NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 1 Chapter 3

Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


 Chapter 3: Ratu Yang Pandai Memasak


Kali pertama kuberbicara dengan Hayashi, kalau diingat-ingat juga cukup kelam rasanya.

Saat tahun pertama SMA. Mungkin dia juga tak mengingatnya, tapi sebenarnya ada masa dimana kami pernah duduk di kursi yang bersebelahan. Waktu itu, aku hanya pernah mengajaknya bicara sekali.

Gadis bernama Hayashi ini, sejak pertama kali masuk SMA sudah memiliki banyak teman. Walau gaya bicara penuh percaya diri jadi kekurangannya, tapi karena parasnya yang cantik, dengan karismanya yang dipanggil ratu juga kepopulerannya, dirinya bagai sosok yang terus dikelilingi orang-orang.

Waktu itu, kepopuleran Hayashi memang luar biasa. Sebenarnya, apa sih yang membuat ia sampai sebegitu populernya. Aku sungguh tidak bisa memahaminya …. setiap kali ada dua orang yang ingin mengakui cintanya di saat yang bersamaan, aku juga sudah sering melihat ada ribut-ribut di tempat kejadian karena dia meminta tolong seorang pengganti untuk menolaknya. Sungguh saat-saat seperti itu, mungkin sang ratu juga merasa bersalah, dia juga sampai menyatukan kedua telapak tangannya dan membungkuk pada yang dimintai tolong, sih.

Pokoknya, dengan statusnya yang seperti itu di SMA Hayashi adalah orang yang bukan main populernya. Karenanya, saat jam istirahat di sekitar bangku Hayashi akan terkubur oleh penggemarnya. Diriku saat itu, karena jika sebentar saja aku meninggalkan kursiku, pasti kursiku akan diambil seenaknya, aku bahkan sampai tidak bisa pergi ke toilet dengan tenang.

Latar tempat dari percakapan pertama kami adalah ruang kelas. Ketika temannya yang kelewat banyak yang mengelilinginya bubar, sesaat ketika jam istirahat habis saat pelajaran akan dimulai.

Kalau tidak salah, kurasa saat pelajaran sejarah. Saat akhirnya Sakaigawa Sensei yang kurindukan akan memulai pelajarannya di kelas. 

Dari kursi Hayashi, penghapus terjatuh. Saat Hayashi menguap, aku juga melihat tempat terjatuhnya penghapus dari meja, orangnya sendiri juga tidak menyadari situasi itu.

Aku berpikir. Apa aku harus memungut penghapus itu. Atau membiarkannya saja.

Kemudian, kalau aku tidak memungut penghapus perempuan ini, kelihatannya nanti dia bakal heboh sendiri, dengan pikiran seperti itu, sungguh dengan kemauan pemikiranku sendiri aku memutuskan untuk mengambil penghapus tersebut. 

Saat aku membungkukkan badan untuk memungut penghapus, aku merasakan pandangan ketus yang menusuk dari Hayashi di sampingku. Baru kali ini, aku sampai deg-degan padahal hanya memungut penghapus.

“Jatuh nih.”

Kataku setelah memungut penghapusnya, lalu meletakkannya di mejanya.

Hayashi pun memberikan jawaban.

Hanya saja bukan dengan artian berterimakasih. Bukan pula untuk meminta maaf atas tanganku yang sudah susah payah mengambilnya.

Sungguh, tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

“Cih.”

Dengan kata lain decakan lidahnya.

Sebagai bayaran atas payahku memungut penghapusnya, tapi balasan yang diberinya, ternyata malah decakan lidah.

Betapa luar biasanya gadis ini. Niat baikku mendapat balasan seperti itu.

Karena satu hal itu, tak perlu diragukan lagi penilaianku terhadap Hayashi jadi makin jelas. Tentu, bukan penilaian yang baik … Sejak hal ini, aku pun seperti mengambil jarak dari Hayashi.

Tiap kali tahun ajaran berganti … dengan kata lain, aku kepikiran soal pergantian kelas. Sepertinya enak kalau tahun ini aku tidak sekelas dengan Hayashi, dan. Kemudian, dengan permohonan hampaku itu, ujungnya selama tiga tahun, kami selalu berada di kelas yang sama.

Justru karena itulah, aku tersadar, aku teringat dengan wajah tidur Hayashi seperti kemarin.

Di samping keadaannya yang sangat mengenaskan, tak kusangka aku menghabiskan semalaman bersama dengan Hayashi di kamar yang sama, dan.

“Hari ini harus beli futon.”

Agar Hayashi yang masih tidur tidak terbangun, aku bangkit dengan perlahan. Dua hari berturut-turut aku tidur di lantai. Bukannya kasur di kamarku seempuk itu sih, tapi dengan rupanya yang seperti itu akhirnya datang waktu dimana aku dibuat mengerti akan karunia atas kasurku, bahkan hingga kemarin lusa tak sedikit pun aku menyangkanya.

Ujungnya kemarin, sejak melek mata di siang hari, soal keputusan Hayashi mulai sekarang, mendampingi Hayashi ke rumah sakit … setelah itu, menghabiskan seharian untuk membeli baju dan lain-lain untuk Hayashi selama sementara menyembunyikannya di rumah ini. Pokoknya, tidak sempat sedikit pun waktu untuk membeli futon. 

Hari ini hari senin. Aku ada kuliah selama siang hari. Karenanya, mungkin aku akan membeli futon di jalan pulang setelah kuliah.

Lalu, kesampingkan dulu hal seperti itu, aku memutuskan untuk memulai rutinitas pagi.

Kehidupan mahasiswa yang tinggal sendiri, tidak jarang juga rasa malas ini memuncak, tapi selain esok hari dimana malamnya aku kerja sampingan biasanya aku rutin bangun pagi. Setelah bangun awal di pagi hari, karena bisa-bisa aku beraktivitas seharian, entah mengapa aku merasa mendapat sedikit manfaat. Di bagian saat aku selalu bangun pagi, biasanya aku akan langsung keluar setelah bersih-bersih kamar, tapi sayangnya dengan dirinya yang sedang menjajah dan sedang meniduri kasurku, lebih baik aku menunda dulu bersih-bersihnya agar dia tidak bangun.

Semasa SMA, hanya karena dirinya membenciku, tapi tetap saja aku tidak sampai tega hati untuk menggangu tidurnya. Malahan, karena pada titik tertentu aku merasa kasihan padanya yang telah mengalami kemalangan sebelum sampai ke sini, paling tidak selama di sini aku ingin membiarkannya tidur sepuasnya. Begitulah pikirku.

Tapi kalau begitu, rutinitas bersih-bersih pagiku jadi tak bisa dilakukan … nah, gimana, ya.

Untuk beberapa saat, aku bertolah-toleh, padahal aku sudah bangun sepagi ini, dengan begitu aku jadi menyadari kalau hal yang kulakan di pagi hari cuma bersih-bersih ,ya.

Jangan-jangan hidupku ini, kelewat suram?

Seraya membersihkan pikiran remeh, aku mematikan mode senyap handphoneku dan mengecek jam. Sudah masuk jam berangkat kereta pertama.

“Bikin sarapan terus keluar, ah.”

Karena perkuliahan hari ini jam pertamanya menyenangkan. Bersiap dulu untuk pelajaranya di perpustakaan, itu juga salah satu opsiku.

Oke, begitu sajalah.

Setelah memutuskannya secara spontan, dengan cekatan aku menyiapkan makanan di dapur kecil rumah ini. Menu sarapannya adalah sisa makanan yang dimasak kemarin, sup miso, sosis dan salada.

Di meja kecil yang lebarnya hanya untuk satu orang, aku juga meletakan jatahnya Hayashi.

Dengan cekatan aku merampungkan persiapan untuk ke kampus, lalu sebelum keluar rumah aku memeriksa keadaan Hayashi terlebih dahulu.

Masih, sambil terus bernafas dalam tidurnya Hayashi menyelimuti dirinya sampai ke kepala. Ketika mendengar nafas tidurnya itu, aku merasa kalau Hayashi sudah sedikit terbiasa dengan rumah ini, aku merasa sedikit lega.

Kemarin saat memeriksakan dirinya ke rumah sakit, sekujur tubuh Hayashi penuh memar, yang jadi pemicuku menyadari ada yang salah dengan Hayashi jelas pergelangan tangannya, dia sampai didiagnosa mengalami fraktur avulsi.

Saat itu, tak kusangka Hayashi dapat dengan tenangnya mendengarkan hasil diagnosis dari dokter. Biasanya jika mendengar hasil seperti itu orang akan kacau, sambil merasa geram terhadap perlakuan pacarnya yang tak berperasaan, aku juga ikut menyimak perkataan dokter.

Setelahnya, Hayashi berusaha menghindari dokter yang ingin menyelidiki keadaannya dan ingin bergegas pulang, tapi setidaknya aku menerima surat diagnosis yang diberikan oleh rumah sakit. Aku menyampaikan pada Hayashi untuk menerima suratnya, sehingga kalau nanti Hayashi sudah merasa baikan, maka surat itu dapat membawa keuntungan padanya.

Meskipun begitu, dasar Hayashi, kesampingkan sikapnya di rumah sakit, dia menolak untuk melaporkan pacarnya pada polisi … sekarang pun dia masih menutup-nutupi perihal KDRT pacarnya.

Kalau Hayashi yang semasa SMA, jangankan menerima perlakuan KDRT dari pacarnya, aku cuma bisa membayangkan sosoknya yang bisa membuat nangis, juga mendominasi pacarnya.

Tidak, bisa dibilang, Hayashi bukanlah tipe yang seperti nenek sihir seperti itu, tapi orang yang pasti akan mengikuti rasa keadilan dalam dirinya entah itu baik atau buruk. Tipe yang seperti itu.

Meski begitu, apa benar tidak apa Hayashi terus seperti ini …?

Yang aku ingin tidak ada terjadinya kesalah pahaman ialah, yah bukannya aku mempermasalahkannya, bukan berarti aku bilang kalau Hayashi yang terus tinggal di kamar ini akan merepotkan. Tentu, karena aku pergi ke Tokyo untuk meninggalkan rumahku dan hidup sendiri, sebenarnya aku pribadi tidak ingin ada orang lain di rumah. Pokoknya nggak.

Hanya saja, kesampingkan hal itu dulu … sebenarnya, apa Hayashi berniat untuk terus tdak imelaporkan KDRT ini, ya, dan, aku terperangkap oleh pikiran seperti itu.

… Hentikan. Mari berhenti memikirkan hal ini.

Hayashi yang sekarang, tidak akan punya niat untuk mengadukan pacarnya. Kalau begitu, bukannya itu justru bagus. Benar. Lagipula kemarin, Hayashinya sendiri, dia bilang akan menghormati keputusannya, kan. Kalau begitu, justru jika suatu saat hati Hayashi berubah, sudah seharusnya aku menjadi pendukungnya.

Setibanya di kampus, aku mengikuti kuliah, sesuai rencana, sepulangnya aku mampir ke pusat perabotan, dan memutuskan untuk membeli futon.

Setelah membawa futon di dalam tas besar, aku pun kembali pulang ke kamarku.

Kamar yang ada di apartementku, ventilasi berupa jendela kecil langsung terlihat dari setiap kamar di bangunannya. Saat melihat cahaya dari jendela kecil itu, memang bisa menjadi tanda keberadaan penghuninya, tapi ketika melihat ke atas ke arah jendela kecil di kamarku dari luar, terlepas dari pemiliknya yang sedang tidak ada, lampunya sudah menyala.

“Aku pulang.”

Jangan-jangan, aku harus mengucap salam seperti ini ketika pulang ke kamarku yang kupakai tinggal sendiri. Tetapi, tidak terasa buruk juga, entah karena sudah beberapa bulan aku tinggal sendiri dan merasa rindu akannya, atau karena aroma yang menghampiri hidungku ini menggelitikku.

Suara yang menyembur-nyembur saat sedang memanggang daging dengan frypan, terdengar ketika aku membuka pintu.

“Selamat datang.”

Hayashi yang sedang memasak mengikat rambutnya dengan ikat rambut yang dibelinya kemarin. Padahal hanya dengan mengikat rambutnya, tapi kesanku saat melihat Hayashi berbeda dengan kemarin. Familiar, atau, apalah itu.

Padahal aku sudah mengucap salam, tapi Hayashi tak kunjung mengerahkan pandagannya padaku. Sikap dinginnya ini entah mengapa membuatku teringat akan dirinya semasa SMA dulu.

Hanya saja sekarang, mungkin karena dirinya sedang berurusan dengan api makanya dia menyalamiku seperti itu. Mungkin alasanku tidak segera menyadari hal simple seperti itu adalah karena kesendirianku beberapa bulan ini selama tinggal sendiri yang menyebabkan kesempatanku berhubungan dengan orang lain berkurang.

“Kau suka hamburger?”

Masih, tanpa mengerahkan pandangannya ke sini, Hayashi menanyaiku.

“… Boleh saja, tidak usah sampai berbuat seperti itu, setelah pulang aku kan akan memasak?”

“Aku kan orang yang sedang mengungsi di tempatmu. Kalau cuma segini doang mah bukan masalah.”

“Tapi dari sudut pandangku dirimu adalah tamu. Kurasa wajar saja jika aku yang menjamu.”

“… Tenang. Cuma sebatas ini kok.”

“Tanganmu sudah lihai, ya.”

“Untunglah, ya.”

Hayashi membalikkan burger yang ada di atas frypan.

“Terus?”

“Eh?”

“Kau suka hamburger?”

“… Nggak benci sih.”

“Jawaban setengah-setengah.”

Hayashi melanjutkannya sambil tersenyum masam.


“Padahal seharusnya kau bangunin aku. Saat keluar tadi.”

“Emangnya ada alasannya untuk membangunkanmu?”

“Wajar saja jika aku mengantar kepergianmu, kan.”

“Itu bukan masalah besar kok, bagiku. Kamar ini saja kusewa dengan uang orang tuaku.”

“Tapi, uang untuk pemeriksaan di rumah sakti sampai membeli keperluan sehari-hari kemarin, segalanya kamu yang tanggung.”

“Wajar saja karena aku sudah bekerja, kan.”

Kemarin juga sudah kukatakan. Begitu kuputuskan untuk mendukungmu, aku hanya mengikuti ketetapan itu. Dengan adanya dukungan itu, maka tak akan ada artinya jika Hayashi merasa terpuruk.

“Galaklah seperti dirimu di masa SMA dulu. Dirimu yang saat ini sungguh begitu sukar untuk dilihatnya.”

“Ah—, aku ngerti—”

“Apa yang kamu mengerti?”

“Entah. Aku tidak tahu.”

“Hah?”

Dasar, hanya karena sedang fokus memasak, jawabannya terlalu ngaco …

Yah, dengan dirinya yang mau memasak saja aku sudah berterimakasih, kayaknya nggak bagus kalau aku ganggu dia, aku pun memutuskan untuk diam.

Sementara, kami saling bisu, hanya bergema sudara burger yang sedang dipanggang di atas frypan.

“Hei, Yamamoto.”

“Apa.”

“Ada hal yang ingin kudiskusikan denganmu.”

“Baiklah.”

“Karena sesaat lagi makan malamnya jadi, mari bicara setelah makan.”

Hayashi hanya mengatakan itu, lalu lanjut memasak lagi.

Karakteristiknya dalam menghadapi orang yang belum menikah, tingkah aneh Hayashi yang sedang memasak di dapur kecil di rumah orang, untuk sesaat aku memandanginya. Aku nggak bilang ke orangnya sih, tapi berdasarkan dirinya yang kutahu saat SMA dulu, aku khawatir apa dia bisa masak di hadapan orang.

Lagipula, hubungan kami di kelas selama dua tahun, kami membuka stand café saat festival budaya dulu. Terlepas dari saat festival budaya di SMA, karena banyaknya ide orang-orang kami jadi memutuskan untuk menjual sepuluh menu. Di tengah-tengah kekalutan festival budaya, Hayashi yang memasukkan bumbu untuk kare di tempat memasak, aku yang tidak dekat dengannya pun merasa khawatir.

Kalau tidak salah waktu itu sesuai kekhawatiranku, Hayashi mengiris jarinya sampai semuanya jadi heboh. Setelah itu, festival budaya pun berakhir begitu saja, kelas kami menyadari perlunya persiapan yang matang untuk menghadapi tahun berikutnya. Yah, palingan juga orang-orang seperti itu langsung akan melupakannya seiring dengan berakhirnya festival budaya.

Yah, kesampingkan dulu hal tersebut, dengan melihat kemampuan memasaknya semasa SMA dulu, sekarang pun aku masih mengkhawirkannya.

Tetapi setelah dipikir baik-baik, apa yang ada di atas frypan adalah dua burger yang sedang di panggang. Setelahnya hanya tinggal memperhatikan apinya sambil menunggu apa yang dipanggang. Berarti, dia sedang memanggang burger di sisinya yang sulit dipanggang.

Keterampilan tangan Hayashi jelas sudah jadi lebih baik dibandingkan ketika di SMA dulu. Bisa dibilang dia sudah menjadi ibu rumah tangga bagi pacar KDRTnya … apa mungkin itu hasil dari paksaannya, ya?

Kalau memang benar begitu, hasil dari lingkungannya yang kejam, membuat keterampilan memasaknya meningkat, aku merasa sedikit prihatin atas ironi yang diperlihatkan Hayashi.

Berbeda dengan saat itu, selagi melihat Hayashi yang sudah terbiasa memanggang burger, melayang sebuah pertanyaan dalam diriku.

… Eh?

Emangnya aku beli daging cincang, ya?

Kebiasaan makanku ketika tinggal sendiri, mungkin terasa hambar jika dibanding mahasiswa di sekitarku yang tinggal sendiri.

Sejak dulu, obsesiku terhadap makan tidak terlalu besar. Saat aku lapar, aku sudah puas selama bisa memuaskan perutku. Kesadarnku sudah mencapai tingkat itu.

Masakan yang dibuat oleh orang sepertiku lumayan nampol juga. Kurang lebih aku membuat masakan yang simple seperti yakisoba dan nasi goreng. Walaupun terkadang aku ingin membuat masakan yang agak ribet, mentok-mentok aku cuma buat stew dan kare. Bagiku sarapan pagi ini pun juga ada hanya karena keberadaan Hayashi di sini sebagai tamu, karenanya paling tidak aku membuatkannya.

Intinya yang ingin kukatakan adalah, mau berkali-kali sekalipun ku mencoba untuk mengingatnya, aku tidak pernah merasa sudah membeli daging cincang untuk membuat hamburger.

Kalau begitu, siapa sebenarnya yang membeli bahan-bahan yang digunakan sebagai Hamburger yang sedang dipanggang di atas frypan itu …?

Tanpa perlu sampai memiring-miringkan kepala, jawabannya sudah kelewat jelas.

“Udah jadi nih.”

Hamburger yang sudah terhidang pada peralatan makan, Hayashi meletakkan porsi keduanya pada meja. Setelahnya masakan yang sudah dimasak, juga sup miso.

Ini adalah makanan malam yang layak sejak aku meninggalkan rumah orang tuaku.

“Fuh.”

Setelah menghela nafas, Hayashi melepaskan topangan dagunya. Menyebabkan rambut hitam mengkilapnya melambai.

“Selamat makan.”

“Uhm.”

Aku membawa makan malam yang telah dihidangkan Hayashi menuju mulutku. Lezatnya. Tetapi, sebenarnya entah kenapa aku tidak ingin langsung mengtakan ini enak.

… Mungkin, ada sesuatu yang ingin kupastikan, antara Hayashi dan diriku. Karenya, perkataanya tertahan di tenggorakanku, aku merasa tidak bisa memuji masakan buatan Hayashi secara jujur.

“Gimana?”

“Eh?”

Tatapan Hayashi terlihat sedikit dingin.

“Enak.”

“Gitu, toh.”

Serasa memberikan jawaban singkat, Hayashi terlihat sedikit senang. Setelahnya, Hayashi mulai menyantap makanan yang dibuatnya.

Benar-benar tidak ada percakapan di antara kami.

Semasa SMA, hubungan kami tidaklah akrab. Bahkan karena sekarang pun terdapat kecanggungan dimana kami berduaan di ruang yang sama, kami tidak saling bicara. 

Tapi bukan hanya itu alasan keheningan ini.

Tidak, aku yang sekarang, ada alasan kenapa aku tidak mengajak Hayashi bicara lebih dari ini.

Daging sapi cincang, seharusnya dengan cara seperti apa aku harus bertanya.

Kemudian, sebenarnya apa hal yang ingin didiskusikan oleh Hayashi.

Makin aku memikirkannya, pertanyaan yang melayang-layang malah semakin hilang, semakin hilang. Dari mana aku harus berbicara dengannya, aku tak dapat menemukan jawabannya. 

“Terimakasih.”

“Uhm.”

Hayashi yang selesai makan di waktu yang hampir bersamaan, spontan menarik peralatan makan bagianku dan segera berdiri.

“Biar aku saja yang cuci.”

Walau aku ingin berkata demikian,

“Tidak usah.”

Hayashi langsung menolaknya, lalu aku pun kembali menurunkan pinggulku yang sudah sedikit kuangkat.

Seketika tidak ada hal yang bisa kulakukan.

“Hari ini kamu keluar, ya?”

Entah karena keluangan yang menjadi penyebabnya. Dengan nada santai aku mengeluarkan kalimat itu dari tenggorokanku.

Hayashi yang sedang menhghadap wastafel, aku menyadari sisi wajahnya yang sedang mencuci peralatan makan sedikit menegang. Aku juga merasa kalau gerak tangannya yang sedang mencuci piring jadi agak kaku.

Kemudian, aku pun menyadarinya. Cara bicaraku yang seolah melarang Hayashi bahkan hanya untuk sekedar keluar. Kalau begini bukankah aku terlihat seperti mantan pacar Hayashi, lelaki yang suka mengekangnya kuat-kuat.

Bukan begitu.

Bukannya begitu.

Aku hanya membayangkan mantan pacarnya yang obsesif, yang mungkin sedang mengejar-ngejarnya, karena kekhawtiran itu, aku hanya mengkritik tindakan Hayashi yang dengan gegabah pergi keluar.

Bahkan kemarin pun, aku sudah menjelaskan pada Hayashi dengan panjang lebar.

Justru karena keadaan Hayashi yang sedang bersedih, aku mencoba meyakinkannya untuk melaporkan mantan pacarnya ke polisi.

… Harusnya dia mengerti.

Hayashi sekalipun, seharusnya bisa mengerti.

“Salah?”

Tetapi, jawaban Hayashi…

Bahkan tanpa meminta maaf atas kesalahannya.

Bahkan tanpa introspeksi pada perbuatannya sendiri.

Responnya benar-benar ketus.

Aku terheran-heran dengan jawabannya. Dengan susah payah, ia hanya sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya.

Bunyi air yang mengalir di westafel, parahnya terasa begitu berisik.

… Dengan perlahan, aku menyusun seluruh detail ceritanya sampai saat ini.

Diriku yang sekarang, pada akhirnya tidak lebih hanya sekedar menyembunyikan keberadaannya untuk sementara.

Hayashi yang sekarang, pasti menganggap saranku tidak lebih dari sekedar pendapat, jadi bukan berarti dia harus selalu mendengarkanku.

Juga, diri kami semasa SMA tidaklah begitu akrab. 

Saat memasak tadi, juga Hayashi yang barusan, kalau dilihat dari perspektifku yang mengenalnya saat SMA, benar-benar bagaikan orang yang berbeda.

Tetapi.

… Seperti yang terlihat barusan atas tanggapan diriku yang terlihat tak menerimanya, Hayashi langsung ketus menanggapinya, benar-benar terlihat seperti sosok ratu angkuh semasa SMA.

“Yah, nggak salah juga sih. Mau mendengarkan saranku atau tidak, itu keputusanmu sendiri.”

Dan lagi, kemarin aku sudah panjang lebar menjelaskannya pada Hayashi.

“Walau begitu, aku yakin kalau tindakanmu itu gegabah. Bukannya aku mengira-ngira. Tapi aku sudah yakin. Aku juga hanya mengetahui perihal mantan pacarmu itu darimu.”

Tetapi hanya karena apa yang dikatakannya itu benar, itu tidak akan menjadi alasanku untuk tidak mengutarakan pendapatku.

“Tapi, justru karena itulah aku bisa menilai pacarmu secara objektif. Kalau menurut penilaianku, pacarmu itu kelewat gawat. Kalau kau sampai bertemu pacarmu itu lagi, mungkin dia akan menunjukkan tingkah berbahayanya, kelakuanmu itu juga kelewat ceroboh.”

“… Emangnya kau tahu apa.”

Hayashi mengatakannya dengan bersungut-sungut.

“Aku nggak tahu apa-apa kok. Sudah jelas.”

“…”

“Aku tidak bilang kalau pendapatmu itu salah. Paling tidak saat ini, itulah pendapat objektifku.”

“Apa iya, bukannya kau tidak tahu apa ini kebenarannya atau bukan.”

“Karenanya, aku juga tidak bilang kalau pemikiranmu itu salah.”

“Terus …”

Hayashi lanjut terdiam …

Setelah beberapa saat, dia menghentikan tangannya yang sedang mencuci peralatan makan, lalu mengarahkan wajahnya ke sini.

Hanya saja, sepatah kata pun tak terlontar darinya.

Mungkin dia merasakan konflik batin dalam dirinya.

Aku memandangi Hayashi yang tampak murung. Lalu, entah karena ingin menenangkan dirinya, dia kembali mencuci peralatan makan.

Di dalam kamar hanya bergema suara dari peralatan makan yang sedang dicuci.

Hayashi yang sudah selesai mencuci peralatan makan menutup keran air, lalu setelah mengeringkan tangannya ia kembali ke ruang ini.

Hayashi duduk bersimpuh di hadapanku.

“Maaf. Aku keras kepala …”

Di luar dugaan, Hayashi dengan tulus meminta maaf padaku.

Kalau dirinya di SMA dulu, dia pasti langsung balas menghadiahiku gerutuannya, kami pasti akan terjerumus dalam perang argumen habis-habisan. Tapi karena hal itu tidak terjadi saat ini, sudah kuduga kalau Hayashi memang sudah berubah dari dirinya semasa SMA.

“Pokoknya, benahi dulu kakimu itu.”

Hayashi tertunduk. Lalu mengganti posisi bersimpuhnya.

“… Aku juga minta maaf. Kalau soal belanja untuk makan malam, kurasa lebih baik dirimu memintanya padaku, kalau begitu seharusnya tadi pagi aku menunggumu untuk bangun, lalu setelah itu sedikit membicarakannya denganmu, baru setelahnya aku pergi keluar, ya.”

“Sejak aku menghuni kamar ini, dirimu tidak perlu sedikit pun meminta maaf padaku, lho.”

Kalimat yang tak terduga. Jelas, paling tidak disamping diriku yang menyembunyikan Hayashi. Kalau itu lelaki lain, setidaknya mereka bakal mengambil keuntungan, paling buruknya kalau mereka sampai berpikir bisa sesuka mereka memanfaatkan Hayashi demi memuaskan nafsu mereka sendiri.

Tentu, tidak akan ada hari bagiku untuk melakukan perbuatan seperti itu pada Hayashi.

Lagipula, aku menyumbunyikannya bukan karena mengharapkan adanya imbalan.

Hanya saja, kesampingkan dulu hal-hal seperti itu, dalam percakapan ini, hanya sedikit hal yang dapat kupahami dalam diskusiku bersama Hayashi ini.

“Yang dirimu diskusikan ini, apa soal bagaimana seharusnya belanja untuk keperluan makan malam, apa hal yang seperti itu?”

“Enggak. Bukan.”

… Bukan, ya.

“Bukan, ya. Kupikir, ini soal dirimu yang sampai mengambil resiko dengan pergi keluar untuk membeli bahan makanan, jadi berikutnya demi menghindari resikonya aku yang akan ditugaskan, kukira ini perbincangan yang seperti itu.”

“… Benar-benar bukan itu.”

“Benar-benar, salah, ya.”

“Jujur, ya. Hari ini, aku pergi ke supermarket untuk belanja karena ada kesempatannya. Yang ingin kubicarakan adalah, alasanku tidak punya kesempatan untuk keluar itulah.”

“Begitu, ya. Walau ada kesempatannya, padahal nggak perlu repot-repot sampai pergi belanja segala. Terus gimana uangnya?”

“Aku pakai uang sisa yang diberikan sama orang itu … Aku yang pergi belanja karena ada kesempatan, karena berpikir mungkin ada kemungkinan bakal ketahuan.”

“Apanya.”

“Aku, kalau pergi keluar.”

Setelah mengatakannya, Hayashi tersenyum pahit.

“Yah, sebenarnya aku sudah ketahuan sih.”

Selagi senyum pahitnya itu menampilkan kesan ngenas di wajahnya, aku berusaha menghubungkan poin-poinnya, sampai-sampai memiringkan kepalaku.

“Apa dirimu masih belum mengerti. Wajar sih.”

“… Ah.”

“Orang itu, ya, adalah tipe orang yang cepat mengeluh. Beneran, deh. Kalau moodnya lagi buruk, dia bakal langsung mengeluh tanpa perlu alasan. Kalau aku membuang sampah yang tergeletak di lantai, tau-taunya dia bakal bilang ‘kenapa kau membuangnya’, tapi ketika aku tanya apa aku boleh membuangnya, dia bakal protes ‘kenapa pake tanya segala’. Orang yang seperti itulah dia.”

Kalau diibaratkan, ternyata mirip seperti atasan nggak becus yang suka bikin pusing di black company, ya.

“Tetapi, ada waktunya ketika orang itu diam saja. Kira-kira saat apa itu, saat makan. Ya karena mulutnya kemasukan makanan, sih. Hanya disaat orang itu makan sajalah yang merupakan waktu santaiku di rumah itu. Mungkin karena itu, ya. Selama dia makan aku bisa kabur dari bahaya. Selama itu, mungkin dia bisa melupakan keluhannya. Karenanya, setelah membuatkannya makan aku singgah di supermarket.”

“Begitu, ya.”

Aku tidak tahu harus berkata apa terhadap cerita Hayashi yang ternyata kelewat tragis. Di saat ini, aku yakin kalau apa yang ingin didiskusikan oleh Hayashi bukanlah hal yang mengenakkan. Aku pun tertunduk.

Tetapi, aku sadar sampai sekarang pun Hayashi masih duduk bersimpuh, karena kalau dipikir-pikir lagi mana mungkin dia langsung begitu ketika aku menunduk.

“Pokoknya, mulai sekarang aku yang bertugas untuk membeli keperluan makan malam, jadi santai saja. Malahan, semua pekerjaan rumah biar aku saja yang urus. Kamar ini adalah kamarku. Kalau kamu, bagaimanapun kamu tetaplah tamuku.”

“Tak apa. Aku juga ingin sedikit menggerakkan tubuhku. Karenanya, pekerjaan rumah biar aku saja yang melakukannya.”

“… Baiklah.”

Dia yang selama ini mengalami penderitaan, dengan menggerakkan tubuhnya mungkin itu akan menjadi faktor berkurangnya stres dan traumanya.

Kalau memang begitu, aku langsung memutuskan untuk menerima tawaran Hayashi.

“… Ah.”

Tetapi aku langsung berpikir ulang.

“Hayashi, sejujurnya aku ingin berterimakasih atas omonganmu itu. Soal dirimu yang ingin membantu pekerjaan rumah kamar ini. Misalnya, kayak mencuci, kamarku sering kosong saat aku kuliah dan kerja paruh waktu, jadinya aku hanya bisa mengerjakannya sekaligus nanti, kan? Karenanya, aku benar-benar terbantu. Tetapi, ada satu hal yang tak bisa aku serahkan padamu. Yang satu itu saja, aku yang akan melakukannya.”

“Apa itu?”

“Bersih-bersih.”

“… Apa ada barangmu yang tak boleh aku sentuh?”

“Bukan.”

“Terus, apa ada keterampilan khusus yang diperlukan kalau mau bersih-bersih?”

“Bukan itu juga.”

“Terus apa dong?”

“Bersih-bersih adalah hobiku, jalan hidupku.”

“A—, berarti kamu orang bodoh, ya?”

“Iya. Tepat sekali. Yah, aku terbantu sekali kalau kamu cepat ngerti, lho.”

Hayashi tampak keheranan.

Hayashi yang tidak terlalu memedulikannya seperti itu, entah mengapa aku puas dengan berhasil mati-matian melindungi hobiku, dengan begitu aku kembali mengingat-ingat perkataan Hayashi.

“Pembicaraan kita jadi melenceng, ya.”

Dengan bersungut-sungut, aku pun melanjutkannya.

“Terus? Apa yang ingin kamu diskusikan?”

“… A—, aku lupa.”

“Jangan lupa dong.”

“… Iya.”

Terlepas dari apa yang ingin dirinya bicarakan, raut mukanya menjadi gelap.

Ada sedikit rasa tidak ingin mendengarnya yang muncul, tapi aku hanya bisa mendengar curhatannya, aku tidak bisa mengabaikannya.

Untuk sesaat Hayashi tampak ragu. Tetapi segera ia membulatkan tekadnya dan bangkit kemudian pergi ke sisi pojok ruangan, lalu menyerahkan sebuah koran yang ia sembunyikan entah sejak kapan padaku.

Itu … adalah, iklan lowongan pekerjaan. Aku sedikit meragukan rasa gugup Hayashi.

“Aku mau kerja paruh waktu.”

Diriku kemungkinan, kalau dilihat dari sudut pandang orang lain mukaku jelas terlihat mengerang. Entah jawaban apa yang tepat untuk menanggapi apa yang didiskusikan Hayashi ini.

Tadi, juga bahkan seperti yang kukira kemarin, yang bisa kulakukan hanyalah memberikan saran. Lalu yang mendengarkan saran itu, serta yang membuat keputusan di akhir adalah Hayashi itu sendiri.

Tetapi, kalau situasinya seperti ini, tentu salah kalau aku menjawabnya begitu saja. Sama seperti dirinya, tidak, lebih dari dirinya, aku melihat kondisinya secara objektif, lalu apa yang seharusnya dia lakukan. Kalau aku akan bagaimana. Setelah memikirkannya aku harus menarik sebuah jawaban.

Itu adalah, apa yang disebut, niat baikku.

… Meskipun begitu, sejujurnya, aku sudah memutuskan jawabannya dalam diriku sendiri.

Kondisi Hayashi.

Kemudian, aku memastikan ada yang tidak beres dengan mantan pacarnya setiap kali aku berbicara dengan Hayashi.

Jawaban yang muncul, hanyalah ada satu.

“Menurutku tidak apa kalau kamu mau kerja paruh waktu.”

“… Iya.”

“Tetapi, menurutku bukan sekarang waktunya.”

Kepribadian Hayashi yang telah menerima gangguan dari pacarnya, telah membuatnya mencari sebuah tekad. Aku telah mengatakan apa yang ingin kukatakan, tapi sejujurnya awalnya bukan begitu masalahnya. Tetapi, entah kenapa rasanya sekarang aku merasa kalau itu tidak tepat untuk saat ini.

Sudah kuduga, sampai Hayashi bisa benar-benar tenang dia jangan sampai keluar dulu, demi melindunginya dari bertemu mantan pacarnya.

“… Apa memang benar-benar harus kerja? Apa kamu punya hutang?”

“Bu—, bukan begitu kok.”

“Terus kenapa?”

“Kalau aku tidak bisa mendapatkan uang, aku hanya bisa bergantung padamu, kan.”

… Jangan-jangan, di sini ‘aku’ tidak merujuk pada diriku sendiri, mataku pun membulat. Hayashi sampai kepikiran hal seperti itu. Aku saja sampai tidak kepikiran.

“Dirimu kan masih kuliah, bukankah kamu sendiri kesusahan dengan kondisi keuanganmu. Yah, kalau menunggu aku benar-benar tenang pasti akan memakan waktu berbulan-bulan. Tapi, kalau sampai berbulan-bulan itu malah akan menghabiskan simpananmu, kan.”

“Tidak perlu khawatir kalau masalah uang. … Tapi, kebenarannya aku tidak bisa berkata begitu. Ujungnya, aku malah minta uangku dikembalikan nanti, aku nggak bisa ngomong begitu, kan.”

“Kalau soal uangnya tentu saja akan aku kembalikan. Mana aku lupa hal sepenting itu, kan.”

Tak disangka, ternyata dia cukup teliti soal uang.

“… Demi meringankan bebanmu. Aku ingin bekerja paruh waktu supaya tidak merepotkanmu.”

… Meringankan bebanku.

… Tidak merepotkanku.

Aku mengerti betul apa yang Hayashi rasakan saat ini. Dia tidak mau meropotkanku yang sudah membantu menyembunyikannya. Aku juga mengerti betul pemikirannya yang rela mengambil resiko yang membahayakan dirinya.

“Lagian sesuatu memang sudah terjadi, kan?”

Tetapi, sudah kuduga jawabanku memang tidak berubah.

Demi uang, sampai-sampai menyetujui tindakan seseorang yang menempatkan dirinya pada bahaya, aku bukan orang yang sebusuk itu, kan.

Tetapi, Hayashi dengan tanpa menaruh harapannya padaku balas menjawab.

“Mau gimana lagi.”

Hayashi bergumam bagai sudah menyerah.

“… Mau gimana lagi?”

“Iya, lah. Mau gimana lagi … Ya mau gimana lagi.”

Hayashi mengarahkan pandagan seriusnya padaku.

“Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Ujungnya, walau nanti bakal ketahuan sama orang itu … Ya mau gimana lagi.”

Maksudnya, mau gimana lagi?

Apa yang dikatakan Hayashi berarti, dia harus kerja paruh waktu demi diriku. Hayashi yang saat ini punya resiko kalau dia keluar, bahkan kalau memikirkan situasi terburuknya dimana Hayashi ketahuan sekalipun, Hayashinya sendiri sudah bilang mau gimana lagi. Dengan kata lain, dia sudah pasrah.

Sejujurnya, aku kesulitan memahaminya.

Kondisi Hayashi saat ini, cara menghindari resikonya sebenarnya bisa dibilang cukup mudah dan jelas. Yaitu, hanya dengan Hayashi yang berada di ruang ini sampai situasinya kondusif. Begitu saja sudah cukup.

Hayashi sendiri juga pasti mengerti akan hal itu.

Dia pasti sudah memikirkannya jauh sebelumnya. Hal sesederhana itu.

Tapi ujungnya, dia ingin bekerja paruh waktu. Bahkan tak apa bila nanti ketahuan sekalipun. Pemikiran seperti itu, kalau bagiku benar-benar tidak masuk di akal.

Mau gimana lagi, itu adalah kalimat yang digunakan sebagai antisipasi ketika menghadapi kemalangan. Bagi Hayashi yang sekarang, itu hanyalah ungkapan kelewat pasrahnya. Tak lain hanyalah tindak tanduknya yang akhirnya menyerah.

Baru sekarang aku menyadarinya.

… Dampak yang dialami akibat KDRT, bukan hanya fisiknya, moral dan posisinya juga terdampak, tampaknya martabat Hayashi juga sudah terluka parah.

Kalau bukan begitu, mana mungkin Hayashi berulangkali melontarkan perkataan yang lemah seperti itu. 

Kalau bukan begitu, mana mungkin ratu yang suka seenaknya ini menjadi sosok yang menyedihkan dan biasa seperti ini.

Di dalam diriku, perasaan amarah yang tak dapat memaafkan pun bergejolak.

Padahal kita baru saja lulus dari sekolah yang sama 4 bulan yang lalu.

Padahal kita baru saja melanjutkan kuliah selama 3 bulan.

Hayashi bertemu dengan mantan pacarnya juga pasti lebih baru dari ini.

Mereka berdua mulai tinggal bersama juga pasti lebih baru lagi dari ini.

Hanya dalam rentang waktu yang begitu singkat.

Padahal, baru sesaat berlalu…

Sebenarnya, sudah berapa lama dia pacaran dengan mantan pacaranya itu.

Aku tidak terlalu suka dengan dirinya semasa SMA.

Karena memungut penghapusnya saja aku mendapat decakan lidah, karena penggemarnya jugalah aku tidak bisa istirahat dengan tenang di jam istirahat.

Sungguh, aku sudah mengalami berbagai macam kesulitan.

Tetapi, dirinya yang seperti itu. Mungkin jauh di lubuk hatiku aku mengakui dirinya yang tidak punya kepedulian padaku itu.

Justru karena itulah, semua perlakuan yang telah diterimanya selama ini. Mungkin aku marah karena dirinya yang dipandang rendah oleh mantan pacarnya itu.

… Yang kulakukan adalah, tidak lebih dari sekedar memberi saran.

Bahkan dengan memberikan saran yang bisa menolongnya sekalipun, yang mengambil keputusannya di akhir ialah, tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri.

Hanya saja, hanya karena demi mengambil keputusan akhirnya. Demi mengambil keputusan yang dirasanya benar. Agar semuanya berakhir tanpa penyesalan.

… Sudah menjadi niatku, untuk melakukannya semaksimal mungkin.

Kalau begitu …

Aku menunduk ke arah lain dari Hayashi dan meraih handphoneku.

“Hayashi.”

“Apa?”

“Lihatlah ini.”

Yang muncul disitu adalah aplikasi banking. Setelah memasukkan passwordnya, aku menyodorkan saldo rekeningku.

Hayashi menampakkan wajah terkejut. Dia tak mengira kalau tiba-tiba aku memperlihatkan hal seperti ini padanya. Kira-kira begitulah raut wajahnya.

“Di dalam rekening ada 1.500.000 yen. Aku sudah mati-matian menabung sejak kerja paruh waktu di SMA. Karena aku tidak hedon, beginilah jadinya.”

Hayashi yang masih terkejut tidak melontarkan sepatah kata pun.

Kali ini aku menunjukkan perhitungan keuangan rumah tangga kepada Hayashi yang masih tertegun seperti itu. Pengeluaran bulan ini, listirik, internet, air, gas, sisanya hampir dipenuhi oleh biaya makan. Kalau biaya sewa orang tuaku di rumah yang menanggungnya. 

Kemudian, pemasukanku dari beasiswa dan kerja paruh waktu.

“Kalau kamu mau tahu bagaimana aku menerima uang beasiswa, uangnya selalu masuk tiap bulan. Dari semua biaya ini yang akan bertambah selama kamu di rumah ini adalah biaya makan. Mau berapa pun biaya awalnya, kalau hanya segitu aku bahkan bisa menyembunyikanmu selama hitungan tahun. Aku hanya menyembunyikanmu seorang diri, jadi jika kedepannya kamu mau mengembalikannya, itu bukanlah yang penting.”

“… Ta, tapi kan itu uang yang telah dirimu tabung. Uang yang harusnya kamu pakai, kan.”

“Benar. Itu uang yang aku gunakan. Makanya, aku bilang aku ingin menggunakannya untukmu.”

“… Dirimu tidak ada kewajiban untuk melakukan hal seperti itu, kan.”

“Hayashi, jangan alihkan pembicaraanya.”

Aku memandangi Hayashi yang pasrah menggigiti bibirnya.

“Alasanmu ingin kerja paruh waktu adalah karena kamu khawatir dengan kondisi finansialku, kan. Kemudian, aku sudah menangkis kekhawatiranmu yang tidak diperlukan itu. Kalau begitu, hapuslah kecemasanmu itu, bukannya itu menunjukkan ketidak perluanmu untuk kerja paruh waktu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan lebih dari ini.”

“… Ada. Ada, lah. Habis, habis … nya. Bukannya tidak ada alasan bagi dirimu untuk menggunakan uangnya demi diriku.”

“Itu hal yang tidak perlu kamu pikirkan.”

“Perlu, lah.”

“Tidak.”

“Perlu!”

“Tidak!”

“Kalau begitu, berarti kamu punya alasan untuk menggunakan uangmu demi diriku?”

“Aa, ada.”

“Bohong.”

“Nggak bohong.”

“Bohong!”

Suara Hayashi yang meledak-ledak bergema di dalam kamar.

“Bohong … Habis, sekarang aku bukan siapa-siapamu, kan. Keuntungan dari menyembunyikanku, kalau dipikir mungkin dari sekarang kamu akan terlibat dengan hal-hal yang merepotkan, bukankah tidak ada alasan bagimu untuk menyembunyikanku … Benar. Aku yang sekarang, tidak ada apa-apanya.”

Yah, aku sedikit paham.

Keinginan Hayashi untuk bisa bekerja paruh waktu, tindakan cerobohnya yang ingin pergi keluar sampai melanggar janjinya denganku, sejujurnya sejak awal aku sudah meragukan kalau itu demi aku.

Yah, memang benar, Hayashi pasti merasa berhutang budi padaku.

Tapi, apakah itu memang alasannya yang sesungguhnya?

Kalau begitu, kenapa aku merasa ini bukan demi diriku, ya.

Tentu saja, mengingat hubunganku dengannya semasa SMA.

Mungkin, pemikiran ini masuk akal.

Dia juga sudah tinggal beberapa bulan bersama pacar KDRTnya, fisik dan mentalnya sudah lelah. Dengan begitu, karena salah pacarnya yang kelewat kejam, ratu yang suka menang sendiri di SMA martabatnya sampai hancur.

Justru karena itulah, Hayashi yang sekarang sampai rela mengambil resiko untuk kerja paruh waktu demi bisa memulihkan martabatnya itu. Karena dia sampai kepikiran ide berbahaya seperti itu, dia juga tidak memiliki cara untuk berhadapan dengan pacarnya, tindakanya juga tak terencana.

“Ada, loh. Keuntunganku menyembunyikan dirimu.”

Dengan menghadap Hayashi, sekali lagi aku melontarkan kalimat itu.

“Bohong.”

“Dibilang, nggak kok.”

“… Terus, apa dong.”

“Habis, kamu mau mengurus pekerjaan rumah, kan?”

Hayashi tetap terdiam.

“Yah, bukannya aku sendiri nggak suka pekerjaan rumah. Hanya saja, seperti yang kubicarakan sebelumnya, kamar ini sering kosong karena aku kuliah dan kerja paruh waktu, di saat seperti itu aku pasti tidak sempat mengerjakan pekerjaan rumah. Disamping tidak baik untuk kesehatan mental, hanya dalam beberapa bulan ini sudah berkali-kali kumemikirkannya. Jadi maksudku, dirimulah yang akan melakukan pekerjaan rumah itu. Kalau menurutku, dirimu tidaklah perlu untuk berterimakasih.”

“… Hanya dengan itu?”

“Hanya dengan itu? Jangan ngaco.”

Aku meninggikan suaraku.

“Kamu juga mungkin tahu, aku ini pria yang teliti. Kalau aku melihat sedikit saja debu di atas televisi, aku akan langsung membersihkan seluruh kamar, sedikit saja aku melihat air di mesin cuci yang kotor, maka aku akan langsung membersihkan tabung mesin cuci sampai bersih. Sayangnya, aku harus pergi kuliah di sepanjang hari di hari biasa. Ada juga kerja paruh waktu. Jadi sebanyak apapun waktu yang kupunya tak akan cukup. Kalau begitu, kalau kamu sebisa mungkin melakukan pekerjaan rumah selain bersih-bersih, aku tak keberatan untuk meminjamkan uangku.”

Entah menyembunyikan Hayashi adalah hal yang benar atau salah.

Sejujurnya, aku masih belum bisa menemukan jawaban akan hal itu. Tapi, seharian ini walau hanya sedikit, aku bersyukur bisa menyembunyikannya di rumah, dan aku tau-taunya aku sudah sedikit merasa begitu.

“Hamburgernya enak, loh … Uhm.”

Hamburger yang dihidangkan Hayashi tadi.

Saat festifal budaya waktu SMA, kepayahannya dalam memasak tidak bisa dilupakan.

Tetapi, dia sudah mengatasi satu kelemahannya itu, dan menghidangkan masakan buatannya untukku. Untuk diriku yang selalu memasak makanan yang simple juga tidak memedulikan variasi makanannya, pasti menu ini adalah menu yang tidak akan pernah kubuat seumur hidupku. Hayashi sampai repot-repot menghidangkan masakan seperti ini.

“Dengan begini, alasanku untuk meminjamkanmu uang, juga menyembunyinkanmu jadi jelas, kan.”

“… Apa coba.”

Untuk sesaat, aku tahu kalau Hayashi tersenyum kecut.

“Apa benar tidak apa?”

“Ya, paling tidak untuk sementara.”

“… Tapi, mungkin aku akan merepotkanmu.”

“Kamu, bodoh? Namanya tinggal bersama ya seperti itulah. Kita sama-sama saling merepotkan. Itu baru namanya tinggal bersama. Kita tinggal bersama dan harus saling mengalah. Kalau itu saja tidak bisa dilakukan mana pantas disebut kehidupan yang layak.”

“… Harus saling mengalah, ya.”

Hayashi bergumam diam-diam.

“Pasti, itu yang tidak ada di antara kami, ya.”

Kami.

Mungkin, soal Hayashi dan mantan pacarnya.

Yah, mungkin memang begitu. Paling tidak, dari yang kudengar dari Hayashi soal mantan pacarnya, aku tahu kalau dia tidak sedikit pun punya pikiran untuk mengalah. Malahan, bisa terlihat kalau dia punya niat tersembunyi untuk menekan Hayashi secara sepihak.

Seperti apa yang dikatakan Hayashi, benar-benar tidak bisa disebut sebagai tinggal bersama yang sehat.

“Hei, Yamamoto?”

“Hm?”

“… Maaf, ya.”

“Memangnya aku mau kalimat permintaan maaf?”

Maaf, ya.

Hayashi meminta maaf padaku seperti itu.

Tapi pada akhirnya … apa memang benar itu jawaban yang dicari Hayashi.

Apa dia masih kepikiran mau kerja sampingan, ya.

Demi menghindari resikonya, apa sebaiknya dia tidak usah kerja sampingan, ya.

Dari pada permintaan maaf, aku lebih ingin mendengar hasilnya. Yang mana yang lebih baik, ya. Aku ingin mendengar keputusan akhir dari Hayashi.

Di samping cara bicaraku yang jadi terkesan menjauhi, tidak lain tidak bukan penyebabnya adalah sikap skeptisku.

“… Aku menyerah soal kerja paruh waktunya.”

“Begitu saja, lah.”

Mungkin Hayashi tidak menyadarinya, tapi aku merasa lega sampai-sampai mengelus dadaku. Untuk saat ini, resiko Hayashi untuk ditemukan oleh mantan pacarnya pasti berkurang. Kalau begini, cara mantan pacar Hayashi mengetahui lokasi Hayashi bisa dibilang hampir tidak ada dan sudah bukan masalah lagi.”

“Yah, untuk sementara istirahatlah di rumah ini untuk memulihkan energimu.”

“Iya, baiklah.”

“Terkadang kita juga perlu rileks. Bukankah ini kesempatan yang bagus.”

“… Hei, Yamamoto?”

“Hmm?”

“Tadi, kamu bilang, kan. Kalau aku ada di rumah ini, beban yang bertambah cuma biaya makannya doang, kan.”

“Iya, aku bilang begitu tadi. Begitulah.”

“… Gimana dengan makan siangmu?”

“Gimana, ya di kantin kampus.”

“Begitu, ya.”

Hayashi menghela nafas kecil seperti ingin memutuskan sesuatu.

“Hei Yamamoto, aku punya saran nih.”

“Apa?”

“Makan siang, aku buatkan bekal, ya.”

“Hah?”

Hayashi tidak memberi jawaban. Sambil memainkan rambutnya, dia menunduk karena merasa canggung.

“… Kenapa?”

“Demi menghemat biaya makan. Saat siang, aku cuma bisa makan di rumah kan, tapi kalau hanya untuk itu bukannya sayang bahan makanannya. Makanya, aku akan buatkan bekal untuk 2 orang.”

Begitu, ya. Memang benar tampaknya itu akan lebih ramah di kantong. Di samping diriku ini yang memang menghemat uang, aku juga tidak ingin menggunakan uang dengan sembarangan, jadi saran dari Hayashi benar-benar membantu.

“Baiklah. Berarti begitu saja, ya?”

“Iya … Terus, ya—”

“Hm?”

“Kasih tahu aku, apa saja yang kamu suka …”

Hayashi menanyakannya dengan pipinya yang memerah dan pandangannya yang cenderung tertunduk.

Sesaat aku terkejut dengan tingkahnya yang tidak seperti Hayashi yang biasanya.


Previous Chapter | ToC | 

Post a Comment

Post a Comment

close