NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kanojo no Ane wa... Kawatte Shimatta Hatsukoi no Hito V1 Chapter 8

Penerjemah: Chesky Aseka 

Proffreader: Chesky Aseka 


Chapter 8:

Bagaimanapun, Aku Ingin Merampasmu


“Kamome-kun?” 

“...Eh?” 

Dalam perjalanan pulang dari sekolah. 

Kamome, yang tiba-tiba dipanggil oleh Himawari yang berjalan di sebelahnya, mendongak. 

“Ah... Ada apa, Himawari?” 

“Anu, aku nanya lauk apa yang kamu suka di bekal makan siangmu...”

Hari ini adalah pertama kalinya dalam waktu lama mereka bisa pulang bersama, karena Himawari tidak ada kegiatan klub. 

Namun, Kamome tidak memperhatikan pertanyaan Himawari. 

“A-Aku minta maaf, Himawari!” 

Sekejap, Kamome menepuk pipinya sendiri. 

“Kamome-kun!?” 

“Aku sedikit melamun dan sama sekali nggak dengar! Padahal ini hari istimewa di mana aku bisa pulang bareng sama Himawari!” 

“N-Nggak apa-apa kok! Jangan khawatir! Itu nggak penting-penting banget, sih...” 

Himawari berkata begitu, tapi Kamome merasa bersalah karena membuatnya khawatir. 

‘...Kenapa aku seperti ini?’ 

Kenapa pikirannya jadi kacau? 

Kenapa dia melamun? 

Alasannya jelas. 

Ini semua tentang Tsuyu. 

Dia nggak bisa menghapus Tsuyu dari pikirannya. 

Bahkan sekarang, saat bersama Himawari, dia memikirkan Tsuyu. 

Ini benar-benar menyedihkan. 

Bukankah dia seharusnya menghargai Himawari? 

Bukankah dia seharusnya mengutamakan waktunya dengan Himawari di atas segalanya? 

Dia mulai berpikir bahwa semua yang dikatakannya selama ini mungkin saja bohong. 

“Kamome-kun, ada yang mengganggumu?” 

“Eh?” 

Himawari menatap wajah Kamome dengan cemas. 

“Aku mungkin sudah pernah bilang ini, tapi kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa cerita padaku. Aku ingin ada untukmu, Kamome-kun.” 

“...Himawari. 

Apa yang harus dia lakukan? 

Haruskah dia jujur? 

Tentang hari saat dia membawa Tsuyu ke rumahnya. 

Tentang apa yang terjadi di sana. 

...Pastinya, jika dia jujur mengatakan bahwa dia khawatir tentang Tsuyu, tapi itu hanya tentang kehidupan pribadinya. 

Dan bahwa itu bukan karena dia punya perasaan untuk Tsuyu, bahwa Himawari lebih penting baginya, maka Himawari seharusnya bisa percaya. 

...Dan, kecemasan di hatinya ini... seharusnya bisa teratasi. 

“...Nggak, nggak ada apa-apa. Aku benar-benar baik-baik saja.”

Tapi, dia tidak bisa mengatakannya. 

Kenapa, dia bertanya-tanya. 

Meski dia tahu itu akan menimbulkan perasaan bersalah─

Malam itu, Kamome pulang dengan perasaan gelisah. 

“...Mmm?” 

Setelah mandi, Kamome yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kembali ke kamarnya. 

Di sana, dia melihat sebuah notifikasi di layar ponselnya yang tergeletak di meja. 

“...Eh?”

Pesan dari Tsuyu telah tiba.


Maaf tiba-tiba kirim pesan.

Bisa ketemu sebentar lain kali?

Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.

Nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa.


Empat kalimat singkat tertulis di sana. 

“......”

Dia tidak bisa mengkhianati Himawari lebih dari ini. 

Tapi, juga benar bahwa Tsuyu sedang cemas dan mengandalkannya. 

Yang paling penting, dia merasa awan gelap di hatinya tidak akan hilang kecuali dia menyelesaikan masalahnya dengan Tsuyu. 

“......”

Kamome mengirimkan pesan balasan. 

Dia memutuskan untuk bertemu dengan Tsuyu di hari liburnya besok. 

 

◇◆◇◆◇◆


Hari berikutnya─

Kamome sedang menuju ke tempat pertemuannya dengan Tsuyu. 

Berpikir bahwa tempat yang mudah ditemukan akan lebih baik, dia memilih kafe yang pernah mereka kunjungi bersama. 

Untuk menjaga suasana tetap santai, dia mampir dulu ke Kedogawa Sports setelah sekian lama dan mengobrol dengan manajer dan Amane. 

Lalu, sambil mengatur waktu, Kamome berangkat menuju kafe. 

“...Mmm?” 

Saat tiba di kafe, dia melihat Tsuyu berdiri di depan pintu masuk. 

Sepertinya Tsuyu sudah tiba sebelum dia. 

Namun, setelah diperhatikan, Tsuyu tampak terlibat dalam suatu masalah. 

“Ayolah, nggak apa-apa.” 

“Sebentar aja.” 

“...Aku sibuk. Cari orang lain.” 

Tsuyu tampaknya sedang diganggu. 

Dua pria berotot dengan rambut yang dicat dan berjanggut. 

Meskipun ditekan oleh para pria yang agresif, dia mencoba menghindar dengan halus. 

Namun, kedua pria itu terus mengejar Tsuyu dengan gigih. 

Wajahnya terlihat kesal, tetapi tekanan dari kedua pria itu membuatnya sedikit terpojok, sehingga dia tampak sulit untuk pergi. 

“Hei! Aku ada janji penting! Cukup, sudah cukup!” 

Saat itu, Tsuyu, jelas menunjukkan kekesalannya, berbalik dengan cepat. 

Pada saat yang sama, tas yang dipegangnya menghantam punggung tangan salah satu pria tersebut. 

“Aduh.” 

“O-Oi, kamu baik-baik aja?” 

Pria itu memperlihatkan wajah sakit secara berlebihan, dan rekannya juga tampak terkejut berlebihan. 

“T-Tasnya cuma sedikit menyenggol, kok.” 

“Tidak, itu logam pengaitnya. Logam pengaitnya kena dan bikin kulitku robek.” 

“Serius? Itu parah, lho.”

Pandangan pria-pria itu jadi tajam. 

Merasa suasana berubah, Tsuyu buru-buru mencoba pergi, tapi... 

“Hei, tunggu.” 

Salah satu pria itu mencengkeram pundaknya. 

“Kamu nggak mau kabur setelah melukaiku, kan?” 

“Permisi.” 

Dia nggak bisa tahan untuk hanya melihat saja. 

Jadi, Kamome melangkah di antara mereka. 

Tsuyu tampak terkejut melihat Kamome muncul tiba-tiba. 

Di sisi lain, kedua pria itu menatap Kamome dengan sinis. 

“Ada apa, nih?” 

“Kamu pacarnya?” 

“Ya, aku pacarnya.” 

Menanggapi pertanyaan pria-pria itu, Kamome dengan tegas menjawab. 

“Maaf, sepertinya dia bikin kalian susah. Kalian terluka? Kalau kalian mau, aku bisa temani kalian ke rumah sakit.” 

Saat Kamome berbicara panjang lebar, kedua pria itu terdiam. 

Mereka mungkin merasa nggak ada untungnya melanjutkan keributan dengan seorang pria yang mendampingi wanita itu. 

“Tampaknya kalian baik-baik saja, ya. Permisi.” 

Dengan cepat, Kamome pergi bersama Tsuyu. 

“...Bukannya kamu nggak bisa berbohong? Dan kamu pernah bilang nggak mau menyebut gadis lain sebagai pacar, bahkan kalau itu bohong, karena kamu punya Himawari.” 

Setelah berhasil kabur, Tsuyu berbisik sambil berjalan di sebelah Kamome. 

“Bukan berarti aku nggak bisa berbohong.” 

Kamome menjawab, sambil tetap melihat ke depan, pada Tsuyu. 

“Lagipula, kalau sebuah kebohongan bisa menyelesaikan situasi dan membantu Tsuyu, aku nggak keberatan.” 

“......”

Mendengar itu, Tsuyu terdiam dan wajahnya memerah. 

“Jadi, Tsuyu. Apa yang ingin kamu bicarakan?” 

Saat Kamome bertanya, Tsuyu berkata, Hmm... dan ragu-ragu. 

Tapi satu-satunya masalah yang bisa dia bawa ke Kamome saat ini... hanya satu. 

“Tsuyu, ayo kita cari tempat lain dulu.” 

“Eh?” 

Lalu, dia menoleh ke arah Tsuyu dan berkata. 

“Orang-orang tadi mungkin masih di sekitar sini, dan agak sulit untuk masuk ke kafe itu sekarang. Ayo kita pergi ke tempat yang tenang agar bisa bicara.” 


Jalur pejalan kaki di sepanjang sungai yang sepi dari manusia. 

Tsuyu duduk di bangku yang ada di sana. 

“Nih.” 

“...Terima kasih.” 

Setelah memberikan Tsuyu minuman berkarbonasi yang dia beli dari mesin penjual otomatis terdekat, Kamome duduk di sebelahnya. 

“Curhatnya... ini soal pacarmu, kan?” 

“......”

“Maaf kalau aku salah. Tapi... aku nggak bisa berhenti khawatir. Tentang Tsuyu dan pacarmu sekarang.” 

Kamome menyampaikan perasaannya pada Tsuyu, yang menunduk. 

“Mungkin ini masalah yang nggak seharusnya aku campuri atau beri saran. Tapi tetap aja, aku nggak bisa abaikan.” 

“Kenapa kamu peduli banget...” 

“Aku khawatir padamu, Tsuyu. Kalau semua perilakumu yang aneh belakangan ini karena dia bikin pikiranmu nggak stabil, aku nggak bisa maafkan dia.” 

Kamome menyatakan dengan nada serius. 

Menanggapi itu, Tsuyu terdiam sesaat, lalu─

“Aku pernah bilang, kan?” 

Akhirnya, dia perlahan membuka mulutnya. 

“Memang benar dia pernah menyelamatkanku, dan aku sudah terbiasa dengannya.” 

“...Ya.” 

“Tapi belakangan ini, aku nggak tahu lagi. Aku mulai kehilangan kepercayaan padanya.” 

Tsuyu menunduk sedih. 

“Mungkin ini nggak pantas buat aku ceritakan ke Kamome, tapi...” 

“Nggak apa-apa, aku mau dengar. Aku ingin kamu cerita padaku.” 

Jika aku bisa membantu Tsuyu─

Mendapatkan tatapan Kamome, Tsuyu tampak sudah memutuskan dan mulai berbicara setelah menarik napas panjang. 

“Aku rasa ini mulai sejak beberapa waktu lalu. Dia mulai melakukan berbagai hal yang mencurigakan hanya karena bisa menghasilkan uang.” 

“......”


“Awalnya, itu adalah kerja sama dalam menakut-nakuti orang, memasang jebakan... dengan kata lain, aku pikir dia melakukan hal-hal seperti jadi ‘tukang pukul’ atau pemeras, mengambil uang dari kenalannya. Dia bahkan memintaku untuk ikut kerja sama, tapi aku nggak mau dan menolak.” 

Di situ, Tsuyu mengerutkan kening dalam-dalam. 

“Tapi belakangan ini, dia mengambil pekerjaan yang jelas-jelas mencurigakan, seolah-olah itu pekerjaan paruh waktu...” 

“Seperti apa?” 

“...Mengirimkan barang tertentu dari satu orang ke orang lain. Aku nggak bisa kasih tahu apa yang dia bawa.” 

...Kurir narkoba. 

Orang tua Kamome adalah polisi.

Jadi, Kamome mempelajari pengetahuan semacam itu dari orang tuanya sehari-hari. 

Apa yang diceritakan Tsuyu adalah tentang pekerjaan kurir untuk menjual narkoba kepada pelanggan. 

“Tsuyu, jangan bilang kalau...” 

“Aku nggak melakukannya. Itu jelas mencurigakan, dan aku nggak bisa setuju untuk ikut-ikutan. 

Pada akhirnya, Tsuyu tidak mau bekerja sama, dan pacarnya sepertinya juga tidak cukup berani untuk benar-benar melakukannya. 

“Kurasa... dia nggak pernah sampai melakukan hal itu.” 

Mendengar cerita itu, Kamome merenung. 

Mungkin sebenarnya Tsuyu masih sama seperti dulu... 

Kamome kehilangan ibunya saat masih kecil karena penyakit. 

Ibunya adalah seorang mantan polisi, rekan kerja ayahnya, seorang wanita yang ceria dan penuh semangat. 

Seseorang yang seperti matahari. 

Mungkin dia jatuh cinta pada Tsuyu karena dia merasakan kesamaan antara Tsuyu dan ibunya. 

Di ranjang kematiannya, ibunya berkata kepada Kamome.


“Kamu pasti akan baik-baik saja.”


Meski ia akan pergi, Kamome akan mampu hidup dengan kuat. 

Seiring waktu, kesedihan karena kehilangan ibunya perlahan memudar. 

Kini, dia bisa menerima kenyataan itu dengan lapang dada. 

Mungkin kata-kata kamu akan baik-baik saja yang dimaksud ibunya adalah seperti ini. 

Namun, di sisi lain, ia juga tertarik pada Tsuyu karena Tsuyu mengingatkannya pada ibunya. 

Dan memang benar, dia mengagumi Tsuyu itu sendiri. 

“...Kamome, kamu pernah bilang dulu,” ucap Tsuyu lirih. 

“Kamu ingin aku kembali menjadi aku yang dulu.” 

“Ah, iya.” 

“Aku nggak bisa kembali lagi.” 

Tiba-tiba, dia menatap Kamome dengan sorot mata penuh kesedihan. 

“Aku nggak bisa kembali jadi diriku yang dulu yang Kamome bilang dia kagumi.” 

“...Tsuyu?” 

“Kamome, kemarin kamu bercerita tentang dirimu sendiri, kan, tentang masa sebelum kita bertemu lagi.” 

Tsuyu menatap langsung ke mata Kamome. 

“Sekarang giliranku untuk bercerita. Dengar, Kamome. Apa yang terjadi padaku sejak aku menghilang dari hidupmu sampai akhirnya kita bertemu lagi.” 

Dengan itu, Tsuyu mulai berbicara. 

Seolah hendak meluapkan sesuatu yang telah lama ia simpan di dalam dirinya. 

“Dulu... seperti yang Kamome bilang, aku memang sangat menyukai lari, aku sempat meraih beberapa prestasi bagus, dan aku merasa sangat puas. Aku bisa mencurahkan seluruh hatiku di sana, dan semua orang di sekitarku turut senang atas keberhasilanku seolah itu adalah milik mereka juga. Setiap hari terasa menyenangkan dan penuh makna...”


Tapi... ─dia mengangkat kaki kanannya. 

“Waktu aku kelas dua SMA, aku cedera kaki kanan.” 

“Eh...” 

“Aku masih ingat saat itu. Aku tersandung rintangan di lintasan dan terjatuh. Saat itu, hanya aku yang bisa mendengar suara mengerikan dari pergelangan kakiku yang menusuk seluruh tubuh.” 

Cedera itu cukup parah untuk mengakhiri kariernya di atletik. 

Dia terus menjalani pengobatan dan rehabilitasi, tapi akhirnya tak punya pilihan selain menyerah untuk menjadi atlet. 

Begitulah, Tsuyu kehilangan mimpinya, harapannya, dan semua usahanya yang telah ia bangun. 

“......”

Mendengar ceritanya, Kamome sangat terkejut. 

Dengan kata lain, keseleo yang terjadi beberapa waktu lalu... 

Ketika dia memaksa Tsuyu untuk berlari, kakinya bermasalah bukan karena kebetulan terkilir, tapi karena cederanya itu membuat peradangan. 

Jika dia berlari dengan kecepatan penuh, kakinya akan langsung berteriak kesakitan. 

Tsuyu tak bisa lagi berlari sebagai seorang kompetitor. 

“...Selain itu, di saat yang sama, perceraian orangtuaku terjadi...” 

Kehancuran hubungan yang selama ini ia percayai begitu menyakitkan. 

“Sebelum aku menyadarinya, ada pernikahan baru... Aku kehilangan hal-hal yang bisa kucurahkan seluruh hatiku dan juga orang-orang yang bisa kupercaya, dan aku masuk universitas seperti cangkang kosong... Di universitas itulah aku bertemu dia─Kashiro Akito.” 

Kashiro awalnya adalah anggota klub atletik yang sama di SMA. 

Dia berselisih dengan pelatih klub di SMA dan dikeluarkan dari klub, dan sejak saat itu, mereka tidak pernah bertemu lagi, tapi ternyata mereka kuliah di universitas yang sama. 

Kashiro mendekati Tsuyu yang berada di titik terendah dalam hidupnya. 

Hari-hari berlalu di mana dia melampiaskan frustrasi dan stresnya dengan kesenangan sesaat tanpa arah, tapi setidaknya hal itu menjadi pelipur bagi hati Tsuyu. 

Melalui semua itu, dia berubah. 

Dan itulah─seluruh sisi Tsuyu yang Kamome belum pernah tahu hingga hari ini. 

“Aku, yang telah menjadi hampa, merasa senang saat diinginkan, bahagia saat dibutuhkan, jadi aku mudah puas.” 

Tsuyu, memeluk kaki kanannya yang terangkat, melingkarkan tangannya di sekitarnya. 

Dengan erat─sambil menggigit bibirnya. 

“Saat aku nggak bisa lari karena cedera, yang tersisa hanyalah kaki ini yang penuh bekas luka. Bahkan kaki ini, yang dulu kubanggakan sebagai simbol kerja kerasku dalam lari rintangan, sekarang aku benci untuk melihatnya.” 

“Tsuyu...” 

─Aku mengagumi Tsuyu yang dulu. 

─Aku ingin dia kembali seperti dulu. 

...Saat mengingatnya, betapa kejamnya mengatakan hal-hal seperti itu padanya─Kamome sangat memahami hal itu sekarang. 

“Itulah kenapa, aku gak bisa kembali lagi jadi diriku yang dulu. Kepercayaan diri dan kepribadian yang membentuk diriku yang kamu kagumi, semua hal yang menopang itu, hilang dari diriku.” 

Kata-kata itu lebih terasa seperti ia sedang berbicara pada dirinya sendiri daripada pada Kamome. 

“Seberapa keras kamu memanggilku, itu nggak mungkin. Aku yang kamu kagumi sudah seperti orang yang mati. Untukmu, Kamome... tidak ada gunanya lagi kamu bersamaku.” 

Tsuyu berkata dengan wajah yang terlihat seperti akan menangis. 

Dia merasa bahwa keberadaannya memberi Kamome harapan yang tak mungkin terwujud. 

Mungkin dia mengakui semua ini karena merasa bersalah. 

Dia ingin Kamome tidak terlibat lagi dengannya. 

Tapi─

“...Tsuyu, kamu lebih suka dirimu yang dulu atau dirimu yang sekarang?” 

Kepada Tsuyu, Kamome berkata. 

Tsuyu memandang Kamome dengan terkejut. 

“Alasan aku mulai lari di lintasan adalah karena aku mengagumimu, Tsuyu. Itu benar. Tapi, aku tak mengagumimu hanya karena kamu seorang atlet lari yang hebat. Aku menyukai Tsuyu yang dulu, yang tegas, positif, dan bersinar seperti matahari. Itulah bagian dari dirimu yang masih ada, yang membuatmu berani mengatakan pada Kashiro bahwa dia salah, dan peduli padaku dan Himawari.” 

“Berhenti...” 

“Sebagian besar dari Tsuyu mungkin telah berubah. Tapi bagian yang ingin kulihat tetap sama seperti dulu.” 

“Cukup...” 

Mendengar kata-kata Kamome yang terlalu lugas, dan ketulusan yang begitu menyilaukan. 

Tsuyu memegang dadanya dan membungkuk. 

Seolah-olah menatap langsung pada Kamome saja terasa menyakitkan. 

“Tsuyu. Aku─”

“Lupakan saja!” 

Dan tak tahan lagi, dia berteriak dengan suara yang penuh kesakitan. 

“Aku yang kamu inginkan udah nggak ada lagi! Dia hanya ada di dalam imajinasimu! Berhentilah membayangkan sosok ideal itu pada diriku yang sekarang!” 

Meski mengatakan itu, Tsuyu menangis. 

“...Padahal nggak ada gunanya memikirkan ini.” 

Dengan tersedu-sedu, ia meluapkan perasaannya. 

“Kalau saja Kamome adalah orang pertama yang kutemui saat aku berada di titik terendah, saat aku hancur... Aku yakin aku akan diselamatkan oleh Kamome... Aku pasti akan bergantung padamu, Kamome.” 

Mungkin dia merasa bahwa dirinya sekarang telah menjadi orang yang begitu dangkal, jauh dari sosok ideal Kamome, sampai-sampai dia bisa membayangkan hal semacam itu. 

Dia sebenarnya tidak ingin berubah. 

Jika bisa, dia ingin tetap seperti dulu. 

“Menyebalkan...” 

Tanpa sadar, Tsuyu mengucapkannya dengan suara lirih. 

Dengan senyum pahit pada kenyataan yang tak bisa diubah. 

Perasaan yang sebenarnya. 

Hatinya yang sesungguhnya. 

“Aku ingin tetap menjadi diriku yang dicintai olehmu.”


◇◆◇◆◇◆


Setelah menangis sejenak, dia sepertinya sudah tenang. 

“...Himawari, dia lucu, ya.” 

Tsuyu, sambil menyeka matanya, perlahan mengangkat wajahnya. 

“...Dia polos, pemalu, baik hati, dan tulus. Gadis yang bekerja keras untuk orang yang ia cintai. Dia gadis yang jauh lebih menarik dan luar biasa dibandingkan aku yang sekarang. Dia adalah pasangan yang sempurna untuk Kamome.” 

Seolah-olah menguatkan dirinya sendiri, dia berkata. 

Tsuyu memberikan senyum lembut pada Kamome. 

“Jadi, buatlah dia bahagia.” 

“Tsuyu...” 

Saat itu, dari dalam tasnya, ponsel Tsuyu berbunyi. 

Ketika dia mengeluarkan ponselnya dan melihat layar, Kamome bisa melihat bahwa cahaya di matanya meredup. 

“...Maaf, ini dari kenalanku. Mereka ingin bertemu sekarang. Aku pergi dulu.” 

“...Itu dia, kan?” 

Orang yang dimaksud Kamome adalah pacar Tsuyu, Kashiro. 

Tsuyu tak mengatakan apa-apa. 

Dia tampaknya hanya ingin segera pergi dari tempat itu, dan mungkin dia membutuhkan alasan apa pun untuk melarikan diri. 

“Sampai jumpa.” 

Dengan kata itu, Tsuyu bangkit dari bangku, membelakangi Kamome, dan pergi. 

“Tsuyu!” 

Kamome memanggil Tsuyu. 

“Kamu tak perlu memaksakan diri untuk berubah demi mereka yang menyakitimu! Kamu hanya perlu berpegang pada apa yang sudah kamu yakini! Itu pendapatku!” 

Kamome berkata, menatap punggung Tsuyu yang pergi.


Setelah berpisah dengan Kamome, Tsuyu berjalan di kota dan tiba di tempat pertemuan. 

Dia tidak bisa melupakan penampilan dan kata-kata Kamome sebelumnya. 

Kamu mungkin telah berubah, baik secara fisik maupun kepribadian, tapi bagian dari dirimu yang aku kagumi masih ada, katanya. 

Namun Tsuyu merasa takut. 

Dia takut bagian itu bisa berubah sewaktu-waktu hanya karena satu hal kecil. 

Hidup dan nilai-nilainya dengan mudah berubah karena cedera dan hubungan. 

Ketika itu terjadi─dengan pandangan seperti apa Kamome akan melihatnya? 

Itulah yang paling ia takutkan. 

‘...Aku tak bisa merepotkannya, dan aku tak seharusnya bersamanya.’ 

Meski berpikir demikian, wajah dan suara Kamome terus menghantuinya. 

Tsuyu benar-benar merasa tertekan. 

“Hai, Tsuyu.” 

Di sana, suara memanggilnya dari belakang. 

Di depan Tsuyu, yang berbalik, berdirilah Kashiro Akito, orang yang memanggilnya. 

...Bukan hanya dia, tapi juga teman-temannya ada di sana. 

Kashiro berpakaian seperti biasa, dan teman-temannya berpakaian serupa. 

“Akito...” 

“Kamu datang cepat sekali, apa kamu begitu ingin bertemu denganku?” 

Wajahnya yang tersenyum lebar terlihat agak kemerahan. 

Apakah dia minum? Sepertinya dia dalam suasana hati yang riang. 

“Dengar, kamu punya adik perempuan, kan? Aku melihatnya di foto yang kamu tunjukkan dulu.” 

“...Waktu kamu lihat data ponselku tanpa izin.” 

“Jangan ribut soal yang kecil-kecil. Jadi, foto itu, aku kirim ke ponselku." 

Mengatakan itu, Kashiro menunjukkan layar ponselnya. 

Saat orangtuanya menikah lagi, mereka sempat berfoto bersama sekeluarga sekali. 

Tsuyu menyimpan foto yang Himawari kirimkan dalam data ponselnya. 

“Kamu... kenapa sok mengatur─”

“Dengar. Jadi, adikmu, Himawari? Temanku ini suka sama dia.” 

Kashiro menunjuk salah satu temannya dengan dagunya. 

Seorang pria berambut diwarnai dengan aura ceria. 

“Dia manis, kan, Himawari-chan? Aku ingin dekat dengannya kalau bisa.” 

“...Kamu mau aku mengenalkannya?” 

Kepada pria dengan senyum yang santai itu, Tsuyu merespons dengan nada dingin dan singkat. 

“Nggak bisa. Karena gadis itu─”

“Dia punya pacar, kan? Bocah sialan itu.” 

Mengingat saat bertemu Kamome, Kashiro berkata dengan nada muak. 

“Kira-kira bisa nggak, ya, kalau kita buat mereka putus?” 

“...Hah?” 

Mendengar komentar Kashiro yang begitu keji, Tsuyu merasa seakan-akan hatinya jatuh ke dasar.

“Jadi gini, cowok itu bilang dia bakal ngasih aku duit kalau aku bantu dia. Jadi, gimana kalau kamu pancing anak itu dan bikin dia kelihatan selingkuh? Kita bikin seolah-olah dia yang menggoda kamu. Lalu, kita tangkap basah dan ancam dia buat ngaku. Setelah itu, cowok ini bisa dekati adikmu yang sedang patah hati, gimana? Rencana bagus, kan?”

“...Kamu bodoh, ya?” 

Melihat Kashiro yang mabuk dan tertawa dengan rencana dangkalnya, Tsuyu spontan melontarkan kata-kata itu. 

Tsuyu sadar, ketika dia benar-benar marah dari lubuk hatinya, tak ada kata-kata manis yang bisa dia ucapkan. 

“Hah? Kamu bilang apa?” 

“Aku bilang aku sudah muak denganmu, dasar sampah!” 

Dia tak bisa merasakan apa pun selain jijik kepada pria di depannya ini. 

Tsuyu meluapkan emosinya. 

“Mana bisa aku melakukan hal seperti itu! Jangan pernah muncul lagi di depanku!” 

“Hei.” 

Dalam sekejap. 

Kashiro yang kehilangan ekspresinya langsung meraih Tsuyu. 

Tangannya yang penuh urat menonjol dengan kasar menarik rambut pirang panjang Tsuyu. 

“Sialan!” 

“Jangan sok keren, kamu!” 

“H-Hei, Akito, berhenti. Ini sudah keterlaluan...” 

Teman-temannya pun terkejut melihat kemarahannya. 

Namun, meski mendengar protes mereka, Kashiro tak berhenti. 

“Kamu selalu meremehkanku, kan? Kamu selalu sok menyuruhku ini-itu dengan sombongnya.” 

“Apa maksudmu, sok menyuruh... Itu hanya akal sehat.” 

Meskipun rambutnya sedang ditarik, Tsuyu tetap menantang Kashiro dengan tatapan penuh perlawanan. 

“Kamu tahu, aku nggak pernah suka sama kamu. Bahkan saat SMA, kamu dielu-elukan semua orang dan besar kepala. Pasti kamu pernah mengejek pecundang kayak aku yang nggak bisa berkembang atau berprestasi, kan?” 

Hampir seperti tuduhan yang mengada-ada. 

Kashiro melontarkan kata-kata seolah melampiaskan dendam yang terpendam. 

“Saat kamu cedera dan nggak bisa lari, kamu jatuh di tempat yang sama, dan saat aku bersikap baik padamu, kamu dengan mudah membuka hatimu padaku! Dulu, itu rasanya menyenangkan! Sekarang, kamu jadi wanita yang merepotkan! Meski begitu, aku tetap bertahan hanya untuk jaga-jaga, dan sekarang kamu begini, hah!?” 

Dengan rambut yang terus ditarik dan tubuhnya yang tersentak-sentak, Tsuyu merasakan sakit yang menusuk di kulit kepalanya. 

Meski begitu, dia tetap menatap Kashiro dengan tatapan tajam. 

“Kamu harusnya nurut sama aku. Nggak mungkin kamu bisa kembali ke dirimu yang dulu, jadi jangan sok hebat!” 

Rasa sakit yang membara memenuhi tubuh dan hatinya. 

Air mata mulai menggenang di mata Tsuyu. 

Meski begitu, dia tetap menatap Kashiro dengan ekspresi teguh, meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak menyerah atau tunduk. 

Lalu, seseorang meraih tangan Kashiro. 

 

◇◆◇◆◇◆


 “Kamu...” 

“Kamome...” 

Yang memegang tangannya adalah Kamome. 

Tsuyu juga kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba. 

“Tsuyu, apa pun yang terjadi, pendapatku nggak berubah.” 

Sambil menggenggam lengan Kashiro, Kamome menegaskan. 

“Kamu harus mengakhiri hubunganmu dengan mereka di sini.” 

“...Apa maumu, hah?” 

Kashiro pun melepaskan genggamannya pada rambut Tsuyu. 

“Kamu nggak ada urusan di sini, minggir.” 

“Aku punya urusan. Dia orang yang penting buatku.” 

Kamome berdiri di antara Tsuyu dan Kashiro. 

Dia berdiri membelakangi Tsuyu seolah-olah melindunginya, menghadap Kashiro secara langsung. 

“Tolong, putuslah dengannya. Jangan lakukan apa pun yang akan menyusahkannya.” 

“...Apa maksudmu, hah? Hei, Tsuyu, kamu nyewa dia buat putus sama aku?” 

Kashiro memberi isyarat pada teman-temannya yang berdiri di belakang. 

Mereka langsung bergerak mengelilingi Kamome. 

“Tsuyu nggak ingin melanjutkan hubungannya denganmu. Kalau kamu terus mendesaknya atau mengikutinya meski dia nggak suka, itu namanya penguntitan. Orang tuaku polisi, jadi aku tahu hal-hal kayak gini.” 

Mendengar pernyataan Kamome tentang orang tuanya yang polisi, teman-teman Kashiro tampak resah. 

“...Hei, Akito... Kayaknya ini bakal merepotkan...” 

“...Diam!” 

Kashiro bukanlah sosok yang lebih dari sekadar tukang gertak. 

Setelah mendengar kisah Tsuyu sebelumnya, Kamome semakin yakin akan hal itu. 

Mungkin karena marah, Kashiro berteriak pada Kamome seolah-olah ingin menyemangati dirinya sendiri. 

“Jadi apa!? Kamu kira kami takut cuma karena kamu bilang orang tuamu polisi!? Memalukan banget, tahu nggak!?” 

“Iya, menurutku memang memalukan. Dan nggak, aku nggak malu.” 

Kamome tak menganggap Kashiro dan teman-temannya yang sudah kehilangan ketenangannya itu menakutkan. 

Sekalipun begitu, Kamome tak berniat mundur sekarang. 

Dia menanggapi Kashiro dengan tegas. 

“Kalau kamu mundur sekarang, maka urusannya selesai.” 

Pada sikap Kamome, akhirnya amarah Kashiro pun memuncak. 

“Jangan berani-berani ngeremehin aku!” 

Kashiro melayangkan pukulannya pada Kamome. 

Pukulan keras mendarat di wajah Kamome. 

“Kamome!” 

Tsuyu berteriak dengan cemas. 

Namun, Kamome tetap bertahan. 

Dia menenangkan diri tanpa mundur sedikit pun, dan tanpa gentar sama sekali, dia berkata pada Kashiro. 

“...Ini peringatan terakhirku. Jangan sentuh Tsuyu lagi. Tolong jangan pernah muncul di depannya lagi.” 

“A... pa...” 

Mungkin merasa sangat terintimidasi oleh sikap Kamome yang begitu tenang, Kashiro hanya terdiam, matanya membelalak dan napasnya memburu tanpa bisa berkata apa-apa. 

“......”

Namun, Kamome tahu batasnya. 

Tentu saja, dia tak bisa mengalahkan mereka semua, dan dia juga tak ingin membuat masalah yang semakin tak terkendali jika perkelahian ini berlanjut. 

Yang bisa Kamome lakukan hanyalah melindungi Tsuyu. 

“...Tsuyu, maafkan aku.” 

“Eh?” 

Sebuah bisikan lembut. 

Segera setelah itu, Kamome meraih tangan Tsuyu. 

“Ayo lari!” 

Dan mereka pun mulai berlari bersama. 

“...Hei, tunggu, dasar pengecut!” 

Kashiro dan teman-temannya sempat terkejut dengan aksi mendadak itu, namun segera mengejar Kamome dan Tsuyu. 

Di depan mereka, tampak sebuah penghalang yang bertuliskan dilarang masuk.

“Lompat!” 

“Eh!?” 

Percakapan singkat. 

Kamome menarik Tsuyu, dan Tsuyu pun secara alami mengikuti gerakannya. 

Keduanya melompati penghalang itu seolah-olah mereka sedang berlari melompati rintangan. 

“Tunggu, argh, aduh!” 

Sementara itu, Kashiro yang mencoba melompat penghalang dengan cara yang sama gagal, kakinya tersangkut dan jatuh dengan keras. 

Tanpa menoleh ke belakang, Kamome dan Tsuyu terus berlari sekuat tenaga. 

 

◇◆◇◆◇◆


“Haa... Haa...” 

“Haa... Haa...” 

Setelah lari sekencang-kencangnya. 

Keduanya yang tiba di tepi sungai, terbaring di atas rumput, kelelahan. 

Dada mereka naik turun, membiarkan tubuh mereka yang hangat terpapar angin malam. 

Mereka basah oleh keringat. 

“Haa... Haa... Tsuyu, kamu baik-baik saja─”

Setelah pernapasannya mulai stabil, Kamome duduk untuk memastikan kondisi Tsuyu. 

Namun, tentu saja─

“Argh...” 

Pergelangan kaki Tsuyu─kakinya yang kanan, memerah terang. 

Tampak bengkak dengan warna yang lebih parah dari sebelumnya. 

“Tsuyu!” 

“Aku baik-baik saja... Ya, rasa sakitnya akan berkurang sebentar lagi, tapi aku nggak bisa melangkah satu langkah pun sekarang.” 

“...Maaf, aku maksa kamu lari lagi.” 

Kamome hanya bisa meminta maaf, namun Tsuyu tersenyum padanya. 

“Tidak apa-apa. Sakit, tapi nggak terasa sakit sama sekali.” 

Dia berkata dengan kata-kata yang bertentangan. 

“Tapi kita nggak bisa pulang kayak gini... harus gimana... mungkin taksi...” 

“Kamome.” 

Tsuyu memberi saran pada Kamome yang tengah berpikir. 

“Kamu bisa gendong aku di punggungmu?” 

“Eh?” 

“Kalau nggak, kita nggak bisa pulang, kan?” 

“Yah... iya juga.” 

Kamome patuh mengikuti Tsuyu yang berkata begitu dengan wajah yang terlihat lega. 

Dia akhirnya menggendongnya di jalan pulang. 

“Hehe... Kamome, punggungmu besar.” 

Tsuyu menyandarkan wajahnya di punggung Kamome... di lehernya. 

“Tsuyu... Aku berkeringat... jadi.” 

“...Nggak apa-apa. Tubuhmu hangat, Kamome.” 

Seolah mencari kehangatan, seolah merindu, Tsuyu berkata. 

“......”

Wajah Tsuyu bersandar pada punggungnya.

Seolah merasa lega, Tsuyu mempercayakan segalanya pada Kamome. 

Perlahan, hatinya pun terasa hangat. 

Sebelumnya, saat dia berlari bersama Tsuyu dan melompati penghalang─dia teringat sesuatu. 

Kenangan ketika mereka masih anak-anak, berlari mengelilingi kota bersama Tsuyu. 

Kenangan melompati penghalang dengan cara yang sama, bersama Tsuyu yang begitu suka berlari. 

Waktu itu, dia masih lemah. 

Bagaimana kalau aku tidak berhasil melompat, tersandung, dan terluka parah─

Dia melawan rasa takut itu dan melompat sekuat tenaga bersama Tsuyu.


“Kamu berhasil! Kamome!” 


Senyum terkejut di wajah Tsuyu ketika dia menoleh ke arahnya setelah berhasil melompati rintangan. 

Wajahnya yang memukau. 

Dan wajah Tsuyu saat ini. 

Keduanya seakan bertumpang tindih, menghangatkan hatinya. 

Tanpa sadar, sebuah senyum terukir di wajah Kamome. 

Benar, dia tak bisa mengingkari lagi. 

Dia, terhadap Tsuyu. 

Dia masih mencintai Tsuyu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close