NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Watashi, Nibanme no Kanojo de Ii kara V1 Prolog

Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Prolog - Kirishima dan Hayasaka


Sepulang jam sekolah, kami pulang dengan mengambil jalan memutar agar tidak terlihat berdua.

Kami berjalan di sepanjang jalur rel yang sepi, di sebuah jalan sempit yang diapit oleh pagar kawat dan dinding blok di kiri dan kanan.


"Panas, ya," ucapnya, yang berjalan di sebelahku.


Seragam musim panas yang segar, rambutnya dipotong rapi, dan senyumnya yang malu-malu tampak agak kekanak-kanakan.


"Aku jadi haus," katanya setelah meneguk soda yang baru saja dibelinya dari mesin penjual otomatis.


"Kamu mau minum juga?"


"Boleh?"


"Ya."


Dia menyerahkan botol plastik itu dengan santai. Di dalam tas ku sebenarnya ada termos berisi teh, tapi di bawah langit biru ini, aku juga merasa ingin minum soda dingin.


Tapi, apakah ini benar-benar tidak apa-apa?


Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan bibir segar Hayasaka-san, yang baru saja minum soda. Jika aku minum seperti ini, itu pasti... ciuman tidak langsung.


Namun, Hayasaka-san hanya tersenyum dengan wajah yang sama sekali tidak memikirkan hal semacam itu, menampilkan citra gadis yang polos.


Jika aku ragu-ragu sekarang, itu akan terlihat seperti aku terlalu menyadarinya.


Dengan ekspresi tenang, aku menempelkan bibirku dan meminum soda itu.


"Ciuman tidak langsung, ya," katanya, membuatku tersedak.


"...Hayasaka-san, kamu pasti sedang menggodaku, kan?"


"Eh-he-he," katanya sambil mengacungkan tanda damai. Namun, wajahnya sedikit tertahan, dan pipinya juga memerah.


"Jangan malu setelah melakukannya sendiri."


"A-aku tidak malu kok."


Sambil berkata begitu, Hayasaka-san terlihat jelas malu, lalu dia mencoba mengalihkan pembicaraan.


“Selama istirahat siang tadi, kamu terlihat sangat serius berbicara dengan temanmu.”



“Dia kayaknya sedang naksir seseorang.”


“Eh!? Kirishima-kun sampai diberi saran soal cinta oleh teman-temannya!?”


“Enggak cocok, ya? Aku kan orangnya biasa aja, pakai kacamata lagi.”


“Tapi aku suka penampilanmu, Kirishima-kun. Kamu kelihatan seperti tipe yang hanya bisa belajar, karaktermu terasa sempurna.”


“Itu sama sekali bukan pujian, tahu.”


“Lalu gimana? Apa nasihat yang kamu berikan ke temanmu itu?”


“Aku jelaskan soal mere exposure effect (efek paparan sederhana).”


Saat aku mengatakan itu, mata Hayasaka-san yang awalnya bersinar tiba-tiba berubah menjadi wajah yang sedikit aneh.


“Uh, ya, entahlah. Itu benar-benar seperti kamu, Kirishima-kun.”


“Itu jelas bukan pujian, kan?”


Efek paparan sederhana adalah fenomena psikologis yang berarti “orang cenderung menyukai hal-hal yang sering mereka lihat atau dengar.” Seperti ketika kita membeli sesuatu karena sering melihatnya di iklan, atau lebih menyukai orang yang dekat daripada yang jauh, ini juga bisa dijelaskan dengan efek ini.


“Aku bilang ke temanku kalau orang cenderung menyukai apa yang mereka kenal. Jadi aku sarankan dia untuk sering bertemu dengan gadis yang dia sukai setiap hari. Bisa dengan menyapa, meminjamkan barang, apa pun.”


“Jadi itu namanya efek paparan sederhana, ya.”


Sambil mengangguk seolah mengerti, Hayasaka-san menunjukkan senyum nakal.


“...Kalau begitu, kita coba saja, yuk.”


Dia menyentuh punggung tanganku dengan pelan.


“Ayo kita bergandengan tangan.”


“Eh, tunggu. Yang dimaksud dengan ‘kontak’ itu lebih ke hal-hal seperti melihat atau mendengar, bukan...”


“Tapi kalau kontak langsung, mungkin efeknya akan lebih besar. Atau lebih tepatnya, pasti begitu.”


Tas yang tergantung di bahunya entah bagaimana telah berpindah ke sisi bahu yang berlawanan denganku.

Dengan jarak yang begitu dekat, aku tidak bisa menahan rasa gugup.


Kalau kontak langsung, mungkin efeknya lebih besar.


Hayasaka-san jelas hanya bicara asal, tapi mungkin itu benar.

Bahkan jika seorang gadis yang tidak aku sadari tiba-tiba menyentuh bahuku, aku pasti akan merasa terkejut. 

Dan kalau di rumah hantu, misalnya, dia memelukku karena ketakutan, aku yakin bisa jadi aku mulai menyukainya.


Mungkin ini adalah mekanisme hati yang tidak bisa dikendalikan dengan pikiran.


Tindakan menyentuh memang punya kekuatan khusus.

Apa yang akan terjadi jika aku benar-benar bergandengan tangan dengan Hayasaka-san sekarang?


Aku mungkin akan lebih cepat menyukainya daripada yang aku pikirkan, dan mungkin Hayasaka-san juga akan mulai menyukaiku lebih dari yang dia kira.


“Kirishima-kun,”


Hayasaka-san kembali menyentuh punggung tanganku dengan pelan.


Semakin mendekat, dada Hayasaka-san hampir menyentuh lenganku. Wajahnya terlihat polos, tapi tubuhnya sudah terlihat dewasa.

Aku tiba-tiba merasa malu dan memalingkan wajah.


"Gandengan tangan itu terlalu jauh. Tidak cocok untuk pembuktian efek psikologis, atau—"


"Kebiasaan burukmu, Kirishima-kun, selalu menggunakan logika untuk menghindar," kata Hayasaka-san sambil mencoba menggenggam tanganku.


Aku buru-buru menyembunyikan tangan ke dalam saku celana.


"Kalau gitu, aku bakal peluk lengannya aja deh," katanya sambil pura-pura ingin memeluk lenganku, membuatku langsung lari ke pinggir jalan.


Walaupun kami sekarang berjalan agak berjauhan, gara-gara dia bilang mau melingkarkan lengannya, aku jadi tidak bisa berhenti memperhatikan kemeja putihnya, terutama di bagian dadanya.


"Eh-hehe, aku tahu kenapa kamu malu, Kirishima-kun," katanya sambil tersenyum nakal.


"Benarkah?"


"Kalau kita semakin banyak bersentuhan, kita bisa jadi lebih akrab, tahu?"


Hayasaka-san menatapku dengan ekspresi nakal dan makin bersemangat ingin mendekat.

Kami seperti bermain kejar-kejaran di gang sempit.


Walaupun wajah dan tindakannya seperti anak kecil, tangan dan kaki Hayasaka-san yang terlihat dari seragamnya mengingatkan bahwa dia sudah remaja, dengan kulit halus dan pipi yang memerah karena terengah-engah, membuatnya terlihat anehnya memikat.


Aku belum siap untuk bersentuhan dengan kulit Hayasaka-san, jadi aku terus lari. Hayasaka-san, yang tidak terlalu lincah, hampir tersandung kakinya sendiri.


"Kalau begitu, aku akan menghalangi jalanmu," katanya sambil berdiri di depan, membentangkan tubuhnya untuk menghadangku.


Aku berpura-pura tidak peduli dan mencoba berjalan cepat melewatinya.


"Kamu keras kepala, ya, Kirishima-kun!"


Hayasaka-san tiba-tiba menabrakku dengan tubuhnya, dan aku mendorong balik dengan bahuku. Kami saling mendorong, berusaha saling mengalahkan.


"Berhenti, kita belum siap untuk ini!"


"Ayo, kita lanjut lebih jauh sekarang," jawabnya.


"Tunggu sebentar, pembicaraan kita melenceng. Bukannya kita tadi ngomongin efek paparan sederhana?"


"Itu apa, ya?"


Wah, benar-benar tanpa rasa bersalah! Tapi—


"Hayasaka-san juga belum pernah bersentuhan dengan cowok, kan? Sebenarnya kamu juga pasti malu. Jangan berpura-pura seolah kamu sudah terbiasa!"


Tepat sasaran! Mata Hayasaka-san mulai melirik ke sana kemari, bingung.


"A-a-apa maksudmu, Kirishima-kun!?"


"Kamu pura-pura sok berani padahal sebenarnya malu—"


"Itu gara-gara Kirishima-kun sendiri!"


Mungkin karena sudah kepepet, Hayasaka-san menggerutu sambil memasang wajah cemberut.


"Soalnya, kamu sama sekali nggak mau gandengan tangan sama aku!"


Jadi itulah alasan kenapa dia akhir-akhir ini sering bersikap agak keras. Ternyata dia memikirkan hal itu.


Makhluk ini benar-benar lucu, pikirku, tapi meskipun begitu aku tetap mendorong bahu Hayasaka-san yang kembali mencoba mendekat.


"Tapi jangan maksa! Lihat, mukamu sudah merah banget!"


"Aku nggak maksa kok, ini cuma karena aku sudah demam sejak tadi pagi!"


"Kalaupun begitu!"


Aku masih merasa malu.



Keesokan paginya di kelas, aku memperhatikan Hayasaka-san. Begitu dia tiba di sekolah, dia langsung membuka buku pelajaran dan mulai mempersiapkan diri untuk pelajaran berikutnya. Sambil menulis di buku catatannya, dia juga menyapa teman-temannya yang datang dengan semangat, "Selamat pagi!"


Dia memang biasanya ceria, tapi hari ini dia tampak lebih bersemangat dari biasanya. Sepertinya dia sedang berusaha keras menyembunyikan sesuatu.


"Pagi, Hayasaka!"


Seorang cowok dari kelas sebelah, yang tampak sedikit nakal, masuk ke dalam kelas dan menyapanya.


"Nanti malam, aku sama temen-temen sewa studio buat latihan band. Mau ikut nonton?"


Hayasaka-san tersenyum sopan dan menjawab, "Maaf, aku nggak bisa malam-malam. Ada jam malam di rumah..."


"Ah, oke. Lain kali aja ya!"


Dengan kecewa, cowok itu pergi.


Melihat itu, beberapa cowok di kelas mulai mengobrol.


"Hayasaka-san emang selalu jaga jarak, ya."


"Kalian nggak ngerti, justru itu yang bikin dia menarik. Dia kelihatan serius dan polos, kayak cewek yang benar-benar dijaga baik-baik di rumahnya."


"Berdasarkan penyelidikan pribadiku, katanya satu-satunya cowok yang ada di kontak HP-nya itu ayahnya."


Obrolan mereka berlangsung tepat di belakang tempat dudukku, tapi aku nggak ikut campur dan mereka juga nggak nanya pendapatku tentang Hayasaka-san.


"Sekalipun bisa pacaran sama dia, kayaknya bakal ribet deh, dia kan pemalu banget."


"Kalian bener-bener nggak ngerti. Justru yang bikin gemes itu kalo dia bilang, 'Gandengan tangan aja malu, nih.' Itu sih yang paling seru!"


"Penyelidikanku juga nemuin, dia udah dapet banyak banget pengakuan cinta, tapi nggak pernah jadian sama siapa pun. Jadi, reaksinya bakal benar-benar polos."


Obrolan mereka cukup keras, sampai Hayasaka-san yang lagi lihat buku pelajaran jadi malu dan menunduk.


"Hei, cowok-cowok, jangan bikin Hayasaka Akane malu dengan imajinasi konyol kalian!"


Seorang cewek di dekat mereka menyela. Akane adalah nama kecil Hayasaka-san.


"Dia itu nggak kebal sama omongan kayak gitu!"


Tak lama kemudian, bel berbunyi, dan semua orang kembali ke tempat duduk masing-masing. Para cowok masih ngeliatin Hayasaka-san dengan pandangan kecewa, sementara para cewek tampak siap melindunginya dari omongan mereka.


Di tengah keramaian itu, aku kebetulan bertatapan dengan Hayasaka-san. Dia buru-buru mengangkat buku pelajarannya untuk menutupi wajahnya, tapi perlahan menurunkan buku itu lagi dan melirik ke arahku dengan hati-hati. Wajahnya seolah berkata, "Jangan lihat aku terus, nanti ketahuan, lho."


Pipi Hayasaka-san sedikit memerah. Meski aku ingin menyapanya, aku hanya mengalihkan pandangan ke papan tulis dan bersiap untuk pelajaran.


Hubungan antara aku dan Hayasaka-san masih rahasia bagi semua orang.


Saat istirahat siang, situasinya tidak berubah. Aku duduk sendiri sambil makan bento, sementara Hayasaka-san sedang diajak bicara oleh cowok yang duduk di sebelahnya.


Mereka sedang membahas survei pilihan karier yang baru saja dijelaskan oleh guru.


"Hayasaka-san, kamu pilih jurusan apa? Sastra atau IPA?"


"Uhm..."


"Kayaknya kamu cocok masuk sastra deh, Hayasaka-san. Bisa bayangin kamu duduk di bangku kampus sambil baca novel, jadi cewek sastra gitu!"


Percakapan itu segera diikuti oleh teman-teman sekelas yang lain.


"Kalau menurutku, kamu cocok masuk jurusan Bahasa Inggris! Nanti jadi fasih, terus jadi penerjemah atau pramugari!"


"Eh, tapi kelihatannya jurusan Tata Boga juga cocok!"


Di tengah suasana riuh itu, Hayasaka-san dengan ragu menjawab,


"...Aku sebenarnya mau ambil IPA."


Semua orang langsung terdiam sejenak dengan wajah terkejut. Itu bukan citra yang mereka bayangkan tentang Hayasaka-san.


"Oh, gitu ya!"


Cowok yang pandai membaca situasi segera merespon.


"Berarti kamu mau jadi perawat, ya? Pasti cocok banget deh, jadi malaikat berbalut seragam putih, Hayasaka-san. Aku juga mau dirawat sama kamu!"


Ucapan itu membuat suasana kembali cair, dan semua orang tertawa. Hayasaka-san pun tersenyum lemah dan sekilas melirik ke arahku.


Aku merasa kasihan. Mereka memperlakukan Hayasaka-san seperti simbol atau ikon, hanya menyoroti sifat-sifat tertentu darinya, seolah dia hanya representasi dari kebaikan, kepolosan, dan keimutannya.


Memang benar, Hayasaka-san adalah gadis yang rajin dan baik hati. Saat di kelas, dia selalu serius mencatat. Kalau ada teman yang lupa catatan, dia dengan sukarela memberikan salinannya. Bahkan, meskipun bukan petugas hari itu, dia sering membantu guru membawa bahan pelajaran. Di kelas olahraga, meski sedikit canggung dan sering terbentur saat melompat, dia tetap berusaha keras.


Soal karier, dia sebenarnya ingin masuk jurusan kedokteran hewan karena dia sangat suka binatang, jadi itu tidak sepenuhnya di luar dugaan.


Semua orang menyukai Hayasaka-san, tapi kadang aku merasa mereka menyukainya seperti menyukai boneka yang lucu dan menggemaskan. Mereka tidak melihat Hayasaka-san sebagai seseorang dengan perasaan dan kerentanan yang nyata.


Itulah sebabnya, tidak ada yang menyadari bahwa hari ini Hayasaka-san terlihat berbeda dari biasanya. Aku khawatir, dan aku tidak bisa terus membiarkannya begitu saja. Jadi, aku berdiri dan berjalan ke arah mejanya.


"Eh, eh?"


Hayasaka-san terlihat terkejut karena aku belum pernah berbicara dengannya di kelas.


Namun, dengan gaya seolah aku hanya kebetulan lewat, aku berkata,


"Hayasaka-san, wajahmu kelihatan merah, deh."


Sekarang, semua orang mulai menyadari bahwa Hayasaka-san terlihat tidak enak badan sejak tadi pagi. Dia terlalu memaksakan diri, padahal kemarin dia sendiri yang mengatakan kalau dia merasa kurang sehat.


"Apakah kamu demam?"



Lima menit sebelum pelajaran kelima dimulai, aku keluar dari kelas. Dari jendela, aku melihat Hayasaka-san berjalan pulang lebih awal.


Aku mengejarnya di gerbang sekolah dan berhasil menyusulnya di tengah jalan. Dia tampak lemas, berjalan dengan langkah yang tak stabil.


"Kirishima-kun, kenapa kamu di sini?"


"Aku antar kamu pulang. Biar kubawa tasmu."


"…Maaf ya, jadi merepotkan."


"Kamu terlalu memaksakan diri, Hayasaka-san."


"…Iya, aku tahu. Tapi di depan semua orang, aku selalu berusaha tampil baik."


Dengan suara yang pelan, dia menambahkan, "Padahal sebenarnya aku tidak seperti yang mereka bayangkan. Aku jauh lebih nakal dari yang mereka kira."


Saat dia hampir jatuh, tanpa sadar aku menggenggam tangannya.


"Kirishima-kun?"


Hayasaka-san terkejut melihat tanganku yang menggenggam tangannya.


"…Ini, um, semacam eksperimen. Aku ingin mencoba efek dari mere exposure atau, ya, begitulah."


"Dan, apa hasilnya?"


"Aku tidak tahu. Badanku mulai panas. Rasanya seperti aku juga demam."


"Entahlah, tapi aku suka."


Sambil tetap memegang tanganku, Hayasaka-san bersandar padaku.


"Mungkin, ada efeknya."


Aku bisa merasakan berat tubuhnya dan panas tubuh yang menjalar melalui kontak ini. Hayasaka-san bukan sekadar ikon atau simbol. Dia nyata, hadir di sisiku.


"Kalau orang-orang tahu aku melakukan ini, pasti mereka akan terkejut…"


"Ini bakal jadi skandal besar."


Hayasaka-san sekarang menampakkan wajah yang manja, sesuatu yang tidak pernah dia tunjukkan di kelas.


"Sejujurnya, aku sudah lama ingin menyentuh Kirishima-kun," katanya, dengan wajah yang memerah.


Hayasaka-san terlihat senang saat semakin mendekat padaku. Dia meremas-remas tanganku dengan berbagai kekuatan, seolah menikmati setiap sensasi yang dirasakannya.


"Haruskah aku terus-terusan sakit?"


"Kenapa?"


"Karena Kirishima-kun jadi lebih lembut padaku."


Dia menempelkan wajah dan tubuhnya lebih erat padaku, bahkan lebih dari yang diperlukan.


"Kamu melakukannya dengan sengaja, kan?"


"Saat aku sudah pulih, kita bisa melakukan hal-hal yang lebih nakal, ya?"


"Seriusan, deh."


"Aku kan bukan anak baik-baik."


Dengan tubuh Hayasaka-san yang lemah karena demam, aku mengantarnya sampai rumah. Meski kondisinya terlihat buruk, dia tetap tersenyum puas sambil berkata "Ehehe."


Dari luar, kami mungkin tampak seperti pasangan yang aneh: seorang pria biasa yang entah bagaimana beruntung punya pacar yang imut. Memang, kami adalah pasangan, tapi ada rahasia yang tak bisa kami bagi dengan siapa pun.


Aku sebenarnya punya seseorang yang lebih kusukai. Hayasaka-san adalah pilihan kedua bagiku.


Dan Hayasaka-san juga punya seseorang yang lebih dia cintai. Aku hanya pilihan keduanya. Singkatnya─


Kami berdua berkencan, meski masing-masing sudah punya orang lain yang lebih kami cintai.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close