NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Gyaru ni mo Fukezu Jilid 1 Bab 1

 Penerjemah: Randika Rabbani 

Proffreader: Randika Rabbani 


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


BAB 1

“Formulir Pendaftaran Klub”


Bagian 1

"Angin ini—"

Aku buru-buru menekannya dengan tanganku agar rambutku tidak berantakan.

Di sini adalah jalan berkerikil yang dikelilingi oleh pohon sakura pegunungan.

Di sekitarku ada gadis-gadis berseragam sekolah yang sedang memegangi rok mereka sambil berkata, "Kyaa, angin apa ini?", "Aduh, jangan—".

Mataku mengikuti arah angin lalu melihat ke langit, sudut bibirku terangkat.

Dalam dunia buatan karya sastrawan kelahiran Iwate, Kenji Miyazawa, ‘angin’ melambangkan gerbang masuk menuju kisah yang menakjubkan.

Seperti dalam 'The Restaurant of Many Orders', 'The Acorns and the Wildcat', dan ‘Matasaburo of the Wind’. Mungkin, di sini juga merupakan gerbang masuk ke sebuah kisah.

Aku jadi membayangkan hal-hal fantasi seperti itu karena suasana di sekitar sini mengingatkanku pada dunia dongeng yang digambarkan oleh Kenji.

Saat aku melihat sekeliling, tunas-tunas hijau, warna kuning dari bunga dandelion, warna merah muda pucat bunga sakura tertangkap oleh mataku, dan ketika aku memasang telingaku, suara hembusan angin, gemericik sungai kecil, dan kicauan burung liar. 

Suara-suara itu menggelitik pendengaranku.

Jika aku mempertajam kelima inderaku, mungkin aku bisa menemukannya.

Kucing dengan topi keren, tanaman yang asyik mengobrol, dan kereta lokomotif uap yang melintasi galaksi....

Sambil berkhayal, aku menyeberangi jembatan batu yang berlumut, dan dari balik rimbunnya ranting dan dedaunan yang saling bertumpukan, terlihat sebuah bangunan sekolah kayu yang seperti membawa kita kembali menuju seratus tahun yang lalu.

Itu adalah SMA Takizaki Prefektur Iwate.

Meskipun sekolah ini berada di kaki Gunung Iwate dan memiliki kesan "SMA di pelosok desa", aku menyukainya.

Di sini, aku bisa membaca buku-buku karya Miyazawa Kenji di tengah-tengah alam, dan melakukan penelitian tentangnya.

Setelah mengganti sepatu di pintu masuk, aku berjalan di koridor dan melihat pemandangan aneh yang membuatku menghentikan langkahku.

...Ada apa ini? Ada kerumunan orang di depan kelas.

"Ooh, Tooya. Kamu sangat terlambat hari ini."

Yang menyapaku adalah Tanuma Moritsura, dia memiliki aura serius—bertubuh tinggi dengan bahu lebar, dan memakai kacamata berbingkai hitam yang menjadi ciri khasnya.

Di sebelahnya ada Otozumi Futa, yang dalam banyak hal bertolak belakang dengannya. 

Bertubuh kecil dan kurus, dia mendekatiku dengan tangan terangkat dan sikap yang terlalu ramah, seperti orang yang suka cari muka.

Meskipun keduanya berbeda denganku, tapi kami sama-sama terasing di kelas.

Tanuma terlalu serius dan tidak bisa diajak bercanda, sedangkan Otozumi terlalu bersemangat dan dibenci orang.

Sedangkan aku, tipikal anak introvert dengan kemampuan komunikasi yang rendah. 

Awalnya kami bertiga berkumpul karena sama-sama tidak cocok, tapi entah kenapa kami cocok satu sama lain, dan sekarang kami bisa disebut teman.

Ngomong-ngomong, "Tooya" adalah nama panggilan yang sepertinya diambil dari nama lengkapku — Tooya Yukifumi.

"Ah, selamat pagi..."

"Tooyaaa, bagaimana liburan Golden Week-mu?"

Otozumi merangkulku dengan akrab.

Meskipun aku kurang nyaman dengan jarak sedekat ini, tapi aku tidak merasakan niat buruk darinya, dan karena aku bukan orang yang bisa berkata terus terang, aku hanya tersenyum kecut dan berkata, "Ah, ya, lumayan..."

Sebenarnya, aku menghabiskan sebagian besar liburan Golden Week di klub sastra.

Klub sastra adalah klub yang aku dirikan sendiri dan hanya ada aku anggotanya. 

Aku membaca buku-buku karya Miyazawa Kenji, menelusuri jejaknya, dan menulis dongeng dan puisi karyaku sendiri.

"Ngomong-ngomong..."

Aku mencoba menanyakan hal yang membuatku penasaran.

"Kenapa kalian semua tidak masuk kelas? Apakah ada sesuatu di dalam?"

"Ah, itu..."

Tanuma menatap kelas dengan ekspresi penuh arti, dan Otozumi berkata dengan wajah bersemangat, "Ada murid pindahan! Sekarang dia sedang bicara dengan sensei di kelas!"

Murid pindahan?

Aku diam-diam meletakkan tanganku di dadaku.

Perasaan aneh ini... mungkinkah ini yang disebut dengan déjàvu.  

Meskipun ini pertama kalinya, rasanya aku pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.

Aku berpikir sejenak, lalu bergumam, "Tidak, ini berbeda."

Ini bukan dari dunia nyata, tapi pengalaman semu yang kudapatkan dari buku.

Setelah liburan panjang, sekolah di pelosok, kerumunan orang di depan kelas, dan murid pindahan—situasi ini sangat mirip dengan yang digambarkan Miyazawa Kenji dalam karya ‘Matasaburo of the Wind’.

Saat aku memikirkan itu, angin bertiup kencang, kaca jendela di koridor berbunyi, dan pohon pinus serta sakura di luar tampak bergoyang.  

Seperti angin yang muncul dalam dunia karya Miyazawa Kenji.  

Meskipun aku tahu itu tidak mungkin, di dalam lubuk hatiku, aku mengharapkan perkembangan ajaib seperti dalam dongeng.

"Jadi, seperti apa murid pindahannya?"

"Lihat saja sendiri. Lebih cepat kalau begitu."

"Betul, kamu akan terkejut."

Terkejut?

Untuk memastikan maksud mereka, aku berdiri di belakang kerumunan.  

Aku berjinjit dan mencoba mengintip dari atas bahu para siswa.

Celahnya terlalu sempit untuk melihat seluruh kelas, tapi aku bisa melihat sebagian.  

Hmm... di belakang kelas... tidak ada siapa-siapa.  

Di tengah juga... tidak ada orang... Jadi... mungkin dia ada di depan...

Aku mengalihkan pandanganku—

"Eh?"

Aku tanpa sengaja bersuara dan buru-buru menutup mulutku.

Yang sedang berbicara dengan guru di depan meja guru bukanlah Saburo—melainkan seorang gadis gyaru yang sepertinya pantas menjadi model sampul majalah.

Rambutnya yang tergerai tampak memancarkan kilau biru seperti langit malam.

Meskipun kupikir itu seragam sekolah yang ditentukan, tapi roknya terlihat agak pendek, dan bagian lain juga sepertinya sudah dimodifikasi.

Eh? Apa itu?

Sesuatu yang berkilau di telinganya, sepasang anting-anting hijau.

...Batu itu, mungkinkah... Peridot? Apakah itu asli?

Memang, sekolah ini memiliki aturan yang longgar, tapi tidak ada siswa yang sampai sejauh itu.

Dengan masuknya gadis seperti itu, apa yang akan terjadi pada kelasku?

.

Bagian 2

"Baiklah, mari kita mulai homeroom pagi ini. Bagaimana kalian menghabiskan liburan Golden Week? Mungkin ada yang aktif bermain-main, dan ada juga yang bersantai. Kalau aku... aku ditugaskan pekerjaan administrasi... jadi aku kebanyakan berada di sekolah.... Tapi jangan khawatir. Mulai hari ini, aku akan memulai kembali dengan semangat baru dan berusaha keras dalam pelajaran bahasa Jepang bersama kalian..."

Di balik meja guru, wali kelas kami, Harume Kunazuna-sensei, mengepalkan tangannya dengan lemah saat mengatakan "berusaha keras".

Seorang wanita dengan mata yang kecil dan rambut semi-panjang, dia mengenakan baju merah muda pucat yang bernuansa seperti musim semi.

Menurutku dia cukup cantik, tapi ekspresinya selalu terlihat lelah.  

Menurut rumor di antara para siswa, dia akan berusia 30 tahun ini dan tanpa memiliki pacar, apalagi menikah.

"Nah, kalian pasti sudah menyadarinya, ada murid pindahan di kelas 1-5 ini. Dia datang jauh-jauh dari Tokyo."

Eh? Tokyo?

Ini adalah sekolah menengah atas di pelosok desa, bukan sekolah yang punya keistimewaan.  

Pada dasarnya, siswanya adalah anak-anak lokal. Bahkan jika dia berasal dari luar prefektur, itu sudah cukup mengejutkan... tapi dari Tokyo?

Sepertinya bukan hanya aku yang terkejut.  

Aku bisa mendengar suara-suara dari kursi di sekitarku, seperti "Jauh sekali", "Gadis kota nih".

Sensei menenangkan mereka, lalu mengulurkan tangannya ke samping.

"Baiklah, kalau begitu mari kita langsung minta dia untuk memperkenalkan diri. Murid baru, Silakan."

Pandangan seluruh kelas tertuju pada satu orang.

Perkenalan diri, ya...

Aku juga penasaran apa yang akan dikatakan gadis dari Tokyo ini.

Apakah dia akan berbicara dengan bahasa gaul yang tidak bisa dimengerti? Atau dia akan bersikap biasa saja? Apa yang akan dia lakukan?

“Ya~.”


Gadis gyaru itu menjawab dengan bersemangat, lalu menggerakkan kakinya ke samping dan melangkah lebih dekat ke meja guru.

Dia melihat sekeliling kelas dan tersenyum.

"Aku Shibusawa Mikane, aku berasal dari Tokyo. Aku suka dengan hal-hal yang mendebarkan dan menyenangkan. Aku ingin sekali cepat berteman dengan kalian semua dan menikmati kehidupan sekolah."

Dia melambaikan tangannya di dekat bahunya,

"Senang berkenalan dengan kalian semua."

Kesan pertama yang kudapatkan adalah, dia benar-benar gadis yang ceria.

Cantik, stylenya bagus, dan kepribadiannya ceria.  

Dia diberkahi banyak hal, aku jadi merasa iri.  

Kurasa dia pasti populer di Tokyo.  

Mungkin... tidak, pasti, dia juga akan populer di sini.

Seperti dugaanku, para gadis menyambutnya dengan "Waa...", "Senang berkenalan denganmu", dan para laki-laki berlomba-lomba mengangkat tangan untuk menunjukkan bahwa mereka punya pertanyaan.

"Ya, ya, bagus kalau kalian tertarik, tapi simpan pertanyaan kalian untuk saat istirahat, ya."

Sensei menenangkan mereka dengan melambaikan tangannya.

"Ada banyak perbedaan dengan Tokyo, jadi mungkin kamu akan sering merasa bingung. Kalian semua, tolong bantu dia, ya. Ngomong-ngomong, tempat dudukmu ada di barisan paling belakang dekat lorong. Hirai-san, tolong ya."

"Baik."

Yang menjawab adalah seorang gadis berambut hitam panjang dan berkacamata, Hirai Koko.

Dia adalah ketua kelas dan memiliki hubungan baik dengan semua orang.  

Mungkin sensei menempatkan Shibusawa-san di dekatnya dengan harapan Hirai-san akan menjaganya.  

Ngomong-ngomong, tempat dudukku ada di barisan paling belakang dekat jendela.  

Jaraknya cukup jauh dari gadis itu.

Setelah Shibusawa-san duduk di tempatnya, sensei mulai membagikan selembar kertas kecil.

Dari baris paling depan... baris kedua.. baris ketiga... Saat kertas itu dibagikan, aku bisa mendengar suara gaduh dari para siswa yang sudah melihat kertas itu.  

Karena penasaran, aku melihat kertas yang sampai padaku, dan tertulis "Survei Pilihan Jurusan Pertama".

Aku cukup terkejut karena sudah ada survei seperti itu.

SMA Takizaki dibagi menjadi jurusan Sastra dan IPA mulai kelas dua.  

Aku tahu bahwa pada akhirnya aku harus memilih, tapi aku tidak menyangka akan secepat ini...

Sensei kembali ke belakang meja guru dan mengangkat kertas itu agar terlihat.

"Ini adalah survei pilihan pertama. Lingkari jurusan yang kamu inginkan, Sastra atau IPA, dan kumpulkan sebelum akhir bulan ini. Mungkin ada yang belum memutuskan, tapi tidak apa-apa, tulis saja pilihanmu saat ini. Keputusan akhir akan diambil pada bulan November. Saat itu juga akan ada pertemuan tiga pihak."

Bagaimana ini?

Aku belum memikirkan sama sekali tentang jurusan.  

Seharusnya aku menjawab setelah memikirkan universitas tujuan dan pekerjaan yang ingin kulakukan di masa depan, kan?  

Tapi, aku tidak bisa memutuskan hal seperti itu secara tiba-tiba, dan aku tidak yakin bolehkah melingkari pilihannya secara asal-asalan....

Aku merapikan sudut-sudut kertas itu, lalu melipatnya menjadi dua dengan menggosoknya menggunakan jari.

Yah, karena aku punya waktu sampai akhir bulan ini untuk memikirkannya, aku tidak perlu terburu-buru.  

Aku akan memikirkannya baik-baik setelah pulang.

.

Bagian 3

Pelajaran keempat hari berikutnya adalah sesi belajar mandiri.

Meskipun ada lembar kerja yang dibagikan untuk belajar mandiri, hampir tidak ada siswa yang mengerjakannya dengan serius.  

Semua orang sibuk dengan ponsel mereka atau mengobrol dengan orang di dekat mereka.  

Sedangkan aku, aku sedang membaca buku ‘Night on the Galactic Railroad’.

Karya-karya Miyazawa Kenji memiliki ritme kata-kata yang menyenangkan dan sangat dalam, sehingga aku tidak pernah bosan membacanya.  

Kapan pun, karyanya selalu membawaku ke dunia mimpi yang indah.

Namun, suara tawa para gadis yang keras menarikku kembali ke kenyataan.

Aku diam-diam melirik ke samping, dan di dekat gadis gyaru itu—Shibusawa-san, ada Hirai-san dan gadis-gadis lain yang dekat dengannya, mereka sedang mengobrol dan tertawa.

Padahal dia baru pindah kemarin, tapi dia sudah punya banyak teman?

Senyumnya yang tampak tulus tertangkap oleh mataku, dan jantungku mulai berdebar.

Shibusawa Mikane… Seolah-olah aku bisa mendengar suara lonceng transparan dari suatu tempat.  

Nama yang sangat puitis dan indah.

(TLN : 美鐘 ini adalah karakternya Mikane, 鐘 ada karakter yang berarti lonceng di namanya)

Ngomong-ngomong, bukankah "Lonceng" dalam bahasa Italia adalah "campanella"?

Dalam ‘Night on the Galactic Railroad’ karya Miyazawa Kenji, ada tokoh bernama Campanella.  

Campanella adalah sahabat tokoh utama, dan dia menyelamatkan seorang anak yang di rundung dan hampir tenggelam di sungai dengan mengorbankan nyawanya sendiri, dan akhirnya naik Galaxy Express menuju alam baka.

Tokoh utama, Giovanni, juga naik Galaxy Express karena suatu kejadian, dan menikmati perjalanan luar angkasa bersama Campanella, tetapi pada akhirnya dia harus berpisah dengan Campanella yang sudah meninggal.

"...kane (鐘)... karakter nama yang indah..."

Aku bergumam sambil mengambil pensil mekanik.

Yang kutulis di bagian margin halaman adalah karakter "Mikane".  

Sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi, aku menulisnya tiga kali, lalu menatapnya dengan saksama.

Tiba-tiba bel tanda berakhirnya jam pelajaran keempat berbunyi, dan suasana menjadi riuh dengan suara orang-orang membereskan meja dan berdiri dari tempat duduk mereka.

"Oii, Tooya. Waktunya makan siang."

"Makan siang! Makan siang! Makan siang! Makan siang!"

Tanuma dan Otozumi datang membawa kotak makan siang mereka.  

Aku segera menutup bukuku dan meletakkannya di tepi meja.

Aku biasanya makan siang bersama mereka berdua.  

Kemarin siang, Otozumi terus berbicara tentang Shibusawa-san, jadi kupikir hari ini juga akan sama, tapi saat aku membuka tutup kotak makanku, Tanuma bertanya,

"Tooya, apa kamu sudah mengumpulkan survei pilihan jurusan?"

Ugh...

Tanganku yang sedang membuka tutup kotak berhenti.

"...Aku... belum..."

Aku sudah memikirkannya sedikit di rumah, tapi tetap saja, aku tidak punya mimpi tertentu, tidak punya keahlian khusus, dan tidak bisa membayangkan masa depanku.

Tapi, kupikir bukan hanya aku.  

Tanuma juga tidak terlihat seperti sedang berusaha keras untuk meraih mimpinya, dan Otozumi selalu berbicara tentang perempuan.  

Dia tidak pernah membicarakan tentang masa depan.  

Karena berpikir begitu, aku bertanya, "Kalian berdua juga belum, kan?", tapi yang mengejutkan, mereka menjawab, mereka sudah mengumpulkan nya.

"Eh? Benarkah?"

Di depanku yang terkejut, Tanuma menggerakkan ujung sumpitnya perlahan.

"Aku memilih Sastra. Aku ingin mendapatkan kualifikasi nasional dan membuka kantor sendiri. Meskipun mungkin mustahil untuk lulus ujian pengacara dan menjadi pengacara… tapi aku mengincar pekerjaan notaris atau konsultan hukum."

Kualifikasi nasional? Kantor sendiri?

Kata-kata sulit keluar satu per satu, dan mataku melebar.

"Ka...kalau Otozumi?"

"Aku IPA! Aku akan belajar pemrograman dan bekerja di perusahaan game. Sekian!"

"........."

Kalau dipikir-pikir, Otozumi memang membuat game di klub komputer.

Meskipun dia terlihat tidak memikirkannya, mungkin sebenarnya dia sudah merencanakannya.

Ba...bagaimana ini… Mereka berdua sudah memikirkannya dengan matang, sedangkan aku...

Aku merasa ditinggalkan dan merasakan kecemasan yang kuat.

"Tooya sudah pasti Sastra, kan?"

Otozumi berkata dengan nada santai.

"Soalnya, kamu selalu membaca buku."

"Ah, ya..."

Meskipun aku juga bisa matematika dan fisika, memang benar aku suka membaca buku. 

Mungkin aku lebih cocok di Sastra.

...Tapi, bolehkah aku memutuskannya hanya karena alasan itu?

Saat aku tenggelam dalam lautan pikiran, entah karena membaca suasana atau hanya karena bosan, Otozumi mencondongkan tubuh ke depan dan mengganti topik pembicaraan, "Hei, hei, ngomong-ngomong..."

"Murid pindahan itu, dia memang menarik, kan? Penampilannya seperti model, dan kepribadiannya juga baik."

"Ah, memang—"

Tanuma mengangguk.

"Dia mudah diajak bicara, dan menyenangkan untuk diajak ngobrol, itu poin plus. Pantas saja dia populer."

"Benar! Dia sangat mudah diajak bicara!"

Eh?

"...Kalian berdua, sudah mengobrol dengan Shibusawa-san?"

"Ya, sudah."

"Dia yang mengajakku bicara duluan! Hyahhu!"

"........."

Sama sepertiku, mereka berdua seharusnya juga tidak cocok di kelas. 

Tapi mereka diajak bicara duluan, padahal tempat duduk mereka tidak dekat?  

Kenapa?

Seolah-olah membaca pertanyaan dalam hatiku, Tanuma menjelaskan.

"Sepertinya murid pindahan itu mengajak bicara banyak teman sekelas. Katanya dia ingin cepat beradaptasi dengan kelas. Ngomong-ngomong, aku diajak bicara setelah jam pelajaran ketiga selesai."

"Aku juga, aku juga! Saat aku sedang berjalan di koridor, dia bertanya, 'Nama keluargamu Otozumi, ya? Nama yang tidak biasa, ya? Apakah itu nama keluarga yang umum di sini?'”

"Be...begitu ya..."

Dia datang ke mereka berdua, tapi tidak kepadaku.  

Apakah dia menghindariku karena aku memancarkan aura gelap?  

Atau karena aku terlalu tidak mencolok sampai terlupakan?

Aku merasa ditinggalkan lagi.

Saat aku menundukkan kepala dengan wajah muram, Otozumi meletakkan jarinya di dagu dan berkata, "Haa..."

"Tooya, kalau kamu ingin bicara dengannya, dekati saja dia. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu akan terkejut betapa mudahnya dia diajak bicara."

"Futa benar. Aku juga seharusnya tidak suka dengan gadis yang mencolok seperti itu, tapi aku bisa mengobrol banyak dengannya tentang pekerjaan paruh waktu dan hal-hal lain. Lagipula, seharusnya kita yang mendekatinya, bukan dia yang datang kepada kita. Dia kan murid pindahan."

"...Aku mengerti, tapi... tidak usah... Dia juga pasti tidak mau diajak bicara olehku... dan aku juga tidak ingin bicara dengannya..."

"Eh, benarkah? Padahal aku ingin bicara denganmu."

Eh?

Itu bukan suara Tanuma atau Otozumi.  

Suara siapa itu?

Saat aku mengangkat wajahku karena penasaran, aku bertemu pandang dengan Shibusawa-san yang sedang menatapku dengan ekspresi tertarik.

"Kamu Tooya Yukifumi, kan?"

Ya...yah...bahaya...

"Maaf! Yang tadi itu tidak benar! Maksudku bukan begitu! In...intinya itu berbeda, jadi jangan dianggap serius!"

"Oh, Baru saja dibicarakan, ternyata Shibusawa."

"Shibumi-chan! Jangan berdiri terus, duduklah—"

Otozumi berdiri dan menawarkan kursinya sambil berkata, "Sini, sini—".

"Terima kasih. Tapi, aku akan makan siang dengan Koko, jadi mungkin sebentar saja."

Koko adalah nama panggilan Hirai-san.

Sepertinya mereka sudah cukup dekat untuk memanggil nama panggilan.

Ngomong-ngomong, panggilan ‘Shibumi’ yang Otozumi gunakan adalah nama panggilan yang diberikan beberapa gadis untuk Shibusawa-san. 

Ini pertama kalinya aku melihat anak laki-laki menggunakannya.

Shibusawa-san duduk dan menyesap cafe latte-nya, matanya bergerak ke kiri dan ke kanan.

"Kalian bertiga makan siang bersama, berarti kalian berteman baik, ya? Satu klub kegiatan?"

"Tidak."

Tanuma menggelengkan kepalanya.

"Kami semua berbeda klub. Aku klub seni, Futa klub komputer, dan Tooya klub sastra."

"Yang anggotanya cuma dia sendiri!"

Otozumi menambahkan sambil melihat ke arahku, dan aku menarik lengan bajunya, "O..Oii..."

Shibusawa-san tampak bingung sesaat, tapi ekspresinya segera berubah menjadi tertarik, dan dia bertanya dengan antusias, "Eh—? Apa, apa—?"

"Yah, dia ini orang yang aneh—"

Sambil berkata begitu, Otozumi merangkulku.

"Dia menghidupkan kembali klub sastra yang sudah tidak aktif, dan dia selalu membaca buku karya penulis yang sama di sana. Emm... siapa nama penulisnya? Miyamoto Kenji?"

"Sa...salah! Miyazawa Kenji! Ke...kenapa jadi terdengar seperti nama orang yang kuat... La...lagi pula, wajahmu terlalu dekat!"

Shibusawa-san tertawa, "Ahaha."

"Miyazawa Kenji, aku pernah dengar! Dia orang yang hebat, ya? Kenapa kamu membaca bukunya?"

"Kalau itu, Etto..."

Sangat sulit untuk menjelaskannya dalam satu kata.

Pertama tentang karyanya, semua karya Miyazawa Kenji sangat dalam. 

Selain itu, banyak juga kata-kata yang menirukan bunyi yang bebas dan lucu seperti "kurambon wa kapukapu waratta", "doddo doddo", "dotteko dotteko", dan kata-kata ciptaan yang misterius, sehingga karyanya memiliki atmosfer unik seperti gambar anak-anak.

Bukan hanya karyanya, tapi pemikiran dan cara hidupnya juga menarik.

Misalnya, Kenji percaya bahwa pertanian adalah tugas utama manusia yang hidup berdampingan dengan alam, jadi dia berhenti menjadi guru dan bekerja di bidang pertanian, memberikan konsultasi pupuk secara gratis, dan mengabdikan dirinya untuk memperbaiki tanah, sehingga dia dijuluki "Dewa Pupuk".  

Dia juga memainkan alat musik bersama para petani, mengadakan konser rekaman, dan membuka bidang seni petani.

Aku bisa terus berbicara tentangnya—

Aku melirik Shibusawa-san.

Dia tersenyum dengan bibir merah muda transparan dan menggigit sedotan.

Gadis ini tidak akan mengerti meskipun aku menjelaskan banyak hal, kan?  

Aku harus memprioritaskan kemudahan pemahaman dan menjawab bahwa dia adalah penulis kelahiran Iwate.

"Yah, itu, dia adalah penulis terkenal kelahiran Iwate..."

"Dia orang Iwate! Dia menulis apa?"

Aku kira dia hanya akan bereaksi, "Oh, begitu," tapi reaksinya lebih besar dari yang kuharapkan, dan aku sedikit terkejut.

"Eh, eh... yang terkenal, ‘The Restaurant of Many Orders’, ‘The Acorns and the Wildcat’, ‘Night on the Galactic Railroad’, dan..."

"Kalau yang itu..?"

Aku mengikuti ujung kuku jarinya yang biru berkilau, dan sampai pada buku ‘Night on the Galactic Railroad’ yang ada di mejaku.  

Sepertinya dia menyadari keberadaan buku ini.

"Ah, ya, itu..."

"Hmm..."

Jari yang tadinya menunjuk ke buku, sekarang menyentuh bibir bawahnya.

"Ne, bolehkah aku pinjam buku itu?"

"...Eh?"

Aku mengedipkan mata.

Sambil menunjuk buku di meja, aku bertanya,

"Meminjam, maksudmu ini?"

"Ah, kalau kamu sedang membacanya, tidak usah. Seharusnya buku ini juga ada di toko buku atau perpustakaan, kan?"

"Yah, seharusnya ada..."

"Aku ingin tahu lebih banyak tentang Iwate. Aku jadi ingin membacanya setelah mendengar kalau itu karya penulis terkenal dari Iwate."

"Ah, begitu ya."

Aku berusaha keras untuk tidak menunjukkannya di wajahku, tapi aku hampir saja tersenyum lebar jika lengah sedikit saja.

Tidak disangka, Shibusawa-san tertarik.  

Kuharap dia akan menyadari pesona Miyazawa Kenji melalui kesempatan ini.

"Kamu sudah sering membacanya, kan? Pinjamkan saja."

"Benar. Jangan pelit."

Tanuma dan Otozumi menyela.

Aku akan meminjamkannya meskipun mereka tidak menyuruhku.

"A...aku tahu... Ini, ambilah."

"Eh? Boleh?"

"Ya, aku sudah sering membacanya sampai hafal... Aku juga punya buku yang diterbitkan oleh penerbit lain, jadi tidak masalah... Ah, karena ‘Night on the Galactic Railroad’ adalah novel yang pendek, buku itu juga berisi cerita pendek terkenal lainnya, apakah tidak apa-apa?"

"Tentu saja. Aku akan membaca semuanya dari awal."

Dia tersenyum dan menerima buku itu.

Merasa telah mencapai tujuannya, Shibusawa-san berdiri dan kembali ke tempat duduknya.

.

Bagian 4

Rumahku terletak agak jauh dari pusat kota Morioka, ibu kota Prefektur Iwate.

Saat pulang sekolah, aku pulang dengan rute jalan kaki dari sekolah ke Stasiun Takizaki, naik kereta dari Stasiun Takizaki ke Stasiun Morioka, lalu naik sepeda dari Stasiun Morioka menuju rumah.  

Meskipun merepotkan, aku sedikit senang bisa naik Kereta Api Iwate Galaxy Railway Line.

"Aku pulang—"

Aku membuka pintu depan dan berjalan di koridor dengan langkah ringan, lalu menaiki tangga.

Aku membuka pintu kamarku dan menjatuhkan diri ke tempat tidur.

"Haa... hari ini banyak sekali kejadian..."

Aku berbicara dengan gadis gyaru itu untuk pertama kalinya.  

Dan dia bahkan memintaku untuk meminjamkan buku, apakah ini benar-benar terjadi?  

Dia seharusnya adalah tipe orang yang bermain-main dengan riang bersama teman-temannya di bawah sinar matahari yang cerah. 

Sedangkan aku, tipe orang yang membaca buku di tempat teduh sambil melihat mereka.  

Seharusnya kami tidak akan pernah bertemu, kami hidup di dunia yang berbeda.

Tiba-tiba, aku menyadari bahwa aku sedang tersenyum, dan aku memaksakan diri untuk berhenti tersenyum.

Sebenarnya, apa yang kupikirkan? Padahal kami hanya mengobrol sedikit dan aku hanya meminjamkan buku.

Tapi begitu aku lengah, aku akan tersenyum lagi.  

Aku menyerah dan berbaring telentang, lalu bergumam, "Mikane... nama yang indah..."

Hah?

Aku mengerutkan kening karena merasa ada yang mengganjal.

Apa itu? Sepertinya aku melupakan sesuatu yang penting...

Segera setelah itu, keringat dingin mengucur deras.

"Si...Sial—"

Di halaman kosong buku itu tertulis karakter "Mikane" sebanyak tiga kali.  

Ke...kenapa aku melupakan hal sepenting itu sampai sekarang— ah...

Tiba-tiba aku mengerti alasannya, aku meringkuk dan memegangi kepalaku.

Aku benar-benar lengah.

Aku sangat senang karena gadis gyaru populer dan cantik dikelas memintaku untuk meminjamkan buku kesukaanku.  

Seharusnya aku bisa menyadarinya jika aku berpikir sejenak sebelum meminjamkannya… Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?

Gelombang penyesalan yang hitam dan besar menghantamku berulang kali. 

Aku mulai merasa mual karena guncangan gelombang itu.

Ugh...

Aku menutup mulutku dengan tangan agar tidak muntah.

"...Pa...pasti, dia akan merasa jijik melihat itu... Dia pasti akan sangat terkejut..."

Tidak peduli seberapa baiknya aku melakukan simulasi, hasilnya selalu sama, dia berakhir akan membenciku.

Aku tidak boleh menyerah begitu saja.  

Aku harus mendapatkan kembali buku itu.

Aku bangun dan mulai melihat sekeliling seolah mencari solusi.

Tiba-tiba, mataku tertuju pada buku-buku ‘Night on the Galactic Railroad’ dengan berbagai ukuran yang berjajar di rak buku.

Ada beberapa buku dengan judul yang sama karena hak ciptanya sudah kedaluwarsa dan diterbitkan oleh berbagai penerbit.  

Meskipun judulnya sama, isinya tidak persis sama.  

Karena karya Miyazawa Kenji memiliki banyak ungkapan unik dan kata-kata yang tidak biasa, setiap buku memiliki catatan kaki yang berbeda.

Meskipun aku tidak ingat persis buku mana yang kuberikan padanya, kurasa tidak masalah jika aku menawarkan untuk menukarnya dengan buku yang ada padaku dengan alasan "Buku yang kupunya lebih mudah dibaca, jadi ayo kita tukar, kamu simpan saja bukumu dan jangan dibaca".

Ba...baiklah, aku akan melakukan itu.

Aku mengeluarkan ponsel dari tasku dan membuka aplikasi LINE.

Tadi malam, Shibusawa-san masuk ke grup chat LINE kelas.

Aku ingat ponselku terus berdering karena banyaknya pesan sambutan, terutama dari para gadis.

"...Tidak, tunggu."

Tiba-tiba aku merasa takut.

Aku baru pertama kali berbicara dengannya hari ini, dan kami belum berteman dekat.  

Apakah dia akan merasa terganggu jika aku tiba-tiba mengirim pesan LINE padanya...?

Lagipula, aku jarang mengirim pesan LINE, bahkan dengan teman laki-laki ku, apalagi teman perempuan.

Jika aku mengirim pesan ke gadis gyaru seperti Shibusawa-san, dia pasti akan langsung tahu kalau aku tidak terbiasa, dan mungkin dia akan menertawaiku.

Saat aku menelan ludah—

"Maju atau mundur, itulah pertanyaannya."

Sebuah suara pelan seperti bergumam terdengar dari belakangku.

Aku terkejut dan menoleh.

"...Oh, Mao."

Di balik pintu yang terbuka, berdiri adikku yang berusia delapan tahun, Tooya Mao, dengan tangan di belakang punggungnya.

Dia memiliki rambut pendek hitam, mengenakan pakaian biru tua dengan pin karakter kucing, dan terlihat seperti gadis kecil yang polos.  

Tapi dia jarang menunjukkan emosinya, dan dia sedikit misterius, bahkan aku sebagai kakaknya sendiri saja sering tidak memahaminya. 

 Aku merasa dia semakin seperti itu sejak bergabung dengan klub drama di sekolah.

"Maju atau mundur, itulah pertanyaannya."

Dia mengulanginya lagi. 

Mungkin itu dialog favoritnya.

"...Itu dialog dari drama? Hamlet?"

(TLN : quotes yang dipakai oleh hamlet saat solilokui scene biara “To be, or not to be, that is the question.)

"Ya."

Dia mengangguk.

"Kamu sudah belajar Shakespeare padahal masih SD?"

"Ya."

"Hebat..."

Mao masuk ke kamarku dan berdiri diam sambil menatapku.  

Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak kunjung membuka mulutnya.

Etto, bagaimana ini?

Sejujurnya, aku tidak punya waktu untuk meladeni Mao.  

Shibusawa-san mungkin akan menemukan tulisanku kapan saja.  

Aku harus segera memikirkan solusi.

Saat aku sedang bingung, Mao mengulurkan tangannya.

"Ini, untuk Kakak."

Yang dia pegang adalah roti sobek yang baru dimakan sebagian.

Aku melihatnya dan berkata, "Ah, Dapan."

Ini adalah "Fukuda Pan" yang dicintai oleh penduduk Prefektur Iwate.

Aku dan Mao biasa menyebutnya "Dapan".

Dapan adalah roti sobek yang besar dan lembut dengan krim atau isian di dalamnya.  

Yang populer adalah rasa kacang merah dengan mentega, selai kacang, dan krim melon.  

Aku dan Mao sangat suka Dapan dengan krim matcha, dan kami sering memakannya.

"Apakah kamu akan memberiku setengahnya?"

Mao meletakkan tangannya di dada.

Dia memancarkan aura dewasa yang tidak seperti anak kecil, dan meskipun sedikit canggung, dia mulai berbicara dengan nada seperti bernyanyi.

"Ah— aku ingin berbagi denganmu. Madu yang paling manis sekalipun, jika dijilat sendirian akan cepat habis, dan hanya akan meninggalkan rasa hampa. Tapi, jika kita membaginya berdua, pasti akan lahir madu bernama cinta."

"Eh?"

Aku hampir terjatuh karena terkejut.

Madu bernama cinta... Aku tahu dia anak yang manja, tapi aku tidak menyangka dia memikirkanku seperti itu. Bagaimana ini...

"I...itu, Mao... Perasaanmu itu membuatku sangat senang... Tapi, kita ini kakak adik... Jadi... ungkapan cinta itu terlalu berlebihan..."

Aku benar-benar tergagap.

Sementara itu, Mao memiringkan kepalanya dengan ekspresi datar.

"Kakak, kenapa panik sendiri? Mao hanya mengucapkan dialog drama, kok."

"Eh? Yang tadi... dialog drama?"

"Ya."

"...Kalau begitu, yang sebenarnya?"

"Mama bilang, 'Bagi dua dengan Kakak’.'"

"Ah, begitu..."

Kalau dipikir-pikir, cara bicaranya yang berbelit-belit itu memang tidak seperti Mao.

Tapi aku menganggapnya serius... Kenapa aku panik menghadapi anak kecil berusia delapan tahun...

Aku menatap Dapan dan menggelengkan kepala.

"Ini untuk Mao. Mao boleh makan semuanya."

"...Kakak, tidak mau?"

"Ya..."

Dapan adalah makanan kesukaanku, jadi biasanya aku akan menerimanya dengan senang hati, tapi sekarang aku merasa sangat mual. 

Aku tidak bisa makan apa pun.

"Bisakah kamu meninggalkanku sendiri? Aku sedang sangat sibuk sekarang."

"........."

Mao menunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan menatap Dapan di tangannya.

Dengan ekspresi seperti akan meneteskan air liur, dia berkata,

"Haruskah kumakan, atau haruskah kuhabiskan, itulah pertanyaannya. Manakah pilihan yang lebih mulia?"

"Tidak, itu… Jawabannya jelas makan, kan? Ini bukan masalah besar sampai-sampai perlu pilihan yang mulia..."

Pada akhirnya, sepertinya dia memutuskan untuk mengikuti keinginannya.

Mao menggigit Dapan dan keluar ruangan sambil berkata, "Oh, beri tahu aku, hantu Ayah—". Padahal ayah kami masih hidup...

Aku menutup pintu dengan rapat dan menghela napas.

Aku kembali memikirkan Shibusawa-san dan bergumam, "Mungkin Mao benar."

Maju atau mundur, itulah pertanyaannya.

Aku duduk di tempat tidur dan memikirkan lagi apakah aku harus mengirim pesan LINE ke Shibusawa-san.

...Mungkin aku tidak perlu terburu-buru...

Belum tentu orang yang meminjam buku akan langsung membacanya.  

Banyak orang yang hanya meletakkannya di meja begitu saja.  

Dan meskipun dia langsung membacanya, halaman yang bermasalah itu ada di halaman bagian terakhir. 

Dia tidak akan langsung sampai di sana.  

Menurutku, dia akan membutuhkan dua hari dengan kecepatan normal, tiga hari dengan kecepatan lambat, dan jika dia ingin sampai di sana malam ini, dia harus membacanya dengan sangat cepat.

Apakah gadis gyaru itu akan melakukan itu...?

...Kurasa tidak.

Sejujurnya, aku bahkan ragu apakah dia benar-benar akan membacanya.

Semakin kupikirkan, semakin tidak masuk akal rasanya untuk mengirim pesan LINE.

"Ya, benar. Besok aku akan bicara dengannya di sekolah dan menukar buku itu dengan buku yang kupunya."

.

Bagian 5

Setibanya di sekolah, aku bertekad untuk segera menukar buku itu.

Namun, aku tidak bisa melakukannya.  

Shibusawa-san selalu dikelilingi oleh orang-orang, dan mereka mengobrol dengan gembira.  

Bagaimana ini? Bagaimana ini? Saat aku sedang ragu-ragu, jam pelajaran kelima pun berakhir.

Sambil merapikan buku pelajaran, aku melirik Shibusawa-san, dan dia masih mengobrol.

Dia sedang mengobrol dengan Hirai-san yang duduk di sebelahnya.

Agar aku bisa langsung berbicara dengannya setelah dia selesai, aku berdiri sambil memegang buku yang akan kutukar, dan berjalan ke arah mereka dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara.  

Saat aku berdiri tepat di belakang mereka, aku bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.

Sepertinya mereka sedang membicarakan klub mana yang akan diikuti.  

Mungkin sedang mengajaknya bergabung, Hirai-san sedang menceritakan daya tarik klub musik.

Percakapan mereka tak kunjung usai.  

Aku hanya bisa berdiri diam tanpa bisa berbuat apa-apa.

Setelah sekitar satu menit, mereka berdua melihat ke arahku.

Shibusawa-san membuka mulutnya.

"Ah, Tooya-kun! ngapain di situ?"

"...Eh, Etto..."

Aku terdiam sesaat karena senyumnya yang mempesona.

"...I...itu, aku ingin bicara dengan Shibusawa-san..."

"Denganku?"

"Ya… ya, benar..."

"Boleh. Kebetulan aku juga ingin bicara denganmu. Tapi, aku sedang bicara dengan Koko sekarang, jadi tunggu sebentar, ya. Bolehkah setelah pulang sekolah?"

"Ah, ya..."

"Kalau begitu, sampai jumpa setelah pulang sekolah—"

Setelah mengatakan itu, Shibusawa-san kembali mengobrol dengan Hirai-san.

Aku merasa tidak enak, tapi aku tidak punya pilihan selain mundur jika dia sudah berkata begitu.

Aku membelakangi mereka dan kembali ke tempat dudukku.

Tapi, apa maksudnya "aku juga ingin bicara denganmu"? Jangan-jangan dia sudah tahu tentang tulisanku? Ti...tidak... Tapi, dalam waktu satu hari... Dia tidak mungkin sudah membaca sampai halaman itu.

"Kenapa melamun? Tidak pergi ke klub?"

Tanuma menyapaku segera setelah homeroom selesai.

"Tidak, sebelum itu... ada urusan..."

Aku menjawab sambil tanpa sadar mencari sosok Shibusawa-san.

Dia tidak ada di tempat duduknya.  

Aku melihat ke depan, dan melihatnya sedang berbicara dengan Harume-sensei di depan papan tulis.  

Melihat ada dokumen di atas meja guru, sepertinya dia sedang mendengarkan penjelasan tentang sesuatu.

Tanuma juga melihat ke arah yang sama dan mengangguk, "Ah, begitu."

"Kamu sedang menunggu sensei untuk membicarakan kegiatan klub?"

"Eh..."

Karena Harume-sensei adalah pembina klub sastra, sepertinya dia mengira aku sedang menunggu sensei.  

Sebenarnya aku sedang menunggu Shibusawa-san, bukan sensei, tapi aku tidak yakin bisa menjelaskan alasannya.

Aku tidak membantahnya dan hanya bergumam, "Agak berbeda, tapi kurang lebih seperti itu."

"Begitu, ya. Pasti sulit sendirian. Kalau begitu, aku pergi dulu."

"Ya, sampai jumpa besok."

Shibusawa-san selesai berbicara dengan sensei dan kembali ke tempat duduknya lima menit kemudian.  

Setelah menulis dokumen yang diberikan padanya, dia berjalan ke arahku.

"Maaf, sudah membuatmu menunggu—"

Suaranya ceria. 

Dia melambaikan tangannya sedikit di depan dadanya.

"Ti...tidak apa-apa… Apakah kamu ada pembicaraan penting dengan sensei?"

"Ya—"

Sambil berkata begitu, dia menarik kursi di depanku, memutarnya, dan duduk menghadapku.

"Aku sudah 70% yakin, tapi... Aku sedikit ragu apakah itu benar-benar pilihan yang tepat."

Dia mengangkat bahunya dengan ekspresi bercanda.

Aku hanya bisa menjawab dengan gumaman ambigu, "Hee..."

Aku penasaran apa yang sedang dia putuskan dan apa yang membuatnya ragu. 

Tapi sekarang, yang penting aku harus menukar buku itu.

Aku mengalihkan pandanganku dan memulai pembicaraan, "Begini—"

"Tentang buku yang kupinjamkan kemarin... Kamu belum membacanya, kan? Kalau begitu, maukah kamu menukarnya dengan buku ini? Buku ini memiliki catatan kaki yang lebih mudah dipahami."

"Begitu ya. Tapi aku sudah membacanya."

"Eh..."

Untuk sesaat, pikiranku kosong.

"Su...sudah baca... Maksudmu, hanya bagian awal, kan? Kalau begitu—"

"Semuanya. Aku membacanya sampai larut malam, jadi aku sangat mengantuk di kelas."

Habis sudah.

Jika dia benar-benar membaca semuanya, berarti dia sudah melihat tulisanku di bagian margin buku itu.

(TLN : Margin tuh kek bagian kosong yang di sisi sebelah tulisan dibuku)

Pasti dia akan menanyakan tentang tulisanku itu.

"Jadi, aku ingin menanyakan beberapa hal padamu, Tooya-kun, boleh?"

Pertanyaannya langsung datang...

Aku menegangkan seluruh tubuhku.

"Bo...boleh. Apa?"

"Kalau begitu, pertanyaan pertama—"

Dia membuat angka "1" dengan jari telunjuknya.

"Pada ‘Night on the Galactic Railroad’, ada banyak kata permata yang muncul, kan? Kenapa? Apakah ada artinya?"

"Permata?"

"Ya. Sepertinya kata 'permata' sering muncul. Berlian juga termasuk permata, kan? Lalu, ada juga sapphire dan topaz?"

"Ah, ah..."

Aku bingung karena pertanyaannya datang dari arah yang tidak kuduga.  

Aku tidak menyangka dia akan bertanya tentang isi buku.

"Eh, mungkin karena bintang-bintang yang bersinar di langit malam terlihat seperti permata… Tapi, kupikir alasan utamanya adalah karena Miyazawa Kenji adalah penggemar bijih mineral. Permata tidak hanya sering muncul di ‘Night on the Galactic Railroad’, tapi juga di berbagai karya lainnya."

"Hee, begitu ya! Aku juga suka batu permata!"

"Ah, ya..."

Aku bisa tahu.

Permata hijau di telinganya. 

Meskipun mungkin bukan barang mahal, itu pasti permata.

"Antingmu, itu batu permata olivine, kan?"

"Ah, ini?"

Dia tampak senang ditanya dan memegang antingnya sambil tersenyum.

"Bukan. Ini peridot. Aku mendapatkannya dari Mama—"

(TLN : Baru Peridot adalah varian dari olivine)

Mama? Ibunya memberinya anting?

Itu tidak mungkin terjadi di keluargaku, jadi aku sedikit penasaran kenapa dia mendapatkan anting.  

Tapi itu urusan keluarga orang lain, jadi aku tidak akan menanyakannya, dan mungkin aku harus fokus pada permata saja.

"Kalau begitu, itu memang benar permata. Nama permata untuk olivin adalah peridot."

"Hee—"

Sepertinya dia puas dengan jawabanku, dan dia mengangkat dua jari tangan kanannya.

"Kalau begitu, pertanyaan kedua—"

"Ya..."

"Galaxy Express itu adalah kereta yang membawa orang mati ke alam baka, kan? Tooya-kun, menurutmu hal-hal mistis seperti itu apakah ada?"

Aku mengerutkan kening.

Kukira dia akan bertanya tentang coretan di margin buku, tapi tak kunjung datang juga. 

Kalau dia pura-pura membaca padahal sebenarnya tidak, aku bisa mengerti, tapi dari isi pertanyaannya, jelas dia sudah membacanya dengan seksama.

Ada apa ini?

Setelah berpikir sejenak, aku membuat sebuah hipotesis.

Seperti diriku sendiri, ketika asyik melakukan sesuatu, hal lain jadi tidak terlihat. 

Misalnya, saat asyik menonton TV, bingkai layar tidak terlihat. 

Mungkin Shibusawa-san juga terlalu asyik membaca buku sehingga tidak menyadari coretan yang ada di margin.

Selain merasa lega, aku juga tersentuh dan dadaku terasa hangat karena dia membaca buku kesukaanku dengan begitu serius.

"Ehm, tidak ada yang tahu tentang apa yang terjadi setelah kematian, jadi tidak ada yang bisa memastikan, tapi kupikir akan menarik jika memang ada. Lagipula, ada banyak cerita tentang hal setelah kematian seperti Sungai Sanzu, padang bunga, dan hal-hal semacam itu sejak dulu, kan?"

Mungkin karena sedang berpikir serius, Shibusawa-san menunduk dan terdiam.

Beberapa saat kemudian, dia mengangkat wajahnya.

"Hmm, menarik ya. Tadinya 70%, tapi sekarang jadi 90%."

"Eh? Ah, iya..."

Aku tidak begitu mengerti tentang persentase itu, tapi yang jelas aku dipuji.

Dengan wajah malu-malu, aku mengusap rambutku sendiri.

"Kalau ada yang tidak dimengerti, silakan tanya saja. Aku tidak benci membicarakan hal-hal seperti ini..."

"Begitu? Kalau begitu, pertanyaan ketiga... eh, maksudku pertanyaan terakhir."

Dia membuka-buka buku yang kupinjamkan, berhenti di suatu halaman, dan menunjukkannya padaku.

Sambil menunjuk dengan ekspresi jahil, dia berkata

"Di sini, ada namaku tertulis, ini apa?"

Aaaaaaaaaaaaaargh!

Ketahuan juga! Malu sekali!

Wajahku semerah apel, dan aku menggerak-gerakkan tanganku dengan panik.

"I-itu! I-itu, anu! Memang itu bukuku, tapi entah sejak kapan ada tulisan itu dan aku tidak tahu, eh, kebetulan, eh, takdir, eh, anu... itu..."

"Tooya-kun, dalam situasi seperti ini, lebih baik jujur saja, lho."

"Ugh."

Memang benar. Jika berbohong, aku harus terus berbohong untuk menutupinya, dan situasinya akan semakin buruk. Lagipula, ini bukan situasi di mana aku bisa mengelak.

Aku benar-benar pasrah, dan menundukkan kepalaku.

"... Kupikir 'Mikane' itu nama yang sangat indah, jadi aku menulisnya begitu saja... 'Kane' dalam bahasa Italia artinya adalah 'campanella'... Kupikir itu seperti tokoh di Galaxy Express..."

"Oh?"

Mungkin karena jawaban yang tak terduga, Shibusawa-san mengedipkan mata.

Dia terdiam sejenak, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Aku juga suka namaku. Tapi jarang ada orang yang memuji namaku. Tooya-kun orang kedua, lho."

"Orang kedua? Ada orang lain lagi?"

"Sekarang dia di Tokyo. Dia adalah senpai yang kukagumi."

"Oh..."

Ternyata Shibusawa-san juga mengagumi seseorang. Kira-kira orang seperti apa dia?

Yang terlintas di pikiranku adalah aktor keren atau seorang idol. 

Tak perlu ditanya lagi, pasti dia bukan orang penyendiri sepertiku.


"Are?"

Shibusawa-san memasukkan tangannya ke dalam sakunya dan bergumam, "Bukankah aku memasukkan nya ke sini?". 

Sepertinya dia sedang mencari sesuatu.

"Ah, ketemu! Ini, nih."

"Eh? Untukku?"

"Iya!"

Yang diberikannya adalah selembar kertas yang dilipat dua.

Mungkin itu dokumen yang tadi ditulisnya di tempat duduk, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang itu, jadi aku hanya bisa memiringkan kepalaku.

Apa ini?

Aku membukanya perlahan, dan tanpa sadar melihatnya dua kali karena terkejut.

Ini... formulir pendaftaran klub?

Dan di kolom pilihan... tertulis "Klub Sastra".

Jika dipikir secara sederhana, artinya Shibusawa-san ingin mendaftar ke klub sastra, tapi aku tidak percaya. 

Apa dia sedang mempermainkanku?

Dengan senyum masam, aku bertanya, "Kamu bercanda, kan?", dan Shibusawa-san tersenyum.

"Mana mungkin aku bercanda soal begini. Tooya-kun, kamu sampai repot-repot membuat klub itu, dan selalu sendirian, kan? Aku belum pernah dengar yang seperti itu. Lucu sekali! Waktu pertama kali dengar, aku jadi bersemangat, dan bukunya juga menarik. Lagipula, kupikir klub itu cocok denganku. Tentu saja, awalnya aku juga ragu, makanya aku cuma 70% yakin, tapi setelah bicara dengan Tooya-kun, aku jadi 100% yakin!"

Dari ekspresi dan nada bicaranya, dia tidak terlihat sedang mempermainkanku.

Ja-jadi... Apakah benar? Dia benar-benar mau bergabung?

Gadis gyaru paling populer di kelas mau bergabung ke klubku, rasanya seperti mimpi. 

Hatiku berbunga-bunga, lalu seolah tumbuh sepasang sayap putih dan mengepak terbang ke langit merah muda.

Tapi, aku segera ditarik kembali ke kenyataan, dan terhempas ke tanah yang dingin.

Ti-tidak boleh. 

Klub sastra itu klub yang sangat membosankan, dan anggotanya hanya aku, si penyendiri.

Gadis gyaru sepertinya pasti tidak akan puas. 

Dia pasti akan cepat bosan, dan bilang membosankan, atau tidak sesuai harapannya. 

Jika itu terjadi... pasti aku... akan sangat terluka... Meskipun dia sudah bilang mau bergabung, tapi kalau kupikir-pikir lagi risikonya, sepertinya lebih baik aku menolaknya. 

Cukuplah kami sesekali saling meminjamkan buku dan mengobrol seperti ini.

"...Ta-tapi klub sastra itu klub yang sangat membosankan, tahu? Kalau kamu tertarik dengan buku, tidak perlu repot-repot masuk klub, aku bisa meminjamkanmu seperti kemarin.… I-itu, kalau kamu mau, kita bisa mengobrol seperti sekarang. Jadi, bagaimana kalau kamu masuk klub lain saja? Ada banyak klub olahraga yang kuat disekolah ini. Klub non-olahraga pun banyak yang lebih menarik. Etto... bagaimana dengan klub musik tiup? Tadi kamu diajak Hirai-san, kan?"

"Ah, iya, Koko sudah mengajakku berkali-kali, jadi aku sudah melihat-lihat kegiatannya."

"Kalau begitu—"

"Tidak bisa, tidak bisa."

Dia melambaikan tangannya di depan wajahku.

"Aku tidak bisa! Alat musik tiup kan harus ditiup baru bunyi? Kalau ada perkusi kosong mungkin aku masih mau mempertimbangkannya. Klub olahraga juga... aku suka menontonnya, tapi tidak jika melakukannya..."

Apa dia tidak mau melakukan hal-hal yang melelahkan?

"—Kalau begitu, bagaimana dengan klub seni rupa atau klub komputer?"

"Itu kan klubnya Tanuma-kun dan Otozumi-kun? Yah, bukannya tidak boleh, sih, tapi aku tidak tertarik."

"...Begitu ya."

Aku tidak bisa memikirkan yang lain. Bagaimana ini?

Saat aku terdiam, Shibusawa-san menopang pipinya dengan kedua tangan dan mengintip wajahku dari bawah.

Dengan senyum mempesona seperti permata,

"Jadi begitulah, mulai hari ini mohon bantuannya."

.

Bagian 6

Klub-klub non-olahraga di SMA Takizaki berkumpul di gedung kayu yang disebut "Gedung Tiga". 

Sepertinya nama resminya adalah "Gedung Klub Nomor Tiga", tapi tidak ada yang memanggilnya begitu.

Gedung Tiga terletak di tengah hutan kecil, dan dihubungkan dengan gedung sekolah utama oleh koridor panjang yang melintasi sungai kecil yang bisa dilompati.

Koridor itu seperti lorong di udara.

Ada atapnya, tapi tidak ada kaca jendela, jadi air hujan bisa masuk saat hujan deras.

Karena terbuat dari kayu dan sudah tua, koridor itu bergoyang berderit saat angin kencang.

Mungkin agak menakutkan bagi orang yang takut ketinggian. 

Tapi aku suka suasana yang tidak biasa itu. 

Shibusawa-san sepertinya juga merasakan hal yang sama, dia bersandar di pagar sambil berseru, "Wow, apa ini?" dengan gembira.

Setelah melihat ke bawah ke arah sungai kecil, dia mengangkat kepala dan menunjuk ke arah gunung.

"Ne, gubuk aneh itu apa?"

"Ah, itu gubuk untuk pembakaran arang... kudengar begitu..."

Jawabanku jadi tidak bersemangat karena aku sedang memikirkan cara agar dia mengurungkan niatnya untuk bergabung ke dalam klub.

Berbeda denganku yang sedang bingung, Shibusawa-san terlihat gembira seperti anak kecil.

"Ne, kalau yang di sebelahnya itu apa?"

"...Mungkin itu adalah tungku. Sepertinya bisa untuk membakar keramik."

"Kalau gubuk yang itu?"

"Itu kandang sapi. Ada sapi didalamnya."

"Sapi? Yang 'moo' itu? Wah? Bisa dilihat dari sini?"

Dia memicingkan mata dan mencondongkan tubuh ke depan.

Selain berbahaya, roknya juga jadi tersingkap karena dia menonjolkan pantatnya, dan celana dalamnya hampir terlihat. 

Aku menahan napas dan panik sendirian.

"Ah, itu! Shibusawa-san, jangan terlalu condong ke depan, berbahaya. Ini tinggi, kalau jatuh bisa celaka."

"Shibusawa-san?"

Sebuah suara yang terdengar sangat tenang menjawab.

Dia menoleh ke arahku dan mengerutkan kening.

"...Jangan-jangan, kamu memanggilku Shibusawa-san?"

"I-iya, memangnya kenapa..."

"Kenapa?"

"Eh? Kenapa..."

Aku bingung ditanya alasannya.

Saat aku terdiam, dia bertanya, "Kenapa kamu tidak memanggilku dengan nama depanku?"

"Nama depan?"

"Kamu kan bilang suka nama Mikane? Kalau begitu, panggil saja aku Mikane."

"Ah."

Memang benar, aku baru saja memuji namanya.

Tapi, aku malu memanggil gadis dengan nama depannya, dan aku khawatir apa yang akan dipikirkan teman-teman sekelasku. 

Apa mereka akan menganggapku sok akrab atau sok dekat? 

Karena Shibusawa-san adalah gadis paling populer, kalau hanya aku yang memanggilnya dengan nama depan, mungkin aku akan ditatap tajam oleh semua orang...

Shibusawa-san mengangkat jari telunjuknya dan perlahan menggambar lingkaran di udara.

"Aku rasa lebih baik mengungkapkan perasaan kita secara terus terang. Pasti akan lebih menyenangkan. Lihat saja pakaianku ini. Ini adalah ekspresi diriku sepenuhnya. Ngomong-ngomong, aku mau memanggil Tooya-kun dengan sebutan Yukki."

"Eh? Yukki?"

"Iya, apa kau tidak suka?"

"Ti-tidak juga..."

Kalau dipikir-pikir, dulu waktu kecil aku memang dipanggil begitu. 

Mungkin tidak ada yang memanggilku begitu lagi karena aku jadi punya aura suram dan tidak cocok lagi dengan sebutan Yukki.

(TLN : Yuki bisa diartikan sebagai salju, alias putih, melambangkan kebersihan dan ketentraman.)

Aku tidak keberatan dipanggil begitu lagi setelah sekian lama.

Kalau dia mau memanggilku begitu, mungkin aku bisa mencobanya.

"Ka-kalau begitu... Mikane—"

Saat aku memanggilnya dengan ragu-ragu, dia langsung menjawab, "Nani?", seperti sudah menungguku memanggilnya begitu. 

Kesanku setelah mencobanya... ternyata lebih baik dari yang kukira. 

Hanya dengan memanggil nama depannya, rasanya seperti hubungan kami jadi spesial.

Aku jadi malu dan mengalihkan pandanganku.

"E-etto... berbahaya kalau jatuh, jadi lebih baik menjauh sedikit."

"Baik."

Setelah dia menjauh, dia bertanya, "Jadi? Di mana ruang klubnya?"

"Sebentar lagi sampai. Ke sini."

Saat aku mulai berjalan, Mikane mengikutiku sambil bersenandung.


"Wah, ini ruang klubnya."

Di tengah ruangan berukuran sekitar 10 tatami, Mikane berputar sambil merentangkan kedua tangannya, rambutnya yang kebiruan dan rok pendeknya terangkat. 

Aku berdiri di dekat pintu masuk dan menjawab, "Ah, iya", dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Ruang klub yang biasanya kutempati sendirian ini terasa sangat berbeda hanya dengan kehadiran satu orang. 

Rasanya seperti tempat yang berbeda.

Mikane menyilangkan tangannya di belakang dan menghadap ke arahku.

"Benar-benar banyak buku, ya?"

"Tentu saja, karena ini... klub sastra."

Dua rak besar yang menempel di dinding samping penuh dengan buku, dan rak di tengah yang sejajar dengannya juga penuh sesak dengan buku. 

Buku-buku yang tidak muat di rak diletakkan di lantai dan di meja bundar kecil di depan jendela di bagian belakang ruangan. 

Ada juga meja persegi panjang di dekat pintu masuk. 

Di atas meja pendek yang penuh goresan itu ada batu dan materi yang kukumpulkan, dan di samping kiri dan kanannya ada sofa yang sudah pudar warnanya.

Mikane berdiri di depan rak buku sebelah kanan dan melihatnya dari bawah ke atas, lalu bertanya, "Jangan-jangan, ini semua buku milik Yukki?"

"Tidak mungkin. Mungkin ini buku-buku yang dikumpulkan oleh anggota klub sastra sebelum-sebelumnya..."

"Ah, begitu ya. Jadi, klub sastra ini bukan Yukki yang buat dari awal?"

"Iya. Aku tidak tahu detailnya, tapi sepertinya ini klub yang sudah ada sejak lama. Tapi, klub ini sudah lama tidak aktif, dan aku menghidupkannya kembali. Jadi, kadang-kadang ada barang yang sudah seperti barang antik, atau ada catatan misterius yang terselip di buku-buku tua..."

"Oh, kedengarannya misterius. Ah!"

Tiba-tiba dia berseru gembira.

"Aku pernah baca ini! Ah, yang ini juga!"

"...Eh? Benarkah?"

Tidak heran aku jadi ragu. 

Karena buku yang diklaim Mikane pernah dibacanya adalah ‘Beneath the Wheel’ karya Hermann Hesse dan ‘The Old Man and the Sea’ karya Ernest Hemingway.

Keduanya memang karya terkenal, tapi kurasa hanya orang yang sangat suka membaca yang akan membacanya. 

Aku sendiri hanya tahu judul dan sedikit sinopsisnya, tapi belum pernah membacanya dengan sungguh-sungguh.

(TLN : Buku tua semua, beneath the wheel buku terbitan 1906, sedangkan buku the old man and the sea terbitan 1950-1952)

"Ne, yang ini buku-buku Yukki, ya? Banyak sekali buku karya Miyazawa Kenji."

Mikane menunjuk ke bagian depan rak tengah.

"Ah, iya, benar..."

"Boleh aku baca?"

"...Tentu saja."

"Yatta!"

"........."

...Jangan-jangan, dia memang suka membaca?

Dia membaca buku yang kupinjamkan dengan sungguh-sungguh, dan sepertinya dia juga membaca karya klasik, dan sekarang dia ingin membaca lagi. 

Kalau benar begitu... tidak, mana mungkin ada hal seberuntung itu. 

Gadis gyaru paling populer di kelas punya hobi yang sama denganku, si penyendiri.

Saat aku melihatnya, Mikane sedang melihat sekeliling sambil memegang buku.

Mungkin dia sedang mencari tempat duduk.

"Etto, kalau kamu tidak keberatan—"

Aku ingin dia membaca dengan nyaman. Karena itulah, aku menawarkan tempat duduk di dekat jendela.

"Duduklah di sana. Di dekat meja bundar itu. Ada sinar matahari dan angin sepoi-sepoi dari jendela, pasti akan terasa nyaman."

"Oh ya? Kalau begitu, aku duduk di sana saja."

"Ah, tunggu sebentar. Aku ambilkan kursi dulu."

Di ruangan ini, selain sofa, ada tiga kursi lipat. 

Aku membawa salah satunya ke dekat jendela dan menyingkirkan buku-buku yang menumpuk di atas meja.

"Terima kasih, Yukki."

"Ah, tidak masalah... Aku berada di sofa disebelah sana, kalau ada apa-apa, bilang saja, ya."

"Baik."

Aku duduk di sofa dan membuka buku, tapi aku tidak bisa fokus karena memikirkan Mikane. 

Sekitar sepuluh menit kemudian, aku diam-diam mengangkat wajah dan melirik ke arah jendela.

Di bawah sinar matahari, Mikane membalik halaman buku dengan tenang.

Angin sepoi-sepoi yang masuk dari jendela menggoyangkan rambut birunya yang berkilau dan halaman buku yang agak kusam.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close