Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 6: Masalah Selalu Datang Saat Berkencan
~Masa SMA~
Pada suatu siang di pertengahan November, aku dan Somemiya-kun, yang sudah menjadi teman dekat hingga bisa disebut sahabat, memutuskan untuk makan siang bersama di kafetaria, bukan di kelas seperti biasanya.
"Baru beberapa saat lalu rasanya kita selesai liburan musim panas dan mengikuti festival olahraga, tapi sekarang festival budaya sudah selesai, dan sebentar lagi musim dingin, kan? Bisakah kamu percaya itu?"
Waktu memang berlalu dengan cepat. Rasanya baru saja aku mengeluh setiap hari tentang cuaca yang panas, tapi sekarang musim gugur sudah hampir berlalu dan musim dingin sudah di depan mata. Mungkin saja istilah "empat musim" di negeri ini perlahan-lahan akan lenyap.
"Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu dengan Himuro-san, Sakuragi?"
"Ehh, pembicaraan kita tiba-tiba berubah 180 derajat, bahkan lebih seperti 540 derajat. Aku terkejut!"
"Menurutmu kenapa aku repot-repot mengajakmu keluar dari kelas tadi?"
Jelas sekali, dia membawaku ke sini untuk membahas topik ini. Dengan nada tegas, Somemiya-kun memaksaku berpikir tentang apa yang harus kujawab. Meskipun dia adalah sahabatku, membicarakan perkembangan hubungan dengan gadis yang kusukai tetap saja memalukan.
Namun, kalau dipikir-pikir, hubungan yang awalnya bermula dari titik minus hingga sekarang bisa mendekati nol atau bahkan mulai positif dengan Himuro-san adalah berkat bantuan Somemiya-kun.
"Umm... biasa saja, sih?"
Aku mencoba menjawab dengan seadanya. Kalau dia puas dengan jawaban ini, aku beruntung.
"Belum pernah aku mendengar kebohongan yang begitu jelas. Bahkan Hina pun berbohong dengan cara yang lebih baik darimu."
"Hmm begitu ya, tapi Mashiro-san tidak pernah berbohong, kan?"
"Benar juga sih, dia memang gadis yang jujur. Tapi, Sakuragi, kamu baru saja menjerumuskan dirimu sendiri."
Ah, aku ceroboh. Jawabanku justru mengonfirmasi bahwa aku sedang berbohong. Seperti kata pepatah, "jebakan sendiri memakan diri."
"Dasar licik, Somemiya... Kau menjebakku!"
"Bukan aku yang licik, kamu saja yang ceroboh. Lagi pula, Sakuragi, meskipun aku tidak suka mengatakan ini... tahukah kamu, siapa yang membuatmu bisa dekat dengan Himuro-san sekarang?"
"...Mashiro Hina yang dekat dengan Himuro-san."
"Dan siapa yang menghubungkanmu dengan Hina?"
"Somemiya-kun, teman masa kecil sekaligus pacar Mashiro-san. Aku benar-benar berterima kasih padamu."
"Benar, bukan? Jadi kamu punya kewajiban melapor soal perkembanganmu dengan Himuro-san. Oh ya, aku dan Hina nggak pacaran, oke?"
Aku sangat ingin membantah kebohongan itu. Dalam kelas kami, bahkan di sekolah ini, tidak ada pasangan yang lebih mesra dari Somemiya-kun dan Mashiro-san.
"Benarkah? Padahal kalian selalu berangkat dan pulang sekolah bersama setiap hari."
"Kalau begitu, kamu juga begitu, Sakuragi! Dan aku dan Hina hanya teman lama. Kami bukan pasangan!"
Dia bersikeras bahwa mereka tidak akan menjadi pasangan, tapi aku merasa itu hanya soal waktu sebelum mereka resmi berpacaran. Bahkan, aku yakin mereka akan menikah di masa depan.
"Lupakan soal kami. Sekarang giliranmu bicara, Sakuragi. Bagaimana hubunganmu dengan Himuro-san? Bukankah kalian pergi kencan ke kebun binatang? Belakangan ini, kalian bahkan terlihat lebih akrab daripada Hina dan aku di kelas... pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"
Memang benar, beberapa waktu lalu aku pergi ke kebun binatang bersama Himuro-san. Semua itu berkat Mashiro-san, yang menciptakan kesempatan bagi kami.
"Hah? Cara supaya bisa lebih dekat dengan Kuru-chan?"
Itu terjadi tepat setelah liburan musim panas berakhir. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Himuro-san selama festival olahraga, jadi aku meminta bantuan Somemiya-kun dan Mashiro, yang paling dekat dengan Himuro-san di kelas kami.
"Hmm... aku sebenarnya tidak melakukan hal yang spesial, kok. Lagipula, menurutku kamu sudah cukup dekat dengan Kuru-chan, Sakuragi-kun."
Memang, dibanding teman-teman sekelas lain, aku bisa dibilang cukup dekat dengan Himuro-san. Tapi aku tetap merasa frustasi karena hubungan kami tidak juga berkembang. Maka dari itu, aku meminta bantuan Mashiro-san. Sebagai "hadiah," aku memberinya minuman favoritnya, banana milk.
"Oh, iya! Kuru-chan menyukai kucing. Mungkin kamu bisa memulai pembicaraan dari sana dan mengajaknya ke kebun binatang?"
Saat itu, baru pertama kali aku tahu Himuro-san memelihara kucing hitam di rumahnya. Tapi mengajak gadis yang hanya berbicara denganku di kelas untuk pergi ke kebun binatang jelas langkah yang terlalu besar bagiku. Aku sama sekali tidak punya keberanian untuk melakukannya—
"Hah? Tiket pasangan ke kebun binatang?"
Aku memberanikan diri untuk mengajaknya.
Bagaimanapun juga, aku sudah sering mati, bangkit lagi, dan mengulang proses tersebut untuk mengalahkan musuh dan menyelesaikan dungeon, seperti tokoh utama dalam game yang penuh kematian.
Jadi, meskipun ditolak, aku tidak akan terluka.
"Maksudnya bersama denganmu, kan? A-aku tidak akan pergi."
"Oh begitu ya... Sayang sekali, tapi kalau begitu tiket ini..."
Aku memberanikan diri untuk mengajaknya, tapi seperti yang sudah kuduga, aku ditolak. Dan ternyata, aku tetap merasakan sakit. Mengajak seseorang berkencan memang terasa seperti tantangan yang terlalu besar.
"Eh, apa kamu berniat membuang tiket itu? Tidak boleh! Itu benar-benar tidak boleh!"
"Tapi... kalau aku tidak bisa pergi bersama Himuro-san..."
"Ah, sudah cukup! Baiklah... baiklah, aku akan pergi bersamamu! Jadi jangan terlalu sedih seperti itu!"
Saat aku hendak mengatakan "tidak ada gunanya,"Himuro-san yang terlihat kesal menyela sambil mengacak rambutnya. Aku terpana melihatnya menyetujui ajakan itu, dan saat aku masih terkejut, dia merebut salah satu tiket dari tanganku.
"Ka-kalau begitu, kita akan pergi akhir pekan ini! Waktu bertemunya jam sembilan pagi, dan tempatnya di depan stasiun, setuju!?"
"U-uh... ya, itu bagus."
Pembicaraan berjalan begitu cepat, dan aku semakin bingung dengan situasi ini. Selain itu, semangat Himuro-san yang terlihat tinggi hanya membuatku semakin heran. Bertemu pagi-pagi seperti itu jelas menunjukkan bahwa dia ingin menikmati hari sepenuhnya.
Akhirnya, hari kencan di kebun binatang pun tiba, dan meskipun terasa seperti mimpi, semuanya benar-benar terjadi. Tapi apa yang terjadi di hari itu adalah cerita lain.
"Hei, Sakuragi. Kenapa kamu bengong begitu?"
Somemiya-kun menggoyangkan pundakku, menarikku kembali ke realitas dari kenangan indah di masa lalu.
"Maaf, aku jadi teringat waktu itu karena kau menyebutkan kencan di kebun binatang."
"Melihat pipimu yang tampak mengendur tadi, aku sudah menduganya. Tapi kamu benar-benar tidak sadar, ya. Itu menakutkan."
"Sepertinya, kamu tidak pantas mengomentariku soal itu, Somemiya-kun."
"Dan saat festival sekolah, kalian juga terlihat mesra, kan? Dari semua atraksi, aku belum pernah melihat orang yang sengaja datang hanya untuk ke kelasnya sendiri."
Somemiya-kun menggeleng pelan seolah menyerah, tapi aku tahu dia sama saja denganku.
"Aku tidak bisa melewatkan kesempatan dilayani oleh Himuro-san yang memakai pakaian maid. Jadi aku tidak punya pilihan lain."
Festival sekolah kelas kami menyajikan maid dan butler café. Kostumnya cukup murah dan mudah didapat, dan dekorasinya tidak serumit atraksi seperti rumah hantu.
Tapi, khusus Himuro-san, dia benar-benar tidak menunjukkan antusiasme. Dia melayani sambil terus menampilkan ekspresi "ini buruk sekali" di wajahnya. Ironisnya, sikap dinginnya itu justru menarik perhatian beberapa orang tertentu.
"... Senang sekali kamu ya, bisa melihat Himuro-san melakukan 'moe-moe kyun' langsung."
"Itu adalah kenangan seumur hidupku. Sayang sekali aku tidak bisa mengabadikannya dengan foto... Tapi kamu juga beruntung, kan? Kamu bisa melihat Mashiro-san tersenyum lebar sambil melakukan 'moe-moe kyun.'"
"Baik, cukup sampai di sini saja. Pembicaraan ini tidak membawa kebahagiaan bagi siapa pun."
Dia yang memulai, tapi dia yang mengakhirinya begitu saja. Rasanya menyebalkan, jadi mungkin aku akan mengomentari wajahnya yang mulai memerah malu.
"Yang lebih penting dari itu, Sakuragi! Ini sudah pertengahan November! Kamu tahu artinya?"
"Dua minggu lagi masuk Desember, ya?"
"Benar. Sebentar lagi Desember tiba—bukan itu maksudku! Natal! Natal!"
Aku diam-diam terkesan dengan cara dia menyelaku. Aku tahu bahwa acara besar itu semakin dekat. Tapi, menyedihkan, aku tidak memiliki keberanian untuk mengajak Himuro-san pergi saat Natal. Itu akan terasa seperti pernyataan cinta langsung.
Jadi, rencana yang ada di pikiranku sekarang adalah,
"Lupakan dulu soal Natal. Aku berpikir untuk mengajaknya menonton film. Kebetulan aku punya tiket."
Orang tuaku mendapat tiket dari entah siapa untuk sebuah film action yang sedang populer. Itu diadaptasi dari novel, dan meskipun aku belum membacanya, Himuro-san pernah menyebutkan bahwa dia suka novel itu.
"Wow... Aku tidak menyangka kau punya rencana. Kukira kamu akan menyeret masalah ini sampai liburan musim dingin."
"Aku ingin mengatakan 'apa kau pikir aku ini apa?' Tapi aku tak bisa menyangkalnya. Kalau tidak ada tiket ini, mungkin aku hanya akan merenung di rumah."
"Sakuragi ini kadang penuh inisiatif ya, tapi kadang juga ragu-ragu. Kau punya mental baja untuk terus mencoba meski ditolak, tapi di sisi lain kamu berhenti di saat-saat penting. Sayang sekali."
"Berbicara dan mengajak seseorang untuk keluar itu butuh energi mental yang berbeda, kamu tahu..."
Memikirkan bahwa dia akan menolak membuat jantungku terasa ingin melompat keluar, meski aku sudah pernah mengajaknya sebelumnya.
"Aku rasa kamu tidak perlu terlalu khawatir. Dengan hubungan kalian sekarang, dia pasti akan setuju."
"Kamu tidak akan mengerti ya, Somemiya-kun. Kamu kan punya Mashiro-san, teman masa kecil yang cantik dan selalu mau diajak jalan. Tapi kalau mengajak seseorang yang kamu sukai, itu selalu terasa seperti taruhan hidup dan mati."
"Be-begitu ya? Maaf, ya?"
"Cukup jika kamu memahaminya."
Aku tidak benar-benar butuh permintaan maaf. Aku hanya ingin Somemiya-kun sadar bahwa dia memiliki sesuatu yang diinginkan banyak orang, tapi tidak mudah didapatkan.
"Yah, kalau begitu... Kalau ada apa-apa, kamu bisa selalu meminta bantuanku. Kalau sampai gagal, kita bisa mengadakan pesta atau semacamnya. Aku akan membantumu!"
"Terima kasih, Somemiya-kun. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memberikan kabar baik."
******
Keesokan paginya setelah percakapan itu dengan Somemiya-kun, aku menyandarkan kepala di meja di ruang kelas yang kosong.
Aku memikirkan kata pertama yang harus kuucapkan. Aku mencari cara untuk memulai percakapan dan mengajak Himuro-san, tapi aku terus berpikir hingga jam pelajaran bahkan sampai jam homeroom berakhir.
Saat aku sadar, Himuro-san sudah pulang, sehingga aku tidak sempat mengajaknya pulang bersama.
Mengetahui itu, Somemiya-kun hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit, benar-benar kehabisan kata-kata untuk menjawab kebodohanku.
"Memikirkan kemungkinan ditolak saja mungkin sudah terlalu sombong, ya…"
Terlebih lagi, aku dan Himuro-san tidak sedang menjalin hubungan apa pun. Jika aku, seseorang yang bukan siapa-siapa baginya, mengajaknya menonton film, apakah dia akan berkata "ya"?
"Dari pagi kok mukanya serius begitu? Ada sesuatu yang bagus terjadi, kah?"
"...Eh?"
Saat aku sadar, Himuro-san sudah berdiri di sebelahku. Aku sudah datang lebih awal ke sekolah pagi ini karena terus memikirkan cara untuk mengajaknya menonton film, tapi waktu berlalu tanpa terasa hingga akhirnya Himuro-san tiba.
"Se-selamat pagi, Himuro-san."
"Selamat pagi, Sakuragi-kun. Kenapa kamu tidak ada di tempat biasanya? Aku jadi menunggu sendirian, tahu."
Entah sejak kapan, aku dan Himuro-san terbiasa bertemu di stasiun untuk pergi ke sekolah bersama. Tapi karena aku tidak ingin dia membaca kegelisahan di wajahku hari ini, aku memutuskan datang sendirian.
"Ma-maaf… Aku hanya ingin memikirkan sesuatu. Tapi ini terlalu sulit, jadi belum juga menemukan solusinya."
"Sesuatu yang sulit? Jangan-jangan ini cuma hal konyol lagi seperti waktu itu, misalnya kamu minta aku mencoba
hipnosis?"
"Bukan, kali ini berbeda. Masalah ini jauh lebih rumit dibandingkan hipnosis."
Aku pernah meminta Himuro-san mencoba hipnosis sebagai alasan untuk memulai percakapan. Lebih tepatnya, aku memaksanya. Hasilnya? Bencana.
"Kamu sudah gila, ya? Hal seperti itu mana mungkin berhasil padaku."
Dia memandangku dengan tatapan dingin seperti salju, sesuatu yang sudah kuduga akan terjadi.
Meski tahu hipnosis hanya trik, aku mencoba, dengan harapan kecil itu berhasil. Aku bahkan ingin dia berpikir, "Kamu menyukai orang di depanmu…" Ya, betapa bodohnya aku.
"Hmm, aku jadi penasaran. Masalah apa yang sedang kamu hadapi, Sakuragi-kun?"
Tiba-tiba Himuro-san memberiku kesempatan emas untuk menjelaskan. Inilah momen yang kutunggu-tunggu. Dengan cepat, aku mengambil dua tiket dari dompetku.
"Itu apa?"
"Ini, Himuro-san… Kalau kamu tidak keberatan, akhir pekan nanti, maukah kamu menonton film bersama?"
"Menonton film bersama…? Ah, jangan-jangan ini film dari novel yang kubaca waktu itu?"
Dia melihat tiket itu dengan mata berbinar-binar. Film ini baru seminggu dirilis dan masih berada di peringkat atas daftar film populer. Kualitas visualnya luar biasa, dan pengisi suara terkenal menambah daya tarik dari filmnya.
"Kebetulan orang tuaku dapat tiket ini, tapi mereka tidak suka jenis film seperti ini, jadi mereka memberikannya padaku."
"Begitu ya…"
Tatapan Himuro-san terpaku pada tiketnya, hampir tidak mendengarkan penjelasanku. Aku pun memutuskan untuk langsung saja bertanya.
"Jadi, waktu itu kamu bilang novelnya seru. Makanya, aku pikir, bagaimana kalau kita menonton bersama… Tidak apa-apa, kan?"
"......"
Dia terdiam. Bioskop adalah ruang gelap yang kecil, jauh lebih dekat daripada ruang kelas. Jika pergi bersama lawan jenis, bukankah itu terlalu aneh?
"Kamu bilang akhir pekan ini, ya?"
"Y-ya. Semakin cepat semakin baik, supaya kita punya lebih banyak pilihan waktu."
Himuro-san tampak memikirkan sesuatu sambil melihat ponselnya. Meski suasana kelas makin ramai, aku mencoba mendengarkan.
"Kalau kamu benar-benar ingin, aku bisa mempertimbangkannya…"
Suaranya pelan, wajahnya sedikit memerah, tapi itu cukup untuk memberiku harapan.
"Jadi… kamu mau?"
"Kalau aku tidak mau, aku tidak akan repot-repot bilang, kan?"
Aku terkejut sekaligus lega. Aku menyerahkan satu tiket padanya, sementara dia hanya berkata,
"Cepat keluarkan ponselmu. Kita tukar nomor."
Setelah bertukar kontak, aku tidak bisa menahan senyum senangku. Aku berhasil.
Himuro-san pun tersenyum kecil, dan aku tahu ini bukan mimpi.
******
"...Fuuh."
"Kenapa, Kak? Ada sesuatu yang menyenangkan terjadi?"
Malam itu adalah hari ketika aku bertukar kontak dengan Sakuragi-kun. Aku, Himuro Kuru, sedang beristirahat setelah menyelesaikan review pelajaran seperti biasa, ketika adikku, Tomika, yang baru saja selesai mandi, tiba-tiba mengajakku bicara.
Di tangannya ada stik es krim. Memang aneh, mengingat ini musim dingin, tapi dia tetap makan seperti biasa.
"Tidak ada... Tidak ada hal menyenangkan sama sekali."
"Eh...? Benarkah? Kakak sadar nggak kalau kakak terus tersenyum?"
"Tersenyum? Apa yang kamu bicarakan, Tomika. Itu nggak mungkin terjadi."
"Kalau nggak percaya, coba lihat buku catatan di depan Kakak. Keadaannya lumayan parah."
Walaupun ini di rumah, aku nggak mungkin menunjukkan ekspresi bodoh. Apalagi saat sedang belajar. Kalau aku melihat catatan ini, pasti semuanya akan jelas───
"..."
"Tuh kan? Apa yang aku bilang benar, kan?"
Tomika berkata dengan wajah puas sambil menggigit es krimnya.
Menyedihkan, tapi dia benar. Di buku catatan yang terbuka di depanku, tulisannya berantakan seperti cacing yang merayap.
"Tidak mungkin... Ini pasti kesalahan... Hal seperti ini tidak mungkin terjadi padaku..."
"Kak, jangan lari dari kenyataan. Ceritakan, ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan Sakuragi-senpai?"
"Ti-tidak! Aku nggak punya hubungan apa-apa dengan Sakuragi-kun kok!"
"Ohhh... Jadi ada sesuatu dengan Sakuragi-senpai, ya?"
Walaupun aku sudah menyangkal dengan tegas, kenapa dia tetap curiga? Aku hanya bisa berteriak dalam hati. Kalau aku membantah lebih jauh, dia pasti akan semakin mengintrogasiku.
Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Tapi Tomika, dengan semangatnya, melontarkan pertanyaan lain yang mengagetkan.
"Ah! Apa mungkin kamu diajak kencan lagi?"
"...Aku nggak tahu kamu sedang bicara apa."
"Wah, aku nggak nyangka Kakak bisa menjadi seperti ini. Jangan-jangan di depan Sakuragi-senpai, Kakak juga begini?"
"Ti-ti-tidak mungkin aku begitu! Aku biasa aja kok di depan Sakuragi-kun! Bahkan di sekolah, aku dipanggil ‘cool’ atau ‘Putri Es’!"
"Yakin tuh?"
Tomika menatapku dengan senyuman penuh keraguan. Betapa menjengkelkannya punya adik yang nggak percaya dengan kakaknya.
"Entahlah Kakak dingin atau nggak, tapi... kali ini mau kencan ke mana sama Sakuragi-senpai?"
"Aku bilang nggak ada apa-apa dengan Sakuragi-kun, kan? Kami nggak pernah kencan, dan nggak ada rencana juga."
"Ohh, masih mau menyangkal, ya. Memang Kakak itu Kakak banget... Tapi kalau Kakak terlalu lambat, jangan sampai nanti ada yang mengambil Sakuragi-senpai lho."
"Misalnya aku," kata Tomika sambil tertawa lepas.
Aku nggak tahu dari mana dia dapat percaya diri seperti itu, tapi selama aku masih ada, itu nggak akan terjadi.
Sakuragi-kun adalah milikku───
"Hah... Sungguh disayangkan. Kakak itu cantik sekali. Anak Kakak nanti pasti imut banget..."
"Berhenti dulu, Tomika. Aku nggak peduli obrolanmu yang nggak nyambung, tapi kenapa kamu langsung ngomongin pernikahan?"
Aku bahkan belum punya pacar. Membicarakan hal seperti itu terlalu jauh melompat.
"Eh, emangnya Kakak mau sendirian selamanya?"
"Ti-tidak juga, tapi... aku nggak tertarik punya anak."
"Aduh! Kalau Kakak dan Sakuragi-senpai punya anak, pasti lucu banget deh!"
Kenapa lagi-lagi nama Sakuragi-kun muncul? Aku yakin, bahkan kalau dunia terbalik pun itu nggak akan terjadi. Mungkin.
"Ngomong-ngomong, Tomika. Kamu mau terus pakai pakaian seperti itu sampai kapan?"
"Eh? Apa maksudnya?"
"Jangan pura-pura nggak tahu. Nggak apa-apa makan es krim setelah mandi, tapi jangan keliling rumah tanpa pakaian dalam!"
"Ah, aku lupa!"
Dengan senyuman bodohnya, Tomika berlari kecil kembali ke kamar mandi. Setelah "badai" berlalu, aku menghela napas panjang dan menutup buku catatan yang sudah berantakan.
"Besok aku harus berusaha lebih keras..."
Namun, menyedihkannya, sampai hari aku bertemu dengan Sakuragi-kun, buku catatanku akan terus kacau seperti ini.
******
Dan tibalah hari yang dijanjikan. Meskipun ini bukan pertama kalinya aku pergi bersama Himuro-san, entah kenapa aku merasa gugup, hingga hampir tidak bisa tidur. Akibatnya, aku merasa cemas dan gelisah, lalu tiba di tempat pertemuan hampir dua jam lebih awal dari yang direncanakan.
"Sepertinya aku datang terlalu cepat..."
Saat ini jam baru saja melewati pukul sepuluh pagi. Kami sepakat untuk bertemu di stasiun yang terkenal dengan patung anjing setianya, tetapi aku merasa tidak nyaman berada di sana.
Meski masih pagi, suasana akhir pekan membuat tempat ini ramai oleh para wisatawan. Kebanyakan dari mereka tampak seperti pasangan yang menarik, yang hanya membuatku semakin merasa canggung.
"Kenapa aku memilih Shibuya sebagai tempat pertemuan..."
Jika saja kami berkumpul di stasiun dekat rumah dan pergi bersama naik kereta, itu pasti lebih mudah.
Namun, langsung bertemu di pusat kota yang penuh gaya seperti ini jelas menjadi tantangan berat. Padahal, akulah yang mengajaknya menonton film, tetapi tidak terpikir sama sekali untuk pergi ke bioskop di Shibuya.
Alasan Himuro-san memilih tempat ini adalah karena dia ingin mencoba sebuah kafe pancake yang sedang populer.
Kami akan pergi ke sana setelah menonton film.
Ini membuat suasananya semakin terasa seperti kencan, tetapi aku memilih untuk tidak mempermasalahkannya. Aku tidak ingin mengatakannya dan malah membuat rencana ini batal.
"Aku jadi makin gugup... Apa pakaian ini terlihat aneh?"
Karena ini adalah mungkin mirip dengan kencan bareng Himuro-san, aku jadi lebih memikirkan gaya rambut dan pakaian, sesuatu yang biasanya tidak terlalu kuperhatikan.
Bahkan, aku meminta pendapat adikku tentang penampilanku. Dan tanggapannya adalah,
"Kamu tidak apa-apa kok, Kak. Kelihatan keren! Sangat cocok! Terbaik!"
Meskipun dia mengatakannya dengan wajah mengantuk dan tampak asal-asalan, aku memilih untuk mempercayai kata-katanya. Setidaknya, itu lebih baik daripada mendapat komentar buruk atau ekspresi tidak peduli.
Dengan keyakinan itu, aku pun keluar rumah.
"...Baiklah, sebaiknya aku cari cara untuk menghabiskan waktu."
Karena aku belum sarapan, aku memutuskan untuk masuk ke restoran cepat saji terdekat. Walaupun aku tidak begitu lapar, aku tidak mau menghadapi rasa malu jika perutku berbunyi saat menonton film. Jadi, aku memaksakan diri untuk makan sesuatu.
Setelah menghabiskan pesanan, aku kembali ke tempat pertemuan sekitar tiga puluh menit lebih awal. Sambil menunggu, aku hanya menatap langit biru dan awan yang berlalu. Tak lama kemudian,
"Selamat pagi, Sakuragi-kun. Aku tidak menyangka akan datang lebih lambat darimu."
Sekitar sepuluh menit sebelum waktu yang dijanjikan, Himuro-san tiba dan menyapaku. Suaranya terdengar hati-hati, seolah memastikan bahwa dia tidak salah orang.
"Selamat pagi, Himuro-san. Aku hanya tidak ingin membuatmu menunggu, dan aku terlalu bersemangat sehingga datang dua jam lebih awal."
Meskipun ini adalah momen yang kutunggu, aku berusaha untuk tetap tenang saat menjawabnya.
"Du... dua jam lebih awal?! Sekalipun kamu sangat antusias, itu terlalu berlebihan. Lagipula, ini hanya nonton film. Tidak perlu seheboh itu..."
Himuro-san menghela nafas panjang, tampak tidak percaya.
Aku jadi sedikit kecewa. Rupanya, baginya, rencana hari ini hanya seperti aktivitas biasa, bahkan dengan kafe pancake setelahnya.
Aku merasa sedikit terpukul, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Lalu, aku menyadari ada sesuatu yang berbeda dari dirinya.
"Ngomong-ngomong, Himuro-san...?"
"Hm... A-ada apa? Apa ada sesuatu yang aneh di wajahku?"
"Tidak, bukan begitu! Hanya saja, aku terkejut... maksudku, ini agak tidak terduga."
Aku sedikit sulit merangkai kata, tapi alasannya jelas: gaya rambutnya. Biasanya, Himuro-san selalu membiarkan rambut hitamnya yang indah terurai. Namun, hari ini dia mengepang rambutnya. Perubahan ini sangat mencolok, seperti seorang wanita berambut panjang tiba-tiba memotong rambutnya menjadi pendek. Hal yang tidak biasa.
"Himuro-san, itu sangat cocok untukmu. Tapi, kenapa kamu memilih gaya kepang hari ini?"
"T-tidak ada alasan khusus! Hanya saja aku sedang ingin mencoba kepang hari ini. Tidak ada makna mendalam di baliknya, jadi jangan salah paham!"
Aku tidak mengatakan apa-apa, tetapi dia langsung merasa perlu membela diri.
"Biar aku tegaskan! Sama sekali! Ini bukan karena kamu pernah bilang suka rambut kepang! Sama sekali tidak!"
Dengan wajah memerah malu, Himuro-san mencoba meyakinkanku.
Aku teringat bahwa beberapa waktu lalu dia tiba-tiba bertanya,
"Gaya rambut seperti apa yang kamu suka?" Dan secara refleks, aku menjawab, "Ka
lau harus memilih, mungkin kepang."
"Aku mengerti. Baiklah, anggap saja begitu. Tapi, tenanglah sedikit, oke?"
"Itu karena kamu mengatakan hal-hal aneh..."
Himuro-san mengangkat bahunya sambil mendesah.
Kalau dalam situasi ini pasti aku akan mengatakan,
"Sebenarnya, itu bukan gaya rambut favoritku, tapi aku pikir gaya itu akan terlihat lucu jika Himuro-san yang memakainya," pasti semuanya akan jadi berantakan.
"Da-daripada membahas itu, lebih baik kita segera pergi. Kalau terlalu santai, kursi bagusnya akan penuh, dan filmnya bisa saja sudah dimulai."
Himuro-san langsung berjalan cepat, tampak tergesa-gesa. Aku pun buru-buru mengikutinya agar tidak tertinggal.
******
Akhir pekan, ditambah lagi ada film yang sedang populer, membuat sebagian besar kursi sudah terisi. Namun, beruntungnya kami bisa mendapatkan kursi bagus di barisan belakang yang masih kosong secara berdampingan.
Kalau kita harus duduk terpisah, pasti itu akan menjadi pengalaman yang buruk, terutama karena aku datang bersama Himuro-san. Meski, mungkin hanya aku yang berpikir begitu. Di sekeliling kami, pasangan-pasangan memenuhi tempat ini. Kalau aku datang sendirian, mungkin aku akan merasa sangat canggung.
"Aku sudah menonton trailernya. Katanya film ini sangat mirip pada cerita aslinya." kata Himuro-san sambil terlihat bersemangat.
Dia mulai menikmati popcorn segar yang baru saja dibeli. Awalnya, kami hampir tidak kebagian karena antrian di konter yang panjang. Bahkan popcorn yang diinginkan Himuro-san sempat habis tepat di depan kami, namun untungnya mesin lain segera menghasilkan popcorn baru.
Aku membeli rasa asin, sedangkan Himuro-san memilih rasa karamel. Tidak, aku tidak memikirkan betapa menyenangkan jika kami berbagi.
"Nuansa filmnya benar-benar terasa, jadi aku semakin tidak sabar," tambahnya sambil menyesap minuman. Cara Himuro begitu antusias membuatku sedikit khawatir apakah dia akan tetap tenang saat film dimulai.
"Aku juga melihat trailernya. Adegan action-nya terlihat keren sekali! Sudah lama sejak terakhir kali aku menontonnya di bioskop, jadi aku sangat bersemangat."
Dan, jujur, aku merasa lebih bersemangat daripada Himuro-san karena berbagai alasan.
Di zaman sekarang, di mana streaming online semakin dominan, menonton di bioskop dianggap sebagai hiburan mahal. Biasanya, aku hanya menonton di komputer rumah. Namun, menonton di ruangan gelap dengan layar besar dan suara bass yang menggema rasanya tidak buruk juga. Terlebih lagi, jika gadis yang kusukai duduk di sebelahku.
"Aku sangat tidak sabar... Setelah menonton, sepertinya aku akan membeli pamflet film ini," kata Himuro dengan senyum ceria yang jarang aku lihat di sekolah. Melihat ekspresi itu saja sudah cukup membuatku bahagia.
"Kenapa, Sakuragi-kun? Kamu melamun. Jangan bilang kamu tidak bisa tidur semalaman karena terlalu menantikannya?"
"Yah, sejujurnya, aku memang agak sulit tidur karena terlalu bersemangat. Tapi jangan khawatir, aku cukup tidur kok!"
Aku bahkan tidur lebih awal dari biasanya untuk memastikan tidak terlambat.
"Benar-benar seperti anak SD sebelum pergi wisata... Kalau kamu tertidur saat film, aku tidak akan membangunkanmu."
"Ahaha... Aku tidak akan melakukan hal seperti itu kok."
Kalau aku sampai tertidur di sebelah Himuro-san, rasanya aku ingin menghilang ke dalam bumi.
"Baiklah, aku percaya padamu... Oh, filmnya akan segera dimulai. Sudah mematikan ponselmu? Jangan bicara saat pemutaran, ya?"
"Tentu saja. Ayo nikmati filmnya, Himuro-san."
Dia tersenyum manis seperti anak kecil, membuat pipiku memerah malu, tepat saat lampu bioskop mulai redup dan filmnya dimulai.
Setelah sekitar satu setengah jam pemutaran film.
Cerita bergerak cepat tanpa banyak adegan yang terasa sia-sia. Adegan aksinya mendebarkan, dengan dinamika yang membuat penonton tidak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Saat mencapai klimaks, sang tokoh utama yang babak belur berhasil mengalahkan musuh bebuyutannya dan menyelamatkan sang pahlawan wanita.
"Aku mencintaimu..."
"Aku juga..."
Tokoh utama dan pahlawan wanita akhirnya bersatu dalam pelukan hangat. Setelah berbagai konflik dan intrik yang membuat mereka sempat berselisih, mereka akhirnya saling mengungkapkan perasaannya. Adegan penuh emosi itu berlanjut dengan ciuman hangat. Namun, seperti gaya khas film Barat, ciuman itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih intens, hingga mereka mulai saling membuka pakaian. Adegan semakin panas dengan suara-suara khas yang memenuhi ruangan, dan akhirnya film beralih ke bagian kredit akhir.
Rasanya sangat canggung. Sebagai remaja pria yang belum pernah pacaran, adegan ini terlalu erotis untuk ditonton langsung. Namun, aku mencoba berpikir bahwa ini adalah adegan cinta yang tulus setelah perjalanan panjang mereka. Menonton dengan niat buruk justru lebih tidak pantas.
Aku menoleh ke Himuro-san untuk mencari contoh reaksi yang baik.
"…Uuuh…"
Dia justru tampak lebih malu dariku, mengalihkan pandangan dari layar sambil gelisah di tempat duduknya.
Apakah Himuro-san juga merasa canggung? Meskipun dia mungkin sudah tahu adegan seperti ini dari novelnya, menyaksikannya secara visual memang lebih terasa.
"Astaga... Ciuman saja sudah membuatku malu, apalagi adegan di tempat tidur seperti ini..."
Seolah-olah bisa mendengar suara hatiku, Himuro-san yang duduk di sebelahku tampak gelisah.
Meski aku berusaha keras untuk tidak terlalu sadar dan menghindari pikiran aneh, usahaku sia-sia. Mau tidak mau, pikiran buruk tetap muncul di kepalaku.
Selama beberapa menit terakhir hingga kredit film berakhir, aku dan Himuro-san tidak bisa menatap layar dengan tenang.
"Hmm… bagaimana ya? Apa aku harus membeli sesuatu selain pamflet juga…?"
Meski merasa canggung karena adegan ranjang yang intens, sisanya cukup menarik dan aku puas dengan film dua jam itu.
Ketika kami keluar dari teater, waktu sudah hampir memasuki jam makan. Begitu kredit film selesai, Himuro-san langsung berlari ke toko souvenir, dengan serius memikirkan apa yang akan dibelinya.
"Kamu tidak beli apa-apa, Sakuragi-kun?"
"Tidak, aku rasa aku baik-baik saja."
Sejak kecil, aku tidak pernah membeli pamflet saat menonton film. Aku lebih ingat meminta gantungan kunci, alas tulis, atau map transparan.
Sekarang, meski sudah sedikit dewasa, aku bisa menahan keinginan itu, mungkin karena uang sakuku terbatas. Dalam hal ini, aku berharap bisa segera menjadi orang dewasa.
"Hmm…"
"Ada apa, Himuro-san?"
Sepertinya jawabanku membuatnya tidak puas. Dengan pipi sedikit memerah, dia mengerucutkan bibirnya.
"Rasanya seperti aku saja yang terlalu bersemangat. Malu sekali… Mungkin aku tidak jadi beli souvenir deh."
Himuro-san, yang berkata demikian sambil terlihat malu-malu, sangat menggemaskan.
Aku harus menahan diri agar tidak tersenyum.
"Kalau bisa, aku juga ingin membeli sesuatu untuk mengenang film ini. Tapi bagaimana pun juga, aku punya masalah dengan uang saku…"
"Oh, begitu ya…"
"Jadi, jangan khawatirkan aku. Pilihlah dengan santai. Kita masih punya banyak waktu."
"…Terima kasih. Aku akan memilih dengan cepat, jadi tunggu bentar ya."
Dengan sedikit malu, tetapi juga senyuman bahagia di wajahnya, Himuro-san kembali serius memilih barang.
Sering kudengar bahwa menemani wanita berbelanja itu melelahkan, tapi ini tidak berlaku bagiku. Melihat dia sibuk memilih ini dan itu terasa menyenangkan, dan waktu menunggu ini juga menjadi waktu yang menyenangkan bagiku. Bahkan keramaian yang berisik terdengar seperti musik latar yang menenangkan.
Intinya, berada bersama orang yang kusukai saja sudah membuatku bahagia. Jika aku menceritakan ini pada Somemiya-kun, dia pasti akan mengatakan aku terlalu sederhana, otaknya penuh bunga, atau lemah karena cinta.
"... Kayaknya pamflet saja deh. Kali ini aku hanya akan membeli pamflet!"
"Kalau Himuro-san tidak menyesal sih, aku pikir itu keputusan yang bagus."
Barang-barang seperti ini memang langka. Aku berpikir dalam hati, jangan pernah mengira barang favoritmu akan selalu ada, meski aku tahu jika mengatakannya langsung, dia pasti akan sangat marah.
"Eh, kenapa kamu berkata seperti itu? Jangan-jangan kamu ingin menertawakan aku yang bingung memilih, ya?"
"Tidak, tentu saja tidak."
Himuro tampak imut saat terlihat bingung, tapi aku hanya mengatakannya dalam hati. Aku sadar kebiasaanku sering memperkeruh suasana. Semoga wajahku tidak menunjukkan apa-apa.
"Itu kenapa wajahmu begitu!?"
Dengan kesal, Himuro-san meraih kerah bajuku dan mengguncangnya dengan keras. Kepalaku terasa bergetar. Tubuhku tidak terlalu kuat terhadap gerakan mendadak, tapi wangi manis yang samar-samar tercium membuatku merasa lebih tenang.
"Hmm… harum sekali. Apa kamu mengganti sampo?"
"...Bisa tidak kamu berhenti mencium bau orang lain sembarangan?"
Suasana berubah drastis saat dia menatapku tajam dengan suara dingin. Ah, aku tidak sengaja mengatakannya.
"Eh, maaf. Aku hanya merasa ada yang berbeda. Apakah itu memang berubah?"
"...Iya, aku memang menggantinya. Mulai kemarin aku pakai sampo baru."
Dengan pipi sedikit memerah, Himuro-san menggerutu, bagaimana kamu bisa tahu?
Sudah lebih dari setengah tahun sejak kami menjadi teman sekelas. Meski sering berganti tempat duduk, kami selalu bersebelahan, dan hampir setiap hari berangkat dan pulang sekolah bersama. Jadi, wajar saja jika aku tahu.
"Benar-benar deh, terkadang kamu bisa sangat menjijikkan. Jangan-jangan kamu juga bilang begitu ke gadis lain?"
"Haha, tidak mungkin. Aku tidak akan mengatakan itu ke orang lain. Lagipula, aku hanya menyadarinya karena itu kamu, Himuro-san."
Aku ingin mengenali perubahan kecil pada orang yang kusukai, tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya, jadi aku hanya tersenyum samar untuk menutupi rasa maluku.
"Kamu ini… sudahlah. Jangan terlalu pandai merayu, atau kamu akan menyesal suatu saat nanti."
"Akan kuingat baik-baik."
"Bagus kalau begitu. Aku akan membeli pamflet, jadi tunggu di sini dengan tenang, ya. Mengerti?"
"Siap."
Setelah aku menjawab, Himuro-san mendengus kecil dan melepaskanku.
Aku merasa sedikit kehilangan karena dia begitu dekat sebelumnya, meski aku tidak akan mengakuinya.
Jika memungkinkan, aku ingin memeluknya erat seperti yang dilakukan tokoh utama film kepada sang heroine.
Dengan pikiran itu, aku melihat punggung Himuro-san yang berjalan menuju kasir.
******
Setelah Himuro-san berhasil membeli pamflet tanpa masalah, kami berdua menuju ke kafe pancake yang ingin ia kunjungi. Kami sedikit terlambat dari rencana awal.
"Film itu cukup menarik, ya Sakuragi-kun. Walaupun trailernya menjanjikan, aku sempat khawatir dengan hasil adaptasi filmnya."
"Memang sih. Terkadang ada beberapa film adaptasi yang gagal total. Tidak perlu kusebut namanya, tapi ada banyak yang seperti itu."
Ketika membandingkan karya yang "namanya tidak boleh disebut" dengan kualitas film ini, perbedaannya seperti langit dan bumi. Bahkan aku yang tidak pernah membaca novel aslinya dapat menikmati film ini. Apalagi melihat reaksi Himuro-san setelah menontonnya, jelas sekali film ini berhasil.
"Memang ada beberapa bagian yang berbeda dari novel aslinya, tetapi itu wajar untuk menyesuaikan dengan durasi dua jam. Justru karena itu, aku jadi penasaran dengan akhir cerita sampai detik terakhir "
"Iya benar, suasana film di bagian awal dan akhir terasa seperti dua cerita yang berbeda, tapi hasil akhirnya tetap bagus."
"Ya dan aku senang film ini memiliki akhir yang lebih bahagia dibandingkan versi novelnya."
Kami berjalan-jalan sambil mengobrol tentang film itu selama belasan menit hingga akhirnya tiba di depan kafe pancake yang modis.
Kafe itu memiliki desain modern dengan bangunan kayu satu lantai yang mengingatkan pada suasana tropis. Bagian depannya seluruhnya terbuat dari kaca, memperlihatkan interiornya. Di dalam, terdapat kipas langit-langit besar yang berputar pelan, tetapi yang lebih menarik perhatianku adalah kebanyakan pelanggan yang duduk di sana.
Seperti yang kuduga, sebagian besar pelanggan adalah perempuan. Ada laki-laki juga, tetapi jelas mereka adalah pasangan dari perempuan itu—artinya, mereka datang sebagai pasangan. Tidak ada pelajar SMA seperti kami. Sebagian besar pelanggan tampaknya mahasiswa atau orang dewasa. Aku mulai merasa tidak nyaman, seperti berada di tempat yang salah.
Menurut Himuro-san, kafe ini baru-baru ini dimuat di sebuah majalah, dan jika kami tidak mencobanya sekarang, mungkin akan semakin sulit untuk masuk ke sini di masa depan.
"…Menu spesial khusus pasangan." gumam Himuro-san pelan, membangunkanku dari lamunanku. Ia menatap papan tulis di depan kafe.
Di papan itu tertulis menu yang direkomendasikan dan populer dengan ilustrasi yang lucu. Semuanya terlihat menggugah selera, tetapi yang paling menarik perhatian adalah tulisan besar: "Menu Spesial Khusus Pasangan." Di bawahnya juga disebutkan adanya diskon khusus pasangan.
"Kenapa, Himuro-san? Tidak mau masuk?"
Berpura-pura tidak memperhatikan tulisan di papan itu. Aku berusaha tetap tenang, meskipun suasana asing di tempat ini hampir membuatku kehabisan nafas. Kalau Himuro-san mulai berpikir tentang konsep "pasangan," aku yakin aku bisa pingsan di tempat.
"A-aku tidak mau berpura-pura menjadi pasangan…!"
"T-tapi aku tidak menyarankan apa-apa lho…?"
Himuro-san tampak sangat gelisah. Wajahnya memerah seperti belum pernah kulihat sebelumnya, bahkan hampir seperti mengepul di udara yang dingin ini.
"Memang aku penasaran seperti apa menu spesial itu, tapi berpura-pura jadi pasangan denganmu itu…!"
Meskipun aku tidak mengatakan apa-apa, mendengar penolakannya yang begitu tegas rasanya sedikit menyakitkan. Tapi, memang benar bahwa kami bukan pasangan.
"Walaupun penasaran, berpura-pura itu tidak baik, kan? Berbohong tetap berbohong. Meskipun aku tidak tahu kapan bisa kembali ke sini lagi, berpura-pura menjadi pasangan untuk memesan menu itu jelas tidak benar." katanya sambil berjuang melawan keinginannya.
Dia terlihat seperti seekor anjing besar yang harus menahan diri untuk tidak memakan cemilan favoritnya meskipun sudah sangat ingin. Aku menahan diri untuk tidak tertawa karena tahu aku akan dimarahi.
"Himuro-san, di belakang kita sudah ada orang yang menunggu. Kita masuk saja, ya? Atau mau pindah ke tempat lain?"
Terlihat, sepertinya antrian mulai menjadi panjang.
"Apa yang kamu bicarakan? Hari ini kita makan siang dan camilan di sini, ini sudah kita rencanakan, kan? Pindah ke tempat lain itu tidak mungkin."
"Kalau begitu, ayo masuk."
"A-aku tahu itu! Kamu ini terlalu tidak sabaran."
balasnya sambil mengerucutkan bibirnya, kemudian masuk ke kafe lebih dulu.
Aku buru-buru mengikutinya masuk. Seorang pelayan dengan senyum lebar menyambut kami dan menanyakan jumlah orang di rombongan kami.
"Untuk dua orang saja."
"Baik, dua orang. Silakan ikuti saya." katanya sambil memandu kami ke meja yang kosong.
Untungnya, kami tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapat tempat duduk. Namun, meja yang diberikan dikelilingi oleh pasangan lain, menciptakan suasana yang penuh "kemanisan." Aku merasa seperti akan mengalami mual dan perut kembung jika duduk di sini terlalu lama.
"Menu spesial hari ini adalah pancake caramel butter dengan pear dan selai kacang. Selain itu, jika Anda berdua adalah pasangan, Anda juga bisa memesan pancake spesial kami."
"‘Pancake spesial’," kami berdua tanpa sengaja mengulang kata-kata itu bersamaan.
Himuro-san tampak sangat penasaran, bahkan lebih dari sebelumnya. Namun, ia terlihat sangat ragu. Aku mencoba untuk menenangkan suasana, tetapi pelayan kembali memberi kami satu informasi tambahan:
"Jika Anda pasangan, cukup panggil nama depan satu sama lain untuk konfirmasinya."
Pelayan itu mengatakan begitu sambil meninggalkan meja kami.
Himuro-san tampak bingung sekaligus tergoda oleh menu spesial itu, tetapi jelas sekali ia sedang berjuang keras untuk memutuskan apakah akan memesannya atau tidak.
"H-himuro-san? Kamu baik-baik saja?"
Meski terasa aneh untuk menanyakan apakah tidak apa-apa saat sedang bingung memutuskan pesanan, aku khawatir jika ini dibiarkan saja, dia akan mengalami overheat.
"…Aku tahu. Kita bukan pasangan, jadi aku tidak bisa memesan sesuatu seperti itu. Tapi aku tetap saja penasaran, jadi mau bagaimana lagi…"
"Baiklah, kalau begitu, aku yang akan memesannya."
"Eh?"
Himuro-san terkejut, tapi aku sengaja mengabaikannya dan menekan bel untuk memanggil pelayan. Kalau dia malu berpura-pura sebagai pasangan dan memesan sendiri, solusinya sederhana saja.
"Terima kasih telah menunggu. Silakan beritahu pesanan Anda."
"Um... Satu pancake caramel butter pear dan kacang edisi musiman, serta satu pancake spesial khusus pasangan. Tolong buat keduanya dalam bentuk set."
"Minuman untuk setnya apa yang Anda inginkan?"
"Aku ingin kopi hitam panas. Himu... Kuru-chan, kamu mau apa?"
Himuro-san memerah seperti api yang menyala-nyala ketika tiba-tiba dipanggil namanya. Aku sendiri juga merasa wajahku sama panasnya.
"Eh!? A-aku juga... su... bukan, aku juga mau... bukan, tolong hot cocoa saja!"
"Tolong tambahkan banyak gula," tambahnya di akhir.
Sepertinya dia hampir memanggil namaku, tapi berhenti karena merasa malu. Namun, memanggilku "kamu" dalam situasi ini terasa seperti melewati batas pasangan dan menjadi seperti suami-istri. Atau mungkin itu hanya pikiranku saja.
"Baiklah. Satu pancake caramel butter pear dan kacang edisi musiman serta satu pancake spesial khusus pasangan, keduanya sebagai set. Untuk minumannya kopi hitam panas dan hot cocoa, ya?"
"Ya, benar. Tolong seperti itu."
"Baik, mohon ditunggu sebentar ya."
Pelayan membungkuk dan kembali ke bagian belakang. Saat pergi, dia tidak mengatakan apa-apa kepadaku, tetapi memberiku kedipan penuh arti, seolah-olah mengatakan,
"Kalian berdua hebat, ya."
"…"
Himuro-san memandangku dengan tatapan tajam seolah-olah terdengar efek suara "jiiiii." Namun, tidak ada tekanan seperti biasanya. Sebaliknya, ekspresi diamnya terlihat lucu.
"Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku?"
"Tidak ada apa-apa sih. Tapi, kalau kamu ingin melakukan sesuatu, beri tahu aku sebelumnya."
"Oh, maaf aku kalau tiba-tiba memanggil nama depan mu. Tapi, hal seperti ini butuh spontanitas, dan aku pikir sebaiknya kita makan apa yang kita inginkan."
"Tapi kalau dipanggil begitu tiba-tiba, aku jadi terkejut. Kalau lain kali terjadi seperti uni, beri tahu aku dulu, ya? Aku akan mempersiapkan mental."
Dengan gaya bicara yang blak-blakan, aku menjawab,
"Baik, aku mengerti." sambil tersenyum canggung.
Namun, aku tidak bisa menahan diri untuk berpikir: dari perkataannya, apakah itu berarti dia akan memberiku kesempatan lain untuk memanggil namanya?
"Sudah cukup soal itu. Sekarang, ayo kita bicara tentang kesan filmnya. Sakuragi... kira-kira siapa karakter yang kamu sukai?"
"Aku ingin kamu memanggilku dengan nama depanku…"
"…Jangan sok dekat!"
Dengan nada sedingin es, dia memarahiku, dan aku hanya bisa menundukkan kepala.
Sambil menahan rasa malu, kami menunggu sekitar sepuluh menit. Akhirnya, pancake yang kami tunggu-tunggu tiba di meja.
"Wow... luar biasa…"
Melihat piring di depannya, mata Himuro-san berbinar-binar sambil mengeluarkan suara kekaguman. Tidak heran, karena pancake spesial untuk pasangan itu penuh dengan berbagai macam buah-buahan seperti apel, jeruk, pir, kiwi, melon, stroberi, dan lainnya. Hidangan ini benar-benar mewah.
Aroma krim kocok yang manis dan buah-buahan segar berpadu sempurna, membuat suasana hati Himuro-san semakin ceria.
"Fo... foto... bolehkah aku memotret sebagai kenang-kenangan?"
"Tentu saja. Kalau mau, biar aku yang memotretkan."
"Benarkah? Kalau begitu, aku serahkan padamu."
Aku menerima ponsel Himuro-san. Meskipun bingung dengan rasa percaya dirinya yang begitu besar, aku memikirkan, untuk kenang-kenangan apa foto ini diambil? Aku pun mengarahkan kamera.
"Baiklah, aku akan memotret──satu, dua, tiga, cheese."
"Klik."
Hasilnya adalah foto Himuro-san yang memegang piring dengan sedikit terangkat, menampilkan senyum lebar.
Dia begitu manis, bahkan bisa dibilang seperti malaikat yang turun ke dunia. Sayangnya, aku tidak bisa menyimpan foto ini di ponselku.
"Terima kasih. Kalau begitu, ayo kita makan sebelum dingin."
Dengan itu, Himuro-san mulai memotong pancake yang lembut menjadi ukuran kecil, melumuri krim yang melimpah, lalu menyuapkannya ke mulut.
Wajahnya langsung melembut, dan sesi "mengunyah dalam diam" pun dimulai.
"Ugh... enak sekali."
"Syukurlah kamu menyukainya, Himuro-san."
Ekspresi wajahnya yang menunjukkan konflik antara perasaan "menyebalkan" dan "terlalu enak" membuatku tidak bisa menahan tawa.
Aku senang melihatnya menikmati makanan ini.
"Baik? Seperti yang sudah aku katakan tadi, jangan sampai besar kepala, ya? Berpura-pura menjadi pasangan itu hanya kali ini saja, oke? Mulai sekarang, aku tidak akan melakukan hal seperti itu lagi."
"Iya, aku mengerti."
"Kalau sampai ada yang melihat kita di tempat seperti ini, bagaimana coba?"
Di kota yang luas dengan begitu banyak orang, kemungkinan seseorang melihat kami secara kebetulan sangat kecil, kecuali jika itu benar-benar kebetulan yang besar.
"Ngomong-ngomong, setelah ini kita mau ngapain? Ada tempat yang ingin kamu kunjungi?"
Sampai nonton film dan mampir ke kafe pancake, kami sudah membuat rencana sebelumnya. Tapi, setelah itu, kami tidak memutuskan apa pun. Terlalu cepat untuk pulang, tetapi terlalu sore juga untuk pergi ke tempat lain. Waktunya benar-benar di tengah-tengah.
"Hmm... mungkin aku ingin mampir ke toko buku."
Seingatku, ada sebuah toko buku besar di dekat stasiun. Dua lantai penuh di dalam gedung komersial besar itu semuanya adalah toko buku.
Menurut informasi yang kudapat, toko buku itu memiliki koleksi sekitar 1,3 juta buku dan menawarkan berbagai macam genre, sehingga katanya tidak ada buku spesialis yang tidak bisa ditemukan di sana. Selain itu, mereka tidak hanya menjual buku, manga, atau majalah, tetapi juga CD, Blu-ray, dan barang-barang lainnya.
Toko itu bahkan memiliki kursi-kursi di berbagai tempat serta kafe kecil. Benar-benar toko buku yang sangat lengkap. Ketika aku menjelaskan semua ini, Himuro-san membuka matanya lebar-lebar dan berkata,
"Wah... kamu tahu banyak juga, ya. Gak nyangka banget deh."
"Aku hanya mencari tahu untuk berjaga-jaga. Kebetulan saja."
Meskipun aku menjawab dengan santai, tentu saja ini bukan kebetulan. Aku sudah mendengar dari Somemiya-kun lewat Mashiro-san bahwa Himuro-san mungkin ingin pergi ke toko buku.
"...Baiklah, kali ini aku akan membiarkanmu mengatakannya seperti itu, demi pancake ini."
Dalam hati, aku tersenyum kecut sambil terus makan pancake. Kombinasi rasa manis saus karamel, aroma kacang panggang, dan tekstur kacang memberikan rasa khas yang sangat nikmat.
Kalau aku bisa datang ke tempat ini lagi bersamanya, semoga saat itu kami bisa saling berbagi pesanan. Bahkan, mungkin bisa saling menyuapi dengan "aaan" kecil.
"Ada apa? Jangan memandang seperti itu, aku tidak akan memberikannya padamu, lho."
Himuro-san yang salah paham bahwa aku ingin mengambil pancakenya langsung menarik piringnya lebih dekat sambil menggembungkan pipinya.
Gayanya itu benar-benar berbeda dari sikapnya yang biasanya anggun, membuatku tidak bisa menahan tawa. Akibatnya, dia jadi ngambek, tetapi itu adalah cerita lain yang tidak bisa kuhindari.
******
"Baik, Sakuragi-kun. Aku bukan orang yang tidak tahan panas, ya? Hanya saja cokelat panas tadi terlalu panas, itu saja!"
Dalam perjalanan dari kafe pancake menuju toko buku, Himuro-san mengulangi pembelaannya untuk kesekian kali, dan aku hanya membalas dengan senyum samar.
"Memang benar aku yang memesan minuman panas, tapi akibatnya aku hampir saja terbakar," gumam Himuro-san sambil mengangkat bahunya, seolah mencoba membela diri. Sebagai catatan, aku sama sekali tidak mengatakan apa pun. Aku juga tidak berpikir bahwa caranya kesulitan minum coklat panas tadi terlihat imut.
"Ah, mungkin ini karena udara di luar yang dingin, jadi kamu merasa minumannya lebih panas dari biasanya."
Aku mencoba memberikan alasan terbaik yang bisa kupikirkan. Namun, sepertinya justru membuat keadaannya semakin buruk, karena aku langsung mendapat tatapan dingin menusuk dari Himuro-san.
"Ini pertama kalinya aku mendapat pembelaan yang begitu sia-sia."
"...Maaf."
"Sudah, cukup tentang itu. Lebih baik kita segera pergi sebelum matahari terbenam. Musim ini cepat sekali gelap, jadi tidak ada waktu untuk bermalas-malasan."
Setelah mengatakan itu, Himuro-san berjalan cukup cepat.
Namun, aku sudah terbiasa dengan ritme ini, jadi aku segera menyamai langkahnya tanpa tertinggal. Kami berjalan sangat dekat, hingga hampir bersentuhan bahu.
Jika aku memberanikan diri sedikit saja dan meraih tangannya, aku bisa menggenggamnya. Tapi jarak itu terasa seperti langit dan bumi bagi diriku yang sekarang.
Satu langkah saja bisa mengubah segalanya. Aku merasakan firasat yang hampir seperti keyakinan. Tapi, kemungkinan buruk juga bisa terjadi. Jika itu terjadi, aku mungkin tidak akan pernah bisa berjalan di sisinya seperti ini lagi.
Membayangkan skenario terburuk seperti itu membuatku terlalu takut untuk melakukan apa pun.
"Hei, kamu melamun dari tadi. Apa kamu baik-baik saja?"
"...Hah?"
"Jangan-jangan kamu lelah ya? Bukankah kemarin kamu bilang tidak bisa tidur? Kalau begitu, kita batalkan saja pergi ke toko bukunya?"
"Tidak, aku baik-baik saja! Aku hanya sedang berpikir, mengingat jalan menuju toko buku!"
Kebohongan spontan yang kulontarkan cukup rapi, menurutku. Namun, aku merasa bersalah karena membuat Himuro-san khawatir, dan berharap bisa menghilang ke dalam inti bumi. Tapi, jika aku terus meratapi ini, hanya akan memperpanjang lingkaran negatif. Aku harus mengalihkan pikiranku.
"Kalau begitu baguslah. Tapi jangan memaksakan diri, ya?"
"Terima kasih. Tapi sungguh, aku baik-baik saja. Jangan khawatir!"
Tatapan Himuro-san menunjukkan bahwa dia masih belum sepenuhnya percaya, dan aku tak tahan hingga mempercepat langkahku sedikit. Kalau saja aku bisa dengan jujur berkata, "Aku ingin menggenggam tanganmu," betapa menyenangkan hal itu. Tapi, lagi-lagi aku kecewa pada diriku sendiri.
"...Hei, kamu benar-benar baik-baik saja?"
Himuro-san sekarang menatapku dengan lebih khawatir saat melihatku, aku menggelengkan kepalaku sekuat tenaga untuk mengusir kegelisahannya.
Yah, siapa yang tidak takut jika orang di sebelahmu tiba-tiba diam lalu mulai menggelengkan kepala tanpa alasan?
"Ahahaha... aku benar-benar baik-baik saja! Lihat, kita sudah sampai!"
Untungnya, pada saat yang tepat, kami tiba di gedung komersial tempat toko buku berada.
Untuk menghindari lebih banyak kesalahpahaman, aku segera masuk ke dalam gedung dan naik lift.
"Wow... luar biasa."
Ketika pintu lift terbuka di lantai tujuan, Himuro-san tak bisa menahan kekagumannya. Aku juga paham perasaannya. Suasana tenang yang berbeda dari keramaian di depan stasiun, ruang yang luas, dan buku-buku yang tertata rapi menurut genre membuat toko buku ini terlihat sangat elegan.
Tapi, tata letaknya bukunya tetap memudahkan pengunjung untuk menemukan dan mengambil buku, ini benar-benar mengesankan. Tidak heran jika Himuro-san terlihat seperti anak kecil yang berlari ke taman hiburan.
"Ayo cepat! Kalau kita berlama-lama, nanti toko ini keburu tutup!"
"Tunggu, Himuro-san...! Jangan lari, itu berbahaya!"
Tapi, Himuro-san yang bersemangat tiba-tiba menggenggam tanganku dan berlari seperti angin. Detak jantungku seketika melonjak tinggi, dan aku tanpa sadar tersenyum, merasa kebodohanku sebelumnya benar-benar konyol.
"Pertama, kita ke sana! Lalu setelah itu, ke sana─"
Mungkin karena ini adalah momen paling antusias yang pernah kulihat darinya, Himuro-san sepertinya tidak menyadari bahwa dia menggenggam tanganku.
Rasanya tidak pantas untuk menunjukkan itu, dan tentu saja, aku tidak mau menghancurkan kebahagiaan kecil ini. Aku pun membiarkan diriku mengikuti arusnya.
Namun, seperti kata pepatah, mimpi itu rapuh seperti ilusi. Beberapa menit kemudian, Himuro-san mengeluarkan teriakan kecil dan melepaskan genggaman tangannya.
Waktu berlalu begitu cepat, dan sekarang sudah jam setengah enam sore. Tidak kusangka aku akan menghabiskan hampir dua jam di toko buku.
Awalnya aku merasa terintimidasi oleh semangat Himuro-san, tetapi lama kelamaan aku juga menikmati deretan buku yang seolah tak ada habisnya, hingga akhirnya aku pun larut dalam suasana itu.
"Terima kasih, Sakuragi-kun. Ini lebih menyenangkan dari yang kubayangkan."
"Malahan aku yang harus berterima kasih. Mendengar itu darimu, sebagai orang yang mengajak, aku sangat senang."
Saat kami sampai di rumah, waktu sudah menunjukkan lewat jam enam sore.
Karena itu akan terlambat untuk makan malam, aku harus pulang walaupun rasanya masih berat untuk berpisah.
Sejujurnya, aku ingin bersama Himuro-san sedikit lebih lama, tetapi aku tidak ingin membuat orang tuanya khawatir.
"Rasanya sudah mulai gelap dan sepertinya ini bahaya, biar aku antar kamu sampai rumah ya, Himuro-san."
Saat kami keluar dari gedung, matahari sudah tenggelam, dan di luar sudah gelap. Meski begitu, karena hari libur, jalanan masih ramai, bahkan mungkin lebih ramai dibanding siang tadi.
"Tidak perlu, aku bukan anak kecil lagi."
"Tapi kalau terjadi sesuatu, aku akan khawatir..."
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, apalagi akhir-akhir ini situasi cukup berbahaya. Jika sesuatu terjadi pada Himuro-san setelah kami berpisah, aku pasti akan menyesal.
"Sudahlah... Aku tidak apa-apa. Jangan khawatirkan aku sejauh itu."
Himuro-san hanya mengangkat bahu dengan senyum lemah. Namun, wajahnya terlihat lembut dan entah bagaimana tampak bahagia. Apa itu hanya perasaanku?
"Yah, toh kita searah sampai titik tertentu, jadi tidak masalah. Tapi sampai rumah aku benar-benar baik-baik saja. Jika kamu mengantarkan aku sampai rumah, itu akan merepotkanmu."
"Baiklah. Sampai di situ saja, jika maumu begitu."
Setidaknya, jika sudah sampai stasiun terdekat, dia akan aman. Sejujurnya aku ingin mengantarnya sampai depan rumah, tapi memaksanya juga tidak baik.
"Memang ya, kamu terlalu khawatir."
"Tentu saja. Berjalan sendirian di malam hari itu berbahaya, apalagi untuk gadis sepertimu."
"Ya, ya... Jangan bicara sembarangan. Tidak mungkin ada yang terjadi padaku."
Dia mengangkat bahu seolah bosan mendengarku, tetapi aku berharap dia menyadari daya tariknya. Bahkan hari ini, saat berjalan bersamanya, aku melihat beberapa pria menoleh. Tapi, itu hanya kusimpan dalam hati.
"Baiklah, sebelum pulang, aku mau ke toilet sebentar. Tunggu ya."
"Baiklah, hati-hati. Kamu bisa sendirian kesana, kan?"
"Aku hanya ke toilet, apa yang perlu dikhawatirkan?"
Dengan senyum bercampur lelah, Himuro-san berlari kecil kembali ke dalam gedung.
******
"Haah..."
Setelah selesai, aku mencuci tangan dan menatap cermin. Melihat pantulan diriku, aku tanpa sadar menghela napas. Rasanya seperti melihat orang asing.
Tidak heran, seharian ini wajahku terasa panas, dan aku sadar sering tersenyum tanpa sebab. Apalagi setelah menonton film tadi.
"Tak kusangka ada adegan seperti itu... Kenapa mereka menambahkan sesuatu yang tidak ada di novel aslinya?"
Aku mengeluh lagi. Adegan klimaks di mana protagonis mengalahkan musuh, menyatakan cinta, dan berciuman mesra masih tergambar jelas di pikiranku. Saat itu, aku merasa jantungku hampir berhenti.
"Sungguh, aku ini kenapa sih..."
Aku bicara pada diriku sendiri. Melihat pasangan itu, aku tanpa sadar berpikir, "Andai aku juga bisa seperti itu suatu saat nanti..." dan, entah kenapa, aku membayangkan jika pasangannya adalah dia...
"Kenapa aku memikirkannya sampai sejauh itu?"
Aku menghela nafas panjang, mencoba membuang pikiran buruk. Aku tidak ingin menjadi seperti orang tuaku, yang selalu mesra di mana saja tanpa peduli situasi.
"Aku sudah bersumpah tidak akan seperti mereka..."
Aku menelan kata-kata yang hampir terucap dan menurunkan tangan yang sempat terangkat untuk memukul wastafel. Aku terlalu emosional.
"Semua ini salah Sakuragi-kun..."
Jika dia mendengarnya, dia pasti akan protes, tapi aku tidak peduli. Semua ini salah dia—kenapa aku jadi tidak bisa tenang?
"Oh ya, tidak baik membuat dia menunggu lama. Aku harus pergi sekarang."
Meskipun ingin menenangkan diri dulu, aku tahu itu tidak mungkin. Jika terlalu lama, Sakuragi-kun mungkin akan mencariku.
"Dia memang perhatian, tapi aku tidak mau dia sampai masuk ke toilet perempuan."
Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, dan keluar untuk kembali kepadanya.
"Hei, kamu yang di sana!"
Suara keras menghentikan langkahku di tengah keramaian. Aku menoleh secara refleks.
Yang kulihat adalah pria berambut pirang yang tampak seperti mahasiswa berandalan. Ini masalah besar.
"Kamu cantik sekali. Punya waktu luang?"
"Tidak, aku sibuk."
"Bagaimana kalau makan malam? Aku yang traktir."
"Tidak, terima kasih. Aku mau pulang dulu."
Mengapa aku harus pergi makan bersama orang yang tidak aku kenal? Kalau harus seperti itu, aku lebih baik seratus kali pergi bersama Sakuragi-kun.
"Eh...? Ini masih belum jam 6 sore, tapi kamu mau pulang? Ayo kita main sebentar saja, aku janji kamu nggak akan rugi."
Kalau saja aku bisa mengatakan, "Meluangkan waktu untukmu sudah cukup membuatku rugi." Tapi sayangnya, tubuhku malah kaku dan tidak bisa bergerak.
"Yuk, boleh kan? Ngomong-ngomong, rumahmu di mana? Aku janji akan membiarkanmu pulang sebelum kereta terakhir."
"Ja-jangan... Jangan sentuh aku..."
Saat aku mengatakan itu, pria tersebut dengan santainya meletakkan tangannya di pundakku. Tangannya besar dan kuat, membuatku merasa takut.
Meski aku menolak, dia tetap tidak menjauh. Ketika aku berusaha mengatakan "Berhenti," suara yang keluar begitu kecil hingga aku sendiri terkejut.
Ketakutanku seolah tenggelam dalam musik yang mengalun di gedung ini, tak ada yang mendengarnya. Orang-orang yang berlalu lalang hanya melirik sekilas, namun mereka memilih mengabaikannya karena tidak ingin terlibat masalah.
"Tolong... Seseorang, tolong aku," aku berteriak dalam hati.
Apa yang harus kulakukan jika dia membawaku pergi? Apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi padaku di sana? Berbagai bayangan buruk berkecamuk dalam pikiranku. Seandainya saja aku meminta Sakuragi-kun untuk menemaniku...
"───Apa yang sedang kamu lakukan?"
"......Eh?"
Sebuah suara yang familiar terdengar dari belakangku.
Sebelum aku sempat menoleh, seseorang menarik pundakku dengan lembut namun tegas. Sentuhan itu hangat dan penuh perhatian. Orang itu tidak lain adalah Sakuragi-kun.
"Sa-Sakuragi-kun!?"
"…Kamu ini siapa?"
Suara terkejutku bertemu dengan suara pria itu ── yang terdengar sedikit menusuk. Tangan Sakuragi-kun yang memegang erat tanganku sedikit gemetar, tapi ekspresinya terlihat lebih serius dari yang pernah aku lihat sebelumnya.
"Aku pacarnya. Aku khawatir karena dia tidak segera kembali, jadi aku datang mencarinya. Kamu sendiri siapa?"
Biasanya Sakuragi-kun adalah orang yang tenang dan selalu tersenyum ramah atau terkadang hanya tersenyum kecil dengan rasa canggung.
Tapi sekarang, nada suaranya yang biasanya rendah kali ini penuh akan kemarahan, membuatku terkejut. Namun, aku sama sekali tidak merasa takut. Sebaliknya, aku malah merasa lega.
"Eh!? Kamu punya pacar ya!? Maaf, aku pikir kamu masih sendiri…"
Sambil meminta maaf dengan gugup, pria itu menunduk dan segera pergi seperti melarikan diri.
Meski dia tampak menakutkan, aku terkejut karena dia begitu mudah menyerah. Sampai punggungnya menghilang dari pandangan, dan juga Sakuragi-kun tidak melepaskan tangannya dari tanganku.
"Haa... Syukurlah semuanya berjalan baik. Untung saja dia cepat pergi. Kalau dia memaksa, kita tidak punya pilihan selain lari."
Sambil menghela nafas panjang, Sakuragi-kun menyandarkan kepalanya di pundakku. Tangannya masih sedikit gemetar. Sepertinya dia sudah sangat memaksakan dirinya.
"Aku benar-benar lega karena aku memutuskan untuk mencarimu. Syukurlah kamu tidak apa-apa, Himuro-san."
Namun, meskipun jelas dia merasa tegang, wajah Sakuragi-kun tetap tersenyum seperti biasa.
Melihat itu, aku merasa campuran ketakutan dan rasa aman yang membuat dadaku bergejolak.
"H-Himuro-san!?"
Ketika sadar, aku sudah memeluk Sakuragi-kun. Aku tahu ini memalukan dilakukan di tempat ramai, tapi lebih dari itu, aku hanya ingin merasakan kehangatan ini lebih lama.
"Terima kasih, Sakuragi-kun… berkatmu, aku selamat."
"Itu… syukurlah," katanya sambil tergagap, dengan wajah yang memerah sampai telinganya.
Wajah yang biasanya menunjukkan senyum canggung itu kali ini terlihat sangat lucu, membuat perasaan aneh tumbuh di dalam diriku. Sebelum aku sadar, tanganku sudah mengelus kepalanya.
"H-Himuro-san!? Kenapa tiba-tiba...!?"
"Eh!? Ti-tidak apa-apa! Aku hanya ingin berterima kasih!"
"Oh… begitu ya. Kalau begitu, bisakah aku tetap seperti ini sedikit lebih lama?"
Suaranya sangat pelan saat mengatakan itu, lalu tubuhnya mendekat beberapa sentimeter. Hanya sedikit, tapi cukup membuatku ingin memeluknya lebih erat.
"Sudah cukup! Waktunya selesai!"
Dengan segala upaya, aku memaksa diri melepaskan pelukan itu. Aku masih ingin dekat dengannya dan mengelus kepalanya lebih lama, tapi sadar bahwa ini bukan tempatnya.
"Ayo kita pulang sekarang!"
Berusaha menyembunyikan wajahku yang memerah, aku menarik lengan Sakuragi-kun dan mulai berjalan dengan cepat.
Dari belakang terdengar suara yang kecil,
"Tunggu aku, Himuro-san!"
Suaranya yang lucu itu membuatku tersenyum, lalu aku berjalan semakin cepat.
Post a Comment