NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Darenimo Natsukanai Tobikyuu Tensai Youjo ga, Ore ni Dake Amaetekuru Riyuu V1 Chapter 1


Penerjemah
: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 1

Cinta Tak Terduga yang Saling Terbalas


Hari Senin. Awal minggu yang sudah cukup berat, ditambah lagi hari ini tubuhku terasa kurang enak karena kurang tidur.


(Sepertinya begadang main game memang berdampak buruk pada tubuh.)


Aku merasa kesal dengan diriku sendiri yang tidak berpikir panjang pada hari Minggu. Karena tidak nafsu makan, aku melewatkan sarapan.


Ibuku sempat mengomel, "Sayang sekali sudah dibuatkan," tapi aku mengabaikannya dan pergi dari rumah.


Udara terasa gerah. Kelembaban akibat musim hujan sangat menyiksa.


Sepertinya tadi sempat turun hujan di pagi hari, karena ada beberapa genangan air di jalan yang kuhindari saat menuju sekolah.


Di tengah perjalanan, seperti biasa, aku membeli bekal dan camilan di minimarket.


Saat siang hari, nafsu makanku kembali, dan aku bisa menghabiskan bekal yang berisi karaage.


Meski begitu, camilan sebagai dessert tidak sempat kumakan.


Kemudian, sepulang sekolah, meskipun aku ingin segera pulang, rasa kantuk sudah mencapai batasnya, sehingga aku memutuskan untuk memejamkan mata.


Aku tertidur sebentar, sekitar satu jam.

Ketika bangun, tubuhku terasa lebih segar.


Namun, kebanyakan teman sekelas sudah pulang, dan hanya aku yang tersisa di kelas... atau begitulah yang kupikirkan.

Ternyata, di sebelahku, masih ada anak itu.


(Hoshimiya-san masih di sini.)


Dia berusia tujuh tahun—oh, tidak, karena sudah satu tahun sejak masuk sekolah, berarti dia sekarang delapan tahun.


Hoshimiya Hime sedang membaca buku.


Kakinya, yang tak sampai menyentuh lantai meski ia duduk di kursi, bergoyang-goyang santai.


Tampaknya ia begitu tenggelam dalam buku hingga tidak menyadari kalau aku memperhatikannya.



Kami kebetulan duduk bersebelahan setelah pergantian tempat duduk. Namun, sejauh ini, kami belum pernah berbicara satu kali pun.


"…………"


Dia memiliki wajah dari samping yang cantik.


Sesekali, ketika rambutnya yang tipis seperti benang perak menghalangi pandangan, ia mengibaskannya dengan gerakan yang begitu alami.


Mata merahnya yang tertuju pada teks bahasa Inggris yang sulit itu begitu jernih, hingga terasa seperti dapat menarik perhatian siapa pun.


Jika melihat bagian wajahnya saja, dia benar-benar cantik.

Namun, karena usianya yang masih muda, kesan manis dan polosnya masih sangat kuat.


Mungkin lebih cocok jika dikatakan "imut" daripada "cantik." Meski begitu, ia tetap terlihat menawan, seperti karakter dalam buku cerita anak-anak.


Dia masih terasa seperti seseorang dari dunia yang berbeda.

Aku kembali menyadari betapa berbedanya dia dariku.


Baiklah... mungkin sudah saatnya aku pulang.


Jika terus memperhatikannya, Hoshimiya-san mungkin akan merasa terganggu.


Lagipula, situasi di mana hanya ada kami berdua tidak begitu nyaman.


'Grrrrr'


Saat aku hendak berdiri, suara perut kosong yang begitu terdengar menggema di kelas yang sunyi.


Jika sumber suara itu berasal dari perutku, aku mungkin hanya akan merasa sedikit malu.


"……!"


Namun sayangnya, suara itu berasal dari gadis di sebelahku—Hoshimiya-san.


Pipi putihnya yang pucat mulai memerah, mungkin karena suara perutnya yang tidak bisa ia sembunyikan.


Kakinya yang tadi bergoyang santai kini berhenti.


"Maafkan aku."


Dia mungkin menyadari pandanganku. Karena malu, ia meminta maaf meskipun sebenarnya tidak perlu.


"Tidak apa-apa, jangan dipikirkan."


"Apakah kamu lapar?"


Karena keheningan mulai berlangsung lama, dan bahkan telinganya mulai terlihat memerah, aku mencoba mengalihkan suasana dengan bertanya.


"…Sedikit."


Seperti yang kuduga, suara perut itu adalah tanda ia lapar.


Menyarankan untuk pulang dan makan mungkin bukan pilihan, mengingat ia masih tinggal di kelas.


Mungkin ada alasan tertentu, atau mungkin buku yang ia baca terlalu menarik.


Bagaimanapun, tampaknya ia masih akan tinggal di kelas untuk beberapa waktu.


Kalau begitu, aku mengambil camilan yang kubeli di minimarket pagi tadi dari tas.


"Mau makan ini?"


Yang kuambil adalah camilan cokelat berbentuk bambu.


Ya, camilan terkenal yang sering diperdebatkan dengan versi jamurnya.


"Itu apa?"


"Ini camilan. Oh, apa kamu tidak suka makanan manis?"


"Tidak. Aku suka makanan manis, tapi... aku belum pernah memakan yang seperti ini."


Sikapnya sedikit kaku, tetapi dia tampak tertarik.


Pandangan Hoshimiya-san beralih dari buku ke tanganku, menatap camilan itu dengan rasa ingin tahu.


Jarang sekali. Ia belum pernah mencoba camilan ini sebelumnya…


Aku pernah mendengar rumor bahwa ia lama tinggal di luar negeri, mungkin itu alasannya.


Apapun alasannya, aku merasa ingin dia mencoba camilan ini.

Sebagai pecinta camilan, aku ingin merekomendasikan camilan berbentuk bambu ini.


"Silahkan, kalau kamu mau, makan saja."


"…Bagaimana cara memakannya?"


Oh, pantas saja ia tidak segera mengambilnya, ia tidak tahu caranya.


Daripada menjelaskan dengan kata-kata, lebih baik langsung menunjukkan caranya.


Aku menurunkan kotak agar mudah dilihat olehnya, lalu membukanya.


Dari dalam bungkus, aku mengambil satu dengan ujung jariku dan menyodorkannya secara perlahan.


Dia menatap camilan itu dengan ekspresi bingung.


"Apakah ini bisa langsung dimakan begitu saja?"


"Iya, tentu saja."


Kupikir aku sudah menyampaikan bahwa ia tidak perlu sungkan untuk menerimanya.


Namun, tampaknya ia memahami maksudku dengan cara yang berbeda.


"Kalau begitu... terima kasih atas makanannya."


Poke.


Mulut kecil itu menggigit coklat berbentuk bambu yang kuberikan.


Dan disinilah muncul satu masalah.


(...Geli.)


Jari-jariku, bersama dengan camilan, ikut digigit dan dikunyah olehnya.


Rasanya lembut, dengan sedikit sentuhan gigi yang tajam, membuatku merasa geli.


Mungkin, ketika dia bertanya "Apakah ini bisa langsung dimakan begitu saja?", maksudnya adalah apakah dia boleh langsung memakannya dari jariku.


Mungkin dia terlalu lapar hingga tidak bisa menahan diri untuk mengambil camilan itu sendiri.


Aku benar-benar terkejut.


Kupikir aku hanya akan memberikan camilan itu, tetapi tidak menyangka akan dimakan dengan cara seperti ini.


"──Manis sekali."


Aku semakin terkejut.


Wajahnya, yang biasanya hampir tidak menunjukkan ekspresi, kini melunak.


Seperti cokelat yang meleleh terkena panas tubuh, Hoshimiya-san terlihat meleleh karena manisnya camilan itu. Dia adalah seseorang yang hampir tidak pernah tersenyum.

Wajahnya selalu tanpa ekspresi, seperti boneka yang tidak pernah menunjukkan perubahan apa pun.


Meskipun indah, hal itu juga memberinya kesan dingin dan sulit didekati.


Namun, saat ini berbeda.


"Ini sangat enak."


Dia mengunyah dengan bahagia, sambil menekan pipinya yang tampak penuh, membuatku terpesona.


Tidak ada kesan dingin atau sulit didekati lagi.


Saat ini, Hoshimiya-san terlihat sangat polos dan menggemaskan.


Melihat sisi dirinya yang polos dan kekanakan ini, aku merasakan sensasi geli yang entah bagaimana juga menyentuh hatiku.


"…Mau makan lagi?"


"Iya!"


Seperti induk burung yang memberi makan anak-anaknya, Hoshimiya-san terus menikmati camilan itu dari tanganku.


Karena lapar, dan mungkin juga terpesona oleh rasanya, dia terus memakan camilan itu dari tanganku.


Sebenarnya, aku merasa lebih baik jika dia makan sendiri.

Namun, "…Hehe," melihat dia makan dengan begitu lahap, aku tidak ingin merusak suasana dengan menyuruhnya berhenti.


Setiap kali memakan satu camilan, dia terlihat bahagia, menekan pipinya, meresapi manisnya cokelat itu.


Saat melihatnya seperti ini, ingatanku tentang satu tahun yang lalu muncul kembali.


Waktu itu, saat aku membantunya ketika tersesat, aku juga sempat berpikir seperti ini:


(Dia sangat imut.)


Dengan latar belakang, bakat, dan penampilannya yang seolah berasal dari dunia yang berbeda, aku selalu merasa dia adalah seseorang dari dunia lain.


Namun, saat melihatnya seperti ini, ternyata Hoshimiya-san...

Sebenarnya hanya anak kecil biasa.


Dan hal itu membuatnya terasa sangat menggemaskan.


…Inilah pertemuan keduaku dengan dia.


*


Pertemuan ketiga dengan Hoshimiya-san terjadi pada pagi hari berikutnya.


Ketika aku masuk ke dalam kelas dan berjalan menuju tempat dudukku, di tengah perjalanan, Hoshimiya-san menyadari keberadaanku.


"…Ah."


Mata kami bertemu. Selain itu, dia juga mengeluarkan suara kecil saat melihatku.


Tatapan matanya yang bulat mengarah padaku, membuatku ragu sejenak.


Kemarin, aku langsung pulang setelah memberikan camilan. Kami tidak banyak berbicara, sehingga hubungan kami masih terasa sangat asing.


Jika aku tidak mengatakan apa-apa sekarang, kemungkinan hubungan kami akan kembali ke titik nol.


Sama seperti setahun yang lalu. Koneksi kecil yang terbentuk secara ajaib akan hilang, dan kami akan kembali menjadi orang asing.


──Dan aku merasa tidak ingin hal itu terjadi.


"Selamat pagi, Hoshimiya-san."


Keraguan itu hanya berlangsung sesaat. Ketika ingatan tentang penyesalan itu muncul, aku sudah mengucapkan salam terlebih dahulu.


Hoshimiya-san tampak sedikit lega mendengarnya, dan dia mengangguk kecil.


"…Selamat pagi."


Itu hanya sebuah kejadian kecil.


Namun, satu salam sederhana itu menjadi pengikat, memastikan bahwa kejadian kemarin tidak akan hilang begitu saja.


Pertemuan keempat terjadi pada sore hari yang sama, setelah jam sekolah selesai.


Saat sedang bersiap untuk pulang, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Ketika melihat ke samping, ternyata Hoshimiya-san sedang menatapku.


(Dia sedang memperhatikanku…?)


Bukan hanya itu, ekspresinya menunjukkan seolah-olah dia ingin mengatakan sesuatu.


"…………"


Namun, dia tetap diam dan tidak bergerak.


Karena itu, aku menunggu. Aku tidak memilih untuk berpura-pura tidak sadar dan pergi begitu saja. Penyesalan setahun lalu sudah cukup membuatku belajar banyak. Aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama lagi.


"Anu… Terima kasih untuk camilan kemarin."


Hoshimiya-san mulai berbicara ketika semua orang sudah pergi, sama seperti kemarin.


"Ah, tidak masalah. Apakah camilan kemarin cocok dengan seleramu?"


"Tentu saja. Rasanya seperti kebahagiaan yang diwujudkan dalam bentuk rasa."


"Kalau gitu, baguslah."


"…Iya."


Ketika aku tersenyum kecil, Hoshimiya-san juga mengangguk lembut dengan ekspresi yang sedikit lebih santai.


Mungkin dia mulai terbiasa denganku dibandingkan kemarin. Kesan canggung darinya terasa mulai berkurang.


"Sebetulnya, aku juga membawa cemilan hari ini. Mau coba?"


Camilan memang selalu ada di tasku. Biasanya aku membeli secara acak sesuai suasana hati, tapi hari ini, aku sengaja memilih camilan dengan pikiran bahwa mungkin saja aku akan memberikannya pada Hoshimiya-san lagi.


"Tapi… aku merasa tidak enak jika menerima camilan dua hari berturut-turut."


Namun, dia masih terlihat agak menjaga jarak.


Hoshimiya-san menundukkan pandangannya dengan sikap penuh kehati-hatian.


Karena memaksa memberikannya terasa kurang tepat, aku pun mengeluarkan camilan itu dan memperlihatkan bungkusnya.


"Yang kubawa hari ini adalah camilan berbentuk jamur, mirip dengan bambu yang kamu makan kemarin hari."


"Jamur, ya."


Ah, dia tertarik. Pandangannya terpaku pada bungkus camilan itu.


Godaan camilan manis dengan mudah meluruhkan logika seorang gadis kecil.


"Produk ini dibuat oleh produsen yang sama ya, tapi… selain bentuknya, apa lagi yang berbeda?"


"Yang paling mencolok adalah bahan dasarnya. Bambu terbuat dari adonan biskuit, sedangkan jamur dari adonan kerupuk, jadi teksturnya benar-benar berbeda."


"Itu… menarik."


"Kalau penasaran, silahkan coba satu nih."


Aku membuka bungkusnya, mengambil satu, dan menyodorkannya perlahan kepadanya.


"Apakah ini tidak merepotkan?"


"Tidak ada alasan bagiku untuk merasa repot."


Kalimat itu keluar begitu saja, tanpa aku sadari, persis seperti yang aku katakan setahun lalu.


Meskipun kejadian itu tidak ada artinya lagi sekarang, ingatanku tentang momen tersebut masih sangat jelas.


Setelah mengatakan itu, aku baru menyadari kemiripan kata-katanya.


Tentu saja, kupikir Hoshimiya-san sudah melupakannya ──atau begitulah pikiranku.


"…Aku suka kata-kata itu."


Responnya kali ini sedikit berbeda.


Hoshimiya-san berkata dengan nada kecil yang ceria, lalu memakan camilan berbentuk jamur itu.


Seperti kemarin, dia juga menggigitnya bersama dengan jariku.


Aku tidak merasa dia sedang kelaparan kali ini, tetapi mungkin dia sudah terbiasa dengan cara makan itu sejak awal.


Yah, aku tidak keberatan sih. Meski sedikit geli, melihat Hoshimiya-san menikmati camilan itu dengan sangat manis membuatku ingin terus mengamatinya.


Sambil mengunyah camilan itu, aku terus memberinya beberapa camilan lagi untuk dimakan.


"…Rasanya manis, seperti kebahagiaan."


Hoshimiya-san tersenyum.


Hanya senyuman kecil, tetapi senyuman darinya tetaplah… sangat menggemaskan.


*


Sejak saat itu, memberikan camilan menjadi kebiasaan sehari-hari.


"Hari ini aku bawa camilan bernama Choco Pie no Mi."


"Terima kasih banyak. Hmm… teksturnya sangat renyah dan enak."


"Katanya, adonan ini memiliki 64 lapisan, lho."


"Jadi, itulah mengapa terasa begitu renyah, ya."


Hari berikutnya.


"Hari ini, aku ingin kau mencoba biskuit bergambar koala yang imut ini."


"Wah, ini benar-benar lucu! Apakah koala ini sedang bermain di marching band? Imut sekali."


"Di dalamnya ada isian cokelat, rasanya enak lho. Kuharap kamu suka."


"Tak perlu khawatir... Pilihan camilan dari Yohei-kun selalu punya selera yang bagus."


Sudah beberapa hari berlalu sejak aku mulai berbicara dengan Hoshimiya-san.


"──Eh?"


Yohei-kun.


Ketika pertama kali dia memanggilku seperti itu, aku terkejut hingga terdiam.


"Ada apa?"


"Ah, tidak, um… aku hanya kaget karena kamu mengingat namaku."


Sejujurnya, aku adalah tipe orang yang biasa-biasa saja dan tidak menonjol.


Karena kehadiranku yang terbilang samar, namaku jarang diingat, baik oleh teman sekelas maupun guru wali.


Bahkan kalaupun mereka memanggilku, biasanya hanya dengan nama keluarga, "Ozora".


Nama depanku hampir tidak pernah disebut, kecuali oleh keluargaku.


Jadi, aku benar-benar kaget hingga tidak bisa menahan diri untuk bersuara.


"Kita ini teman sekelas kan, tentu saja aku mengingatnya."


Berlawanan denganku, Hoshimiya-san terlihat sangat tenang.

Bahkan, sepertinya dia sedikit bingung mengapa aku begitu terkejut.


"Aku mengingatnya dengan baik, kok. Yohei-kun?"


Dengan suara lembut yang jernih, dia memanggil namaku lagi.


Aneh… hanya dengan dipanggil nama, aku merasa sangat bahagia.


Rasanya seperti keberadaanku benar-benar diakui. Aku hampir merasa ingin melompat kegirangan.


"Terima kasih, Hoshimiya-san. Karena kau mengingatnya."


"…Mana mungkin aku lupa. Yohei-kun, kamu agak aneh, ya."


Aku tidak bisa menahan diri untuk mengucapkan terima kasih, yang kemudian membuat Hoshimiya-san mengangkat bahu kecilnya dan sedikit memiringkan kepala.


Dia tampaknya tidak memahami mengapa aku berterima kasih.


Baginya, mengingat namaku adalah hal yang wajar.


Lewat sikapnya, dia menunjukkan bahwa itu bukan sesuatu yang istimewa.


Karena itu, aku memutuskan untuk tidak memperpanjang topik ini dan malah menyodorkan satu lagi camilan kepadanya.


"Maaf, maaf. Mau tambah camilan lagi?"


"…Boleh."


Poke.


Hoshimiya-san mengangguk dengan wajah gembira dan memakan camilan itu, termasuk jariku.


(Ii… imut banget deh…!)


Ini berbahaya. Rasanya aku semakin terpikat oleh dirinya.


Melihat Hoshimiya-san yang asyik mengunyah camilan membuatku merasa dia terlihat lebih menggemaskan daripada sebelumnya.


Perlahan tapi pasti, jarak di antara kami semakin mendekat. Dia memanggilku dengan nama untuk pertama kalinya.


Meskipun terasa sedikit canggung dipanggil -kun oleh seseorang yang lebih muda, aku merasa seperti dia benar-benar menghormati dan menyukaiku.


Hoshimiya-san pun tampaknya mulai terbiasa denganku. Hari demi hari, rasa canggung dan sikap berjaraknya perlahan menghilang.


Berkat itu, percakapan yang awalnya hampir tidak ada, kini mulai bertambah sedikit demi sedikit.


"Ngomong-ngomong, berapa harga camilan yang biasanya dibawa oleh Yohei-kun?"


Hari itu, Hoshimiya-san sedang menikmati camilan berbentuk batang panjang dengan cokelat yang padat hingga ke ujungnya.


Sambil mengunyah dari ujung seperti seekor tupai, dia bertanya padaku.


"Karena rasanya sangat enak, pasti harganya mahal, ya?"


"Enggak juga. Harganya sekitar 100 hingga 300 yen."


"Ah, kamu bercanda lagi."


"Tidak, aku serius."


"…Camilan seenak ini hanya seharga itu? Apa Jepang sekarang sedang mengalami deflasi parah sehingga harga normal sulit dipertahankan?"


Memang benar, Hoshimiya-san adalah seorang gadis jenius yang berhasil melompat kelas.


Kemampuannya memahami hubungan antara ekonomi dan perubahan harga pada usia delapan tahun sangat mengesankan.


Namun, justru karena itu, ada sesuatu yang terasa aneh: dia tidak tahu harga camilan. Mungkinkah…


"Hoshimiya-san, apa kamu tahu apa itu minimarket?"


"minimarket? Oh, maksudnya singkatan dari convenience store? Aku pernah mendengar istilah itu."


"…Jadi, hanya pernah mendengar saja? Kalau pergi ke sana?"


"Tidak pernah. Memangnya kenapa?"


"Aku hanya ingin memberitahumu bahwa camilan yang kubawa biasanya kubeli itu di toserba."


"Begitu, ya… Menarik sekali."


"Kamu biasanya tidak belanja sendiri ya?"


"Tidak. Semua kebutuhan biasanya sudah disiapkan oleh pengurus rumah."


Ternyata dugaanku benar.


Hoshimiya-san adalah tipe gadis tuan putri yang tidak terlalu mengenal dunia luar.


Kalau begitu, mengajaknya akan lebih mudah.


"Kalau ada kesempatan, mau pergi bersama ke toserba?"


"…Benarkah, apakah aku boleh ikut?"


"Tentu saja. Di sana ada banyak camilan, aku ingin memperlihatkannya padamu."


"Kamu ingin memperlihatkannya padaku? Wah… terima kasih banyak. Aku sangat menantikannya."


Hoshimiya-san mengangguk dengan wajah bahagia.


Persetujuannya terasa tulus, bukan sekadar basa-basi atau karena terpaksa.


Aku menghela nafas lega. Sejujurnya, aku sempat gugup saat mengajaknya.


Syukurlah, dia tidak menolak.



Awalnya, waktu yang dihabiskan untuk makan camilan lebih lama. Namun, seiring waktu, waktu untuk berbicara dengannya semakin bertambah.


"Hoshimiya-san, kamu membaca buku dalam bahasa Inggris?"


Anak ini penuh dengan hal-hal yang membuat penasaran. Karena itu, setiap kali berbicara dengannya, ada saja hal yang membuatku ingin tahu, hingga tanpa sadar aku mulai sering bertanya juga.


"Iya. Selain untuk menghabiskan waktu luang, itu juga sekalian menambah pengetahuanku."


"Jadi, kamu bisa mengerti artinya juga, ya... Keren sekali."


Aku begitu kagum hingga tanpa sadar memujinya. Tentu saja, itu tulus dari hatiku.


Tapi... orang seperti Shimiya-san mungkin sudah terbiasa dengan pujian seperti "keren."


Seperti ketika kamu memuji anak cantik dengan mengatakan dia cantik, bisa jadi itu malah membuatnya waspada. Aku pun sempat khawatir sejenak.


"Keren, ya... aku jadi malu."


Ternyata, itu hanya kekhawatiranku yang berlebihan. Aku tahu Hoshimiya-san bukanlah orang yang sinis. Dia hanyalah anak yang polos dan menerima pujian apa adanya.


"Aku bisa mengingat semua yang pernah aku lihat, jadi mungkin aku cukup ahli dalam mempelajari bahasa. Ini disebut 'memori fotografis.'"


"Cuma dengan melihat sekali saja?"


"Iya. Itu sangat membantuku dalam belajar... Tapi, tidak selalu membawa hal-hal baik juga."


Kemampuan itu terdengar praktis, tapi ternyata ada konsekuensinya.


"Aku lemah terhadap media dengan banyak informasi. Televisi dan internet terutama... kalau aku melihatnya terlalu lama, berbagai informasi mengalir masuk ke kepalaku, itu membuatku merasa tidak enak."


Di zaman sekarang, anak yang sama sekali tidak terpapar media adalah hal yang langka.


Mungkin itu sebabnya Hoshimiya-san kurang tahu tentang dunia luar.


"Bukan berarti aku tidak bisa menggunakan komputer atau ponsel, tapi karena alasan itu, aku jarang menyentuh perangkat elektronik kecuali untuk komunikasi saja."


Jadi, dia tidak tahu tentang media yang biasanya digunakan anak-anak zaman sekarang, seperti media sosial, berita online, video unggahan, atau siaran langsung.


...Entah kenapa, aku merasa sedikit mengerti alasan kenapa dia memiliki aura yang berbeda dari orang lain.


Mungkin karena dia menghindari informasi yang penuh kebohongan dan kebencian, dia tumbuh menjadi seseorang yang murni seperti ini.


"...Maaf. Aku tahu ini keluhan yang berlebihan, padahal aku diberkahi dengan kemampuan seperti ini. Apakah itu terdengar menyebalkan?"


Karena aku terdiam memikirkan hal itu, Hoshimiya-san menunjukkan ekspresi sedikit cemas.


Tentu saja tidak mungkin. Aku sama sekali tidak berpikiran negatif, jadi aku langsung memberikan respon untuk menenangkannya.


"Tidak, sama sekali tidak. Aku justru berpikir kamu terlihat seperti karakter dalam manga atau anime, keren sekali."


"Keren, ya? Umm, ehm... kalau aku dipuji terus seperti ini, aku jadi terlalu senang sampai wajahku jadi aneh, jadi tolong jangan terlalu banyak, ya."


Bagaimana ini? Semakin aku memujinya, semakin dia malu-malu, dan itu sangat menggemaskan.


"Yohei-kun pandai memuji ya, entah kenapa setiap kali kita berbicara, hatiku terasa hangat sekali."


Hei, hei, justru aku yang ingin mengatakan hal itu.


Waktu yang kuhabiskan berbicara dengan Shimiya-san benar-benar terasa damai dan menyenangkan.


Kami pernah membicarakan hal ini juga.


"Hoshimiya-san, kenapa kamu selalu tetap di sini?"


Ada satu hal yang sudah lama membuatku penasaran.


Setiap kali jam pulang sekolah, dia selalu tinggal di kelas. Bahkan setelah aku memberinya camilan dan pulang, dia masih belum pulang juga. Pasti ada alasannya.


Selama ini aku ragu untuk bertanya, tetapi setelah hubungan kami semakin akrab, aku memutuskan untuk menanyakannya.


"Aku menunggu kakakku. Kami selalu pulang bersama."


Dia menjawab dengan singkat. Ternyata, aku hanya terlalu berpikir berlebihan. Tidak ada alasan mendalam atau sesuatu yang spesial.


"Kakakmu... kalau tidak salah dia anggota OSIS, ya?"


"Kamu tahu, ya. Kakakku menjabat sebagai wakil ketua OSIS... Dia sepertinya sangat sibuk, setiap hari harus bekerja sampai sore."


Kalau tidak salah, namanya Hoshimiya-san Hijiri, kan?


Seorang siswa kelas dua SMA. Tidak seperti adiknya, yang berumur delapan tahun tetapi sudah menjadi siswa SMA, sang kakak adalah seorang siswi SMA sejati.


Bahkan aku, yang jarang bergaul, tahu tentangnya. Dia terkenal sebagai gadis tercantik di sekolah.


Jadi, dia menunggu kakaknya agar bisa pulang bersama.


"Biasanya kamu menunggu berapa lama?"


"Kira-kira dua jam. Sampai sore."


"Lumayan lama juga ya... Oh, pantesan kamu suka lapar."


Di kepalaku, aku membayangkan suara perutnya yang menggemaskan.


Sepertinya dia juga mengingat itu, karena wajahnya memerah dan dia memegang perutnya dengan erat.


"L-Lupakan saja itu, ya."


"Maaf, maaf."


Aku tidak bermaksud menggodanya, tetapi sisi lucunya itu menyenangkan untuk dilihat.


"Yohei-kun, kamu jahat."


Dia sedikit ngambek, dengan pipinya menggembung.


Mata merah gelapnya menatapku dengan tatapan sedikit kesal.


"...Ada satu alasan lagi kenapa aku tetap di sini setelah sekolah selesai."


"Eh? Benarkah?"


"Iya... Karena aku bisa berbicara seperti ini dengan Yohei-kun."


Itu curang.


"O-Oh...!"


Sekarang giliranku yang gugup. Aku sampai mengeluarkan suara aneh karena kaget.


Sepertinya dia merasa puas setelah melihat reaksiku.


"Itu pembalasanku."


Dia tersenyum nakal dan menjulurkan lidah sedikit.


Kena deh. Memang luar biasa, si jenius Hoshimiya-san. Aku tidak bisa berkata apa-apa menghadapi balas dendamnya yang manis.


Begitulah, kami banyak mengobrol. Berkat itu, aku bisa mengetahui banyak hal tentang seorang gadis bernama Hoshimiya Hime.


Perlahan-lahan, selangkah demi selangkah, kami semakin dekat. Perlahan, Hoshimiya-san semakin membuka hatinya dan menjadi lebih akrab denganku.


Saat memasuki akhir Juni, kami sudah bisa berbicara secara alami.


Hubungan kami baik. Jarak di antara kami pun semakin dekat.

Namun justru karena itu, dia merasa ada sesuatu yang kurang.



Suatu hari di jam pulang sekolah.


Hari itu cuaca sedang buruk dan gerimis turun. Dari jendela yang dipenuhi tetesan hujan, aku bisa melihat tim bisbol sedang berlatih di lapangan.


Aku salut dengan semangat mereka, bahkan di tengah cuaca buruk sekalipun.


"Hujan, ya... kapan musim hujan ini akan berakhir?"


"Kalau seperti tahun-tahun sebelumnya, biasanya pertengahan sampai akhir Juli. Semoga cepat selesai."


"Iya, benar juga, Hoshimiya-san."


"............"


Saat itu kami sedang makan camilan seperti biasa sambil berbincang santai.


"Umm... Yohei-kun, kenapa sih kamu selalu memanggilku 'Hoshimiya-san'?"


Pada saat percakapan terhenti, Hoshimiya-san memiringkan kepala kebingungan dan bertanya hal seperti ini.


"Akan lebih menyenangkan kalau kamu memanggilku dengan namaku saja."


Ternyata, bukan hanya aku yang merasa ada jarak di antara kami.


Dia juga merasa bahwa aku terlalu formal. Mungkin itulah alasan mengapa butuh waktu untuk saling membuka diri... Tidak, aku akan merenungkan itu nanti.


Untuk saat ini, aku harus berhadapan dengannya dengan sepenuh hati.


"Maaf. Bukannya aku bermaksud begitu... Hime, san?"


"...Muu."


Untuk pertama kalinya aku melihatnya seperti ini. Dia mengerucutkan bibirnya, menunjukkan ketidakpuasan.


Karena gaya bicaranya yang sopan dan ekspresinya yang tenang, kesan dewasa lebih dominan darinya. Tapi saat hanya berdua seperti ini, aku bisa melihat sisi kekanakannya. Itu membuatnya tampak menggemaskan, tetapi pada saat yang sama membuatku merasa bersalah karena telah membuatnya tidak puas.


Aku ingin segera membuatnya merasa lebih baik.


"Ehm, Hime-chan?"


"...Apakah tidak boleh memanggilku tanpa embel-embel ‘chan’ sama sekali?"


Bibir yang tadi mengerucut kini diikuti dengan pipi yang mengembung.


Dia terlihat seperti ikan buntal. Dan lucu sekali. Tapi jangan sampai aku terlalu menganggap ini menggemaskan, atau rasa bersalahku akan semakin berkurang.


"Aku sudah lama memikirkannya. Memang benar, mungkin aku tidak begitu menggemaskan. Tapi aku lebih muda, jadi kupikir kamu bisa lebih santai saat berbicara denganku..."


Tidak menggemaskan.


Perkataan yang merendahkan diri itu adalah sesuatu yang bahkan tak pernah terlintas di pikiranku.


Aku panik.


Aku tidak ingin dia salah paham.


"Tidak mungkin kamu tidak menggemaskan."


Karena gugup, aku malah mengatakan sesuatu yang seharusnya aku simpan sendiri.


"Kamu itu imut sekali, sampai-sampai aku ingin menjadikanmu adik perempuanku."


...Apa yang baru saja aku katakan?


Aku langsung menyadari betapa memalukannya ucapanku.

Hoshimiya-san... tidak, Hime. Ya, Hime saja. Aku sudah memutuskan itu. Tapi sekarang, itu bukan hal yang penting.


Perasaan itu sebenarnya ingin kusimpan sendiri. Bahwa Hime itu imut seperti adik perempuan... Tapi aku malah mengatakannya.


Ah, aku pasti akan membuat hubungan kami jadi canggung lagi.


"──Aku senang sekali."


Hah? Apa tadi?


"Mau menjadikanku adik perempuan... Ehehe."


Aku mengira itu hanya halusinasiku.


Tapi pipinya yang memerah, senyumnya yang tak bisa ia sembunyikan, dan gerak-geriknya yang kikuk menunjukkan bahwa dia benar-benar senang.


"Aku juga berpikir kalau Yohei-kun menjadi kakakku pasti luar biasa. Jadi, kita sama, ya."


Bukan halusinasi.


Ini kenyataan.


Ternyata, kami berdua punya perasaan yang sama.


Untunglah... setidaknya hubungan kami tidak akan rusak.

Aku merasa lega, tapi juga malu.


Ehm, bagaimana aku harus menangani suasana ini?


Aku yang memulai semuanya, jadi aku ingin menyelesaikannya sendiri. Tapi sayangnya, Hime tampaknya terlalu bersemangat untuk dihentikan.


"Mau menjadikan adik perempuan... Itu seperti lamaran, bukan?"


Eh, apa iya?


Rasanya itu sedikit berbeda, tapi Hime sudah terlalu terbawa suasana sehingga aku tidak bisa menyela.


"Hm, kalau begitu... Bagaimana kalau kita lakukan ini?"


Dia berpikir sesaat . Seperti yang diharapkan dari gadis jenius, dia langsung menemukan cara untuk mewujudkan kata-kataku yang tak masuk akal itu.


"Kalau begitu, menikahlah dengan kakakku."


Sambil berkata begitu, Hime menggenggam tanganku erat-erat.


Jari-jarinya yang kecil menggenggam jariku dengan gemas.

Atau lebih tepatnya, jari kelingkingnya melilit jari kelingkingku.


Apakah dia menginginkan janji kelingking? Aku menggenggam balik tangannya, dan Hime mengangguk puas.


"Memang aku tidak sempurna, tapi mohon jaga aku baik-baik, ya."


Dia tersenyum bahagia.


Senyuman terlebar yang pernah kulihat darinya, membuatku tidak bisa berkata apa-apa.


Aku tidak bisa melakukan apapun yang akan merusak senyum itu. Karena aku benar-benar menganggap Hime begitu imut seperti seorang adik perempuan.


Begitulah, aku membuat janji aneh dengan Hime.


Ada banyak hal yang kupikirkan, tapi biarlah itu aku pertimbangkan nanti.


...Ngomong-ngomong, ini sudah keberapa kalinya aku bertemu Hime, ya?


Entah sejak kapan, aku berhenti menghitung.


Mulai sekarang, apapun yang terjadi, hubungan antara aku dan Hime tidak akan bisa dihapus lagi.


Aku merasa sangat senang karena akhirnya bisa begitu dekat dengannya──.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close