NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

 

Gyaru ni mo Fukezu Jilid 1 Bab 6

 Penerjemah: Randika Rabbani 

Proffreader: Randika Rabbani 


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


BAB 6 

“Galaxy Express di Malam Hujan”


Bagian 1

Akhir-akhir ini rasanya jadi panas banget, ya.

Aku berdiri di samping halte bus sambil mengipasi dadaku dengan bajuku.

Meskipun Morioka terkenal sejuk, bulan Juli tetap saja terasa panas. 

Tadi aku bingung sekali mau pakai baju apa, dan akhirnya memilih baju lengan panjang tipis ini, tapi ternyata lebih baik pakai lengan pendek saja.

"Ayah, Ibu, lihat itu!"

"Wah, lucu sekali, ya."

"Oooh, mereka dari danau, ya? Semoga mereka tidak tertabrak mobil..."

Sebuah keluarga dengan satu anak kecil yang berdiri di dekatku sedang melihat ke arah pinggir jalan.

Karena penasaran, aku pun ikut melihat ke sana, dan ternyata ada sekelompok bebek sedang beriring-iringan.

Di belakang induk bebek betina, ada empat—tidak, lima anak bebek yang berjalan berbaris dengan langkah kecil-kecil.

Wah, lucunya.

Aku pun tersenyum tanpa sadar.

Ini adalah halte Takamatsu-no-ikeguchi.

Sesuai namanya, di dekat sini ada tempat wisata Danau Takamatsu. 

Kurasa bebek-bebek itu dari sana.

Ngomong-ngomong, aku sudah menunggu Mikane di sini sejak sepuluh menit yang lalu. 

Tadi dia bilang di LINE kalau dia akan segera sampai, jadi kurasa tidak akan lama lagi.

Saat melihat ke arah atas bukit, aku melihat bus yang sedang mendekat. 

Di papan penunjuk tujuan tertulis, "Menuju Terminal Bus Morioka". Pasti itu dia busnya.

Bus itu berhenti dan pintunya terbuka. 

Setelah seorang pemuda yang sepertinya mahasiswa, seorang wanita yang membawa kantong kertas, dan dua orang yang sepertinya turis turun, Mikane pun keluar. 

Hari ini dia tidak membawa sepeda lipatnya. 

Sebagai gantinya, dia membawa tas belanja eco-friendly bergambar kupu-kupu.

"Yukki. Terima kasih sudah menjemputku. Apa kamu sudah lama menunggu?"

"Tidak, tidak juga. Ah, biar kubawakan."

"Terima kasih~!"

Dia memberikan tas belanjanya padaku dengan kedua tangan.

"Apakah rumah Yukki dekat dari sini?"

"Dekat sekali. Ayo, ikut aku."

Kami mulai berjalan berdampingan. 

Aku mencoba mengintip isi tas belanja itu.

"...Ini lumayan berat. Isinya apa?"

"Bahan makanan. Aku mau masak untuk makan siang."

"Eh? Mikane mau masak?"

Dia sudah hebat karena mau datang ke rumahku, aku tidak percaya dia bahkan mau memasak juga untukku. 

Aku bereaksi seperti itu karena terharu, tapi sepertinya Mikane salah paham.

Dia cemberut dan melirikku dengan kesal.

"Ne, jangan kira aku tidak bisa masak cuma karena aku seorang gyaru. Aku suka nonton video memasak, tau!"

"Ka-kamu salah paham! Aku cuma... senang..."

"Ya udah, kalau gitu."

"...Kamu mau masak apa?"

"Rahasia! Coba tebak."

"Hmm..."

Aku melihat telur... bawang bombai... wortel... dan sesuatu yang sepertinya daging di dalam wadah plastik putih. 

Biasanya, kalau bahan-bahannya seperti ini, menunya kare. 

Tapi, bahan-bahan ini terlalu sedikit untuk kare. 

Apa, ya...?

Tanpa kusadari, kami sudah sampai di rumahku.

Rumahku adalah rumah biasa dengan halaman kecil, tidak terlalu jelek dan tidak terlalu mewah.

Mikane berdiri di depan rumahku, lalu mendongak dan berkata, "Hee, jadi ini rumah Yukki."

"Yukki-Papa dan Yukki-Mama tidak ada di rumah, kan?"

"Ah, iya."

Aku memasukkan tangan ke dalam saku dan mengambil kunci.

"Ayah dan Ibu sedang pergi. Mereka baru pulang nanti malam."

"Oh...".

Mikane menyeringai.

"Nakal sekali, ya, mengajak anak gadis ke rumah saat Mama dan Papa nya tidak ada, itu tidak baik. Apa rencanamu sebenarnya?"

"Tidak! Bukan begitu! Ada Mao juga! Lagipula, aku mengajakmu ke sini untuk bertemu dengan Mao, kan?"

"Hahaha, aku cuma bercanda. Kamu terlalu panik, Yukki."

Aku menggigit bibir bawahku dengan perasaan campur aduk.

Mikane memang suka melakukan hal-hal seperti ini, tiba-tiba mendekatkan diri dan membuatku gelisah. 

Aku senang dia mendekatiku, tapi aku juga merasa kesal karena mudah terpancing. 

Seandainya saja aku bisa membalasnya dengan baik.

Sambil memikirkan hal itu, aku memutar kunci dan membuka pintu.

"Silakan masuk."

"Yeay! Permisi! Ah, Mao-chan! Apa kabar?"

Eh?

Ternyata Mao mengintip dari ruang tamu. 

Mungkin dia sudah bersiap-siap setelah mendengar kalau Mikane akan datang. 

Wajahnya penuh dengan make up tebal yang membuatnya tampak… mengerikan.

Mao keluar dari ruang tamu dan berlari ke arah kami.

Sambil mendongak menatap Mikane, dia berkata, "Mao sudah jadi gyaru."

"Ahahaha, kamu benar-benar sudah menjadi gyaru! Hebat, Mao-chan!"

"Mao diakui."

"Iya iya, tapi kalau kamu sedikit lebih kreatif, hasilnya akan lebih bagus lagi. Akan kuajari kamu cara ber-make up."

"Mmm."

Mao menggenggam tangan Mikane dan berkata dengan gaya bicara seperti pria keren, "Ayo, cepat masuk—"

"Akan kutunjukkan wilayah kekuasaanku. Meskipun tidak ada sungai dengan butiran emas atau gunung dengan berlian, tapi di sini ada kedamaian dan ketertiban. Kamu pasti akan suka."

Kedamaian dan ketertiban? Bukankah itu yang paling tidak ada di kamar Mao? Aku jadi khawatir.

Dua jam kemudian, aku duduk di kursi dapur sambil memperhatikan Mikane yang sedang menggunakan pisau dengan memakai celemek. 

Di samping Mikane—di atas pijakan kecil—ada Mao yang sudah berubah menjadi gyaru cilik, berteriak, "Mao juga mau bantu!"

"Oke. Tapi karena memotong itu berbahaya, bagaimana kalau Mao-chan memecahkan telur untukku? Caranya seperti ini. Bisa?"

"Bisaa!"

Clank, Clank, gedebug!

"...Ah, gagal..."

"Aduh, jadi berantakan, deh. Ayo kita cuci tangan."

"Hmm."

Mereka seperti ibu rumah tangga muda dan anak perempuannya.

Kalau aku menikah dengan Mikane... mungkin suasana sehari-hari akan terasa seperti ini...

Aku menopang dagu dan membayangkan hal-hal manis.

Tapi, tiba-tiba aku tersadar dan merasa sangat malu.

A-apa yang kupikirkan?! Jangankan menikah, kami bahkan belum berpacaran!

Wajahku terasa panas—tiba-tiba aku mendengar suara mendesis dari dapur.

Sepertinya proses menumis sudah dimulai.

Mikane menggoyangkan wajan dengan anggun sambil menambahkan bumbu dengan cekatan.

Hee, dia pintar masak, ya—kupikir begitu sampai… Dia mulai panik sambil berkata, "Eh?" lalu, "Wah! Kok begini?!", "Awaawaawa! Mao-chan, ambilkan piring! Cepat!"

Eh! Tidak apa-apa, kan?

Sepuluh menit kemudian, ada tiga piring yang diletakkan di atas meja. 

Kurasa ini bisa disebut "jejak perkembangan".

Di piring Mikane, ada nasi goreng rasa kecap dengan ayam dan telur.

Di piringku, ada nasi omelet yang agak berantakan.

Di piring Mao, ada nasi omelet berbentuk hati yang sangat cantik.

"Huuuh..."

Mikane menyeka keringat di dahinya.

"Te-ternyata, melihat dan melakukan itu berbeda, ya... Padahal di video kelihatannya mudah."

"Tidak, menurutku kamu hebat karena bisa membuat tiga sekaligus. Aku pasti tidak bisa."

"Apakah Yukki tidak bisa memasak?"

"Aku bisa, tapi...menggulung telur dengan bantuan wajan itu...tingkat kesulitannya tinggi. Kurasa itu teknik yang dilakukan koki profesional di restoran."

"Hmm, mungkin video tutorialnya terlalu sulit."

"Mika-nee, ini enak!"

Mao sudah mulai makan.  

Kulihat jam, sudah hampir jam dua siang.  

Dia pasti lapar.

Ngomong-ngomong, Mao sepertinya akrab dengan Mikane saat diajari cara berdandan, dan sekarang memanggilnya "Mika-nee".

"Nanti keburu dingin kalau kita terus mengobrol, ayo kita makan juga."

Aku tersenyum tipis dan bertukar pandang dengan Mikane.

"Iya! Itadakimasu!"

Kami menyendok omurice dan memasukkannya ke dalam mulut, lalu tersenyum tipis bersamaan sambil berkata, "Enak."

Meskipun tampilannya agak mengecewakan, tapi rasanya memang omurice.

Ngomong-ngomong, Mikane sepertinya mengunggah foto omurice yang berhasil dia buat ke media sosial.

Dia senang karena mendapat banyak like.

Aku tidak percaya dia menderita banyak penyakit, padahal dia begitu ceria dan bersemangat. 

Bagaimana caranya agar aku bisa melindungi senyum ini?

Sambil makan omurice, aku memikirkan apa yang bisa kulakukan.

Lalu, aku menggelengkan kepala tanda menyerah.

Sayangnya, meskipun aku memikirkannya, aku tidak bisa berbuat apa-apa... Aku bukan dokter, jadi ada batasan untuk apa yang bisa kulakukan.  

Eh? Tunggu dulu...

Tiba-tiba muncul ide di kepalaku.  

Ide yang realistis, tapi juga terasa mustahil.

Bagaimana jika...aku menjadi dokter...?

.

Bagian 2

Pada pertengahan Juli, dimulailah event besar bagi siswa SMA—Ujian Akhir Semester.

Nilaiku memang bagus sejak dulu.

Saat SMP, guruku menyarankan aku untuk masuk SMA yang lebih bagus, tapi karena aku tidak punya tujuan untuk berusaha keras dan aku suka sekolah ini, aku tidak belajar terlalu giat untuk ujian masuk.

Tapi ujian kali ini berbeda.  

Aku punya tujuan untuk menguji apakah aku boleh, dan mampu, untuk menjadi seorang dokter.

Lebih tepatnya, aku memutuskan bahwa jika nilaiku di atas rata-rata 65, aku akan menjadi dokter, dan jika di bawah itu, aku akan menyerah.

...Tiga menit lagi.

Sekarang adalah ujian terakhir, Matematika I, yang akan segera berakhir.

Aku sudah memeriksa ulang jawabanku, tapi aku tetap memastikan tidak ada kesalahan sampai menit terakhir.

...Dua menit lagi, satu menit lagi...

Guru matematika melihat jam.

...Tiga puluh detik lagi… dua puluh detik lagi… sepuluh… lima… empat… tiga… dua… satu...

Sensei berdiri.

"Waktu habis. Letakkan pulpen kalian dan balikkan lembar jawaban."

Seketika itu juga, kelas menjadi berisik dengan suara-suara kegembiraan karena ujian selesai, erangan kesakitan, dan penyesalan.  

Aku sendiri merasa cukup puas dengan jawabanku.  

Meskipun hasilnya baru akan keluar minggu depan, kurasa aku mendapat nilai di atas 90.

Setelah menyerahkan lembar jawabanku ke orang di depanku, aku memeriksa bagian yang meragukanku di buku pelajaran, lalu pergi ke mesin penjual otomatis untuk membeli minuman.

Aku bertemu Mikane dalam perjalanan kembali.  

Saat berbelok di pertigaan, aku bertemu dengan Mikane yang datang dari arah berlawanan.

"Hai, Yukki."

"Ah, kamu habis dari koperasi?"

Suaraku lebih tinggi dari biasanya.

Kegiatan klub akan dimulai lagi hari ini, dan minggu depan liburan musim panas akan dimulai.  

Hal-hal itu membuatku bersemangat.  

Akhir-akhir ini aku tidak banyak bicara dengan Mikane karena ujian, tapi kupikir mulai hari ini waktu untuk mengobrol akan lebih banyak.

Mikane mengangkat kantong plastiknya dan berkata, "Iya, aku beli Fukuda Pan," sambil berjalan di sampingku.

"Tidak banyak yang tersisa, tapi aku berhasil mendapatkan selai kacang. Sebenarnya aku ingin yang rasa matcha & krim keju, tapi...ya, tidak ada."

"Ya, itu kan kreasi original dari tempat aslinya, Mikane."

Obrolan kami dimulai dengan hal itu, lalu secara alami beralih ke topik ujian.

Mikane sepertinya pintar, tapi berdasarkan obrolan kami, kurasa nilainya sedikit di atas rata-rata.  

Ketika dia bertanya, "Bagaimana dengan Yukki?", dan aku menjawab, "Mungkin...di atas 90", matanya melebar seperti almond.

"Yukki, kamu pintar sekali!"

"Tidak juga, kita tidak tahu sebelum melihat nilai standarnya..."

Mungkin saja soalnya terlalu mudah.

Dokter menangani nyawa manusia, jadi itu bukan profesi yang mudah didapat.  

Menurut informasi yang kubaca di internet, nilai standar rata-rata sekitar 70.  

Sepertinya nilai minimal 65 diperlukan untuk masuk fakultas kedokteran.

Artinya, aku harus masuk 5% teratas dari 100 orang.

Saat kelas sudah terlihat, Mikane berkata dengan nada rendah, "Ngomong-ngomong..."

"Jumat depan, aku tidak ikut kegiatan klub, tidak apa-apa, kan?"

"...Eh?"

Klub Sastra memang klub yang santai, tapi selama ini Mikane hampir selalu datang setiap hari sepulang sekolah.  

Padahal ujian sudah selesai, ada apa, ya? Jangan-jangan dia sakit...

Aku jadi khawatir, teringat kejadian saat dia pingsan.

Tapi, yang keluar dari mulut Mikane adalah hal yang tidak kuduga.

"Aku mau ke Tokyo sebentar. Karena ada acara ulang tahun senpai yang kukagumi."

Tanpa sadar, aku berhenti berjalan.

...Mikane pergi ke Tokyo?

...Ulang tahun senpai yang dikagumi?

Aku merasa seperti ditampar dan terbangun dari mimpi.

Aku pernah berpikir hal seperti ini mungkin akan terjadi suatu hari nanti.

Tapi tidak kusangka akan secepat ini.

"Eh? Yukki?"

Mikane yang sudah berjalan dua langkah di depanku juga berhenti dan berbalik.

Dia menatapku dengan heran.

"E-ehm...itu..."

Aku harus mengatakan sesuatu, tapi aku tidak menemukan kata-kata yang tepat.

Apakah dia perlu pergi jauh-jauh ke Tokyo hanya untuk merayakan ulang tahun?  

Apakah orang itu begitu penting baginya?  

Sepertinya senpai yang dia kagumi itu adalah orang yang memuji namanya sebelum aku.

Apakah dia mantan pacarnya? Tidak, kurasa dia tidak akan menggunakan kata "kagum" jika begitu... Mungkin, itu "orang yang disukai" Mikane.

Dia mungkin menggunakan kata "kagum" karena malu mengatakan "disukai".

"...B-begitu, ya... Tapi...kalau kamu ke Tokyo... kamu mungkin akan kambuh lagi seperti waktu itu... Jadi...lebih baik kamu tidak pergi?"

Tidak ada kebohongan dalam perasaanku yang mengkhawatirkan kesehatannya.  

Tapi, aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku mengatakan itu karena aku tidak ingin dia pergi.

Mikane mengangguk, tapi dia membantah,

"Memang, sih… Tapi, aku akan pakai masker agar tidak kambuh, dan aku juga bawa obat, jadi tidak apa-apa. Senpai itu juga bilang, 'Tidak usah memaksakan diri karena jauh, kesehatanmu lebih penting, dan biayanya juga mahal', tapi...aku tetap ingin bertemu langsung dan memberinya selamat. Perjalanan dengan kereta cepat hanya sekitar dua jam, jadi aku berencana berangkat Jumat sore dan kembali Minggu siang."

"............"

Dia orang yang baik karena bisa menahan diri demi Mikane.

Wajar jika Mikane menyukainya.  

Bagiku, itu menakutkan.

Aku merasa tidak akan bisa menandinginya.  

Lagipula, dia baru kembali hari Minggu?  

J-jangan-jangan, dia akan menginap di rumah orang itu?  

K-Kalau begitu...a-apa yang harus kulakukan...?

Ekspresiku sepertinya sangat serius, sampai Mikane menatapku dengan khawatir.

"...Yukki, kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat."

"Ah, m-maaf...aku baik-baik saja."

Aku buru-buru mengangkat wajahku.

"Tidak apa-apa kalau kamu tidak ikut kegiatan klub hari Jumat... Lagipula aku hanya akan membaca buku seperti biasa..."

"Oke. Sampai jumpa di kegiatan klub, ya~"

Mikane mengangkat tangannya yang bebas dan melambaikan tangan sambil masuk ke kelas.

.

Bagian 3

Sinar matahari pagi yang kuat, mungkin karena menembus celah di antara awan, membuat tirai renda putihku bersinar terang.  

Aku bersembunyi di balik selimut untuk menghindari cahaya itu.

Hari ini hari Jumat.  

Hari di mana Mikane berangkat ke Tokyo.

Aku tidak bisa tidur sejak mendengar cerita itu.  

Terutama hari ini, aku tidak bisa tidur sama sekali.

Brrr... brrr... brrr... brrr...

Smartphone-ku bergetar di samping bantal. 

Ini alarm yang ketiga kalinya. 

Kalau aku tidak bangun sekarang, aku pasti akan ketinggalan kereta.

"Aduh, aku tidak ingin bangun… Aku mau tidur terus..."

Aku mengulurkan tangan dan mematikan alarm.

Sejak bertemu dengan Mikane, aku merasa duniaku berubah. 

Aku jatuh cinta, menemukan mimpi, dan mencoba meraihnya.

Tapi, mungkin aku hanya terlalu bersemangat sendiri. 

Mikane punya orang yang dia suka, dan hatinya mungkin selalu tertuju pada Tokyo.

Ngomong-ngomong, kemarin, saat homeroom sepulang sekolah, kami diberi kertas berisi nilai standar dan peringkat kami di ujian.

Padahal aku sangat peduli dengan hasilnya waktu itu, tapi sekarang aku bahkan tidak mau melihatnya. 

Aku sudah tidak peduli lagi… Kurasa aku tidak boleh bercita-cita jadi dokter dengan sikap seperti ini.

"Uuu..."

Saat aku sedang meringkuk di dalam selimut—

"Kita naik kereta untuk turun. Tidak ada gunanya naik kalau tidak turun di tempat tujuan."

...Hah?

Aku mendengar kata-kata yang penuh makna.

Aku mengintip dari dalam selimut.

Sejak kapan dia ada di sini? Mao, dengan tas sekolah hijau mint di punggungnya, sedang menatap tirai yang berkilauan dengan pandangan kosong.

"Apa Ibu menyuruhmu untuk membangunkanku...?"

"Mmm."

"...Begitu..."

Kalau aku tidak masuk sekolah, setidaknya aku harus memberi tahu. 

Tapi, apa alasan yang harus kubuat...?

Aku menghela napas panjang.

Mao masih menatap tirai dengan pandangan kosong.

Aku mengikuti arah pandangannya, tapi memang tidak ada apa pun di sana selain tirai. 

Memang bukan hanya hari ini saja, sih, tapi adikku ini memang agak aneh.

"...Anu, Mao?"

"Kita naik kereta untuk turun. Tidak ada gunanya naik kalau tidak turun di tempat tujuan."

Dia mengulanginya lagi.

Yang benar itu kereta api, bukan kereta. 

Apa ini dialog drama juga? 

Tidak, yang lebih penting, Mao sudah terlambat. 

Kalau dia terus di sini, dia akan terlambat sekolah.

"Mao, kamu pergi sekolah saja. Aku tidak apa-apa."

Tapi, dia tetap diam dan tidak bergerak. 

Mungkin dia akan terus di sini sampai aku bangun.

"Ba-baiklah... Baiklah... Aku bangun sekarang..."

Karena sudah menyerah, aku pun menyingkirkan selimutku.

Saat aku membuka pintu kelas, Mikane sudah ada di tempat duduknya dan sedang mengobrol dengan Hirai-san yang duduk di sebelahnya.

Sebuah tas travel besar ada di dekat kakinya.

Menurut cerita yang kudengar kemarin lusa, Mikane tidak akan pulang ke rumah, tapi langsung pergi ke Stasiun Morioka untuk naik Shinkansen.

Aku duduk di tempat dudukku dengan perasaan sedih, dan memindahkan isi tasku ke dalam meja. 

Otozumi datang menghampiriku dan berkata dengan nada bercanda, "Hei hei, ada acara apa hari ini?"

"A-apa? Tidak ada apa-apa..."

"Jangan pura-pura tidak tahu!"

Dia bersandar di bahuku dan mengarahkan ibu jarinya ke Mikane.

"Kalian mau menginap bersama, ya? Lihat, Shibumi-chan bawa tas travel begitu. Ngaku saja."

"Tidak, bukan itu..."

Andai saja itu benar.

"Hmm?"

Sepertinya Otozumi menyadari ada yang tidak beres. Ekspresinya berubah serius.

"...Tooya, ada apa?"

"........."

Saat aku tidak menjawab, Tanuma datang dan bertanya, "Hei, ada apa?"

Otozumi menoleh dan mengangkat bahu.

"Tooya aneh, nih."

"Aneh?"

"Waktu aku tanya tentang tas travel yang dibawa Shibumi-chan hari ini, dia tiba-tiba diam..."

"...Hmm."

Tanuma menyilangkan tangan dan mulai mengamatiku.

"...Memang aneh. Kalau diperhatikan, ada lingkaran hitam di bawah matanya. Apa dia tidak tidur? Apa ada sesuatu yang terjadi?"

"Uuu..."

"Lebih baik kau ceritakan saja, jangan kau pendam sendiri."

"Benar. Ceritakan saja."

Memang, menderita sendirian itu berat.

Jika bisa, aku ingin bercerita pada seseorang.  

Dan jika aku bercerita, tidak ada orang lain selain mereka berdua.

Tapi, tidak ada waktu untuk membicarakannya sekarang, dan ada orang lain di dekat kita, jadi agak sulit.

"...Sebentar lagi homeroom akan dimulai, aku akan cerita saat istirahat siang nanti..."

"Oke."

"Hmm, baiklah."

Saat istirahat siang di kelas, sesuai janji, aku menceritakan masalahku pada mereka berdua.

Tentang Mikane yang akan pergi ke Tokyo, merayakan ulang tahun senior yang dikagumi.  

Aku menyembunyikan tentang penyakitnya, tapi aku menceritakan semua hal lain pada mereka.

Reaksi mereka berdua pada dasarnya sama, meskipun ada sedikit perbedaan.

"Itu pasti orang yang dia sukai! Dan dia akan menginap? Menginap di rumah orang itu?"

"Hmm...dia pasti saingan yang kuat. Meskipun itu ulang tahun, tidak biasa sampai rela datang jauh-jauh dari Iwate. Itu berarti perasaan Shibusawa sangat kuat. Entah dia akan menginap di rumah pria itu atau tidak, tapi ini bisa menjadi awal hubungan mereka. Bahkan, mungkin saja—"

Dia menyentuh dagunya dan mengerutkan alis.

"Mungkin dia mantannya? Mereka mungkin sudah pernah pacaran, tapi terpaksa berpisah karena Shibusawa pindah."

"I-iya..."

Aku menundukkan kepala, mendengar mereka mengatakan hal yang sama dengan yang kukhawatirkan.

Seperti yang mereka katakan, kurasa itu orang yang disukai Mikane.

"Apa...yang harus kulakukan?"

"Yah, setelah mempertimbangkan berbagai hal, kau harus menghentikannya. Jika cerita yang Tooya dengar di pemandian air panas itu benar, maka mereka belum berpacaran. Tapi, kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka bertemu."

"Aku setuju!"

"...I-itu...aku juga tahu... Tapi, bagaimana caranya menghentikannya? Apakah ada cara?"

"U-uhm..."

"Hmm."

Mereka berdua menyilangkan tangan secara bersamaan.

"Aku tahu!"

Otozumi menjentikkan jari.

"Sembunyikan tiketnya di suatu tempat. Atau, halangi dia saat akan berangkat agar tidak bisa naik kereta."

"Eh?"

Aku terkejut.

"...I-itu, aku tidak bisa melakukan itu... Bukankah itu tindakan kriminal?"

Otozumi sepertinya juga berpikir itu tidak baik. "Ya, juga, sih," katanya sambil menepuk-nepuk dahinya.

Setelah hening beberapa saat, Tanuma membuka mulut.

"Sulit untuk memikirkan cara yang bagus. Aku hanya bisa memikirkan hal-hal yang hampir seperti kejahatan, seperti yang dikatakan Futa. Kalau begitu, hanya ada satu hal yang bisa dilakukan."

"...Satu? Cara apa?"

Aku tidak mengerti apa yang dia maksud.

Tanuma melepaskan tangannya yang terlipat dan menunjuk ke arahku.

"Serang duluan. Kamu harus menyatakan perasaanmu padanya. Sebelum Shibusawa berangkat."

"Ap—"

Menyatakan perasaan? Aku pada Mikane? Dan...hari ini?

Aku tidak percaya. 

Aku tidak siap, dan itu tidak mungkin.

Tapi, Otozumi yang ada di sampingku berseru, "Oh!" seperti kagum.

"Ide bagus! Nyatakan perasaanmu sebelum Shibumi-chan pergi!"

"T-tunggu dulu!"

Aku melambaikan tangan di depan dadaku, mencoba menenangkan mereka berdua yang bersemangat.

"Aku tidak bisa melakukannya semudah itu. K-karena... aku belum siap… Jika ditolak… aku akan kehilangan segalanya..."

"Persiapan apa? Kamu tidak butuh barang apa pun, kan? Tooya, kamu harus mengambil risiko ini. Kalau tidak, kamu akan kehilangan dia tanpa melakukan apa pun. Jika itu terjadi, kamu akan menyesal karena tidak menyatakan perasaanmu."

"Betul, betul."

Otozumi juga setuju.

"Kamu tidak akan kehilangan apa pun, kan? Katakan saja!"

"............"

...Aku tidak mau mengakuinya, tapi mereka ada benarnya. Aku juga bisa merasakan bahwa mereka mengatakan itu untuk kebaikanku.

T-tapi...menyatakan perasaan hari ini? Benarkah?

Dengan pandangan gelisah, aku mengangguk lemah.

"...Te-terima kasih… Aku akan...memikirkannya sampai pulang sekolah..."

.

Bagian 4

Aku terus memikirkannya selama pelajaran kelima dan keenam, tapi aku tidak kunjung bisa memutuskan, dan akhirnya homeroom pun selesai.

Kelas ramai dengan suara siswa membereskan barang dan mengobrol.

Dengan ekspresi serius, aku memasukkan barang-barangku ke dalam tas.

Aku melirik Mikane, dia sedang sibuk mengoperasikan ponselnya di tempat duduknya.  

Dia juga sesekali menulis sesuatu di buku catatannya, mungkin dia sedang mencari rute atau jadwal kereta.

Jika aku ingin menyatakan perasaanku, sekaranglah saatnya.

Di mana aku harus mengajaknya bicara?

Aku melihat ke arah jendela dan membayangkan berbagai tempat.

Di belakang gedung olahraga? Atap? Atau ruang klub...?

Tapi, memikirkan apa yang akan terjadi setelah aku mengajaknya bicara membuatku takut.

"Ne, Yukki."

"Hiii!"

Aku sangat terkejut sampai melompat karena tiba-tiba dipanggil.

Aku menoleh perlahan dan melihat Mikane, yang sedang menyandang tas travel di bahunya, menatapku dengan heran.

"Kamu sedang memikirkan sesuatu? Apa tidak apa-apa aku bicara denganmu sekarang?"

"T-tidak apa-apa, tapi...etto, ada apa?"

"Aku mau minta tolong~"

"...Minta tolong?"

Dia mengangguk sambil tersenyum dan menunjukkan tas travelnya.

Dengan ekspresi sedikit kesal, dia berkata,

"Aku terlalu banyak membawa barang karena terlalu memikirkan persiapan. Ini terlalu berat dan melelahkan, jadi, kalau tidak apa-apa, bisakah aku menitipkan barang-barang yang tidak perlu di ruang klub?"

"A-ah..."

Seperti yang dikatakan Mikane, tasnya terlihat sangat penuh dan berat.  

Saat menyiapkan barang bawaan untuk bepergian, aku juga sering memasukkan barang-barang yang tidak perlu karena terlalu khawatir, dan sepertinya Mikane melakukan hal yang sama.

"Tentu saja... Tidak masalah."

"Terima kasih. Kalau begitu, tunggu sebentar."

Begitu selesai bicara, dia menurunkan tas travelnya dan membuka ritsletingnya.

Dia mengeluarkan tas belanja eco-friendly bergambar kupu-kupu yang pernah kulihat sebelumnya.

"...Handuk...sepertinya aku tidak butuh sebanyak ini. Aku akan tinggalkan setengahnya. Botol minum juga, aku bisa beli minuman botolan kalau haus."

Sambil berkata begitu, dia memindahkan barang-barang ke dalam tas belanja.

"...Baterai cadangan ponsel, sepertinya tidak perlu. Kacamata… yah, aku mungkin tidak akan memakainya. Buku Miyazawa Kenji, aku akan bawa satu saja untuk mengisi waktu luang~"

Setelah mengurangi sekitar dua pertiga isinya, Mikane kembali menenteng tasnya.

Dia mengayun-ayunkan tasnya, mungkin untuk memastikan beratnya.

"Ya, ini sudah cukup. Yukki akan ke ruang klub, kan? Maaf merepotkanmu, tapi bisakah kamu menitipkan tas itu di ruang klub? Ah, kalau kamu tidak ke sana, tidak usah repot-repot membawanya. Aku bisa membawanya sendiri."

"Tidak, tidak apa-apa… Aku tinggal meletakkannya di meja...kan?"

"Wah, terima kasih! Aku pasti beliin kamu banyak oleh-oleh!"

Setelah mengatakan itu, Mikane seperti teringat sesuatu dan melihat jam tangannya.

Gawat...

Aku melihat jam dinding dengan cemas.

Menurut cerita yang kudengar kemarin lusa, Mikane akan naik kereta cepat pukul 18.16.

Masih ada waktu, tapi dia mungkin akan makan malam dan membeli oleh-oleh, jadi dia mungkin akan berangkat lebih awal setelah urusannya selesai.

"Kalau begitu, Yukki, aku pergi dulu, ya."

Mikane mengangkat sebelah tangannya dan berbalik.

"T-tunggu!"

"Eh?"

"...A-ano...ehm..."

Jika aku ingin mengatakannya, sekaranglah saatnya! Hanya sekarang!

Tapi, keinginan untuk menyatakan perasaanku dan rasa takut bertempur di dalam diriku, membuatku tidak bisa bertindak.  

Mikane menatapku dengan heran.

Cepat, aku harus mengatakan sesuatu!

Kepanikan menambah kekacauan di dalam diriku.

Akhirnya, yang keluar dari mulutku hanyalah, "...Hati-hati di jalan."

"Ah, iya! Sampai jumpa~"

Suara langkah kaki menjauh.

Mikane keluar dari kelas.

Tiga puluh menit kemudian, aku duduk di dekat jendela ruang klub.  

Kedua tanganku terkulai lemas, dan aku duduk mematung dengan kepala mendongak, seperti boneka binatang yang diawetkan.

Aku merasa sangat menyedihkan karena tidak bisa menyatakan perasaanku.  

Cintaku...mungkin sudah berakhir.

"Hujan, ya..."

Seolah menggambarkan perasaanku saat ini, cuaca mulai memburuk.

Suara angin bertiup kencang, dan suara hujan yang berisik terdengar.

Aku meletakkan tanganku di dekat jendela dan menatap hujan dengan pandangan kosong.

Di luar semakin gelap, dan yang terpantul di kaca jendela adalah...wajahku yang lelah dan muram.

Mungkin ini yang terbaik… Berpacaran dengan gyaru cantik dari Tokyo adalah mimpi yang terlalu tinggi untukku.  

...Mimpi? Ah, ya...semuanya mimpi... Kurasa ini mirip mimpi di siang bolong.  

Inilah kenyataan yang pantas untukku.

Aku membuka buku di depanku, ingin membaca untuk mengalihkan pikiranku.  

Tapi, "penanda buku" berwarna fantasi yang keluar dari buku itu malah membuatku semakin sedih. 

Ini adalah penanda buku yang kudapatkan dari Museum Peringatan Miyazawa Kenji. 

Kolom untuk menulis cita-citaku masih kosong.

"...Sebaiknya aku pulang saja."

Aku berdiri, dan saat aku melihat meja,

sesuatu yang familiar terlihat dari mulut tas belanja yang setengah terbuka, membuatku tegang.

"I-itu, inhaler, kan?"

Aku berlari mendekat dan memastikannya, dan itu memang inhaler.

Kenapa?

Aku mati-matian mengingat, sambil mencari sosok Mikane yang seharusnya tidak ada di sana.

Seingatku, dia bilang, "Aku tidak akan memakai kacamata." Meskipun tidak mungkin, tapi jangan-jangan dia salah mengira itu kotak kacamata lagi?

Pasti begitu. 

Dia tidak mungkin sengaja meninggalkan ini.

Aku merasa darahku membeku.

Bagaimana jika dia kambuh di kereta cepat? 

Dia bilang dia akan pakai masker, tapi tanpa obat, dia tidak bisa mengatasi penyakitnya.

Aku langsung mengeluarkan ponselku dan mengetik, Kamu lupa inhalermu!

Saat aku hendak menekan tombol kirim, aku berpikir sejenak dan melihat jam.

Mikane akan naik kereta cepat pukul 18.16.  

Meskipun dia tahu sekarang bahwa dia lupa obatnya, tidak ada waktu untuk kembali mengambilnya.  

Artinya, dia harus naik kereta tanpa inhaler, atau dia harus membatalkan perjalanannya ke Tokyo.  

Yang pertama sangat berbahaya, dan yang kedua akan membuat Mikane sedih...  

Aku ingin dia membatalkan perjalanannya, tapi aku juga tidak ingin melihatnya sedih.

Aku menatap inhaler di tanganku.

"...Benar juga, aku akan mengantarkannya. Aku harus mengantarkannya...dan kali ini, aku akan benar-benar menyatakan perasaanku."

Aku mengangguk, lalu mengetik, Kamu lupa inhalermu!, Aku akan mengantarkannya! setelah pesan sebelumnya, lalu menekan tombol kirim.

Tidak ada tanda pesan telah dibaca.

Aku memasukkan dompet dan smartphoneku ke dalam saku celana, dan inhaler masuk ke dalam saku baju, aku lalu mengambil payung lipat dari dalam tas dan langsung keluar dari ruang klub.

Aku berlari melewati koridor penghubung, menuruni tangga dengan melompat, lalu keluar dari pintu masuk sekolah.

Di hadapanku, ada dinding hujan dan angin.

Aku membuka payung dan menerobosnya.

Takkan kalah oleh hujan

Takkan kalah oleh angin

Didorong oleh perasaan yang kuat, aku berlari menerjang hujan dan angin.

Apakah ini benar-benar aku? 

Aku tidak percaya aku punya kekuatan seperti ini. 

Meskipun aku baru menyadarinya sekarang, mungkin selama ini aku juga bisa melakukan ini kalau aku benar-benar mau berusaha.

Aku terus berlari dengan semangat, dan akhirnya terlihat siluet Stasiun Takizaki.

Sambil terengah-engah, aku melihat jam.

Seingatku, kereta tujuan Morioka akan datang dua menit lagi. 

Kalau aku bisa naik kereta itu, aku bisa memberikan obatnya sebelum Shinkansen datang.

.

Bagian 5

Kereta itu datang hampir bersamaan dengan saat aku tiba di peron.

Aku masuk ke dalam kereta dengan terhuyung-huyung, lalu memegang tiang besi dan mengatur napasku yang terengah-engah.

"...M-masih sempat..."

Kalau aku sedikit saja terlambat, aku pasti tidak akan berhasil. Untung saja.

Aku menyeka keringatku di dahi, lalu perlahan mengangkat wajah dan melihat sekeliling.

Mungkin karena bukan jam sibuk, kereta ini sangat lengang.

Hanya ada dua pria yang sepertinya pekerja kantoran dan seorang wanita yang sepertinya pekerja administrasi.

[Kereta ini adalah kereta Iwate Galaxy Railway, jalur langsung JR Tohoku, tujuan Kitakami. Harap berhati-hati dengan pintu yang akan menutup.]

Pintu tertutup dengan suara mendesis, dan kereta pun mulai bergerak.

Aku kelelahan setelah berlari di tengah hujan... 

Lagipula, aku tidak tidur semalaman sejak kemarin, jadi tenagaku sudah habis. 

Kalau bisa, aku ingin duduk dan beristirahat. 

Tapi, kalau aku duduk sekarang, mungkin tempat duduknya akan basah.

Aku merapikan payungku yang sudah berantakan, lalu meraba seluruh tubuhku untuk mengecek bagian mana saja yang basah.

Celanaku dari lutut ke bawah dan lengan bajuku basah kuyup, tapi bagian belakang tubuhku dan celana bagian belakangku tidak basah. 

Sepertinya tidak masalah kalau aku duduk.

Setelah melihat sekeliling sekali lagi, aku pun duduk di pinggir kursi panjang.

Aku menghela napas dan mengecek smartphone-ku.

"...Belum... dibaca juga. Apa dia sedang membaca buku di peron...?"

Mikane sangat fokus saat membaca buku sampai-sampai tidak memperhatikan keadaan sekitarnya. 

Dia menaruh smartphone-nya di saku di samping tas travelnya, dan stasiun itu berisik, jadi mungkin dia tidak menyadarinya. 

Yah, tapi yang penting aku bisa mengantarkan inhalernya. 

Karena aku sudah naik kereta ini, aku pasti bisa memberikan obatnya tepat waktu.

Aku merasa lega dan bersandar di sandaran kursi.

Gadan goton, gadan goton, gadan goton, gadan goton...

Getaran yang nyaman terasa di punggungku. Bayangan-bayangan kejadian yang kualami sejak bertemu dengan Mikane muncul dan menghilang di pikiranku yang lelah. 

Perlahan-lahan, getaran gadan goton, gadan goton... itu mulai selaras dengan gerakan kepalaku yang terangguk-angguk...

Menyadari hal itu, aku buru-buru menggelengkan kepala.

Bahaya. Aku tidak boleh tidur.

Kereta ini akan pergi ke Kitakami. 

Kalau aku sampai ketiduran dan tidak turun, aku tidak akan punya waktu untuk kembali.

"Ngomong-ngomong—"

Tiba-tiba aku teringat kejadian pagi tadi.

Mao bilang, kita naik kereta untuk turun, ya. 

Meskipun cuma kebetulan, tapi aku setuju dengannya. 

Tidak ada gunanya naik kalau tidak bisa turun.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu. 

Setelah melewati beberapa stasiun, aku merasa Stasiun Morioka sudah dekat. 

Aku meletakkan siku di paha dan melihat ke bawah.

Yang kulihat adalah genangan air kecil.

Mungkin genangan air ini terbentuk dari air yang merembes dari sepatuku dan tetesan air dari payung. 

Lapisan tipis berwarna putih di permukaannya, apa itu minyak? Pola geometris yang tidak biasa itu perlahan berubah bentuk karena getaran kereta.

Tahukah kalian, apakah sebenarnya benda putih samar yang disebut-sebut sebagai sungai atau bekas aliran susu ini?

Entah kenapa, aku teringat kalimat pertama dari mahakarya Kenji Miyazawa, 'Night on the Galactic Railroad'.

Ah, langit malam. Pola itu sangat mirip dengan Bima Sakti.

Saat aku berpikir begitu—

Godong!!

Tiba-tiba kereta itu terguncang, membuatku terkejut.

"A-ada apa?"

Bukan kecelakaan kereta... Kereta ini tidak terguling atau berhenti. 

Kereta ini masih berjalan dengan normal. 

Tapi, tunggu dulu. Pe-perasaan ini...

Tubuhku terasa berat. 

Telingaku berdenging. 

Rasanya seperti sedang naik lift.

Jangan-jangan!

Aku buru-buru berbalik dan meletakkan kedua tanganku di jendela belakang.

Lalu, aku ternganga.

"Terbang..."

Yang kulihat adalah pemandangan malam Kota Morioka yang basah kuyup oleh hujan.

Meskipun sangat indah dan fantastis, aku tidak punya waktu untuk menikmatinya.

ini... tidak mungkin pemandangan yang terlihat dari kereta, kan? Ini seperti dari gedung pencakar langit, puncak gunung, atau pesawat.

Lagipula, kami semakin tinggi. 

Sebenarnya ada apa ini? Mustahil kereta bisa terbang. 

Hal seperti ini hanya mungkin terjadi di dongeng, fantasi, atau fiksi ilmiah...

Saat aku masih bingung, sepertinya kereta ini masuk ke dalam awan. 

Butiran-butiran es besar menghantam jendela, dan petir menyambar di dekat sini.

 Setelah beberapa saat, tiba-tiba keadaan menjadi tenang, dan pandanganku terbuka.

"Luar biasa."

Apakah yang kulihat ini pemandangan dunia nyata?

Di atasku ada langit yang penuh bintang, di bawahku ada hamparan awan seperti karpet, dan semuanya diselimuti keheningan yang tentram. 

Ini benar-benar... dunia langit berbintang. 

Kereta yang kunaiki sedikit miring, meluncur dengan mulus membentuk busur sambil memercikkan air dari awan.

Apakah ini nyata? Ke mana sebenarnya kereta ini akan pergi?

Aku tidak tahu... Aku tidak tahu apa-apa...

Tiba-tiba aku merasakan cahaya yang kuat dan tanpa sadar menyipitkan mata.

.

Bagian 6

Saat aku membuka mata, aku sudah duduk di kursi kereta dan terguncang-guncang. 

Dari jendela di hadapanku, terlihat lautan bintang yang tak berujung dan rambu-rambu aneh yang sesekali kami lewati. 

Ada beberapa penumpang lain di sini selain aku, tapi tidak ada orang-orang yang kulihat di Stasiun Takizaki tadi. 

Ada yang sedang tidur, menulis surat, dan melihat ke luar jendela. 

Semuanya sangat tenang dan memancarkan aura yang unik.

Aku terdiam beberapa saat, tapi perlahan kesadaranku kembali, dan aku pun teringat kejadian sebelumnya.

"...Benar, aku mau memberikan inhaler ini pada Mikane, lalu kereta ini tiba-tiba terbang... Sudah berapa lama waktu berlalu? Sekarang jam berapa, ya?"

Aku melihat jam tangan dan langsung menahan napas.

Jarum jam menunjukkan pukul 18.28.

Sejak kapan waktu berlalu begitu cepat? 

Kalau jam ini benar, berarti Shinkansen itu sudah berangkat.

Aku memegang kepalaku dan menunduk.

Upayaku berlari tadi sia-sia. 

Semoga saja Mikane melihat LINE-ku dan tidak jadi naik Shinkansen.

Aku mengambil smartphone dan mengecek apakah pesanku sudah dibaca.

Belum dibaca. 

Tapi, sepertinya aku tidak perlu berkecil hati dulu. 

Smartphone-ku tidak ada sinyal, jadi aku tidak tahu bagaimana keadaannya sebenarnya. 

Untuk saat ini, aku akan menganggap, Mikane sudah melihat LINE-ku dan tidak jadi naik Shinkansen, atau dia mendapatkan inhaler pengganti dengan cara tertentu. 

Kalau tidak begitu, aku tidak akan tenang karena mengkhawatirkan keadaannya.

Aku menyimpan smartphone-ku, lalu perlahan mengangkat wajah dan melihat sekeliling.

Ngomong-ngomong… tempat ini sangat mirip dengan dunia Miyazawa Kenji.  

Jika benar, apakah aku akan pergi ke alam baka?  

Jangan-jangan, kereta yang tadi kunaiki memang mengalami kecelakaan?

Aku berdiri dengan takut-takut dan memeriksa seluruh tubuhku, lalu menggelengkan kepala, "...Tidak."

Sepertinya tidak seperti itu.  

Lalu, apakah aku salah naik kereta?  

Jika begitu, mungkin mereka akan mengizinkanku kembali jika aku menjelaskan.

Kondektur biasanya ada di gerbong paling depan, kan...?

Aku mengarahkan ujung kakiku ke arah depan dan berjalan di lorong kereta yang bergoyang-goyang.

Aku membuka salah satu pintu ganda di sambungan gerbong, lalu membuka pintu berikutnya, dan melihat sosok yang familiar.

"Eh? Mikane?"

Di dekat pintu tengah. 

Seorang gadis yang tampak seperti Mikane sedang memegang pegangan tangan di atas kepala dengan kedua tangannya, melihat ke luar jendela.

Dia seharusnya tidak ada di sini. 

Kupikir dia hanya mirip, tapi begitu gadis itu melihatku, dia melebarkan matanya dan berseru, "Yukki juga ada di sini? Wah!"

Tidak salah lagi, Itu Mikane.

Aku seharusnya lebih gembira karena bertemu dengan orang yang ingin kutemui.  

Tapi, hatiku gelisah.

Mikane mendekatiku dengan langkah ringan dan berkata dengan nada bersemangat,

"Sejak kapan kamu di sini? Apa kamu sudah melihat padang rumput hijau zamrud? Kalau kuil Centaurus? Burung merak raksasa itu juga hebat, kan?

"Ehm...aku tidak melihat apa-apa... Aku juga tidak tahu sejak kapan aku naik kereta ini."

"Sayang sekali~"

Dia tampak kecewa.

Anehnya, Mikane bertingkah seperti biasanya.  

Dia tampak menikmati situasi ini.

Tapi, aku tidak bisa ikut bersemangat seperti dia.

Galaxy Express adalah kereta yang membawa orang mati ke alam baka. 

Jika kereta yang kunaiki ini adalah Galaxy Express, lalu Mikane...kenapa dia ada di sini? 

Aku tidak ingin memikirkannya, tapi hal yang sangat buruk terlintas di pikiranku.

"A-ano, apa kamu baik-baik saja? Apakah kamu merasa sakit atau tidak enak badan?"

"Eh? Kenapa?"

Dia bertanya balik dengan ekspresi bingung.

"Tidak, itu...ehm..."

"Aku sehat, kok~"

Dia menyatukan jari telunjuk dan tengahnya di depan mata kanannya, membentuk huruf V, dan tersenyum lebar.

Dia menunjukku dengan tangannya yang bebas,

"Justru Yukki yang kenapa? Wajahmu pucat."

Apakah kekhawatiranku tidak beralasan?

Mikane yang ada di hadapanku sangat bersemangat, dia tidak terlihat seperti orang yang akan pergi ke alam baka.  

Yah, Galaxy Express itu kan fantasi belaka, jadi kereta ini pasti bukan kereta menuju alam baka.

Setelah berpikir begitu, aku merasa sedikit lega.

"Apa tempat-tempat itu… sangat keren? Etto, padang rumput hijau zamrud, ya?"

"Iya! Keren sekali!"

Dia menangkupkan tangan di depan dada dan matanya berbinar.

"Aku ingin menunjukkannya pada Yukki! Makanya aku kaget Yukki benar-benar ada di sini! Mungkinkah karena kita saling memikirkan satu sama lain?"

"E-ehm...entahlah..."

Aku sangat senang dia memikirkanku seperti itu.

Wajahku memerah.

"Ne, Lihat itu."

Mikane menunjuk ke arah kanan.

Aku melihat ke arah yang sama dan berkata, "Hee," sambil berjalan ke jendela.  

Mikane berlutut di kursi dan meletakkan tangannya di bingkai jendela, jadi aku melakukan hal yang sama di sebelahnya.

Di luar jendela, terlihat kelopak bunga warna-warni yang beterbangan, merah, biru, kuning, dan sebagainya.

Meskipun seharusnya tidak ada angin yang bertiup di ruang hampa, kelopak-kelopak itu berputar-putar seperti terjebak dalam angin puyuh.

"Kelopak bunga di luar angkasa, indah sekali, ya."

Saat aku mengatakan itu, Mikane mengangguk dengan ekspresi senang.

"Pasti ada taman bunga di dekat sini. Lihat, tidak hanya warnanya yang beragam, tapi bentuknya juga."

"Benar. Ada banyak sekali bentuknya."

Seperti yang dikatakan Mikane, sepertinya kelopak-kelopak bunga itu berasal dari taman bunga. 

Jumlah kelopak bunga itu semakin banyak, dan akhirnya terlihat hamparan bunga yang sangat indah.

Gatan goton, gatan goton, gatan goton...

Aku dan Mikane menatap taman bunga itu dalam diam.

Seiring berjalannya waktu, aku merasa hasrat dan pikiran negatifku terkikis, dan hatiku menjadi sepolos hati anak kecil. 

Aneh, tapi rasanya sangat nyaman. 

Kalau semua orang bisa merasakan ini, dan hasrat serta pikiran negatif hilang dari seluruh dunia, mungkin dunia akan damai.

Saat aku berpikir begitu, tiba-tiba aku teringat sesuatu yang penting.

Benar, aku harus memberikan inhaler pada Mikane.

Aku terlalu terlena dengan kejadian-kejadian aneh ini sampai melupakan tujuanku sebenarnya.


Saat aku hendak mengambil inhaler dari saku kemejaku, kereta memasuki terowongan dan di luar tiba-tiba menjadi gelap.

Terdengar pengumuman dari speaker.

[Kereta ini adalah Galaxy Express, tujuan alam baka. Sebentar lagi... Salib Selatan... akan tiba di Salib Selatan.]

Salib Selatan?

Aku menelan ludah karena pada karya 'Night on the Galactic Railroad' Miyazawa Kenji, Salib Selatan adalah stasiun yang istimewa. Itu seharusnya hanya fiksi, tapi jika itu sama dengan di dunia ini...

Kereta keluar dari terowongan, dan sekeliling menjadi terang benderang.

"Yukki, lihat! Luar biasa!"

Itu!

Melihat pemandangan yang menakjubkan itu, aku ternganga.

Jika harus dijelaskan dalam satu kata, itu adalah salib raksasa yang bersinar terang.

Berapa puluh meter...tidak, berapa ratus meter tingginya?nMungkin lebih besar dari struktur buatan manusia mana pun di bumi.  

Salib itu berdiri tegak di bukit yang indah dengan bunga-bunga beterbangan, memancarkan cahaya keberkatan kepada orang-orang yang berbaris tak terhitung jumlahnya disana.

Aku hanya bisa ternganga ketika melihatnya.

Penampilannya begitu megah, sehingga semua kata pujian di dunia ini tidak cukup untuk menggambarkannya.

"Wah, indahnya~"

"I-iya..."

"Sepertinya aku pernah melihat yang sama sebelumnya... Hei, Yukki, bukankah itu ‘kebahagiaan sejati’?"

"Tidak, itu…"

Aku ingin mengatakan itu salah.  

Tapi, aku tidak tahu kenapa benda yang begitu murni dan indah itu salah.  

Yang kutahu hanyalah, sekali kita pergi ke sana, kita tidak akan pernah bisa kembali.

Sementara itu, Express perlahan mulai melambat, dan akhirnya kecepatannya seperti orang berjalan kaki. 

Terdengar lagu dari suatu tempat.

Kamu akan mendengar Injil Suci

Dosamu diampuni, hatimu menjadi bunga, tubuhmu menjadi cahaya

Haleluya, haleluya

"Haleluya... Haleluya..."

Mikane bergumam, lalu tiba-tiba berdiri.

"Maaf, aku turun di sini."

Tiba-tiba dia berlari.

"Hah?"

Aku terlambat bergerak karena seketika pikiranku kosong.

"Tu-tunggu!"

Aku buru-buru berdiri dan mengejar Mikane.

Aku tidak tahu kenapa dia turun. 

Tapi, yang jelas, aku harus menghentikannya sekarang, atau semuanya akan terlambat.

Kereta berhenti dan pintunya terbuka. 

Aroma bunga yang menyegarkan masuk ke dalam kereta, dan rambut Mikane terangkat ke atas.

Stasiun ini tidak punya peron. 

Ada jarak lebih dari satu meter dari kereta ke tanah.

Mikane sudah melangkahkan satu kakinya keluar dan siap melompat.

Aku mengulurkan tangan dengan sekuat tenaga.

"Jangan pergi!"

Tapi, aku gagal meraihnya.

Aku tidak tinggi, dan lenganku juga tidak panjang. 

Aku tidak terlalu peduli dengan hal itu selama ini, tapi sekarang aku sangat menyesal. 

Kalau saja lenganku lima sentimeter lebih panjang, tidak, satu sentimeter saja...

Saat kaki Mikane menyentuh tanah, lingkaran cahaya menyebar seperti riak air, dan bunga-bunga serta rerumputan bergoyang sedikit. 

Setelah itu, tubuh Mikane sedikit bercahaya, diselimuti cahaya yang mulia.

Melihatnya dari dalam kereta, aku menjerit pelan, "Hiii!"

Jadi ini memang surga... Tepat di bawah kakiku adalah batas antara hidup dan mati. 

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kalau aku turun dari kereta ini.

"Mikane, cepat kembali! Pasti masih sempat!"

"Yukki..."

Mikane menjawab dan perlahan berbalik.

Matanya berwarna emas, dan air mata mengalir dari sudut matanya. 

Aku tidak akan pernah melupakan ekspresi wajahnya yang indah sekaligus menyedihkan itu.

"Saat mendengar lagu tadi, aku langsung tahu... kalau ini stasiun tempatku turun. Aku naik kereta ini untuk sampai ke sini. Jangan sedih meskipun kita harus berpisah di sini. Ini pasti takdir. Kamu juga berpikir begitu, kan, Yukki?"

"Ti-tidak mungkin..."

Aku tidak mau berpisah dengannya di sini. 

Ada banyak tempat yang ingin kukunjungi bersamanya, ada banyak hal yang ingin kulakukan bersamanya. 

Ada banyak hal yang belum sempat kusampaikan padanya. 

Takdir? Aku tidak peduli!, dan meskipun itu takdir, aku tidak akan menerimanya.

Sambil menerbangkan kelopak-kelopak bunga yang berkilauan, Mikane perlahan menjauh.

Kalau begini terus, aku akan kehilangan Mikane.

Aku tidak mau, aku tidak mau kehilangannya. 

Perasaan itu datang seperti gelombang besar dan menelan semua rasa takutku.

Anehnya, aku jadi tahu apa yang harus kulakukan.

Aku tidak akan ragu lagi. 

Aku akan menyampaikan semua isi hatiku dan melakukan semua yang kubisa.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menuangkan semua perasaanku ke dalam kata-kata.

"Aku suka padamu, Mikane! Karena itu, aku pasti akan membawamu kembali! Meskipun itu berarti aku harus melawan takdir!"

Detik berikutnya, aku melompat keluar dengan sekuat tenaga.

Aku merasakan perutku seperti terangkat, sensasi yang khas saat jatuh bebas.

Saat aku merasa kakiku akan segera menyentuh tanah, tapi—

Duk! Aku merasakan benturan di dahi dan terkejut.

A-ada apa? Apa yang terjadi?

Sentuhan di pipiku ini... bukan bunga. 

Permukaannya licin, dingin, dan sedikit basah.

Aku perlahan membuka mata dan melihat ke samping. 

Di sana ada payung lipat yang tergeletak.

Dari sudut ini...sepertinya aku juga terbaring.

Aku bangun dan duduk bersimpuh, aku menggaruk kepalaku.

"Eh? Apa aku tertidur?"

Aku melihat sekeliling dengan pandangan kosong, dan melihat pemandangan di dalam kereta yang familiar.

Jadi...kereta terbang, taman bunga, salib raksasa… semuanya… hanyalah mimpi?  

Ehm, sekarang...bagaimana situasinya?

Aku melihat pintu kereta terbuka.

Di luar, ada orang-orang yang bermain ponsel, berjalan terburu-buru di peron, dan menatapku dengan heran. 

Saat aku melihat ke atas, aku melihat papan bertuliskan "Stasiun Morioka".

Eh? Stasiun Morioka?

Segera setelah itu, terdengar pengumuman 

[Hati-hati dengan pintu yang akan menutup.], dan aku tersentak.

Aku harus turun!  

Jika aku tidak turun di sini, aku tidak bisa memberikan inhaler ini pada Mikane!

Tepat sebelum pintu tertutup, aku mengerahkan seluruh kekuatanku pada kedua kakiku dan berguling keluar.

Aku menghela napas di peron, lalu menoleh dan melihat kereta yang mulai bergerak.

Untung saja... Jika aku tidak bangun di sana, aku pasti masih di dalam kereta…

.

Bagian 7

Aku menemukan Mikane tepat setelah melewati gerbang tiket Shinkansen dengan tiket masuk peron.

Dia sedang duduk di ruang tunggu, menyilangkan kaki, dan membaca buku dengan ekspresi serius.

Aku merasakan nostalgia yang aneh.  

Padahal kami baru beberapa jam tidak bertemu, tapi rasanya sudah lama sekali.

Aku berlari mendekat dan mengetuk kaca di depannya. 

Mikane mengangkat wajahnya dan membuka mulutnya karena terkejut.

Dia menenteng tas travelnya dan keluar.

"Yukki? K-kenapa? Kenapa kamu di sini?"

"Kamu lupa inhalermu, jadi aku mengantarkannya."

"Inhaler?"

Saat aku menunjukkan inhaler, Mikane menutup mulutnya dengan tangan dan berteriak, "Ah!"

"Padahal aku sudah memasukkannya… kenapa bisa?"

"Mungkin kamu salah mengira itu kotak kacamata. Itu ada di dalam tas belanja."

"Ah..."

Dia melihat ke atas dengan ekspresi menyesal.

Ternyata, Mikane terlalu asyik membaca sampai tidak menyadari pesan LINE-ku.  

Dia sempat memeriksa ponselnya saat makan malam, tapi setelah sampai di sini, ponselnya terus berada di dalam tas.

Aku mendekat untuk memberikan Inhalernya, lalu berpikir, 'Eh?'

"Jangan-jangan kamu kehujanan? Kamu sedikit basah."

"Iya. Hujan tiba-tiba turun saat aku dalam perjalanan ke Stasiun Takizaki. Tapi, Yukki lebih basah. Apa kamu berlari di tengah hujan demi aku?"

"Yah, begitulah..."

"Wah~"

Mikane menangkupkan kedua tangannya dengan gembira.

Mungkin sekarang saat yang tepat untuk menyatakan perasaanku.  

Kami hanya berdua, tidak ada yang mengganggu, dan sekarang nilaiku di matanya mungkin sedang tinggi.  

Terlebih lagi, jika aku tidak melakukannya sekarang, ada risiko dia akan direbut oleh "senpai yang dia kagumi".  

Sekaranglah saatnya.

Aku meluruskan punggungku dan menatap Mikane.

Badump, Badump, detak jantungku berisik sekali.

Aku menekan dadaku dari luar kemeja, mencoba menenangkan jantungku.

Tenang...tidak apa-apa.

Aku sudah pernah menyatakan perasaanku di mimpi aneh itu... Jika aku bisa melakukannya sekali, aku pasti bisa melakukannya lagi...

Tapi, tepat sebelum aku membuka mulut, Mikane berkata, "Aku akan cerita tentang Yukki pada senpai! Ayo kita main bertiga nanti."

Keberanianku langsung padam.

Aku ingin segera kembali ke alur menyatakan perasaan, tapi aku tidak bisa mengabaikan apa yang dia katakan.

"T-tidak usah... Aku hanya akan mengganggu..."

"Tidak mungkin~"

Mikane tertawa.

"Yah, mungkin Yukki akan canggung bersama dua perempuan."

Hah? Tunggu dulu… Apa dia bilang dua perempuan...?

Sebuah pikiran muncul di benakku, dan bibirku bergetar.

"J-jangan-jangan...senpai yang akan kamu temui itu… seorang perempuan?"

"Eh? Memang iya, emangnya kenapa?"

"...A-aku… kupikir dia laki-laki..."

"............"

"............"

Setelah hening beberapa saat, Mikane tertawa terbahak-bahak.

"Yukki, kamu pikir aku akan menemui laki-laki? Eh? Kenapa? Ah, jadi karena itu kamu memasang wajah seserius itu? Ahahahaha, lucu sekali~"

"T-tidak! Tapi, sepai yang kamu kagumi itu..."

"Aku akan menemui Fujihira Ayuri-senpai. Dia adalah orang yang membuatku ingin menjadi gyaru."

"...Fujihira… Ayuri-senpai...?"

Jadi begitu... Aku salah paham selama ini...

Aku meletakkan tangan di dahi dengan ekspresi kecewa.

Mikane menatapku sambil tersenyum geli.

"—Jadi begitulah. Yukki, tenang saja."

"B-bukan begitu.."

[Perhatian untuk penumpang. Hayabusa No. 40, keberangkatan pukul 18.16, peron 11. Berhenti di Sendai, Omiya, Ueno, dan Tokyo. Kereta ini memiliki sepuluh gerbong. Gerbong Green—]

"Ah."

Mikane mendongak.

"Itu kereta yang akan kunaiki. Kalau begitu, Yukki, terima kasih untuk inhalernya. Sampai jumpa di ruang klub, ya~"

Dia melambaikan tangannya sambil tersenyum, lalu berbalik dan berjalan menuju tangga.

Aku seperti kehilangan semangat.  

"Tidak kusangka dia perempuan..." gumamku berulang kali dengan suara pelan, sambil terus melambaikan tangan.


Previous Chapter | ToC | 

Post a Comment

Post a Comment

close