Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Prolog
Gadis SMA yang Berusia Tujuh Tahun
Aku pertama kali mengenalnya saat upacara penerimaan siswa baru di SMA.
"Hoshimiya Hime. Mulai hari ini, aku menjadi siswa kelas satu SMA seperti kalian semua."
Aku terpana saat melihatnya berdiri di atas panggung.
Kulitnya seputih salju.
Rambut peraknya panjang dan berkilauan.
Mata merah tuanya bersinar terang... semuanya meninggalkan kesan mendalam.
Dia adalah gadis yang sangat cantik.
Dia memiliki keindahan yang seolah-olah keluar langsung dari buku cerita, begitu indah hingga terasa tidak nyata.
Namun, alasan aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya bukan karena itu.
(... Kecil)
Bukan soal tinggi badannya.
Semua bagian tubuhnya kecil.
Dengan kata lain─dia masih sangat muda.
"Seperti yang kalian lihat, usiaku memang tujuh tahun, tetapi aku diterima di sini melalui program akselerasi."
Dia bahkan bukan seorang siswi SMA yang hanya tampak muda.
Dia benar-benar seorang anak kecil.
Mungkin karena itu, para siswa yang sebelumnya diam mulai bergumam pelan.
"Baiklah, sekarang aku akan memberikan sambutan sebagai perwakilan siswa baru. Mohon maaf telah membuat keributan... aku harap kerja sama kalian."
Hoshimiya Hime membungkukkan badan dengan sopan lalu mulai menyampaikan harapannya sebagai siswa baru.
Suaranya datar, nyaris tanpa intonasi, dan sedikit cadel, tetapi terdengar sangat tenang.
Begitu ia mulai berbicara, para siswa yang sebelumnya berbisik-bisik langsung terdiam.
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
Tentu saja, aku juga tanpa sadar memusatkan perhatianku padanya.
─Ah, gadis ini memang 'istimewa.'
Rasanya seperti melihat seseorang dari dunia lain.
Aku akhirnya mengerti mengapa aku tidak bisa melepaskan pandangan darinya.
Mungkin, aku merasa semacam kekaguman terhadapnya.
Aku ingin terus melihat gadis luar biasa bernama Hoshimiya Hime ini.
Fakta-fakta yang diungkapkan oleh guru pembawa acara setelah pidato Hime semakin menguatkan kesan istimewanya:
Bahwa Hoshimiya Hime telah mendapatkan kelulusan dari universitas luar negeri, dia juga bekerja sama dengan tim penelitian di luar negeri dan sangat sibuk.
Meskipun begitu, ia memiliki alasan tertentu untuk bersekolah di sini melalui program percepatan, dia meraih peringkat pertama dalam ujian masuk, sehingga diberi kehormatan untuk memberikan sambutan.
Semua itu menunjukkan satu hal─
(Dia benar-benar berbeda dariku.)
Aku, Ozora Youhei, hanya seorang siswa SMA biasa.
Aku tidak ada hubungannya dengannya.
Lagipula, dunia tempat kami hidup jelas berbeda.
Bahkan sekadar berteman atau berinteraksi dengannya rasanya tidak mungkin.
Aku memikirkan hal itu sambil menatapnya yang membungkuk sopan di atas panggung dan berjalan perlahan.
Namun, lebih cepat dari yang aku duga, aku akhirnya terlibat dalam kehidupan gadis bernama Hoshimiya Hime.
(…Kenapa dia ada di sini?)
Setelah upacara penerimaan siswa baru dan homeroom di kelas baru selesai, aku berjalan di dalam sekolah untuk pulang.
Saat itu, seorang guru menghentikanku dan menyuruhku membuang sampah di ruang kelas kosong.
Sambil mengeluh tentang nasib burukku, aku bertanya di mana tempat pembuangan sampah itu dan segera menuju ke sana.
Saat sampai, aku melihat seorang gadis berambut perak di sana.
Hoshimiya Hime… chan?
Tidak, karena dia teman sekelas, lebih baik memanggilnya Hoshimiya-san.
Dia duduk di blok pembatas tempat pembuangan sampah, memeluk lutut sambil duduk dengan posisi seperti anak kecil.
Karena tubuhnya sudah kecil, posisi itu membuatnya tampak semakin mungil.
"…………"
Tanpa suara, tanpa ekspresi, dia memandangku dengan kosong.
Namun, pandangannya tidak terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu.
Aku merasa dia hanya memandangku karena aku ada di sini.
"Maaf, aku lewat di sebelahmu."
Kupikir sebaiknya aku menyapanya, jadi aku mencoba memanggilnya.
"…Silahkan."
Dia mengangguk kecil, tetapi ekspresinya tetap terlihat kaku.
Mungkin aku membuatnya waspada karena tiba-tiba mengajaknya bicara.
Aku berjalan cepat menuju tempat sampah, meletakkan kantong sampah yang kubawa.
Meskipun ini adalah hari pertama masuk sekolah, sudah ada beberapa kantong sampah yang diletakkan di sana.
Aku memastikan semuanya tertata rapi agar orang berikutnya tidak kesulitan.
Akhirnya, aku bisa pulang.
Namun, meskipun aku ingin melangkah pergi, bayangan Hoshimiya-san tetap ada di sudut pikiranku.
(…Kenapa dia ada di sini?)
Ini adalah kedua kalinya aku memikirkan hal yang sama.
Karena situasinya terasa agak aneh, pertanyaan itu tidak bisa lepas dari pikiranku.
Dia tidak sedang sakit, kan?
Aku penasaran… tapi rasanya Hoshimiya-san tidak ingin aku terlalu mendekatinya.
Jadi, aku memutuskan untuk mengatakan satu hal lagi.
Kalau dia terlihat terganggu, aku akan segera pergi.
Setelah memutuskan itu, aku menghentikan langkahku.
"Um… kamu sedang apa di sini?"
"…………"
Hoshimiya-san tetap berada di posisi yang sama seperti sebelumnya.
Dia tidak bergerak sama sekali, hanya memandangiku dengan tatapan kosong…
Bahkan setelah aku berbicara dengannya, dia butuh beberapa detik untuk merespons.
Mungkin aku terlalu memikirkannya.
Mungkin lebih baik aku pergi agar tidak mengganggunya─
Namun, saat aku mulai berpikir begitu, perlahan Hoshimiya-san membuka mulutnya.
"Itu pertanyaan yang sulit."
"Sulit? Apa maksudmu?"
"Jawaban untuk pertanyaan tentang apa yang sedang kulakukan adalah hal yang sulit."
"Uh… maaf, tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menjawabnya."
"Tidak, aku tidak keberatan. Hanya saja, aku tahu bahwa frasa ‘sedang tersesat’ tidak tepat dalam bahasa Jepang, tetapi aku bingung apakah sebaiknya aku menggunakannya karena lebih mudah dipahami."
Awalnya, aku terkejut dengan cara bicaranya yang begitu tenang.
Pemilihan katanya, kelancaran ucapannya, bahkan kosakatanya yang kaya.
Semuanya terasa sangat dewasa.
Saat upacara penerimaan siswa baru pun aku merasa dia terlihat lebih dewasa dari usianya.
Namun kini aku semakin yakin, dia benar-benar tidak seperti anak tujuh tahun pada umumnya.
Berkat itu, aku langsung mengerti situasinya.
"Jadi… kamu sedang tersesat ya?"
Memang, mungkin itu tidak sepenuhnya tepat dalam bahasa Jepang, tetapi itu sangat mudah dipahami.
"Aku tadi berjalan menuju gerbang sekolah, tetapi karena ini tempat baru bagiku, aku tidak tahu jalannya."
"Itu cukup merepotkan, ya."
"Itu hanya karena aku kurang perhitungan. Meski tersesat, aku masih berada di dalam area sekolah, jadi ukurannya terbatas.
Aku berpikir bahwa selama aku terus berjalan, aku akan sampai di gerbang sekolah. Tapi ternyata, aku tidak punya cukup tenaga untuk melakukannya."
"Jadi, kamu duduk disini untuk istirahat ya."
Bagi seorang siswa SMA sepertiku, berjalan di area sekolah tidak melelahkan.
Namun bagi, Hoshimiya-san yang berusia tujuh tahun, dan tubuhnya yang kecil dan rapuh membuatnya memiliki stamina yang terbatas.
Aku mengerti sekarang… setelah tahu keadaannya, semuanya masuk akal.
Aku juga merasa lega karena keputusan untuk berbicara dengannya ternyata tepat.
"Kalau begitu, mau aku temani ke gerbang sekolah? Kebetulan aku juga sedang dalam perjalanan pulang."
"…Apa itu tidak apa-apa? Apakah tidak akan merepotkanmu?"
"Tidak ada alasan untuk merasa terganggu."
Aku menggelengkan kepala untuk meyakinkannya.
Hoshimiya-san menatapku, matanya sedikit membesar.
Apa dia terkejut?
Reaksinya terlalu tipis dan halus, jadi sulit untuk dipastikan, tetapi mungkin memang begitu.
"Tidak… sebelum kamu, ada beberapa orang yang datang ke sini untuk membuang sampah. Tapi, setiap kali mereka bertatap muka denganku, mereka langsung pergi dengan terburu-buru. Aku pikir mereka tidak mau terlibat denganku."
"Aku rasa bukan begitu."
Tapi aku mengerti, mungkin orang-orang merasa sungkan untuk berbicara dengannya.
Aku sendiri sempat ragu-ragu.
Yang membuatku akhirnya berbicara dengannya adalah karena aku merasa khawatir.
Jadi, aku senang.
Setidaknya aku bisa sedikit membantunya.
"Kalau begitu, ayo kita pergi."
"Ya... terima kasih sebelumnya."
Dengan suara itu sebagai tanda, Hoshimiya-san bangkit berdiri dan mulai berjalan beberapa langkah di belakangku.
Aku menyesuaikan langkahku agar lebih pelan dari biasanya, mengingat panjang langkahnya yang kecil.
"…………"
Selama perjalanan, kami berdua tetap diam.
Bukan karena suasana canggung... melainkan karena tanpa bicara, rasanya jarak di antara kami tetap terjaga.
Diam adalah pilihan yang paling aman, tidak ada hal buruk yang terjadi, meski tidak ada hal baik juga.
Namun, setiap kali aku menoleh, pandangan kami selalu bertemu.
Hal itu membuatku sedikit penasaran.
Apakah dia terus memandangiku?
Kalau memang begitu, mungkin aku seharusnya mencoba mengajaknya bicara.
Tapi, penyesalan itu sudah terlambat.
Jika tahu jalannya, perjalanan ke gerbang sekolah hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit.
Waktu yang hening pun berakhir dengan cepat.
"Kalau begitu, sampai sini ya."
Setibanya di gerbang sekolah, aku mengatakan itu.
Hoshimiya-san membungkukkan kepala dengan sopan.
"Terima kasih banyak."
"Ah, tidak masalah. Lain kali hati-hati agar tidak tersesat lagi ya."
"Ya, aku akan berusaha agar tidak tersesat lagi."
Gerak-geriknya yang tenang membuatnya tampak lebih dewasa dari anak tujuh tahun.
"Terima kasih atas bantuannya menunjukkan jalan."
Namun, sesaat setelah itu, ekspresi lega yang ia tunjukkan tampak begitu sesuai dengan usianya.
Dari ekspresi tanpa emosi, wajahnya berubah lembut.
Pipi mungilnya melunak, dan mata tajamnya menjadi lebih kecil karena sudut bibirnya sedikit terangkat.
Kulitnya yang putih pun bersemu merah tipis.
Mungkin karena rasa lega membuat tubuhnya lebih rileks.
Ekspresinya sekarang jauh lebih lembut dibanding sebelumnya.
Melihatnya yang seperti itu, aku tak bisa menahan pikiran yang mungkin terdengar kurang sopan.
──"Manis sekali."
Namun, dari situ, hubungan kami tidak berkembang menjadi persahabatan atau kedekatan apa pun.
Jika saja kami berada di kelas yang sama, mungkin ceritanya akan berbeda.
Namun, aku dan dia berada di kelas yang berbeda, dan setelah hari itu, kami tak pernah lagi bertatap muka.
Kalaupun aku melihatnya, itu hanya dari kejauhan saja, tanpa ada kesempatan untuk saling bertemu pandang.
Waktu berlalu dengan kami tetap menjadi "orang asing" satu sama lain.
Satu tahun berlalu, dan aku menjadi siswa kelas dua.
Kini, aku dan Hoshimiya-san berada di kelas yang sama.
Namun, aku bukan tipe orang yang dengan semangat mengatakan, "Hei, aku yang menunjukkan jalan waktu itu! Ayo berteman!"
Lagipula, kejadian satu tahun lalu terlalu sepele untuk dijadikan alasan.
Bisa dibilang, pertemuan kami waktu itu sudah seperti tidak pernah terjadi.
Satu-satunya hubungan antara aku dan dia telah lama menghilang.
Aku sering bertanya-tanya, bagaimana jadinya jika waktu itu aku berani mengajaknya bicara?
Tapi, memikirkan "seandainya" tidak akan mengubah kenyataan.
Hubungan kami akan tetap seperti ini, dan tahun kedua akan berakhir tanpa perubahan apa pun.
Atau setidaknya, itulah yang kupikirkan.
Namun, secara ajaib, kami kembali berinteraksi untuk kedua kalinya.
Itu terjadi di pertengahan bulan Juni, pada musim hujan yang lembab dan gerah──
Post a Comment