NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Boku no Kokoro no Yabai Yatsu Volume 1 Chapter 2

 Penerjemah: Tensa 

Proffreader: Tensa 


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Chapter 2: Aku Ingin Bermain Kartu


Liburan musim panas kelas 3 SMP—

Aku akan pergi ke kamp belajar bersama teman-temanku.

Rasio laki-laki dan perempuan adalah... satu berbanding empat.

Salah satu dari perempuan itu adalah pacarku, dan tiga lainnya adalah teman-temannya.

Tempatnya di villa tepi pantai. Kami juga berencana bermain dengan pakaian renang.

Villa itu dipinjamkan oleh seorang model super populer, dan selama kami tinggal di sana, teman kakaknya yang mahasiswa akan datang untuk membantu kami belajar.

...Hmm.

Ketika aku menuliskan fakta-fakta ini secara objektif... rasanya seperti harem yang luar biasa. Apa-apaan situasi yang jadi impian seluruh laki-laki di dunia ini?

Menginap bersama pacar plus beberapa teman perempuannya.

Bahkan cowok populer yang suka main-main di kampus mungkin tidak pernah mengalami situasi seirihatkan ini.

Aku sendiri tidak mengerti bagaimana bisa sampai begini, tapi... yah, mungkin aku kalah kalau berpikir terlalu objektif.

Anggap saja begitu dan nikmati saja.

Lagipula, fokus utamanya tetap belajar.

Sambil menyemangati diri seperti itu, aku sedang menyiapkan barang-barang yang akan kubawa ke kamp belajar—saat itulah.

"...Oh."

Aku menemukan setumpuk kartu dari bagian belakang laci.

Ratusan kartu yang kusimpan dalam kotak permen.

"Nostalgia sekali."

Ini permainan kartu yang kugemari saat SD.

Aku sering bermain bersama Kinoshita dan Takano.

Waktu itu aku begitu tergila-gila sampai mengoleksi banyak kartu... tapi sekitar kelas 6 SD, ketika persiapan ujian masuk SMP mulai serius, entah kenapa aku berhenti bermain.

Namanya—"Chaos Legends".

Ini adalah kartu hasil kolaborasi antara perusahaan mainan besar dengan majalah manga, dan memiliki berbagai adaptasi media seperti manga, anime, dan game sosial.

Permainan kartu ini sendiri tampaknya masih sangat populer, dengan berita tentang pembelian borongan paket kartu untuk dijual kembali yang sering muncul.

"...Kartu-kartu ini pasti sudah tidak bisa dipakai lagi di lingkungan permainan sekarang, ya"

Permainan kartu belakangan ini mengalami perubahan strategi yang sangat cepat.

Setiap kali keluar seri baru, lingkungan permainan berubah drastis, dan deck yang kuat di periode sebelumnya bisa jadi sama sekali tidak berguna lagi.

Dengan kartu dari tiga tahun lalu, mungkin akan sulit untuk bertarung di lingkungan permainan saat ini.

"...Ah"

Saat membolak-balik kartu—mataku tertuju pada satu kartu.

"Dewi Kesuburan Annarose".

Ini adalah jenis kartu unit yang dikeluarkan ke arena untuk bertarung.

Efeknya—"Ketika kartu ini menyerang, pilih lima kartu dari kuburan milik sendiri atau lawan, lalu kembalikan ke deck pemiliknya".

Aku punya sedikit kenangan dengan kartu ini.

Saat kelas 5 SD—

Setelah membeli paket kartu di toko, aku tidak sabar ingin membukanya dan bermain di taman dalam perjalanan pulang.

Di sana—beberapa anak laki-laki dari SD Migi datang dan mencari gara-gara.

Suasana menjadi tegang, tapi kebetulan ada anak perempuan dari SD Migi yang lewat, dan saat lawan lengah, kami kabur.

Dalam perjalanan pulang, Takano memberiku satu kartu langka yang dia dapatkan.

Saat aku terpesona oleh kartu langka itu—kami bertiga berpapasan dengan anak-anak perempuan dari SD Migi yang tadi lewat.

Aku hanya melihat punggung mereka, tapi aku ingat jelas ada satu anak perempuan yang sangat besar.

Dia lebih tinggi satu tas ransel dibanding anak perempuan lain yang berjalan di sampingnya.

Memang sering ada anak perempuan SD yang pertumbuhannya lebih cepat dari anak laki-laki, dan di kelasku juga ada beberapa anak perempuan yang lebih besar dari anak laki-laki—tapi aku belum pernah melihat anak perempuan SD sebesar itu.

Entah kenapa, hal itu sangat membekas dalam ingatanku.

Karena itu, setiap kali aku melihat kartu ini, aku selalu teringat.

Teringat pada anak perempuan misterius yang sangat besar yang kami papas waktu itu.

"..."

Sekali lagi, aku menatap kartu penuh kenangan itu.

Di permukaannya yang berkilau, tergambar ilustrasi dewi berambut hitam. Mengenakan pakaian putih bersih, di tangannya terdapat tongkat dengan hiasan yang megah. Dan... di mulutnya, ia menggigit sebuah donat. Kontrasnya dengan pakaian suci itu sangat mencolok.

Sepertinya ia adalah dewi yang sangat rakus.

Aku tidak tahu latar belakang karakter ini, tapi pasti dia "wanita yang menarik", ya.

Meskipun diklasifikasikan sebagai kartu langka, tingkat kelangkaannya tidak terlalu tinggi. Efek mengembalikan kartu dari kuburan ke deck hanya berguna melawan lawan yang mengincar kehabisan kartu. Di kalangan kolektor pun harganya tidak terlalu tinggi, dan termasuk kartu yang relatif mudah didapatkan.

Bahkan tiga tahun lalu pun tingkat kelangkaannya hanya segitu, jadi sekarang mungkin nilainya sudah turun lebih jauh lagi.

Aku mengambil ponselku dan iseng mencari informasi tentang "Dewi Kesuburan Annarose".

...Aku sadar bahwa persiapan untuk kamp belajar sudah terlupakan. Aku berpikir akan segera kembali ke persiapan setelah bermain kartu sebentar—tapi akal sehatku langsung hilang di detik berikutnya.

"Hah!?"

Suara aneh keluar dari mulutku.

Situs yang kubuka di ponsel adalah situs untuk mencari harga pasar kartu.

Harga "Dewi Kesuburan Annarose" saat ini adalah—

"Se-seratus ribu yen...!?"


Selama aku tidak main, lingkungan "Chaos Legends" tampaknya telah berubah drastis.

Dalam seri baru "Slipstream" yang keluar tiga bulan lalu, deck kontrol kuburan yang pernah mendominasi kembali populer. Dengan begitu, strategi tandingan menjadi wajib, dan "Dewi Kesuburan Annarose" yang memiliki efek mengembalikan kartu dari kuburan ke deck, menjadi sorotan sebagai kartu meta yang kuat melawan deck top tier.

Kartu yang awalnya tidak terlalu berguna, beberapa tahun kemudian dievaluasi ulang karena perubahan lingkungan permainan—ini bisa dibilang hal yang umum dalam permainan kartu.

"Dewi Kesuburan Annarose" saat ini menjadi kartu super berguna dengan tingkat penggunaan yang sangat tinggi dalam deck Tier 1. 

Namun, kartu ini muncul saat aku masih kelas 5 SD—dengan kata lain, lebih dari tiga tahun yang lalu.

Setelah itu, tidak ada cetak ulang di seri-seri berikutnya.

Kartu yang ingin dimasukkan semua orang ke dalam deck mereka, tapi hanya tersedia di paket yang terbit lebih dari tiga tahun lalu.

Dengan demikian, tentu saja—harga pasarnya melambung tinggi.

Tapi siapa sangka... nilainya bisa mencapai seratus ribu yen.

Tentu saja masih ada kartu yang jauh lebih mahal, tapi bagi anak SMP, ini adalah jumlah yang luar biasa besar.

Kartu yang kusimpan di laci meja ternyata memiliki nilai setinggi itu tanpa kusadari.

Rasanya seperti memenangkan lotre yang bahkan tidak kubeli.

"..."

Keesokan harinya—

Aku mengumpulkan semua kartu di kamarku, memasukkannya ke dalam tas ransel, dan berangkat menuju toko kartu.

Tujuanku adalah untuk mendapatkan penilaian "Dewi Kesuburan Annarose" dan kartu-kartu lainnya.

Kemarin, setelah lama tidak menyentuh kartu-kartu ini, aku sempat ingin bermain lagi... tapi tahun ini adalah tahun ujian masuk. Aku tidak punya waktu untuk terlalu asyik dengan permainan kartu. Agar tidak tiba-tiba kembali bersemangat, lebih baik aku melepaskan semuanya sekarang juga. Kartu yang bisa dijual akan kujual semua, dan kartu yang tidak bernilai akan kukembalikan.

Ya, semua ini demi persiapan ujian.

Sama sekali bukan karena aku tergoda uang.

Sama sekali tidak!

Karena aku masih di bawah umur, aku mungkin tidak bisa menerima uang tunai tanpa didampingi wali, jadi rencanaku hari ini hanya untuk mendapatkan penilaian saja—tapi sekarang aku menyesal tidak meminta orangtua atau kakakku untuk menemani.

...Takut.

Aku takut membawa aset senilai seratus ribu yen.

Sekarang, di dalam ranselku ada kartu senilai seratus ribu yen.

Ini bukan nilai yang pantas dibawa-bawa sendirian oleh anak SMP.

Bagaimana ini. Bagaimana kalau aku dirampok oleh preman jalanan? Bagaimana kalau tiba-tiba ada pemburu kartu langka seperti di manga yang menantangku duel kartu di tengah jalan...!

Te-tenang!

Tidak apa-apa. Aku sudah memeluk ranselku erat-erat di depan dada... Eh, tunggu, justru dengan memeluknya seperti ini malah kelihatan mencurigakan dan bisa jadi incaran, ya?

Sambil berusaha tidak terlihat gugup, aku berjalan sekuat tenaga menuju tujuanku.

Dalam perjalanan ke toko kartu terdekat—aku melewati sebuah taman.

Nostalgia.

Taman ini adalah tempat di mana aku mengalami insiden yang berkaitan dengan "Annarose".

Aku juga berpapasan dengan gadis besar itu tepat di samping taman ini.

Tiba-tiba aku berpikir.

Apakah benar-benar tidak apa-apa menjual kartu ini?

Meskipun bisa dijual dengan harga tinggi, tapi ini kartu penuh kenangan.

...Hmm. Yah, sudahlah.

Ini bukan kenangan yang begitu penting. Hanya kartu yang membuatku teringat pada gadis besar itu. Lalu kenapa? Justru... ini mungkin tidak sopan pada gadis itu. Laki-laki asing yang setiap kali melihat kartu ini, samar-samar teringat sosok punggungnya.

Lagipula.

Sekarang aku—punya pacar.

Mungkin lebih baik segera membuang benda yang membuatku teringat pada gadis lain selain pacarku. Ini seperti... bisa dibilang tindakan gentle, seperti membuang barang-barang mantan pacar.

Benar, sekarang aku punya pacar—

"— Kyotaro?"

"Eh!?"

Suara yang tiba-tiba menyapa telingaku adalah panggilan nama yang masih belum terbiasa kudengar.

Aku tersentak kaget.

"Benar Kyotaro, ya. Wah. Kebetulan sekali!"

Yang tersenyum cerah adalah—gadis tinggi. Rambut hitam yang lurus. Mata yang besar. Postur tubuh sempurna seperti model... yah, dia memang bekerja sebagai model.

Yang berdiri di sana adalah pacarku—Yamada Anna.

"Yamada... Ke-kenapa kamu ada di sini?"

"Aku baru saja membeli donat. Ingin mencoba rasa baru."

Sambil berkata begitu, Yamada mengangkat kotak kertas di tangannya.

Itu adalah kotak dari toko donat terkenal.

Oh, benar juga.

Daerah ini cukup dekat dengan apartemen Yamada.

"Kyotaro sendiri sedang apa? Ah... ja-jangan-jangan, ingin bertemu denganku?"

"Tidak, bukan begitu."

Karena terkejut, aku malah menjawab jujur. Yamada terlihat sedikit kecewa dan berkata, "Oh, begitu..."

Gawat.

Mungkin seharusnya aku berbohong dan bilang "Aku ingin melihat wajahmu".

...Tapi itu juga terdengar menjijikkan.

"Ransel itu... ada apa?"

Yamada bertanya dengan wajah heran.

Melihat ransel yang kupeluk erat di depan dadaku.

"Bu-bukan apa-apa... Aku selalu begini, kan."

"Rasanya tidak begitu, deh. Kelihatannya... kamu memeluknya seperti benda yang sangat berharga."

Sepertinya sikapku yang mencurigakan juga terlihat olehnya.

Gawat...

Kalau begini terus, Yamada akan melihat kartu-kartu yang ada di dalam ranselku. Dia akan mengira aku ini otaku kartu yang menghabiskan hari libur di toko kartu!

...Yah, bukannya aku punya prasangka buruk terhadap pemain kartu. Tapi tidak diragukan lagi ini adalah hobi yang kurang disukai anak perempuan. Mungkin tidak banyak gadis yang ingin pacarnya menghabiskan waktu bermain kartu.

Lebih dari itu—aku adalah siswa yang sedang mempersiapkan ujian masuk.

Aku tidak ingin dianggap asyik bermain kartu dan mengabaikan belajar.

Aku berusaha keras menyembunyikan ranselku, tapi,

"Ja-jangan-jangan... ada hal-hal mesum di dalamnya?"

"Hah?"

"Kalau begitu... a-aku akan pura-pura tidak melihatnya..."

"...Jangan seenaknya menduga."

Aku malah dicurigai hal yang aneh! Dan dia bahkan berusaha memahaminya! Seolah-olah dia berkata, "Aku pacar yang bisa mengerti sifat alami laki-laki, lho?"

Untuk menghilangkan kesalahpahaman, akhirnya aku terpaksa menunjukkan isi ranselku.

"Hari ini... aku berniat pergi ke toko kartu yang ada di sana."

"...Ini, kan..."

Melihat tumpukan kartu di dalam ranselku, Yamada berkata.

"Jangan-jangan... 'Chaos Legends'?"

"Eh? Ka-kau tahu?"

"Iya. Kartu yang terkenal, kan? Waktu SD, semua anak laki-laki memainkannya... Oh, dan ayahku juga main gamenya beberapa waktu lalu. Kartu langka yang didapat sebagai bonus, sepertinya dipajang di kamarnya dalam kotak kaca."

"..."

Begitu, ya. Wajar saja kalau Ayah Yamada yang seorang gamer memainkan game "Chaos Legends". Baik versi konsol maupun game sosial, ada banyak versinya, sih.

"Ternyata Kyotaro juga main, ya. Kalau pergi ke toko kartu... jangan-jangan hari ini mau ikut turnamen!?"

"Tidak... hari ini aku hanya berniat meminta penilaian."

"Oh, begitu, ya. Padahal kalau turnamen, aku ingin datang mendukung, lho~"

Dia berkata begitu dengan senyum yang tampak tulus.

Ah... entah kenapa.

Aku merasa malu karena sempat berpikir hobi kartu akan direndahkan. Padahal aku harusnya sudah tahu kalau Yamada bukan orang seperti itu.

Selalu begini.

Ketakutanku akan "mungkin akan dibenci" hanyalah delusi yang terlalu sensitif.

Yang punya prasangka buruk bukan Yamada, tapi justru aku.

Aku harus segera lepas dari pertarungan negatif dengan diri sendiri seperti ini.

Aku sudah jauh lebih mengenal gadis bernama Yamada ini—dan aku juga sudah bisa jauh lebih menerima diriku sendiri dibanding sebelumnya.


Karena Yamada ingin melihat kartu-kartunya, kami berdua masuk ke taman terdekat.

Kami duduk di bangku taman dan mengeluarkan kartu-kartu itu.

Entah kebetulan macam apa.

Ini adalah bangku yang sama dengan yang kami duduki saat kelas 5 SD.

Waktu itu Kinoshita dan Takano yang bertarung sementara aku hanya menonton dari belakang, tapi sekarang aku dan Yamada yang duduk di sini, dengan kartu-kartu tersebar di antara kami berdua.

"Se-seratus ribu yen!? Kartu ini...!?"

Yamada, yang memegang kartu "Dewi Kesuburan Annarose", membelalakkan matanya.

"Hebat, ya... kartu-kartu zaman sekarang."

"Aku juga kaget."

Mungkin bagi Yamada yang sudah bekerja sebagai aktris dan model, jumlah ini tidak seberapa... Ah, tapi kalau tidak salah dia pernah bilang semua gaji dari pekerjaannya dikelola oleh ibunya.

Mungkin persepsinya tentang uang tidak jauh berbeda dariku.

Dia menatap lekat-lekat kartu seharga seratus ribu yen itu... dan karena terlalu berkonsentrasi, dia tidak sengaja menjatuhkan serpihan donat yang sedang dimakannya.

"Wah. Gawat! Seratus ribu yen... fuuh, fuuh."

"Tidak apa-apa kok, kartunya ada di dalam sleeve."

Yamada dengan panik meniup serpihan donat itu.

Sempat terpikir kalau justru kartu itu akan naik nilainya kalau terkena hembusan napasnya... tapi itu pemikiran yang terlalu menjijikkan jadi langsung kuhapus dari otakku.

"...Kartu itu, agak mirip Yamada, ya."

"Eh? Masa?"

"Dewi Kesuburan Annarose"

Wanita cantik berambut hitam dan bertubuh tinggi. Seorang dewi suci dengan aura misterius, tapi ada gap moe-nya karena makan donat saat bertarung. Bahkan sebelum masuk deck konstruksi di lingkungan permainan sekarang, kartu ini sudah punya banyak penggemar hanya karena desainnya.

"Hmm... memang rambutnya agak mirip, sih. Lagipula aku juga sedang makan donat sekarang."

Sambil berkata begitu, Yamada mengambil donat berikutnya. Masih mau makan lagi? Ternyata bukan untuk dimakan bersama keluarga, tapi semuanya untuk dirinya sendiri, ya.

Sambil berpikir betapa khas Yamada, aku juga menggigit donat yang dibagikan padaku.

Hmm, enak.

"Ah. Kalau begitu, kartu ini agak mirip Kyotaro, ya."

Sambil berkata begitu, Yamada mengambil sebuah kartu.

"Pertapa Sunyi Kyou"

Karakter yang digambarkan mengenakan tudung yang menutupi matanya dalam-dalam sehingga hanya satu mata yang terlihat. Jenis kelamin dan usianya tidak jelas. Bagaimana, ya... karakter dengan aura negatif, kegelapan, dan bayangan yang kuat.

...Hmm.

Aku tidak benci atribut kegelapan, tapi... ini bukan kartu yang membuatku senang kalau dibilang mirip.

Lagipula apa itu "Pertapa Sunyi"?

Bukankah ada sedikit pengulangan makna di situ?


Seperti mengatakan "sakit kepala yang menyakitkan".

Mungkin tidak ada pertapa yang berisik. Kesan bahwa ini adalah kartu game buatan dalam negeri yang dipaksa diterjemahkan dari kartu luar negeri... apakah ini disengaja atau kesalahan?

"...Baiklah!"

Saat aku masih bingung dengan perasaanku, Yamada yang sudah selesai makan donat, mengepalkan tangannya dan berdiri. Eh? Kapan dia selesai makan? Meskipun dia memberiku satu, tapi tadi ada satu kotak penuh, lho?

"Ayo kita battle kartu!"

"Eh?"

"Kebetulan ada di sini, ayo main 'Chaos Legends'. Aku tahu aturannya, kok. Aku pernah main sedikit di game ayahku."

"...Hoo."

Mendengar kata-kata yang tak terduga—darahku mulai bergejolak.

Darah pemain kartu yang dulu kumiliki saat kelas 5 SD.

"...Menarik. Bermain dengan pemula boleh juga."

Sambil bergumam, aku mengambil deck-ku.

"Aku pernah sekali mengalahkan... adik dari pemain ranking teratas di toko kartu itu... Takano yang bisa kukalahkan dengan rasio dua dari tiga pertandingan... Kinoshita yang bisa kukalahkan dengan probabilitas 70 persen... Akan kutunjukkan kemampuanku!"

Bukan berarti aku sudah memperhitungkan hal seperti ini akan terjadi... tapi tadi malam aku memang sudah menyusun beberapa deck.

Saat menemukan kartu-kartu ini saat bersih-bersih atau berkemas, tanpa sadar aku malah menyusun deck.

Ini mungkin bisa disebut kebiasaan umum pemain kartu.

"Umm, kalau begitu... batu-gunting-kertas!"

"Pon!"

"Ah. Aku menang! Berarti aku duluan, ya."

"Silakan."

Kalau ini manga atau anime, mungkin akan lebih keren kalau langsung mulai battle dengan teriakan "Ayo! Aku duluan!", tapi karena ini dunia nyata, kami menentukan urutan main dengan batu-gunting-kertas biasa.

Battle kartu dimulai di atas bangku taman yang kami jadikan arena.

"Hmm, hmm. Kalau begitu, aku keluarkan kartu yang kelihatannya kuat ini."

"...Kartu itu belum bisa dikeluarkan. Cost-nya sama sekali tidak cukup. Lagipula, setelah draw phase, kau harus mengumpulkan Soul dulu."

"So-soul?"

"Soul hanya bisa dikumpulkan satu per turn, jadi di turn pertama biasanya kau hanya bisa memanggil unit dengan cost satu. Ada beberapa pengecualian, sih."

"Umm."

"...Kau benar-benar tahu aturannya, kan?"

"Te-tenang saja! Aku mulai ingat sekarang! Intinya kalau life card lawan jadi nol, kita menang, kan!"

"Yah, tidak salah sih..."

Akhirnya, sepertinya Yamada tidak punya kartu dengan cost satu di tangannya, jadi dia hanya mengumpulkan Soul dan mengakhiri gilirannya.

Sekarang giliranku.

"Giliranku. Draw!"

Syuut!

Aku menarik satu kartu dengan gerakan tajam. Kuncinya adalah mengapit kartu hanya dengan jari telunjuk dan jari tengah, lalu menariknya dengan gerakan menyamping. Meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertanding, gerakan menarik kartu yang keren yang dulu sering kulatih di rumah sepertinya masih belum berkarat.

...Hmm.

Kartu yang baru saja kutarik ini... dan kartu di tanganku...

Hebat. Ini luar biasa.

Semuanya lengkap...!

Sambil merasakan detak jantung yang berdebar kencang, aku mengeluarkan satu kartu ke arena.

"Pertama-tama—aku memanggil secara khusus 'Naga Dewa Super Garubagadorasu' dengan cost 8!"

"...Eeh!?"

"Kartu ini bisa dipanggil secara khusus dengan cost nol dengan mengirim seluruh kartu di tangan ke kuburan! Selanjutnya—saat kartu-kartu di tangan ditempatkan di kuburan, efek 'Peti Penggali Kubur' yang ada di tangan aktif! Saat kartu ini ditempatkan langsung dari tangan ke kuburan, lima kartu teratas dari deck ditempatkan ke kuburan!"

"..."

"Lalu pada saat ini, efek kuburan dari 'Naga Mayat Penghancur Goma Garumu' yang ada di kuburan aktif! Satu naga di kuburan dipanggil secara khusus ke arena! Dengan ini, efek khusus 'Garubagadorasu' aktif! Saat naga berhasil dipanggil secara khusus, aku bisa menghancurkan dua life card-ku! Jika melakukannya, satu life card lawan dihancurkan!"

"...Umm."

"Giliranku belum selesai!"

"..."

"Datang! Efek trigger 'Pengirim ke Jurang' di life card aktif! Pilih tiga kartu dari deck dan kirim ke kuburan. Pada saat ini, efek 'Goma Garumu' kembali aktif, memanggil secara khusus naga dari kuburan! Lalu efek 'Garubagadorasu' aktif lagi, menukar dua life-ku untuk menghancurkan satu life Yamada!"

"..."

"Dan dengan efek 'Penunggang Naga Kilat Cepat' yang dipanggil secara khusus, semua naga-ku mendapatkan kemampuan 'Jurus Balik'. 'Jurus Balik' adalah efek yang membuat 'tidak bisa menjadi target efek kartu lawan' saat life-ku lebih sedikit dari lawan... Aku sudah memenuhi syarat ini dengan menghancurkan life-ku sendiri!"

"..."

"Memasuki fase pertempuran! Dengan efek 'Tulang Naga' di kuburan, semua naga-ku mendapatkan 'Kecepatan Dewa' dan bisa bergerak seketika! Semua unit menyerang serentak! Dengan 'Jurus Balik', meskipun ada trigger, seranganku tidak bisa dihentikan...!"

"..."

"Terakhir, serangan dengan 'Garubagadorasu'! Rasakan, 'Nyala Api Ekstrim Penghancur Dewa'! Dengan ini life card Yamada jadi nol! Aku menang! Hah, hah, hah..."

Aku menang!

Berhasil

One Turn Kill saat giliran kedua berhasil!

Hebat, ini luar biasa...!

Meskipun ini deck yang kususun sendiri, aku tidak menyangka bisa melakukan semua sesuai rencana seperti ini. Deck kuburan Roman Cannon yang sempurna, yang hanya dibuat berdasarkan teori. Strukturnya memang rawan kecelakaan jika draw-nya buruk... tapi kali ini, semuanya berjalan sesuai rencana dari tangan pertama!

Roman Cannon yang selama ini hanya ada dalam khayalan berhasil dalam pertarungan nyata. Meskipun ada beberapa kartu yang sekarang dilarang sehingga kombo ini tidak bisa digunakan dalam pertandingan resmi... tapi kekuatan penghancur dan sensasi kesegarannya ketika berhasil memang luar biasa.


Saat aku masih terlena dalam kepuasan One Turn Kill — beberapa detik kemudian, akhirnya aku sadar.

"..."

Yamada yang ada di depanku sedang membuat ekspresi yang luar biasa.

Hampa, kosong.

Melampaui kemarahan atau kebingungan, kekosongan yang luar biasa. Ekspresi tanpa emosi sama sekali, seolah-olah kehilangan segala bentuk perasaan. Sudah lama sekali aku tidak melihat wajah Yamada yang sedingin ini...

Aku ingat, dulu saat kami hampir tidak pernah berbicara, kadang-kadang ketika dia menyadari tatapanku atau laki-laki lain, dia akan membuat wajah yang sangat dingin.

Tapi wajahnya sekarang... dalam arti tertentu lebih parah dari waktu itu.

Ekspresi kosong yang ekstrem, bahkan tidak terasa dingin lagi.

"...Sudah selesai?"

"...I-iya."

"...Aku kalah?"

"...Iya."

"...Aku tidak melakukan apa-apa."

"...Iya."

Uwaaaaa! A-apa yang sudah kulakukan!?

One Turn Kill!?

Padahal Yamada sudah baik hati mau bermain kartu denganku, tapi yang kulakukan malah One Turn Kill tanpa dialog di giliran kedua!

Kartu di tanganku terlalu bagus sampai aku lupa diri.

Aku terus bermain sendiri, syubabababa, seperti permainan solitaire.

Ini parah sekali. Aku merasa sangat bersalah. Rasanya aku sudah melakukan hal yang paling tidak boleh dilakukan kepada pacar yang sudah mau menemani hobiku.

"...Sama sekali tidak menyenangkan."

"Ma-maaf..."

"Karena itu—ayo main lagi!"

Aku yang sedang menunduk karena perasaan bersalah, mengangkat wajahku mendengar suara itu.

Di sana bukan lagi wajah tanpa ekspresi, melainkan senyuman lembut dengan sedikit kebingungan.

"...Kau tidak marah?"

"Aku tidak marah. Hanya saja... ini sangat khas Kyotaro, pikirku."

"Ugh..."

Entah kenapa, itu malah terasa seperti penghinaan.

Apakah "khas diriku" itu melakukan One Turn Kill tanpa dialog melawan pemula?

"Aku sudah tahu Kyotaro kuat... jadi kali ini, hibur aku, ya."

Kau kan pacarku.

Dia mendekatkan wajahnya sedikit dan berkata dengan nada nakal.

Kalau sudah dibilang begitu... aku hanya bisa menurut tanpa berkata apa-apa. Sejak kami mulai pacaran, kadang-kadang Yamada bisa jadi lebih dekat dari sebelumnya.

Serangan mendadak seperti ini selalu memiliki kekuatan penghancur seperti One Turn Kill bagiku.


Untuk pertarungan berikutnya, kami memutuskan untuk benar-benar bermain santai.

Bukan pertarungan serius, tapi untuk bersenang-senang.

Aku membongkar deck-ku, mencampur dengan kartu-kartu sisa dan mengocoknya. Lalu kami masing-masing memilih empat puluh kartu secara acak untuk membuat deck.

Kami memulai pertarungan tanpa tahu apa yang ada dalam deck masing-masing.

Ini bisa dibilang pertarungan santai yang sempurna.

"Giliranku, draw... sebelum itu, mengaktifkan semua Soul yang digunakan di giliran sebelumnya, lalu draw. Membayar lima Soul untuk memanggil 'Demon Tapi-tapi'. ...Benar, kan?"

"Benar."

"Menyerang Kyotaro dengan 'Mermaid Gurun Mimi' yang kupanggil di giliran sebelumnya. Menghancurkan satu life card. ...Benar, kan?"

"Benar."

"Oke. Giliranku selesai. Giliranmu."

Yamada bermain dengan sungguh-sungguh, dan aku memberikan saran seperlunya. Hmm, ini bagus. Pertarungan santai seperti ini juga menyenangkan. Rasanya seperti mewujudkan mimpi seorang otaku.

Aku berharap bisa terus bermain dengan menyenangkan seperti ini, tapi,

"Giliranku, draw. ...Fuh. Sepertinya kartu andalan tersenyum padaku."

Begitu mendapat kartu yang agak bagus, entah kenapa aku ingin mengatakan sesuatu yang keren. Aku sendiri merasa ini kebiasaan yang merepotkan.

"'Dewi Kesuburan Annarose', kupanggil."

"Ah. Yang seratus ribu yen itu."

Jangan sebut harganya.

Itu terlalu nyata, tahu.

Meskipun kami menyusun deck secara acak, sepertinya kartu paling langka masuk ke dalam deck-ku.

"Hmm... Padahal kartu yang mirip denganku, tapi malah mengkhianatiku."

"Bukan mengkhianati juga, sih."

"Tapi aku tidak akan kalah. Aku... memanggil Kyotaro!"

Yang dikeluarkan ke arena adalah "Pertapa Sunyi Kyou".

Kartu yang kata Yamada mirip denganku.

...Sepertinya Yamada seenaknya memulai gilirannya padahal giliranku belum selesai, tapi ya sudahlah.

Ini kan pertarungan santai.

"Kartu ini... jadi kuat melawan kartu atribut dewa, kan?"

"Iya. 'Kyou' punya kemampuan khusus melawan dewa, jadi hanya melawan kartu yang ada kata 'dewa' atau 'dewi' di namanya, kekuatan serangnya jadi dua kali lipat. Meskipun bukan kartu yang terlalu kuat, tapi sangat hebat melawan lawan tertentu. Ini seperti musuh alami 'Annarose'."

"Jadi kekuatan serangnya naik hanya untukku. ...Memang mirip, ya."

"Hm?"

"Bukan apa-apa! Dengan ini aku jadi unggul, ya."

Yamada terlihat bangga.

"Fuh. Naif sekali. Aku mengaktifkan kartu sihir 'Kotak Penahanan Paksa' dari tanganku."

"Eh?"

"Pilih satu unit dengan kekuatan serang tertinggi dari masing-masing arena, lalu keluarkan dari permainan selama tiga giliran."

Aku memilih "Annarose" dan "Kyou", lalu meletakkan kedua kartu itu bertumpuk di samping.

"Ah... Kyotaro..."

Yamada terlihat kecewa.

"Kyotaro... di bawahku..."

"..."

"Kyotaro dan aku tumpang tindih, terkurung bersama..."

"..."

Kok ekspresinya jadi ambigu begitu!

Memang sih kartunya bertumpukan!

Tapi ini seperti kami terkurung di "ruangan yang tidak bisa keluar kecuali melakukan XX"!

Apa yang kami lakukan selama tiga giliran ini!?

"Ehem. Pokoknya—dengan ini arena kembali kosong."

"Hmm... Giliranku, draw. Ah... Apa ini. Kartu yang menarik!"

Lalu Yamada menggunakan kartu yang baru dia tarik.

"Aku mengaktifkan kartu 'Selalu Hormati Lawan'! 'Tawarkan jabat tangan pada lawan. Jika lawan menerima, draw dua kartu. Jika lawan menolak, draw sepuluh kartu.'"

"Hah!?"

Jabat tangan?

Apa-apaan itu?

"Ternyata ada juga kartu seperti ini, ya. Benar-benar dalam maknanya."

Yamada mengangguk-angguk kagum.

Ah. Benar juga, aku ingat.

"Selalu Hormati Lawan"

Ini... yang disebut kartu gimmick.

Bisa juga disebut kartu lelucon.

Kartu dengan efek yang agak konyol yang biasanya jadi bonus majalah manga anak-anak. Ada yang efeknya "Berjabat tangan dengan lawan", "Berpose keren", "Memberikan kuis pada lawan", dan sebagainya, kartu-kartu dengan efek yang penuh canda.

Banyak yang tidak bisa dipakai di pertandingan resmi.

Gawat. Karena aku mencampur semua kartu sisa dengan posisi terbalik, kartu-kartu gimmick yang biasanya tidak akan pernah dimasukkan ke deck juga ikut tercampur.

"Bagaimana?"

"...A-aku terima."

Karena bahaya kalau dia sampai draw sepuluh kartu, aku menerima uluran tangannya.

Tangannya sedikit lebih besar dari tanganku, dan hangat.

Meskipun sudah sering bersentuhan... tapi saat bersentuhan di tengah permainan kartu, rasanya jadi berbeda dari biasanya.

"Ini... berapa lama ya kita harus melakukannya?"

"Ku-kurasa sudah cukup."

Jabat tangan berakhir dengan meninggalkan rasa malu yang aneh.

"Kalau begitu, aku draw dua kartu. Ah... Dapat kartu menarik lagi."

Lagi!?

"Aku mengaktifkan kartu 'Merajuk dengan Imut'! 'Merajuk dengan seimut mungkin sambil berkata "Biarkan aku draw kartu, ya♡". Jika lawan mengakui itu imut, draw lima kartu. Jika tidak, draw dua kartu.'"

Hei! Ini kebanyakan gimmick!

Tidak semua anak di dunia ini bisa menikmati hal-hal seperti ini, tahu!

"Baiklah, aku mulai, ya."

"Ba-baiklah..."

"Ingat, tidak boleh bohong. Kalau memang imut, kamu harus mengakuinya."

"...Aku mengerti."

Tenang, tenangkan dirimu.

Penilaian efek kartu ini sepenuhnya bergantung pada pengakuan lawan. Tidak peduli seberapa imut Yamada mengatakannya, jika aku tidak mengakuinya, efeknya tidak akan aktif.

Aku harus bersikap tegas di sini!

Aku tidak akan mengakuinya kecuali benar-benar imut!

"Kyotaro... Biarkan aku draw kartu, ya♡"

"...Aku mengakuinya!"

Ah, aku mengakuinya!

Tapi... mana mungkin tidak.

Mana bisa aku tidak mengakuinya.

Habisnya... dia imut.

Mana mungkin tidak imut!

Pasti imut!

"Wa-wah... Kamu langsung mengakuinya, ya."

"...Penilaian harus akurat."

Di tengah suasana yang sulit dijelaskan, Yamada draw lima kartu.

Tapi lima kartu itu...

Kartu gimmick ini terlalu menguntungkan.

"...Ah. Wah... A-ada juga ya, kartu seperti ini..."

Yamada terlihat sedikit gelisah saat melihat salah satu kartu yang baru dia tarik.

"Bagaimana, ya... Boleh tidak ya, menggunakan ini? Harusnya boleh, sih... Kita sedang bertarung serius, jadi harus berusaha sekuat tenaga untuk menang..."

Meskipun terlihat sedikit ragu, Yamada mengeluarkan sebuah kartu ke arena.

"Aku mengaktifkan kartu ini... 'Pelukan Hangat'!"

"—!"

"Efeknya... 'Berpelukan hangat dengan lawan. Jika perasaan kalian saling tersampaikan, mulai hari ini kalian adalah sahabat terbaik. Masing-masing draw satu kartu.'"

Ini kebanyakan gimmick!

Apa yang membuatnya mabuk saat menulis teks ini!?

Di ilustrasi kartu... dua pria berotot sedang berpelukan erat.

Jelas-jelas ini didesain untuk pelukan sesama pria.

Sepertinya pembuatnya sama sekali tidak mempertimbangkan pertarungan antar lawan jenis.

"Ya-ya sudahlah. Ini demi kemenangan. Kebetulan juga ini saat yang tepat untuk draw kartu..."

Dalam hati aku menyergah kebohongan yang terlihat jelas dari cara bicaranya yang dibuat-buat.

Dari tadi kan dia sudah draw banyak kartu dengan kartu gimmick.

Sumber daya kartu di tangan Yamada sudah sangat banyak.

"Bagaimana?"

Yamada berdiri dan meletakkan kartu di tangannya di atas bangku.

Lalu—dia sedikit merentangkan tangannya.

Posisi menunggu pelukan. Dia menatapku dengan wajah serius. Matanya menunjukkan harapan tertentu sambil menahan rasa malu. Ditatap dengan mata seperti itu... pilihanku hanya tinggal satu.

"...Kebetulan aku juga sedang ingin draw kartu."

Setelah memantapkan tekad, aku berdiri dengan mengumpulkan keberanian. Jika lawan sudah berani, aku juga harus membalasnya.

Sebenarnya—

Untuk kartu semacam "berjabat tangan" ini, aturannya adalah cukup dengan menunjukkan niat untuk berjabat tangan, tanpa perlu benar-benar melakukannya.

Jadi untuk pelukan kali ini pun, mungkin secara aturan tidak masalah jika aku hanya menunjukkan niat saja.

Namun.

Menunjukkan hal seperti itu sekarang rasanya terlalu tidak berperasaan.

Aku melangkah satu langkah mendekati Yamada.

"...Ta-tapi, tidak apa-apa kah, di tempat seperti ini?"

"Harusnya tidak apa-apa. Di sekitar sini sepi."

"...Kalau begitu."

"...Iya."

Kami berdua melangkah maju dan—berpelukan.

Grep.

Saling melingkarkan tangan di punggung dan berpelukan.

Entah ini sudah yang keberapa kalinya aku berpelukan dengan Yamada. Berapa kali pun, aku tetap tidak terbiasa. Meskipun terhalang baju, aku bisa merasakan suhu tubuhnya, dan jantungku berdebar kencang tak terkendali.

Aroma manis Yamada menggelitik hidungku... ah tidak. Ini aroma donat yang dia makan tadi. Mungkin ada remah-remah yang menempel di bajunya. Khas Yamada sekali.

"...Kira-kira ini sudah termasuk pelukan hangat belum, ya?"

Yamada berbisik di telingaku.

Suara kecil dengan nada manis itu membuat seluruh tubuhku seperti tersengat listrik.

"...Kurasa sudah."

"Menurutmu, berapa lama kita harus melakukan ini?"

"...Sa-sampai perasaan kita saling tersampaikan, kan? Kalau mengikuti teks kartunya."


"Sampai perasaan saling tersampaikan..."

Yamada mengucapkannya seolah mengunyah setiap kata.

"Kapan ya, akan tersampaikan?"

"...Entahlah."

Meskipun di kartu gimmick itu tertulis dengan mudah, tapi kalau perasaan antar manusia bisa tersampaikan semudah itu, kita tidak akan kesulitan, kan?

Aku dan Yamada, selama ini berkali-kali saling tidak mengerti, tapi sedikit demi sedikit kami mendekatkan perasaan kami.

Akhirnya kami bisa pacaran... tapi bukan berarti dengan pacaran, kita bisa langsung saling memahami segalanya. Meskipun pacaran, meskipun berpelukan... meskipun ber-ci-ciuman, mungkin lebih banyak hal yang tidak tersampaikan daripada yang tersampaikan.

Tapi, meskipun begitu—

"Entahlah... tapi aku ingin perasaan kita saling tersampaikan."

"...Benar."

Yamada berkata dengan pelan. Lalu,

"Baiklah, sudah cukup."

Dia melepaskan pelukan dengan cepat dan kembali ke posisi semula.

"Apa sudah saling tersampaikan?"

"Iya. Kurasa perasaan 'ingin saling memahami' kita sudah tersampaikan."

Yamada tersenyum gembira.

Melihatnya seperti itu, aku juga merasa bahagia... dan saat dia melihat ke arah lain sejenak, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk memperbaiki posisi bagian bawah tubuhku yang sudah dalam kondisi gawat.

Astaga... Aku ingin segera menjadi pria yang tidak langsung ereksi hanya karena skinship emosional seperti ini.


"Aah, menyenangkan sekali!"

Setelah pertarungan selesai, kami berjalan berdampingan keluar dari taman.

"Ayo main lagi lain kali."

Yamada mengerucutkan bibirnya, terlihat tidak puas.

"Oh iya. Tapi, kamu akan menjual kartu-kartunya, kan?"

"Masih kupikirkan..."

Tadinya aku berniat menjualnya, tapi kalau bisa bermain seperti ini dengan Yamada, rasanya aku jadi tidak ingin menjualnya. Hmm, tapi seratus ribu yen itu jumlah yang besar, sih.

"...Ah"

Saat kami melewati samping taman, Yamada tiba-tiba bersuara dan berhenti melangkah.

Pandangannya tertuju ke dalam taman.

Terlihat bagian belakang bangku tempat kami tadi bertanding kartu.

"Ada apa?"

"Tidak, bukan apa-apa... Hanya saja aku jadi teringat sesuatu."

Yamada berkata.

"Sepertinya waktu kelas 5 SD, saat aku jalan-jalan dengan teman di sekitar sini, ada anak laki-laki yang sedang bermain kartu 'Chaos Legends' di bangku taman."

"...Hmm."

"Setelah itu, kami berpapasan dengan anak laki-laki yang ada di taman... Anak laki-laki yang agak pendek sedang menerima kartu dari anak lainnya."

"...Eh?"

"Entah kenapa. Aku masih ingat kejadian itu."

"..."

Tunggu. Tunggu sebentar.

Cerita barusan itu—

"Ba-bagaimana orangnya?"

"Eh?"

"Anak yang menerima kartu itu, kau ingat bagaimana orangnya?"

"Eh, hmm, bagaimana, ya...?"

Yamada meletakkan tangan di kepalanya, berusaha keras mengingat.

"Kalau tidak salah... dia yang paling pendek di antara tiga anak itu..."

"...La-lalu?"

"Umm... Yang bisa kuingat lagi adalah, di lengan bajunya... ada tulisan 'DEATH LAND'..."

"..."

"Maaf, aku tidak bisa ingat yang lainnya..."

Kenapa malah hanya ingat "DEATH LAND"?

Apa itu sangat berkesan?

Memang sih aku memakainya.

Aku memang suka memakai baju seperti itu...!

Pokoknya.

Dengan ini—sudah pasti.

"Itu... aku."

"Hah?"

"Yang berpapasan dengan Yamada di sini... itu aku."

"Eh? Eh?"

"Waktu kelas 5 SD... saat aku sedang bermain kartu di taman ini, anak-anak dari SD Migi menggangguku... Lalu saat pulang dari taman, aku menerima kartu dari temanku..."

Aku mengangkat wajahku.

Menatap ke atas, ke wajah Yamada yang lebih tinggi dariku.

"Dan kemudian—aku berpapasan dengan seorang anak perempuan yang tinggi."

"...Eh? Eh? Bo-bohong!"

Yamada membelalakkan matanya.

"Benarkah? Seperti apa anak perempuan itu?"

"Tingginya sekitar satu tas ransel lebih tinggi dari anak perempuan lainnya... Rambutnya diikat di samping."

"...I-itu aku, mungkin. Waktu itu aku sering mengikat rambut di samping..."

Yamada menatapku lekat-lekat.

"Ja-jadi, Kyotaro—adalah anak 'DEATH LAND' itu!?"

Tolong jangan sebut aku anak "DEATH LAND".

Memang benar, sih.

Menyedihkan, tapi memang benar.

"Wah... Aku sama sekali tidak sadar. Aku tidak melihat wajahnya, sih."

"Aku juga... tidak sadar sampai sekarang. Karena aku hanya melihat dari belakang."

"Ke-kebetulan yang luar biasa, ya!"

"Iya."

Aku terkejut.

Masih tidak bisa percaya.

Kebetulan macam apa ini.

Takdir macam apa ini.

Gadis tinggi yang hanya sekali berpapasan denganku saat kelas 5 SD ternyata adalah Yamada.

Ternyata kami pernah nyaris bertemu seperti itu.

"...Kartu yang kuterima dari temanku waktu itu adalah 'Dewi Kesuburan Annarose' ini."

Aku mengeluarkan "Annarose" yang kusimpan di dalam tas ransel.

Yamada menyentuh kartu itu.

Dengan tatapan yang jauh lebih penuh kasih sayang dibandingkan saat tahu kartu itu bernilai seratus ribu yen.

"Begitu, ya... Ternyata aku sudah pernah bertemu Kyotaro sebelumnya."

"Sepertinya begitu."

Entah kenapa, kami berdua terus menatap kartu itu bersama-sama.

Yah, mungkin ini bukan cerita yang berarti apa-apa.

Meskipun kami bertemu, kami hanya berpapasan tanpa bertukar kata. Benar-benar nyaris tidak bertemu. Meskipun fakta itu terungkap, tidak ada yang benar-benar berubah.

Hanya saja—

Gadis misterius yang tinggi yang selalu kuingat saat melihat kartu langka.

Kejadian yang entah kenapa sangat membekas itu—tepat pada saat ini, telah menjadi kenangan yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup.


Malam hari itu—

"Eh? Bukan seratus ribu yen?"

"...Yah."

Aku sedang berbicara dengan Yamada melalui telepon di kamarku sebelum tidur. Meskipun bukan hal yang penting, aku merasa perlu memberitahunya.

"Setelah pulang dan memeriksanya lagi... yang harganya seratus ribu yen itu 'Annarose' versi Secret Super Rare."

"Se-secret...?"

"'Annarose' yang kumiliki hanya Super Rare biasa."

Sepertinya aku telah salah paham.

Aku terlalu terkejut dengan angka seratus ribu yen sehingga berhenti memeriksa lebih detail.

Dalam pasar kartu permainan, nilai kelangkaan bisa sangat berbeda bahkan untuk kartu yang sama tergantung tingkat kelangkaannya.

Memang benar "Annarose" sedang naik nilainya, tapi yang bernilai seratus ribu yen hanya versi Secret Super Rare yang paling langka.

Super Rare yang kumiliki ternyata hanya bernilai sekitar lima ribu yen.

Lima ribu yen memang masih cukup mahal, tapi tentu saja terasa kecil dibandingkan seratus ribu yen.

"Begitu, ya. Sayang sekali."

"Yah, nilai kartu kan tergantung pasar, jadi mungkin saja suatu saat nanti nilainya akan naik."

"Hmm."

"...Tapi tidak apa-apa. Lagipula, aku sudah tidak berniat menjualnya."

Setelah itu—

Aku pulang ke rumah tanpa pergi ke toko kartu.

Karena sudah tidak perlu meminta penilaian. Soal tingkat kelangkaannya pun, aku hanya kebetulan menyadarinya saat iseng memeriksa kartu.

Aku menatap kartu yang ada di tanganku.

"Dewi Kesuburan Annarose"

Kartu yang kukira bernilai seratus ribu yen, ternyata hanya lima ribu yen.

Turun nilai sembilan puluh lima ribu yen.

Tapi anehnya, aku sama sekali tidak merasa rugi. Malah sebaliknya, kartu itu terlihat jauh lebih bersinar dari sebelumnya.

"Kyotaro, lihat, lihat!"

Yamada beralih ke panggilan video. Aku sempat terkejut melihat penampilannya dengan pakaian rumah, tapi segera layar dipenuhi oleh sebuah kartu.

"Pertapa Sunyi Kyou"

Kartu yang katanya mirip denganku.

Saat berpisah tadi, Yamada bilang dia menginginkannya, jadi kuberikan padanya sebagai hadiah.

"Aku akan menjaganya baik-baik."

"...I-itu bukan kartu langka atau apa, hanya kartu biasa, jadi kurasa tidak perlu dijaga sebaik itu."

"Aku akan menjaganya baik-baik."

Meskipun aku bergumam pelan, Yamada menjawab dengan tegas.

Aku dan Yamada.

"Kyou" dan "Annarose"

Kami berdua memegang kartu yang mirip dengan diri kami masing-masing.

...Ini juga bukan cerita yang berarti apa-apa, tapi... entahlah, perasaan apa ini yang membuat hatiku berdebar?

"Kyotaro juga... jaga aku baik-baik, ya."

Kata Yamada.

Dengan nada suara yang biasanya memberikan serangan One Turn Kill padaku.

"...Akan kuusahakan."

Hanya itu yang bisa kukatakan sebagai balasan.

Sambil terus berbicara di telepon, aku menyimpan kartu itu di meja.

Sedikit lebih hati-hati dari sebelumnya, tapi tidak terlalu berlebihan.

Mulai sekarang, setiap kali aku melihat kartu ini, aku pasti akan teringat.

Bukan lagi gadis misterius yang tinggi—melainkan.

Kenangan baru bersama Yamada Anna—


"...Oh iya, omong-omong."

Meskipun rasanya cerita ini sudah mencapai akhir yang bagus, ada sesuatu yang tiba-tiba membuatku penasaran.

"Anak-anak SD Migi yang menggangguku waktu itu... mereka tiba-tiba jadi gelisah saat melihat Yamada yang kebetulan lewat. Seperti ketakutan gitu."

Reaksi mereka aneh, seperti campuran malu dan takut.

Awalnya kupikir itu fenomena khas anak laki-laki SD yang jadi canggung di depan anak perempuan, tapi rasanya reaksi mereka terlalu berlebihan.

"Aneh, ya. Apa yang sebenarnya terjadi, ya?"

"Ah... Um. Sampai sekarang aku juga tidak terlalu paham, tapi waktu SD, ada masa di mana aku dihindari oleh anak laki-laki."

Yamada melanjutkan dengan sedikit malu-malu.

"Sekitar kelas 4 SD... karena musim panas panas, ada waktu di mana aku pergi ke sekolah dengan pakaian renang."

"—!?"

Pergi ke sekolah dengan pakaian renang!?

Maksudnya pakaian renang sekolah?

Sulit dipercaya... tapi, sepertinya aku pernah mendengar cerita itu. Rasanya aku pernah diam-diam mendengar Yoshida membicarakannya.

"Cu-cuma beberapa kali, kok... tapi setelah itu, tiba-tiba anak laki-laki mulai menghindariku. Kalau aku mendekat, mereka semua jadi gelisah dan pergi... Kenapa, ya?"

"..."

Aku bisa sangat memahami perasaan anak laki-laki SD Migi yang tiba-tiba jadi gelisah itu.

Wajar saja mereka jadi canggung.

Mungkin selama beberapa tahun mereka tidak bisa menatap langsung.

Melihat anak perempuan dengan percaya diri mengenakan pakaian renang sekolah di tempat yang bukan kolam renang. Apalagi Yamada sudah tinggi sejak SD, dan postur tubuhnya pasti juga bagus—

Uwaaaaa~!

Anak-anak SD yang satu sekolah dengannya, sialan~!

Kupikir cerita ini akan berakhir dengan emosional, tapi di saat-saat terakhir malah muncul fakta baru yang sangat membuat frustasi. Padahal tadinya aku berniat memaafkan anak laki-laki itu karena sudah lama berlalu, tapi sekarang muncul rasa ingin membunuh yang baru terhadap mereka.


Previous Chapter | ToC | 

0

Post a Comment



close