Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Prolog
Jika Kamu Bisa Membawa Satu Benda Ke Pulau Terpencil, Apa Yang Akan Kamu Bawa?
[Jika kamu bisa membawa satu benda ke pulau terpencil, apa yang akan kamu bawa?]
Kalimat itu tertulis di papan tulis.
—Oh, ini pasti mimpi.
Pernahkah kamu menyadari bahwa kamu sedang bermimpi? Itulah yang terjadi dalam mimpiku hari ini.
Ruangan putih yang bersih dipenuhi dengan meja dan kursi, dan semua teman sekelasku di kelas A hadir tanpa ada yang absen. Tidak ada lantai, langit-langit, jendela, pintu, atau dinding, tapi entah bagaimana ada papan tulis. Pada papan tulis itu, tertulis kalimat tadi.
"Apa ini?"
"Dimana ini?"
"Kenapa semuanya serba putih?"
"...Mimpi, ya?"
Reaksi teman-temanku beragam, tapi terasa sangat nyata. Setiap ucapan dan gerak-gerik mereka seakan benar-benar sesuai dengan karakter mereka.
Dalam mimpi, biasanya kepribadian atau hubungan dengan orang-orang yang kita kenal sering kali berbeda dari kenyataan, tapi mimpi ini terasa begitu realistis.
"Sou-kun, kamu mau bawa apa?"
Orang yang bertanya itu adalah Iyama Chiyu, teman masa kecilku. Rambut putihnya yang berkilau seperti salju, dan matanya biru seperti permata. Meskipun tubuhnya mungil, ada satu bagian yang terlalu mencolok untuk diabaikan.
Ekspresinya jarang berubah, tapi di balik wajah datarnya, dia sebenarnya suka bercanda. Kami sudah berteman sejak taman TK, dan sampai sekarang di masa SMA, kami masih dekat. Namaku Sousuke Kuno, jadi Chiyu memanggilku Sou-kun.
"...Bahkan walau dalam mimpi, ukuran itu tetap luar biasa."
Karena ini hanya mimpi, aku mengucapkan sesuatu yang biasanya tidak akan aku katakan.
Seperti yang kuduga, dia langsung menatapku dengan tatapan dingin, meskipun ekspresinya tetap datar, seperti dirinya yang asli.
"Mesum."
"Maaf..."
Aku refleks meminta maaf.
Mimpi ini terlalu nyata sehingga reaksiku jadi kaku. Mungkin aku harus bersikap seperti biasanya.
"Ehh, jadi soal di papan tulis tadi?"
"Ya. Apa yang akan kamu bawa?"
Ini pertanyaan yang cukup umum. Kalau kamu sudah hidup lebih dari sepuluh tahun, pasti pernah mendengar pertanyaan seperti ini beberapa kali.
Contohnya, "Kalau menang undian, apa yang akan kamu lakukan?" atau "Kalau bisa bereinkarnasi, mau jadi apa?" atau "Kalau bisa berkencan dengan selebritas, siapa yang akan kamu pilih?"
Aku melihat teman-teman kelasku.
"Ponsel, dong."
"Bener banget!"
"Obat nyamuk, mungkin."
"Kalau gitu, aku pilih sunscreen."
"Kalau pakai sunscreen, sekalian bawa baju renang, dong!"
"Pesawat. Aku bakal pulang naik itu."
"Emangnya kamu bisa nerbangin pesawat?"
"Cola."
"Aku bawa keripik kentang, kita bisa bagi-bagi."
"Pancing. Makanan itu penting banget."
Mereka menyebutkan ide-ide secara spontan. Karena ini hanya obrolan santai, tidak ada alasan bagiku untuk ikut campur.
Tapi, hanya satu benda? Apa itu cukup? Beberapa dari mereka sepertinya memikirkan jawaban mereka dengan serius.
"Korek api."
Aku pernah dengar membuat api lebih sulit dari yang dibayangkan. Punya korel api saat awal bertahan hidup akan sangat membantu. Kamu bisa belajar membuat api sebelum bahan bakarnya habis.
"Senjata."
Sebagai alat pertahanan, ini masuk akal. Tapi, kemampuan pengguna, jenis senjata, dan jumlah peluru adalah hal yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, pistol revolver dengan enam peluru tanpa pengisian ulang mungkin bukan pilihan terbaik.
"Pisau. Itu barang serbaguna di pulau terpencil."
Ini jawaban klasik. Beberapa menyebut pisau survival atau parang, dan itu pasti berguna. Membuat alat tajam dari batu memang memungkinkan, tapi bagi pemula, itu hampir mustahil.
"Panci."
"Peralatan makan."
"Garpu. Bisa untuk makan, bisa juga untuk menusuk!"
Meskipun masuk akal, aku tidak merasa itu prioritas utama. Aku lebih memilih fokus pada bertahan hidup daripada menjalani kehidupan beradab.
Setelah mendengar berbagai pendapat, aku akhirnya menjawab pertanyaan teman masa kecilku.
"Aku akan membawa..."
"...Apa yang akan kamu bawa?"
"Kemampuan crafting."
"...Itu boleh kah?"
Chiyu memandangku dengan tatapan skeptis.
"Tidak ada aturan di pertanyaan ini yang melarang hal itu, jadi boleh dong."
Ya, aku tahu jawaban itu agak aneh.
Jika dalam percakapan dengan teman-teman hal ini muncul, mungkin aku akan mengatakan sesuatu seperti "pisau".
Namun, jika dengan teman masa kecil yang sudah sangat aku kenal, aku bisa merespons dengan lebih jujur.
"Kalau begitu, aku memilih... sihir penyembuhan."
"Oh, itu bagus. Kalau tidak ada obat, kemungkinan mati karena flu pun ada. Punya kekuatan untuk menyembuhkan luka dan penyakit dengan sihir adalah pilihan terbaik."
"Nyawamu akan kuselamatkan, Sou-kun."
Chiyu mengepalkan tangan dan mengangkat lengannya yang lembut ke langit.
"Senang mendengarnya, tapi kenapa di imajinasimu aku sepertinya selalu dalam bahaya..."
Memiliki sihir penyembuhan sebagai antisipasi itu luar biasa, tapi tentu aku ingin menjalani hidup sehat tanpa harus bergantung padanya.
"Ada apa? Yang seperti itu juga boleh, ya?"
Orang yang menyela percakapanku dan Chiyu adalah seorang gadis berambut pirang dengan gaya side-tail. Namanya Kanna Shouko.
Dia adalah gyaru yang ramah kepada semua orang, bukan hanya kepada otaku. Dia tipe gyaru yang aktif dalam berkomunikasi.
Kancing seragamnya yang terbuka lebar, dada montok yang terlihat dari celah itu, dan kulitnya yang lembut dan putih selalu menarik perhatian, meski aku berusaha keras untuk tidak memandanginya.
"Haha, ketahuan lagi, ya?"
Yah, sebenarnya dia selalu tahu. Tapi kalau aku terlalu memandanginya, reputasiku di kelas akan turun, jadi tetap saja aku harus mengalihkan pandangan dengan sedikit rasa sopan.
"Yah, lupakan soal itu."
"Jangan dilupakan dong~"
Saat aku mencoba mengalihkan topik, dia tertawa terbahak-bahak.
"Baiklah, aku minta maaf secara resmi."
"Kenapa jadi berlebihan begitu! Dan, seriusan, berhenti ngomong soal dadaku!"
Kalau aku membalas dengan "bukankah kamu yang memulai?", itu pasti hanya memperburuk keadaan.
"Jadi, membawa kekuatan yang aneh gitu boleh, ya?"
"Iya, benar! Kalau begitu, aku juga punya sesuatu yang aku inginkan."
"Oh? Kekuatan seperti apa?"
"Belakangan ini aku membaca manga yang direkomendasikan Kouno. Ada karakter berbulu putih di sana, dan aku ingin membawanya."
Ingatanku kembali ke saat jam istirahat siang, ketika aku membaca manga di ponsel, dan Kanna mendekatiku sambil bertanya, "Lagi baca apa?" Aku memberi tahu judulnya, meski tidak benar-benar merekomendasikannya. Ternyata, dia benar-benar membacanya juga.
"Ah, Fenrir ya? Dia sering muncul di cerita isekai. Keren juga, kenapa tidak."
"Itu dia, Fenrir. Aku ingin memeluk bulunya!"
"Tapi makhluk hidup kan tidak dihitung sebagai 'satu' barang, ya?"
Meskipun ini hanya detail kecil, mengutak-atik frasa seperti ini menyenangkan. Mengabaikannya justru merusak keseruan.
Karena kata "satu" digunakan, aku ingin membatasi pilihan hanya pada hal-hal yang bisa dihitung sebagai satu barang.
"Kalau begitu, kemampuan untuk memanggil bulu-bulu lembut."
"Haha, masuk akal juga."
Kanna dengan cepat menyesuaikan diri tanpa tersinggung atas koreksi itu, dan bahkan menjadikannya lebih praktis daripada langsung membawa Fenrir.
Aku jadi tertawa tanpa sadar.
Mungkin karena Kanna ikut tertarik, teman-teman lain di sekitarnya mulai bergabung dalam diskusi kemampuan super ini.
"Aku ingin rambutku tidak kasar karena air laut,"
"Aku kekuatan bisa makan banyak tanpa gemuk,"
"Kalau di pulau tak berpenghuni, lebih baik punya kemampuan menciptakan makanan,"
"Kemampuan untuk tidak mati,"
"Kemampuan membuat penghalang agar serangga, binatang, atau orang lain tidak bisa masuk,"
"Dua yang terakhir itu terlalu suram!"
...Namun, ini mimpi yang panjang sekali.
Apa semua ini akan berakhir hanya jika semua orang sudah memutuskan apa yang ingin mereka bawa?
Saat aku memikirkan itu, aku melihat ke arah papan tulis dan menyadari sesuatu yang aneh.
"Hei, Chiyu."
"Apa, dasar tukang selingkuh."
"Siapa juga yang selingkuh?"
Lagipula, hubunganku dan Chiyu bukan seperti itu. Melihat rasa cemburu darinya memang bikin aku salah paham, tapi membayangkan teman masa kecil yang lucu ini menyukaiku seperti di manga adalah hal yang terlalu mengada-ada. Selain itu, ini hanya mimpi.
"Jadi, ada apa?"
"Di papan tulis, ada sesuatu yang aneh..."
Ada tanda [æ£] di sana, berjumlah tujuh, dan satu lagi masih tiga garis.
Rasanya seperti sedang menghitung sesuatu. Tiga puluh delapan? Angka apa itu?
"Sudah semua belum? Cepat jawab!"
"…Mimpi yang bodoh."
"Hah? Itu kalimatku!"
"Cih... Kalau begitu, kemampuan teleportasi. Puas?"
Beberapa para laki-laki terdengar bercakap dengan nada kesal.
"Ah, bertambah."
Tak lama setelah itu, Chiyu bergumam dengan ragu. Aku pun merasa ada firasat buruk dan melihat lagi ke papan tulis.
Garis keempat dari tanda [æ£] yang sebelumnya belum selesai kini telah ditambahkan.
"Jangan-jangan, ini jumlah orang yang sudah menjawab?"
Ada empat puluh orang di kelas. Dalam mimpi ini, sepertinya semua orang dipanggil.
"Mungkin begitu. Masih ada satu orang lagi yang belum menjawab?"
Tapi kenapa mimpi ini terasa terlalu nyata?
Bahkan, semakin banyak teman-temanku yang merasa ada yang aneh dan mulai menganggap ini bukan sekadar mimpi.
Sepertinya ini lebih seperti mimpi bersama yang dialami seluruh kelas. Meski terdengar tidak masuk akal.
―Lalu, sesuatu terjadi tiba-tiba.
Tanda [æ£] yang kedelapan selesai ditulis.
[Semua jawaban telah dikonfirmasi. Memulai transfer]
Entah berapa banyak orang yang sempat membaca tulisan di papan tulis itu.
Tanpa sadar, aku langsung meraih tangan Chiyu.
"Chiyu!"
Aku mencengkeram tangannya dengan erat.
Di detik berikutnya, seluruh ruang kelas diselimuti cahaya putih, dan aku tak mampu membuka mata.
Entah berapa lama waktu berlalu. Saat akhirnya aku bisa membuka mata, pemandangan di depanku berubah…
"...Ini masih mimpi, kan?"
Di depanku, terbentang laut biru. Aku berdiri di atas pasir pantai.
Aku masih terdiam dalam kebingungan, tapi segera memastikan sesuatu di tangan kananku.
"…Pulau tak berpenghuni?"
Tangan itu menggenggam tangan Chiyu, yang berdiri di sampingku.
Aku menoleh ke belakang, tapi hanya ada hutan di sana, tanpa tanda-tanda teman-teman lain.
Matahari yang terik, angin laut yang menerpa rambut, suara ombak yang menenangkan, dan pasir yang terasa di bawah kaki... semuanya terasa sangat nyata. Begitu pula tangan Chiyu yang lembut dan hangat.
Rasanya bodoh, tapi aku mencoba metode yang sudah kulihat ribuan kali di manga.
Mencubit pipiku sendiri.
"Ah, sial... sakit."
Sepertinya kami benar-benar telah dipindahkan ke sebuah pulau tak berpenghuni.
Post a Comment