Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 5
Ai vs Miyuki
"Nona, ini laporan yang Anda minta."
Di ruang tamu, aku menerima dokumen dari Kuroi.
Laporan yang kuminta dari biro penyelidik swasta akhirnya selesai.
Aku membaca beberapa halaman, dan isi yang mengerikan di dalamnya membuatku mual.
Aku sengaja tidak bertanya pada Senpai tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kurasa itu hal yang sulit untuk dia ceritakan, dan dia bahkan terlihat enggan membicarakannya dengan ibu kandungnya sendiri.
Kalau aku memaksanya untuk bicara, aku mungkin malah membuka luka lama di hatinya lebih dalam. Aku memang sudah bisa menebak sebagian isi ceritanya, tapi setelah benar-benar membaca laporan itu, kebencian yang diarahkan padanya langsung membangkitkan trauma lamaku—dan rasanya sangat menyakitkan.
Bagaimana bisa orang sebaik itu harus menerima perlakuan sekejam ini? Kenapa Tuhan begitu tidak adil?
Aku bersyukur sudah meminta Kuroi menyelidikinya lewat biro itu. Sekarang, musuh sudah jelas. Aku pun bisa mulai bergerak.
Awalnya aku pikir ini hanya masalah percintaan biasa yang sedikit rumit. Tapi ternyata, isi laporan ini penuh dengan niat jahat yang jauh lebih dalam dari dugaanku.
※
Laporan
Diketahui bahwa Eiji Aono menjalin hubungan dengan Miyuki Amada, namun ia tampaknya telah diselingkuhi.
Miyuki terlihat diam-diam bertemu dengan Kondo—senior dari klub sepak bola di sekolah yang sama, yang orang tuanya adalah anggota dewan kota sekaligus pengelola utama sebuah perusahaan konstruksi lokal.
Hubungan mereka bahkan sudah menjadi bahan gosip di kalangan warga sekitar.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam cinta segitiga itu masih belum jelas. Namun, melihat bagaimana setelah ulang tahun Eiji Aono, mulai banyak unggahan di media sosial yang menuduhnya melakukan kekerasan terhadap Miyuki Amada, kemungkinan besar sesuatu terjadi pada hari ulang tahun tersebut. Sebab, sebelum itu, tidak ada unggahan yang mencemarkan namanya.
Sebagian besar akun yang menyebarkan kabar tersebut adalah akun palsu, tapi ada beberapa yang merupakan akun asli yang biasa dipakai—dan berdasarkan foto-foto dan data lainnya, bisa disimpulkan bahwa pelakunya kemungkinan besar adalah anggota klub sepak bola.
Selain itu, karena para siswa lain baru mulai menanggapi kabar tersebut dua hari setelah ulang tahun, bisa dikatakan bahwa kelompok tertentu memang bersekongkol untuk menyebarkan rumor buruk tentang Eiji Aono secara sengaja.
Semua data sudah disimpan dan bisa digunakan sebagai bukti dalam pengadilan bila diperlukan.
※
Laporan itu hanya menuliskan fakta-fakta. Tapi kesimpulan yang bisa diambil dari situ hanya satu.
Pertama, jika kita mempertimbangkan kepribadian Senpai, kemungkinan dia benar-benar melakukan kekerasan terhadap Amada sangatlah kecil. Dan gerak-gerik aneh klub sepak bola itu juga mencurigakan.
Kemungkinan besar, dalang di balik semua ini adalah Kondo dari klub sepak bola. Ya, senior brengsek yang sempat mencoba mendekatiku secara halus di semester pertama.
Kondo dan Amada berselingkuh, dan pada hari ulang tahun Senpai, perselingkuhan itu ketahuan.
Lalu demi menyelamatkan diri, mereka berdua menyebarkan rumor bahwa Senpai melakukan kekerasan, dan berusaha mengucilkannya.
Kalau semua ini benar, betapa kejinya mereka.
Kalau tidak salah, mereka mulai pacaran sekitar musim dingin tahun lalu. Dan di ulang tahun pertamanya sebagai kekasih, dia justru menerima kebenaran sekejam itu, dituduh dengan fitnah, dan hampir dimusnahkan secara sosial.
"Ini... terlalu kejam."
Jadi, hari itu, saat pertama kali kami bertemu—dia naik ke atap karena itu.
Betapa jahatnya, membuat orang sebaik itu sampai jatuh ke dalam keputusasaan yang begitu dalam. Amarahku mendidih.
"Tak peduli apapun alasannya, kau tidak bisa seenaknya menginjak-injak ketulusan seseorang."
Memang, kalau belum menikah, tidak ada ikatan sekuat itu. Cinta bebas juga punya pembelaannya sendiri.
Tapi tidak seharusnya orang sebaik itu diperlakukan dengan cara sekeji ini.
Aku tidak bisa memaafkannya.
Dan demi menyelamatkan diri sendiri, mereka bahkan tega menjerumuskannya dalam tuduhan palsu sampai membuatnya berpikir untuk bunuh diri…
Isi laporan itu terlalu mengejutkan hingga membuatku terus merasa mual. Tapi justru karena dia menyelamatkanku dari neraka semacam itu, aku makin jatuh cinta padanya.
"Kau benar-benar orang yang luar biasa baik, ya, Aono Eiji …"
Setelah kecelakaan itu, aku juga pernah mengalami kebencian kejam dari dunia. Karena itu, aku tahu betapa besar makna kebaikan yang dia tunjukkan padaku di atap hari itu.
Kenapa... dalam kondisi seputus asa itu, kau masih bisa bersikap lembut pada orang yang bahkan berpikir untuk mati…?
Aku ingin menghirup udara luar.
Menolak ajakan Kuroi yang khawatir, aku pergi sendiri ke taman terdekat.
Meskipun aku bilang sendiri, pasti akan ada satu-dua pengawal yang tetap mengikuti dari jauh.
Aku berjalan di antara sedikit pepohonan dan rumput untuk menyegarkan pikiran.
"Memang, yang sudah hilang dari Senpai terlalu besar… tapi kalau bisa, aku ingin mengisinya, meski hanya sedikit."
Kalau bisa, aku ingin mengembalikan semuanya. Tapi itu keinginan yang terlalu sombong. Yang jelas, aku tidak akan pernah memaafkan Amada dan Kondo dari klub sepak bola.
Saat aku berjalan dengan pikiran seperti itu, sebuah kebetulan tak terduga terjadi.
Seorang gadis cantik berwajah pucat berjalan tertatih-tatih ke arahku.
Wajah yang kukenal—meski kami belum pernah bicara langsung. Dia terkenal sebagai senior yang cantik, dan namanya juga disebut dalam laporan tadi.
"Ichijou Ai?"
Sepertinya dia juga mengenaliku. Wajahnya pucat seperti zombie.
"Amada Miyuki…"
Untuk pertama kalinya, kami berhadapan langsung. Dan baginya, ini adalah saat terburuk yang bisa dibayangkan.
※
Pertemuan yang tak disangka-sangka membuatku terdiam sejenak.
Kenapa dia tahu namaku? Tapi itu bukan hal yang harus kupikirkan sekarang.
Mengingat tindakanku yang cukup mencolok belakangan ini, bukan hal aneh jika mantan pacarnya, Amada Miyuki, mendengarnya.
"Salam kenal. Aku Ichijou Ai."
Ucapku dingin. Sejujurnya, aku bahkan tidak ingin berbicara dengannya.
"Ka-kamu… nggak sama Eiji sekarang?"
Tanpa membalas sapaan, dia langsung bertanya dengan suara gemetar.
"Seolah-olah kau selalu melihat kami bersama, ya? Memang kau senior di sekolah, tapi ini pertama kalinya kita bicara, dan pertanyaanmu sudah menyentuh urusan yang sangat pribadi. Jadi, kurasa aku tidak punya kewajiban menjawabnya."
Nada bicaraku jadi penuh duri. Tapi aku tidak peduli kalau dia akan membenciku.
"Soalnya… aku… pacarnya Eiji…"
Mendengar kata-kata itu, aku tanpa sadar membelalakkan mata. Padahal dia sudah memperlakukannya dengan sangat kejam, tapi dia masih menganggap mereka pacaran? Orang ini serius?
Bukan cuma itu. Dia sedang melarikan diri. Dari rasa bersalah karena telah menjadi pelaku, juga dari kenyataan bahwa dia telah mengkhianati senpai.
Sikapnya yang begitu tak bertanggung jawab membuatku tak bisa memaafkannya. Dia bahkan nyaris membuat pria sebaik itu bunuh diri. Kalau saja waktunya sedikit meleset, baik dia maupun aku bisa saja...
Aku menatapnya tajam, dengan amarah membara.
"Begitu ya. Tapi, Amada-san, kau kan memilih Kondo dari klub sepak bola. Kau membuang Aono Eiji-senpai, teman masa kecil yang selalu mendukungmu selama ini. Dan itu pun dilakukan tepat di hari ulang tahunnya..."
Aku sengaja menyampaikan semuanya seolah aku tahu segalanya. Sekaligus memastikan bahwa informasi yang kupunya memang benar.
"Itu... aku..."
Seperti kuduga, dia tak bisa menjawab. Berarti aku tepat sasaran.
"Kalau begitu, bukankah hubungan kalian sudah berakhir saat itu juga? Dan berakhir dengan cara paling buruk, yakni pengkhianatan darimu."
"Tapi aku..."
Dia tetap tidak menjawab. Tidak, bahkan lebih buruk—dia mencoba kabur lagi.
"Kalau kau tak bisa menjawab, berarti itu memang benar, kan?"
Dia menunduk dan hampir menangis. Tapi aku terus memberikan kenyataan perlahan-lahan. Karena kalau tidak, dia pasti akan terus kabur.
Aku sudah tahu semuanya. Perselingkuhanmu. Bahwa kau mengkhianati kekasih tercintamu lalu memfitnahnya demi menyelamatkan dirimu sendiri. Aku menyampaikan semuanya secara implisit.
Aku bisa saja menghakiminya di sini dan sekarang. Tapi sebagai orang luar, tindakanku hanya akan mendorongnya ke ujung jurang. Jadi aku memilih untuk memberitahu dia dengan tenang, tentang di mana dia berdiri sekarang. Sambil menatap dingin dirinya yang masih terus mencoba membela diri.
"Kami sudah bersama lebih dari sepuluh tahun, tahu!"
Dia masih mencoba membela diri!?
"Dan yang menghancurkan semua itu adalah kamu. Kepercayaan yang dibangun selama sepuluh tahun, kau hancurkan dengan cara yang sangat kejam. Cinta itu memang bebas. Tapi kalau kau jatuh cinta pada orang lain, seharusnya kau mengakhiri hubunganmu dengan Eiji-senpai dengan baik. Itu hal yang paling mendasar. Tapi kau tidak melakukannya. Malahan sebaliknya—kau membuangnya di hari ulang tahunnya. Apa-apaan itu? Kenapa kau tega mengkhianati orang sebaik dia dengan cara seburuk itu!?"
Nada bicaraku meninggi. Aku bicara cepat, terburu-buru. Tapi aku tak bisa menghentikannya.
"Aku juga tidak ingin berpisah dengan Eiji. Kami selalu bersama. Dia cinta pertamaku. Tapi aku melakukan kesalahan dengan Kondo-san, dan hubungan kami terus berlanjut tanpa bisa kuhentikan. Awalnya kupikir itu hanya sesaat saja. Aku berniat memilih Eiji pada akhirnya. Tapi… tapi… hari itu, aku secara kebetulan bertemu dia. Di tempat yang seharusnya dia tidak ada. Entah kenapa, dia muncul di sana..."
Dia berbicara seperti mesin rusak, hanya mengulang-ulang rasa kasihan pada dirinya sendiri. Seolah dia adalah tokoh utama dari tragedi ini. Tapi bukan begitu. Dia bukan tokoh utama. Dia tidak berhak ada di posisi itu. Kenapa sih dia tidak bisa mengerti?
"Tapi kau pelakunya kan. Kau bilang kau yang menderita, tapi yang paling menderita adalah Eiji-senpai. Bagiku, kau hanya terdengar egois dan semaunya sendiri."
"Ugh..."
Dia jatuh berlutut di atas aspal keras. Mungkin dia sudah tak bisa lari lagi. Atau mungkin dia sedang mencari alasan baru.
"Kenapa kau menyebarkan rumor bohong seperti itu? Gara-gara itu..."
Tanpa sadar aku hampir mengucapkan kebenaran, lalu buru-buru menutup mulut. Aku menyadari bahwa itu bukan hal yang seharusnya kusampaikan.
"Aku takut. Aku takut sendirian. Aku tahu aku tak bisa kembali seperti dulu dengan Eiji. Karena itu, aku bersandar pada senpai. Maaf... maaf..."
Dia memohon sambil terus meminta maaf.
Alasannya membuat darahku mendidih.
"Hanya karena alasan itu?"
Aku tak sengaja bertanya balik.
"Apa?"
Responsnya bukan yang kuharapkan.
"Hanya karena alasan seperti itu, kau berusaha menghancurkan hidup seseorang seperti Aono Eiji yang begitu baik hati!?"
"Hii..."
Dia terkejut dan mengeluarkan jeritan pendek. Aku sempat tergoda untuk menamparnya, tapi aku menahannya dengan sekuat tenaga. Karena kalau aku melakukannya, aku akan berada di tingkat yang sama dengan mereka—makhluk malang yang digerakkan hanya oleh hawa nafsu, bukan manusia.
"Senpai... waktu masuk sekolah setelah libur musim panas, dia berencana bunuh diri di atap sekolah. Dia yang sebaik itu sampai berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Apa yang dia lakukan? Dia cuma ingin merayakan ulang tahunnya bersama pacar tercintanya. Itu saja. Tapi kau, Amada-san... kau menginjak-injak ketulusan hatinya. Demi menyelamatkan dirimu, kau menjadikan dia orang jahat. Lalu mendorong korbanmu sampai nyaris bunuh diri. Orang seperti kalian tidak pantas dimaafkan. Aku... aku tidak akan pernah memaafkan kalian!!"
"Eiji... mau bunuh diri? Bohong..."
Amada-san semakin pucat, seolah semua emosinya menghilang. Tapi aku tak punya lagi yang ingin kukatakan. Dia tidak tahu bahwa niat jahatnya nyaris membunuh seseorang. Dia bahkan tidak sanggup menatap kenyataan itu. Kebencian yang tertuju padaku waktu kecelakaan dulu, pasti berasal dari orang-orang seperti dia juga.
"Aku terlalu ikut campur. Kalau begitu, aku permisi."
Aku meninggalkan tempat itu tanpa menggubrisnya yang panik. Aku menjauh dengan cepat seolah melarikan diri dari Amada-san. Dalam hati, aku diliputi rasa benci pada diriku sendiri karena telah ikut campur terlalu jauh.
Aku seharusnya tidak menyampaikan soal percobaan bunuh diri itu padanya. Senpai pasti berniat menyembunyikannya.
Tapi emosiku tak bisa dikendalikan. Aku merasa sangat bersalah pada dia.
(Tapi... orang yang menyelamatkan hidupku nyaris dihancurkan. Orang sebaik itu nyaris memilih mati karena niat jahat seseorang, dan si pelaku malah bertingkah seolah dia korban. Aku tak bisa memaafkan itu. Aku tidak cukup kuat untuk diam saja saat melihat orang sebaik dia dihancurkan begitu saja.)
Kebencian pada diri sendiri dan kemarahan membanjiri hatiku. Perasaan negatif menguasai.
Entah kenapa, aku tidak merasa menyesal.
Karena Eiji-senpai terlalu baik hati, dia pasti akan mengalah.
Karena aku tahu itu, aku memilih menyampaikan semuanya sebagai wakilnya. Semoga saja aku sedikit membantu. Walau aku dibenci, aku sudah berdiri di garis depan untuknya. Mungkin itu sedikit membalas budi.
Kalau waktu itu kami tidak bertemu di atap sekolah, Eiji-senpai pasti sudah mati di sana. Orang sebaik dia tidak pantas mati sendirian di tempat seperti itu. Dia harus hidup sepenuh hati dan meninggalkan dunia ini dikelilingi oleh keluarga yang mencintainya.
Dia adalah manusia yang berada di dunia yang berbeda dari orang sepertiku—yang hidup dengan mengorbankan nyawa orang lain.
Aku harus menjadi bahagia. Seseorang bernama Eiji Aono adalah orang yang pantas mendapatkan kebahagiaan.
"Cinta. Hanya kamu yang harus bahagia, ya"
"Maaf. Seharusnya ibu mengatakannya dengan benar sejak awal. Tapi ibu baru bisa mengatakannya di saat seperti ini. Maafkan ibu yang gagal ini. Ibu akan selalu mencintaimu."
"Tak apa, kamu pasti akan bertemu dengan seseorang yang benar-benar mencintaimu."
"Ibu akan selalu bersamamu, ya. Kalau ada satu hal yang ibu sesali… ibu ingin melihatmu mengenakan gaun pengantin."
Aku kembali teringat pada kata-kata terakhir ibu yang selama ini aku coba untuk lupakan. Kata-kata yang terus kuhindari selama ini kini terngiang kembali berulang-ulang. Bahkan kehangatan ibu yang selama ini tak bisa kuingat pun kini ikut menyelimutiku.
Terima kasih, Ibu. Aku hampir menyerah, tapi akhirnya aku mengerti arti dari kata-kata yang dulu kau ajarkan.
Maaf karena aku sempat ingin lari. Maaf karena aku sempat ingin memilih jalan yang mudah.
Tapi akhirnya…
Aku jatuh cinta. Aku bertemu dengan seseorang yang lebih memedulikanku daripada dirinya sendiri.
"Aku ingin bertemu Eiji-senpai."
Aku benar-benar menyadari perasaanku padanya. Dulu aku merasa bahwa cinta di masa SMA hanyalah hal yang sekejap saja. Aku menyesali diriku yang dulu terlalu dingin seperti itu.
Aku ingin percaya bahwa perasaanku padanya adalah sesuatu yang abadi.
Dengan langkah cepat, aku berniat kembali ke apartemenku. Tapi di saat itu, dewi takdir sekali lagi tersenyum padaku.
Di kejauhan, ada seorang pria yang melambaikan tangan. Itu adalah Eiji-senpai. Setelah mengenal cinta, aku menganggap kebetulan yang biasa ini sebagai takdir.
"Senpai!!"
Tanpa sadar aku hampir memeluknya. Ini hanya kebetulan, aku tahu. Tapi karena aku sangat ingin bertemu dengannya, aku tak bisa membohongi perasaanku yang menganggap ini sebagai takdir.
"Ichijou-san, kebetulan banget! Aku mau makan ramen buat makan malam, kamu mau ikut?"
Dia tersenyum dengan lembut. Aku sadar bahwa dia masih mengingat pembicaraan kami kemarin tentang aku yang belum pernah makan di kedai ramen. Padahal aku memang tertarik, tapi belum pernah mencobanya.
Sebelum akal sehatku bergerak, mulutku sudah lebih dulu menjawab.
"Bolehkah? Aku sangat ingin ikut!"
Yang paling membuatku senang adalah kebaikan hati senpai. Perasaan tidak enak yang kurasakan sejak membaca laporan itu pun hilang entah ke mana.
※
Aku sedang dalam perjalanan ke minimarket untuk menyalin catatan yang dipinjamkan oleh Satoshi. Dalam perjalanan, aku bertemu Ichijou-san secara kebetulan dan mengajaknya makan ramen. Karena dia gadis dari keluarga terpandang, katanya dia hampir tak pernah pergi ke kedai ramen.
Kami pun menuju kedai ramen terdekat. Tentu saja, aku tak bisa membawa pemula ke tempat yang khusus buat penggemar berat ramen. Jadi kami masuk ke tempat yang menyajikan miso ramen klasik yang enak.
"Ini gimana caranya?"
Sepertinya dia tak tahu cara membeli makanan lewat mesin tiket. Ichijou-san yang bingung di depan mesin tiket terlihat sangat menggemaskan. Bahkan di dalam toko pun dia menarik perhatian. Aku harus mengawalnya dengan baik.
"Kamu masukkan uang, lalu tekan tombol menu ramen yang kamu mau. Di sini porsinya banyak, jadi kamu sebaiknya pilih porsi biasa atau mini. Rekomendasiku adalah tanmen miso sayur. Karena ini banyak sayurnya, lebih aman pilih porsi kecil."
"Sehebat itu, ya!? Untung aku tanya dulu. Baiklah, aku pilih ini, ya."
Dengan jujur dia menekan tombol untuk porsi mini. Dia juga memesan teh oolong.
"Aku lapar, jadi aku pilih miso sayur dengan tambahan chashu."
Kami diarahkan ke kursi untuk dua orang. Dari tempat duduk ini, dapur terlihat jelas. Tak ada pesanan rumit, dan para stafnya juga ramah, jadi Ichijou-san pasti merasa tenang walaupun baru pertama kali.
"Luar biasa ya. Mereka mengayun wajan besar itu dengan ringannya. Itu menumis sayuran, ya?"
"Ya. Disini, sayurannya ditumis dengan baik, dan rasanya enak bahkan dimakan tanpa mie. Kalau kamu pesan nasi juga, itu bisa jadi lauk."
"Karbohidrat ketemu karbohidrat, besoknya pasti berat. Tapi kelihatannya enak banget."
"Ya, kita harus pinter-pinter atur aja."
Tapi menu yang dipesan Ichijou-san lebih banyak sayurnya, jadi kecuali kandungan garamnya, rasanya cukup sehat.
"Silakan, sudah jadi."
Seorang ibu-ibu pegawai toko mengantarkan dua mangkuk ramen dengan ringan.
"Terima kasih," jawab Ichijou-san sambil tersenyum. Itu saja sudah membuat pegawai itu ikut tersenyum bahagia.
"Selamat makan."
Kami mulai makan ramen yang masih panas. Dia sempat terkejut dengan banyaknya sayuran, tapi setelah menyeruput kuahnya, matanya membelalak.
"Rasanya manis lembut dari sayurnya, ya. Sepertinya ditumis pakai minyak wijen. Aromanya kaya sekali."
"Kalau mau ganti rasa, bisa tambahkan yuzu kosho."
"Pasti cocok banget. Ini pertama kalinya aku makan ramen yang beneran kayak gini, dan aku sedikit menyesal kenapa nggak makan dari dulu."
Dia memakan menu yang aku rekomendasikan dengan lahap. Responnya juga bagus.
Itu saja sudah cukup membuatku bahagia. Bisa saling berbagi hal yang disukai seperti ini benar-benar membahagiakan. Hal yang seharusnya biasa saja, sekarang terasa begitu berharga.
Semua ini berkat Ichijou-san. Sejak bertemu dengannya, aku terus merasa bahagia. Atap sekolah itu bukanlah titik terendah. Lebih dari itu, dia telah mengisi kekosongan yang pernah aku miliki dengan hal yang jauh lebih penting.
Selesai makan ramen, rasanya sedih karena harus segera meninggalkan tempat itu. Aku ingin bersama dengannya lebih lama lagi. Yah, padahal besok juga bisa bertemu.
"Aku antarin, ya."
Dia juga terlihat sedikit sedih. Tapi setelah mendengar tawaranku, wajahnya langsung bersinar. Syukurlah, aku bisa bersamanya sedikit lebih lama lagi.
"Terima kasih."
Kami berjalan perlahan sejauh mungkin. Apartemennya hanya lima menit jalan kaki dari sini. Tak terasa, sudah hampir sampai.
Tangan gadis itu sedikit menyentuh tanganku. Mungkin itu hanya kebetulan, tapi kami berdua sempat bergumam pelan, "Ah." Kami saling memandang dan tertawa. Ternyata kami benar-benar saling menyadari keberadaan satu sama lain.
Kalau begitu, waktu kencan terakhir, karena Ichijou-san yang memberanikan diri, kali ini giliran aku yang…
Dengan penuh tekad, aku perlahan menggenggam tangannya. Tangan itu sungguh kecil. Terasa rapuh, seolah bisa patah jika aku tidak hati-hati. Dan sedikit dingin.
Dia menundukkan kepala, tampak malu, tapi tetap menggenggam tanganku dengan erat. Hanya beberapa menit yang terasa mendebarkan, namun bagi kami, itu mungkin terasa seperti keabadian.
"Kau curang, nyerangnya mendadak."
Dia sedikit kesal, namun senyum bahagia tergambar jelas di wajahnya.
"Itu harusnya aku yang bilang waktu hari Minggu."
Aku sesekali berhasil membalasnya dengan baik.
"Kau juga curang di bagian itu."
Dia mengeluh lagi, tapi aku malah merasa semakin sayang padanya.
"Nanti pas sampai rumah, aku akan coba unggah novelku ke web."
Pagi ini, dia yang menyarankan hal itu. Aku mendapat keberanian dari dirinya. Karena itu, aku memutuskan untuk melangkah maju.
"Senangnya. Soalnya sayang banget kalau cuma aku yang bisa baca. Aku yakin pasti bakal populer."
Melihat senyum bahagianya, aku merasa lega. Genggaman tangannya pun menjadi semakin erat.
"Tapi ya, Senpai?"
"Apa?"
"Mungkin aku bakal kedengarannya jadi cewek lebay yang salah paham. Tapi… jangan pergi terlalu jauh, ya. Genggam tanganku terus, oke?"
Wajahnya yang sedikit bingung itu terlihat begitu indah sampai membuatku tak bisa berkata apa-apa.
"Iya, aku akan terus menggenggamnya."
Dan akhirnya, momen terbaik ini pun harus berakhir. Dengan berat hati, kami melepaskan tangan yang tadi kami janjikan akan terus digenggam.
"Terima kasih untuk hari ini. Sampai besok, ya."
"Iya, sampai besok."
Kami berpisah tanpa berkata yang macam-macam. Cukup melambaikan tangan satu sama lain.
Aku pun kembali berjalan pulang setelah mencapai tujuanku.
"Senang rasanya bisa membuat dia bahagia."
Begitu gumamku sambil melangkah, hingga tiba-tiba aku melihat wajah yang sangat kukenal berjalan ke arahku.
Tak mungkin aku salah lihat.
Jantungku berdebar kencang.
Seseorang yang tidak ingin kutemui.
"Eiji?"
Amada Miyuki, teman masa kecil sekaligus mantan pacarku, memanggilku dengan wajah pucat seperti zombie.
Mantan pacar yang tidak ingin kutemui lagi, berdiri tepat di hadapanku.
— Sudut Pandang Miyuki —
Eiji sempat berniat bunuh diri?
Kenapa? Kenapa dia sampai berniat seperti itu? Kenapa aku tidak menyadarinya sama sekali?
Kenapa aku tidak sadar bahwa semua yang kulakukan telah membuat Eiji terpojok sejauh itu?
Saat aku mendengar kenyataan mengejutkan itu, aku mengingat kembali semua yang pernah kulakukan.
Aku berselingkuh dengan Kondo-san di belakang Eiji.
Aku membatalkan janji ulang tahun Eiji dan lebih memilih berkencan dengan Kondo-san.
Lalu setelah semuanya terbongkar, aku menjebak Eiji demi melindungi diriku sendiri karena takut.
Dan karena itu, Eiji jadi dibully, sampai akhirnya berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
"Dasar perempuan paling rendah. Itu aku."
Akhirnya aku benar-benar menyadari. Tidak, sebenarnya aku sudah tahu… hanya saja aku tidak mau mengakuinya. Karena aku takut. Saat ketahuan berselingkuh, aku takut kehilangan semuanya—statusku sebagai siswa teladan dan teman-teman yang susah payah kubangun…
Tapi waktu itu aku benar-benar bodoh.
Karena demi melindungi hal sepele itu, aku malah kehilangan hal terpenting yang tidak seharusnya kulepaskan.
Tanpa sadar, aku melangkah ke taman biasa.
Taman dekat rumah tempat aku dan Eiji biasa bermain.
Kami sering bermain bersama di sini. Mengayuh ayunan sambil terus mengobrol. Sambil tenggelam dalam kenangan masa lalu, aku duduk di ayunan.
"Kalau begitu, kalau sudah besar nanti, aku mau jadi istri Eiji-kun."
Itu kata-kata yang kuucapkan saat kami masih kelas satu SD.
"Tenang aja, aku akan selalu bersamamu."
Saat ayah Eiji meninggal mendadak, di tempat ini juga aku yang menghiburnya. Tapi aku mengkhianatinya. Aku melanggar janji yang tidak boleh dikhianati. Aku melakukan hal yang paling tidak boleh dilakukan sebagai manusia. Tapi karena takut, aku terus lari dari semuanya.
Aku benar-benar takut untuk mengakuinya. Padahal Eiji terus menepati janjinya. Waktu ayahku meninggal dan aku merasa hancur, Eiji yang menghiburku. Sejak hari itu, dia selalu melindungiku. Bahkan saat kami tidak pacaran, dia selalu berusaha agar aku tidak merasa kesepian.
Aku membalas semua kebaikannya dengan pengkhianatan. Kenapa bisa begitu? Mungkin karena aku mencari kehangatan seorang ayah dari kakak kelas itu. Padahal Eiji juga hangat. Tapi aku sudah terlalu terbiasa dengan kehangatan itu. Padahal dia selalu ada untukku.
"Akhirnya kau mengaku juga. Iya, aku juga sudah lama menyukaimu."
Aku teringat saat dia menyatakan perasaannya padaku. Kenangan paling berharga itu kembali muncul satu per satu lalu menghilang. 10 tahun yang kuhabiskan bersamanya adalah masa paling berharga dalam hidupku. Kenapa… kenapa aku dulu bertindak semaunya sendiri?
Dengan pandangan kabur karena air mata, aku menatap ke depan. "Pemberitahuan: Wahana akan dibongkar. Untuk pemasangan wahana baru, pengerjaan akan dilakukan pada jam berikut." Tulisan peringatan itu menarik perhatianku.
Ah… ayunan tempat kami bermain bersama, perosotan tempat kami tertawa bersama… semua kenangan berharga itu juga akan menghilang. Saat aku menyadari itu, air mataku pun mengalir tanpa bisa dihentikan.
"Aku sangat mencintainya, sangat mencintainya, sangat mencintainya… Tapi karena kesalahanku sendiri, aku kehilangan semuanya."
Fakta yang kejam ini membuat hatiku hancur berantakan. Padahal aku tak pantas untuk menangis. Tapi air mataku tak bisa berhenti.
Aku telah mengkhianati Eiji yang begitu baik dan penuh kasih. Aku seharusnya jatuh ke neraka. Aku tak punya hak untuk bahagia. Karena itulah, bahkan Kondo-senpai yang dulu kupilih dan membuatku meninggalkan Eiji, kini berniat meninggalkanku. Bahkan ibuku pun mulai menyerah padaku.
Aku benar-benar bodoh.
Aku tak bisa kembali lagi ke tempat yang dulu hangat dan membahagiakan itu.
Sambil menangis tersedu-sedu di taman penuh kenangan itu, aku pulang ke rumah dalam keadaan lunglai. Tak ada tempat kembali kecuali tempat yang kosong dan sepi.
Di tengah keramaian, aku melihat sosok yang tak seharusnya kutemui. Orang yang paling kucintai, yang sangat ingin kutemui selama ini.
"Eiji?"
Tanpa sadar aku memanggilnya. Padahal aku sudah tak pantas melakukannya.
Eiji menegang sejenak, lalu menoleh ke arahku.
"Miyuki?"
Ekspresinya penuh kebingungan dan ketakutan. Tak ada senyum lembut yang biasa ia tunjukkan. Seperti yang kuduga...
"Eiji memang teman masa kecilku, tapi... dia itu pacar kasar yang nempel terus kayak stalker."
Itu adalah kata-kata kejam yang kuucapkan hari itu, ketika perselingkuhanku terbongkar dan aku tanpa sadar ikut-ikutan membenarkan tuduhan dari senpai.
Ucapan menjijikkan itu terus berulang di kepalaku. Kalimat yang tak mungkin dimaafkan. Sudah tak bisa ditarik kembali. Bukan hanya itu. Aku bahkan pernah menyematkan tuduhan palsu pada Eiji dan meskipun berkali-kali punya kesempatan untuk mengklarifikasinya, aku tak pernah melakukannya.
Hanya demi mempertahankan citra sebagai siswi teladan. Karena alasan dangkal seperti itu, aku telah membuatnya terluka seumur hidup.
Setelah diam cukup lama, akhirnya Eiji membuka mulut.
"Apa, kamu datang buat mentertawakan aku? Bukankah kamu sendiri yang bilang jangan pernah ajak bicara lagi, Miyuki?"
Suaranya dingin. Bukan suara Eiji yang kukenal.
Dan aku sadar aku pantas mendapatkannya.
Tapi kenyataan bahwa Eiji benar-benar menolakku begitu keras, ternyata jauh lebih menyakitkan dari yang kubayangkan. Padahal aku sudah siap mental, tapi rasa sakitnya tetap menghancurkan semua persiapanku.
"B-bukan begitu. Aku cuma... aku cuma ingin sedikit saja, kembali seperti dulu..."
Hubungan kami sebagai teman masa kecil sudah benar-benar hancur. Suara Eiji yang penuh kewaspadaan menusuk hatiku.
Aku tahu, kata-kataku hanya omong kosong yang terdengar nyaman di telinga sendiri. Tapi setelah kehilangan semuanya, aku baru benar-benar sadar betapa berharganya dia. Sementara senpai yang kupercaya, ternyata hanya menganggapku gadis yang bisa dimanfaatkan. Karena pria seperti itulah, aku hampir kehilangan semuanya—pacar, teman, dan keluarga.
Itulah diriku sekarang.
Orang-orang di sekitarku bilang aku siswi teladan, tapi sebenarnya aku hanya egois. Meskipun pandai belajar, aku bodoh karena tak mengerti hal terpenting sebagai manusia. Aku terus berputar dalam lingkaran kebencian terhadap diri sendiri.
Namun, jauh di dalam hati, aku masih berharap pada Eiji. Mungkin, dia akan memaafkanku. Mungkin, dia masih menganggapku teman masa kecil yang penting baginya. Tapi harapan manis itu dihancurkan sepenuhnya oleh kata-kata Eiji.
"Apa yang kamu bicarakan?"
Suara dingin itu menghancurkan hatiku. Dengan suara bergetar, aku menundukkan kepala.
Kata-kata yang singkat itu membuatku merasa lebih hancur dari hukuman penjara seumur hidup. Tapi meski begitu, aku tetap tak bisa melepaskan diri darinya. Aku hanya bisa terus bergantung padanya sambil menangis. Akalku sudah tak sanggup menghentikan hatiku yang mulai berlari liar.
"Maaf... Aku tahu perbuatanku itu keji. Tapi aku tetap ingin mengatakannya..."
Mendengar permintaan maafku, Eiji hanya menghela napas tanpa mengubah ekspresinya.
※
Aku sadar, hatiku sudah dingin. Permintaan maaf yang tak kuduga membuatku menyadari bahwa tempat dalam hatiku untuk teman masa kecil yang dulu begitu penting... sudah tak ada lagi.
Sebenarnya aku pernah berpikir: kalau Miyuki minta maaf, apa yang akan kulakukan? Tapi aku rasa itu tak mungkin terjadi. Lagipula, rasa tidak bisa memaafkan masih jauh lebih besar. Tapi sejak bertemu Ichijou-san, sosok Miyuki semakin mengecil dalam hatiku. Sekarang, dia hanyalah seseorang dari masa lalu. Aku bahkan sudah melewati tahap marah—aku hanya bisa mendengarkan ucapannya tanpa emosi.
"Aku kira... aku bakal lebih marah. Tapi katanya, lawan dari cinta itu bukan benci, tapi ketidakpedulian."
"Apa maksudmu, Eiji? Kalau kamu mau memaafkanku, aku akan melakukan apa pun..."
Mungkin itu bentuk permintaan maaf menurut versi Miyuki. Tapi... tidak menyentuh hatiku sama sekali. Itu bukan yang aku cari. Meskipun kami sudah bersama lebih dari sepuluh tahun, hal penting semacam itu ternyata tak bisa kami mengerti satu sama lain.
Ini bukan soal bisa dimaafkan atau tidak.
Aku hanya... merasa jijik dengan permintaan maaf itu. Bahkan membayangkan wajahnya saja membuatku merasa tak nyaman.
"Bukan itu maksudku. Aku cuma... tak mau kenangan kita yang tersisa ternoda lagi. Aku pikir, kita memang sebaiknya tak saling terlibat lagi. Itu yang terbaik untuk kita berdua. Aku tak mau membencimu lebih dari ini."
Aku sengaja berkata terus terang. Karena itu yang paling jujur dan sopan. Meski dia mantan yang telah mengkhianatiku, aku tak ingin menjadi orang seburuk dirinya. Tapi aku juga tak merasa perlu untuk bersikap baik. Karena kini, Miyuki hanyalah sosok yang menjijikkan bagiku.
Mendengar penolakanku, Miyuki terpaku sepenuhnya.
"Apa..."
Dengan sedikit rasa bersalah, aku melanjutkan. Mungkin dia tak menyangka akan ditolak sejauh ini. Tapi perasaan seperti itu muncul karena pengkhianatan keji yang ia lakukan. Aku harus menyampaikannya dengan jelas. Itulah satu-satunya hal yang bisa kulakukan sebagai laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya selama lebih dari sepuluh tahun.
"Aku... sudah menyukai orang lain."
Kata-kata singkat yang jadi penolakan terakhir. Lalu aku mulai berjalan pergi. Kalau dipikir-pikir, ini mirip dengan kejadian hari saat aku dikhianati dulu. Tapi kali ini, aku tak memukul siapa pun, dan aku bukan pelaku perselingkuhan. Yang menghancurkan hubungan ini lebih dulu adalah Miyuki. Jadi, ini sudah cukup.
Tak perlu ada lagi yang diucapkan.
"Tidak... jangan... Eiji, Eiji...!"
Miyuki menjerit. Tapi aku tak punya alasan untuk menjawabnya. Aku terus melangkah maju tanpa menoleh.
── Dari sudut pandang Ichijou Ai ──
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku makan ramen di sebuah restoran.
Tentu saja aku bukannya belum pernah makan ramen. Sejak meninggalkan rumah ayahku dan mulai hidup sendiri, aku sempat mencoba beberapa makanan instan yang menarik perhatianku.
Mie instan dan cup ramen itu enak. Tapi aku cepat bosan, dan akhirnya kembali ke pola makan seimbang yang sudah diajarkan sejak dulu. Lagipula, aku cukup suka memasak, dan membuat makan malam sambil belajar dari pembantu rumah juga menyenangkan.
Tapi, aku selalu ingin mencoba makan ramen di restoran ramen suatu hari nanti. Hanya saja, cukup sulit bagi seorang gadis untuk pergi sendirian ke tempat seperti itu.
Karena itulah, aku benar-benar senang saat tahu Senpai mengingat ucapanku yang hanya sekilas waktu itu. Terutama saat akhir pekan, ketika pembantu rumah juga libur, jadi aku bisa menghindari makan malam yang sepi. Aku sangat berterima kasih untuk itu.
Hal kecil yang kubicarakan ternyata diingat dengan baik dan dia pun mengajakku. Tak ada gadis yang tak merasa bahagia saat diperlakukan dengan begitu lembut oleh orang yang dia suka.
Meskipun kami hanya makan malam dan langsung berpisah, itu adalah waktu yang menyenangkan. Itu saja sudah cukup untuk mengusir perasaan murung setelah membaca laporan sebelumnya.
"Benar juga. Aku kehabisan teh."
Aku baru menyadari kalau teh yang biasa kuminum saat belajar sudah habis.
Tanpa teh itu, efisiensi belajarku akan menurun. Jadi aku memutuskan untuk pergi ke supermarket terdekat, dan keluar dari pintu masuk apartemen.
Mungkin Senpai masih ada di sekitar sini. Padahal kami baru saja berpisah, tapi aku sudah mencarinya lagi.
Ini sudah parah. Tapi meski parah, hatiku terus berdebar saat aku mencari dirinya.
Beberapa langkah dari sana, aku melihat punggung Senpai. Mungkin dia bisa menemaniku belanja ke supermarket. Meskipun mungkin merepotkan, aku merasa ingin memberanikan diri untuk mengajaknya.
"Eiji-sen—"
Tepat saat aku hendak memanggilnya, aku melihat sosok lain.
Itu Amada Miyuki.
"Kenapa dia di sini...?"
Apa dia menunggu? Atau... menguntit?
Perasaan senangku langsung sirna seketika.
Belum. Ini belum waktunya. Aku tidak bisa membiarkan Amada-san mendekati Eiji Senpai, yang baru mulai bisa tersenyum lagi setelah disakiti.
Dia baru saja dikhianati oleh teman masa kecilnya selama sepuluh tahun. Meski terlihat tidak terlalu memikirkannya, waktu sesingkat ini...
Lagipula, dari pembicaraan mereka tadi, jelas kalau Amada-san masih belum bisa melupakan Senpai. Ada kemungkinan dia akan memanfaatkan kebaikan hati Senpai dan memohon untuk balikan...
Dan aku pun menyadari apa yang sebenarnya membuatku panik.
Aku sadar ada kemungkinan dia akan diambil oleh orang lain, bukan aku. Ketakutan bahwa pria bernama Aono Eiji tidak akan memilihku membuat hatiku kacau. Padahal kami belum sampai pada tahap bisa merasa saling memiliki.
Karena itulah, meski aku tahu ini salah, aku tetap bersembunyi di balik bayangan—cukup dekat untuk mendengar percakapan mereka.
"Ti-tidak. Bukan begitu. Aku cuma ingin, meski sedikit saja, bisa kembali seperti dulu…"
"Apa yang kau bicarakan?"
"Maaf... Aku tahu aku sudah melakukan hal yang terburuk. Tapi tetap saja, aku ingin menyampaikan perasaanku…"
Kata-kata pertama yang kudengar adalah pembelaan dari Amada-san. Aku langsung merasa marah. Apa yang membuat dia merasa pantas mengatakan itu? Dia tak punya hak!
Menanggapi itu, Senpai terlihat sedikit membeku, lalu menjawab tanpa ekspresi.
"Kupikir aku akan lebih marah, sih. Tapi mungkin... lawan dari cinta itu bukan benci, tapi ketidakpedulian."
"Apa yang kau bicarakan, Eiji? Kalau kau memaafkanku, aku akan melakukan apa pun…"
Lawan dari cinta adalah ketidakpedulian—tidak ada orang yang tidak akan merasa hancur saat mendengarnya dari orang yang mereka cintai. Kata-kata penolakan yang begitu kejam. Dan Amada-san bahkan salah memilih kata untuk membalasnya.
Senpai yang selalu lembut, jelas menunjukkan kekecewaan. Tentu saja. Bukan itu yang dia cari.
Nada suaranya bahkan mulai mengandung rasa jijik, seperti ada penolakan mendalam yang tak bisa disembunyikan.
"Bukan begitu. Aku cuma... tidak ingin kenangan ini dikotori lagi. Kupikir... lebih baik kita tidak berhubungan lagi mulai sekarang. Itu yang terbaik untuk kita berdua. Aku tidak ingin membenci Miyuki lebih dari ini."
Dia benar-benar orang yang baik. Meski sudah disakiti begitu dalam, dia tetap tidak ingin menghapus kenangan bersama.
Kalau aku yang ada di posisinya, mungkin aku sudah mengutuk mantan kekasihku. Tapi dia menahan dirinya dengan sekuat tenaga. Itu menunjukkan betapa berharganya perempuan itu baginya dulu.
Lalu, akhirnya dia menyatakan penolakannya secara tegas. Lelaki yang begitu baik hati itu pun tak ragu untuk menyakiti orang lain. Itu menunjukkan betapa dalam kekecewaannya pada Miyuki.
"Aku sudah menyukai orang lain sekarang."
Begitu mendengarnya, jantungku langsung berdebar kencang. Mungkin aku terlalu percaya diri. Tapi... kalau orang itu adalah aku, betapa bahagianya aku.
"Apa itu... Ichijou-san?"
Amada-san mengulang "tidak" berkali-kali, lalu tiba-tiba menyebut namaku. Mungkin aku akan mendengar sesuatu yang tak seharusnya.
Senpai, yang hendak pergi, tidak menoleh dan menjawab,
"Aku rasa, itu bukan hal yang pantas disampaikan ke Miyuki sebelum kukatakan ke orangnya langsung. Jadi, aku tidak akan menjawab."
Dia pun meninggalkan tempat itu begitu saja, meninggalkan Amada-san yang menangis terpuruk.
※
Setelah benar-benar berpisah dari Miyuki, aku melangkah maju. Ternyata, hatiku tak terluka sedalam yang kukira. Tentu saja tidak bisa dibilang tidak sakit sama sekali, tapi jauh lebih ringan dari yang kuperkirakan.
Yah, kami sudah menjalin hubungan selama lebih dari sepuluh tahun. Banyak kenangan yang kami lalui bersama. Tapi itu semua kini hanya tinggal kenangan—hal-hal dari masa lalu.
Lewat kejadian ini, aku menyadari bahwa aku menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada apa yang hilang.
Seorang adik kelas seperti malaikat, yang menolongku tanpa peduli pada kerugian yang mungkin dia terima.
Seorang sahabat yang menunjukkan ketulusan demi diriku.
Ibu dan kakakku, yang mencintaiku apa pun keadaanku.
Paman Minami yang meneruskan semangat ayah.
Dan para guru yang menyisihkan waktu di tengah kesibukan mereka, bergerak dengan bijaksana agar aku tidak dirugikan.
Meskipun aku kehilangan seseorang yang pernah sangat berarti seperti Miyuki, mungkin karena masih ada begitu banyak hal berharga yang tersisa, aku tidak merasakan kehampaan.
"Aku harus bisa bahagia, demi orang-orang yang sudah mendukungku."
Dengan tekad itu, aku melanjutkan perjalanan pulang—sampai aku merasa ada yang memanggil namaku dari belakang.
"Senpai!"
Saat menoleh, aku melihat Ichijou-san berdiri di sana dengan senyum di wajahnya, padahal kami baru saja berpisah tadi.
"Ada apa?"
Rasanya seperti sedang bermimpi. Orang yang paling ingin kutemui saat ini, berdiri tepat di hadapanku.
"Sebenarnya, aku lupa beli teh. Jadi aku ke supermarket dekat sini, lalu melihat Senpai, jadi aku panggil deh."
Dia terlihat agak malu-malu. Wajahnya sedikit memerah.
"Begitu ya. Tapi ini sudah malam lho, bahaya kalau jalan sendirian. Ayo, aku temani."
"Makasih ya. Jadi merepotkan, apa tidak apa-apa?"
"Ah, tidak apa-apa. Aku memang lagi ingin sedikit lebih lama bersamamu hari ini."
Aku baru sadar ucapanku terlalu jujur. Aku terlalu menunjukkan perasaanku.
Dia tersenyum malu.
"Makasih. Senpai benar-benar baik, ya."
"Yah, kau kan perempuan. Lagipula... ah, bukan apa-apa."
Ichijou-san itu jelas-jelas cantik, siapa pun yang melihat pasti berpikir begitu. Jadi wajar kalau aku khawatir. Tapi tetap saja, aku tak bisa mengatakannya sejelas itu.
"Fufu, Senpai khawatir padaku? Makasih ya. Kalau begitu, hari ini aku akan sedikit manja, ah."
Ichijou-san yang tertawa polos itu terlihat jauh lebih memikat dari biasanya.
"Aku senang banget."
"Hmm? Senang kenapa?"
"Soalnya, aku senang kau bisa manja padaku seperti itu. Soalnya di sekolah, Ichijou-san lebih sering jadi tempat orang bergantung, bukan sebaliknya."
Melihat sisi dirimu yang berbeda dari biasanya itu sangat menyenangkan.
Rasanya seperti... kita punya hubungan yang lebih spesial.
"Aku hanya begini pada satu orang saja, lho. Soalnya, kamu itu... spesial."
Cara bicaranya mengandung sedikit godaan. Aku pun menjawab dengan senyum lebih lebar dari biasanya.
"Kalau begitu aku senang banget. Berarti aku sudah jadi orang spesial, ya. Dan kau cukup mempercayaiku sampai bisa manja seperti itu."
Aku menjawab dengan nada sedikit bercanda, lalu dia tiba-tiba mukanya memerah, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Jadi, Ichijou-san juga bisa punya ekspresi seperti ini, ya.
"Senpai itu... selalu menjawab dengan tulus begitu. Dasar bodoh."
Melihat dia memanggilku bodoh dengan cara yang begitu menggemaskan, aku sadar kalau aku benar-benar bahagia.
"Kalau begitu, ayo kita jalan."
"Iya. Mohon bantuannya."
Kami mulai melangkah, seakan-akan meninggalkan masa lalu. Kali ini, dia yang menggenggam tanganku lebih dulu.
── Sudut Pandang Ichijou Ai──
Kami mulai berjalan.
Kami berdua sama-sama paham bahwa langkah ini adalah lambang dari perpisahan.
Sudah berkali-kali aku menerima kata-kata yang terdengar seperti pengakuan cinta, walau dia sendiri tak sadar. Dia selalu menatap mataku dengan dalam, dan memberiku kata-kata yang jujur tanpa kepalsuan.
Selama ini, laki-laki yang pernah menyatakan cinta padaku tidak pernah benar-benar menggambarkan diriku dengan kata-kata mereka sendiri. Mereka hanya mengulang apa yang dikatakan orang lain—bahwa aku cantik, bahwa aku populer. Tidak ada yang benar-benar mengenalku.
Karena itulah, aku sempat berpikir untuk hidup sendiri selamanya.
Karena itu juga, aku tidak pernah menyangka akan ada seseorang yang benar-benar berjalan di sisiku, memandang dunia dari tempat yang sama denganku.
Tadi pun begitu. Dia menyadari saat aku ingin sedikit dimanja, lalu memeluk sisi itu dengan hangat.
Sebenarnya, aku tidak pantas berada di samping seseorang yang sebaik dan selembut dia. Semua ini hanya hasil dari kebetulan-kebetulan yang menumpuk…
Tapi, sama seperti dia telah memberiku kebahagiaan, aku juga ingin membuatnya bahagia.
"Agar dia merasa bahwa memilihku adalah keputusan yang tepat…"
※
Aku pulang ke rumah dan membuka situs web novel tempat aku mendaftar dulu. Situs besar yang dulu menarik perhatianku, tapi hanya ku daftar tanpa pernah benar-benar memakainya.
Ucapan Ichijou-san kemarin terlintas di benakku. Aku tidak tahu apakah aku punya bakat atau tidak, tapi sekarang setelah kehilangan tempat bernama klub sastra, di sinilah satu-satunya tempat di mana aku masih bisa berkarya.
Selama ini aku terlalu terpukul dan tak sanggup menulis apa pun, tapi berkat dia, aku mulai sedikit demi sedikit mendapatkan kembali semangatku. Aku menyalin data naskah yang dulu kutulis untuk buletin klub, lalu menempelkannya ke formulir unggahan.
Setelah mengisi informasi yang diperlukan, aku akhirnya menekan tombol unggah—tombol yang selama ini tak berani kusentuh. Biasanya, saat sampai di titik ini aku sudah dikuasai rasa cemas. Menampilkan novelku pada publik rasanya menegangkan.
Kalau dibilang aku tidak tertarik pada novel online, itu bohong. Tapi butuh keberanian besar untuk mempublikasikannya di situs yang bisa diakses siapa saja, dan selama ini aku tak bisa melangkah sejauh itu.
Sambil setengah takut dibanjiri kritik pedas, aku akhirnya menekan tombol itu—dan ternyata tak seseram bayanganku.
"Yah, seenggaknya nggak bakal dimaki-maki kayak di sekolah dulu."
Aku merasa diriku sudah jadi sedikit lebih kuat. Pengalaman itu, anehnya, memberiku keberanian dalam hal ini.
Tanpa alasan jelas aku terus menekan tombol pembaruan. Beberapa menit kemudian, jumlah pembaca sedikit bertambah.
"Wah, sudah sepuluh orang yang baca…"
Belum ada komentar, tapi hanya tahu ada orang yang membaca saja sudah membuatku merasa bahagia. Saat itu, terdengar suara ketukan di pintu kamarku.
"Eiji, boleh ibu masuk sebentar?"
Suara ibu terdengar dari balik pintu.
"Iya, pintunya nggak dikunci kok."
Begitu aku menjawab, ibu masuk dengan senyum lebih lembut dari biasanya.
"Sebenarnya, kemarin ibu pergi ke kantor polisi bareng Takayanagi-sensei."
"Eh? Ke polisi?"
Aku sedikit terkejut. Tapi begitu disebutkan "bareng guru", aku langsung paham arah pembicaraannya.
"Iya, soal kejadian waktu kamu dipukul. Ternyata ada seseorang yang merekam kejadian itu dalam video, dan gurumu yang menemukannya. Jadi kami pergi untuk memverifikasinya. Maaf ya, ibu nggak sadar waktu itu. Pasti sakit, ya…"
Benar saja. Ibu lalu memelukku dengan lembut. Aku sadar bahwa bukan hanya Ichijou-san, aku juga punya keluarga yang memahami dan mendukungku.
Banyak orang yang mengerti diriku. Aku tidak sendirian lagi. Andai saja sebelum pergi ke atap waktu itu aku sempat bicara dengan seseorang, mungkin semuanya bisa berbeda. Kalau aku tidak bertemu dengannya hari itu, aku pasti sudah menyakiti banyak orang. Aku benar-benar bodoh.
"Sudah nggak apa-apa, kok. Soalnya, semuanya ada buat aku."
"Iya. Kita memang dikelilingi oleh orang-orang baik. Ayahmu di surga juga pasti sedang menjaga kita. Tadi ibu sudah resmi lapor polisi. Pelakunya itu, anak kelas tiga bernama Kond."
Mendengar itu, perasaanku campur aduk antara lega dan khawatir.
"Begitu, ya…"
Kalau rekaman itu ada di tangan polisi, Kondo pasti tak bisa mengelak. Dia akan benar-benar hancur. Meski aku sempat takut akan dibalas dendam, aku mencoba menenangkan diri dengan meyakinkan bahwa aku tidak sendirian.
"Dan, luar biasa sekali, Eiji. Katanya kamu dan Ai-chan kemarin menolong pria yang pingsan, ya? Polisi yang cerita ke ibu. Ibu sampai kaget. Kamu hebat sekali. Ibu bangga padamu."
Mendengar itu, emosiku seketika meledak. Aku ingin menangis seperti bayi.
"Kenapa bisa…"
Entah bagaimana, ibu tahu semua ini. Meski aku tak mengatakannya, ibu langsung mengerti.
"Orang dari kepolisian yang menyadarinya. Katanya, anak laki-laki yang dipukul itu sepertinya sama dengan anak yang menolong orang kemarin. Tim pemadam juga bilang mereka akan memberi penghargaan untuk kamu dan Ai-chan. Katanya, besok petugasnya akan datang ke sekolah."
"Orang yang pingsan itu… gimana keadaannya?"
Aku tanpa sadar bicara seperti anak kecil.
"Sudah membaik kok. Katanya karena kalian cepat bertindak, nyawanya tertolong. Dia ingin sekali mengucapkan terima kasih, katanya…"
"Syukurlah…"
Itu hal yang terus membebani pikiranku. Aku sudah beberapa kali mencari berita atau info di media sosial, tapi tak menemukan apa-apa.
"Kalian berdua benar-benar luar biasa. Ayahmu pasti bangga. Ibu akan melindungimu, menggantikan ayah."
"Iya…"
Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti sedikit lebih dekat dengan sosok ayah yang selama ini hanya bisa kukagumi. Hatiku terasa hangat.
Dibungkus oleh perasaan aman yang luar biasa, aku bersandar seperti anak kecil yang manja.
※
Keesokan harinya.
Begitu kabar ini menyebar, suasana di sekolah berubah total. Selama satu minggu penuh setelahnya, posisi berbalik. Kini giliran dia yang terdesak.
Saat itu aku benar-benar sadar—sejak hari itu, Kondo telah memulai langkah menuju kehancurannya.
54 comments
Tak jarang juga aku bertemu orang seperti ini mau di RL ataupun di medsos
btw banyak banget yang benci miyuki, gapapa gw juga aowkaokw
bete gw jing
MWAAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAAA, MAMPUS LONTE
Memang bodoh itu si Miyuki. Hubungan 10 tahun bisa rusak begitu aja. Dia sudah meninggalkan luka yang sangat mendalam
Tapi yaa ini Opini aja sih
Dia juga melakukan ini demi Miyuki. Jangan sampai dia semakin benci Miyuki, karena walau sedikit Masih ada memori yang baik.
Mungkin waktu yang akan menyembuhkan, untuk Eiji bisa memaafkan si Miyuki
Oh dan buat Miyuki:🖕