Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 5: Malam Perubahan
“Aku tahu ini kedengarannya payah, dan aku minta maaf banget!”
Hari berikutnya, setelah jam sekolah di ruang kelas khusus.
Rokuyo-senpai, berdiri di depan semua penampil yang sudah berhasil kami kumpulkan, membungkukkan kepalanya dalam-dalam.
“Aku benar-benar ingin mengalahkan Nito dan panggung utama. Aku harus melakukannya. Tapi, dengan keadaan seperti ini, kelihatannya nggak akan berhasil. Aku nggak bisa melakukannya sendiri...”
Rokuyo-senpai mengutarakan semuanya. Tentang mimpinya untuk memulai bisnis sendiri, tapi orang tuanya sangat menentang. Tentang syarat yang nyaris mustahil dari ayahnya—untuk menarik lebih banyak penonton di panggung sukarela daripada panggung utama. Dan dia sadar, mustahil bisa mewujudkan itu sendirian.
Kemudian, dia menegakkan kepala dan menatap setiap penampil satu per satu.
“Jadi... aku butuh bantuan kalian,” katanya, jelas dan langsung. “Aku butuh bantuan semua orang di sini, dan mereka yang nggak bisa datang hari ini...”
Dia berhasil mengatakannya.
Aku menyaksikan momen itu dengan penuh haru.
Rokuyo-senpai, yang selalu ingin melakukan segala sesuatu sendirian, kini meminta bantuan semua orang.
Aku merasakan kehangatan memenuhi dadaku.
Kemarin, aku dan Rokuyo-senpai sempat bertengkar, berbagi perasaan. Kami berlarian di tengah hujan seperti orang bodoh, saling membuka diri.
Perasaan jujur itu telah mengubahnya. Mengubah cara hidup memang menakutkan. Pasti butuh keberanian luar biasa untuk membuat pilihan seperti itu.
Sejujurnya, aku juga merasa takut. Kata-kata yang kuucapkan kepada Rokuyo-senpai, bagaimana dampaknya padanya? Akankah perasaan yang kutumpahkan membantunya melangkah maju?
Jadi, aku berdoa. Berdoa agar kata-kata itu mencapai semua penampil, dan agar perasaan itu membawa perubahan besar bagi panggung sukarela.
Semua orang di ruangan itu terlihat terkejut. Mungkin ini bukan percakapan yang mereka harapkan. Bahwa penampilan mereka bisa memiliki dampak besar pada kehidupan seseorang. Mereka mungkin bahkan nggak tahu mengapa mereka semua dikumpulkan.
Baik Battleship Potemkinz, Azuma Kirara-senpai, anggota OBORO Moonlit Night dan FLIXIONS, serta semua peserta lainnya saling menatap dan berbisik satu sama lain.
“Sejujurnya,” lanjut Rokuyo-senpai. “Aku nggak bisa langsung membalas kalian. Membantuku mungkin nggak ada manfaatnya buat kalian. Bisa jadi ini cuma buang-buang waktu dan tenaga...”
Dia berbicara dengan jujur dan terbuka. Dia meminta bantuan untuk dirinya sendiri, dan tidak adil jika dia berbohong atau mempermanisnya.
“Jadi, kalau kalian nggak merasa siap, nggak apa-apa untuk mengabaikan permintaanku. Aku janji ini nggak akan mempengaruhi partisipasi kalian di panggung sukarela. Aku akan memperlakukan semua orang dengan hormat, bahkan lebih dari sebelumnya. Tapi...” Dia menambahkan kekuatan dalam suaranya.
“Kalau kalian merasa ingin mencoba. Kalau kalian berpikir, ‘Ayo kita lakukan... Mari kita bantu Rokuyo...’ bahkan sedikit saja, dengan cara kalian masing-masing dan dalam batas kemampuan kalian... maka aku ingin kalian meminjamkan kekuatan kalian. Aku ingin kalian memikirkan strategi untuk menarik lebih banyak penonton, dan memberikan penampilan yang luar biasa!”
Suara Rokuyo-senpai bergema sejenak di ruangan itu.
Lalu, dia membungkukkan kepalanya dalam-dalam.
“Kumohon... aku mengandalkan kalian!”
Dia bicara dengan tekad yang kuat, suaranya dalam dan berwibawa seperti biasanya. Tapi, ada sedikit kecemasan di sana, sedikit getaran di suaranya.
Sejenak ruangan menjadi sunyi, kurang dari satu tarikan napas. Dan sebelum gema suaranya menghilang, sebelum permohonannya larut di udara—
“Aku ikut~!” suara ceria terdengar dari antara para penampil. Suaranya imut, seperti karakter anime, ringan dan ceria.
Melirik ke arah itu—
“Aku bakal kasih kemampuan terbaikku~.”
—aku melihat Azuma Kirara-senpai, dengan seragamnya yang sedikit berantakan dan aksesori warna-warni.
Dia memancarkan aura cerah dan gaya yang penuh percaya diri, mengangkat tangan dengan tatapan main-main di wajahnya.
“...Serius?” Rokuyo-senpai terlihat sedikit terkejut, tapi tersenyum lega. “Terima kasih banyak. Aku benar-benar senang.”
“Sama-sama~!”
“Kamu yakin? Kayaknya nggak ada keuntungan buatmu, Azuma.”
“Nggak, nggak~” Azuma-senpai berkata sambil melambaikan tangan dengan santai.
Masih tersenyum manis dan berbicara dengan nada ceria khasnya, dia menambahkan, “Aku udah agak kesel juga sama NITO sih!”
“Jadi tahun ini dia mulai berkecimpung di dunia musik, ya?” tanya Azuma-senpai dengan nada riang. “Pokoknya, sebelum dia muncul, aku adalah cewek online terkenal di sekolah ini. Tapi tiba-tiba dia mencuri perhatian semua orang. Maksudku, bahkan beberapa penggemarku pindah ke pihaknya, percaya nggak? Jadi aku berpikir: Aku harus buat dia tahu tempatnya~!”
Ah, begitu. Jadi itu alasannya...
...Seriusan, itu menakutkan! Mengatakan semua itu dengan nada imut begitu, seram banget!
Aku paham perasaannya, tapi bilang dia “kesel” sambil tersenyum manis begitu... aku jadi ragu apakah aku masih bisa mengaguminya dengan hati yang murni saat melihat Azuma-senpai menari nanti.
Tapi Rokuyo-senpai tampaknya merasa lucu, terlihat dari cara dia tertawa.
“Mengerti... baiklah, ayo kita kalahkan dia bersama.”
“Yap. Untuk awalnya, aku bakal mengulang latihan tarianku lagi, dan mulai streaming setiap hari dari hari ini. Penonton online juga dihitung, kan? Kalau gitu, aku merasa bisa benar-benar membantu.”
“Terima kasih banyak, itu bantuan besar!”
“Tenang aja~. Semuanya demi mengalahkan NITO.”
“Serem, ya? Kalau cewek-cewek udah bersaing.”
“Bener, kan!? Kita harus hati-hati supaya nggak terjebak di dalamnya.”
Pasangan dari Battleship Potemkinz saling berbicara setelah melihat percakapan dengan Azuma-senpai, dengan nada yang terdengar geli, hampir konspiratif.
Tapi tampaknya Azuma-senpai juga mendengar.
“...Hmph.”
Azuma-senpai melirik tajam ke arah mereka.
“Jadi, kalian berdua mau ngapain? Lari sambil menggulung ekor kalian? Lemah.”
“Nggak mungkin.”
“Tentu aja kami ikut!”
Dengan sedikit panik, Potemkinz cepat-cepat mengajukan alasan mereka.
“Kami punya utang budi sama Rokuyo-kun. Ini bayarannya.”
“Lagipula, menang dari cewek NITO-san itu mungkin bisa membuat kita jadi terkenal, kan?”
“Pertama, kita bisa pilih materi lagi. Selain itu, kita punya channel YouTube, jadi kita bakal promosi di sana juga.”
“...Oh, kalau kita bicara tentang promosi online,” bassist dari OBORO Moonlit Night menyela, seolah punya ide. “Haruskah kita bikin video musik promo atau semacamnya?”
“Serius? Kamu bisa bikin~!?”
“Iya.”
Bassist itu tetap tenang sementara Azuma-senpai melompat-lompat kegirangan.
“Kami pernah bikin PV sendiri dan video pengumuman live sebelumnya. Kalau kami punya bahannya, kami bisa mengedit video.”
“Ah, kalau gitu! Mari kita rekam video baru juga!” kata seorang cewek, ketua dari grup tari FLIXIONS, bersemangat.
“Seperti teaser untuk panggung sukarela, lalu bikin beberapa PV—”
“—Ya, dan jelaskan bahwa tujuan kita adalah ‘mengalahkan panggung utama’.”
“—Wah, itu keren!”
“—Penonton juga mungkin bakal jadi antusias.”
Dalam sekejap, sesi brainstorming pun dimulai. Semua orang berbagi ide mereka, baik penampil maupun staf. Satu per satu ide dilontarkan, beberapa perlu penyempurnaan, dan ada juga yang langsung ditolak.
Begitu sebuah ide mulai tersusun, seseorang akan menawarkan diri, berkata, “Aku yang urus itu!” atau “Biar aku yang tangani!”
“Ini...”
Aku benar-benar merasakan gairah dalam pemandangan di depan mataku.
Sampai sekarang, persiapan untuk panggung sukarela selalu terasa setengah-setengah, dengan suasana yang seolah berkata, “Asal seru, nggak masalah.” Jujur saja, itu bukan hal yang buruk, dan aku bisa membayangkan masa depan di mana semua orang di sini saling memberi selamat dan berkata, “Kita tampil cukup bagus.”
Itu bukan sesuatu yang buruk.
Panggung seperti itu pasti akan menjadi kenangan yang menyenangkan.
Tapi sekarang... semuanya mulai memanas.
Dengan tujuan tunggal “mengalahkan panggung utama”, untuk pertama kalinya, semua orang bersatu padu.
Mungkin kita bisa melakukannya.
Ini adalah pertama kalinya aku merasakan kemungkinan itu.
Kita mungkin benar-benar bisa bersaing dengan panggung utama.
Aku masih belum bisa melihat rencana ini secara utuh. Tidak diragukan lagi panggung utama akan menjadi lawan yang tangguh apa pun yang terjadi.
Tapi, dengan semangat ini...
Dengan antusiasme yang semakin besar, jika kita terus bereksperimen dan menyesuaikan hal-hal hingga hari besar tiba... kita pasti bisa memberi perlawanan.
Mengalahkan panggung utama seharusnya bukan sesuatu yang mustahil.
“...Sekarang semua udah seperti ini,” kata Igarashi-san sambil menyaksikan percakapan antara pemain, staf, dan Rokuyo-senpai di depannya. “Kita juga harus melakukan yang terbaik, kan?”
“...Iya, benar.”
“Maksudku, senpai kita udah susah payah membuat semua orang antusias seperti ini, jadi kita berdua perlu memikirkan strategi lebih lanjut juga...”
“Ah, kebetulan,” kataku, menghadap Igarashi-san. “Aku baru saja terpikir sebuah ide.”
“...Ide?”
“Iya. Sebuah ide yang bisa mempromosikan acara sekaligus membuat semua penampil bersemangat...”
Lalu, aku memaparkan rencanaku padanya. Ide itu memang agak berisiko, tapi jika berhasil, itu akan memberikan dorongan besar bagi publisitas kami.
₊ ✧ ₊
“Jadi, aku ingin meminta izin untuk siaran selama waktu istirahat makan siang.”
Kami berada di ruang guru seusai sekolah, menyampaikan permohonan kami kepada wakil kepala sekolah, Higashi-sensei.
“Para penampil panggung sukarela saat ini sedang sangat bersemangat. Jadi, aku berpikir, gimana kalau kita siaran radio setiap hari tentang mereka?”
Program radio.
Itulah ide awal dari Rokuyo-senpai yang aku usulkan ke Igarashi-san.
Ide ini adalah untuk mulai menyiarkan selama jam istirahat makan siang menjelang festival dan membicarakan tentang panggung sukarela agar lebih banyak siswa yang tahu tentangnya.
Menurutku ini akan cukup efektif. Untuk menarik orang, pertama-tama mereka harus tahu bahwa acara itu ada. Lalu, buat mereka tertarik pada para pemain dan apa yang akan mereka tampilkan.
Jadi, menyiarkan acara radio mereka di seluruh sekolah saat jam makan siang—waktu di mana entah kenapa SMA Amanuma tidak biasanya mengadakan siaran—bisa menjadi dorongan besar untuk promosi.
Aku dan Igarashi-san sedang dalam negosiasi, berharap bisa mewujudkannya.
Namun, “Itulah sebabnya aku bilang tidak!” seru wakil kepala sekolah. “Makan harus dilakukan dengan tenang! Itu alasan kenapa siaran waktu makan siang tidak diizinkan!”
Dia berbicara dengan nada yang anehnya semangat, tapi dengan cara yang agak linglung. Impersonasi Battleship Potemkinz tentangnya hampir mirip sekali. Beberapa siswa mengejeknya, tapi sejujurnya, aku cukup menyukai cara dia berbicara.
“Aku sudah memberitahu ketua panitia festival! Apa dia tidak menyampaikannya!?” wakil kepala sekolah bersikeras dengan nada yang sama.
Rokuyo-senpai memang sudah ditolak juga—karena aturan pribadi wakil kepala sekolah yang mengharuskan makan dilakukan dengan tenang.
Maksudku, ini agak egois, bukan?
Menghentikan apa yang ingin dilakukan siswa hanya karena preferensinya sendiri. Kemungkinan besar itulah alasan mengapa sekolah tidak memiliki siaran waktu makan siang sama sekali.
Seperti dalam sketsa Battleship Potemkinz, Higashi-sensei memang suka menjadi pemegang teguh aturan. Selain itu, dia terus membuat aturan baru, membuat siswa terkadang tertawa bingung.
“Nggak, kami dengar dari Rokuyo-senpai,” kata Igarashi-san, menyerahkan selembar kertas. “Jadi hari ini, kami sudah menyiapkan beberapa hal dan datang untuk berdiskusi lagi.”
Ya, kami datang hari ini dengan persiapan, berharap bisa mengubah pendapat wakil kepala sekolah dengan sekutu tertentu di pihak kami.
“...Hmm, apa ini?”
Wakil kepala sekolah menatap tajam kertas yang diserahkan Igarashi-san.
“Um... di sini tertulis akan ada segmen spesial di Community FM Suginami...”
“Itu benar,” aku menyela, menunjuk pada kertas itu. “Yang tayang di seluruh kota? Itu dikelola oleh Kelurahan Suginami. Seperti stasiun radio lokal. Tidak hanya di sini, di Ogikubo, tapi juga di Nishiogikubo, Asagaya, dan bahkan sepanjang jalur Seibu, jadi banyak orang yang mendengarkannya.”
Sambil berkata demikian, aku teringat bagaimana siaran radio stasiun itu selalu terdengar samar-samar di latar belakang saat aku berada di luar. Seperti saat pergi dan pulang sekolah, hangout, atau berbelanja.
Ah, dan saat pertama kali kami pergi berbelanja bersama kelas kami. Aku mendengarkan siaran sambil menjelaskan alasan mengapa aku bergabung sebagai staf panggung sukarela kepada Nito.
“Dan sebenarnya, kami pergi ke kantor kelurahan beberapa waktu lalu untuk mendiskusikannya,” lanjutku. “Aku bertanya apakah panggung sukarela SMA Amanuma bisa memiliki program di sana hingga hari Festival Hekiten.”
“A-Apa!?” Dia tampak sangat terkejut. “Ke kantor kelurahan... mendiskusikan program radio...”
“Iya.”
“Itu... Apa kalian memberitahu guru tentang ini!? Siswa tidak bisa pergi begitu saja dan melakukannya sendiri!”
“Tentu saja. Kami memberitahu beberapa guru. Mitarai-sensei, yang bertanggung jawab atas festival budaya, dan wali kelas kami, Chiyoda-sensei. Chiyoda-sensei bahkan ikut ke kantor kelurahan bersama kami.”
“A-Aku paham.”
“Dan,” aku menatap wakil kepala sekolah yang mengangguk. “Kami sudah mendapatkan izin.”
Aku memastikan untuk menekankan hal itu dengan jelas.
“Mereka memutuskan untuk mengizinkan kami membuat program tersebut.”
Sebenarnya, orang yang bertanggung jawab sangat antusias. Mereka suka banget sama proposal kami. Katanya, mereka memang sudah lama ingin buat program yang melibatkan siswa lokal untuk menjangkau audiens yang lebih muda. Dan kemudian, proposal ini datang, terkait dengan festival budaya. Apalagi, disertai dengan tujuan besar kami mencoba menyaingi panggung utama dengan panggung yang lebih kecil.
Bahkan mereka bilang mereka nggak bisa mikir alasan untuk menolak.
Jadi, program berdurasi tiga puluh menit yang menampilkan para pemain kami akan disiarkan setiap hari di Community FM Suginami. Dua episode pertama, yang menampilkan Azuma-senpai, sudah direkam. Kami hanya tinggal menunggu untuk menyiarkannya.
“Dan... orang yang bertanggung jawab di kantor kelurahan juga bertanya apakah SMA Amanuma bisa menyiarkannya juga,” lanjutku menjelaskan pada Higashi-sensei. “Mereka bilang akan bagus sekali kalau kita bisa bersama-sama menggemakan acara ini. Katanya, bahkan wali kota pun memuji proyek ini.”
“Bahkan wali kota...”
“Jadi, bagaimana menurut Anda?” Melihat wakil kepala sekolah tampak ragu, aku melanjutkan tekananku. “Bolehkah kami menyiarkannya saat makan siang? Bolehkah sekolah kami berpartisipasi dalam proyek ini?”
Aku harap ini berhasil. Wakil kepala sekolah, yang sangat suka mengikuti aturan, cenderung tunduk pada otoritas yang lebih tinggi.
Seseorang yang senang mematuhi norma yang sudah ditetapkan tidak akan mudah menolak permintaan dari badan pemerintah seperti kantor kelurahan.
Cara licik seperti ini bukanlah kekuatan Rokuyo-senpai. Dia biasanya menghadapi masalah secara langsung, yang tidak cocok berhadapan dengan seseorang seperti wakil kepala sekolah.
Itulah mengapa seseorang seperti aku, yang bisa agak licik saat diperlukan, diperlukan untuk membujuk Higashi-sensei.
Itulah idenya kali ini. Dan benar saja, setelah beberapa detik yang tampak menyiksa, wakil kepala sekolah menghela napas panjang, tanda menyerah.
“Baiklah... Aku izinkan kalian menyiarkan program kalian saat makan siang.”
₊ ✧ ₊
Keesokan harinya setelah kami mendapat izin untuk siaran makan siang, episode pertama pun disiarkan saat jam istirahat makan siang.
“...Lama tak bertemu, ya?”
“Iya.”
Setelah sekian lama tidak bertemu, aku dan Nito bertemu lagi dan berjalan pulang bersama.
“Akhir-akhir ini kita sama-sama sibuk, ya?”
“Iya, betul.”
Rasanya sudah lama sejak terakhir kali kita ngobrol seperti ini... sejak hari saat Nito bilang mungkin saja dia telah “mengacaukan” hidupku.
Sambil menghela, aku melihat sekeliling.
Kami berada di jalan yang familiar menuju stasiun. Matahari sudah terbenam, dan langit di sebelah timur sudah berwarna biru tua sepenuhnya. Di barat, langit membentangkan paduan warna jingga senja yang kompleks, memantulkan cahaya di rambut Nito yang indah, membuatnya tampak seperti menyerap warna cahaya yang memudar.
Kami mengobrol sesekali sambil menikmati pemandangan.
“Seminggu lagi sampai hari pertunjukan. Sudah merasa sedikit lebih tenang sekarang?”
“Iya, tapi aku masih merasa penampilanku belum cukup bagus.”
“Apa? Serius? Pasti aslinya sudah keren banget, kan?”
“Aku nggak tahu. Tapi aku belum puas. Kalau aku nggak bisa meningkatkan sedikit lagi, mungkin aku bakal merasa gugup saat pertunjukan nanti.”
Suaranya terdengar ringan seperti biasanya.
Itu percakapan yang normal, seperti percakapan di hari-hari biasa.
Tapi... aku jelas merasakan jarak di antara kami. Aku dan Nito berjalan cukup dekat hingga hampir saling menyentuh bahu, tapi rasanya seperti kami berbicara dipisahkan oleh layar tipis.
Ada sedikit ketegangan dalam nada suara Nito dan kata-kata yang diucapkannya.
Seperti yang kuduga, Nito masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri.
Dia terus merasa bersalah karena mungkin telah menyakiti Rokuyo-senpai dan pada akhirnya, mungkin bahkan menghancurkan hidupku.
Jadi, aku memutuskan untuk mengatakan padanya. Apa yang kupikirkan sekarang, dan apa yang ingin kulakukan.
Karena aku ingin Nito juga menikmatinya. Aku ingin dia menjadikan Festival Hekiten, yang telah berkali-kali dia alami, menjadi sesuatu yang baik.
“Aku...” aku mulai bicara, menghela napas kecil saat berjalan satu langkah demi satu langkah. “...akan bahagia.”
Terkejut, Nito menatapku.
Menatap langsung ke matanya, entah kenapa aku mendapati diriku tersenyum.
“Aku sudah memutuskan. Apa pun yang terjadi, aku akan bahagia,” kataku padanya. “Dari luar mungkin terlihat seperti hidupku menyimpang. Mungkin memang agak kurang beruntung, dan jujur saja... aku mengerti kenapa.”
Pertama kali masuk SMA. Tiga tahun itu kuhabiskan tanpa tujuan, menyia-nyiakan waktu tanpa pencapaian apa pun.
Aku nggak berpikir itu salah Nito; itu benar-benar sepenuhnya salahku sendiri.
Tapi, dari luar mungkin itu terlihat seperti kesialan. Dari sudut pandang Nito, mungkin tampak seperti dia “mengacaukan” hidupku.
“Itulah sebabnya aku membuat pilihan ini.”
Melihat ke depan, jalan-jalan yang ramai dekat stasiun mulai terlihat. Pemandangan yang biasa, pemandangan jalanan yang sering kulewati, lampu jalan mulai menyala.
Namun saat ini, pemandangan itu terlihat—
“Aku akan berubah. Pertama, aku akan membuat diriku bahagia.”
—Lebih hidup daripada kehidupanku pertama di SMA.
Segala sesuatu di depanku tampak lebih tajam daripada saat aku berusaha bersaing dengan kehebatan Nito, atau saat aku hanya bisa menyaksikannya menjauh.
Aku bisa melihatnya seperti itu sekarang.
“Kalau dipikir-pikir, aku cukup beruntung, kan?” Aku tersenyum pada Nito. “Orang tuaku baik, kami memang nggak kaya, tapi hidup kami nyaman. Aku tinggal di Tokyo, bisa masuk SMA yang bagus. Aku juga punya teman-teman baik. Banyak orang di dunia ini yang tidak punya semua itu.”
“Itu... benar.”
“Aku belum pernah merasakan perjuangan seperti itu, jadi mulai dari sini, semuanya adalah tanggung jawabku sendiri. Aku ingin melangkah maju dalam hidupku, mengambil tanggung jawab untuk diriku sendiri. Aku akan bekerja menuju tempat yang benar-benar kuinginkan. Apa pun yang terjadi, itu bukan salahmu, atau orang lain.”
Aku benar-benar percaya itu.
Aku memilih untuk berada di sisi Nito atas kemauanku sendiri. Tanggung jawab itu adalah milikku dan milikku sendiri. Aku nggak akan menyerahkannya kepada siapa pun.
“Dan, menurutku... hal yang sama mungkin berlaku untuk Rokuyo-senpai.”
Rokuyo-senpai.
Mendengar namanya, Nito menggigit bibirnya sedikit.
“Dia berusaha meraih masa depannya dengan caranya sendiri. Apakah dia bisa mencapainya atau tidak, apakah itu berakhir dengan sukses atau gagal, itu sepenuhnya tanggung jawabnya. Jadi—”
Tanpa sadar, kami telah tiba di depan stasiun.
Stasiun Ogikubo, tempat aku sering melihat Nito pergi kembali ke asrama di pusat kota.
Diterangi cahaya di sekitarnya, Nito tampak berkilauan dalam cahaya putih itu.
“Nito, lakukanlah apa yang perlu kamu lakukan.”
Itu seperti aku mendukungnya dan memberinya dorongan.
“Karena aku yakin itu juga akan membawa kebahagiaan bagi kita.”
“...Benarkah?” Dia menunduk, terdengar seperti sedang merenungkan kata-katanya. “Untuk kebahagiaanmu dan kebahagiaan semua orang...”
“Kamu tahu,” aku mengubah nada suaraku jadi lebih ringan. “Jujur saja, panggung sukarela kita lagi gila banget. Semakin meriah dan promosi kita makin gencar!”
Benar, kami akan menghadapi duel. Ini bukan saatnya untuk kata-kata motivasi yang melankolis. Kami sekarang adalah rival, dan rival yang tangguh pula. Aku ingin menghadapi Nito sebagai lawan yang tak bisa diremehkan begitu saja.
“Aku mulai merasa kita benar-benar bisa menang. Untuk mengalahkanmu, Nito.”
Mulut Nito ternganga terkejut. Wajahnya tampak benar-benar terkejut, seperti burung merpati yang baru saja terkena tembakan kacang.
Mungkin ini pertama kalinya dia mendengar aku mengatakan sesuatu seperti itu.
Di semua putaran yang dia alami, dalam semua kehidupan SMA yang dia saksikan, mungkin inilah pertama kalinya aku mengatakan sesuatu seperti itu.
Rasanya menyenangkan bisa mengejutkannya. Aku bahkan mungkin bisa menunjukkan padanya masa depan yang “tak terduga”.
Dengan pemikiran itu, aku mengepalkan tinjuku dengan erat di dalam hati.
Tapi Nito bukan tipe yang akan menyerah begitu saja.
“Hmm.” Ekspresi tidak biasanya itu digantikan dengan senyum tajam. “Kamu bilang bisa mengalahkanku?”
“Yep. Kalau kamu terus murung, ini akan jadi kemenangan mudah buat kami. Kami akan merebut atmosfer festival untuk diri kami sendiri.”
“Hmph.” Matanya menyipit, jelas terhibur dengan provokasiku yang kentara.
“Kamu setertarik itu, ya? Mengalahkan kami dengan kelompok acak-acakanmu?”
“Tentu saja.” Aku mengangguk mantap. “Karena kami kelompok acak-acakan, kami bekerja keras. Kami bertarung karena kami bukan jenius.”
Karena kami bukan jenius.
Kali ini, aku menyadari bahwa ada cara bertarung seperti itu. Penampilan kami mungkin nggak sebanding dengan panggung utama dalam hal kualitas, keindahan, atau teknik. Tapi yang kami miliki adalah semangat. Tekad membara kami untuk menghadapi lawan sebesar itu pasti akan mengubah keadaan.
Lagipula, ini bukan panggung pertunjukan biasa; ini adalah Festival Hekiten—sebuah festival, bukan kompetisi.
“Kedengarannya menyenangkan,” kata Nito dengan sedikit senyum.
Campuran kegembiraan, sedikit rasa jengkel, dan yang paling penting, harapan terlihat di wajah itu.
Lalu, dia membusungkan dadanya dan memberiku senyum yang mempesona.
“Aku akan menjatuhkan kalian semua, sendirian.”
Dia berkata seperti bos terakhir di video game.
“Aku akan menunjukkan padamu kalau aku ada di level yang jauh berbeda.”
Post a Comment