Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 3: Lingkar Cahaya yang Indah
“...Baiklah, tempat acaranya sudah siap. Para pengisi acara yang kita rekrut juga sudah siap tampil.”
Rokuyo-senpai mengumumkan sambil mengecek dokumen di ponselnya. Kami sedang berada di ruang kosong di dekat area parkir sekolah.
“Aku sudah kirim daftar lewat surel, tapi aku juga bakal menyapa semua grup dan cek persiapan mereka. Pastikan kalian semua ingat siapa-siapa aja yang ada.”
“Baiklah...”
“Siap!”
Suara setuju terdengar dari para sukarelawan staf panggung, dengan semangat yang berbeda-beda seperti biasa.
Aku juga menjawab, “Iyaa,” sambil mengecek surel lagi.
FLIXIONS (grup penari hip-hop)
OBORO Moonlit Night (band yang sudah mulai tampil di rumah panggung)
Battleship Potemkinz (duo komedian yang berambisi lolos ke babak penyisihan M-1)
Azuma Kirara (siswi yang viral di TikTok karena tariannya)
Keempat grup ini adalah kandidat yang berhasil direkrut—semua setuju untuk ikut tampil. Dari pandanganku, line-up ini cukup meyakinkan.
Mungkin Nito bakal lebih menonjol dari yang lain, tapi sekolah kita memang punya banyak siswa yang terlibat dalam aktivitas seni. Ada yang terlibat di musik, teater, manga, dan tari.
Selain itu, keempat grup ini sudah punya prestasi di bidang mereka masing-masing, sering jadi pembicaraan di sekolah. Karena itu aku tahu semua nama mereka, dan rasanya lega mereka berhasil mendapatkan talenta yang bagus.
Sepertinya ini adalah tim terbaik yang bisa kita dapatkan untuk panggung sukarelawan.
Ditambah lagi, ada lima grup lain yang terpilih dari audisi terbuka, jadi totalnya ada hampir sepuluh grup yang siap tampil.
“Baiklah, kita mulai dengan duo komedian, Battleship Potemkinz!” seru Rokuyo-senpai sambil mulai berjalan. “Biasanya mereka latihan di belakang gimnasium. Ayo kita lihat!”
₊ ✧ ₊
Kami tiba di area tempat Potemkinz latihan.
Setelah bertegur sapa, mereka langsung menunjukkan sandiwara yang secara mengejutkan, terinspirasi dari guru-guru di SMA Amanuma.
“Dalam sandiwara ini, Higashi, wakil kepala sekolah yang ketat soal aturan, berdebat sengit dengan Tamura, kepala kelas yang nggak tahan aturan kaku.”
“...Hei—tunggu, tunggu, tunggu! Tunggu sebentar!”
“Ada apa?”
“Lihat yang benar deh! Kamu nggak liat lampunya merah!? Kamu pikir boleh sembarang nyeberang?”
“Apa maksudmu? Lihat tuh! Ada anak kucing gemetaran di tengah jalan!”
“Terus kenapa!? Apa hubungannya sama kita!?”
“Kita harus nolongin!”
“Tapi lampunya merah! Kita nggak boleh nyeberang, ngerti!?”
“Pikirin lagi deh apa yang kamu omongin! Ini soal nyawa anak kucing!”
“Tapi ini aturan! Kita nggak boleh nyeberang kalau lampunya merah!”
“Ada apa sih sama kamu!? Kamu cuma robot penurut aturan!? Gimana kamu mau hidup di masyarakat!?”
...
...
...Komedinya lucu banget.
Para sukarelawan staf panggung ketawa ngakak.
Aku ngerti sih, ini lucu karena tahu konteksnya. Wakil kepala sekolah emang selalu ngotot soal aturan, sementara Tamura-sensei lebih suka siswa ambil keputusan sendiri.
Ini lelucon yang gampang dipahami, bikin kedua karakter ini saling debat.
Kalau nggak tahu dua orang ini, mungkin nggak bakal lucu, dan bakal sulit dipahami tanpa tahu gaya bicara mereka. Tapi... Ini cocok banget buat festival sekolah. Lelucon yang cuma siswa SMA Amanuma yang bakal ngerti dan ketawain.
Aku rasa ini pilihan yang cerdas, menunjukkan pemahaman yang baik soal konteks. Dan akting mereka terlalu bagus. Wakil kepala sekolah dan Tamura-sensei memang beneran ngomong kayak gitu...
“Terima kasih banyak! Senang banget kalian suka...”
Shima-san, yang berperan sebagai orang waras di Potemkinz, terlihat lega setelah sandiwara berakhir. Touyama-san, yang memainkan peran kocak, menyeka keringatnya dengan handuk dan menambahkan, “Kami bakal bikin sandiwara lain nanti! Mungkin tentang Chiyoda-sensei yang terlalu tajam versus Nanahara-sensei yang suka bohong!”
“Yup, ditunggu ya,” kata Rokuyo-senpai sambil mengangguk mantap.
“Nanti, bikin penonton semangat ya di hari-H.”
₊ ✧ ₊
“Oke, tolong saksikan aku menari!”
Kami ada di ruang dansa di gedung selatan sekolah.
“Agak malu, tapi... aku bakal lakukan yang terbaik!”
Dia adalah siswi kelas dua yang baru-baru ini viral di TikTok.
Gaya bicaranya mirip karakter anime.
Ah, jadi dia orangnya kayak gitu ya.
Sepertinya dia suka budaya otaku, dan rasanya aku punya banyak topik yang bisa dibicarakan dengannya. Ini menyegarkan, karena jarang banget ada cewek kayak dia di sini. Aku malah jadi pengen berteman dengannya.
Saat pikiran itu berkelebat di kepalaku, dia mulai memutar lagu di ponselnya. Lagu Vocaloid tentang cewek yang menyemangati cinta, dinyanyikan dengan suara imut.
Lalu, Azuma-senpai mulai menari.
“W-Wow…!”
Aku kagum melihat penampilannya.
Rok-rokannya melayang, gerakan lucu yang sesekali diarahkan ke kami, dan gigi kecil berujung putih yang mengintip dari sudut mulutnya saat dia tersenyum.
Ini memikat sekali.
Tariannya sangat memukau sampai aku nggak bisa berpaling sedetik pun!
Kekuatan destruktif yang tak terduga itu membuat para staf panggung sukarelawan jadi heboh.
“Ini... ini...”
“Lucu banget, pantas aja dia populer.”
“Bisa ngerti kenapa dia viral.”
Nggak nyangka aku nggak bisa berhenti lihat dia.
Rasanya... dia paham banget momen-momen saat dia terlihat paling imut. Dia sangat mahir menciptakan efek “kawaii” sampai terlihat tiada kesulitan.
Ini luar biasa. Aku bisa nonton ini selamanya...
Aku bakal senang kalau bisa ulang-ulang ini pas capek belajar buat ujian... Rasanya aku bisa jadi penggemar Azuma-senpai...
Saat aku tenggelam dalam pikiran itu—
“...Hah!?”
—Tiba-tiba aku merasa ada tatapan tajam dingin di sebelahku. Aku nggak salah lihat, ada aura menyeramkan yang nyata sedang mengarah padaku...
Aku melirik dengan gugup.
“...Aku bakal lapor ke Chika.”
Igarashi-san berdiri di sana, menatapku seperti sampah.
“Aku bakal bilang ke Chika kalau kamu ngiler ngeliat penampilan Senpai yang imut ini...”
“...Nggak! Jangan!”
Igarashi-san langsung mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik pesan di LINE. Aku panik mencoba menghentikannya dengan alasan seadanya.
“A-Aku beneran nggak antusias! Aku cuma, ya, cek penampilannya!”
₊ ✧ ₊
Lalu, kami lanjut melihat penampilan band OBORO Moonlit Night dan grup tari FLIXIONS.
Untuk ukuran anak SMA, kedua grup ini benar-benar keren. Dari pandangan amatir sepertiku, mereka nggak jauh beda dari profesional.
Bahkan, OBORO Moonlit Night sudah sering tampil di live house di sekitar Tokyo, dan FLIXIONS sudah tampil di beberapa kompetisi.
Keduanya juga sangat antusias untuk tampil.
“—Kita nggak sabar, kita lagi siapin lagu baru!”
“—Kita bakal bikin venue ini semarak!”
“—Ini permintaan dari kamu juga, Rokuyo-kun!”
“—Kita harus tampil habis-habisan!”
Terdengar semangat mereka.
Mereka jelas sudah punya hubungan saling percaya dengan Rokuyo-senpai.
“Wow, para pengisi acaranya luar biasa banget...”
Kami kembali ke ruang kelas khusus setelah semua staf lain pergi. Igarashi-san, Rokuyo-senpai, dan aku sedang berdiskusi.
“Aku sempat khawatir siapa aja yang bakal tampil, atau apa kita bisa meramaikan gedung komunitas, tapi sepertinya kita bakal oke.”
“Ya, kita sudah dapat tim yang bagus.” Rokuyo-senpai mengangguk sambil bekerja di laptopnya. “Kurasa kita sudah lakukan semua yang bisa dilakukan dari segi pengisi acara dan venue. Ada beberapa kesalahan di sana-sini, sih.”
“Kesalahan? Kesalahan gimana?”
“Ah, sebenarnya…” Rokuyo-senpai menjawab sambil mengacak-acak rambutnya. “Aku kepikiran banyak cara buat promosi, salah satunya bikin iklan lewat sistem siaran sekolah. Aku pikir seru juga kalau kita buat program radio pas jam makan siang menjelang Hekiten, terus pasang iklan buat panggung sukarelawan di sana.”
“Wah, itu ide yang keren banget!” seruku dengan semangat. “Pasti banyak siswa yang jadi tahu soal panggung sukarela. Kita harus coba!”
Amanuma High School memang punya klub penyiaran, tapi entah kenapa nggak ada siaran pas jam makan siang. Ide buat kerja sama bikin program radio waktu makan siang rasanya bisa efektif banget buat promosi. Tapi...
“...Wakil kepala sekolah bilang dia pengin makan siang dengan tenang,” kata Rokuyo-senpai, wajahnya tampak kesal. “Jadi dia melarang siaran waktu makan siang, dan kita nggak bisa jalanin program promosi itu.”
“Serius...?”
Wakil kepala sekolah... Higashi-sensei yang ditiru oleh duo komedian Battleship Potemkinz itu. Ya, memang terdengar kayak sesuatu yang bakal dia bilang sih, pengen makan siang yang tenang. Tapi bukankah agak berlebihan kalau membatasi kegiatan siswa cuma karena preferensi pribadi?
“Aku nggak bisa terima, jadi aku debat sama dia... dan akhirnya malah jadi ribut besar.”
“Eh, serius?”
“Aku kena semprot di ruang guru, dan karena kesal, aku balas bicara. Maaf ya, tapi sepertinya siaran jam makan siang nggak mungkin.”
“Oh, ya udah kalau gitu...”
“Jadi, pertama-tama kita harus mikirin cara lain buat promosi. Sekarang kita belum punya ide yang benar-benar menonjol untuk bikin kita terlihat lebih spesial.”
“Kalau gitu gimana kalau minta bantuan para penampilnya aja?” saran Igarashi-san sambil berpikir. “Mereka sendiri punya banyak pengaruh. Kalau mereka tahu masalahmu, Rokuyo-senpai, pasti mereka mau bantu!”
“Eh, ide yang bagus!” Aku langsung mengangguk setuju. “Mereka semua juga terkenal.”
Mereka cukup aktif di internet, dengan pengikut yang nggak sedikit. Kalau para penggemar mereka datang buat nonton, itu bakal jadi tambahan besar buat jumlah penonton kita.
Mereka juga sudah tampak punya hubungan baik dengan Rokuyo-senpai. Kalau dia bilang, “Sebenernya, masa depanku tergantung sama panggung ini,” pasti mereka bakal senang hati bantu.
Kayaknya ini layak dicoba, deh.
Tapi, “...Nggak, aku nggak bisa membebankan itu ke kalian,” Rokuyo-senpai berkata serius. “Sama seperti staf panggung, perlu menarik banyak penonton ini masalah pribadiku. Mereka sudah cukup baik mau tampil buat kita, nggak adil kalau aku minta lebih.”
...Ah, jadi begitu.
Rokuyo-senpai ternyata belum ngasih tahu staf yang lain kalau masa depannya bergantung pada suksesnya panggung sukarela ini. Jelas dia juga nggak berniat ngasih tahu para penampil. Dia pengin mencapai tujuannya tanpa meminta bantuan, dari awal sampai akhir.
“Hmm, kamu yakin?”
Igarashi-san tampak nggak yakin.
Aku juga mikir, kenapa nggak minta bantuan aja? Toh, nggak ada ruginya.
Lagian, kita belum punya ide promosi lain.
Tapi Rokuyo-senpai bisa cukup keras kepala soal hal-hal begini. Dan aku nggak bisa bilang kalau aku nggak ngerti keinginannya untuk nunjukin ke orang tuanya apa yang bisa dia lakukan sendiri.
“Ya sudah,” Rokuyo-senpai menutup diskusi itu. “Maaf kalau aku harus menolak ide itu, tapi aku pengen cari cara lain buat promosi. Aku harap kalian bisa terus bantu aku!”
“Kamu bisa mengandalkan kami!”
“Iya, kita bakal pikirkan lagi.”
“Dan ada satu hal lagi yang pengin aku lakuin bareng tim ini...”
Rokuyo-senpai menyeringai dan merendahkan suaranya.
“Kalian... bisa bantu aku besok?”
₊ ✧ ₊
“Aku pikir waktu kamu bilang ‘penyelidikan’...”
Hari berikutnya, kami berada di ruang kelas yang disiapkan khusus buat markas panitia festival budaya. Aku bergumam pada Rokuyo-senpai yang berdiri di depanku.
“Aku bayangin bakal ada yang lebih... rahasia gitu...”
“Nggak perlu sembunyi-sembunyi, kita nggak ngelakuin hal yang salah kok,” jawab Rokuyo-senpai percaya diri sambil berbalik menatapku. “Sebagai ketua panitia, wajar kan kalau aku ngecek perkembangan kerja wakilku, kan?”
Banyak orang sibuk menyiapkan ini itu di dalam kelas yang ramai itu. Festival kurang dari sebulan lagi. Rokuyo-senpai melangkah melewati para anggota panitia—yang sibuk memeriksa pameran kelas, mengurus permohonan penggunaan ruang kelas, dan mengecek perkembangan departemen masing-masing.
Dia langsung mendekati Nito dan bertanya—
“—Nito, gimana perkembangan panggung utama?”
“—Bisa tunjukkan videonya?”
Oke, aku pikir apa yang dibilang Rokuyo-senpai masuk akal. Sebagai orang utama yang bertanggung jawab atas Festival Hekiten, ngecek keadaan adalah hal yang wajar. Tapi aku bayangin ini bakal kayak kita menyusup buat mencari informasi, jadi ini cukup mengejutkan.
Dan Nito pun merespons, “Iya, aku baru mau laporin soal itu!” Dia membalikkan laptopnya ke arah kami. “Tiga penampilan ini udah dikonfirmasi!”
Penampilan dari grup marching band sekolah kita.
Drama oleh alumni klub teater.
Penampilan langsung dari NITO.
Barisan penampilannya cukup sederhana. Dibandingkan dengan daftar penampil kita yang lebih ramai, panggung utama kelihatan lebih simpel. Tapi...
“Wow, ya ampun...” Igarashi-san, yang berdiri di sebelahku, berseru. “Ini seperti yang aku duga...”
Benar sih, ini line-up standar yang kuat. Yang bisa kamu harapkan kalau sekolah sendiri yang ngatur buat bikin “panggung yang bagus”.
Pertama, marching band sekolah kita. Mereka langganan ikut lomba nasional, bahkan aku dengar mereka pernah diwawancarai di TV. Konser rutin mereka selalu sukses besar tiap tahun, sampai orang-orang harus berdiri di lorong konser. Kadang aku dengar latihan mereka dari ruang klub, dan keliatan jelas kalau tiap anggotanya berbakat.
“Oh iya, mereka bakal mainin yang kayak gini,” kata Nito sambil memutar sebuah lagu di laptopnya. Kedengarannya cukup mirip dengan... musik pop.
Aku kira mereka bakal mainin sesuatu yang lebih klasik, tapi di video itu aku bisa lihat ada drum set dan bass elektrik di antara para pemain.
Setelah mendengarkan sebentar, aku sadar mereka memainkan aransemen brass band dari lagu tema film yang terkenal.
“Ini juga...” Nito mengganti lagu, dan sekarang cover marching band dari lagu hits modern mulai terdengar. Kalau aransemennya biasa saja, mungkin bakal kedengaran garing. Tapi keahlian para musisinya dan aransemen yang cerdas bikin lagu ini jauh dari itu.
Ini... pasti bakal jadi favorit penonton.
Kalau musiknya terlalu formal, mungkin orang-orang bakal bosan. Tapi kalau mereka mainin lagu yang dikenal banyak orang dengan cara yang keren, pasti semua bakal seru.
“Terus, grup alumni dari klub drama ini tampil pertama kalinya di Hekiten, tapi mereka udah mulai kelihatan kayak grup teater profesional.”
“Uh-huh...” Rokuyo-senpai melihat layar dengan tangan bersilang. Itu adalah rekaman dari pertunjukan yang pernah mereka lakukan. Grup ini sebenarnya udah cukup terkenal di sekolah. Mereka mulai dari alumni biasa, tapi akhirnya terus perform karena drama orisinal mereka dulu sempat booming. Mereka suka mampir ke Amanuma High School, ninggalin selebaran dan tiket promo.
Dan kualitas penampilan mereka... dalam satu kata, mengagumkan.
Kamu bisa rasakan kekuatan akting mereka dari layar. Detail pada properti dan pencahayaan panggungnya bikin mereka nggak terlihat kayak grup alumni biasa.
“Dan terakhir, aku! Kalian kan udah lihat videonya?” Nito berkata sambil tersenyum tipis. “Awalnya aku mau jadi penampil pembuka, tapi dua grup yang lain bersikeras aku harus jadi penutup. Aku dengan rendah hati menerima.”
Penampilan dari NITO. Kita semua tahu betapa kuatnya daya tarik itu.
Seorang bintang yang sedang naik daun di dunia musik online, yang karyanya menyebar ke seluruh Jepang. Bahkan aku, yang nggak begitu sering dengerin musik, selalu terpesona sama suara dan lagu-lagunya.
“Oke, terima kasih infonya,” kata Rokuyo-senpai sambil tersenyum pada NITO. “Senang dengar semuanya lancar.”
“Ya, sejauh ini nggak ada masalah!” Nito mengangguk dengan senyum cerah. “Gimana di sisi kalian? Dengan panggung sukarela dan pindah venue segala, pasti nggak mudah, kan?”
“Iya, kita masih bisa ngatasin. Meski ada beberapa hal yang jadi ganjalan.”
“Aku nggak sabar lihat ide apa yang bakal kamu buat.”
Bagi orang luar, ini adalah percakapan biasa. Senior dan junior, ketua dan wakil ketua panitia, membicarakan pekerjaan. Nggak ada tanda kalau persaingan di antara mereka ini bakal menentukan masa depan seseorang.
Tapi aku mulai merasa cemas. Berdiri di belakang mereka, aku mulai merasa gelisah.
Aku tahu panggung utama bakal diisi penampil yang kuat. Aku juga tahu kalau menang nggak akan gampang.
Tapi nggak menyangka kalau mereka bakal setangguh ini. Ngeliat daftar penampil kita dan mereka bikin aku sadar betapa tinggi level panggung utama.
Dan aku nggak bisa nggak berpikir: kita nggak bakal menang kayak gini.
Kalau persiapan berjalan lancar, panggung sukarela nggak akan bisa ngalahin panggung utama.
Gimana caranya? Gimana caranya kita menarik lebih banyak orang dari mereka?
“...Kamu juga, Meguri. Semangat ya,” Nito berbisik padaku, melihat aku tampak tegang. “Aku tahu persiapannya pasti berat, tapi aku dukung kamu.”
“...Iya,” aku mengangguk, meski pikiranku masih kalut.
Nito selalu kelihatan tenang. Dengan mata yang penuh rasa ingin tahu dan senyuman kecil di bibirnya, rona peach tipis di pipinya, dan warna rambut yang berkilau. Dia tetap sama seperti biasanya.
Aku nggak bisa menahan senyum kecut yang muncul di wajahku.
Dengan keramaian yang riuh di sekitar kami, hanya dia satu-satunya yang tetap tenang. Keberaniannya untuk bisa sekalem itu, bahkan di antara orang-orang yang mungkin lebih tua darinya, benar-benar ciri khas Nito. Aku selalu kagum pada sikapnya yang seperti itu. Tapi, sebagai seseorang yang sangat bergantung pada panggung kita untuk menang, rasa percaya dirinya juga terasa agak mengintimidasi.
“...”
Lalu, perasaan nggak nyaman sedikit demi sedikit muncul.
Apa... itu? Rasanya seperti ada tembok yang terpasang, ketegangan di wajahnya yang biasanya nggak ada. Sebuah jarak di antara kami, yang mengurangi keintiman yang biasanya kami rasakan.
Apa ini cuma perasaanku saja? Apa cuma aku yang merasa terpisah dari Nito?
Sebelum aku bisa melihatnya lebih jelas—
“—Oke, kita pergi!” Rokuyo-senpai berkata sambil menepuk punggung kami. “Kita sudah paham situasinya! Saatnya kembali dan menyusun strategi untuk yang akan datang!”
“Y-Ya...!”
Nada tegasnya sedikit memberi kami energi baru. Aku dan Igarashi-san mengikuti langkahnya, mundur dari markas besar “musuh” ini.
₊ ✧ ₊
“Ah, sekarang apa yang harus kulakukan!?”
Kembali ke waktu saat ini, aku berada di ruang Klub Astronomi bersama Makoto.
Aku menatap buku catatanku sambil menggaruk-garuk kepala, mencoba memikirkan langkah berikutnya.
“Kalau dipikir-pikir dengan logis, kita hampir pasti kalah telak... Ini kayak ngelawan tim karakter SSR langka pake tim karakter R biasa.”
“Ah, iya, udah pasti kalah itu,” Makoto menjawab santai, rambut pirangnya bergoyang saat ia memegang ponsel dalam posisi horizontal, mungkin sedang main game atau nonton V-stream. “Kalau yang lawanmu SSR, satu aja udah cukup buat nge-wipe tim kamu. Kalau pakai karakter SR, mungkin masih ada harapan.”
“Iya, kan...”
Setelah penyelidikan terakhir, aku benar-benar kehabisan akal... jadi, entah gimana, aku balik ke masa depan untuk menyusun strategi sendiri.
Ya, bahkan penulis dan mangaka sering bilang kalau mereka mentok saat kerja di rumah, mereka bakal keluar sebentar. Kupikir ganti tempat—dan kali ini bahkan waktunya sekalian—bisa memunculkan ide-ide bagus.
Lagi pula, aku nggak mau buang waktu berharga di masa lalu; tiap detik yang kupakai untuk berpikir, otomatis bikin Festival Hekiten makin dekat di dunia itu.
Jadi, aku ada di sini, dua setengah tahun di masa depan, di mana aku bisa mikir sepuasnya tanpa takut kehilangan waktu. Aku minta bantuan Makoto buat nyusun Rencana Mengalahkan Panggung Utama! Reformasi Panggung Sukarela.
“Hah...”
Aku kembali menatap situasi yang sudah kutulis di buku catatan, mencoba mencari inspirasi.
TEMPAT
Panggung Utama: Gimnasium Pertama SMA Amanuma.
Panggung Sukarela: Gimnasium Pusat Komunitas.
→ Gimnasium pertama sedikit lebih besar, tetapi panggung sukarela akan memiliki lebih banyak penampil, kemungkinan besar akan menarik pengunjung yang berkeliling lebih sering. Ini bisa menjadi daya tarik tersendiri.
PENAMPIL
Panggung Utama: Brass Band SMA Amanuma, Grup Alumni Klub Drama SMA Amanuma, NITO.
Panggung Sukarela: Battleship Potemkinz (Drama Komedi), Azuma Kirara-senpai (Penari), OBORO Moonlit Night (Band), FLIXIONS (Grup Tari), Penampil sukarela lainnya (TBD).
→ Panggung sukarela memiliki penampil yang menarik, namun mungkin terlihat kurang unggul dalam hal skala, popularitas, dan kualitas.
PROMOSI
→ Panggung Utama ditampilkan dalam semua iklan Festival Hekiten, sementara panggung sukarela kurang terlihat. Kita perlu menciptakan lebih banyak kesempatan untuk terlihat.
“Hmm...”
Melihat ini, panggung utama mengungguli kami di dua area penting: “penampil” dan “promosi”.
Jadi, secara keseluruhan, kami hampir kalah total dari segi konten.
Untuk promosi, kami berencana meningkatkan upaya kami. Klub komputer sedang membuat situs portal untuk festival, dan ada rencana untuk menyiapkan sistem siaran. Kami memiliki penampil yang aktif di dunia maya, jadi kami akan meminta bantuan mereka sambil tetap menjaga situasi Rokuyo-senpai agar tidak diketahui orang lain.
Tapi... soal penampil.
“Bagian ini sulit...” Aku mengeluh sambil membenamkan kepala di tangan. “Aku nggak tahu harus gimana selanjutnya...”
Susunan penampil yang kami kumpulkan sebenarnya luar biasa. Kalau mereka tampil di panggung utama sekolah lain, pasti akan jadi hit besar. Aku sudah melihat semua penampilan mereka, dan mereka benar-benar hebat. Aku bangga bisa menampilkan orang-orang berbakat di panggung kami.
“Jadi, aku nggak pengen maksa mereka ubah apa pun...” gumamku, masih dengan kepala di tangan. “Aku nggak mau bilang kalau mereka ‘kalah’ dari penampil panggung utama...”
Itulah yang bikin rumit. Kenyataannya, aku benar-benar menyukai penampilan mereka. Tapi, membandingkan mereka dengan brass band, alumni klub drama, dan NITO, lalu bilang mereka “nggak cukup bagus” rasanya sangat salah. Aku ingin mereka tampil sesuai keinginan mereka dan mengalahkan panggung utama. Itu adalah—harapan terbesarku.
Namun, kenyataannya, penonton mungkin akan lebih terkesan dengan panggung utama. Dan tidak diragukan lagi, panggung utama akan lebih mudah menarik penonton.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan? Gimana caranya supaya kita bisa mengalahkan panggung utama?”
“Senpai,” tiba-tiba Makoto angkat bicara. “Masa SMA kita yang pertama...”
“Hm?”
“Kamu tahu, masa SMA kita yang pertama kali.”
Aku penasaran kenapa dia membawa topik yang sepertinya nggak ada hubungannya. Sesuatu yang jarang sekali kami bicarakan.
“Kita dulu sering habiskan waktu bersama di ruang klub, kan?”
“O-Oh, iya. Memang begitu.”
“Kita sering ke ruang klub dan nggak ngelakuin hal yang spesial. Nggak selalu ngobrol, cuma sibuk dengan kegiatan masing-masing.”
“Iya, aku ingat...”
Sulit untuk dipahami, tapi dia punya dua set kenangan. Set pertama adalah dari masa SMA kami yang pertama, yang dia anggap sebagai masa lalunya. Namun saat aku melakukan perjalanan waktu di hadapannya, tercipta set kenangan masa lalu yang berubah. Jadi, dia mengingat kedua kenangan: kehidupan SMA pertama dan jalur menuju masa kini yang sedang dialaminya.
Tentu saja, setiap kali aku mengubah tindakan di masa lalu, itu menimbulkan riak di masa depan, menciptakan kemungkinan-kemungkinan kehidupan SMA yang berbeda.
Namun Makoto hanya mengingat kehidupan SMA pertama dan jalur yang mengarah ke masa kini di mana Rokuyo-senpai kalah di festival budaya. Tidak semua kenangan dari masa lalu yang telah berkali-kali berubah diingatnya.
Dulu, aku sempat khawatir dia akan bingung atau kewalahan dengan kenangan yang bertumpang tindih dan mungkin jadi gila. Untungnya, dia menganggapnya sebagai “perasaan aneh” saja. Setidaknya untuk saat ini.
Jadi kini, di benak Makoto ada dua kenangan: kenangan masa SMA pertama dan kenangan jalur yang membawa ke masa sekarang, di mana Rokuyo-senpai kalah di festival budaya.
“Di masa lalu garis waktu ini, meski nggak banyak, tapi...” Makoto melanjutkan, menunduk. “Igarashi-senpai dan Rokuyo-senpai ada di sana, dan nggak terasa seperti kita buang-buang waktu bersama...”
Igarashi-senpai dan Rokuyo-senpai ada di sana.
Ya, di garis waktu ini, Nito berhenti datang ke Klub Astronomi.
Rokuyo-senpai pernah bilang bahwa setelah festival, Nito berhenti datang ke klub, lalu mulai menjauhkan diri dan memutuskan hubungannya denganku—
“Aku...” gumam Makoto pelan, matanya tertuju pada ponselnya. “Aku hanya merasa nyaman, menghabiskan waktu santai di ruang klub bersamamu, Senpai.”
Menghabiskan waktu di ruang klub bersama seseorang.
Kenangan melewati waktu bersama tanpa melakukan hal khusus, hanya berbagi hari demi hari. Tak diragukan lagi kenangan seperti itu bisa menjadi kenangan berharga. Meski keadaan tidak berjalan baik, meski ada kesedihan atau kesulitan, saat-saat itu mungkin akan tetap tersimpan di ingatan dan menjadi kenangan yang berharga.
Dengan pemikiran itu, “Baiklah,” kataku dengan suara tegas.
Makoto menatapku dengan penasaran.
“Meski aku kembali dua setengah tahun lagi, aku akan pastikan untuk menciptakan momen-momen seperti itu sesekali,” aku berjanji padanya. “Aku akan membuat kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti pertama kali.”
Mungkin tanpa sengaja aku membuatnya merasa kesepian. Pergantian dari kehidupan SMA pertama ke masa lalu yang berubah ini mungkin memengaruhinya.
Kalau memang begitu, aku nggak ingin mengabaikannya. Dia adalah teman penting bagiku, dan aku ingin menghargai hari-hari yang kuhabiskan bersama Makoto.
“...Benarkah?” Ekspresinya tampak melunak.
Juniorku yang agak malas dan blak-blakan. Temanku yang tidak manis dan tidak suka berbicara manis. Aku melihat senyuman tipis di bibirnya dan matanya sedikit menyipit dengan bahagia.
“Terima kasih,” ucapnya dengan suara yang sederhana dan tulus. “Aku senang.”
Rasanya seakan partikel cahaya yang menari di ruangan menyebar di sekelilingnya.
Melihat ekspresi baru di wajah Makoto, ada sesuatu yang tiba-tiba berdebar di dadaku.
“Sama-sama...” jawabku pelan, sedikit gugup, lalu aku menyadari sesuatu.
Aku paham sekarang... Makoto menyarankan agar aku mengungkapkan segalanya tentang dirinya kepada dirinya di masa SMP. Agar kami tidak kehilangan waktu bersama. Agar kami tetap menjadi sahabat terbaik, seperti dalam kehidupan SMA kami yang pertama.
Aku menatap kembali buku catatan di depanku. Buku yang sama yang kubeli ketika aku mulai melakukan perjalanan waktu, penuh dengan rencana dan ide. Banyak hal yang telah berubah—dan yang tetap sama—sejak saat itu. Aku ingin menghargai setiap hal tersebut. Setiap perubahan, setiap peristiwa, pasti punya arti.
Dan karena itu, aku tidak ingin melewatkan satu pun. Karena aku percaya itulah yang membentuk kehidupanku, dan kehidupan teman-temanku.
Tiba-tiba—
“...Itu dia!”
—sebuah ide muncul di kepalaku.
Mungkin, hanya mungkin, aku bisa mengarahkan situasi ini ke arah yang benar-benar berbeda. Aku punya ide yang mungkin bisa mengubah segalanya.
“Mungkin dia bisa berubah... Mungkin Nito bisa berubah.”
₊ ✧ ₊
“Maaf sudah mengganggumu di tengah kesibukan...”
Kami berada di ruang penyimpanan kecil di samping ruang Klub Astronomi. Sambil duduk di lantai, aku memulai percakapan seperti itu.
“Akhir-akhir ini kita jarang punya waktu buat ngobrol, jadi aku ingin menghabiskan waktu bersama.”
“Nggak apa-apa kok,” jawab Nito sambil duduk di meja tua di dekat situ dan menggoyangkan kakinya yang telanjang. “Aku baru siap menyelesaikan kerjaan dan pengen istirahat.”
Cat kuku birunya yang cerah berkilauan di bawah cahaya hangat yang masuk melalui jendela, membuatku merasa sedikit nostalgia.
“Kamu juga sibuk kan, Meguri?”
“Iya, aku juga. Banyak yang harus disiapkan untuk festival.”
“Yakin nggak masalah kamu ada di sini?”
“Ada Rokuyo-senpai dan Igarashi-san yang bantu, jadi pasti bisa diatasi.”
“Kamu menyerahkan ke mereka, ya. Benar-benar yakin?”
Ekspresi dan suara Nito tetap sama seperti biasa, penuh semangat. Tapi, aku masih merasakan ada sedikit jarak, seperti dinding tak terlihat di antara kami, seperti saat kami pernah bicara dengannya sebelumnya.
Apa cuman imajinasiku? Ataukah karena ada perasaan mendesak untuk “menang” yang membuatku merasakannya?
“Soal panggung...” Aku memanfaatkan jeda dalam percakapan untuk membicarakan topik itu. “Aku tahu... kamu khawatir tentang Rokuyo-senpai, bukan?”
“...Iya, aku khawatir,” dia mengakuinya dengan santai, kakinya masih bergoyang.
“Kamu sudah tahu apa yang bakal terjadi, Meguri. Apa yang akan terjadi pada Rokuyo-senpai di festival.”
“Iya, aku sudah mengeceknya beberapa waktu lalu.”
“Oh, gitu?”
Nada suara Nito—masih terdengar ringan. Itu tandanya dia tetap waspada. Nito mungkin sedang menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya, menyimpan kekhawatiran dan rasa bersalahnya sambil tetap tersenyum.
Jauh di dalam hatinya, dia pasti merasakan rasa bersalah yang amat dalam. Dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena akan menyakiti Rokuyo-senpai di masa depan.
Jadi, aku memutuskan untuk mengungkapkan satu perasaanku yang sebenarnya—sesuatu yang bertentangan dengan semua tindakanku belakangan ini.
“Mungkin nggak apa-apa untuk tetap berusaha.”
Untuk pertama kalinya, Nito menatapku langsung.
“Maksudmu... untuk kalahkan Rokuyo-senpai?”
Iya, itu yang ingin kusampaikan padanya. Mungkin saja Nito menang melawan Rokuyo-senpai di masa depan. Mungkin hidupnya akan berubah drastis karenanya. Tapi, mungkin nggak apa-apa. Mungkin kita tak perlu terlalu khawatir atau menjauh satu sama lain.
“...Kenapa?” tanyanya, masih dengan nada tenang. “Sepertinya aneh. Kamu kan mencoba mencegah hal itu terjadi, bukan?”
“Kamu benar. Aku memang ingin semua orang di Klub Astronomi bahagia. Jika mungkin, aku ingin kita berteman baik selamanya, itu sebabnya aku berusaha keras.”
“Pantas saja.”
“Tapi...” Aku menelan ludah sebelum melanjutkan. “Apa pun yang terjadi pada Rokuyo-senpai... itu bukan salahmu, Nito.”
Aku menatap wajahnya saat aku berbicara.
“Di masa depan yang aku lihat, dia memang terlihat menjalani hari-hari yang suram. Mungkin semuanya dimulai setelah kamu mengalahkannya di Hekiten.”
“...Iya.”
“Tapi apa yang terjadi selanjutnya pada akhirnya adalah tanggung jawab Rokuyo-senpai sendiri.” Dia mengangguk sebagai jawaban, wajahnya tampak murung. “Nito, kamu tidak berjuang keras di panggung utama untuk menyakiti Rokuyo-senpai. Kamu hanya melakukannya untuk dirimu sendiri dan orang-orang di sekitarmu, bukan?”
“...Iya, benar.”
“Nggak ada yang bisa menyalahkanmu untuk itu. Bahkan Rokuyo-senpai sendiri tidak bisa. Memang, dia mungkin akan terluka, tapi pada akhirnya, itu masalahnya sendiri. Singkatnya, itu adalah tanggung jawabnya.”
Aku tahu aku terdengar keras, bahkan bagiku sendiri.
Rokuyo-senpai pasti benar-benar terluka, semangatnya hancur karena jarak yang begitu besar antara dirinya dan Nito. Siapa pun bisa hancur dalam situasi itu, bahkan seseorang sekuat dirinya.
Tapi aku belajar sesuatu dari pengalaman masa lalu. Setelah berpisah dengan Nito dan menghabiskan hari-hari kelam bersama Makoto, aku bisa dengan jelas mengatakan: itu adalah tanggung jawabku. Tidak ada yang bisa kusalahkan selain diriku sendiri. Tanggung jawab atas bagaimana segalanya berubah ada padaku. Dan Rokuyo-senpai mungkin juga memahami itu. Dia tak pernah mengatakan sepatah kata buruk pun tentang Nito ketika aku mengunjunginya di masa depan.
“Jadi, meskipun dia terluka, itu bukan kesalahanmu,” aku dengan tegas mengatakan padanya. “Nito, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.”
Nito menatapku lekat-lekat, bibirnya tipis terkatup rapat, dengan sedikit ketegangan di alisnya.
Aku mengendurkan bahuku dan berkata, “Mari kita lanjutkan seperti biasa. Bahkan jika kamu mengalahkannya dan Rokuyo-senpai terpuruk, mari kita tetap bersama seperti biasa. Jika kita ada untuknya, aku yakin hubungan kita akan berubah menjadi lebih baik, kamu tahu.”
Jika kita ada untuknya. Jika kita ingin menyelesaikan masalah ini, itu adalah satu kemungkinan solusi.
Nito tampil habis-habisan di panggung utama tidak bisa diubah. Dan jelas sekali ada perbedaan besar antara panggung utama dan panggung sukarela. Jadi kenapa tidak menyelesaikan masalahnya setelahnya saja? Meskipun Rokuyo-senpai kalah, kita bisa menemukan masa depan di mana dia bisa bangkit kembali. Itu yang kupikirkan.
Dengan begitu, luka Nito bisa diminimalisir. Dan jika kita semua tetap berada bersama di ruang klub sesudahnya, dia mungkin akan pulih juga.
Selama ini aku hanya berfokus pada upaya untuk memotivasi panggung sukarela dan mengalahkan panggung utama, tetapi ada solusi lain. Aku merasa inilah jawaban terbaik yang bisa kita temukan sekarang.
“...Aku mengerti.”
Nito menghela napas pelan, pandangannya tertuju pada jari-jari kakinya yang bercat biru aqua yang bergoyang lembut.
“Seperti sebelumnya... tetap berada di sisinya...”
Seperti sedang mengunyah setiap kata sebelum menelannya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berubah—
“...Mungkin cara berpikir itu bisa juga,” katanya sambil tersenyum padaku.
“Apa pun yang terjadi kali ini, biarkan terjadi. Kita masih bisa berteman dengan semua orang setelahnya... Mungkin itu pilihan yang bisa diambil.”
“Lihat?”
“Dan ya, mungkin lebih baik untuknya jika kita tetap di sampingnya. Mungkin dia merasa tersesat karena kita menjauh. Kalau kita tetap di sana setelahnya, mungkin akan berbeda.”
“Iya, aku juga berpikir begitu. Kalau kamu ada di sana, itu pasti akan berbeda.”
“Mungkin. Iya, mungkin, ahaha…” Nito tertawa kecil.
...Syukurlah. Sepertinya semuanya akan baik-baik saja sekarang.
Tidak peduli apakah Rokuyo-senpai menang atau kalah, Nito akan tetap berada di ruang klub. Itu berarti kita bisa mengubah masa depan sesuai yang kita inginkan, dan yang harus kita lakukan hanyalah menghadapi Festival Hekiten dengan sepenuh hati. Kita hanya perlu fokus dan memberi seratus sepuluh persen.
Aku mulai merasa bersemangat membayangkannya. Rasanya seperti pertarungan yang menanjak, namun berubah menjadi keseruan bermain di level tersulit, dan segalanya tampak lebih cerah—
“Tapi aku nggak bisa.”
—sampai suara Nito memotong lamunanku.
“Aku nggak bisa melakukannya dengan cara itu.”
“...Apa?”
Aku terdiam, benar-benar bingung.
“Tidak bisa melakukannya? Kenapa...?” tanyaku dengan suara terdengar bodoh. “Kenapa kamu nggak bisa?”
Aku benar-benar berpikir kami sudah sejalan. Aku benar-benar merasa apa yang kukatakan telah mengubah perasaan Nito.
Tapi, kenapa?
Saat itu, bel sekolah berbunyi. Ketika aku melirik ke luar jendela, aku melihat matahari mulai terbenam.
“...Haruskah kita pergi ke tempat lain?” kata Nito, melompat turun dari meja.
“Ayo ngobrol lebih lama.”
“...Oke.”
Masih terguncang, aku mengangguk, bangkit, dan mengangkat tas, lalu meninggalkan sekolah bersamanya.
₊ ✧ ₊
Kami akhirnya tiba di taman.
Taman yang sama dekat rumahnya, tempat kami pernah datang sebelumnya.
Kami duduk di bangku yang sama seperti hari itu.
“Kita pernah ngobrol di sini sebelumnya, ya?” Nito berkata dengan nada ringan. “Saat aku bilang bahwa aku selalu berakhir menyakiti orang. Membuat mereka marah, membuat mereka merasa buruk, dan merusak segalanya untuk mereka...”
“...Iya, aku ingat itu.”
Aku mengangguk sambil mengingat hari itu. Waktu itu di semester pertama, ketika kami mati-matian membuat video demi menyelamatkan Klub Astronomi.
“Selalu seperti ini bagiku...”
“Aku yakin aku hanya akan menyakiti semua orang. Aku akan menghancurkan segalanya untuk semua orang... Kalau memang begitu, aku... aku harusnya... harusnya...”
Nito mengatakan semua itu dengan suara bergetar. Aku masih ingat jelas wajahnya dan air mata yang ia tumpahkan saat itu.
Dan bukan hanya saat itu saja. Saat kejadian dengan Igarashi-san, ketika aku menceritakan tentang perjalanan waktuku, dan ia tentang putarannya, ia juga membahas soal ini.
“Aku... aku selalu merusak segalanya.”
“Berapa kali pun aku mencoba memperbaiki semuanya, aku selalu berakhir menyakiti hal-hal yang penting bagiku. Seolah-olah aku memang ditakdirkan untuk mengacaukan semuanya...”
Nito sangat keras pada dirinya sendiri. Bahkan sekarang, ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
“...Saat aku mulai menciptakan musik, aku pikir aku bisa terus hidup,” Nito berbisik pelan. “Di tengah hari-hari yang menyakitkan itu, akhirnya aku menemukan sesuatu yang benar-benar aku cintai. Itu membuatku benar-benar bahagia. Bukan lagi pura-pura ceria, tapi hidup dengan bahagia sungguhan...”
“Iya...”
Begitulah.
Dulu, Nito adalah “gadis pahlawan” yang dikagumi semua orang. Seperti karakter dari anime, tipe yang dikagumi Igarashi-san sejak kecil.
Namun, bagi Nito, semua itu hanyalah sandiwara... sampai ia menemukan musik. Itu mengubah dunianya sepenuhnya...
“Tapi... semakin dalam aku masuk ke dalamnya, semakin tidak bahagia orang-orang di sekitarku. Aku tidak tahu kenapa itu terjadi, tapi aku tidak bisa berhenti menyakiti orang.”
“...Iya, itulah maksudku!” kataku kepada Nito yang tampak murung. “Aku ingin kamu tahu bahwa ini bukan salahmu, Nito! Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun!”
Nito hanya berusaha keras untuk bertahan. Ia membutuhkan musik untuk itu dan menuangkan seluruh jiwanya ke dalam menciptakannya.
Bahkan jika akhirnya orang lain tidak bahagia, itu bukan kesalahannya. Beban itu bukanlah sesuatu yang perlu Nito tanggung di pundaknya yang kecil.
“Itu sebabnya aku yakin semua orang akan memaafkanmu!” aku bersikeras, sambil menggenggam tangannya.
“Igarashi-san akan memaafkanmu, dan begitu juga Rokuyo-senpai! Jadi, jangan menyalahkan dirimu sendiri, oke?”
“...Aku tidak bisa melakukan itu.”
Namun, Nito keras kepala menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.”
Suara yang terdengar begitu rapuh, seolah bisa pecah kapan saja.
Terguncang oleh emosi yang begitu kuat, aku tanpa sadar menutup mulut.
Sebuah motor melaju melewati taman, mesinnya menderu.
“Lagipula, kamulah yang seharusnya paling tidak memaafkanku, Meguri,” kata Nito, seolah berusaha menguatkan dirinya untuk mengatakan kata-kata itu.
Angin berhembus, mengibaskan rambutnya dengan lembut.
“Karena,” Ia mengangkat kepalanya sebelum melanjutkan. “Kamulah yang paling aku ubah, Meguri.”
Senyumnya sangat sedih. Wajahnya, penuh dengan rasa sakit, tampak seolah hampir meneteskan air mata.
“...Apa?”
“Ya, aku memang mengubah Mone dan Rokuyo-senpai. Tapi orang yang paling aku kacaukan... adalah kamu, Meguri.”
“...”
Aku benar-benar kehilangan kata-kata.
Dia paling banyak mengubahku...? Dia mengacaukan hidupku...?
Apa maksudnya? Aku tidak mengerti. Aku tak bisa menangkap maksud dari kata-katanya.
“Meguri, kamu benar-benar orang yang luar biasa,” kata Nito, masih memegang tanganku. “Kamu mungkin tidak menyadarinya sendiri, ya? Kamu mungkin tidak benar-benar merasakannya, kan? Tapi kamu luar biasa. Dan aku yang menghancurkannya. Aku yang merusak semua itu...”
Aku teringat masa SMA-ku yang pertama. Benar, aku memang hampir menyia-nyiakan tiga tahun itu. Hari-hari yang dihabiskan hanya untuk menghabiskan waktu, main game, dan baca manga.
Masa remaja yang berharga yang kulewatkan begitu saja bersama Makoto.
Nito mencoba mengatakan... semua itu salahnya?
Dia pikir karena dirinyalah aku menjalani hari-hariku seperti itu? Aku benar-benar tidak mengerti. Sekali lagi, aku tidak bisa benar-benar memahami maksudnya.
Dan, kalau memang benar begitu, kalau aku adalah orang yang luar biasa, lalu apa yang seharusnya bisa kulakukan?
Saat itu, dalam putaran waktu itu, versi diriku yang dilihat Nito—aku ini seperti apa sebenarnya... menjalani kehidupan SMA yang seperti apa?
Namun aku mengabaikan semua pertanyaan itu.
“Jadi... mungkin hal semacam ini juga bukan hal yang baik,”
Nito tersenyum.
“Mungkin aku seharusnya menghilang saja,” lanjutnya. “Mungkin aku harus menghilang dari hidupmu.”
Harus menghilang.
Akhir yang pada suatu hari akan Nito hadapi: menghilang.
Aku memikirkan kata-kata yang mungkin akan diucapkan Nito berikutnya. Pikiranku kosong, dan aku merasa jantungku berdegup kencang.
...Hah?
Saat itu, aku tersadar—kalau Nito merasa begini, kalau ia berpikir ia sebaiknya menghilang karena ia merasa dirinya menghancurkan hidupku...
Apakah alasan Nito ingin menghilang sebenarnya... aku?
Post a Comment