NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ashita Hadashi de Koi Volume 3 Epilog 1

 


Penerjemah: Chesky Aseka 

Proffreader: Chesky Aseka.


Epilog 1: Pesan Musim Dingin


“—Dan perhitungannya adalah...”  

Aku menoleh dari laptop yang sedang kugunakan.  

“...Selesai.”  

Para pemain dan staf panggung sukarela yang penuh antusias menolehkan perhatian mereka padaku.  

Namun, di tengah semuanya—berdiri Rokuyo-senpai. Sosok penting dalam pertarungan ini menatapku tenang dengan tangan bersilang di dada.

Festival Hekiten telah berakhir dengan sukses.  

Setelah upacara penutupan di gimnasium, kami kembali ke pusat komunitas untuk memeriksa hasil kompetisi hari ini.  

Aku mendapat tugas untuk menghitung jumlahnya. Menggabungkan jumlah pengunjung unik dari bagian siaran di situs web, yang dibuat oleh Klub Komputer, dan jumlah pengunjung langsung yang dicatat oleh panitia festival.  

Dan kini, kertas di tanganku memegang hasil dari pertarungan ini, masa depan Rokuyo-senpai.  

“Bagaimana hasilnya?” tanya Rokuyo-senpai dengan suara ceria, seolah menikmati momen ini. “Katakan hasilnya.”  

“Ya...”  

Aku mengangguk dan berdiri dari kursiku, lalu menghadap semua orang.  

“Total untuk panggung sukarela, menggabungkan pengunjung langsung dan penonton streaming, adalah—” Aku berhenti sejenak. “5.208.”  

Terdengar suara kekagetan serempak.  

Lebih dari lima ribu orang. Jumlah ini jauh melebihi harapan semua orang. Di tahun-tahun sebelumnya, panggung sukarela bahkan tidak bisa menarik dua ratus orang. Bahkan di garis waktu sebelumnya, tidak pernah mencapai seribu.  

Aman untuk dikatakan bahwa kami berhasil menampilkan panggung yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.  

Suasana di ruangan terasa penuh harapan. Aku bisa merasakan tatapan penuh harap tertuju padaku.  

“Dan untuk panggung utama, menggabungkan pengunjung langsung dan penonton streaming, totalnya adalah—” Aku berhenti lagi, lalu menyampaikan hasil pertarungan hari ini kepada semua orang. “7.811.”  

Panggung sukarela—5.208 orang.  

Panggung utama—7.811 orang.  

Ini adalah kekalahan.  

Panggung sukarela kami kalah.  

Sampai NITO tampil, kami jelas memimpin. Ini mungkin terdengar seperti alasan, tapi memang benar. Kami mengalahkan panggung utama mereka dan menarik lebih banyak penonton.  

Dan jujur, aku yakin kami benar-benar menghibur mereka. Wajah penonton di kursi, ekspresi bahagia mereka, memberitahuku bahwa penampilan hari ini akan teringat selamanya.  

Lalu, NITO tampil. Dengan potongan rambut barunya, ia tampil di akhir. Jujur saja, penampilannya berada di level yang sama sekali berbeda.  

Aku sudah sering melihat NITO tampil. Dalam kehidupanku di SMA pertama dan sekarang, baik dari dekat maupun online, aku sudah menyaksikan penampilannya dalam berbagai bentuk.  

Namun kali ini, penampilannya benar-benar berbeda dari yang lainnya. Ekspresinya penuh kehidupan dan kebebasan. Suaranya melantunkan melodi dengan lembut.  

Dia—berubah. Dia melepaskan semua yang mengikatnya dan menemukan kebebasan. Dia bermain piano dengan penuh semangat dan bernyanyi seolah sedang menari.  

Perubahan itu mengejutkan para pendengar online dan segera menjadi topik panas di media sosial.  


NITO terlihat sangat berbeda dari biasanya!

Dia terlihat sangat bahagia.  

Ini benar-benar NITO-san?  

Aku nggak tahu kalau dia seimut ini.


Akibatnya, situs siaran Festival Hekiten dibanjiri penonton, jumlahnya meningkat berkali-kali lipat. Meskipun tidak mencapai puluhan ribu seperti di platform video lainnya, popularitas tentang perubahan NITO terus menyebar, dan video yang diarsipkan mungkin akan terus bertambah jumlah penontonnya.  

Jadi, ini kekalahan. Kami kalah.  

“...”  

“...”  

“...”  

Semua orang terdiam.  

Kami tidak berhasil.  

Meski telah memberikan segala yang kami punya, kami masih belum cukup. Wajah-wajah mereka menunjukkan kebingungan, tidak tahu bagaimana menerima kenyataan itu.  

Lalu—  

“Terima kasih!”  

—Sebuah suara terdengar di seluruh gimnasium.  

“Terima kasih semuanya, sudah berjuang sekeras mungkin!”  

Itu Rokuyo-senpai.  

Dia membungkuk dalam-dalam pada kami dan berbicara dengan suara paling tulusnya hari ini.  

“Tapi... Maaf! Ini kesalahanku kita kalah! Karena aku nggak cukup baik! Kalian semua sudah bekerja sangat keras, dan aku mengecewakan kalian!”  

“E-Enggak mungkin!”  

Orang pertama yang merespons adalah Azuma-senpai, terlihat hampir menangis saat ia berlari ke sisi Rokuyo-senpai.  

“Rokuyo-kun, kamu luar biasa. Aku benar-benar bersenang-senang...”  

“Ya, serius, aku sangat menikmati ini!”  

“Semua orang tertawa terbahak-bahak!”  

Kerumunan di sekitar Rokuyo-senpai semakin besar, memberi ucapan terima kasih satu per satu. Suasana mulai rileks sedikit saat semua orang mulai menerima kekalahan.  

“Bagaimana dengan janjimu pada ayahmu?” tiba-tiba Igarashi-san bergumam. “Apakah ini berarti kamu nggak bisa memenuhi janjimu untuk mengalahkan panggung utama?”  

Suasana kembali muram.  

Oh, iya, janji yang dibuat Rokuyo-senpai pada ayahnya—untuk mengalahkan panggung utama dan mendapatkan izin memulai usahanya sendiri. Ini berarti kami tidak bisa memenuhi janji itu... 

...Dan kemudian, aku ingat.  

Saat kami mulai mempersiapkan Festival Hekiten, aku teringat bagaimana masa depan Rokuyo-senpai terlihat.  

Dia seperti orang yang sama sekali berbeda, semangatnya hilang. Hanya menjalani hari-harinya tanpa tujuan, tanpa keyakinan, atau keinginan untuk melakukan apa pun.  

Apakah dia... akan berakhir seperti itu lagi? Apakah Rokuyo-senpai akan kehilangan harapan seperti itu...?  

“...Tentang itu.” Namun, Rokuyo-senpai tidak kehilangan senyum penuh keyakinannya. “Ayahku datang melihat panggung sukarela.”  

“Oh, serius...?”  

“Apa katanya?”  

“Dia tersentuh,” kata Rokuyo-senpai dengan senyum bahagia.  

“Dia nggak percaya dengan apa yang aku dan teman-temanku hasilkan. Jujur saja, ini melebihi semua harapannya.”  

Rokuyo-senpai menatap mata kami satu per satu.  

“Ayahku akan mengizinkanku memulai usahaku sendiri,” katanya dengan suara kuat dan penuh kebanggaan.  

Sorak-sorai pun meledak.  

Izin untuk memulai usaha—hasil yang semua orang harapkan.  

Tentu, dia tidak mencapai level yang sama dengan NITO. Dia sudah memberikan segalanya, tapi tetap saja berakhir kalah.  

Namun tetap saja, jika meraih masa depan seperti itu memungkinkan, jika Rokuyo-senpai memiliki masa depan cerah di depannya, maka kupikir itu sudah cukup.  

Rokuyo-senpai, yang terlihat sedikit malu saat semua orang memberi ucapan selamat padanya, menggaruk pipinya.  

“Tapi... kalian tahu,” ia melanjutkan. “Aku memutuskan untuk bekerja di perusahaan ayahku dulu.”  

Apa—?  

Semua orang tercengang.  

Kenapa? Dia sudah mendapat izin yang dibutuhkannya. Jadi kenapa... bekerja di perusahaan ayahnya?  

Rokuyo-senpai menatap wajah-wajah kami yang kebingungan dan menggaruk kepalanya.  

“Maksudku... aku sudah sampai sejauh ini setelah mendorong diriku hingga batasnya, dan setelah itu aku mengerti apa yang ayahku maksudkan. Masih banyak yang perlu kupelajari. Itu sebabnya aku mencoba melakukan semuanya sendirian dan akhirnya menemui jalan buntu. Aku menyesal nggak meminta bantuan lebih awal. Saran ayahku untuk bergabung di perusahaannya adalah...” dia berhenti sejenak, lalu tersenyum malu-malu. “...Kesempatan untuk belajar sebelum memulai usaha sendiri.”  

Masuk akal, kurasa.  

Ayahnya tidak menolak ambisinya begitu saja. Sebagai orang tua, mungkin dia memberi saran itu dengan kekhawatiran dan perhatian.  

“Jadi... aku ingin memulai di sana. Belajar dasar-dasar bisnis di perusahaan ayahku. Maaf, semuanya. Kalian sudah membantuku, dan aku malah bersikap egois!”  

Rokuyo-senpai kembali membungkuk dalam-dalam.  

“Tapi berkat kalian semua, aku belajar banyak. Kurasa pengalaman ini akan sangat mengubah masa depanku. Terima kasih banyak!”  

Dan di matanya saat ia menatap kami... air mata?  

“Jadi aku benar-benar berharap hari ini menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi kita semua!”  


₊ ✧ ₊


Saat tepuk tangan mereda, aku, Haruki Rokuyo, menghampiri Meguri Sakamoto.  

“Yo, kerja bagus di luar sana.”  

“...Ah, ya, kamu juga.”  

Meguri mengangkat kepalanya dan menatapku.  

Aku melihat lingkaran hitam di bawah matanya, keringat di dahinya, kausnya yang kusut. Orang ini benar-benar telah memberikan segalanya. Dia berlari sekuat tenaga bersamaku hingga akhir Festival Hekiten ini.  

Jadi—  

“...Saat aku memulai usahaku, aku akan menghubungimu.”  

—Itulah yang kukatakan padanya.  

“Saat aku selesai belajar dan memutuskan untuk mendirikan perusahaanku, aku akan memanggilmu. Kalau kamu bersedia, mari bekerja bersama.”  

“Wah, serius?” Meguri menjawab sambil tersenyum. “Sepertinya aku sudah punya posisi ya?”  

“Ya, tapi ingat, kalau aku gagal, kita berdua menganggur,” aku bercanda, dan kami tertawa bersama.  

Sejak hari hujan itu—saat kami berbicara di halaman sekolah yang penuh lumpur—aku merasa kami benar-benar terhubung.  

“Tapi kamu yakin aku orang yang tepat?” tanyanya ringan. “Maksudku, gimana kalau aku nggak bisa melakukannya?”  

“Nggak masalah.”  

Aku mengangguk penuh keyakinan pada Meguri. Lalu, kuungkapkan seluruh rasa syukur dan perasaanku.  

“Kamu rekanku, kawan.”  

Mata Meguri melebar kaget, lalu ia tertawa, tampak sedikit malu.  

Waktu berlalu sejak hari-hari kami berlari mati-matian untuk menang dalam lomba lari lima puluh meter.  

Aku telah tumbuh dari anak kecil di SD menjadi seorang siswa SMA, hampir dewasa. Aku bertanya-tanya apakah sepotong dari anak kecil itu masih hidup dalam diriku? Apakah anak yang berlari sekuat tenaga hari itu kini sedang melihatku? Kalau iya, aku ingin memberitahunya, memberitahukan diriku yang lebih muda, tentang hari ini.

Hei, aku menemukannya. Cara untuk berlari lebih cepat, lebih baik daripada sekadar berusaha keras sendirian.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close