NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

 

Gyaru ni mo Fukezu Jilid 1 Bab 4

 Penerjemah: Randika Rabbani 

Proffreader: Randika Rabbani 


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


BAB 4

“Toko Roti Dapan dengan Banyak Menu”


Bagian 1

"Tooya! Apa-apaan ini? Jelaskan dengan benar!"

Saat istirahat siang hari berikutnya, aku didesak oleh Otozumi.

Dia seperti ini sejak pagi. 

Aku jadi tidak bisa makan dengan tenang.

"...Ja-jadi, seperti yang sudah kukatakan berkali-kali, aku hanya mengajaknya berkeliling Iwate sebagai bagian dari kegiatan klub..."

"Apa mungkin kegiatan klub sampai foto berdua seperti ini?"

Uh....

Yang ditampilkan di ponsel Otozumi adalah foto aku dan Mikane yang sedang menyentuh pipi patung Kenji. 

Aku juga baru tahu hari ini, tapi sepertinya Mikane mengunggahnya ke media sosial pada Sabtu malam. 

Meskipun fotoku diberi stiker untuk menyembunyikan wajah, orang yang mengenalku pasti akan langsung tahu kalau itu aku.

Sejujurnya, foto ini membuatku kesulitan.

Meskipun kupikir itu alasan yang tidak masuk akal, aku menjawab,

"Ini bukan foto berdua.... Itu foto bertiga bersama Miyazawa Kenji..."

"Mana mungkin alasan itu diterima!"

"Sudah, sudah, tenang—"

Tanuma yang sedang memegang kotak susu menenangkannya.

"Tidak apa-apa, kan. Tooya yang tidak pernah tertarik dengan gadis akhirnya merasakan musim semnyai. Tapi, kalian belum pacaran, kan?"

"U-uhm..."

Aku mengangguk ragu-ragu.

Aku sedikit menunduk dan menjawab dengan suara pelan,

"... Kami tidak pacaran... dan tidak mungkin akan seperti itu..."

"Apakah kamu ingin pacaran dengannya?"

Seperti yang diharapkan dari Tanuma. 

Dia langsung menanyakan hal yang sulit dijawab.

Aku melihat wajah mereka berdua secara bergantian.

...Apakah tidak apa-apa aku menceritakannya pada mereka berdua?

Mereka berdua bisa dipercaya. 

Tapi, kalau aku yang seorang penyendiri bilang ingin pacaran dengan gyaru paling populer di kelas, mereka pasti akan heran.

"Ti-tidak... aku—"

Saat aku mencoba menyangkalnya, Tanuma mendahuluiku, "Tidak perlu disembunyikan."

"Kita ini teman. Kami tidak akan menertawakanmu. Jadi jujur saja."

"Ya, benar. Kita ini teman."

"……………"

Memang, Tanuma dan Otozumi adalah teman-temanku yang berharga. 

Karena ini hal yang sulit untuk kukatakan, mungkin lebih baik aku menceritakannya pada mereka berdua.

Dengan suara pelan aku berkata, "...Aku ingin pacaran dengannya kalau bisa...," dan mereka berdua tampak sedikit terkejut, lalu saling berpandangan.

Tanuma mengangkat sudut bibirnya dan melambaikan sebelah tangannya.

"Fuu, begitu ya. Sebagai teman, kami akan mendukungmu."

"Ya, kalau Tooya bilang begitu, mau bagaimana lagi."

"Uhm. Lagipula, Futa, bukankah kamu sedang suka dengan Ketua klub komputer?"

"Ya, memang. Aku dekat dengan Natsumi-senpai. Hobiku sama dengannya, dan kalau diperhatikan dia cantik dan berdada besar. Tapi... dibandingkan dengan Shibusawa Mikane..."

"Jangan dibandingkan. Yang penting cocok atau tidak denganmu."

Kata-kata itu juga menusukku.

Tanpa sadar aku mengalihkan pandanganku.

Yang kulihat adalah Mikane yang sedang duduk di kursi dengan kaki disilangkan, mengobrol riang di tengah lingkaran perempuan.  

Entah lelucon apa yang dia katakan, Mikane menjulurkan lidahnya dengan wajah bercanda, dan gadis-gadis di sekitarnya tertawa terbahak-bahak.

Tetap saja, bagi seorang penyendiri, dunia yang kutempati berbeda dengannya.  

Dia benar-benar seperti bunga di puncak gunung.

Sepulang sekolah, saat aku membuka pintu ruang klub, suara "Yukki, lama sekali," menyambutku.

Ternyata Mikane sedang berdiri di depan rak buku.

Di tangan kanannya ada buku yang terbuka. 

Sepertinya dia sedang membaca buku yang menarik perhatiannya.

"Meskipun kamu ketua klub, kenapa kamu datang lebih lambat dari aku yang wakil ketua?"

Karena obrolan saat istirahat siang tadi, aku merasa sedikit canggung. 

Aku tidak bisa menatap matanya.

Aku meminta maaf dengan suara pelan sambil meletakkan tasku, lalu mengalihkan pandangan ke buku yang dipegang Mikane.

"... Ah, itu 'Aramuharado', kan? Karya Miyazawa Kenji..."

"Ya, saat akhir pekan aku melihat-lihat berbagai hal dan kita sedang membahas tentang kebahagiaan sejati, kan? Aku membaca di internet kalau cerita ini juga membahas tentang itu, jadi aku ingin membacanya."

"Begitu ya."

Aramuharado—lebih tepatnya, novel pendek berjudul ‘Gakusha Aramuharado no mita Kimono’ atau Kimono yang Dilihat Cendekiawan Aramuharado.

Aku tahu itu adalah karya yang belum selesai, tapi aku belum pernah membacanya.

Dalam hal ini, dia mendahuluiku.

Mikane meletakkan buku itu di meja bundar dekat jendela.

Kukira dia akan duduk dan mulai membaca, tapi ternyata dia berdiri dan menatapku.

"Ngomong-ngomong, Yukki, bisakah kita bicara sebentar?"

"... Eh?"

"Ada yang ingin kutanyakan."

... Ingin bertanya? Ja-jangan-jangan, obrolan saat istirahat siang tadi bocor?

Keringat dingin mengalir di punggungku.

Mikane berjalan ke arahku dan duduk di sofa di depanku.

Bibirku bergetar.

"—Ja-jadi? Apa yang ingin kamu tanyakan..."

"Hmm, gimana ya menjelaskannya, Yukki… Bagaimana kalau aku ditolak?"

Dia tampak gelisah dan menggoyangkan tubuhnya.


Ditolak?  

Hal seperti apa yang akan ditolak?  

Ya, pasti dia ingin bertanya apakah boleh dia datang ke klub di lain waktu karena takut setelah mengetahui perasaanku, atau apakah boleh dia duduk jauh dariku.

"Ap-apaan? Cepat katakan!"

"...Kalau begitu, akan kukatakan."

"...Ya."

Dia menatapku dengan cemas—

"...Boleh aku pakai kacamata?"

"...Hah?"

Kacamata... jangan-jangan, kacamata baca?

Pertanyaan yang sama sekali tidak terduga.

Saat aku terdiam dengan wajah bingung, Mikane menjelaskan,

"Penglihatanku sangat buruk. Biasanya aku pakai lensa kontak karena ingin area wajahku terlihat bersih, tapi mataku lelah kalau pakai itu untuk membaca, makanya lebih nyaman kalau pakai kacamata..."

"...Tidak masalah sama sekali."

"Benarkah? Beneran?"

"Tidak, maaf. Malah aku bingung kenapa kamu pikir akan ditolak..."

"Eh, soalnya—"

Mungkin karena dia lega, Mikane kembali ke nada bicaranya yang biasa.

"Biasanya aku pakai lensa kontak, tapi kalau di ruang klub saja pakai kacamata, apa tidak kesannya seperti aku mengabaikan diriku sendiri?"

(TLN : buat yang bingung dengan kata-katanya, maksudnya seperti biasanya dia pake lensa kontak buat jaga penampilannya, tapi kalau dia hanya pake kacamata pas di klub, Mikane berasa seperti bodo amat menelantarkan soal penampilan dirinya sendiri gitu, ibarat seperti gak ngurusin diri lah)

"……………"

Gadis ini benar-benar hidup di dunia dengan cara berpikir yang berbeda denganku....

Meskipun aku sedikit terkejut, aku lega karena itu bukan tentang obrolan tadi.

"Aku tidak berpikir begitu sama sekali. Aku tidak pernah berpikir seperti itu..."

"Serius?"

"Ya, serius."

"Yatta, kalau begitu aku pakai ya."

Begitu dia selesai bicara, Mikane membuka tasnya.

Mungkin karena dia tidak menemukannya, dia meraba-raba dengan tangan kanannya sambil bergumam, "Are? Apa aku tidak membawanya hari ini?"

"Ketemu. Ini—bukan! Ah, ini dia..."

Hmm?

Aku mengerutkan kening.

Yang kulihat sekilas adalah benda bengkok seukuran kotak kacamata.

Lem cair? Tidak, bukan. Itu bukan benda semacam itu, tapi seperti benda yang kulihat di drama atau film.  

Eh... itu... apa namanya?

Aku berusaha keras mengingatnya, tapi tidak kunjung ingat juga.

Saat aku sedang berpikir, Mikane menatapku dengan cemas dari balik lensa kacamatanya dan berkata, "Bagaimana? Cocok, gak?."

Oh!

Kacamata dengan bingkai bawah yang unik.

Meskipun dia bilang itu seperti mengabaikan diri sendiri, menurutku itu menjadi poin yang intelektual dan bagus.

Aku merasa pesona Mikane bertambah dua kali lipat.

Aku berusaha keras menyembunyikan kegugupanku.

"... Co-cocok kok. Sangat..."

"Benarkah? Aku tidak terlalu percaya diri pakai kacamata. Apa tidak terlihat seperti gyaru?"

"Ya-yah... kalau ditanya apakah seperti gyaru... mungkin sedikit berbeda, tapi menurutku bagus."

"Begitu ya! Hore."

Mikane tersenyum, dan kali ini dia benar-benar mulai membaca.


.

Bagian 2

"Aku pulang—"

Saat membuka pintu rumah, aku melepas sepatuku dengan kasar.

Saat aku hendak menyalakan lampu lorong, aku bergumam, "Ah," aku teringat alasan kenapa lampu tidak menyala. 

Kemarin, lampu neonnya mati, dan Ayah bilang akan menggantinya dengan LED sekalian. 

Sepertinya perlu perbaikan untuk memasang LED, jadi dibiarkan begitu saja.

Terserah sih, tapi aku harap cepat diperbaiki.

Sambil berpikir begitu, aku naik ke lantai dua.

Saat sampai di lantai dua, aku mendengar suara aneh dari suatu tempat, dan aku mengangkat alis.

Itu daru arah kamar Mao.

Kamarku ada di depan tangga, tapi kamar Mao ada di ujung lorong lantai dua, di sebelah kamar tidur Ayah dan Ibu.

...Apa itu? Apakah dia sedang menonton video di tablet?

Aku berjalan ke ujung lorong.

Saat berdiri di depan pintu, aku mendengar kata-kata ini,

"Ah, rasa sakit yang menusuk di hatiku ini, jika aku menanyakan namamu, apa jawabanmu? Kumohon, jangan katakan itu cinta. Itu tidak diperbolehkan. Jalan yang terlarang. Meskipun bintang-bintang muncul di malam bulan baru, tapi di ujung jalan itu hanya ada kegelapan yang menanti."

Apakah ini latihan drama? Caranya bicara seperti Shakespeare, tapi dialog ini... drama apa?

Aku mendekatkan telingaku ke pintu untuk mendengarkan lebih jelas.

"Ah, aku sangat membenci cinta. Cinta seharusnya buta, tapi kenapa dengan mudahnya kau menusuk hatiku? Ah, Kakak tercinta, bunga cinta di dalam diriku sudah mekar sepenuhnya, tapi matamu menatap bunga lain."

Eh? Kakak itu maksudnya bukan aku, kan?

Karena panik, kakiku terpeleset dan terdengar suara gesekan.

Saat itu juga—

"Siapa? Bersembunyi dalam kegelapan dan menguping rahasia seorang gadis?"

"Ah, ti-tidak, itu..."

"Telinga ini telah mendengar suaramu sejak aku lahir, jadi aku bisa mengenalinya hanya dari suara saja. Itu adalah Kakak, kan?"

Pintu terbuka dengan suara berderit.

Yang keluar adalah Mao dengan wajah merah padam karena marah—atau begitulah yang kukira... tapi ternyata, Mao justru tampak tenang tanpa ekspresi.

Itu malah membuatku takut, dan aku pun panik.

"Ma-maaf! Aku tidak bermaksud menguping! Aku akan melupakan apa yang kudengar barusan!"

Tapi, Mao memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung dan berkata, "Kakak aneh."

"Kenapa kakak panik begitu? Mao hanya sedang latihan drama?"

"Hah? Latihan drama?"

"Ya."

"... Ah, begitu."

Apakah ada drama Shakespeare dengan dialog seperti itu? Atau mungkin itu bukan Shakespeare.

"Hmm, ini..."

Tiba-tiba Mao mengangkat wajahnya dan mengendus-endus seperti anjing.

Dia mendekat dan mengerutkan kening.

"...Benar saja, bau perempuan."

"Eh?"

Aku buru-buru mengangkat lengan bajuku dan menciumnya.

...Aku tidak yakin, tapi kalau memang ada aromanya, hanya ada satu orang yang kupikirkan.  

Mungkin aromanya menempel karena aku berada di dekatnya.

Mao menatapku dengan curiga.

"...Kakak, akhir-akhir ini kamu aneh. Apakah kamu punya pacar?"

Pa-pacar!

"Bukan, bukan, bukan! Mikane bukan seperti itu! Dia tidak mungkin menjadi pacarku!"

"Hmm, namanya Mikane, ya."

"Uhmf."

Aku menutup mulutku yang ceroboh dengan tangan.

Ce-celaka.... Aku keceplosan.  

Bagaimana ini? Aku harus meluruskan kesalahpahamannya, tapi kalau aku terlalu menyangkalnya, dia malah akan semakin curiga.

Saat aku melihatnya, entah apa tujuannya, Mao mendekat.

Aku mundur selangkah demi selangkah karena terdesak.

Karena tidak tahan lagi, aku hendak melarikan diri sambil berkata, "Ka-kalau begitu... aku... harus mengerjakan PR di kamarku," tapi Mao meletakkan tangannya di samping mulutnya.

"Buu, Ibuu, gawat! Kakak sudah punya pacar—"

"Aaaaaaaaaaah!"

Gawat kalau gosip ini menyebar!

Aku berlari ke arah Mao, melingkarkan tanganku di belakangnya, dan menutup mulutnya.

"Sudah kubilang berkali-kali, dia bukan pacarku! Ini rahasia antara aku dan Mao saja. Lihat, aku akan membelikanmu dapan."

(TLN : bagi yang lupa, dapan adalah makanan sejenis roti kesukaan mereka berdua)

"Mmm! Hmm!"

"Eh? Tidak mau? Aku akan membelikanmu dua."

"Mmm! Hmm!"

"Kamu punya permintaan lain?"

"Mmm, hmm."

Dia mengangguk.

Aku melepaskan Mao dan membuatnya menghadapku.

"—Jadi? Apa yang kamu inginkan?"

"Mao ingin bertemu Mikane."

"Eh?"

Aku tidak tahu kenapa dia ingin bertemu, tapi pokoknya tidak boleh.

"I-itu... sedikit... Mikane juga akan kesulitan..."

"Bu, Ibu, gawat! Kakak—"

"Waaaa, baiklah, baiklah!"

Sekarang yang terpenting adalah menghentikannya.  

Karena terpaksa menyetujuinya, Mao langsung bertanya, "Kapan bisa bertemu?"

Entah kenapa, dia tidak lengah meskipun masih kecil.

"Eh, ehm... Mikane juga punya kesibukan, jadi aku akan tanyakan nanti. Boleh?"

"Ya."

"Boleh? Ka-kalau begitu... aku pergi dulu, ya."

"Ya."

Akhirnya dia setuju.

Aku mundur sambil memperhatikan Mao.

Saat masuk ke kamarku, aku menutup pintu dengan punggungku dan menghela napas panjang.

Apa yang akan terjadi kalau aku mempertemukan Mao dengan Mikane?  

Tidak, sebelum itu, kapan dan di mana aku harus mempertemukan mereka?  

Aku tidak mungkin membawanya ke sekolah.

Setelah berpikir sekitar lima menit, aku sampai pada suatu kesimpulan.

Ya, aku akan menundanya terus.

Karena Mao masih kecil, dia pasti akan segera melupakannya.

Bagian 3

Tiga hari setelah berjanji dengan Mao, aku termenung di ruang klub.

Dugaanku bahwa dia akan segera melupakannya, meleset total.

Sejak hari itu, Mao selalu berkata "Ingin bertemu Mikane" setiap hari.  

Bahkan saat aku di toilet atau di kamar mandi, dia tidak peduli.  

Dia terus bertanya, "Kapan bisa bertemu?" "Di mana bisa bertemu?"

Bagaimana ini?

Mikane seperti biasa sedang membaca buku di dekat jendela.

Aku sudah terbiasa melihatnya memakai kacamata.

Haa, aku jadi lapar karena terlalu banyak berpikir....

Aku membuka tasku dan mengeluarkan dapan yang kubeli saat makan siang.

Saat aku makan dengan suara gasak... gasak..., Mikane memanggilku.

"Ma-maaf. Apa aku berisik?"

"Tidak, bukan itu, tapi—"

Dia menggelengkan kepalanya dan menunjuk ke arah tanganku.

"Aku sering melihat roti itu."

"Eh? Ah, ini?"

"Iya, sepertinya roti itu dijual di mana-mana. Ada di koperasi, di minimarket, dan terakhir aku melihatnya di supermarket. Padahal itu tidak ada di Tokyo."

"Ah..."

Sepertinya dia tidak tahu dapan.

"Ini namanya Fukuda Pan, makanan khas masyarakat Iwate. Murah, enak, dan banyak jenisnya. Dijual di koperasi sekolah dan universitas, minimarket, supermarket, dan banyak tempat lainnya."

"Hee, makanan khas masyarakat Iwate! Apakah Miyaken juga memakannya?"

"Tidak—"

Aku tertawa, "Hahaha."

"Tentu saja tidak. Karena roti ini belum ada di zaman Miyazawa Kenji. —Eh? Tunggu sebentar..."

Tiba-tiba aku teringat cerita yang pernah kudengar dulu.

"Memang roti ini belum ada saat itu, tapi mungkin tidak sepenuhnya tidak berhubungan.… Seharusnya pendiri Fukuda Pan adalah murid Miyazawa Kenji."

"Eh? Beneran?"

"Aku akan coba cari tahu."

Aku mengeluarkan ponselku dari saku dan mencari "Miyazawa Kenji" dan "Fukuda Pan".

Dan aku pun tahu bahwa pendiri Fukuda Pan bukan hanya murid biasa, tapi orang yang memiliki hubungan yang sangat erat dengannya.  

Setelah lulus, dia masih bertukar surat dengan Kenji, dan foto yang selalu muncul saat mencari "Miyazawa Kenji" itu juga sepertinya milik orang itu.

Begitu ya, ternyata memang....

Aku menyilangkan tangan sambil membaca penjelasannya.

Miyazawa Kenji selalu prihatin dengan orang-orang yang menderita kemiskinan.

Keinginan pendiri Fukuda Pan untuk membuat orang kenyang dengan roti yang murah dan enak, sepertinya sejalan dengan Miyazawa Kenji.

Saat aku menceritakan hal itu, Mikane juga tampak tertarik.

"Kita harus menelitinya, kan? Tapi, bagaimana caranya kita meneliti? Apakah kita harus pergi ke supermarket dan membeli semua roti yang ada?"

"Hmm... bagaimana kalau kita ke tokonya dulu?"

"Toko?"

"Ada beberapa toko Fukuda Pan di Morioka. Kudengar di sana menunya lebih banyak daripada yang dijual di minimarket atau supermarket."

"Wah."

Mikane menangkupkan tangannya di depan dada dan matanya berbinar.

"Aku mau ke sana! Yukki, ajak aku! Sepulang sekolah besok atau Sabtu—"

Tapi, dia tiba-tiba berhenti bicara dan melihat ke samping.

Dia melihat ke arahku sambil sedikit menjulurkan lidahnya.

"...Maaf, besok aku akan pergi belanja dengan Koko.… Sabtu aku juga tidak bisa karena ada janji makan siang dengan Nana. Bagaimana kalau Minggu?"

"Ah, ya, boleh. Boleh... tapi..."

Aku menggantungkan kalimatku karena sedang memikirkan hal lain.

Ini mungkin sebuah kesempatan.

Di dekatku ada anak yang sangat suka dapan.  

Dan anak itu sangat ingin bertemu Mikane.

Mikane menatapku dengan heran karena aku diam saja sambil berpikir.

"—Tapi? Ada apa?"

"Anu, bolehkah aku... mengajak satu orang lagi?"

"Eh? maksudnya, Yukki akan mengajak seseorang?"

"... Iya."

"Wah."

Dia tampak terkejut dan matanya melebar.

"Siapa? Aku penasaran sekali. Ah, Tanuma-kun?"

"Bukan."

"...Kalau begitu, Otozumi-kun?"

"Bukan juga."

"Eh? Siapa? Siapa?"

"Ehm, itu—"

Bagian 4 

"Kyaa, Kawaii! Imut dan kecil sekali! Apakah ini adik Yukki? Berapa umurnya? Siapa namanya?"

Sambil memegangi sepeda ramping dengan kedua tangannya, Mikane yang mengenakan pakaian kasual membungkuk dan tersenyum— style pakaiannya masih bergaya sama seperti sebelumnya, tapi hari ini dia memakai celana pendek, bukan rok.

Ngomong-ngomong, ini adalah alun-alun air terjun yang pernah kita gunakan untuk bertemu sebelumnya.

Mao, yang selama ini merengek ingin bertemu Mikane, terlihat tidak terlalu senang meskipun akhirnya bisa bertemu dengannya.  

Dia memperkenalkan diri, "Mao, delapan tahun," tapi setelah itu dia diam saja.

Berbeda denganku yang khawatir, Mikane tampaknya tidak terlalu peduli.

Dia tersenyum dan membungkuk.

"Aku Shibusawa Mikane. Aku sekelas dan satu klub dengan Yukifumi-kun. Senang bertemu denganmu."

Mao menjawab, "I-iya...," dengan sedikit malu-malu tanpa menatap matanya.

Mungkin puas setelah mendengar jawabannya, Mikane menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arahku.

"Jadi ini Mao-chan. Berarti selisih usiamu dengan Yukki delapan tahun?"

"...Ah, ya, Mao kelas dua SD."

"Senangnya, andai saja aku punya adik perempuan."

... Jangan-jangan, dia anak tunggal?

Meskipun kita sudah sering mengobrol, aku tidak tahu banyak tentang keluarganya.

Saat aku bertanya, dia menjawab, "Iya, aku anak tunggal."

"Hee... begitu ya."

"Makanya aku iri. Kalau punya adik perempuan, aku bisa main dan jalan-jalan dengannya."

"Ya-yah, meskipun tidak jalan-jalan, tapi aku sering menonton video dengannya."

"Senangnya."

Mao menatapku dan Mikane yang sedang mengobrol secara bergantian.

Lalu dia menarik bajuku dan bertanya,

"Kakak suka gyaru?"

"!!!"

Detak jantungku meningkat tajam.

Memang aku suka Mikane, dan anak kecil punya hak istimewa untuk bicara tanpa basa-basi, tapi ini sangat merepotkan.

"Ma-Mao! Aku tidak seperti itu! Jangan bicara yang aneh-aneh!"

"Eh?"

Suara dibuat-buat itu berasal dari Mikane.

Dia menyibakkan rambutnya dan menatapku dari bawah dengan tatapan geli.

"Eh, apa ini? Yukki tidak suka gyaru sepertiku? Sedihnya."

"Ti-tidak... aku tidak membencimu. Hanya saja..."

"Hanya saja?"

"...Kita hidup di dunia yang berbeda. Kurasa kita tidak cocok..."

Eh?

Mikane cemberut. 

Dia protes dengan nada yang agak kuat, "Berbeda dan tidak cocok itu masalah yang berbeda, kan?"

"Eh, etto..."

Apakah dia marah...?

Aku terdiam karena reaksinya yang tidak terduga.

Mikane sepertinya merasa tidak ada gunanya melanjutkan pembicaraan itu, jadi dia menghela napas kecil dan mengganti topik.

"Ngomong-ngomong, apakah toko Fukuda Pan dekat dari sini?"

"...Ah, ya. Sekitar sepuluh menit naik sepeda. Mungkin akan ramai saat makan siang, jadi lebih baik kita pergi lebih awal."

"Kalau gitu, gak ada gunanya kita lama-lama di sini, ayo pergi."

Bagian 5

Kurasa prestasi Miyazawa Kenji bukan hanya menciptakan puisi dan dongeng yang hebat.  

Pengaruhnya sebagai guru terhadap orang-orang juga besar.

Salah satunya adalah pendiri Fukuda Pan.

Pendiri Fukuda Pan belajar dari Kenji di sekolah pertanian, lalu atas rekomendasi Kenji, dia menjadi asisten peneliti di Departemen Kimia Pertanian, Sekolah Tinggi Pertanian dan Kehutanan. 

Setelah perang, dia kembali ke Morioka, dan dengan keinginan "membuat siswa kenyang dengan harga murah", dia mengembangkan roti yang dihitung kalorinya sama dengan dua porsi nasi dan satu porsi sup miso jika dipadukan dengan satu botol susu.  

Itulah Fukuda Pan yang sekarang.

Mungkin karena awalnya dibuat untuk siswa, toko Fukuda Pan didesain seperti sekolah. 

Atap segitiga, ada jam besar, dan saat masuk ke dalam, terlihat banyak sekali menu yang ditempel di papan tulis.

"Wah, banyak sekali! Aku bingung karena banyak sekali pilihan."

Wajah Mikane yang sedang melihat menu justru tersenyum, berlawanan dengan kata-katanya.

Memang, jumlahnya sangat banyak.

Mulai dari kacang, selai, mentega, kopi, blueberry, krim, susu, cokelat, pisang, apel, yoghurt, dan lain-lain, ada juga pasta kacang merah, matcha, ubi panggang, labu, dan rasa lainnya.  

Untuk rasa asin, ada salad kentang, spaghetti, hamburger, telur, dan lain-lain.  

Meskipun ada banyak rasa yang tidak biasa, aku tidak ingin mencoba-coba.  

Aku akan memilih rasa yang biasa kupilih.

"Aku mau matcha. Mao juga mau itu?"

"Mao mau matcha."

"Aku juga sudah memutuskan! Aku mau krim keju."

Krim keju?

Aku tidak akan pernah mencoba rasa yang tidak biasa dari awal.  

Sudah kuduga, selera Mikane memang berbeda denganku.

Saat aku hendak mengeluarkan dompet dari saku dan pergi ke konter pemesanan, Mikane menghentikanku, "Tunggu."

"Yukki, lihat pengumuman itu."

Karena penasaran, aku melihat lebih dekat dan menemukan tulisan di bawah menu yang menjelaskan tentang pilihan untuk mencampur rasa. 

Kita bisa memilih maksimal dua rasa untuk kombinasi manis dan manis, atau asin dan asin, dan harganya mengikuti rasa yang lebih mahal. 

Mengingat banyaknya menu, kombinasi rasanya sangat banyak.

 Kita bisa membuat rasa original sendiri.

"Sepertinya seru! Aku mau coba mix rasa, ah."

"Iya, boleh saja. Tapi aku mau matcha biasa."

"Eh? Yukki juga coba dong."

"Tidak usah. Aku tidak mau kalau rasanya jadi aneh. Mao juga tidak apa-apa, kan?"

"Iya."

"Hmm, cuma aku sendiri dong?"

Dia bergumam sambil berdiri di belakangku.

Mungkin karena hari libur, ada lima orang yang mengantre di depanku.

Melihat cara pembuatannya, aku jadi tahu toko ini lebih mirip toko es krim daripada toko roti.

Di balik papan akrilik, berjejer krim warna-warni. 

Saat memesan, pelayan akan membuka roti dapan dan mengoleskan krim dengan spatula. 

Satu roti selesai dalam waktu sekitar sepuluh detik. 

Tidak sedikit orang yang memesan lima atau enam roti sekaligus.

Tak lama kemudian, akhirnya tiba giliranku.

Aku berkata kepada pelayan di konter, "Matcha dua," dan dia menjawab, "Totalnya 318 yen."

(TLN : per oktober 2024, Sekitar 33 ribu rupiah)

Murah sekali.

Dapan memang sahabat para siswa.

Setelah membeli roti yang kami inginkan, kami pergi ke taman terdekat.

Taman ini biasa saja, hanya ada beberapa permainan dan beberapa bangku, tetapi karena sepi, kicauan burung dan suara gemerisik pepohonan terdengar jelas.

"Ne, gimana kalau kita duduk di bangku itu?"

Mikane memilih bangku yang berada di tempat teduh.

Aku dan Mikane duduk disebelah Mao.

"Kakak."

Mao menarik kantong plastik belanjaan sambil mendesakku.

Sepertinya dia tidak sabar ingin makan.

"Iya iya. Ini kakak ambilkan sekarang, tunggu sebentar."

Aku membuka kantong plastik itu dan memberikan dapan padanya, "Ini."

Mao menerimanya dengan kedua tangan, membuka bungkus plastiknya, dan menggigitnya dengan mulut lebar.

Mikane melihatnya dengan ekspresi hangat.

"Mao-chan suka Fukuda Pan ya. Apa kamu selalu makan matcha?"

"Mmm."

Entah karena ingin fokus makan atau karena belum terbiasa, Mao hanya menjawab seperlunya. 

Aku juga tidak pandai mengobrol, tapi mau bagaimana lagi, aku harus menjawabnya.

"Memang aku suka, tapi Mao juga suka. Kalau melihat ini di minimarket, dia pasti memintanya."

"Wow, seleranya lumayan."

Sambil berkata begitu, Mikane juga membuka bungkus plastiknya.

Dapan ukurannya lebih lebar daripada roti isi biasa. 

Dan teksturnya lembut secara keseluruhan.

Mikane melihatnya dari samping, membaliknya, memeriksa penampilannya, lalu menggigitnya.

"Enak! Ini juga kebahagiaan sejati!"

Masa sih ini juga termasuk....

Aku menggaruk kepalaku.

"Kebahagiaan sejati itu... bukan sesuatu yang ada di mana-mana..."

"Tapi, bukankah lebih bahagia kalau kita menganggapnya ada?"

"Eh?"

Aku memiringkan kepalaku karena tidak mengerti maksudnya.

"...Apa maksudmu?"

"Akhir-akhir ini aku banyak berpikir, dan aku merasa daripada mencari kebahagiaan yang luar biasa, lebih baik kita menemukan kebahagiaan kecil dalam kehidupan sehari-hari dan merasakannya dengan sepenuh hati, agar kita bisa bahagia. Soalnya, kebahagiaan itu kan tidak punya bentuk, dan setiap orang merasakannya dengan cara yang berbeda, kan? Meskipun tinggal di rumah mewah, naik mobil bagus, makan makanan enak.. kalau kita merasa tidak senang, kita tidak akan pernah bisa bahagia. Sebaliknya, meskipun tidak ada hal yang luar biasa, kalau kita menemukan kebahagiaan kecil dan merasa, ah, aku senang, itu saja sudah cukup membuat kita bahagia. Makanya aku ingin menemukan banyak sekali ‘kebahagiaan sejati’ dan menjadi orang yang paling bahagia."

Untuk sesaat, Mikane tampak bersinar.

Betapa positifnya dia. 

Kalau bisa berpacaran dengan gadis seperti ini, rasanya aku pun bisa bahagia.

"Mau kubagi kebahagiaanku juga untuk Yukki?"

"Eh?"

Awalnya aku bingung, tapi setelah melihat Dapan yang disobek, aku pun mengerti maksudnya.

"Ah, kamu mau memberiku sedikit?"

"Iya, mau kusuapin. Aaa..."

"Eh, jangan! Itu agak..."

Rasa malu langsung menyerangku.

Memang, disuapi oleh gadis yang disukai adalah impian para lelaki, dan aku pun iri melihat adegan seperti itu di anime atau drama. 

Tapi, kalau benar-benar mengalaminya sendiri, rasanya terlalu malu. 

Apalagi adikku sedang melihat!

"Horaa, aaa..."

"Tu-tunggu! Sekarang..."

Dihadapkan dengan potongan kecil Dapan, aku benar-benar panik.

"Aaa..."

"Makanya, tung─ Uggh!"

Dia memasukkannya secara paksa ke mulutku.

...Eh? Ini rasa apa?

Aku belum pernah merasakan rasa ini sebelumnya.

Dia mencampur rasa apa saja, ya?

Awalnya, aku merasakan aroma matcha, tapi kemudian rasa manis yang kuat menyebar di mulutku, mengalahkan rasa matcha. 

Aku sedikit terkejut, tapi ini enak sekali.

"...Jangan-jangan, ini matcha dicampur krim keju?"

"100!"

Mendengar jawabanku benar, dia pun tersenyum lebar.

"Aku terkejut. Padahal kombinasi yang sepertinya tidak cocok, tapi ternyata enak, ya."

"Kan?"

"Hmm, Mao juga mau disuapin."

Mao menarik-narik lengan baju Mikane.

Mungkin senang diajak bicara, Mikane menjawab dengan gembira.

"Tentu saja! Mao-chan juga, ayo, aaa..."

"Aaa..."

Hap, nyam nyam nyam....

Mao membuka matanya lebar-lebar, lalu meletakkan tangan di dada, seolah ada tombol yang menyala, dan berseru, "Aaah..."

"Manisnya, aromanya, sungguh lezat. Ini bagaikan melodi surgawi. Raja Midas yang haus akan kenikmatan pun pasti akan terpikat dengan rasa ini. Haah.. aku merasa bersalah karena hanya diriku yang menerima perlakuan istimewa seperti ini. Bagaimana keadaan Ayahanda yang diasingkan, ya? Aku ingin segera mengirimkan roti ini dengan kapal untuk Ayahanda."

Mikane pun tampak terkejut. "Ma-Mao-chan... tiba-tiba bicaranya jadi hebat, ya," katanya, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Perlahan, Mikane mendekatkan bahunya padaku dan berbisik, "Ano..."

"Ayah Yukki diasingkan? Ah, apa aku nggak boleh tanya soal itu?"

"Ti-tidak... Ayahku kerja kantoran, kok. Soal Mao bilang 'diasingkan' tadi, mungkin itu cuma... settingan. Kemarin dia juga menjadikan Ayah sebagai hantu, jadi jangan terlalu dipikirkan."

"Settingan?"

"Mao ikut klub drama, dan kadang-kadang dia suka 'masuk ke dalam peran' gitu."

"Hee, jadi dia ikut klub drama, ya?"

Mikane melihat wajah Mao dan berkata sambil tersenyum, "Hebat ya, bisa ngomong dialog sepanjang itu." Mao pun mengangguk, sepertinya senang dipuji.

"Kalau suka, roti ini buat Mao-chan saja, ya?"

"Mmm, terima kasih."

Mao menerimanya dengan senang hati dan mulai makan lagi.

Entah karena pengaruh Dapan atau karena kemampuan komunikasi Mikane, mereka berdua tampak akrab sekarang.

Aku senang melihatnya, tapi Dapan yang dibeli Mikane jadi diberikan ke Mao. 

Sebagai seorang kakak, aku tidak bisa tinggal diam saja.

"Ma-maaf, padahal itu yang Mikane beli..."

"Nggak apa-apa. Aku kan cuma mau coba rasanya aja."

Mikane menjawab dengan santai, lalu menatapku dan berkata, "Ne, ngomong-ngomong..."

Sambil mengangkat jari telunjuknya di samping pipi, dia berkata,

"Menurutmu, bukan cuma roti aja kan yang bisa enak meskipun kombinasi rasanya nggak terduga?"

"Eh?"

Bukan cuma roti? Apa maksudnya?

Aku berpikir sejenak, lalu berseru, "Ah!"

Mungkin dia ingin membantah ucapanku di depan stasiun tentang 'dunia kita berbeda' atau 'kita tidak cocok'. 

Hmm, memang sih, berbeda dan tidak cocok itu dua hal yang berbeda. 

Tapi, apa dia sengaja memilih kombinasi rasa ini untuk membuktikannya? 

Jangan-jangan… dia mau bilang kalau kita sebenarnya cocok...?

Aku jadi membayangkan kalau dia menyukaiku juga, dan jantungku pun berdebar kencang.

Mao memperhatikan aku dari bawah.

"...Mao tahu. Kakak memang suka sama gyaru."

"Eh, itu..."

"Mao juga mau jadi gyaru."

"Eh?"

Mao jadi gyaru?

"Mao-chan

 mau jadi gyaru? Asik!"

Berbeda denganku yang bingung, Mikane justru tampak senang.

Kok bisa begini? Rasanya jadi aneh.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close