NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Boku o Futta Oshiego Ga, 1-Shuukan-Goto ni Derete Kuru Rabu Kome V1 Chapter 1.4

 


Penerjemah: Rion 

Proffreader: Rion


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.

Jangan lupa juga join ke DC, IG, WhatsApp yang menerjemahkan light novel ini, linknya ada di ToC ini.


Chapter 1.4 - [ Agustus ④ ] Bidik Sekolah Pilihanmu!


Hari ini, menjelang akhir libur musim panas, aku pergi ke restoran cepat saji di pusat perbelanjaan.

Setelah memesan teh oolong, aku melihat sekeliling area tempat duduk di lantai dua dan memperhatikan seorang gadis yang duduk di kursi dekat jendela. Dengan antusias, dia mengibaskan tangannya ke arahku.

"Sensei, aku di sini loh~!"

Gadis itu mengenakan gaun one-piece berwarna hijau muda yang menenangkan. 

Meskipun cuaca masih panas, dia terlihat segar, seperti bunga-bunga di musim semi. Apa pun yang dikenakannya tampak serasi padanya.

Duduk berhadapan, aku memberikan laporan.

"Mebuki-san, izin untuk melakukannya pekerjaan ini telah disetujui oleh pihak sekolahku."

"Benarkah!?"

"Aku harus menulis tentang makna mengajar dalam formulir permohonan, dan aku menulis bahwa dengan mengajar orang lain, aku juga bisa mengevaluasi pemahamanku sendiri. Dan akhirnya, mereka pun menyetujuinya."

"Jika kontrak ini juga bermanfaat bagi sensei, aku juga sangat senang!"

"Dengan ini, semua izin yang diperlukan telah selesai. Yang tersisa hanyalah mengajukan dokumen ke pusat lembaga, dan meresmikan kontrak ini."

Alasan kami bertemu hari ini adalah untuk menyerahkan formulir permohonan untuk kontrak bimbingan belajar ke pusat lembaga 'Ichiban Goukaku Seminar'.

Kami sudah bersiap dengan formulir yang telah disiapkan sendiri, baik olehku yang akan menjadi guru maupun Mebuki-san yang akan menjadi murid.

Sejak awal, kami sudah memutuskan untuk pergi dan menyerahkannya bersama-sama.

"Mulai sekarang, kuberharap bisa bekerja sama denganmu lagi, sensei!"

"Uh, baiklah. Tapi, tolong jangan sebut aku 'sensei' di tempat umum seperti ini."

Aku mengatakan itu sambil melihat ke sekeliling restoran yang ramai.

"Kenapa begitu? Mulai sekarang, kamu benar-benar menjadi seorang guru, bukan?"

"Itulah mengapa aku malu jika orang lain mendengarnya. Lagipula, dari sudut pandang orang lain, tidak akan terlihat bahwa kita adalah guru dan murid sama sekali."

"Apakah begitu? Aku masih seorang siswa SMP, dan sensei adalah siswa SMA. Kurasa tidak aneh jika terlihat sebagai guru dan murid."

"Tapi, perbedaannya hanya satu tahun..."

"Lalu, bagaimana mereka melihat hubungan kita?"

"Mungkin seperti senior dan junior di sekolah, teman, atau mungkin juga k---"

Tanpa sadar, hampir saja aku mengatakan 'kekasih', sehingga aku buru-buru meneguk teh oolong dalam satu tegukan.

"Kakak beradik! Ya, mungkin begitu. Kita juga terlihat seperti saudara kandung juga." 

"Hee~ Kalau begitu, aku akan memanggil sensei 'onii-chan' nantinya."

"Ah, tidak, bukan itu yang kumaksud. Dan jangan memanggilku 'onii-chan'!"

Jika dia benar-benar memanggilku 'onii-chan', aku merasa seperti akan mati nantinya.

"Kalau begitu, 'sensei' sudah yang paling pas, bukan?" 

"Ugh baiklah, aku mengerti. Aku tak keberatan jika kamu memanggilku begitu....."

"Kalau aku memanggil nama belakangmu, 'Wakabano-san', rasanya seperti kita hanya teman biasa. Terlebih lagi, aku merasa lebih nyaman dan bersemangat saat memanggilmu 'sensei'."

"Kalau begitu, apa aku juga sebaiknya memanggil Mebuki-san dengan nama yang terdengar seperti seorang murid sesungguhnya?"

"Silakan, perlakukan aku sebagai seorang murid! Umn... tapi, panggilan seperti apa yang akan sensei gunakan!?" 

Itu benar. Sebenarnya, bagaimana cara yang tepat untuk memanggil seorang murid? Ketika mengingat guru-guru di sekolah atau di tempat kursus, mereka selalu punya berbagai cara untuk memanggil masing-masing siswa.

"Mungkin... memanggil dengan nama belakang tanpa adanya honorifik..." Sambil memandang Mebuki-san, aku memanggilnya pelan dengan suasana seperti seorang guru yang sebenarnya.

"Mebuki..."

"Benar-benar, rasanya seperti sensei disekolahku!”

"Apa sedikit berlebihan?"

"Rasanya sedikit aneh saat mendengar kamu memanggilku begitu. Tapi kalau dipikir-pikir, memanggil dengan nama keluarga di rumah rasanya juga kurang sopan."

Aku mengerti, jika dirimu adalah seorang guru privat, kamu pasti sering bertemu dengan keluarga dari muridmu. Mungkin memang lebih baik untuk membuat perbedaan.

Memutar otak sekali lagi, dengan ragu aku mengucapkan nama lain. 

"Hinata...?" 

"............!" 

Mebuki menegakkan punggungnya dan menjadi kaku.

"M, mengucap nama depan tanpa honorifik memang terasa sok akrab, ya?" 

"Tidak, tidak! Aku merasa semangatku lebih terjaga! Karena sensei juga akan menjadi guru lesku, tolong bawa sikap yang tegas. Mari kita latihan. Pandanglah aku sebagai murid dan panggil dengan nama saja."

Meskipun rasanya aku terlalu terbawa arus, tapi tidak ada pilihan lain. Sambil membayangkan suasana pembelajaran, aku berbicara.

"Hinata, apa kau sudah menyelesaikan PR liburan musim panasmu?" 

"Tentu saja, sensei! Aku sudah menyelesaikan semua PR-nya dan sekarang sedang memeriksa apakah ada kesalahan!"

"Hebat, Hinata, kau benar-benar rajin belajar. Sensei senang punya murid yang berkualitas sepertimu." 

"Ehehe~. Jangan hanya memuji, sensei, beri petunjuk yang ketat juga oke?"

"Petunjuk yang ketat!? Ba, baiklah... Oh, Hinata, kau membuat kesalahan di rumusnya. Bagian ini sangat penting sebagai dasar. Pastikan untuk mengingatnya dengan baik." 

"I, iya! Maaf, aku lengah! Aku akan merevisi agar tidak salah lagi!"

"Baiklah. Hinata, kau adalah murid yang bisa jika berusaha. Jangan menyerah!" 

"Terima kasih atas petunjuknya, sensei!"

Sebelum aku menyadarinya, sepasang muda-mudi di sebelah kita tampak melihat dengan wajah seolah bertanya, 'Apa yang mereka lakukan?' 

Aku tak sengaja merapatkan kepala ke atas meja.

"Ini memalukan..." 

"Kenapa? Sensei terlihat sangat cocok! Sama seperti guru kebanyakan!" 

"Mungkin sebaiknya, aku tetap memanggilmu 'Mebuki-san' untuk sementara waktu?" 

"Hmm, ya, memang agak sulit. Tapi tolong, jika diperlukan, tetap berikan aku petunjuk dengan tegas, sensei."

"Sebenarnya, aku merasa sejak tadi lebih banyak menerima petunjuk daripada memberikan petunjuk sendiri." 

Aku juga baru menjadi guru les pemula. Sebagai pengajar, ada banyak hal juga yang harus aku pelajari.

Melihat jam, ternyata sudah lewat pukul dua sore.

"Mebuki-san, bagaimana kalau kita pergi mengajukan dokumen sekarang?" 

"Sebelum itu, sensei, bolehkah aku minta satu permintaan? Ada tempat yang ingin kukunjungi." 

"Hari ini kita punya banyak waktu, aku bisa mengantarmu. Memangnya, kemana kamu ingin pergi?" 

"Nah, itu sebenarnya...." 

Entah kenapa, Mebuki-san menatapku dengan mata yang penuh harapan.


🔸◆🔸


Setelah keluar dari restoran cepat saji di pusat perbelanjaan, aku dan Mebuki-san naik bus menuju tempat yang dia ingin kunjungi. 

Tempat itu adalah Tokinosaki Gakuen, SMA swasta tempatku saat ini bersekolah.

Sebagai sekolah baru yang didirikan sekitar sepuluh tahun lalu, bangunan sekolah yang modern berdiri dengan cukup megah. Karena sekarang sedang liburan musim panas, kami berhenti di depan gerbang utama tanpa masuk ke dalam area sekolah.

"Wah~. Rasanya lebih luas daripada yang kulihat di foto."

Mebuki-san berdiri di depan pintu gerbang sambil menyipitkan mata, mengagumi bangunan sekolah.

"Oh ya, aku belum pernah tanya, tapi apa sekolah impian Mebuki-san itu...?"

"Iya! Aku ingin melanjutkan ke Tokinosaki Gakuen!"

Tokinosaki Gakuen didirikan oleh para pendidik yang aktif di berbagai institusi pendidikan di dalam dan luar negeri. Kurikulumnya mencakup metode belajar terkini, memungkinkan siswa belajar dengan efisien tanpa tekanan.

Tapi itu belum semuanya. Yang paling ditekankan oleh sekolah ini adalah pembelajaran yang terfokus pada masa depan pribadi setiap siswa. 

Selama tiga tahun di sekolah menengah, siswa didorong untuk memikirkan masa depan mereka sendiri, memahami berbagai aspek masyarakat, dan belajar di bidang yang mereka minati, dengan dukungan yang disesuaikan.

Meskipun menjadi pilihan populer di kalangan siswa SMP di daerah ini, tingkat kesulitan ujian masuknya cukup tinggi.

"Aku tahu sekolah ini sejak masih kelas satu SMP, dan aku berencana untuk melanjutkan ke sini di masa depan. Semakin banyak aku mempelajari informasi tentang sekolah ini, semakin kuat perasaanku. Tapi aku selalu tak begitu yakin bisa lulus ujiannya, jadi aku jarang mengatakannya kepada orang lain."

"Aku juga baru tahu. Bahkan saat kita belajar bersama, kamu tak pernah membicarakannya, bukan?"

"Waktu mendengar bahwa sensei berhasil lolos ujian masuk Tokinosaki Gakuen, aku kagum sekali, tapi aku memutuskan diam..."

"Bagaimana dengan ibumu, Mebuki-san? Apa dia setuju dengan pilihanmu untuk masuk ke Tokinosaki?"

"Ibu ingin aku masuk ke Ryushiki..."

Ryushiki Gakuen, SMA Swasta tradisional yang sudah ada sejak lama, menjadi pilihan bagi banyak keturunan keluarga terkemuka. Meskipun standar deviasi nilai siswa standar, biayanya cukup tinggi, dan martabat kandidat dianggap penting dalam tes wawancara.

Prestise sekolah sangat tinggi, lulusannya seringkali membentuk jaringan hubungan dalam dunia politik dan bisnis, bahkan menjadi bagian dari keluarga terkenal. 

Namun, sekolah ini memiliki peraturan yang sangat ketat, mengatur tidak hanya kehidupan sekolah tetapi juga aspek-aspek pribadi seperti penggunaan ponsel dan hubungan sosial di luar sekolah.

"Meskipun Ryushiki Gakuen juga sekolah bagus, sepertinya Mebuki-san merasa tidak puas ya?"

"Bukan tidak puas sih, tapi saat aku melihat brosur penerimaannya, rasanya seperti tak selaras dengan arah yang aku ingin pelajari... Dan meski sudah mengatakannya berkali-kali, ibu belum pernah mau mendengarkan."

"Apa ibumu punya alasan khusus untuk mendorongmu ke sekolah itu?"

"Ryushiki Gakuen itu... almamater ibuku..."

"Ah, aku mengerti..."

Bagi seorang orang tua, mungkin lebih nyaman menyekolahkan anak perempuannya di sekolah yang memiliki sejarah dan reputasi yang sudah jelas, daripada harus berada di sekolah yang tidak dikenal.

"Aku mengerti kekhawatiran ibu. Dia ingin memastikan aku tidak membuat kesalahan dalam memilih jalur karirku, dia peduli padaku. Tapi setidaknya... kuharap dia bisa sedikit lebih percaya padaku..."

"Mebuki-san, sepertinya kamu tidak akan menyerah untuk mengikuti ujian masuk ke Tokinosaki, ya?"

"Tidak, aku takkan menyerah! Aku akan belajar dengan tekun dan meningkatkan nilai akademisku. Kuyakin, jika serius, ibu pasti akan merasakan tekadku! Jika itu terjadi, dia pasti akan mendukung semua keputusan yang kupilih!"

Dengan mata yang penuh tekad serta kekhawatiran, Mebuki-san bertanya, "Sensei, apa... aku benar-benar bisa lolos?"

"Yah... Melihat nilai semester pertama yang kamu tunjukkan beberapa waktu lalu, jujur saja, mungkin agak sulit dengan kondisi saat ini. Tapi aku tahu. Saat melihatmu belajar tahun lalu, Mebuki-san bisa memahami dengan tepat setiap saran yang kuberikan, dan kamu bahkan terus meningkatkan nilaimu. Jika metode belajarmu tepat, aku yakin kamu bisa mencapai prestasi yang jauh lebih tinggi lagi. Kamu pasti bisa meraih kelulusan di Tokinosaki Gakuen dengan mantap!"

"Aku akan berusaha sekuat tenaga! Aku pasti akan membuktikannya pada ibu!" 

Sambil memandang lapangan, aku membayangkan Mebuki-san yang berjalan menuju sekolah ini, lalu menyadari satu fakta yang cukup wajar.

Jika dia lulus ujian masuknya... dia pasti akan menjadi teman sekolahku, bukan?

Pertanyaannya, bagaimana hubungan kami nantinya? Senior dan junior? Teman lama dari tempat yang sama? Ataukah..........

Di kejauhan, di bawah bayangan gedung sekolah, terlihat bayangan dua orang. Mereka sepertinya sedang pergi ke sekolah, seorang siswa laki-laki dan seorang siswa perempuan. Tanpa sadar, mereka mengaitkan tangan satu sama lain, terlihat bahagia. 

Apa mereka tidak menyadari kami sedang memperhatikan? Atau... mungkinkah mereka tak peduli? 

Saling menyentuh rambut satu sama lain, memeluk bahu dan bercumbu ria. Jujur, ini membuatku merasa malu karena menyaksikan mereka seperti ini.

Mungkin, pada waktu yang sama tahun depan, Mebuki-san dan aku akan seperti mereka---

Tergoda oleh bayangan semacam itu, aku tanpa sadar memandang Mebuki-san di sebelahku.

Namun, mata Mebuki-san dan mataku bertemu dengan tiba-tiba.

"Eh!?" dengan wajah bingung, dia menahan napasnya.

"Baiklah, sensei. Mulai sekarang, karena kita guru dan murid, jadi---"

Mebuki-san meletakkan tangan di pinggangnya, menatapku dengan ekspresi seolah-olah dialah guru pembimbingnya saat ini.

"Jangan sampai suka padaku, ya!"

"T-tentu saja, aku tahu itu!."

Apa yang dia katakan itu benar. 

Aku tak boleh memeluk perasaan penuh kebimbangan seperti ini. Aku harus membuang jauh-jauh bayangan manis asam dari imajinasi cinta.

"Dulu, sewaktu aku sibuk belajar untuk ujian, Mebuki-san selalu mendukungku. Saat aku lulus, kamu bahkan bersuka ria bersamaku. Namun, sungguh egois. Aku malah terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri dan bahkan tak mengucapkan terima kasih sedikitpun padamu..."

Aku berpaling dan memandang lurus ke arah Mebuki-san.

"Sekaranglah waktunya untuk mengucapkan terima kasih itu. Aku lulus karena dukungan dari Mebuki-san. Aku ingin membalas bantuanmu. Kali ini, akulah yang akan membuatmu, Mebuki Hinata lulus ke sekolah impianmu."

"Aku senang mendengarnya. Mulai sekarang, aku akan mengandalkanmu, sensei!"

Sebagai guru untuk les privatnya, aku tidak boleh melihat murid sebagai objek cinta. Ambisi tertinggiku sekarang adalah melihat senyum bahagia Mebuki-san saat dia lulus.

"Baiklah, Mebuki-san, mari kita pergi menyerahkan formulirnya."

Dibawah jalanan yang disirami sinar matahari musim panas, kami menjauh dari bangunan sekolah.

Bukan hanya berhenti di depan gerbang, aku bisa membayangkan Mebuki-san akan melangkah melewati gerbang sekolah ini dengan seragam SMA-nya pada musim semi berikutnya.


🔸◆🔸


Pada malam hari terakhir liburan musim panas, aku duduk di meja belajar sambil terus-menerus menggoreskan pensil.

"Baiklah, sudah selesai...!"

Dengan perasaan lega, aku menindih meja setelah menyelesaikan tugas rumah musim panas tepat waktu.

Di awal liburan, aku kehilangan semangat dan meninggalkan tugas rumah. Kupikir aku akan menghabiskan musim panas ini dalam kemalasan.

Namun, pertemuan kembali dengan Mebuki-san mengubah segalanya.

Semangatnya menyalakan api di hatiku, membara dan mendorongku untuk kembali fokus pada pembelajaran.

Aku tahu, kedepannya akan lebih sulit. 

Aku harus mengatasi dua tanggung jawab sekaligus: belajar untuk diriku sendiri, serta menjadi guru privat untuk Mebuki-san.

"Aku tidak menduganya. Aku akan begitu sibuk belajar lagi..."

Aku merasa seperti kembali ke masa-masa di tahun lalu ketika aku sedang belajar untuk ujian. Namun, semangat juang memenuhi hatiku.

Buku pelajaran kelas satu SMA Tokinosaki berada tepat di depanku. Tahun depan, seharusnya dialah yang memegang buku pelajaran ini.

"Mebuki-san..."

Aku menggumamkan nama itu dan mulai menyadarinya, merasa bahwa caraku memanggilnya mulai berubah, dari panggilan untuk orang yang dicintai, menjadi panggilan sebatas murid.

Saat aku patah hati karenanya, rasanya seperti segalanya telah berakhir. Seperti jatuh kedalam jurang keputusasaan, dan tak pernah bisa merangkak naik lagi.

Namun, kini aku sadar. Itu bukanlah akhir, patah hati itu adalah awal. Awal dari pertarungan yang sangat panjang.

Meskipun harus melangkah tanpa cinta itu, aku tak berniat kalah. Aku akan berlari, dan terus berlari melalui perjalanan jauh ini sampai ke garis akhirnya.


---Sementara itu, gadis yang menjadi muridnya, Mebuki Hinata juga tengah belajar di meja belajarnya.

Meskipun tugas rumah sudah selesai, tidak ada yang namanya istirahat bagi siswa ujian.

Meninjau ulang materi semester pertama, melakukan persiapan semester kedua, dan belajar menggunakan buku referensi yang tersedia di pasaran untuk ujian kedepannya.

Namun, tetap saja. Bahkan bagi dirinya, belajar terlalu lama juga pasti membuat tubuhnya kaku.

"Uh, nggh..."

Hinata mengangkat kedua lengan dan meregangkan tubuhnya. Melihat jam ditembok, jarum-jarum jam itu menunjukkan pukul 9.30 malam.

"Besok sudah masuk semester baru, ya..."

Jika terlalu lama terjaga, dia sadar itu pasti akan mempengaruhi kualitasnya belajarnya di sekolah besok. 

Merasa hari ini sudah cukup, Hinata menutup buku catatan dan buku referensi, lalu meletakkannya di rak.

Kemudian, dia membuka tas sekolahnya, dan menyiapkan perlengkapan untuk sekolah besok. 

Meski tidak perlu membawa buku pelajaran karena itu hari pertama, dia tetap harus membawa buku latihan berisi PR musim panas yang harus diserahkan besok.

Dan begitulah, sepertinya dia tidak melupakan apapun.

"Apa seragamnya masih oke ya...?"

Satu setelan seifuku berwarna putih dengan lengan pendek digantung di gantungan dinding diatas tempat tidur.

Hinata melepas jaket dan rok, menanggalkannya satu persatu, lalu melipatkannya dengan rapi.

Dia mengambil seragam dan rok dari gantungan dinding, memastikan tidak ada noda atau lipatan. Karena sudah dibersihkan selama liburan, seragam itu kini terlihat baru dan bersih.

Sambil melebarkan seragam dengan kedua tangan, Hinata melihatnya dengan perasaan haru.

Masih ada setengah tahun lagi dalam kehidupan SMP-nya, tetapi dia hanya akan mengenakan seragam musim panas ini selama sekitar sebulan lagi.

"Ada banyak hal yang terjadi selama musim panas di SMP..."

Di musim panas itu... dia juga bertemu dengan Wakabano Eito, tepatnya satu tahun yang lalu.

Di tempat kursus, Hinata bingung karena lupa membawa buku catatannya, dan saat itulah dia muncul, dengan secara tiba-tiba memberinya buku catatan. Saat melihat isi buku yang dipinjamkannya, Hinata terkejut dengan metode belajar efisien yang belum pernah dilihat sebelumnya.

"Kapanpun, sensei selalu bisa membuatku terkejut, ya..."

Sambil mengenang saat-saat itu, Hinata tersenyum penuh kenangan. Tapi hal besar yang terjadi bukan hanya saat pertemuan itu. Waktu itu... ada juga kejadian tak terduga pada hari di akhir musim dingin...

Sebuah kejadian yang terjadi di taman tempat mereka berdua berjalan-jalan bersama pada hari ketika Eito diterima di sekolah pilihannya.

Tanpa pernah menduga, Hinata mendapatkan pengakuan tiba-tiba darinya.

Hinata, seorang gadis polos yang belum berpengalaman dalam cinta, merasa aneh tentang bagaimana bisa orang-orang jatuh cinta dengan begitu mudahnya. 

Meski sepertinya, para anak laki-laki yang menyatakan perasaan padanya juga masih belum dewasa, mereka mungkin hanya asal mendambakan yang namanya cinta.

Itulah sebabnya, ketika mendapat pengakuan dari Eito yang diandalkannya, dia benar-benar terkejut.

"Sensei, apa yang membuatmu tertarik padaku...?"

Mungkin Eito menilai Hinata terlalu tinggi. Mungkin juga dia salah paham bahwa Hinata adalah wanita yang serius karena melihatnya belajar dengan tekun.

Tapi sudah cukup, perasaan Hinata sudah tersampaikan. Hal seperti itu tidak akan terjadi lagi.

"Jujur sebenarnya... aku masihlah anak yang berpemikiran dangkal, manja, dan tak bisa melakukan apa-apa sendiri."

Setelah selesai mengganti seragam, Hinata keluar dari kamarnya dan berdiri di depan cermin yang terletak di koridor.

Melihat dirinya yang mengenakan seragam setelah sekian lama membuatnya merasa semakin termotivasi.

"Karena itulah, aku harus lulus dengan usahaku sendiri. Tidak hanya bergantung pada sensei saja, tapi aku juga harus belajar sekeras mungkin!"

Bersamaan dengan awal semester baru, pelajaran les privat dari Eito pun dimulai.

Tidak ada waktu untuk berhenti sejenak.

"Lihatlah, aku akan berusaha sekuat tenaga, sensei!"

Seolah berbicara kepada diri sendiri di depan cermin, Hinata membisikkan kata-kata dengan penuh tekad.


Previous Chapter | ToCNext Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close