NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kono Koi, O Kuchi Ni Aimasu Ka? Volume 2 Chapter 2

Penerjemah: Dhee

Proffreader: Dhee


Chapter 2 - Konflik Batin


“...Maaf sudah menunggu. Ini ‘Ikan Fillet dengan Saus Mentega’.”


“Eh, ini benar-benar ikan fillet...?”


Seorang pelanggan menunjuk pada hidangan dan aku menatapnya. Bagaimana pun juga, daging ikan itu tidak putih.


“Eh...? Ah, maaf, ini ‘Salmon Poele’.”


“Umm... bukankah salmon tidak termasuk dalam menu yang saya pesan...?”


“Ah... Saya... Sungguh minta maaf...”


“Toui-chan, bagaimana dengan hidangan berikutnya?”


“Ah, di sana... maaf! Akan segera ke sana!”


Keesokan harinya di Maison, aku tidak dalam kondisi terbaik. Kejadian kemarin masih terngiang di kepalaku dan membuatku sulit fokus pada pekerjaan.


“Mabuchi-san! Toui terlihat aneh!”


Ichigo mengatakan itu seperti sedang memesan di kedai ramen, dan Mabuchi-san melihat ke arahku dari balik layar.


“Toui... kamu harus kuat...”


“...Maaf.”


“Toui, ada apa...?”


“A-aku baik-baik saja...”


Aku dimarahi dan dikhawatirkan oleh Mabuchi-san dan Ichigo. Semuanya jadi kacau.


Aku benar-benar terkejut dengan diriku sendiri yang terlihat linglung. Tidak ada yang bisa kupegang.


Aku terus membuat kesalahan yang tidak biasa untukku sepanjang hari, tapi akhirnya berhasil menyelesaikan hari kerja.


Sejak kembali dari Tokyo dan melewati hari yang penuh pikiran ini, aku terus memikirkan hubungan antara keluarga Shirahime dan Camille-san.


Namun, tidak perlu banyak berpikir untuk mendapatkan jawabannya. Camille-san adalah ibu dari Shirahime.


Ichigo keluar untuk mengantar tamu terakhir, meninggalkan aku berdiri sendirian di tengah-tengah lantai yang kosong. Tiba-tiba, dari belakangku, terdengar suara Mabuchi-san yang baru keluar dari dapur.


“Toui.”


“...Ah, maaf. Kita harus latihan, kan? Nah, hari ini kita masak apa, ya~”


“Tidak, kita tidak akan latihan. Jika kamu masuk dapur dalam kondisi seperti sekarang, tempat ini bisa terbakar habis.”


Mabuchi-san menatapku dengan mata seperti orang dewasa yang sedang marah.


“Apa yang terjadi, Toui?”


“...Nggak ada apa-apa.”


“Tidak mungkin tidak ada apa-apa.”


“Aku bilang nggak ada apa-apa. Aku akan mewarisi Maison, apapun yang orang lain katakan. Tidak ada yang bisa menghalangiku. Sialan, sudahlah. Jika kamu tidak mau mengajariku masak, aku akan melakukannya sendiri.”


Saat aku mencoba masuk ke dapur sambil mengabaikan Mabuchi-san, dia menarik kerah bajuku.


“Ugh...”


Di saat itu, Ichigo masuk setelah selesai mengantar tamu.


“Ma-Mabuchi-san!”


“Lepaskan aku.”


Mabuchi-san mengerutkan kening. Tatapannya menembus mataku.


“──Jangan remehkan profesi ini.”


“...”


“Menjadi koki bukan pekerjaan semudah yang kamu bayangkan. Siapa yang mau makan makanan yang kamu buat dalam keadaan seperti sekarang? Dengan tidak bisa menghadapi pelanggan yang datang dengan baik, kamu tidak punya hak untuk berdiri di dapur ini.”


“Aku juga tahu itu!!!”


Saat aku menutup mata dan berteriak, cengkeraman Mabuchi-san di kerah bajuku mengendur, lalu dia melepaskanku.


“Itulah kenapa aku terus bingung... Aku berusaha keras untuk menjadi koki di Maison, tapi itu tidak akan terwujud. Tapi hanya Cammy-san yang menginginkanku... Hanya Cammy-san... Tapi kenapa...”


“He-Hey... Aku tidak mengatakan itu. Toui, apa yang sebenarnya terjadi padamu?”


“Mabuchi-san, tidak apa-apa.”


Ichigo datang dan berdiri di antara aku yang menunduk di depan Mabuchi-san


“Toui.”


“...Apa?”


“Besok, sebelum restoran buka, bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat bersama?”


◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆


Tidak terjadi lagi perdebatan dengan Mabuchi-san, dan aku dengan enggan menerima keputusannya untuk tidak membiarkanku masuk ke dapur, hari itu pun berakhir.


Keesokan harinya, pukul satu siang.


Aku bertemu dengan Ichigo di depan minimarket yang berada di depan pintu masuk jalan utama di kota sebelah, satu stasiun ke arah timur dari Maison.


Saat aku keluar dari bawah tanah menuju depan jalan utama, matahari yang terik membakar kulitku. 


Membayangkan panas ini akan berlangsung tidak ada akhirnya, membuatku merasa seperti akan meleleh.


Saat aku tiba tepat waktu, Ichigo yang sudah mengenakan pakaian kasual dan rambut merah nya yang tergerai sudah menunggu di tempat pertemuan. Dia tampak memegang cermin tangan portabel, memperhatikan rambutnya. Aku kemudian menyapanya.


“...Ichigo.”


“Ah, Toui...!”


Ichigo dengan cepat menyimpan cerminnya dan berlari kecil menghampiriku.


“...Lama menunggu?”


“Tidak, aku baru saja datang.”


Ichigo menggelengkan kepalanya dengan tegas dan tersenyum kecil, seolah merasa geli.


“Ada apa?”


“Tidak, hanya saja merasa sangat klise.”


Ichigo, yang rumahnya dekat dengan Maison, pasti sudah tiba di sini lebih awal dari aku. 


“Kenapa kita harus bertemu di sini? Bukankah lebih baik kalau kita bertemu di dekat rumah saja?”


“Yah, karena rasanya lebih seperti kencan.”


“Kencan?”


“......Ah!? Bukan! Salah ngomong! Ah, salah ngomong! Bukan kencan sama sekali!? Maksudku, ini lebih seperti...! Rasanya seperti bermain dengan teman, bukan kencan! Karena kita sering bersama, rasanya seperti keluarga! Sekarang kita bisa berteman baik di sekolah, jadi aku pikir akan menyenangkan melakukan sesuatu yang seperti teman dekat! Ya! Itu maksudku! Ya, begitu!”


“...Hah, ya, oke.”


Ichigo yang panik dan berbicara dengan gugup. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia katakan dari awal sampai akhir. Tapi karena dia bilang begitu, ya mungkin memang begitu.


“Jadi, kita mau ke mana?”


“Eh, ehm... Di dalam pusat perbelanjaan, ada toko pancake yang enak. Kamu suka makanan manis, kan? Jadi aku pikir kita bisa makan bersama.”


“...Boleh saja.”


“Benarkah! Hehe, asyik.”


Sambil berjalan menuju toko pancake, aku melirik Ichigo yang tampak senang tanpa alasan jelas. Dia mengenakan blus lengan pendek dengan ruffle merah muda dan celana pendek hitam. Penampilannya feminin. Meski aku sering melihat Ichigo mengenakan pakaian biasa, tidak ada yang baru, tapi dia tampak sedikit lebih feminin daripada biasanya.


“Rasanya seperti sesuatu yang baru denganmu, Toui...”


“Benarkah? Kita selalu nongkrong di rumahku, kan? Bahkan saat SMP, kita pernah bermain bersama dengan beberapa orang.”


“Yah, waktu SMP kita pernah berkumpul dengan teman-teman dan waktu SMA aku pernah main ke rumahmu... tapi ini pertama kalinya kita membuat janji dan pergi berdua saja...”


“...Ya, aku selalu menolak untuk pergi keluar. Aku khawatir kalau kita terlihat bersama, itu akan membuatmu merasa tidak nyaman.”


“Ya, karena itu, aku sangat senang bisa bersama Toui sekarang!”


“Oh… yah, baguslah kalau begitu.”


“Umm… dan Toui?”


“Hah…? Jangan buat aku mengucapkan hal yang memalukan... Yah, aku juga merasa nyaman bisa bersamamu tanpa perlu repot-repot.”


“Hehe... hehe...”


“Kenapa sih? Rasanya aneh...”


“Jangan bilang aneh ke seorang cewek! Bodoh!”


“Aduh, ribet…”


Ketika kami masuk ke dalam gedung di sudut pusat perbelanjaan, kami disambut oleh angin dingin dari AC. Banyak toko pakaian, dan bau pakaian baru tercium di seluruh lantai.


Kami naik eskalator menuju lantai yang dituju, dan untuk pertama kalinya, keheningan menyelimuti kami berdua. Ketika suasana sedikit tenang, pikiranku kembali ke kejadian beberapa hari yang lalu.


“Toui?”


“...Hm?”


Ichigo, yang berdiri satu anak tangga di atas, menoleh dengan khawatir ke arahku.


“Tidak apa-apa, aku hanya melamun.”


“Sungguh, tidak apa-apa.”


“...Benarkah? Kalau begitu baguslah.”


“...Hmm.”


Kami tiba di toko pancake. Sepertinya Ichigo sudah membuat reservasi, jadi kami langsung dibawa oleh pelayan ke meja di dalam. Meski katanya tempat ini populer, kami bisa masuk dengan mudah.


Kami duduk berhadapan di meja.


“Ini dia! Pancake ‘fuwamochibae’! Kupikir Toui pasti tahu karena kamu suka makanan manis.”


“Tidak, aku tidak tahu. Kamu mau pesan itu?”


“Ya! Bagaimana dengan Toui?”


“Yah, aku juga pesan itu saja.”


“…Begitu ya!”


“Apakah sudah siap untuk memesan?”


Tepat saat itu, pelayan datang membawa air dan kami memesan.


“Baiklah, mohon tunggu sebentar!”


Setelah memesan, aku bersandar dengan menopang dagu, hendak melamun. Tapi, saat itu, mataku bertemu dengan Ichigo yang duduk di depanku. Menyadari itu, dia tersenyum kecil dan meniru posisiku, menopang dagu sambil menatapku.


“Jangan ditiru, dong.”


“Oh, kamu tertawa!”


Saat aku sedikit tersenyum, Ichigo terlihat senang dan langsung menunjukkan senyum lebar.


“Ada apa? Aneh, ya?”


“Ya, aneh.”


Ichigo sambil memainkan handuk kecil di tangannya, mengalihkan pandangannya dariku dan berkata, “Dari kemarin, kamu kelihatan aneh.”


Ketika aku diam, Ichigo melirik ke arahku.


“…Ada yang terjadi, kan?”


“Nggak ada apa-apa…”


“Itu soal Rira-chan, keluarga Shirahime, atau ayahmu?”


“…”


“Aku tahu kok. Bukan karena kamu gampang ditebak, tapi karena tidak ada hal lain yang bikin kamu khawatir selain itu.”


“Jadi kamu ngajak ketemu hari ini buat nanya itu?”


“Kalau kamu mau cerita, aku akan mendengarkan. Tapi bukan itu tujuan utamanya.”


Aku terkejut dengan sikap Ichigo yang berbeda dari yang kuduga. Ketika aku menatapnya, Ichigo tersenyum lembut.


“Aku hanya ingin kamu melupakan masalah itu dan ceria lagi selama kita bersama!”


Meskipun terlihat sedikit malu, dia tetap memberikan senyum yang tulus untuk menyemangatiku.


“Yah, meski aku tidak yakin kamu bakal cerita...”


“…Terima kasih, Ichigo.”


Di dalam dadaku, perasaan seperti harapan muncul. Perasaan itu mengingatkanku pada saat pertama kali aku berbicara dengan Shirahime.


Beberapa saat kemudian, pancake yang kami pesan tiba di meja. Ichigo, seperti anak kecil yang penuh semangat, mengambil foto pancake tersebut dengan ponselnya.


Aku memutuskan untuk membuka pembicaraan dengan harapan dan kepercayaan pada Ichigo.


“...Shirahime adalah anak dari Camille-san.”


“─Eh?”


Ichigo membeku dengan ponsel masih terangkat menghadap pancake.


“Maaf, aku membicarakan ini di saat kita seharusnya bersenang-senang.”


“Ti-tidak apa-apa! Ceritakan lebih lanjut!”


Ichigo terdorong maju, mendesakku untuk melanjutkan ceritaku.


Ichigo sudah mengetahui alasan di balik keinginanku untuk melindungi Maison sejak kami di SMP, jadi dia sudah tahu sebagian besar tentang masa laluku.


“Alasan keluarga Shirahime mengincar Maison mungkin ada hubungannya dengan Camille-san.”


“…Serius?”


“Jadi, aku berpikir, kalau aku terus menentang mereka dan ingin mewarisi Maison, mungkin itu sangat merepotkan bagi Shirahime dan Camille-san.”


“Tapi, kamu sudah berjanji pada Camille-san, kan...”


“Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sekarang kenyataannya, Camille-san ada di pihak mereka. Jika aku tidak melepaskan Maison, itu tidak akan menjadi milik Camille-san. Sebaliknya, kalau aku tidak ada, Maison akan jatuh ke tangan Camille-san.”


“Itu... Tapi, apa yang sebenarnya kamu inginkan, Toui?”


“Jelas, aku ingin menjadi chef daripada menjadi direktur... Tapi aku selalu bilang aku melakukan ini untuk Camille-san, dan sekarang Camille-san ada di pihak lain. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk mewarisi Maison...”


“Kalau kamu ingin mencapainya, Toui, itu sudah cukup!”


“Itu hanya kebaikan hatimu padaku. Kalau begitu, tidak ada alasan yang sah untuk aku menjadi chef di Maison.”


“Tapi, aku...”


“Apa ada alasan yang sah untuk aku mewarisi Maison?”


Aku menunggu kata-kata Ichigo. Aku berharap mendapatkan kata-kata yang bisa memenuhi hatiku. Tapi, tidak ada lagi yang keluar dari Ichigo.


Seperti yang terjadi dengan Shirahime, aku merasa kecewa setelah berharap terlalu banyak. Aku tidak tahu apa yang aku harapkan dari orang lain, meskipun aku memiliki bayangan ideal yang samar, aku tidak bisa mengartikulasikannya.


“Jadi, kenapa Camille-san tidak muncul pada pertemuan itu atau setelahnya? Bukankah dia satu keluarga dengan Rira-chan dan ayahnya?”


Itu bukan kata-kata yang kuharapkan, tetapi Ichigo tiba-tiba mengajukan pertanyaan. Aku sudah hampir pasrah, jadi aku menjawab dengan spekulasi yang terdengar seperti fakta.


“Itu... mungkin karena dia tidak ingin bertemu denganku atau ayahku setelah berjanji padaku... atau tunggu sebentar...”


‘Aku tidak berencana untuk menikah lagi.’


‘...Cerai...? Maafkan aku...’


“Aku ingat Masato-san bilang dia tidak punya istri...”


“Eh...? Cerai?”


Ichigo tertarik dengan petunjuk yang kuingat.


“Jadi, kalau begitu, Camille-san tidak ada hubungannya lagi dengan Rira-chan? Kalau begitu, apakah tidak aneh jika mereka masih ingin mengambil Maison? Bagaimana mungkin ayah Rira-chan melakukan transaksi besar hanya untuk mantan istri?”


“Itu benar...”


“Apakah ada seseorang dari keluarga Shirahime yang mengatakan bahwa transaksi itu untuk Camille-san?”


“Tidak, aku hanya menemukan foto dari gudang belakang Maison dan setelah menanyakan nya pada Shirahime, aku baru tahu bahwa mereka adalah orang tua dan anak. Itu saja yang aku ketahui...”


“Kalau begitu, masih terlalu cepat untuk memutuskan! Belum ada keputusan bahwa transaksi itu untuk Camille-san!”


“Itu mungkin benar, tapi...”


“Eh, ayo makan, Toui.”


“Eh, ah...”


Ichigo memaksakan perubahan topik, mengambil pisau dan garpu, memotong pancake sesuai ukuran mulut, dan akhirnya memasukkannya ke mulutnya.


“Ummm! Ayo makan, Toui. Rasanya enak, kok.”


“U-uh...”


Rasa pancake-nya tidak buruk. Biasanya, makan makanan manis bisa membuatku merasa lebih baik, tetapi hari ini rasanya pancake pun tidak terasa.


Ichigo menelan pancake-nya.


“Memang benar kalau Toui sudah berjanji pada Camille-san, kan?”


“…ya”


“Kalau begitu, Camille-san pasti masih ingin Toui menjaga toko, meskipun sekarang Camille-san ada di sisi lain. Itu artinya janji antara kalian pasti memiliki makna bagi Camille-san.”


“Ichigo...”


“keinginan Toui yang ingin menjaga Maison dan menjadi chef itu tidak salah. Kami mendukung Toui. Jangan kalah dari Rira-chan!”


“…ya”


“Jadi, saat ini, makanlah makanan manis untuk mendapatkan semangat!”


Di tengah informasi yang membingungkan dan semakin membuatku tidak mengerti, Ichigo dengan jelas menghargai dan mendukung keinginanku sambil memberiku dorongan.


Berkat senyuman manis Ichigo, aku bisa sedikit mengangkat wajahku.


...Shirahime, apa sebenarnya tujuanmu?


◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆


Setelah makan pancake, kami berdua berjalan-jalan sebentar di kota. Saat waktu sudah cukup sore, kami menuju Maison untuk bersiap-siap sebelum mulai bekerja.


Setelah turun dari kereta dan menuju Maison, Ichigo dan aku berjalan berdampingan.


“Apakah kamu merasa sedikit lebih baik sekarang?”


“…Ya. Terima kasih, Ichigo.”


“Jika ada masalah, beri tahu aku kapan saja! Jika di rumahku membantu, aku akan melakukannya. Tidak mungkin bicara pada Mabuchi-san, kan? Dia mungkin terhubung dengan ayahmu.”


“…Ya, benar.”


Ichigo menatap ke depan, wajahnya sedikit memerah, lalu berkata.


“Perasaan tidak memerlukan alasan atau ukuran yang benar. Aku tidak mau merasa diabaikan hanya karena hal-hal seperti itu.”


Ichigo berkata demikian sambil mengangguk seolah-olah meyakinkan dirinya sendiri.


Saat kami berjalan dengan pikiran yang melayang, Maison mulai tampak di kejauhan. Aku memperhatikan sebuah sosok dengan rambut emas yang bergetar di kejauhan.


“Hei, Toui, itu…”


Ichigo juga memperhatikan sosok dengan rambut khas berwarna emas. Bahkan dari jauh, kami tahu siapa dia.


“…Shirahime?”


Ketika Ichigo menyebut namanya, Shirahime menyadari keberadaan kami yang sedang berjalan menuju Maison.


“Toui-kun…!”


“Kenapa kamu di sini? Bagaimana dengan pekerjaanmu?”


Shirahime, yang mengenakan inner putih transparan dengan gaun putih yang sederhana dan bersih, segera berlari menuju aku saat melihat wajahku. Lalu,


──Gyu.


Shirahime melompat ke dalam pelukanku.


“Eh? Eh? Eh? Eee!? Tunggu, Shirahime!? Apa ini tiba-tiba!”


“Senang... akhirnya bisa bertemu...”


“Tunggu, tunggu!? Aku juga ada di sini lho!? Hei, Rira-chan!?”


Shirahime mengeluarkan wajahnya dari pelukan aku dan menatap ke atas ke arahku.


“Maaf... aku terus diam tentang mama... “


“Mama itu, ternyata...”


Saat Ichigo berkata demikian, Shirahime menjauh dari aku dan berkata pelan,


“Ichigo-chan juga sudah mendengar, ya... tentang kebenaran itu.”


“Toui-kun... Aku tahu ini membuatmu merasa tidak nyaman... Maaf... Aku benar-benar tidak bermaksud begitu.”


“Tapi... bukankah kamu juga peduli dengan Maison...? Kalau begitu, aku...”


“Sudah kukatakan. Tidak seperti itu, Toui-kun.”


Lalu Shirahime menatap wajahku.


“Apa...?”


Shirahime menatap mataku dengan tatapan bergetar, kemudian menyipitkan mata dan berdiri berjinjit.


Chuu──.


“Nngh...!?”


“A...!? A-apa!? A-apa!?”


Ichigo menatap pemandangan itu dengan mata terbelalak.


Di depan Ichigo, Shirahime menciumku.


Setelah menunggu sebentar sampai bibir yang terasa sedikit kering itu terlepas, Shirahime akhirnya menjauh dari wajahku, dan aku kembali memeriksa penampilannya.


“… Shirahime?”


“Ichigo-chan, maaf. Aku dan Toui-kun memang seperti itu.”


“Eh…?”


Ichigo terdiam dan entah kenapa menatapku.


“T-tidak, tidak! Haha, apa ini!? Shirahime, kamu punya minat seperti itu? Atau ini lelucon yang populer di Prancis? Tapi, ini terlalu berlebihan! Haha, ha…”


Meskipun aku berusaha keras untuk menunjukkan betapa terkejut dan bingungnya aku, Shirahime tetap tenang dan menatapku dengan tatapan yang tegas. Hei, ini benar-benar membingungkan!


“… Maaf, Toui-kun. Aku merasa terlena dan melupakan tujuan ku setelah dimanjakan olehmu. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa. Tidak perlu khawatir. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu. Aku datang ke kota ini dan masuk ke sekolah ini dengan keputusan itu.”


“Kau... apa yang kau bicarakan dari tadi…”


“Kalau kau ingin tahu tujuan pertunangan ini, aku mengerti. Aku akan memberitahumu semuanya.”


“Semua…?”


“Toui-kun, aku...”


Shirahime tersenyum. Senyuman itu berbeda dari senyuman yang aku suka. Tidak hanya sekedar senyum sopan atau senyum dibuat-buat, tapi senyuman yang kosong dan samar.


“Toui-kun, aku akan menikah demi Toui-kun.”


“Hah...? Demi aku?”


Shirahime memperlihatkan pipi yang sedikit memerah dan menatapku dengan mata penuh tekad. Dia menciumku lagi, kali ini dengan lembut dan penuh perasaan.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close