Bersemangat dengan perasaan ‘kamu yang paling kucintai di dunia ini’.

Orang-orang yang mengalami cinta murni yang sangat polos seperti itu.

Ada, cukup dekat denganku.

Aku melihat perkembangan hubungan mereka berdua dari dekat.


Kesan pertamaku tentang Icchi... hmm.

Kesan pertama... hmm.

Tidak ada.

Ya, tidak ada. Benar-benar tidak ada.

Aku tidak punya kesan yang cukup kuat untuk bisa diingat sebagai kesan pertama.

Rasanya seperti tiba-tiba ada cowok pemalu di dekatku.

Yah, kami memang se-SD... tapi aku hampir tidak punya ingatan tentangnya. Aku tahu dia ada di SD yang sama, tapi sepertinya kami hampir tidak pernah bicara. Aku hanya punya ingatan yang sangat, sangat samar tentangnya.

Begitulah keberadaannya bagiku.

Setelah kami sekelas di SMP, rasanya dia sering berada di dekat kami saat Adachi dan yang lain mengajak kami bicara.

Atau kalau tidak dekat, dia memperhatikan kami dari jauh.

Mungkin dia pikir dia menyembunyikannya, tapi aku tahu dia pasti sedang menguping.

—Ah... ini baru hak untuk negosiasi, bukan keputusan final.

—Whoa, dia bicara!

Pertama kali kami bicara di SMP mungkin saat pembagian kelompok untuk kunjungan kerja.

Yah, aku tidak tahu apakah itu bisa disebut percakapan.

Aku terkejut karena cowok pemalu yang biasanya tidak bicara tiba-tiba bicara, dan lebih terkejut lagi karena dia terus bicara panjang lebar setelah itu.

—Kalau begitu, kasih tahu LINE-mu ya, Icchi☆

—I...

Pertama kali aku memanggilnya Icchi adalah saat kami bertukar kontak.

Saat aku mengajaknya bicara, reaksinya sangat jelas kikuk. Ketika aku menunjukkan sedikit pemahaman tentang otaku, dia tiba-tiba terlihat sangat senang... Hei hei, jangan-jangan cowok pemalu ini jatuh cinta pada Moe? Aku sempat berpikir begitu—

Tapi.

Itu hanya sesaat.

Saat aku memperhatikannya, aku langsung tahu.

Oh, cowok ini jatuh cinta pada Anna.

—Aku... mungkin... suka. Pada Yamada...

—Aku tahu! ...Tapi kamu tahu, itu sangat jelas terlihat, lho?

31 Desember.

Saat pulang dari restoran keluarga tengah malam, akhirnya aku mendengarnya langsung dari mulutnya.

Icchi jatuh cinta pada Anna.

Cukup serius.

Saat aku menyadarinya, jujur saja—awalnya aku merasa kasihan.

Kasihan.

Kasihan karena dia mengalami cinta yang tidak mungkin terwujud.

Kasihan karena dia jatuh cinta pada orang yang tidak sebanding dengannya.

Mungkin dia terpesona oleh wajah dan tubuh Anna, sama seperti cowok-cowok lain. Anna kadang-kadang tanpa sadar bersikap terlalu akrab dengan orang lain, mungkin itu membuat Icchi salah paham?

Memang Icchi terlihat lebih akrab dengan Anna dibanding cowok-cowok lain... tapi apa dia pikir dia punya kesempatan? Sifat Anna yang polos dan tanpa sadar menarik perhatian cowok, sejujurnya agak membuatku tidak nyaman... Ah, Icchi juga dipermainkan oleh kepolosannya sendiri, kasihan.

Awalnya aku berpikir seperti itu.

Tapi, perlahan-lahan aku mulai menyadari.

Lho? Ada yang aneh dengan mereka berdua.

Icchi sepertinya bukan hanya sekadar mengikuti tren, tapi memiliki perasaan yang luar biasa kuat—dan.

Anna juga sepertinya tidak keberatan.

Bukan hanya tidak keberatan, tapi malah cukup serius.

Saat berhadapan dengan Icchi, wajahnya berubah menjadi ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Ekspresi yang tidak pernah dia tunjukkan di depan teman-teman perempuannya.

—Eh.

—Mereka sudah melakukannya?

Perlahan, tapi pasti.

Kedua orang itu mulai mengeluarkan aura yang tidak biasa.

Aura yang terlalu polos sampai-sampai aku yang melihatnya jadi malu sendiri.

—Oya~~? Sedang mencari sesuatu?

—Ah. Benar juga. Hari ini aku ada urusan di rumah Anna!

—Mau kutemani?

Pada hari bersalju di semester tiga, aku sedikit membantu mencari gantungan kunci anjing.

Aku tidak tahan melihat Icchi yang mencari sesuatu dengan payung sambil kepalanya tertutup salju dan salah satu lengannya yang terluka masih digantung, jadi aku pun membantunya.

Aku tidak tahu detailnya—tidak tahu kenapa dia mencarinya dengan begitu putus asa, tapi pasti itu hal yang sangat penting bagi mereka berdua.

Kalau dipikir-pikir... posisiku selalu seperti itu.

Aku samar-samar menyadari hubungan mereka, tapi tidak pernah masuk terlalu dalam.

Aku hanya melihat dari dekat saat mereka perlahan-lahan mendekatkan jarak.

Aku tidak mengganggu, tapi juga tidak mendukung.

Aku hanya memberi bantuan saat benar-benar tidak tahan melihatnya, tapi pada dasarnya aku berusaha untuk tidak terlibat terlalu jauh.

Bukan karena aku ingin menghormati hubungan mereka.

Yah, bukan berarti perasaan itu sama sekali tidak ada... tapi itu bukan alasan utama.

Yang paling utama adalah—

Karena aku tidak tahu harus berbuat apa selain mengawasi.

Soalnya.

Aku belum pernah mengalami cinta yang begitu tulus dan murni seperti ini.

Meskipun sehari-hari aku selalu mengumbar keinginan punya pacar, dan di antara teman-teman aku berperan sebagai karakter yang berpengalaman dalam cinta—tapi sebenarnya, aku tidak tahu.

Aku benar-benar tidak tahu.

Cinta murni yang begitu polos seperti ini, aku hanya pernah melihatnya di manga.

Hubungan mereka terlihat begitu suci dan menyilaukan... aku merasa tidak pantas menyentuhnya dengan enteng.


Malam hari itu—

“Moeko~?”

Saat aku sedang belajar di kamarku, kakakku mengetuk pintu.

“Boleh masuk?”

“Hm~ masuk saja~”

Kakakku masuk ke kamar.

Rambut hitam berantakan, kacamata simpel yang sepertinya hanya berfungsi untuk membantu penglihatan. Baju tidur yang sudah usang dan kusut. Tubuhnya kurus dan jangkung, bungkuk dan bahu terkulai.

Kakakku yang biasa.

Mahasiswa otaku yang terlihat biasa-biasa saja.

“Oh. Ternyata sedang belajar...”

“Yah, namanya juga calon peserta ujian,” kataku sambil meletakkan pena.

“Hm. Hebat juga adikku ini. Omong-omong, kau ingin masuk sekolah mana?”

“Ah... itu masih dalam pertimbangan. Pokoknya ke sekolah yang oke lah.”

Aku tersenyum samar.

Soal sekolah yang benar-benar kuincar, aku belum bilang ke orang tua atau kakakku.

SMA swasta ternama—SMA afiliasi Universitas Ouka.

Aku belum bisa bilang ke orang tuaku kalau aku mengincar SMA swasta dengan nilai standar yang cukup tinggi itu.

...Soal kamp belajar juga, aku hanya bilang ke orang tua kalau aku “bermalam dengan teman-teman perempuan”. Aku tidak bilang kalau ada laki-lakinya juga. Orang tuaku cukup memberi kebebasan, jadi mereka tidak terlalu menyelidiki.

“Terus, ada apa Kak?”

“Ah, tidak ada hal penting. Aku cuma bosan, jadi kupikir mau main game atau tidak.”

“...Oh, boleh. Ayo main.”

“Boleh, nih? Kalau kau sedang belajar, aku akan pergi.”

“Ayo main, ayo. Aku juga lagi pengin istirahat sebentar.”

Kebetulan aku baru saja menyelesaikan satu bagian dari buku latihan soal.

Kami menuju ke kamar kakakku.

Kamar yang biasa saja dengan pajangan figur dan poster anime dan game.

Benar-benar kamar otaku.

Sudah dari dulu seperti ini, jadi aku tidak merasa aneh lagi.

“Kakak pakai karakter cewek lagi?”

“Bukan ‘pakai’. Ini wujud asliku.”

“Ih, dasar otaku, menjijikkan~. Hmm, kalau gitu Moe pakai karakter cowok yang paling ganteng ini, deh!”

“...Moeko juga tidak berubah ya dari dulu.”

Kami terus mengobrol sambil bermain game pertarungan.

Kakakku yang karakternya sangat berbeda dari Moe.

Otaku yang benar-benar otaku, bahkan terkesan sedikit kuno.

Tapi, dari dulu hubungan kami cukup baik.

Kami memang tidak sengaja pergi berdua atau apa, tapi kami sering membicarakan manga dan anime, juga main game bersama.

Yah, iya... soalnya Moe ini gal yang bisa memahami otaku!

Aku ini adik yang sangat baik, bahkan pada kakak yang tidak menonjol seperti ini.

“Gimana kuliahnya, Kak?”

“Seperti biasa. Semua anggota klub sedang sekarat mengerjakan naskah untuk Comiket musim panas.”

“Pacar?”

“...Sepertinya tidak ada tanda-tanda akan dapat,” jawabnya dengan suara lesu.


Tapi segera setelah itu, dia memperbaiki posisi kacamatanya dan melanjutkan dengan cepat.

“Ya-yah, mau bagaimana lagi. Orang otaku sepertiku ini... Mungkin kalau aku sedikit mengurangi hobi otakuku, kesempatan berinteraksi dengan perempuan akan meningkat, tapi ada hal-hal yang tidak bisa kulepaskan. Aku tidak perlu menjilat perempuan sampai harus membunuh jati diriku sendiri.”

“Ah tidak, sekarang jadi otaku bukan poin minus, lho. Hobi otaku itu sudah biasa banget.”

Aku melanjutkan sambil tetap fokus ke layar.

“Teman Moe juga ada, lho? Cowok yang punya pacar super cantik padahal dia otaku.”

Tidak perlu kusebutkan—aku bicara tentang Icchi.

Otaku... yah, mungkin memang Icchi itu otaku, ya.

Tapi bukan berarti itu masalah besar, sih.

Akhir-akhir ini, rasanya tidak ada diskriminasi hanya karena seseorang itu otaku.

“...Hm? Kak?”

Saat itulah aku menyadari.

Karakter yang dikendalikan kakakku benar-benar berhenti bergerak.

Saat kulihat ke samping, tangannya yang memegang kontroler gemetaran.

“Ada ap—”

“...Berhenti memukulku dengan argumen logis!”

Tiba-tiba kakakku berteriak.

Lalu dia melanjutkan dengan suara yang penuh emosi yang sulit diungkapkan.

“Hentikan, hentikan... Aku tahu, aku tahu... Alasan aku tidak bisa dapat pacar bukan karena hobi otakuku, tapi karena masalah kepribadianku sendiri... Tapi... Setidaknya biarkan aku menyalahkan hobi otakuku... Biarkan aku beralasan ‘karena aku otaku’ saat tidak bisa bicara lancar dengan cewek...!”

Dia berbicara cepat sambil meledakkan emosinya.

“Sekarang, di dunia ini otaku sepertinya sudah mendapat pengakuan... Cewek-cewek juga menikmati anime dan game seperti biasa, bahkan menari dan merekam ending tipe dance dari anime tengah malam di kampus... Semakin banyak orang yang memahami hobi otaku... Seolah-olah dunia sudah menjadi tempat yang nyaman untuk otaku... Tapi bukankah itu berarti kita kehilangan alasan untuk beralasan!?”

Wah.

Dia tidak berhenti, terus berlanjut.

“Soal tidak bisa dapat pacar, atau tidak bisa bergaul dengan baik dengan anak-anak populer... Bukankah ini seperti dibilang bahwa semua itu bukan karena hobi otaku tapi karena kepribadian kita sendiri...! Kenapa, kenapa... Setidaknya biarkan kami beralasan sedikit... Masyarakat yang membuat kita sepenuhnya bertanggung jawab atas ketidakpopuleran kita, menurutku itu agak... Itu tidak baik...!”

“......”

Sepertinya aku telah menginjak ranjau.

Kakak yang merepotkan.

Bukan otakunya yang merepotkan, tapi kakak ini yang merepotkan.

“Haah... Omong-omong,”

Setelah menghela napas panjang yang seolah penuh dengan emosi terpendam yang tidak bisa diungkapkan, kakakku melanjutkan dengan nada yang entah kenapa terdengar tegang.

“Ba-bagaimana de-dengan Moeko? Akhir-akhir ini... a-ada seseorang yang seperti pacar...?”

“Tidak ada.”

“Be-begitu, ya... Tidak ada, ya.”

Kakakku terlihat lega.

Hei, jangan lega begitu.

Jangan berpikir kalau aku juga tidak populer sepertimu.

Aku dan kakak itu sangat berbeda.

“Belum ada cowok yang sepadan dengan Moe, sih. Lagipula, tahun ini aku harus fokus pada ujian.”

“Hmm...”

Kakakku menghela napas penuh arti dan berkata,

“Ujian ya, aku jadi nostalgia.”

Dia melanjutkan dengan pandangan menerawang di balik kacamatanya.

“Ujian pertamaku adalah ujian masuk SMP. Ayah yang menyarankannya, dan aku merasa harus melakukannya... Jujur, setiap hari terasa berat.”

Kedua orang tua kami memang aktif mendukung ujian kakakku, tapi ayah yang lebih bersemangat.

Mereka tidak memaksa kakakku yang tidak mau... tapi karena mereka mendukung dengan sepenuh hati, kurasa itu juga memberi tekanan tersendiri.

“Itu artinya kamu sangat diharapkan, kan. Aku iri~”

“Bukan... Aku hanya punya kelebihan di bidang akademik. Aku payah dalam olahraga, dan tidak punya teman di SD... Ibu juga pasti khawatir. Dia sering bilang kalau SMP negeri mungkin tidak cocok untukku.”

“......”

“Sedangkan Moeko, dari dulu selalu bisa melakukan apa saja dengan baik. Ibu dan ayah juga dalam arti tertentu mempercayaimu yang pintar dan punya kemampuan komunikasi yang bagus.”

“...Entahlah~”

Kakakku mengikuti ujian masuk SMP dan masuk ke SMP swasta.

Dia terus melanjutkan ke SMA dan universitas swasta.

Sementara aku—tidak mengikuti ujian masuk SMP dan masuk ke SMP negeri.

Orang tuaku tidak menyarankanku untuk ikut ujian, dan aku juga tidak mengusulkannya.

Ayah dan ibu bilang, “Tidak seperti kakakmu, Moeko pasti akan baik-baik saja di sekolah mana pun.”

...Entahlah.

Bukan berarti... aku tidak suka SMP negeri.

Bukan berarti aku sangat ingin ikut ujian masuk SMP.

Bukan berarti aku punya perasaan kompleks terhadap perbedaan perlakuan antara aku dan kakakku.

Hanya saja.

Ada sedikit sesuatu yang mengganjal di hatiku.

Kalau waktu SD aku bilang “Aku juga mau ikut ujian masuk SMP”, apa yang akan terjadi, ya... Perasaan seperti penyesalan itu tidak sepenuhnya hilang.

“Moeko,” kata kakakku tiba-tiba.

Dengan nada yang agak serius.

“Kalau ada yang ingin kau katakan, kurasa kau bisa mengatakannya lebih banyak.”

“...Hm? Apa maksudnya? Menurutku Moe sudah cukup banyak mengatakan apa yang ingin dikatakan, kok?”

“Memang benar, tapi... kau punya kebiasaan menahan diri di bagian yang paling penting.”

“......”

Dia bicara seolah-olah tahu segalanya.

Padahal dia kakakku.

Ah tidak.

Mungkin justru karena dia kakakku.

“Kau masih belum cukup umur untuk belajar menahan diri. Aku juga, kalau sudah bekerja nanti, berniat untuk memberi uang ke rumah.”

“Kakak berniat tetap tinggal di rumah meski sudah bekerja?”

“...Aku tidak merasa perlu pindah. Mengapa tidak memanfaatkan sepenuhnya keuntungan memiliki rumah di tengah kota?”

Kakakku berbicara seolah-olah sulit mengatakannya.

Mungkin saja—dia entah bagaimana menyadarinya.

Bahwa aku ingin mengikuti ujian masuk sekolah swasta.

Dan bahwa aku belum bisa mengatakannya pada orang tua.

...Dia menunjukkan kepekaan di tempat yang aneh. Rasanya senang, tapi juga sedikit kesal karena ini sangat khas kakakku.

Tapi.

Kakakku sedikit salah paham.

Bisa dibilang dia terlalu tinggi menilaiku.

Aku bukannya menahan diri karena memikirkan orang tua.

Hanya saja—aku tidak bisa melangkah maju.

Aku membuat alasan untuk diriku yang tidak bisa melangkah maju, seperti keluarga kami bukan orang kaya, atau orang tuaku mungkin tidak berharap banyak dariku.

Atau bahwa semua orang akan lebih bahagia jika Moe menjadi anak baik yang bisa membaca situasi.


Keesokan harinya—

Karena sepertinya akan mencurigakan kalau terus belajar di rumah, aku pergi ke perpustakaan sekolah.

...Belajar untuk ujian diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua, aku sendiri tidak mengerti kenapa aku melakukan ini. Harusnya aku langsung bilang saja... tapi situasinya rumit.

“Panas...”

Jalan ke sekolah di musim panas sangat pengap.

Ah~ Aku ingin cepat-cepat pergi ke kamp musim panas dan bermain dengan baju renang... Eh, tidak boleh memikirkan hal seperti ini. Ini kan kamp belajar.

Saat aku berjalan sambil menahan diri—ponselku bergetar.

Dari Icchi.

Itu balasan untuk jadwal kamp yang kukirim kemarin. Kalau Anna tidak ada, aku yang jadi penghubung dengan Icchi, ya.

Saat kubaca... ada banyak pertanyaan detail.

[Berapa jarak dari stasiun ke vila? Apa tidak terlalu berat berjalan lama di tengah musim panas?]

[Bukankah kita harus mempersiapkan untuk hujan mendadak atau topan?]

[Apakah ada tempat tidur untukku?]

[Kouda-san itu beneran macam-macam, jadi kita harus benar-benar mempersiapkan diri.]

Dan seterusnya.

Merepotkan sekali~

Cowok yang terlalu detail itu tidak populer, lho?

Ah, tapi... aneh juga ya kalau bilang cowok yang sudah punya pacar tidak populer.

Atau mungkin sebaliknya—ini adalah rahasia untuk menjadi populer?

Mungkin dia sangat memperhatikan detail seperti ini karena memikirkan Anna. Dan sekalian memikirkan Anna, dia juga memperhatikan kami.

Benar-benar...

Aku jadi sedikit iri pada Anna.

Punya pacar yang begitu perhatian.

“......”

Setelah berpikir sejenak, aku membalas pesan Icchi.

Mengabaikan semua pertanyaannya, aku menulis begini:

[Icchi seperti tokoh utama manga, ya.]

Mungkin dia tidak akan mengerti maksudku.

Ini pujian versi-ku, dan juga sedikit sindiran.

Awalnya dia hanya cowok pemalu yang tidak meninggalkan kesan apa-apa, karakter figuran yang tidak menonjol.

Aku tidak bermaksud merendahkan... tapi yah, dalam hal cinta kupikir posisinya seperti slime.

Tapi cowok seperti itu—tahu-tahu berhasil mendapatkan cinta dari cewek level 99.

Slime yang dikira lemah ternyata sama sekali tidak lemah, bahkan malah yang terkuat... Apa-apaan itu? Benar-benar seperti manga.

Bukankah itu terlalu keren?

Sekarang dia sudah jadi pacar yang baik, dan serius memikirkan masa depannya.

Rasanya menyilaukan... dan sedikit membuatku kesal.

Aku merasa ini curang.

Sekarang aku akhirnya mengerti.

Alasan kenapa aku tidak lagi sering berkata “Aku mau pacar~”.

Itu karena... aku melihat Icchi dan yang lainnya.

Karena aku melihat dari dekat cinta murni Icchi dan Anna yang begitu menyilaukan.

Setelah diperlihatkan hal seperti itu... aku jadi tidak bisa lagi mengatakan “Aku mau pacar~” dengan ringan bahkan sebagai candaan.

Aku yang dengan entengnya mengatakan hal seperti itu jadi terlihat dangkal, remeh, hampa, dan sangat menyedihkan—

“...Ah...”

Gawat, gawat.

Pikiranku jadi sangat negatif.

Mungkin karena akhir-akhir ini nilaiku menurun, aku jadi mudah berpikir negatif kalau tidak hati-hati.

Bahkan gaya berpikir dalam kepalaku jadi tidak seperti Moe. Aku harus sadar dan bersikap ceria. Dalam pikiranku juga, aku harus lebih dan lebih bersemangat.

Oke, oke, aku akan kembali ke diriku yang biasanya.

Seperti ada tulisan “Kyarun!” muncul di belakangku.

Dengan semangat menambahkan ☆ di akhir setiap kalimat!

“—Lho, Sekine?”

“Iya~ iya~☆ Ada yang memanggilku?☆”

“Kyarun!” begitu.

Karena aku sengaja menyalakan ‘switch’ dalam pikiranku, saat ada suara memanggilku dari samping, tanpa sadar aku menjawab dengan sangat bersemangat.

Gawat.

Ini agak memalukan, pikirku, tapi

“Wah. A-ada apa, kok semangatmu tinggi sekali...”

Begitu melihat orang yang memanggilku, aku langsung tenang.

“Ja-jangan-jangan... hehe. Kamu senang sekali bertemu denganku, ya?”

“...Oh, ternyata Adachi.”

Yang memanggilku adalah Adachi dari kelas sebelah.

Dia itu... apa, ya?

Yah, bisa dibilang teman laki-laki, mungkin?


Adachi juga sepertinya ada urusan di sekolah.

Katanya dia berencana bermain dengan Kanzaki, jadi mereka akan berkumpul dulu di sekolah.

“Hmm? Kenapa berkumpul di sekolah? Terus kenapa pakai seragam?”

“Bu-bukan apa-apa, kok! Ada macam-macam hal dalam persahabatan laki-laki!”

Adachi yang memakai seragam terbata-bata menjawab.

“Yah, terserahlah. Jadi, mau jalan bareng? Moe juga mau ke sekolah.”

“Eh!? Bo-boleh, nih? Hei hei, bagaimana kalau ada yang bergosip... A-aku sih tidak masalah...”

“Kalau begitu jalan sendiri-sendiri saja. Jangan mendekat dalam radius 10 meter.”

“Tu-tunggu!”

Karena aku kesal dengan sikapnya yang panik, aku langsung berjalan pergi, tapi Adachi terburu-buru mengejarku. Akhirnya, kami berjalan ke sekolah bersama.

“Sekine mau ngapain ke sekolah?”

“Belajar. Karena lebih bisa konsentrasi daripada di rumah.”


“Wah, hebat. Kau rajin sekali.”

“Enggak rajin, kok. Ini kan untuk diriku sendiri.”

“Tapi tetap saja rajin. Semua orang hebat, ya. Ichikawa juga sepertinya sedang belajar keras. Aku jadi jarang bisa mengajaknya main.”

Adachi berkata sambil tersenyum getir.

“...Adachi, kamu masih akrab dengan Icchi, ya.”

“Hm? Apanya?”

“Yah, maksudku... banyak hal yang terjadi, kan. Soal Anna, itu lho...”

“Ah...”

Begitu aku mengatakannya dengan samar-samar, ekspresi Adachi menjadi canggung. Gawat. Mungkin lebih baik aku tidak mengatakannya.

Meskipun ini Adachi, aku mungkin kurang peka.

Adachi—sepertinya menyukai Anna.

Sejak tahun lalu ketika mereka sekelas, dia tidak terlalu menyembunyikannya... tapi kupikir perasaannya hanya emosi murahan yang berasal dari nafsu.

Seperti dia jatuh cinta hanya karena wajah dan tubuh Anna.

Tapi ternyata dia juga memiliki perasaan yang cukup murni dan menggebu-gebu, dan pada festival olahraga tahun ini, dia bertarung dengan semangat masa muda melawan Icchi.

Aku tidak tahu detailnya.

Tapi aku bisa menebak bagaimana akhirnya.

“Yah yah, semua itu sudah selesai di festival olahraga! Laki-laki segar sepertiku tidak akan terus-terusan memikirkannya.”

“......”

Adachi yang berkata begitu sambil bergaya benar-benar terlihat seperti orang yang segar. Dia terlihat begitu cerah sampai-sampai aku lupa untuk mengomentari “Jangan bilang dirimu sendiri segar”.

Sikapnya yang ringan itu—entah kenapa membuat hatiku bergejolak.

Perasaan seperti hatiku bergetar dan bergelombang.

Mungkin karena itulah.

“...Benarkah?”

Aku tanpa sadar bertanya balik dengan aneh.

“Beneran tidak memikirkan apa-apa? Bisa begitu mudah melupakannya?”

“A-ada apa tiba-tiba?”

“Apa kamu tidak sedikit pun kesal? Dengan Icchi yang seperti mengatakan ‘Aku sedang menjalani cinta murni’ itu?”

Apa yang kukatakan?

Bukan.

Ini bukan tentang Adachi.

Aku hanya ingin membuat Adachi mengatakan bahwa dia kesal.

Aku hanya ingin membuatnya mengatakan apa yang kupikirkan—

“Kepolosan Icchi itu benar-benar keterlaluan, kan? Mereka bersemangat dengan sikap ‘Aku akan mencintaimu selamanya, pasti’, dan pasangannya juga sama seriusnya... Dua orang yang polos bertabrakan dengan perasaan yang sangat lurus... Memang itu mungkin sesuatu yang mulia, tapi... kadang-kadang... terlalu menyilaukan sampai membuatku tertekan.”

“......”

“Kalau diperlihatkan hal seperti itu, diriku yang hanya ingin punya pacar sekadar untuk punya pacar jadi terasa tidak murni dan murahan, kan...”

Ah, gawat.

Apa yang kukatakan? Padahal harusnya aku mengubah suasana hati, tapi malah mengatakan hal-hal yang terdengar seperti sindiran. Melibatkan Adachi juga, ini benar-benar buruk.

“...Yah, aku tidak terlalu mengerti, tapi”

Adachi berkata.

“Ichikawa itu... apa benar-benar sepolos itu?”

“...Eh?”

“Soalnya dia—melihat Yamada dengan pandangan yang sangat mesum!”

Adachi berkata begitu.

Pa-pandangan mesum?

“Dari dulu, kalau aku melihat Yamada dengan... pandangan sedikit mesum, dia akan melotot atau menggangguku... Tapi dia sendiri, kurasa dia juga melihat Yamada dengan pandangan mesum. Mungkin di dalam kepalanya, dia membayangkan hal-hal yang sangat mesum.”

“......”

Begitu, ya?

Ah, tapi kalau dipikir-pikir memang benar... Icchi sering bertingkah mencurigakan. Ada saat-saat dia sepertinya memandang Anna dengan cara seperti itu... ya, memang ada.

Sepertinya cukup sering.

Dia memiliki pandangan laki-laki remaja biasa.

“Lagipula, Ichikawa... bukankah dia juga melihat cewek-cewek selain Yamada dengan pandangan agak mesum? Mungkin, termasuk Sekine juga.”

“Hng!?”

Icchi!?

Memandang Moe dan yang lain dengan pandangan mesum!?

Tidak mungkin... tapi, mungkin saja. Mungkin memang begitu.

Bukan pandangan mesum, tapi melihat sebagai perempuan. Dia melihat cewek-cewek selain Anna juga sebagai lawan jenis. Kalau Moe melakukan skinship atau menggodanya, dia bereaksi malu-malu seperti biasa.

Kalau diumpamakan... ah, itu dia.

Rasanya dia melihat dengan pandangan otaku yang melihat gal yang baik pada otaku!

“Ichikawa memang orang baik, tapi... dia bukan orang yang khusus polos dan lurus. Dia hanya tidak terlalu menunjukkannya, tapi sebenarnya dia memikirkan hal-hal mesum seperti biasa. Meskipun awalnya dia menunjukkan sikap tidak suka saat membicarakan hal-hal seperti itu, tapi begitu mulai bicara dia cukup antusias... Bahkan saat pertarungan bandingin penis di pemandian laki-laki waktu study tour—”

“Ba-bandingin pe...?”

“Ah! Bukan apa-apa, bukan apa-apa!”

Sepertinya aku mendengar kata-kata yang luar biasa.

Apa itu?

Apa yang terjadi di pemandian laki-laki saat study tour?

Apa yang dilakukan anak laki-laki?

“Po-pokoknya,” Adachi berkata seolah ingin mengalihkan pembicaraan.

“Aku tidak berpikir Ichikawa sepolos dan selurus itu—dan aku juga tidak berpikir Sekine sekotor dan sebengkok itu.”

Adachi berkata.

Dia tidak bisa... menatapku langsung.

Sambil sesekali mengalihkan pandangannya, tapi dia berusaha menghadapiku.

“Memang benar aku... menyukai Yamada karena wajah dan tubuhnya... dan aku juga pernah berdebar-debar pada cewek selain Yamada... Itu memang tidak murni, dan mungkin orang lain melihatnya sebagai perasaan yang murahan—tapi aku tidak berpikir itu salah.”

“......”

“Karena itu... Sekine juga, tidak ada yang salah, kan?”

Dia berbicara dengan malu-malu, tapi berusaha keras menyampaikan kata-katanya.

“Kau bilang ingin punya pacar, bertukar kontak dengan banyak cowok... membagikan cokelat ke semua anak laki-laki saat Valentine. Mungkin beberapa orang akan mengejekmu bitchy atau semacamnya... tapi aku sama sekali tidak berpikir begitu... malah menurutku itu adalah sisi baik Sekine... Laki-laki sepertiku ini, diselamatkan oleh sisi Sekine yang seperti itu!”

“......”

“...Ah, bukan! Kalau kubilang ‘murahan’ itu kedengaran sangat buruk! Bukan itu, bukan itu maksudku...”

“...Apa maksudmu? Karena tidak bisa dapat Anna, jadi sekarang mengincar Moe? Karena Moe sepertinya lebih gampangan daripada Anna?”

“Bukan... bu-bukan begitu! Bukan itu maksudku...”

“Nyahaha. Bercanda, bercanda.”

Tidak apa-apa.

Aku mengerti maksudmu.

Meskipun kata-katanya kikuk, perasaannya tersampaikan dengan sangat jelas.

Segera setelah itu—

Ponsel di sakuku bergetar.

Dari Icchi.

Balasan untuk pesanku yang berbunyi [Icchi seperti tokoh utama manga, ya.]


[Aku bukan Nigorikawa-kun]

[Aku adalah Ichikawa Kyotaro]


Ah—

Begitu, ya.

Aku ingat, aku ingat sekarang.

Ichikawa Kyotaro.

Ini nama asli Icchi.

Aku baru saja mengingatnya.

Dan mungkin, aku tidak akan pernah melupakannya lagi.

Nigorikawa-kun... kalau tidak salah, dia adalah tokoh utama laki-laki dari “Kimi-iro Octave”.

Cowok keren yang paling keren di manga shoujo populer.

Aku seenaknya menganggap Icchi seperti itu—aku mengira dia adalah sosok spesial dengan cinta murni tingkat cheat, tapi mungkin sebenarnya tidak seperti itu.

Icchi adalah—seorang manusia bernama Ichikawa Kyotaro.

Bukan tokoh utama manga.

Bukan tokoh utama yang tetap slime tapi overpower, bukan juga tokoh utama manga romcom yang dijual dengan tagline “Romcom cinta pertama masa muda yang paling ingin didukung saat ini”.

Hanya seorang siswa SMP biasa yang hidup di dunia ini.

Dia laki-laki remaja, jadi wajar kalau dia berfantasi mesum tentang cewek yang disukainya, atau berdebar-debar pada cewek lain. Yah, benar... biasanya, ya, laki-laki pasti juga masturbasi sambil memikirkan cewek yang disukainya.

Tidak mungkin dia hanya terdiri dari bagian-bagian yang murni.

Cintanya bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dilabeli “cinta murni” dalam satu kata.

Kenapa aku tidak menyadari hal yang begitu jelas?

—Waktu SD... aku bertemu teman yang masuk SMP swasta.

—Aku selalu merasa rendah diri padanya.

—Aku merasa direndahkan—...

—Tapi, begitu bertemu, aku lupa akan semua itu.

—Yang selalu merendahkan diriku adalah diriku sendiri.

Aku teringat kata-kata Icchi di ruang kesehatan sebelum liburan musim panas.

Pada akhirnya, aku juga sama, ya.

Aku merendahkan diriku sendiri.

Aku seenaknya memandang Icchi sebagai sosok suci... dan memandang rendah diriku sendiri.

Karena terlalu menganggap dia murni dan mulia, aku jadi merasa diriku sangat tidak murni.

Padahal sebenarnya Icchi juga tidak semurni itu, dan aku juga—

“...Mungkin justru sedikit tidak murni itu lebih murni, ya.”

Aku bergumam sendiri sambil menyimpan ponselku.

Di layar, dia mengatakan sesuatu seperti [Pokoknya, ayo kita perinci lagi jadwal kamp—] tapi untuk sekarang aku mengabaikannya.

“Terima kasih ya, Adachi.”

“A-apaan, sih... Bukan apa-apa, kok...”

Adachi mengalihkan pandangannya dan menggaruk hidungnya, mungkin untuk menyembunyikan rasa malunya.

“Ah, sial. Kok tiba-tiba jadi panas, ya... Aku jadi ingin pergi ke laut dan berenang sepuasnya.”

“...Ah. Kalau begitu, lain kali kita pergi bareng Icchi dan Anna—”

Saat aku hendak mengatakan ‘ke laut’.

“—Shou!”

Seseorang berteriak. Shou adalah nama kecil Adachi.

Saat aku berbalik—yang ada di sana adalah ibunya Adachi.

Aku pernah melihatnya beberapa kali saat White Day atau festival olahraga. Sama seperti sebelumnya, dia berpenampilan sangat gal dengan rambut pirang dan make-up tebal.

Belahan d*danya juga terlihat.

“Ugh... Ibu!”

“Akhirnya tertangkap juga. Aduh, kenapa pergi sendiri? Kan Mama sudah bilang mau ikut.”

“Su-sudahlah! Aku bisa sendiri! Aku bisa menulis surat permintaan maaf sendiri!”

“Mama juga harus minta maaf pada guru! Astaga... meskipun ini study tour... kamu sudah kelas 3 SMP, tapi masih melakukan hal yang memalukan seperti itu.”

“Tu-tunggu. He-hentikan, serius...”

Dia panik dan menatapku dengan wajah malu.

Ah... begitu, ya.

Oh iya, waktu study tour, Adachi dihukum berlutut di koridor, ya.

Bersama Kanzaki.

Eh, baru sekarang dia disuruh menulis surat permintaan maaf?

Ternyata tidak bisa diselesaikan dengan mudah seperti di manga komedi, ya.

Yah, iya juga, sih. Sekarang kan era Reiwa. Kenakalan tidak bisa dimaafkan begitu saja. Kanzaki melakukan hal yang cukup serius... Adachi, apa yang sebenarnya dia lakukan, ya?

“Ara, Moeko-chan.”

Mamanya Adachi menyadari keberadaanku dan bersuara dengan sangat gembira.

“Halo.”

“Eh? Moeko-chan bersama Shou? Eh? Apa ini? Kalian janjian bertemu?”

“Tidak... hanya kebetulan.”

“Kamu tahu tidak, akhir-akhir ini Shou sering sekali membicarakan Moeko-chan di rumah, lho. Waktu Valentine juga, dia sangat senang dan bangga memamerkan cokelat yang dia dapat dari Moeko-chan. Aku juga berpikir harus menyiapkan hadiah balasan yang bagus, jadi aku pergi memilihnya bersama Shou. Lalu Shou sendiri yang bilang ‘Sekine mungkin suka yang seperti ini’ dan—”

“Su-sudah hentikan! Ayo cepat pergi, Bu!”

Lagi-lagi.

Adachi yang tadinya tidak suka dengan kemunculan mamanya yang tiba-tiba, sekarang malah menarik tangan mamanya dan bergegas pergi ke sekolah.

Aku ditinggal sendirian, dan menghela napas panjang.

“...Mamanya masih tetap cantik, ya.”

Dan dia punya energi yang luar biasa. Meskipun penampilannya muda dan sangat bergaya gal, sikapnya agak seperti bibi dari keluarga, atau bisa dibilang agak memaksa.

Berkat itu, aku tidak bisa mengajak Adachi ke kamp—

“...Hm?”

Eh? Lho? Eh? Eh? Apa?

Apa yang baru saja ingin kulakukan?

Aku—tidak sedang mencoba mengajak Adachi ke pantai?

Aku hampir mengajak Adachi ke kamp musim panas yang akan kami lakukan bersama?

Kenapa? Itu jelas tidak boleh.

Jumlah orangnya sudah ditentukan... yah, mungkin tidak masalah kalau bertambah satu orang... tapi tetap saja tidak boleh mengajak orang tanpa izin yang lain.

...Ya, ya. Ini pasti karena itu. Aku merasa kasihan karena hanya Icchi satu-satunya laki-laki, jadi aku hanya berpikir ringan untuk mengajak Adachi.

Pasti tidak ada arti yang lebih dalam.

Kalau ada laki-laki lain selain Adachi, aku pasti juga akan mengajaknya dengan cara yang sama.

Ya, benar. Pasti begitu.

“...Panas.”

Saat aku berhenti untuk berpikir, panas matahari langsung terasa. Sudahlah. Aku akan berhenti berpikir dan segera menuju ke sekolah.

Bukan berarti sesuatu sudah terselesaikan.

Masih banyak hal yang membuatku khawatir.

Entah bagaimana jadinya kamp nanti.

Tapi sekarang, aku merasa hatiku sedikit lebih ringan. Berkat seseorang, aku jadi sedikit lebih menyukai diriku yang tidak murni dan murahan ini dibandingkan 15 menit yang lalu.

Aku menghela napas sekali dan mulai berjalan menuju sekolah.

Aku.

Sekine Moeko, bukan siapa-siapa lagi selain diriku sendiri.

Melangkah maju dengan mantap hari ini.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close