Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 6: Festival
Pagi Festival Hekiten tiba dengan langit cerah.
Hawa hari itu terasa hangat untuk bulan November, dan sinar matahari awal musim dingin membuat pepohonan berkilauan seperti perak—hari yang sempurna untuk sebuah festival budaya.
Semua siswa dan staf berkumpul di gedung olahraga pertama SMA Amanuma.
“Wah, waktu berlalu cepat, ya?” Rokuyo-senpai berkata seolah-olah sedang mengobrol santai dengan teman. “Kayaknya baru dua bulan sejak aku jadi ketua panitia festival. Semuanya udah siap-siap kira-kira selama itu juga... Jadi, gimana? Kalian semua udah kerja dengan baik?”
Aku mengangguk penuh semangat menanggapi, begitu juga siswa-siswa di sekitarku, masing-masing dipenuhi perasaan yang berbeda-beda, atau hanya terpaku memandang Rokuyo-senpai.
Inilah upacara pembukaan.
Festival Hekiten, yang hanya berlangsung satu hari, dimulai dengan pertemuan ini di gimnasium.
Ada sambutan dari para penanggung jawab stan pameran sekolah, stan makanan, dan sedikit pengarahan dari Mitarai-sensei. Dan terakhir—pembukaan oleh ketua panitia festival.
Pidato dari Rokuyo-senpai akan menjadi pembuka festival ini.
Kegembiraan sudah memenuhi udara. Wajah para siswa yang menatap ke panggung menunjukkan antusiasme dan kegembiraan. Meskipun cuaca sejuk, aku bisa melihat keringat di dahi beberapa siswa.
Sementara aku... seluruh tubuhku terasa hangat, campuran antara gugup dan antusias.
Apa yang akan terjadi hari ini? Bagaimana hari ini akan berjalan...?
“Yah, karena kita udah sampai di sini, aku nggak punya banyak hal buat dikatakan,” Rokuyo-senpai tertawa lepas. “Yang pengen aku bilang sih cuma ini: hati-hati jangan sampai ada yang cedera dan ikuti aturan, tapi jangan terlalu ketat, ya. Aku nggak akan bilang jangan melanggar aturan, cuma pakai pertimbangan kalian sendiri... Hm? Jangan terlalu ketat itu buruk, ya? Ikuti aturan dengan benar, katanya? Oke deh, kalau begitu, semuanya, mari kita taati aturan.”
Tawa memenuhi ruangan melihat interaksi bolak-balik antara Mitarai-sensei, yang berdiri di bawah panggung, dan Rokuyo-senpai.
Lalu, sambil sedikit berdehem, dia menatap kami dengan percaya diri.
“Yang paling penting—bersenang-senanglah,” katanya dengan suara jelas.
“Festival Hekiten ini cuma setahun sekali. Mari nikmati sepenuhnya! Nah, dengan itu...” Ia menyapu pandangan ke seluruh hadirin di gimnasium. “Kalian semua siap? Udah siap semuanya?”
Para staf, guru, dan siswa di lantai semua mengangguk.
Melihat itu, Rokuyo-senpai menarik napas dalam-dalam.
“Festival Hekiten yang ke-43 kini resmi dibuka!”
Bersamaan dengan kata terakhir dari pernyataannya, tepuk tangan meriah langsung terdengar. Band tiup di belakangnya mulai memainkan musik yang semarak.
Para anggota panitia melambaikan tangan mereka saat turun dari panggung ke sayap panggung—Festival Hekiten tahun ini resmi dimulai. Hari yang akan menentukan masa depan bagi aku dan anggota Klub Astronomi lainnya.
₊ ✧ ₊
“Sayang banget kamu nggak bisa gabung sama kelas.”
“Oh, kita kan pengen banget lihat Sakamoto cosplay jadi karakter utama Isekai.”
“Bro, pasti keren banget kalau dia bisa.”
“Tunggu, maksudnya cosplay yang kayak gimana, tuh...?”
Kami berdiri di gedung sekolah, tepat di depan Kelas 1-7, kelasku dan Nito.
Canda dari Nishigami, Takajima, dan Okita membuatku tersenyum miring.
“Memangnya banyak banget kostum karakter utama isekai?”
Kelas kami memutuskan untuk membuka kafe cosplay sebagai atraksi festival. Idenya adalah teman-teman sekelas akan menyambut tamu dengan kostum cosplay dan menyajikan makanan dari menu sederhana.
Juga, kostum-kostum itu kelihatan dikerjakan dengan penuh usaha, bahkan dari sudut pandangku. Ada cosplay standar dari anime, manga, dan game. Tapi juga ada cosplay dari komedian populer, atlet, musisi, YouTuber, Vtuber, bahkan beberapa guru di sekolah kami.
Setiap teman sekelas mengenakan kostum karakter favorit mereka. Aku tambahkan, Nishigami ber-cosplay sebagai orc, Takajima sebagai goblin, dan Okita sebagai... kesatria wanita. Ide yang unik. Yang bikin kesel, dia malah berhasil tampil sempurna.
“Tapi kalian semua juga serius banget, kan, kerja di panggung sukarela?”
“Kita akan coba datang kalau ada waktu.”
“...Iya, makasih.”
Seperti yang mereka singgung, aku dan Igarashi-san dibebaskan dari tugas kelas karena kami bekerja sebagai staf panggung. Aku merasa bersalah karena nggak bisa bantu banyak selama persiapan dan mungkin malah nyusahin sampai hari ini. Walau begitu, aku berencana menebusnya dengan memastikan panggung kami berjalan lancar, dan mengunjungi kelas sebagai tamu saat istirahat nanti.
Nito sangat sibuk sepanjang hari dan nggak bisa ada di sini juga. Sepertinya dia lagi unjuk gigi di markas Festival Hekiten.
Dan hari ini, aku punya janji pribadi dengannya. Janji sebagai sepasang kekasih, nggak ada hubungannya sama panggung kami.
Pikiranku langsung penuh dengan antusiasme saat membayangkannya...
Ya, aku harap ini akan jadi hari yang baik. Aku akan buat hari ini menjadi hari yang baik. Aku menegaskan niatku lagi untuk melakukannya.
“Oke, ayo kita jalan, Sakamoto.” Igarashi-san muncul dari kelas, sudah selesai mengemasi barang-barangnya. “Pusat komunitasnya sebentar lagi buka.”
“Oke.” Aku mengangguk, menyesuaikan tas di bahuku.
“Baiklah, kami pergi dulu, ya.”
“Sampai jumpa!”
“Semangat!”
Melambaikan tangan kepada Nishigami dan yang lainnya, kami menuju pusat komunitas, tempat panggung sukarela.
₊ ✧ ₊
Tempat acara sudah siap sepenuhnya.
Gorden hitam menutupi setiap jendela, dan lampu-lampu yang kami siapkan menerangi ruangan.
Panggung, yang didatangkan oleh kontraktor, dan perlengkapan suara di bagian belakang tempat duduk penonton semuanya sudah siap. Pengeras suara besar dipasang di samping panggung, memainkan musik sebagai bagian dari pemeriksaan terakhir.
Di tengah-tengah tempat duduk penonton, terbentuk lingkaran. Lingkaran besar dari semua staf dan pemain yang telah mempersiapkan hari ini.
Hanya dua bulan.
Kami hanya menghabiskan sekitar enam puluh hari bersama. Waktu yang sangat singkat, tapi tanpa kami sadari, kami sudah merasa terikat satu sama lain.
Hari-hari terasa intens, terutama setelah Rokuyo-senpai mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Setiap hari kami pulang terlambat, latihan berulang-ulang, dan menemukan ide-ide untuk mempromosikan acara. Ada juga perdebatan dan perselisihan.
Tapi... semuanya demi menyajikan panggung penampilan yang luar biasa. Justru karena kami sangat bersemangat mencapai tujuan itu, maka perdebatan terjadi.
Dan sekarang, hari penampilan yang sesungguhnya telah tiba.
“...Akhirnya tiba juga,” Rokuyo-senpai memulai dengan suara pelan. “Pintu akan dibuka sepuluh menit lagi. Dari saat itu sampai jam empat sore, akan berjalan tanpa henti. Yang bisa kita lakukan adalah berlari sekuat tenaga sampai akhir.”
Semua orang dalam lingkaran mengangguk setuju.
Rokuyo-senpai melihat sekeliling dengan bahagia.
“...Terima kasih banyak untuk kalian semua yang sudah membawa kita sejauh ini!” katanya, membungkuk dalam-dalam. “Aku nggak bisa lakukan apa pun sendirian! Kita bisa sampai sejauh ini karena kalian semua! Jadi...” Rokuyo-senpai mengangkat kepalanya, tersenyum lebar.
“Mari buat hari ini jadi panggung penampilan terbaik yang pernah ada!”
“ “ “Yeah!” ” ”
“Mari kita kalahkan panggung utama!”
“ “ “Yeah!” ” ”
“Dan yang paling penting, mari berikan yang terbaik!”
“ “ “Yeah!” ” ”
“Panggung sukarela, maju terus!”
“ “ “Yeah!” ” ”
Tepuk tangan besar terdengar. Battleship Potemkinz, Azuma-senpai, OBORO Moonlit Night, dan FLIXIONS semuanya tersenyum lebar. Para pemain sukarelawan juga terlihat sangat bersemangat.
Para siswa kelas satu yang akan melakukan trik sulap, kelas dua yang akan menampilkan pertunjukan boneka, dan klub kaligrafi yang akan memamerkan keahlian mereka, semua berseri-seri dengan antusiasme yang sama besarnya dengan para penampil yang diundang.
Dan tentu saja, aku. Seluruh tubuhku dipenuhi semangat yang sudah kuperoleh hingga hari ini.
Aku ingin memberikan penampilan yang telah dipersiapkan semua orang kepada penonton. Aku nggak bisa diam saja, jadi aku berkeliling dengan gelisah memeriksa tempat acara.
“—Sebentar lagi pintu akan dibuka!” seorang siswa yang bertugas sebagai penjaga waktu berteriak dari pintu masuk.
Aku langsung melihat sekeliling. Para staf sudah ada di tempatnya masing-masing. Aksi pembuka, Battleship Potemkinz, sudah menunggu di sayap panggung. Pencahayaan dan suara sudah siap sesuai rencana—Yup, semuanya beres!
Persiapan panggung sukarelawan sudah lengkap sepenuhnya.
“Kita lihat gimana nanti.” Aku menelan rasa gugup. “Kira-kira berapa banyak yang datang buat lihat aksi pembuka...”
Jujur, aku merasa cukup percaya diri. Promosi online kami mendapat respon yang baik. PV-nya mendapat banyak penonton, dengan komentar seperti “Aku akan datang!” dan “Nggak bisa datang, jadi aku nonton live streaming!” memenuhi bagian komentar. Respon terhadap program di Community FM Suginami juga bagus.
Jadi, berapa banyak yang akan hadir hari ini? Biasanya, sekitar dua puluh orang datang untuk melihat aksi pembuka panggung sukarelawan. Mudah-mudahan tahun ini kita bisa dapat dua kali lipatnya...
“Pintu dibuka!”
Lamunanku buyar ketika suara lantang itu menggema di seluruh gimnasium.
Dan dari celah pintu yang mulai terbuka—
“—Wow, ini luar biasa!”
“—Jauh lebih profesional dibanding tahun lalu!”
“—Mereka benar-benar serius kali ini, ya?”
—Orang-orang langsung membanjiri ruangan.
Para siswa dari sekolah kami dan dari sekolah lain yang seragamnya tak kukenal. Orang dewasa yang kelihatannya adalah orang tua, dan juga pria serta wanita muda yang mungkin penggemar para penampil.
Pasti ada... lebih dari seratus orang? Sekilas, ini jelas bukan belasan, tapi jauh lebih banyak dari itu!?
Punggungku terasa merinding.
Jumlahnya jauh lebih dari yang kuperkirakan. Semua promosi yang kami lakukan benar-benar membuahkan hasil! Rasa bahagia karena sukses, kebanggaan melihat kerja keras semua orang terbayar, mengalir deras dalam diriku.
Di antara kerumunan itu, aku melihat beberapa wajah yang kukenal. Adikku, Mizuki, dan Makoto, yang tampaknya datang bersama. Jadi, mereka benar-benar datang, ya? Melihat Mizuki yang antusias dan Makoto yang tampak gugup sesekali melirik sekitar membuatku merasa tersentuh entah kenapa.
Bahkan staf dari Community FM Suginami dan beberapa pejabat distrik yang sibuk menyempatkan waktu untuk hadir. Dan ada Sakurada-san, warga senior yang awalnya menentang kami menggunakan pusat komunitas ini, tapi akhirnya mendukung penuh.
Seperti biasa, dia tampil anggun. Penampilannya bahkan terlihat lebih berkelas daripada siswa SMA di sekitarnya, hampir seperti salah satu penampil hari ini.
Dan dia juga membawa beberapa teman.
“Oh, lihat, tempatnya benar-benar tertata rapi!”
“Wow, benar-benar luar biasa.”
“Anak-anak sekolah sekarang bisa melakukan hal seperti ini, ya?”
Beberapa pria dan wanita modis seusianya ikut berdecak kagum.
Melihat pemandangan yang hangat dan suasana penuh semangat, aku mengangguk puas dan menuju posisiku di sisi panggung.
“Oke... ayo kita mulai!”
₊ ✧ ₊
Sekitar satu jam setelah pertunjukan dimulai, saat jeda usai grup ketiga selesai tampil, Igarashi-san mendekat ke tempatku di samping panggung.
“Waktunya istirahat, Sakamoto~” kata Igarashi-san sambil bersiap-siap ke pos barunya. “Kamu punya waktu satu jam bebas. Pastikan kembali tepat waktu, ya?”
“Yep, pasti.”
“Ngomong-ngomong... gimana keadaannya?” tanyanya cemas. “Pertunjukannya lancar?”
Igarashi-san baru saja mengambil istirahat sebelumnya, jadi dia belum tahu bagaimana jalannya pertunjukan sejak dimulai tadi.
“Maksudmu, streaming-nya dan penonton… ikut terbawa suasana?”
“Hmm, lihat sendiri deh.”
Aku menunjukkan video penampilan terbaru di ponselku, menampilkan OBORO Moonlit Night.
“W-Wah, luar biasa!”
Suasananya benar-benar hidup. Penampilan mereka begitu menggelegar sampai-sampai bisa terasa bahkan dari layar ponsel.
OBORO Moonlit Night dikenal dengan rock alternatif yang cepat dan penuh semangat. Tapi lagu-lagu mereka punya nuansa pop yang bikin mereka populer di kalangan penggemar online. Banyak lagu mereka yang enak untuk berdansa, dan video musik mereka punya banyak penonton di platform berbagi video.
Penampilan mereka begitu memukau sampai bisa saja disangka sedang tampil di tempat konser sungguhan.
Sorak sorai terdengar dari para penonton, dan beberapa yang kelihatannya penggemar berat terlihat melompat-lompat, benar-benar menikmati suasana.
Bahkan tamu-tamu lain, seperti Mizuki dan Sakurada-san, ikut bergoyang dan bertepuk tangan. Tempat acara yang diisi sekitar dua ratus orang itu benar-benar hidup dengan musik mereka.
“Keren banget, ya? Semuanya berjalan dengan sangat baik!”
“Aku juga pikir begitu! Semua berjalan lancar, lebih dari yang kuharapkan. Bagaimana streaming-nya? Berapa penontonnya?”
“Hampir tiga ratus.. Belum ngalahin panggung utama sih, tapi angkanya terus bertambah... Ya.”
Aku mengangguk pelan sambil menatap Igarashi-san.
“Kita berhasil memikat mereka. Kalau kita terus kayak gini, kita mungkin bisa lebih unggul!”
“...Iya,” Igarashi-san mengangguk sambil tersenyum mantap. “Yuk, kita genjot lagi promosinya, baik online maupun lewat pengeras suara sekolah. Masih bisa diusahakan lebih banyak.”
“Iya, ayo kita lakukan—”
Saat kami sedang bicara, ponselku bergetar di saku.
Sebuah pesan dari dia.
“Ah, dari dia?”
“Ya.”
Aku mengangguk ke Igarashi-san, yang sepertinya sudah menebak benar, dan menyampirkan tas ke bahuku.
“Oh, oke. Situasinya kan lagi sibuk... tapi yah, nikmatin aja waktumu.”
“Pasti. Makasih.”
Mengangguk, aku berjalan menuju pintu keluar.
“Iya, sampai ketemu. Jangan sampai terlalu asyik dan baliknya telat,” kata Igarashi-san sambil tersenyum. “Dan, sebagai catatan, aku lebih mengandalkanmu dari yang kamu kira.”
₊ ✧ ₊
“Hei, maaf lama nunggu.”
“Gak apa-apa, aku juga baru sampai.”
Aku kembali ke SMA Amanuma untuk bertemu Nito, melewati gerbang depan yang dihiasi spanduk besar bertuliskan Selamat Datang di Festival Hekiten ke-43!.
“...Kamu yakin nggak apa-apa? Tentang panggung utama, maksudku.”
“Iya, semuanya sudah aku atur.”
Dia menatapku—dan tersenyum lebar.
“Jadi... kamu bisa tenang dan nikmati waktu sedikit, Meguri.”
Nito. Dia adalah lawan tangguh yang harus kuhadapi demi kesuksesan panggung sukarela kami.
Tapi saat itu, dia menatapku dengan senyum indah, wajahnya penuh antusiasme.
Rambutnya berkilau diterpa sinar matahari musim gugur. Dengan kaus panitia Festival Hekiten, jaket olahraga di atasnya, dan rok seragamnya, dia benar-benar terlihat seperti... Nito.
“Syukurlah, senang dengarnya,” kataku dan dengan gugup menggenggam tangannya.
“Oke, yuk jalan!”
“Siap!”
Kami mulai berjalan menyusuri sekolah yang penuh keceriaan.
“Aku pengen banget jalan-jalan di festival ini dan lihat sebanyak mungkin bersama.”
—Aku yang pertama kali menyarankan.
“Nito, kamu kan wakil ketua panitia festival dan harus ngurus panggung utama, plus kamu juga jadi penampil, jadi kamu pasti sibuk, tapi...” kataku padanya beberapa hari yang lalu ketika kami berjalan bersama ke stasiun.
“Aku tetap... ingin menikmati Festival Hekiten bersamamu.”
Aku bertekad agar hal itu terwujud.
Entah kenapa, akhir-akhir ini hubungan kami terasa sedikit berbeda. Ada saat ketika dia bersikeras bahwa dia akan “mengacaukan” hidupku, dan semua kesibukan persiapan festival ini.
Dan... persaingan kami. Fakta bahwa aku menantangnya dan mengatakan bahwa aku akan mengalahkan panggung utamanya membuat hubungan kami sedikit tegang. Bukan berarti kami sedang dalam masa buruk atau semacamnya, tapi ada semacam jarak di antara kami.
Namun, sebelum semua itu, Nito adalah pacarku.
Terlepas dari semua obrolan soal persaingan, aku mencintai Nito, dan dia juga bilang dia mencintaiku. Kami adalah sepasang kekasih.
Jadi, aku ingin menikmatinya. Aku ingin menikmati festival pertama kami bersama sebagai pasangan.
“A-Aku juga!” Nito mengangguk sambil tersenyum saat menerima ajakanku.
“Aku juga ingin bersenang-senang di festival ini bersamamu, Meguri!”
Nito menatapku dengan tangan terkepal, matanya berkilauan penuh antusias, pipinya merona.
Dia terlihat sedikit gugup, seolah-olah percakapan itu membuatnya tersipu.
Wajahnya saat itu... sungguh tidak tertahankan manisnya.
“K-Kalau begitu... ayo kita coba sesuaikan jadwal istirahat kita...” kataku sambil berusaha menahan perasaanku.
“Bisa nggak kita samakan waktu istirahat kita? Aku akan bicara sama yang lain...”
Dan begitulah, aku dan Nito mengatur jadwal kami yang padat, menyisihkan waktu agar bisa menikmati Festival Hekiten bersama-sama.
—“Tapi, maksudku...”
Beberapa menit setelah kami berkeliling bersama di festival.
“Kita benar-benar mulai dari sini, ya?”
Kami tiba di tempat yang ingin Nito kunjungi.
Aku menggaruk kepalaku dan menghela napas pelan.
“Tapi ini kelas kita sendiri! Kamu nggak mau lihat seperti apa jadinya?”
Nito menatapku dengan ekspresi sedikit kesal, seolah siap berdebat.
“Kamu nggak penasaran sama apa yang teman-teman sekelasmu kerjakan, Meguri?”
“Yah, bukan berarti aku nggak tertarik sih, tapi...”
Seperti yang dia bilang, ini memang kelas kami sendiri. Kelas 1-7 yang biasa ini telah berubah menjadi kafe cosplay. Berbeda dari biasanya, ruangan ini sekarang penuh dekorasi warna-warni.
Di bawah papan besar bertuliskan Cosplay Café terpampang daftar staf yang sedang bertugas, termasuk seorang Idol K-Pop, Komedian Terkenal, VTuber Populer, Orc, Kesatria Wanita, dan sebagainya. Kombinasi yang luar biasa.
Tapi ya, aku jelas penasaran. Aku penasaran melihat seperti apa tampilan kafe kelas kami dan apakah benar ada pengunjung yang masuk ke sana.
Tetap saja, ini adalah festival budaya, dan akhirnya kami mendapat kesempatan untuk berdua saja. Aku ingin melakukan sesuatu yang sedikit berbeda dari biasanya...
“Yuk masuk aja!”
“Ah, baiklah. Aku ikut, aku ikut.”
Senyum kecil muncul di wajahku melihat paksaan Nito, lalu aku pun membiarkan dia menarikku masuk ke dalam kelas.
“Wow... penuh banget!”
“Serius. Ini luar biasa!”
Aku tidak bisa menahan keterkejutanku melihat pemandangan di depan kami.
Tempatnya hampir penuh.
Kafe dengan banyak meja dan kursi itu nyaris seluruhnya terisi pengunjung.
Dan, yang anehnya...
“Lihat... bahkan para pengunjung juga cosplay?”
Entah bagaimana, pengunjung yang duduk di meja-meja itu sepertinya ikut berpartisipasi. Bukan cuma para staf yang mondar-mandir di ruang kelas, beberapa pengunjung yang datang ternyata juga sedang cosplay.
Kenapa bisa begitu? Bukannya biasanya hanya staf yang cosplay...?
“Oh, Sakamoto dan Nito-san!”
Okita, yang mengenakan kostum kesatria wanita, mendekat setelah melihat kami.
“Selamat datang! Silakan duduk di meja yang kosong! Dan kalau kalian mau cosplay juga, ada tempat ganti di sini—”
“Tunggu, tunggu, sejak kapan hal ini jadi ide?”
Aku langsung bertanya.
Benar saja, ada stan dengan kostum cosplay dan tempat ganti darurat yang ditutup kain di sudut ruang kelas.
“Bukannya seharusnya hanya staf yang cosplay? Kenapa para pengunjung juga ikut-ikutan...?”
“Jadi begini, sebenarnya banyak pengunjung yang bilang mereka juga mau cosplay,” jawabnya sambil menyingkirkan rambut panjangnya yang entah kenapa cocok dengan kostum kesatria wanitanya itu. “Jadi, kami buru-buru bikin area ganti dan ambil kostum tambahan dari Don Quijote. Sekarang pengunjung juga bisa ikut cosplay!”
“Serius...”
Jadi ini karena permintaan para pengunjung. Ternyata pengunjung macam-macam juga ya...
Serius, mendadak membuat ruang ganti dan menambah kostum di hari H? Semangat mereka benar-benar luar biasa. Kalau aku tidak sedang terlibat di panggung sukarela, mungkin aku juga bisa menikmati pameran kelas ini...
Aku jadi sadar bahwa melewatkan festival budaya waktu masuk SMA dulu memang keputusan yang rugi.
“Aku juga mau cosplay!” kata Nito bersemangat. “Aku juga ingin pakai sesuatu yang beda dari biasanya!”
“H-Hah?”
“Oh Nito-san, ayo saja! Di sini tempatnya.”
“Yeay~! Mau pilih yang mana ya?”
Nito dengan senang hati mengikuti Okita menuju area kostum.
“H-Hei, tunggu!”
Aku yang ditinggal sendirian langsung ikut mengejar mereka dengan agak enggan.
Lalu, setelah masing-masing memilih kostum, kami pun masuk ke area ganti.
“...Tunggu, ini aneh, kan?”
“Hm? Apa yang aneh?”
“Ini jelas aneh...”
“Aneh kenapa?”
“...Kita ganti baju bareng-bareng!”
Kami berada di sudut kelas yang sempit, yang ditutup tirai.
“Aku nggak masalah kalau mau cosplay! Dan aku bisa ikut kalau memang harus! Tapi... ganti baju di tempat yang sama, apa ini nggak apa-apa?”
Di ruangan sempit seukuran dua tatami, kami berdua berada sangat dekat.
Kupikir bakal ada tempat ganti terpisah untuk cowok dan cewek, tapi ternyata kami harus ganti baju di tempat yang hampir saling tempel begini.
“Kenapa sih? Ayolah, ini nggak masalah kok,” jawab Nito sambil menunjukkan kostum cosplay yang ia pilih. Dia mengangkat kostum T-rex untuk kulihat.
“Lihat, semua kostum ini bisa dipakai di atas seragam kita. Jadi nggak perlu lepas baju yang kita pakai sekarang.”
“Yah, kalau begitu sih, tapi...”
Tetap saja, cowok dan cewek ganti baju di ruang yang sama? Bukannya itu sedikit aneh?
Dan, aku malah kebagian cosplay jadi villainess. Gimana ceritanya bisa sampai begini?
Okita yang menyarankan kostumnya sambil bilang, “Aku yakin ini bakal cocok buatmu, bro,” dan “Dari yang ada, ini yang paling cocok buat Sakamoto.” Dia terlalu mendesak sampai aku akhirnya setuju pakai kostum itu.
“Baiklah...”
Di sebelahku, Nito sedang berusaha mengenakan kepala T-rex-nya.
Dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi agar bisa masuk ke kepala T-rex itu, tampaknya sedikit kesulitan memakainya dengan benar.
“Hmm?” gumamnya sambil mencoba mencari posisi yang tepat.
Di sebelahnya, aku mencoba mengenakan wig dengan keriting pirang vertikal, dan tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatianku—
“...!”
Perutnya terlihat.
Saat dia mengangkat tangannya, ujung kaus panitia Festival Hekiten yang dia pakai terangkat, memperlihatkan sedikit celah antara kaus dan roknya.
“...!”
Sejenak, aku melihat kulit putihnya.
Sebagai seorang gadis, pinggangnya jauh lebih ramping dariku.
...Tidak, aku tidak boleh! Kalau dia sadar aku memperhatikan perutnya, situasinya bakal jadi sangat canggung.
Dengan sifatnya, bisa-bisa dia menggodaku dengan mengatakan, “Ada apa ini~? Meguri, kamu terpesona dengan perutku ya?”
Jadi, aku harus menahan diri dan fokus berganti pakaian.
“...”
Tapi Nito sedang memakai kepala kostum dinosaurus. Penglihatannya mungkin terbatas. Kostum itu tampaknya tidak pas di kepalanya, jadi sepertinya dia sama sekali tidak bisa melihatku.
Hmm, menarik juga... Sekarang Nito benar-benar tidak waspada...
...
Bagaimanapun, aku harus melanjutkan ganti baju. Aku meraih gaun yang kupakaikan di kursi dan—mataku kembali teralih ke perutnya. Sungguh, ini bukan salahku.
Kulit halus yang kulihat sekilas tadi terlihat lembut dan mulus, membuatku ingin menyentuhnya.
Dan, ternyata sedikit berisi. Meskipun Nito umumnya ramping dan langsing, perutnya terlihat agak lembut. Empuk dan mulus, seperti pipi bayi.
Aku buru-buru menekan keinginan untuk menyentuhnya.
Kemudian pandanganku beralih ke pusarnya. Sebuah lekukan kecil yang tampak seperti bayangan, bentuknya tidak jauh berbeda dari punya laki-laki, seperti punyaku. Hanya cekungan kecil di tengah perut. Tapi entah kenapa begitu memikat, dan aku tak bisa mengalihkan pandangan.
“—Meguri?”
“Uwaaah!?” Aku tersentak kaget mendengar namaku dipanggil tiba-tiba.
Kepalaku langsung terangkat, seolah ada yang menariknya paksa.
“Apa... yang sedang kamu lihat?”
Mata Nito tertuju padaku. Rupanya dia sudah selesai memakai kepala T-rex, dan kepalanya sendiri mengintip dari balik mulut bergigi tajam kostum itu sambil menatapku.
“...A-Anu, t-tidak! Bukan apa-apa...”
“Pembohong, kamu memang memperhatikannya, kan?”
Nito terus menatapku dengan tajam.
“Meguri, kamu memperhatikan perutku...!”
“I-Itu, yah, eh... aku tidak sengaja!”
Gawat, dia memergokiku! Dia benar-benar sadar kalau aku memandangi perutnya!
“Itu hanya sekilas saja, bukan benar-benar memperhatikan...” Aku berusaha menjelaskan, tapi Nito tidak percaya begitu saja.
“Aku jelas tahu. Kamu menatapku dengan sungguh-sungguh, bahkan tersenyum sedikit...”
“T-Tersenyum!?”
Apa aku benar-benar melakukan itu? Tersenyum sambil melihat perutnya!? Itu benar-benar menyeramkan, bahkan untukku!
Dia pasti jadi ilfeel...
Bagaimana kalau dia memutuskan hubungan gara-gara ini?
Saat aku panik dalam hati—
“...Kamu pikir perutku gemuk, kan?” kata Nito dengan suara rendah. “Kamu berpikir, ‘Wah, ternyata dia agak chubby’...”
“...Hah!?”
Gemuk!? Chubby!? Aku sama sekali tidak berpikir begitu!
“B-Bukan begitu! Aku cuma berpikir terlihat lembut...”
“Bohong! Itu pasti karena berat badanku naik!” seru Nito dari dalam kepala T-rex sambil menarik ujung kausnya dengan paksa.
“Aku memang naik dua kilo karena sibuk dengan persiapan festival! Makanya kamu menertawakan aku!”
“Bukan itu! Aku hanya merasa terlihat lembut dan ingin menyentuhnya—”
“—Lihat, kamu bilang lembut! Jadi memang kamu berpikir begitu.”
Tanpa sadar, obrolan kami berujung menjadi perdebatan.
Tidak bisa menyangkal atau berpura-pura tidak ada yang terjadi, perdebatan kami terus berlanjut sampai Okita muncul dan bercanda, “Oi, oi, kalian lagi bertengkar layaknya sepasang kekasih, ya?”
₊ ✧ ₊
Namun sungguh, festivalnya sukses besar.
Setelahnya, sambil menyemangati Nito dengan teh dan makanan manis, kami berjalan bersama mengelilingi sekolah, sepenuhnya menikmati suasana festival.
“Lihat semua stan klasik ini, seperti crepes dan yakisoba... dan di sana, pertunjukan tiruan dari Klub Riset Idol, oh, dan di sini, turnamen Biblio Battle Klub Sastra...”
“Hehe, keren banget, ya? Lihat, bahkan ada salon rambut!”
Benar saja, sebuah kelas membuka salon yang disebut “Salon Amanuma”. Murid-murid yang mungkin berasal dari keluarga pemilik salon atau bercita-cita jadi penata rambut memberikan potongan rambut. Bukankah itu sedikit berlebihan untuk sebuah stan festival?
Lalu ada siaran radio dari Klub Penyiaran yang terus-menerus mengudara di seluruh sekolah.
Selanjutnya adalah segmen guru. Semua kenal beliau, ini dia Chiyoda-sensei dari jurusan Sastra Modern, yang membawakan acara “Konseling Patah Hati Momose~!”
“Chiyoda di sini. Senang berbicara dengan kalian.”
Aku terbahak, bahkan sampai menyemburkan bubble tea yang sedang kuminum.
Apa-apaan ini!?
Chiyoda-sensei, kenapa tiba-tiba muncul di acara radio? Dan “Konseling Patah Hati Momose?” Segmen macam apa itu!?
Seolah menjawab pertanyaanku—
“Dalam segmen ini, aku, Momose Chiyoda, akan dengan tulus menjawab pertanyaan dari siswa yang baru saja patah hati. Menutup babak cinta sangat penting. Jadi, bagi kalian yang sedang patah hati, aku tunggu pertanyaannya.”
Konseling patah hati!? Bukankah itu agak terlalu serius untuk sebuah festival budaya? Dan suara Chiyoda-sensei terdengar sangat berpengalaman...
Tunggu, apakah ini bukan pertama kalinya dia melakukannya? Pasti di sekolah tempat dia mengajar dulu! Wanita itu terlihat serius, tapi idenya sungguh gila.
Tapi ya, aku memang cukup menyukai Chiyoda-sensei dan percaya padanya juga...
“...Hah.”
Setelah melihat semua yang ada di sekolah, aku menghela napas kecil.
Tapi sebenarnya, aku dan Nito membuat janji untuk pergi ke suatu tempat setelah ini. Janji untuk menunjukkan sesuatu padanya.
“Baiklah... kita pergi sekarang, ya?” aku menyenggol Nito yang berdiri di sampingku. “Kayaknya waktu istirahat kita hampir habis juga.”
“Iya,” Nito setuju sambil mengangguk santai. “Ayo kita lihat panggung sukarela.”
Dia menatapku dan tersenyum.
“Aku mau melihat hasil kerja kerasmu dan yang lainnya!”
Dia tersenyum cerah tanpa rasa gugup atau cemas; ekspresi tenang yang menunjukkan kepercayaan dirinya.
Benar, aku memang berjanji menunjukkan panggung sukarela padanya setelah jalan-jalan ini.
“Oke, ayo berangkat,” kataku, lalu mulai berjalan menuju pintu keluar.
Bagaimana ini akan berjalan?
Nito masih terlihat tak sedikit pun merasa dia akan kalah.
Itu wajar, tentu saja, karena sampai belum lama ini dia selalu memantau kemajuan kami. Dia bahkan menonton video pertunjukan yang kami rencanakan hingga sebelum Rokuyo-senpai menyatakan perasaannya yang sebenarnya.
Jadi, dia pasti yakin panggung utama akan lebih baik. Dia yakin dialah yang akan menguasai suasana Festival Hekiten ini.
Jadi, aku bertanya-tanya bagaimana reaksinya ketika dia benar-benar melihat panggung itu dengan mata kepala sendiri. Bagian itu sedikit membuatku takut, dan jantungku berdetak kencang di dadaku.
Dengan langkah yang agak kaku, aku menuntunnya menuju pusat komunitas.
₊ ✧ ₊
“Baiklah, kita masuk, ya.”
“Oke.”
“Kamu siap?”
“Iya, sudah siap.”
Kami telah sampai di pusat komunitas. Dengan satu tangan di pintu gimnasium, aku memastikan pada Nito sebelum kami masuk.
Keramaian di pusat itu sepertinya bahkan membuat Nito terkejut. Tempatnya penuh dengan orang-orang yang datang untuk menonton pertunjukan panggung sukarela, juga siswa dan warga sekitar yang sedang keluar-masuk. Dari ekspresinya, sepertinya Nito tidak menyangka penontonnya sebanyak itu.
Penampil di atas panggung saat ini adalah—Azuma Kirara-senpai, penari imut yang viral di TikTok.
Dialah yang paling berusaha untuk “mengalahkan NITO” di antara semua penampil, terus-menerus mempromosikan pertunjukannya secara online.
Bahkan dari luar pintu, kami bisa mendengar suara musik dan sorak-sorai penonton.
Jadi, sepertinya pertunjukannya berjalan baik. Dia pasti berhasil membawakan penampilannya dengan sempurna.
Aku menarik napas dalam, mempersiapkan diri, dan membuka pintu.
Saat aku dan Nito melangkah masuk—
“Oh wow!”
“...Gila...”
—Kami berdua berseru saat pusaran energi antusias menyambut kami.
Lampu gemerlap menerangi Kirara-senpai yang sedang menari di atas panggung.
Aku memperhatikan gerakan dan ekspresi imutnya. Dia benar-benar tahu cara menarik perhatian dari setiap sudut; tarian Azuma-senpai ini benar-benar meneriakkan, “Kawaii!” Seirama dengan lagu Vocaloid populer yang meledak dari pengeras suara.
Tapi penontonnya... benar-benar luar biasa. Di sana ada banyak anak muda yang sepertinya fans Azuma-senpai. Mereka melambaikan stik cahaya mengikuti irama, dan bersorak sekuat tenaga.
Suasana di dalam gimnasium begitu intens, penuh energi yang membuat udara bergetar. Bahkan lantainya pun terasa berdenyut seirama dengan beat lagu.
Rasanya seperti melangkah ke dunia lain.
Sementara kami terdiam terpana, lagu itu akhirnya selesai.
Sorak-sorai besar dan tepuk tangan menggema, dan Azuma-senpai berterima kasih pada para penonton melalui mikrofon.
“Terima kasih banyak, semuanya~! Aku suka sekali dukungan kalian! Dan terima kasih untuk yang ikut menari juga!”
Suaranya terdengar imut sekali, seperti lonceng yang berdenting.
Kerumunan pun semakin liar, bersorak dan memanggil namanya.
“Di sini makin panas, ya! Hati-hati sama cuacanya, oke? Kita nggak mau ada yang kena serangan panas atau apa pun!”
Kekhawatirannya membuat mereka bersorak lebih keras lagi. Teriakan, “Terima kasih!” dan “Siap, Kak!” terdengar dari seluruh gimnasium.
Di sebelahku, Nito tampak gelisah melihat pemandangan itu.
“Sekarang, setelah melihat semua ini...”
Suara Azuma-senpai tiba-tiba turun. Ketika suara sorak-sorai mulai mereda, dia menghela napas panjang dan dalam.
Hah? Ada apa? Kenapa suasananya tiba-tiba berubah?
Saat aku masih bingung, dia membuka mulutnya sedikit.
“...Hei, kalian kira ini cukup untuk menang?” bisiknya di mikrofon.
“Kalian beneran pikir kita bisa ngalahin panggung utama... ngalahin NITO... kayak gini!?”
Suara Azuma-senpai makin lantang dengan setiap kata yang dia ucapkan.
Kerumunan mulai bergemuruh, merasa tersulut.
...Apa yang terjadi? Kenapa dia tiba-tiba ngomong begitu?
Aku nggak menyangka dia tipe orang yang ngomong kayak gini di depan umum.
Akhirnya, dia berteriak, “Kita nggak akan menang kalau begini, kan!? Kita perlu lebih banyak, kan!?”
Nada suaranya benar-benar terdengar seperti anak nakal yang ingin menang.
“Kalian semua, kita bisa lebih dari ini, kan!? Kita bisa lebih banyak lagi, nggak!?”
Kata-katanya penuh tekad, dan hasrat yang kuat untuk menang.
Dan, teriakan itu langsung memikat hati para penonton.
“Aku akui, NITO itu bener-bener keren! Dia jenius, dan imut banget juga! Secara normal, kita nggak punya peluang! Tapi...”
Dia menggenggam mikrofon erat-erat, tatapannya menyapu penonton.
“Meski begitu, aku—tidak, kita SEMUA MAU MENGALAHKANNYA!”
Suaranya menggema di seluruh gimnasium.
“Aku bilang di siaran langsung, kan!? Tujuan kita hari ini adalah mengalahkannya! Mengungguli panggung utama dengan panggung sukarela kita! Kita sungguh-sungguh ingin mewujudkannya!”
Sorak-sorai besar terdengar memenuhi ruangan. Suara-suara yang berteriak, “Kamu pasti bisa!” dan “Kamu pasti menang, Kirara-chan!” terdengar dari segala penjuru.
“Terima kasih...” Azuma-senpai berbisik pelan.
Kemudian, “Tapi untuk itu... aku butuh kekuatan kalian semua!”
Ekspresinya kembali lembut, dan tatapan matanya yang manis mengundang rasa ingin melindunginya.
“Aku nggak bisa sendiri... Aku butuh sorakan dan dukungan kalian semua...”
Matanya mulai berkaca-kaca sambil menggenggam mikrofon erat-erat dengan kedua tangan.
“Jadi, tolong, beri aku kekuatan kalian!” serunya ke arah penonton.
Sorakan yang meledak begitu keras seakan-akan akan menghancurkan langit-langit. Tepuk tangan menggema sekuat gemuruh.
“Dan sekarang, lagu selanjutnya! Ayo kita buat ini semakin seru! Ini dia, ‘Chocolat☆Sparkle☆Fromage’!”
Dengan intro itu, lagu berikutnya mulai diputar.
Lagu pop imut tentang cinta seorang gadis. Begitu melodi mengalun, dia mulai menari lagi, dan gelombang besar kegembiraan menyapu penonton.
Energinya jauh lebih kuat daripada sebelumnya, sampai-sampai berdiri di bagian belakang saja sudah membuat keringat bercucuran di seluruh tubuhku.
“—Meguri.”
Suara Nito mencapai telingaku ketika aku terpesona melihat penampilan itu. Dia menepuk bahuku, mulutnya hanya beberapa inci dari telingaku.
“Aku mau balik dulu.”
“Hah, sudah? Padahal masih ada waktu...” aku berkata sambil berbalik menghadapnya.
“Maaf, aku ada banyak yang harus disiapkan.”
Ekspresi seriusnya membuatku terkejut.
“Aku pergi lebih awal, ya.”
Hanya dari kata-katanya itu aku bisa mengerti.
Nito merasa terancam. Oleh kata-kata Azuma-senpai, oleh penonton yang energinya membara. Itu membuatnya merasa cemas.
Gadis ini, NITO—yang terkenal di seluruh Jepang—terintimidasi. Oleh panggung sukarela kami.
“...Oke,” kataku sambil mengangguk.
Saat ini, yang bisa kulakukan hanyalah melepasnya pergi. Rasanya tidak perlu lagi berkata banyak atau menunjukkan kekhawatiran.
“Semangat, ya.”
“Iya, terima kasih.”
“Aku akan nonton pertunjukanmu. Aku menantikan itu.”
“Iya.”
Dengan itu, Nito membalikkan badan dan berjalan cepat menjauh.
Setelah melihatnya pergi, aku menghela napas. Aku menyelinap melalui kerumunan yang penuh semangat dan kembali ke area staf.
₊ ✧ ₊
“Kita menang! Kita mengalahkan panggung utama dalam jumlah penonton lagi!”
Igarashi-san memberitahuku dengan penuh semangat saat aku memasuki area staf.
Festival Hekiten sudah hampir berakhir, hanya FLIXIONS yang tinggal untuk tampil di panggung sukarela.
“Baiklah, ini bagus...”
“Beneran kita bisa menang...!?”
Di belakang panggung, staf berkumpul di sekitar Igarashi-san, menatap layar komputer.
Igarashi-san, yang jelas-jelas bersemangat, menunjuk layar.
“Lihat ini! Panggung utama punya 987 penonton, dan kita... kita di 1.011 sekarang!”
Sorakan “Oooh” terdengar di sekeliling.
Kami terus memantau jumlah penonton siaran langsung secara real-time. Sejak awal, angka online kami terus berkejaran dengan panggung utama, beberapa kali kami bahkan sempat unggul.
Rasanya seperti, secara keseluruhan, kami mungkin benar-benar menang. Dan online, bukankah panggung sukarela sedang unggul...?
Bukan ilusi; begitulah jalannya sejauh ini. Meski begitu, kami belum menghitung pengunjung sebenarnya di tempat ini.
Kami hanya akan mengetahuinya setelah festival selesai, dan hasil kompetisinya tetap belum pasti sampai saat itu... tapi gimnasium kami hampir selalu penuh kapasitas. Setidaknya, kami tidak jauh tertinggal dari panggung utama.
...Kami mungkin benar-benar bisa menang.
Ada kemungkinan besar kami bisa mengalahkan panggung utama. Rasanya seperti apapun bisa terjadi, dan semangat itu mulai menyebar ke seluruh staf panggung sukarela.
“...Sakamoto, kamu mau nonton penampilan terakhir, kan?”
Igarashi-san menatapku dari balik komputer.
“Kamu bakal nonton penampilan live Chika, kan?”
“...Iya.”
Aku mengangguk, dan semua mata tertuju padaku.
“Maaf, tapi aku mau pergi dulu. Aku bakal cek gimana suasana di sisi lain.”
“Iya.” Igarashi-san mengangguk kecil. “Sampai ketemu nanti.”
“Ya, sampai ketemu nanti.”
Setelah itu, aku meninggalkan pusat komunitas. Melangkah keluar ke jalan, aku menarik napas dalam.
Ini akan menentukan masa depan kami.
Hasil tantangan Rokuyo-senpai, debut besar NITO, dan mungkin juga masa depanku bersama Nito.
Dengan semua ini, aku meneguhkan hatiku dan melangkah maju, selangkah demi selangkah.
Aku menuju gimnasium utama SMA Amanuma. Tempat panggung utama di mana NITO akan tampil.
₊ ✧ ₊
“...Seperti dugaanku, ini luar biasa.”
Aku bergumam pada diri sendiri begitu tiba di gimnasium dan melihat betapa penuhnya tribun.
“Berapa banyak orang di sini? Pasti lebih dari seribu, ya...?”
Lantai yang biasanya menampung hampir seribu siswa, kini penuh sesak.
Meski ada lebih sedikit kursi daripada biasanya, ada banyak orang yang berdiri. Aku tidak akan heran kalau jumlahnya sebanyak itu sekarang.
“...Pertanyaannya adalah apakah kita bisa mempertahankan keunggulan kita.”
Sejauh ini, ukuran penonton tampaknya sedikit lebih berpihak pada panggung sukarela. Jika kita memperhitungkan jumlah penonton online dan pengunjung sebenarnya, mungkin kita memang sedang unggul.
Jadi persaingannya akan tergantung pada satu hal: apakah kita bisa mempertahankan keunggulan ini di waktu yang tersisa.
Dengan kemungkinan NITO yang akan meningkatkan jumlah mereka besar-besaran, apakah FLIXIONS bisa bertahan...?
“...Tidak, mereka pasti bisa.”
Aku tahu betul seberapa keras mereka bekerja hingga hari ini. Dari promosi terus-menerus, hingga menyempurnakan setiap penampilan mereka.
Aku tidak pernah tertarik dengan grup tari sebelumnya, tetapi latihan kemarin membuatku tersentuh.
Jadi, mereka pasti juga akan menambah jumlah kita.
Kami pasti bisa bertahan...
Saat itu—
“Dia di sini.”
—lampu di gimnasium meredup, dan sorotan menyinari panggung.
Panggung utama yang sederhana dan cocok: sebuah grand piano dan satu mikrofon.
Musik mulai terdengar dari pengeras suara di kedua sisi panggung, menyambut kehadiran NITO.
Sekarang, mari kita lihat apa yang akan terjadi. Pertunjukan macam apa yang akan Nito tampilkan hari ini?
Perasaan cemas dan semangat bercampur aduk di dalam diriku. Terombang-ambing antara dua emosi itu, aku duduk dengan gelisah di tengah gimnasium.
Aku menyukai suara NITO. Dan aku juga menyukai lagu-lagunya. Jadi aku sungguh-sungguh menantikan pertunjukannya hari ini.
Aku berharap akan melihat sesuatu yang luar biasa.
Setelah jeda singkat, Nito akhirnya muncul.
Kerumunan langsung bergemuruh. Bukan hanya kerumunan—aku juga terperangah melihat NITO yang berjalan pelan mendekati piano.
“Hah... Nito...?”
Dia mengenakan gaun putih polos. Gaun itu dihiasi dengan dekorasi lembut yang menjuntai hingga pergelangan kakinya.
Sampai saat ini, Nito hampir selalu mengenakan gaun hitam. Desain situs webnya dan video musiknya juga selalu didominasi oleh warna hitam. Aku pikir itu mungkin untuk memperkuat gambarannya sebagai “jenius bayangan”.
Dan ekspresi seriusnya saat menyanyi memang cocok sekali dengan warna gelap.
Namun kali ini—putih. Warna yang benar-benar berlawanan dari yang biasa dia pakai. Tapi, anehnya, warna itu sangat cocok dengannya. Dia terlihat lebih bersinar, langkahnya tampak lebih ringan. Seolah-olah aku sedang melihat sisi lain dari dirinya.
Tapi bukan itu perubahan terbesarnya. Bukan pakaiannya yang membuat kerumunan bergemuruh.
NITO berdiri di depan panggung, menghadap kami. Setelah membungkuk dalam-dalam, dia mengangkat wajahnya—dan tersenyum. Sebuah senyuman polos, ceria, bahagia.
Dan, rambutnya lebih pendek. Rambut panjangnya yang dulu menjuntai sampai ke punggung kini telah dipotong pendek.
Itu yang disebut bob, kan?
Potongan rambut bulat yang imut, dengan sedikit warna merah muda di bagian dalam, membuat ekspresinya terlihat lebih ceria dari sebelumnya.
“Nggak... mungkin...” aku terkejut tanpa bisa menahan diri.
“Barusan saja, rambutnya masih panjang...”
Iya... barusan saja, waktu kami menonton panggung sukarelawan bersama, rambutnya masih panjang. Gimana caranya dia bisa memotongnya secepat itu?
“...Ah, salon!” Aku langsung tersadar. “Ada kelas yang bikin salon sebagai atraksi mereka!”
Namanya “Salon Amanuma”, kalau aku ingat dengan benar. Nito sepertinya tertarik, jadi pasti dia memotong rambutnya di sana...
Saat menatap NITO di atas panggung dengan tampilan rambut barunya yang pendek, aku pun menyadari—
“...Rambut pendek benar-benar cocok untuknya,” aku bergumam pelan. “Dia kelihatan sangat imut.”
Tentu saja, dia juga tampak luar biasa dengan rambut panjang. Aku bahkan nggak bisa menghitung berapa kali jantungku berdegup kencang saat melihat rambut panjangnya berkibar tertiup angin.
Tapi tetap saja, NITO dengan rambut pendeknya ini... Gaya baru ini terasa ringan dan penuh intelektualitas, cocok banget dengannya.
Rasanya seperti melihat Nito yang sebenarnya... dan aku pun jatuh cinta lagi, lebih dalam dari sebelumnya.
Aku cinta Nito. Aku cinta gadis yang berdiri di atas panggung sambil tersenyum itu. Perasaan itu terasa begitu jelas di dalam hati.
Dan, “...Jadi itu alasannya.” Entah bagaimana, aku merasa bisa mengerti maksudnya. “Nito... mungkin dia akhirnya melepaskan sesuatu.”
Selama ini, Nito selalu membelenggu dirinya sendiri. Dengan musiknya, masa depannya, rasa bersalahnya.
Namun sekarang, dia tampak sedikit lebih bebas. Seperti ada sesuatu yang telah dia terima.
Kalau itu benar, aku merasa bersemangat. Bersemangat untuk mendengar lagu seperti apa yang akan dia nyanyikan. Karya seperti apa yang akan dia ciptakan sebagai dirinya yang sekarang.
Aku sungguh menantikannya.
Saat aku tenggelam dalam pikiran itu, Nito duduk di depan piano.
Setelah beberapa detik, dia menarik napas dalam-dalam—dan jemarinya mulai menari di atas tuts. Akor-akor kompleks berpadu, membentuk sebuah lagu. Irama yang riang dan melodi yang menggembirakan.
Kemudian, Nito bangkit. Seolah nggak bisa menahan diri lagi, dia berdiri dari kursinya dan mulai bergoyang dengan penuh keceriaan.
Dia mendekatkan wajahnya ke mikrofon, membuka mulutnya lebar-lebar—dan mulai bernyanyi.
Tenggorokan NITO bergetar saat dia mulai menenun melodi dengan suaranya. Sebuah melodi yang bebas dan ceria memenuhi seluruh gimnasium.
Senyum penuh menghiasi wajahnya.
Itu pertama kalinya aku melihatnya menunjukkan ekspresi seperti itu. Nito yang bernyanyi dengan penuh keceriaan, bahkan berbeda dari yang pernah kulihat sepanjang kehidupan SMA pertamaku.
Aku benar-benar terpikat, melihat hanya lagu yang dia ciptakan dan dunia yang dia bangun.
Galaksi seakan meledak di setiap kedipan, tetesan keringatnya berubah menjadi bintang-bintang.
Pemandangan di sekitarku terasa lebih cerah, penuh warna yang hidup. Sebuah semangat yang bergelora muncul di dalam diriku.
Dan di sanalah dia, di tengah semuanya. Di pusat dunia yang dia ciptakan, di tengah gairah dan pusaran suara dari para penonton.
NITO terlihat sangat bahagia, seolah menikmati setiap nada dengan polos, bermain-main dengan suara yang dia hasilkan.
Post a Comment