Epilog
“Takkan Kalah Oleh Gyaru”
Bagian 1
Setelah menunggu angin reda, aku melepaskan tanganku dari rambutku dan perlahan membuka mataku.
Yang kulihat adalah Gunung Iwate yang indah dan Danau Takamatsu yang airnya memantulkan bayangan gunung— mungkin karena angin kencang tadi, ada beberapa daun hijau yang jatuh dan terbawa riak kecil di permukaan air.
Di tengah pemandangan yang indah itu, Mikane sedang melihat cermin kecil dan merapikan rambutnya yang berantakan.
"Ah, maaf maaf."
Mikane menutup cerminnya dan menatapku.
"Sampai mana tadi ceritaku?"
"Ehm..."
Aku menyentuh pelipisku dan mengingat kejadian sebelumnya.
Tadi aku sedang berbaring di bangku di tepi Danau Takamatsu sambil menulis cita-citaku di penanda buku.
Lalu, Mikane datang dan bilang kalau dia punya sesuatu untuk dilaporkan.
Aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan karena suara angin.
"Yang kudengar cuma sampai kamu bilang kalau kamu punya sesuatu untuk dilaporkan."
"Oh, iya. Kalau begitu, akan kuulangi lagi."
"Iya."
Aku kembali merasa tegang.
Apa yang ingin dia ceritakan, ya?
Apa terjadi sesuatu di Tokyo?
Apakah itu hal yang baik atau buruk untukku?
Aku tidak tahu.
Mikane tampak ragu, lalu berkata dengan nada serius, "Mungkin karena aku sedikit kehujanan dalam perjalanan ke Stasiun Takizaki tadi, aku kambuh lagi di Shinkansen… Tapi, aku tidak apa-apa karena aku bawa Inhaler."
"Kambuh? Jangan-jangan, serangan asmanya?"
"...Iya."
Mikane mengangguk pelan.
"Sekitar sepuluh menit setelah naik Shinkansen, tiba-tiba aku batuk-batuk terus. Kalau kamu tidak membawakan Inhalerku, mungkin aku sudah tidak ada di sini."
"........."
Aku terpaku pada waktu kejadiannya.
Sekitar sepuluh menit setelah kereta berangkat, berarti sekitar pukul 18.26. Kalau itu benar, berarti hampir sama dengan waktu aku bertemu Mikane di dalam mimpi…
(TLN : Didalam mimpi, Yukki ketemu dengan Mikane pukul 18.28, sekitar 2 menit setelah kejadian asma nya Mikane, masuk akal dalam jangka 2 menit, Mikane sudah didalem Expressnya)
Bagaimana kalau aku tidak jadi mengantarkan inhalernya?
Bagaimana kalau aku tidak melompat dari Express nya tadi?
Apakah Mikane sekarang sudah berada di surga?
Meskipun aku tidak yakin, tapi aku merasa mungkin saja itu terjadi, dan aku pun merinding.
Mikane menyibakkan rambutnya sambil menatapku dengan mata yang berbinar.
"Kamu penyelamatku, Yukki. Dua kali, malah. Pertama waktu di ruang klub, dan kedua kali ini..."
"Ti-tidak, untuk yang kedua ini, itu cuma kebetulan... Tapi... aku memang ingin benar-benar menjadi penyelamatmu suatu hari nanti."
"Eh?"
Dia mengedipkan mata.
"...Apa maksudmu?"
"Ehm—"
Benar juga... Aku sudah berjanji akan menceritakan cita-citaku padanya.
Ini pertama kalinya aku menceritakannya pada orang lain, jadi aku agak malu, tapi sepertinya ini waktu yang tepat.
Aku meluruskan punggungku dan berdeham untuk bersikap formal.
"Aku juga... punya sesuatu untuk dilaporkan."
"Dilaporkan? Yukki? Apa itu?"
"Aku mau masuk fakultas kedokteran. Jadi, aku akan memilih jurusan IPA untuk ujian nanti."
Ngomong-ngomong, nilai standarku di ujian kemarin adalah 67.
Meskipun tidak terlalu tinggi, tapi kurasa cukup untuk mencoba masuk fakultas kedokteran.
Apakah aku bisa mencapainya atau tidak, itu tergantung pada usahaku nanti.
"Eh!"
Reaksi Mikane melebihi dugaanku.
Matanya melebar, menunjukkan keterkejutan dan ketertarikan.
"Kamu mau jadi dokter? Hebat! Serius?"
"Sangat serius. Yah, meskipun aku tidak tahu apakah aku bisa mencapainya, tapi aku akan berusaha. Kalau aku berhasil jadi dokter, aku ingin menyembuhkan penyakitmu, Mikane."
"Waaah!"
Dia menangkupkan kedua tangan di depan dadanya dan matanya berbinar.
Tapi, dia segera mengerutkan alis, menyentuh dagunya dengan jari, dan melirik ke atas sambil berkata, "Hmm?"
Dia tersipu malu dan memeluk tubuhnya sendiri seolah ingin melindungi diri.
"Kalau Yukki jadi dokterku, aku… harus buka baju didepan Yukki... Jangan-jangan...itu tujuanmu?"
"Hah?"
Wajahku memerah.
"Aku tidak pernah berpikir seperti itu! Kamu pikir aku ini apa?"
"Ahahahaha."
Dia tertawa gembira.
Kurasa aku terlalu naif.
Padahal aku sudah memikirkannya dengan serius, tapi dia malah mempermainkanku seperti ini.
Aku harus menegurnya dengan tegas.
Tapi, saat aku hendak membuka mulut, Mikane merentangkan kedua tangannya dan berlari ke arah danau.
Rambutnya yang kebiruan berkibar tertiup angin, memantulkan cahaya dan berkilau seperti Bima Sakti.
Dia berdiri di tepi danau, menghadap ke arahku, dengan latar belakang alam Iwate, dan menyilangkan tangan di belakang punggungnya.
"Aku hanya bercanda. Mana mungkin Yukki berpikir seperti itu. Terima kasih, aku sangat senang. Kurasa ini juga ‘kebahagiaan sejati’."
"............"
Aku merasa senang, kesal, dan merasakan kekalahan yang aneh.
Sisi Mikane yang seperti ini memang menyebalkan.
Tapi, aku sangat menyukai Mikane yang seperti itu.
Aku akan melakukan apa pun dan bisa melakukan apa pun untuk melindungi senyum itu.
Saat aku berpikir begitu, angin bertiup kencang di langit, daun-daun berdesir, rerumputan bergoyang, dan pepohonan berbunyi.
"Ah!"
Aku berteriak dan mengulurkan tangan karena buku yang ada di sampingku tertiup angin, dan "penanda buku" itu terbang.
Takkan kalah oleh gyaru.
Takkan kalah oleh teman-temanku.
Takkan kalah oleh orang tua maupun adikku.
Demi melindungi senyumanmu yang berharga.
Tidak pernah ragu.
Tidak pernah goyah.
Selalu belajar dengan tenang.
Aku ingin menjadi orang yang seperti itu
Sambil menatap langit biru tempat mimpi terbang tinggi, aku tersenyum kecil.
Di dunia Miyazawa Kenji, penulis dongeng asal Iwate, ‘Angin’ melambangkan awal dari kisah yang menakjubkan.
Seperti di ‘The Restaurant of Many Orders’, ‘The Acorns and the Wildcat', dan 'Matasaburou of the Wind'.
Mungkin, tempat ini juga merupakan gerbang masuk menuju kisah yang baru.
Post a Comment