NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Isekai Rakuraku Mujinto Life Volume 1 Chapter 2

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 2

Hari Kedua

Saat aku terbangun, aku mendapati diriku terbungkus oleh payudara Chiyu.


Entah sejak kapan, Chiyu masuk ke dalam selimutku dan memeluk kepalaku ke dadanya.


Hangatnya tubuh Chiyu dan aromanya terasa menembus piyama yang dikenakannya.


Sensasi yang terlalu lembut ini jelas bukan hanya karena bahan wol selimut.


"...Sou-kun?"


"Pagi, Chiyu."


Aku rasa aku tidak bersalah dalam situasi ini, tapi entah bagaimana hasil pengadilannya. Setelah beberapa detik menunggu vonis…


Chiyu justru memeluk kepalaku lebih erat.


Tubuhku seolah tertelan oleh bukit kembar milik Chiyu, disertai sensasi dada yang lembut.


"...Sou-kun, aku mimpi tentang papan tulis misterius itu."


Tubuh Chiyu bergetar halus.


Aku perlahan melingkarkan tangan di pinggangnya dan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.


"Ah, aku juga mimpi itu."


Itulah yang ingin kukatakan, tapi karena aku hampir sesak nafas di tengah pelukan dadanya, suaraku jadi terdengar seperti,


"Fuaah... uh..."


"Nggh, Sou-kun, itu geli..."


Jangan tiba-tiba bersuara menggoda seperti itu. Pagi-pagi begini, laki-laki sedang dalam kondisi sulit, tahu!


Chiyu yang bergeliat di dalam selimut menyadari hal itu.

Lalu, dia mulai mendorong perlahan bagian lutut hingga pahanya ke arahku.


Aku sempat berhenti menepuk punggungnya dan hendak memeluk pinggangnya lebih erat—


"Ehh? Eh? Ini kenapa? Ada apa ini?"


Suara Shouko membuyarkan pikiranku.


"...Pagi, Shoko-chan."


Chiyu dengan tenang bangkit dan menghadap ke arah mereka berdua, seolah tak terjadi apa-apa. Aku pun mengikuti gerakannya.


Meski mereka sempat melihat Chiyu memelukku, mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalam selimut.


Kalau begitu, aku harus berpura-pura seolah ini cuma insiden karena teman masa kecil yang masih setengah tidur...!


"C-Chiyu-chi, kenapa kamu di selimutnya Sousuke?"


"Kalau kamu tanya soal tindakanku saat tidur ke Sou-kun yang sedang bangun, aku juga bingung jawabnya."


Jawabannya terdengar sangat meyakinkan.


"Ah, ya juga..."


Shouko mengangguk, entah benar-benar paham atau tidak.


"Ahaha, kalian akrab sekali, ya."


Shion tampak terhibur melihat kami.


"Lupakan itu dulu. Kalian semua mimpi soal papan tulis itu juga, kan?"


Semua orang mengangguk.


"Katanya bakal ada daging yang muncul, ya."


"Kemampuanku juga nggak berfungsi."


"Yang penting sih semua orang kayaknya masih hidup... Tapi, mimpi itu sebenarnya apa, sih?"


Meski reaksi mereka beragam, setidaknya sekarang jelas bahwa kami semua berbagi mimpi yang sama.


"Hari ini, aku mau memastikan soal daging itu. Shouko, boleh pinjam bantuan Mashiro?"


"Tentu! Tentu saja boleh!"


Entah kenapa jawabannya terdengar aneh, tapi jelas maksudnya dia setuju.


"Kalau aku sama Shion-chan gimana?"


"Kalian berdua ikut juga. Lebih aman kalau kita bergerak bersama Mashiro si Fenrir, daripada menunggu di sini."


Saat ini aku masih membayangkan hewan-hewan biasa, tapi tak menutup kemungkinan kalau daging naga juga bisa muncul sebagai bahan makanan. Membayangkan tempat ini diserang saat aku dan Shouko pergi, membuatku enggan meninggalkan mereka.


"Baiklah."


"Aku juga setuju dengan idemu, Sousuke-kun."


Karena rencana sudah ditentukan, kami semua berdiri.


"Sarapan hari ini masih jamur panggang, tapi kalau lancar, mungkin siang nanti kita bisa makan daging."


Oh ya, kemarin aku sempat memastikan bahwa Mashiro tidak butuh makan.


Dia bisa menyerap energi dari udara sekitar... semacam kekuatan sihir, mungkin?


"Aku nggak sabar makan daging!"


"Iya, ya. Ah, sebelum makan, aku mau cuci muka dulu, deh."


"Aku juga!"


"Oh, iya. Kalau gitu, ayo keluar dulu."


Aku membuka pintu, menyiapkan alas kaki, dan kami keluar.


Aku mengeluarkan ember dan air untuk cuci muka. Sementara Shouko asyik mengelus Mashiro, aku membuat dan menata meja kayu, lengkap dengan empat kursi.


Jamur panggang dan buah-buahan kususun di piring kayu di atas meja.


Tong kayu yang pernah kupasang untuk mandi kugunakan ulang sebagai dispenser air.


Kami berempat mulai sarapan.


"Hap hap! Bisa menyimpan makanan yang baru matang dan langsung dikeluarkan kapan saja... Kemampuanmu bener-bener berguna banget, Sousuke!"


Shouko terkagum-kagum sambil melahap jamur.


"Benar-benar hebat, ya. Sebagai cewek, aku sih pengen banget ada kosmetik, tapi di pulau tak berpenghuni ini, rasanya itu kemewahan banget."


Menurutku, ketiga cewek ini nggak butuh kosmetik, tapi ternyata tetap kepikiran meski di pulau tak berpenghuni.


"Kalau Sou-kun tahu bahan-bahannya, bisa bikin nggak?"


"Kurasa sih bisa. Masalahnya aku nggak tahu bahan-bahannya..."


"Kalau lotion, pakai air dan gliserin. Kalau pelembap, pakai air, minyak, dan emulsifier."


Chiyu langsung menjawab. Sebagai teman masa kecilku, dia juga tampaknya menginginkan itu.


"Heh? Gliserin dan emulsifier, ya... Aku nggak ngerti juga, sih."


"Dengan kemampuan Sou-kun, kayaknya bisa dibuat dari lemak tumbuhan atau hewan."


"Lemak kayak lemak sapi gitu?"


"Kurang lebih, iya."


"Kalau gitu, pas banget. Aku memang mau cari tanaman penghasil minyak, dan kalau dapat daging, mungkin bisa bikin lotion juga."


Aku memang sudah dapat minyak kemarin, tapi cuma sedikit. Sebagian sudah kugunakan untuk kerajinan.


Makanya aku ingin mengubah berbagai tanaman jadi item untuk mendapatkan minyak makan.


"Eh!? Beneran, Sousuke-kun!?"


"Sousuke-sama, penyelamat kami~!"


Shion bereaksi paling antusias, sedangkan Shouko sampai berdoa segala.


"Ah, iya... Meski tujuan utamanya tetap cari daging, sih..."


Entah mereka mendengar ucapanku atau tidak, para cewek itu asyik membahas kosmetik yang mereka butuhkan.


"Ah, maaf ya, Sousuke-kun. Kayaknya kami jadi terlalu banyak minta ini-itu."


Shion akhirnya menyadari kalau aku ditinggalin dalam obrolan, dan tampak merasa bersalah.


"Kami memang minta banyak, tapi kalau nggak bisa juga nggak apa-apa, kok."


Shouko juga terlihat menyesal.


"Nggak apa-apa kok. Kalau memang butuh sesuatu, lebih baik bilang. Tapi ya, tetap harus lihat prioritas. Kalau terlalu susah, mungkin harus dicoret. Tapi lebih baik kita diskusikan dulu sebelum mutusin."


Meski begitu, aku senang mereka nggak menganggapku cuma sebagai alat serbaguna.


"Aku sih nggak akan sungkan. Kalau Sou-kun udah bantu aku, aku yakin bisa balas kebaikanmu."


"Haha, aku malah nggak mau Chiyu jadi sungkan. Jadi, santai aja ya."


Aku tertawa, tapi langsung terpikir soal "balas budi" yang diucapkan Chiyu.


Aku yakin maksudnya soal penyembuhan dasar atau semacamnya, tapi entah kenapa aku jadi membayangkan hal lain yang mungkin dikatakan Chiyu...


"Mesum."


"Hah!? Apa, sih, tiba-tiba?"


"Ahaha. Kalau soal beginian, Sousuke-kun gampang banget ditebak. Sampai nggak butuh kemampuan 'bisa tahu kebohongan' segala."


"Kalau demi lotion, kira-kira balasan seperti apa yang bakal dia minta dari kita, ya..."


Ah, percakapan ini terasa familiar, seperti yang terjadi kemarin.


Aku ingin mereka berhenti menjadikan aku bahan lelucon, tapi mungkin ini salahku juga karena wajahku kelihatan mesum. Sepertinya aku harus lebih sering latihan poker face.


Setelah sarapan.


Atas permintaan para cewek, aku membuat sisir kayu dan memberikannya pada mereka.


Saat mereka keluar dari gubul dengan seragam yang sudah rapi, rambut mereka terlihat lebih teratur dan bersih.


Kuncir samping khas Shouko juga sudah kembali.


"Mashiro~ sini, ayo~. Nah, bagus~. Eh, Mashiro, nggak apa-apa bawa empat orang? Oh, iya, pinter banget!"


Shouko membelai Mashiro sambil bicara begitu.


Kalau dia bilang bisa, berarti Mashiro sanggup membawa empat orang. Memang luar biasa, si Fenrir ini.


Kami sempat ribut soal urutan duduk, tapi akhirnya urutannya jadi: Shouko di depan, lalu Shion, Chiyu, dan aku di belakang.


Aku kembali menatap Mashiro. Saat berdiri tegak, tingginya bahkan melebihi gubuk tempat kami tinggal.


Kalau dia jadi monster musuh, jelas bukan lawan yang cocok di awal permainan.


Pasti kami bakal dilahap habis. Untung dia jadi teman.


"Mashiro, aku titip ya."


Aku mencoba berbicara padanya. Mashiro menatapku dengan mata birunya, lalu menjilat wajahku.


Kemudian dia mendekatkan wajahnya seperti anjing yang manja.


"Hahaha. Baiklah, baiklah."


Bulu Mashiro memang lembut dan nyaman, tapi jilatannya agak bau.


"Eh~? Mashiro, kenapa jadi lengket banget sama Sousuke?"


"Hihi, mungkin karena Mashiro tahu Shouko-chan jadi ceria lagi setelah bertemu Sousuke-kun, jadi dia berterima kasih."


Seakan mengiyakan kata-kata Shion, Mashiro mengeluarkan suara manja, dan Shouko jadi merah padam.


"Enggak, aku mah selalu ceria!"


Apa dia sudah lupa saat dia menangis dan memelukku waktu kami bertemu lagi?


Aku dan Shion hanya menatapnya dengan pandangan hangat, membuat Shouko ngambek.


"Aku juga mau meluk~."


Chiyu langsung memeluk Mashiro, dan Mashiro mengeluarkan suara nyaman.


"...Eh, Shouko. Mashiro itu jantan, ya?"


"...Iya."


Aku langsung paham. Mashiro pasti sedang menikmati sensasi lembutnya dada Chiyu.


Ya, dia teman kami, jadi aku nggak akan iri. Eh, mungkin sedikit iri.


"Oh iya, kalau nanti dapat daging, bisa minta tolong Mashiro buat nebang pohon?"


"Kalau Mashiro sih gampang banget!"


"Wah, keren. Berarti mungkin kita bisa bikin rumah buat Mashiro juga."


"Woah! Rumah buat Fenrir!? Seru banget!"


Rumah anjing versi besar, ya.


Untuk sementara, kami mengakhiri pembicaraan dan mulai menaiki Mashiro.


Mashiro sengaja merendahkan tubuhnya agar lebih mudah dinaiki, jadi aku dan Shouko naik lebih dulu, lalu membantu menarik Chiyu dan Shion.


Mashiro mengeluarkan suara senang setelah berhasil mengangkut tiga gadis cantik di punggungnya.


"U-uhh... Seperti yang kupikirkan kemarin, pakai rok saat duduk di atas Mashiro itu agak beresiko, ya."


Shion merapikan roknya agar kainnya menutupi bagian bawahnya.


Aku jadi ingat, Chiyu juga sering melakukan hal serupa saat naik sepeda atau duduk di kursi kereta saat memakai rok. 


Kalau diabaikan, mungkin celana dalam mereka bisa langsung bersentuhan dengan kursi atau tertiup angin.


"Pakaian ini juga nggak cocok buat berjalan di hutan."


Aku setuju, meski hanya sekilas.


"Tapi kalau nggak pakai rok, semangat Sou-kun bisa turun."


"Kenapa juga begitu?"


...Yah, aku memang suka, sih.


"Untuk tugas menyalakan api hari ini, biar Shoko-chan yang melakukannya. Dengan begitu, ensiklopedia celana dalam Sou-kun bakal lengkap, deh."


"Aku nggak bikin ensiklopedia kayak gitu!"


Aku nggak ingat kalau Chiyu pakai celana dalam putih dan Shion pakai hitam yang agak seksi.


"...Y-ya, Sou-kun sudah banyak membantu, jadi... nggak apa-apa juga..."


Aku nggak bikin ensiklopedia aneh-aneh, tapi mendengar Chiyu bilang begitu sambil malu-malu malah bikin aku jadi gugup.


"Y-yaudah, kita berangkat aja!"


Oh ya, selain dinding batu dan pagar, semua barang sudah kusimpan di inventori.


Kalau nanti pulang-pulang tempat ini diacak-acak binatang atau diambil alih orang lain, itu bakal jadi masalah besar.


"Ok, ok. Mashiro, ayo cari daging, ya! Kami beneran pengen makan daging!"


"Kalau bisa, babi... jenis babi hutan gitu."


Di cerita isekai, biasanya ada babi hutan raksasa, bertanduk, atau bertaring tajam. Tapi kalau ada Mashiro, kayaknya nggak masalah.


Mashiro berdiri, dan pandanganku langsung jadi lebih tinggi.


"Uwoah!"


Aku refleks berpegangan pada Chiyu di depanku, tapi tanpa sengaja malah memegang... dadanya.


Lembut dan kenyal.


"Uuuh... Sou-kun, kalau di atas Mashiro, jangan kayak gitu, ya..."


"Eh!? Bukan, bukan! Maaf, salah pegang!"


Aku buru-buru memindahkan tanganku ke pinggangnya.

Kulihat telinga Chiyu jadi merah.


"Maaf banget, Chiyu. Nggak sengaja kok."


"A-aku tahu... t-tapi, jangan bisik-bisik di dekat telinga..."


Chiyu gemetar, dan aku jadi ingin melihat wajahnya. Sayangnya, posisi sekarang nggak memungkinkan.


Sementara itu, Mashiro mulai mengendus-endus, berbalik arah, dan melompati dinding batu.


Ternyata Mashiro cukup perhatian, jadi perjalanan ini terasa lebih nyaman dari yang kubayangkan.


Dan begitu saja, Fenrir berlari di dalam hutan.


"Keren banget...!"


Melihat pemandangan yang melaju cepat, aku nggak bisa menahan kekaguman.


"Kan? Kan?!"


Shouko terlihat bangga karena Mashiro dipuji. Namun, perlahan Mashiro memperlambat langkahnya.


"Kayaknya sudah dekat!"


"Ah, baiklah!"


Aku bersiap mengeluarkan senjata kapan saja.


Memang aku mengandalkan Mashiro, tapi kalau keadaan darurat, aku harus siap pakai tombak atau kapak.


Tak lama kemudian, kami melihatnya—seekor babi hutan.


Ada dua hal penting di sini:


Pertama, bentuknya nggak jauh beda dengan babi hutan di Bumi.


Meskipun aku nggak pernah lihat babi hutan asli, setidaknya nggak kelihatan ada elemen isekai.


Kedua, yang lebih penting—ada seseorang yang sedang dikejar babi hutan itu.


"Haa... haa... k-kali ini pasti...!"


Seorang gadis berwajah tegas dengan rambut hitam panjang diikat ponytail.


Sambil berlari menghindari babi hutan, dia menoleh dan mengarahkan tongkat di tangannya.


"Kena...!"


Di detik berikutnya, dari ujung tongkatnya muncul banyak batu kecil yang melesat cepat.


Sihir!? Ini beda dari sihir penyembuhan Chiyu, ini sihir serangan!


Sayangnya, tembakannya meleset. Hanya satu-dua yang mengenai babi hutan, dan itu malah membuatnya makin marah.


"Sousuke! Gimana ini!?"


"Nggak sempat turun! Mashiro, bisa lanjut?"


"Tentu saja! Mashiro, serang!"


Demi menyelamatkan gadis itu, Mashiro mempercepat larinya.



"Hajar dia, Mashiro!"


Atas perintah Shouko, si tamer berambut pirang, Mashiro meraung dan langsung menyeruduk babi hutan dari samping.


Pernah lihat di film barat, adegan di mana penjahat ditabrak truk dan terpental jauh?


Nah, seperti itu.


Terdengar suara keras seperti benda besar mendadak berhenti.


Di depan mata kami, babi hutan itu terlempar ke udara dan menghantam pohon.


Babi hutan itu jatuh dan tidak bergerak lagi.


"Se-sekali serang langsung..."


—Kalau sudah level Fenrir, bisa menggilas babi hutan sampai mati, ya...


"A-a-apa...!? S-seekor serigala raksasa...!?"


Gadis itu tampaknya tidak melihat kami dan dalam kepanikan mengarahkan tongkatnya ke Masihiro.


"Tunggu dulu, Ketua! Ini aku! Kuno!"


Aku berteriak dari punggung Masihiro, membuat gerakan gadis itu langsung berhenti.


Perlahan, pandangannya terangkat dan akhirnya tertuju pada kami.


"... Ku-kuno-kun?"


Shijou Minori. Dia adalah ketua kelas A kami dan duduk di sebelahku.


Karena itu, dia pasti sering mendengar obrolanku, Chiyu, dan Shouko. Mungkin saat mendengar pembicaraan tentang kemampuan, Shijou juga memikirkan kemampuan seperti apa yang akan dia bawa jika bisa memilih.


"Aku juga di sini, Minorin!"


"Mengejutkan ya, aku paham kok, Shijou-san."


"Rasanya nyaman banget."


Shouko, Shion, dan Chiyu ikut menyapanya. Yah, komentar Chiyu sih lebih ke pendapat pribadi.


Kami meminta Masihiro menunduk dan turun ke tanah.


"Sudah aman, Ketua. Babi hutan itu sudah dikalahkan oleh dia."


"Namanya Masihiro! Ingat baik-baik ya, Minorin!"


Shouko menambahkan sambil mengelus-elus Masihiro dengan penuh semangat.


"...A-apa mungkin ini hasil dari kemampuan pemanggilan yang dibicarakan Kanna-san?"


Sepertinya Shijou memang mendengar pembicaraan kami sebelumnya.


"Iya, benar."


"A-aku... berhasil diselamatkan, ya?"


"Iya, kamu sudah aman sekarang."


"Ugh..."


Shijou yang biasanya serius, tegas, dan tidak pernah menunjukkan celah, kini menangis dengan wajah kusut.


Aku buru-buru mengeluarkan saputangan yang kemarin dikembalikan Shouko dari 'Inventori' dan menyodorkannya.


Shijou menerimanya sambil berkata, "Terima kasih," tapi tidak langsung menyeka air matanya, malah mendekat dan menyandarkan kepalanya di pundakku.


"Sh-Shijou!?"


"Maaf, sebentar saja..."


"A-ah..."


Aku bisa langsung berpindah bersama Chiyu sejak awal, dan Shouko serta Shion datang bersamaku.


Tapi jika harus melewati malam di pulau tak berpenghuni sendirian, pasti rasanya sangat berat.


Bertemu kembali dengan teman sekelas pasti sangat mengharukan.


Aku bingung harus berbuat apa dengan tanganku, akhirnya hanya menepuk punggung Shijou pelan.


Kalau dengan Shouko, karena kami teman, aku bisa lebih mudah bersikap. Tapi dengan Shijou, kami hanya sebatas obrolan ringan dan belum pernah bertukar kontak, jadi aku agak canggung.


"Yah, aku ngerti kok, Minorin. Sendirian di hutan itu emang sepi dan berat banget."


Shouko sangat memahami perasaannya.


"Sousuke-kun, Shouko-chan, dan Chiyu-chan semuanya baik dan bisa diandalkan. Jadi sekarang kamu sudah aman, Shijou-san."


Shion berkata dengan nada menenangkan.


"Ketua kelas berambut hitam panjang, serius, dan berdada besar... Harem Sou-kun bertambah lagi."


Chiyu, kau tetap saja seperti biasa. Tapi di situasi begini, justru itu jadi menenangkan.


Akhirnya, Shijou mulai tenang dan melepaskan diri dariku.


Dia menyeka matanya dengan saputangan dan membungkuk padaku.


"Maaf, aku sudah memperlihatkan sisi yang memalukan."


"Tidak usah dipikirkan."


"Tapi tetap saja. Aku sampai bersikap tidak sopan hanya karena merasa lega bertemu Kuno-kun... Bukankah itu membuatmu tidak nyaman?"


"Tidak, sama sekali tidak. Bahkan, aku agak deg-degan."


Karena Shijou terlihat serius, aku mencoba menghilangkan kekhawatirannya dengan nada bercanda. Tapi dia malah memerah malu dan gemetaran sambil berteriak:


"D-deg-degan? Meskipun ini salahku, jangan berpikiran mesum ya...!"


Mesum, katanya. Gara-gara berusaha menghindari kata-kata vulgar, malah terdengar lebih vulgar. Apa dia sadar akan itu?


Yah, mungkin masalahnya justru ada pada kami para cowok yang menangkapnya seperti itu.


Shijou langsung menarik napas dalam dan batuk kecil.


"Hem. Maaf, aku jadi tidak tenang. Sekali lagi, Kuno-kun, Iyama-san, Kanna-san, Yomi-san, dan Masihiro-san. Terima kasih sudah menyelamatkanku."


Shijou membungkuk dengan sopan.


"Sama-sama! Di saat seperti ini, kita harus saling membantu!"


"Hehe, aku sih nggak ngapa-ngapain. Ngomong-ngomong, Shijou-san sendirian?"


Shouko menjawab dengan senyum, sementara Shion bertanya dengan nada tenang.


"Iya. Tapi sebenarnya kalian bukan teman sekelas pertama yang kutemui."


"Oh, begitu?"


"Ada dua anak laki-laki yang kutemui di hutan. Mereka mengajakku bergabung, tapi... tatapan mereka membuatku takut."


Dia berusaha menjauh, tapi mereka malah mengikuti.


"Ih, tipe yang kayak gitu ya? Ada aja yang suka ngelihatin orang kayak cuma mikirin yang mesum."


Shouko mendengus jijik. Shion dan Chiyu juga mengangguk setuju.


"Ugh..."


Rasanya seperti pisau menusuk hatiku.


"E-eh, nggak, nggak! Kalau Sousuke-kun beda kok!"


Shouko buru-buru menyangkal.


"B-benarkah...?"


Padahal aku sadar soal dada dan pakaian dalam mereka.


"Hehe, aku juga yakin Sousuke-kun beda. Kamu tuh lebih kayak refleks, bukan sadar."


"Ya. Yang kami maksud itu yang sengaja menatap dengan niat buruk, tanpa peduli perasaan orang lain."


"Itu dia! Wajar kalau punya pikiran sendiri, tapi kalau udah dibilang jangan terus tetap aja, itu yang ngeselin!"


Sering kali dikatakan bahwa meskipun seseorang berpenampilan mencolok, itu tidak selalu berarti mereka ingin menarik perhatian lawan jenis. Mereka punya hak untuk berpakaian sesuai keinginan, dan menatap mereka dengan pandangan rendah adalah hal yang tidak sopan.


Setidaknya, kita harus punya akal sehat untuk menahan diri jika orang lain merasa tidak nyaman.


"...Kalian bertiga tampaknya dekat dengan Kuno-kun, ya."


Dengan senyum lembut, Shijou berkata begitu.


"Tapi, Kuno-kun? Aku rasa tidak baik jika kau terlalu sering menatap mereka dengan pandangan nakal sampai mereka menyadarinya."


"...Iya..."


"Kalau soal Sou-kun, aku tidak masalah."


"Sousuke-kun itu sopan dan selama di sini dia sangat membantu, jadi aku juga tidak keberatan."


"Ugh... a-aku juga, s-sedikit saja..."


Mereka bertiga mencoba membelaku, tapi jawaban mereka justru membuat Shijou kaget.


"Kuno-kun, sebenarnya apa yang sudah kamu lakukan dalam semalam...?"


Shijou sampai memerah malu hingga ke telinganya, tapi tentu saja tidak ada hal aneh yang terjadi.


...Kecuali soal perkembanganku dengan Chiyu, sih.


"Untuk sekarang, mari kita bawa babi hutan ini dan kembali ke markas. Shijou, kalau tidak keberatan, ikutlah dengan kami. Aku juga ingin mendengarkan ceritamu, dan kami bisa menyediakan makanan."


Kalau Shijou tak ingin bergabung, itu tetap pilihannya.


Kalau perlu, aku pun tak keberatan berbagi sumber daya. Seperti kata Shouko, kami harus saling membantu. Lagipula, aku memang cukup menyukai Shijou.


Di lingkungan sekolah, anak yang terlalu serius dan berusaha menegakkan aturan seringkali dijauhi.


Namun, Shijou tetap berusaha bersikap benar dan selalu berusaha keras.


Meski hanya duduk di bangku sebelahku, aku tidak pernah membenci sikapnya itu.


"...B-baiklah, aku ikut. M-maaf soal ucapanku tadi, tapi aku percaya padamu Kuno-kun."


Apa ada sesuatu dariku yang bisa membuatnya percaya, ya?


Yah, bertanya soal itu sepertinya tidak perlu.


Aku mendekati babi hutan dan menyimpannya ke dalam Inventori.


Shijou tampak terkejut melihat Inventory untuk pertama kalinya, sementara aku menghampiri Mashiro.


"Mashiro, bisa membawa lima orang? Eh? Kalau Minorin, meski mati pun akan kamu bawa? Haha, dasar mesum."


Dengan semangat, Mashiro benar-benar membawa kami semua berlari.


"Aku memilih kekuatan seperti penyihir di cerita-cerita, tapi mungkin karena bayanganku tentang penyihir, kemampuanku jadi 'Sihir Elemen'."


Shouko, Shion, Chiyu, aku, dan Shijou duduk di urutan terakhir.


Jadi, aku memegang pinggang teman masa kecilku, sementara ketua kelas memegang pinggangku.


Dari depan, wangi Chiyu terasa, dan dari belakang, dada Shijou menekan punggungku.


Berbeda dengan aku dan Chiyu yang sudah terbiasa menunggang Mashiro, ini pertama kalinya bagi Shijou.


Kami memutuskan mendengarkan ceritanya di perjalanan, meski suaranya terdengar gugup.


"Sihir elemen, ya? Sepertinya tak akan bertabrakan dengan kekuatan Chiyu."


"Ya. Sekarang aku tak perlu khawatir tersingkir karena ada yang lebih kuat."


"Takkan ada yang seperti itu."


Aku berkata dengan nada sedikit kesal, dan Chiyu tersenyum kecil.


Meski begitu, suaranya tetap datar, jadi mungkin orang lain tidak akan menyadarinya.


"Sihir yang bisa kugunakan sekarang hanya 'Bola Api', 'Batu Lempar', 'Tebasan Angin', dan 'Dinding Air'. Dan sepertinya, hasil sihirku tidak bertahan lama."


Cukup khas seperti di game, jadi mudah dibayangkan efeknya.


Sepertinya sekarang dia hanya bisa menggunakan sihir tingkat dasar.


"Ah, jadi begitu. Mungkin memang sengaja dibuat agar tak bisa menghasilkan air minum atau menyalakan api dengan sihir..."


Saat batu-batu di markas terlihat, Mashiro langsung melompati dinding batu tersebut.


Di saat itu, dada Shijou bergoyang dan menggesek punggungku seiring lompatan Mashiro.


"Hyaa!"


Ditambah dengan suaranya itu, aku pun ikut terkaget.


"Kerja bagus, Mashiro!"


"Minorin, lepaskan tanganmu, biar Sou-kun bisa turun."


Mendengar Chiyu, Shijou buru-buru melepaskan tangannya dariku dan turun bersama yang lain.


"Maaf, Kuno-kun. Aku takut jatuh, jadi aku memegangmu terlalu erat."


Wajah Shijou memerah, mungkin malu karena terlalu dekat denganku tadi.


"Tidak apa-apa. Mashiro berlari dengan hati-hati, jadi kau tak perlu khawatir."


"Y-ya. Tapi, ini... aku sejak kemarin masih pakai baju ini, jadi kotor. Bajumu bersih seperti habis dicuci, jadi aku khawatir mengotori bajumu."


Aku terlalu banyak mendengar ceritanya, sampai lupa bercerita balik.


"Sousuke-kun! Ayo makan! Minorin juga pasti lapar, kan?"


Shouko menyela pembicaraan.


"Bolehkan aku ikut makan? Di situasi seperti ini, makanan pasti berharga."


Memang anak yang serius.


"Jadi teman kami saja."


"Benar. Sekarang kekuatan kami banyak bergantung pada Mashiro. Kalau Shijou bergabung, kami akan sangat terbantu. Bagaimana menurutmu, Sousuke-kun?"


Aku mengangguk mendengar kata-kata Chiyu dan Shion.


"Benar. Aku percaya pada Shijou, dan kalau kau mau jadi teman, aku sangat senang. Tapi tentu saja, aku tak akan memaksamu. Meski kau menolak, tetaplah makan bersama kami."


Saat ini, kami selalu bergerak bersama-sama.


Seperti yang dikatakan Shion, kekuatan tempur kami sepenuhnya bergantung pada Mashiro.


Namun, dengan bergabungnya pengguna sihir elemen, kami bisa membagi tim menjadi dua. Itu berarti eksplorasi dan aktivitas sehari-hari bisa lebih luas.


"Tidak mungkin aku menolak... Justru aku yang harus berterima kasih. Karena... mengizinkanku bergabung dengan kelompok yang sehangat ini, terima kasih."


Tatapan mes dari dua pria kemarin tampaknya menjadi trauma bagi Shijou.


"Sousuke memang mesum, tapi dia orang baik, jadi santai aja, Minorin~!"


Shouko memeluk Shijou dengan hangat.


"Kyaa...! A-aduuh, bajumu jadi kotor, tahu!"


Shijou menunjukkan senyum lembut, meski sedikit bingung dan geli.


"Tidak apa-apa~. Di sini ada pemandian buatan Sousuke-kun, kok!"


"Eh? Pemandian...?"


"Ah... ya. Oke, mari kita bagi menjadi dua tim. Tim masak dan tim mandi."


"Aku ikut tim masak."


"Ah, aku juga bisa bantu sedikit."


"Kalau begitu, aku dan Minorin jadi tim mandi, ya. Aku akan panaskan air mandinya!"


"B-beneran ada pemandian...? Barusan kamu bilang itu buatan Kuno-kun, jadi apa itu hasil kemampuanmu?"


"Nanti aku jelaskan lebih rinci saat makan. Sekarang aku siapkan dulu."


Aku mulai mengatur perlengkapan mandi.


"…H-hebat. Jadi, kemampuanmu mencakup penyimpanan dan penataan alat-alat kerajinan, ya? Mungkin karena Kuno-kun membayangkan 'kemampuan membuat apa pun di mana saja', jadi kemampuanmu terbentuk seperti ini?"


"Mungkin seperti itu."


Sambil mengobrol, aku menata lantai batu besar dan alat pemantik api.


"Oh ya, Shijou-san. Akan kujelaskan cara pakai alat-alat ini."


"Dan juga, setelah baju ditaruh di keranjang, keluarkan ke luar sekat, ya. Nggak perlu dijelasin, nanti Sou-kun yang bersihkan."


Shion dan Chiyu mendorong Shijou ke area pemandian.


Yang tersisa hanya aku dan Shouko yang pipinya merah.


"J-jadi, hari ini aku yang tugas nyalain api, ya!"


Oh iya, tadi pagi kami sempat membahas soal giliran ini.


"Ah, iya. Tolong, ya."


Seperti sebelumnya, Shouko membantu menahan batu dan papan. Aku fokus menarik tali dengan kedua tangan secara bergantian.


"U-um, Sousuke. Soal tadi... mungkin kamu masih kepikiran. Tapi, aku nggak seperti yang kamu kira, kok."


"Soal tatapan laki-laki itu? Iya, aku paham. Tadi kamu juga udah bantu aku."


"Dan... kalau aku bilang nggak suka, berhenti ya. Tapi kalau aku bilang boleh... ya, nggak apa-apa."


Ucapannya mengingatkanku pada pembicaraan pagi tadi, saat Chiyu menyebut soal pakaian dalam.


"...Y-ya, karena Sousuke sudah banyak membantuku, jadi... itu sih nggak apa-apa..."


Itu yang Shouko katakan.


Kalau itu berkaitan dengan ucapannya barusan...


Aku menelan ludah dan perlahan mengangkat pandangan. Di sana, Shouko duduk dengan kaki sedikit terbuka, dan aku melihat celana dalamnya yang berwarna merah muda dengan renda.


"Ahaha, Sousuke tetap aja mesum, ya~."


Dia menggodaku sambil pipinya bersemu merah.


Wajahnya yang lucu membuat jantungku berdebar keras.


"Asapnya keluar, tuh."


"Ah, iya! Bener juga."


Dengan panik, aku segera mendapatkan api dan menyiapkan kayu bakar. Aku meminta Shouko membawa api itu ke pemandian.


Baiklah, sekarang waktunya memasak daging babi hutan.


Padahal aku sudah lama ingin makan daging ini, tapi wajah Shouko tadi terus terbayang di pikiranku.



Shion dan Chiyu kembali setelah selesai dengan arahan Shijou.


"Ngomong-ngomong, gimana cara makan daging babi hutan?"


"Botan nabe?"

(Tln: Botan nabe adalah sebuah masakan dengan daging dan sayur dalam panci mendidih).


Chiyu menjawab sambil sedikit memiringkan kepalanya mendengar pertanyaanku.


"Oh, begitu ya."


"Sebelumnya, Sousuke-kun, bisa kasih tahu tentang bahan makanan yang ada sekarang?"


Shion menggunakan karet rambut yang dia bawa saat berpindah, mengikat rambutnya ke belakang.


"O-oke."


Aku mengeluarkan meja kayu besar untuk memasak dan menaruh bahan makanan di atasnya.


Shion mulai memeriksa bahan-bahan tersebut.


"Ah...! Ada rumput laut, kita bisa buat kaldu dari ini."


"Itu yang Chiyu kumpulkan di pantai."


Sambil aku menebang pohon, Chiyu membawa keranjang dan mengumpulkan item di pantai.


"Ya, itu terbawa arus."


"Karena di 'Inventori' tertulis 'aman dimakan,' jadi pasti aman."


"Selain itu, karena sudah disimpan oleh Sousuke-kun, pasti sudah bersih, jadi bisa digunakan dengan tenang."


"Benar juga. Kalau begitu, kaldu ya. Kalau nanti ada ikan, mungkin bisa buat katsuobushi juga."


"Bagus sekali! Kemampuan Sousuke-kun benar-benar serbaguna dan luar biasa ya."


Shion berseri-seri. Dari ekspresinya, terlihat dia suka memasak.


"Hebat seperti biasa ya, Sou-kun."


Chiyu menambahkan pujian yang kini menjadi kebiasaannya.


"Sebagai orang Jepang, rasanya aku ingin punya kecap dan miso juga..."


Untuk membuatnya, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan agar bahan-bahannya tersedia di pulau ini.


Garam bisa didapatkan dari laut, jadi kalau ada kedelai, resepnya terbuka…


Proses pembuatannya yang rumit mungkin bisa ditangani oleh kemampuan 'Craft'.


"Benar juga, tapi kita bisa memasak sup sederhana dengan rasa alami. Dari bahan yang ada, kita juga bisa tambahkan jamur. Untuk sekarang, kita pakai ini, tapi kalau dapat sayur saat eksplorasi hari ini, tampilannya bisa lebih menarik."


"Wahh."


Meski sudah sarapan ringan, mendengar ini membuat perutku lapar.


"Lalu, kita juga bisa memanggang daging dengan garam."


"Memanggang daging?!"


"Karena tidak ada panggangan, kita harus memanggangnya di atas batu."


"Serahkan saja padaku. Aku bisa buat yang bagus."


"Terima kasih, ya. Kalau ini jadi makan siang awal, untuk makan malam kita buat barbeque saja."


"Setuju."


"Tidak ada keberatan."


Chiyu menelan ludah sambil membayangkannya.


"Selain itu, Sousuke-kun, bisakah kamu membuat tungku?"


"Ah, benar, itu pasti berguna."


Setelah Shion menyarankan, aku memeriksa resepnya dan tampaknya aku bisa membuatnya.


Karena kemarin tidak terlihat, tampaknya menyadari kegunaannya adalah salah satu syarat untuk membuka resep.


Beberapa resep langsung ditambahkan tanpa perlu membayangkannya, jadi penemuan bahan mungkin menjadi elemen penting.


Jadi, aku membuat tungku.


Pada dasarnya, ini hanya untuk memusatkan panas, jadi cukup mengelilingi api.


Karena aku masih punya banyak persediaan 'batu,' membuatnya mudah.


Batu memang berguna... Kalau nanti menemukan bebatuan lagi, aku akan langsung menjadikannya item.


"Wah, terima kasih!"


Shion tersenyum lebar, seolah bintang-bintang berkilauan di wajahnya.


"Terima kasih juga. Aku tidak tahu banyak soal memasak, jadi bantuanmu sangat berarti."


Aku langsung menyalakan api. Karena akan membuat botan nabe, aku menyiapkan panci dari tanah liat dan tong berisi air.


"Aku senang akhirnya bisa merasa berguna sedikit."


Meskipun ingin bilang tidak perlu khawatir, mungkin dia merasa kurang berkontribusi.


Memang, dibandingkan kemampuan luar biasa anggota lain, kemampuan Shion terasa lebih sederhana.


Kalau nanti ada interaksi dengan kelompok lain, dia pasti bisa memberikan kontribusi besar.


"Sou-kun, aku juga bisa masak sedikit tau."


"Haha, aku tahu."


Chiyu pernah membantu ibuku memasak, bahkan beberapa kali membuatkan bekal untukku.


Perbedaannya hanya pada bahan-bahan yang tersedia di sini dan cara memasaknya.


"Hmm... Kalau ada telur, aku bisa buat tamagoyaki favoritmu..."


Chiyu mengepalkan tinju dengan ekspresi tak berubah, meski terdengar kecewa.


"Telur juga bagus. Bisa seperti sukiyaki, mencelupkan daging dari panci."


"Wow, pasti enak banget."


"Apakah ayam di sini dianggap sebagai 'daging unggas'?"


Chiyu bertanya, dan aku bergumam memikirkan hal itu.


"Masih misteri apakah hewan yang sudah dijinakkan bisa ditemukan di sini."


Kenyataannya, kekuatan yang memindahkan binatang ke pulau ini sudah aneh, jadi jika ada hewan peliharaan muncul di alam liar, aku tidak akan terkejut.


"Kalau ada, kita tangkap dan pelihara."


"Itu ide bagus."


"Ah...!"


Saat kami sedang memotong daging babi hutan dengan pisau batu, Shion tiba-tiba berseru.


"Ada apa?"


"Kemarin, Shouko-chan memanggil seekor domba, kan?"


"Iya."


Berkat itu, aku mendapatkan banyak wol, membuatku bisa tidur dengan hangat.


"Jadi, wol yang dicukur tidak menghilang, kan? Kalau begitu, bagaimana dengan... susu?"


"Oh, maksudmu susu? Aku mengerti!"


Karena sudah terbiasa dengan gagasan bahwa susu identik dengan susu sapi, aku tidak menyadarinya.


"Susu domba rasanya seperti apa ya?"


"Umm, aku pernah mencobanya sekali sebelumnya... rasanya kaya? Pekat? Tidak bisa minum banyak, tapi katanya bergizi. Kalau bisa mendapatkannya, pasti menyenangkan."


"Aku ingin sih, tapi agak ragu. Daging makhluk yang dipanggil kan tidak bisa dimakan, ya? Susu ini termasuk barang yang bisa diambil seperti wol atau tidak, itu pertanyaannya."


"Kalau berdasarkan pengalaman sebelumnya, kesadaran Shouko pasti penting di sini."


"Benar juga. Kita tanya saja saat Shouko kembali."


"Setuju, kita lakukan itu."


Pas sekali, Shouko datang.


"Fiuh~. Minorin bilang dia bisa melanjutkan sendiri. Sousuke, bisa bersihkan pakaian Minorin?"


Shouko meletakkan keranjang pakaian di dekatku.


"Oh, terima kasih atas kerja kerasmu. Ngomong-ngomong, Shouko, bisa nggak kita dapat susu?"


Sambil menyimpan pakaian Shijou, aku bertanya dengan penuh semangat.


Shouko terdiam sejenak, lalu wajahnya memerah.


"Hah!? Apa-apaan!? Itu pelecehan!?"


Dia menyilangkan lengannya, melindungi dadanya yang berisi.


"Ahaha, Sousuke-kun..."


"Kamu kurang jelas ngomongnya."


Shion tersenyum masam, sementara Chiyu memberikan kritik tenang.


"Ah, bukan itu maksudku! Maaf! Kita tadi ngomongin soal apakah bisa dapat susu domba...!"


Aku buru-buru menjelaskan. Untung Shijou ada di kamar mandi. Kalau dia di sini, dia pasti akan marah besar dan berkata, "Tidak senonoh!"



Masakan buatan Shion mendapatkan banyak pujian.


Kalau sebelum kami pindah ke sini, mungkin rasanya terasa hambar. Tapi, hanya sehari hidup di pulau tak berpenghuni sudah membuat kami sangat menghargai makanan enak.


Sampai pagi tadi, makanan utama kami hanyalah jamur dan kacang-kacangan.


Semua porsi yang disiapkan habis dimakan.


"Enak banget!"


Shouko mengelus perutnya dengan puas.


"Terima kasih atas makanannya. Mandi, makanan enak, semuanya benar-benar terima kasih."


Shijou berterima kasih dengan sopan.


Seragamnya juga sudah bersih, kulit dan rambutnya kembali terlihat indah.


Meski puas dengan makanannya, matanya terlihat agak berat.


"Shijou, bagaimana kalau kamu istirahat sebentar?"


"Mana mungkin. Ini waktu siang yang berharga, aku harus mengumpulkan sesuatu untuk membalas budi."


"Tapi kamu sepertinya tidak tidur dengan baik semalam, kan? Untungnya, kita tidak kesulitan makanan untuk hari ini dan besok. Sekarang kamu bisa beristirahat, dan bekerja keras setelah pulih."


Ketiga lainnya setuju.


"…Terima kasih banyak. Kalau begitu, aku akan terima tawaranmu."


"Baiklah, istirahat saja di dalam gubuk."


Aku mengeluarkan gubuk yang telah kusimpan dan meletakkannya di tempat yang sesuai.


"...!? T-Tunggu, bangunan juga termasuk dalam 'kemampuan kerajinan'? Yah, gubuk kecil sih masih masuk akal. Tapi kalau begitu, rumah kayu juga... hmmm."


Sementara Shijou tampak bingung, aku masuk ke gubuk, mengatur karpet, dan mengeluarkan selimut sebelum memberikannya kepadanya.


"Kalau di dalam gubuk, lepas sepatu, ya. Ini selimutnya."


"Lembut sekali... Terima kasih untuk semuanya."


"Sama-sama."


"Sousuke-kun hebat ya. Bukan cuma idealisme sederhana, tapi memilih kemampuan yang bisa menyelesaikan kekurangan alat, keterampilan, dan pembagian waktu di lingkungan seperti pulau tak berpenghuni ini."


Shijou menatapku dengan kagum.


"Ahaha..."


Aku hanya bisa tertawa canggung. Sebenarnya, kemampuan ini kupilih hanya karena aku menginginkannya saat bermain game. Sangat berguna, tapi aku memilihnya karena alasan yang sederhana. Tentu saja aku tidak bisa bilang itu.


"Aku akan menghargai dan menggunakan ini dengan baik."


"Baiklah, selamat istirahat."


"Y-Ya... selamat malam."


Shijou berkata dengan sedikit malu, lalu masuk ke dalam gubuk.


"Kita gimana? Tidak baik meninggalkan Minorin sendirian."


Mendengar kata-kata Shouko, aku mengangguk.


"Seperti sebelumnya, kita bagi jadi dua kelompok, eksplorasi dan penjaga. Untuk distribusi kekuatan, maaf, tapi Shouko dan Mashiro harus ikut eksplorasi."


"Oke, oke!"


Mashiro memang ahli dalam pertarungan, tapi dia adalah hewan mistis yang dipanggil Shouko.


Dia tampaknya menyukai kami, tapi untuk instruksi mendadak, lebih baik kalau ada Shouko.


"Kalau begitu, aku juga ikut eksplorasi."


"Chiyu, yakin?"


"Percayakan saja padaku. Aku akan menangkap ayam buat bikin Sou-kun suka lagi."


Sepertinya teman masa kecilku sedang terbakar api semangat. Setelah melihat kemampuan memasak Shion, dia tampaknya merasa tertantang.


"Kalau nanti nggak ketemu, pastikan untuk menyudahi pencarian di saat yang tepat."


"Dimengerti."


"Kalau begitu, aku dan Sousuke akan menjaga rumah."


"Iya. Lagipula, Shijou pasti tidak akan nyaman jika hanya berdua dengan seorang pria. Bisakah kau melakukannya?"


"Tentu saja."


Shion tersenyum lembut, menandakan pembentukan tim selesai. Sebelum berangkat, kami meminta Shouko memanggil domba untuk diperah susunya.


"Ini soal susu domba, kan? Jangan khawatir."


Tampaknya memerah susu tidak menjadi masalah.


"Sousuke, apa kau bisa membuat keju juga?"


"Keju? Apakah hanya dengan susu saja bisa dibuat?"


"Seingatku, butuh rennet juga."

(Tln: Rennet adalah enzim yang digunakan untuk menggumpalkan susu dalam proses pembuatan keju).

 

"Ah, aku pernah dengar itu. Dari lambung sapi, kan?"


"Baiklah, tangkap sapi juga ya, dimengerti."


"Tidak, jangan memaksakan diri."


Antusiasme itu memang bagus, tapi ini baru hari kedua. Tidak perlu terlalu terburu-buru. Untuk sementara, aku memberikan keranjang punggung kepada mereka untuk pengumpulan bahan.


"Wow, ini bagus! Ayo, Chiyu, kita berlomba siapa yang bisa mengumpulkan lebih banyak!"


"Aku terima tantanganmu."


Saat Shouko memanggil Mashiro, Chiyu mendekat padaku. Dia berdiri di ujung jari kakinya, mendekatkan bibirnya dengan cepat.


"Ch-Chiyu?"


"Sou-kun, di situasi ini, harem pun punya nilainya."


Dengan kata lain... apakah itu berarti dia tidak keberatan?


"...Chiyu, kau tidak keberatan dengan ini?"


"Tidak masalah. Selama kamu berada di sisiku pada akhirnya."


Benar-benar gadis pemberani.


"Selain itu, melihat orang lain juga menyadari pesona orang yang kusuka, bukanlah hal buruk."


Setelah meninggalkan kata-kata itu, Chiyu pergi bersama Shouko meninggalkan tempat ini.


Kini yang tersisa hanyalah Shijou yang sedang tidur di dalam gubuk, domba, aku, dan Shion.


"Ah... baiklah, kita mulai dari memerah susu dulu."


"Iya."


Untuk menghindari suasana canggung, kami menyiapkan ember kayu dan mulai memerah susu bersama-sama.


Awalnya kami kesulitan, tapi setelah menemukan tekniknya, susu keluar dengan deras.


"Wah, ini luar biasa. Bisa keluar secepat ini, ya..."


Mendengar suara Shion, pikiranku mulai melayang pada hal-hal yang tidak seharusnya, tapi aku mencoba mengabaikannya.


"Hei, Sousuke-kun. Boleh aku bicara sedikit?"


"Tentu saja."


Tidak ada salahnya berbicara sambil memerah susu.


"Apa pendapatmu tentangku di kelas?"


"Pendapatku? Kau terlihat akrab dengan semuanya dan cukup populer."


"Haha, terima kasih. Jika aku terlihat begitu, baguslah. Tapi, untuk mencapai itu, aku harus berusaha setiap hari. Aku selalu memeriksa aplikasi obrolan, mempelajari tren terbaru meskipun tidak tertarik, dan mengingat apa yang teman-teman katakan agar bisa memberikan tanggapan yang tepat."


Saat SD, semua itu tidak perlu dilakukan. Teman-teman secara alami memiliki hobi yang sama, seperti tokusatsu, komik populer, anime, atau permainan yang laris. Tetapi ketika memasuki SMP dan SMA, minat menjadi lebih beragam, bahkan mencari teman dengan hobi yang sama menjadi sulit.


Meski begitu, menjalin persahabatan tetap memungkinkan, tetapi memang lebih rumit daripada saat kecil.


"Aku harus mencari keseimbangan yang pas, tidak terlalu santai atau terlalu berlebihan. Tapi tetap saja, aku tidak bisa melakukannya dengan sempurna. Bahkan saat menolak pengakuan cinta dari seorang laki-laki, aku kadang dibenci oleh teman perempuannya. Jadi, semuanya terasa berat."


Baik laki-laki maupun perempuan punya sisi baik dan buruk masing-masing. Chiyu juga pernah menghadapi masalah serupa di SMP, di mana dia mendapat kecemburuan dari beberapa perempuan karena kecantikan dan sifat dinginnya. Meski dia tidak peduli, aku tahu campur tanganku hanya akan memperburuk keadaan, sehingga aku merasa frustasi karena tidak bisa berbuat apa-apa.


"Itulah sebabnya aku terkejut ketika berada di kelas yang sama dengan Shouko dan bisa berteman dengannya. Dia adalah orang yang sangat sederhana dan tidak berpura-pura, jadi aku tidak perlu terlalu memikirkan apa-apa."


"Benar. Kadang-kadang ada orang yang berbeda antara ucapan dan isi hatinya."


"Iya. Makanya, aku ingin punya 'kemampuan untuk mengetahui kebohongan.' Karena bahkan di pulau terpencil ini, kita tetap terikat dengan konsep kelas. Setidaknya, aku ingin bisa menyesuaikan diri dengan baik."


Sebenarnya, meskipun seseorang memiliki sedikit teman atau tidak berada di puncak hierarki kelas, mereka tetap bisa menikmati hidup dengan bahagia.


Namun, kenyataannya banyak orang yang peduli dengan hal-hal seperti itu, dan aku bisa memahami perasaan mereka.


Shion, tampaknya, memiliki alasannya sendiri mengapa dia begitu peduli dengan "beradaptasi dengan baik."


"Memilih kemampuan untuk hidup sendiri juga bisa menjadi pilihan, bukan?"


"Ahaha, Sousuke-kun, kamu memang kuat. Tapi, bukankah hidup sendirian itu menyedihkan?"


"Mungkin saja."


Aku sendiri sejak awal sudah memiliki Chiyu. Karena itulah aku bisa bertahan tanpa terlalu banyak mengkhawatirkan hal-hal sepele atau merasa patah semangat. Tetapi bagi mereka yang sendirian, pasti ada saat-saat di mana mereka merasa khawatir dan kesepian.


"Lalu, aku juga tidak ingin memiliki kemampuan yang terlalu berguna bagi semua orang. Soalnya, itu pasti akan membawa masalah."


Diperalat sebagai orang serba bisa, atau dianggap harus selalu menggunakan kemampuan itu, bukan?


Misalnya, jika seseorang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang, mereka mungkin akan diminta untuk menyembuhkan setiap luka kecil dengan sepenuh hati.


Jika mereka bisa membuat barang berguna, mereka mungkin akan diminta membuat ini dan itu tanpa henti.


Jika mereka bisa mengendalikan makhluk mistis, mereka mungkin akan dipaksa untuk menggunakannya untuk berburu.


Saat ini, kami masih saling membantu dengan semangat solidaritas, tetapi keseimbangan itu rapuh. Jika semua teman sekelas kami bergabung, suasana nyaman seperti sekarang mungkin akan hilang.


Saat ini, semua orang saling menghargai kemampuan masing-masing, tetapi akan selalu ada orang yang tidak memiliki perasaan itu.


Pasti akan ada orang yang memperlakukan kami seperti alat.


Mungkin itulah yang membuat Shion memilih kemampuan untuk bisa beradaptasi dengan baik dalam kelompok.


Meskipun, rencananya sedikit meleset karena kami semua akhirnya terpisah.


"Itulah sebabnya, aku benar-benar menganggapmu luar biasa, Sousuke-kun."


"Waktu itu, aku hanya memikirkan diriku sendiri."


Aku mengira semua ini hanya mimpi, jadi aku tidak terlalu memikirkan tindakan yang harus kuambil.


"Tapi, saat itu kamu langsung menggenggam tangan Chiyu dan berpindah bersamanya. Bukan hanya saling membantu dengan teman masa kecil, kamu juga menerima aku dan Shouko. Bahkan membantu Shijou."


"Mungkin aku hanya berbuat baik karena kalian semua gadis cantik."


"Itu bohong. Sousuke-kun, kamu tahu, kebohongan tidak berlaku padaku."


"Itu benar."


"Selain itu, Sousuke-kun, kebaikanmu tidak pernah terasa palsu. Tentu saja, aku tidak menghitung candaan seperti barusan."


"Apa yang terjadi? Aku jadi malu mendengarnya."


"Sousuke-kun, mungkin kamu sedikit mesum, tapi saat kamu menunjukkan kebaikan, itu tidak pernah didasari niat buruk. Menurutku, itu luar biasa."


Aku kira aku mengerti maksudnya.


Ada banyak pria yang akan menolong gadis cantik ketika mereka menjatuhkan barang, tetapi jika itu terjadi pada gadis yang biasa saja, mereka cenderung mengabaikannya.


Kebaikan mereka tidak murni, tetapi diselimuti niat tersembunyi yang terlihat seperti kebaikan.


"Itu bukan karena aku luar biasa, tapi karena didikan orang tuaku saja."


Bagi orang tuaku, menolong orang yang membutuhkan adalah hal yang biasa.


"Kalau begitu, orang tuamu yang penuh kasih dan kamu yang mematuhi ajaran mereka, keduanya sama-sama luar biasa."


Apa ini? Suasananya terasa aneh dan membuatku agak gelisah.


"Eh, emm... sepertinya pemerahan susunya sudah selesai. Aku akan menyimpannya dalam bentuk item. Oh, apa kamu mau mencoba duluan secara diam-diam sebelum memberi tahu yang lain?"


Aku menyimpan susu yang sudah diperah, baik punyaku maupun milik Shion, mencoba mengubah suasana.


"Tidak, aku rasa itu nanti saja."


Shion berdiri, mendekat, dan menggenggam tanganku.


"Sh-Shion?"


"Kamar mandi masih seperti tadi, jadi ayo kita ke balik pembatas."


Aku mengikuti arah tarikan tangannya, berpindah ke kamar mandi.


"Ada apa? Kalau mau mandi, aku bisa menghangatkan airnya..."


"Hehe. Sousuke-kun, setelah mendengar ceritaku, kamu pasti sudah mengerti, kan? Aku ingin bisa berbaur dengan baik dalam kelompok ini. Tempat yang hanya diisi oleh orang baik tanpa kebohongan jahat. Untuk bisa melakukannya, aku sendiri harus merasa pantas berada di sini."


"...Kalau ini soal perbedaan kemampuan, kamu tidak perlu khawatir. Akan ada saatnya kami bergantung padamu."


"Itu benar. Tapi saat ini, kurasa kontribusiku belum cukup. Kalau begini, aku hanya menerima terlalu banyak. Jadi, aku harus mulai membalasnya."


Shion mendekat ke arahku, melingkarkan tangannya di punggungku.


"Kamu sudah mendapat izin dari Chiyu, kan? Jangan khawatir, aku juga sudah membicarakan ini dengan sesama perempuan."


Apa Chiyu sudah memprediksi situasi ini dengan perkataannya sebelumnya?


Shion menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.


"Aku ingin berguna untuk Sousuke-kun."


Jantungku berdebar kencang.


"Eh, Sousuke-kun. Kalau aku... tidak apa-apa, kan?"


"B-bukan itu... bukan tidak apa-apa, tapi..."


"Tapi?"


"Kamu yakin, Shion?"


Mendengar pertanyaanku, Shion tersenyum lembut dengan ekspresi yang sedikit menggoda.


"Kalau itu Sousuke-kun, aku tidak keberatan."


Dengan izin dari teman masa kecilku, persetujuan darinya sendiri, dan aku yang juga menyukainya, menolak pada titik ini rasanya malah tidak sopan.


"Kalau begitu... aku serahkan padamu."


"Baiklah."


Shion berlutut, melepas sabuk seragamku, dan menurunkan celanaku perlahan.


"Wah... sudah membesar ya. Apa kamu sempat berharap pada situasi ini?"


Sambil berbicara seperti itu, ia menarik celana dalamku, dan...

Komtol milikku terpapar udara begitu saja.


"Jadi seperti ini bentuknya… aku baru pertama kali melihatnya..."


Shion berbisik pelan sambil memperhatikannya dengan saksama.


"Shion?"


"U-uh, tidak apa-apa. Ehm, aku mulai, ya."


Jari-jarinya yang ramping mulai menyentuh komtolku perlahan, dan aku langsung merasa tubuhku merespons.


"Maaf kalau aku kaku, ya? Aku pernah mendengar cerita dari teman dan mencari tahu sedikit supaya tidak ketinggalan pembicaraan, tapi aku belum pernah punya pacar sebelumnya..."


"N-nggak apa-apa... Tapi, Shion..."


Ketidaksabaranku memaksaku mengeluarkan suara mendesak.


"Oh, ya. Baiklah, aku akan mulai bergerak."


Shion mulai melakukan gerakan berirama, perlahan namun stabil.


"Ugh..."


"Maaf, apa sakit?"


"Tidak... bukan itu..."




Ekspresi Shion tampak gelisah. Dia memeriksa wajahku, lalu tersenyum kembali. Senyumnya terlihat agak nakal.

"Jadi... terasa nyaman?"

"Ah, iya."

"Begitu ya. Tekanannya, tetap seperti ini? Atau lebih kuat? Lebih pelan?"

Aku ingat bahwa mustahil berbohong pada Shion, jadi aku memutuskan untuk menjawab jujur.

"Le... lebih kuat."

Sentuhan lembut tadi berubah menjadi genggaman yang lebih tegas dan gerakan yang lebih nyata.

"Lalu kecepatannya? Tetap seperti ini? Atau lebih cepat? Lebih lambat?"

"Lebih cepat, kumohon..."

Gerakan tangannya menjadi lebih cepat, terdengar suara gesekan yang konstan.

"Seperti ini? Apa ini yang paling nyaman?"

Aku hanya bisa mengangguk tanpa berkata apa-apa.

Situasi di mana dia dengan senyum mendengarkan semua permintaanku benar-benar membuatku sangat terangsang.

"Begitu ya. Senang sekali mendengarnya. Kalau begitu, aku akan mengingat gerakan ini, ya?"

Shion selalu mengingat detail percakapan dengan teman-temannya agar hubungan berjalan lancar. Jadi, mengingat preferensiku sepertinya bukan hal sulit baginya. Tapi, memikirkan bahwa informasi seperti itu tersimpan di pikirannya membuat darahku bergejolak.

Tangannya terus bergerak.

"Untuk memastikan kamu bisa menikmati ini dengan tenang, aku ingin menyampaikan sesuatu dengan jelas."

Gerakan tangan Shion tetap konstan, dan setiap kali dia berbicara, nafasnya mengenai komtolku.

"Aku melakukan ini karena aku ingin melakukannya."

Kenikmatan yang kurasakan hampir membuatku kehilangan kendali.

Gerakan tangannya, rambut hitamnya yang bergoyang, dan dadanya yang besar bergerak seiring dengan gerakan itu menciptakan pemandangan yang menggoda.

"Seperti yang aku katakan sebelumnya, ini juga untuk memastikan aku merasa diterima dalam kelompok ini... dan lebih dari itu."

Rasanya berbeda dari melakukannya sendiri. Kenyataan bahwa ini dilakukan oleh Shion, gadis cantik yang kukira tak akan pernah berhubungan denganku, membuat semuanya terasa lebih intens.

Dia berlutut di depanku, fokus pada gerakannya.

"Ini pertama kalinya aku bertemu seorang pria yang membuatku merasa ini layak dilakukan."

"Shion..."

"Aku berpikir bahwa jika aku mendapatkan kemampuan ini, aku akan menjadi lebih baik dalam berinteraksi, tapi mungkin juga sulit mempercayai orang. Aku akan melihat kebohongan dalam pujian teman perempuan, atau mengetahui niat tersembunyi dari perhatian pria."

Sambil berbicara, Shion dengan cekatan melepas kancing seragamnya, memperlihatkan dada dan bra hitamnya.

"Kamu mungkin punya kebutuhan itu juga, bukan? Biar aku bantu menyalurkannya."

Ekspresi wajahnya yang sangat menggoda dan pemandangan dadanya dari atas hampir membuatku kehilangan kendali.

"Shion..."

"Nggak apa, Sousuke-kun. Kamu ingin di mana?"

Dia menatapku sambil terus bergerak, menunjuk ke tubuhnya.

"Wajah?"

Mataku tertuju pada wajahnya yang manis.

"Mulut?"

Bibirnya yang lembut bergerak.

"Atau dada?"

Aku menyadari kenapa dia membuka kancingnya, dan suaraku tercekat.

"Fufu, reaksimu mengatakannya. Dada, ya. Dengan Chiyu yang imut dan berdada besar di sisimu, wajar kalau kamu suka yang seperti ini."

"Aku sudah nggak tahan lagi!"

"Ayo, Sousuke-kun. Keluarkan semua spermamu~~."

Seperti selang air yang diinjak lalu dilepaskan, semuanya keluar dengan deras.

"Wow... banyak sekali dan juga panas sekali... Tenang saja, keluarkan semuanya sampai habis Sousuke-kun~~."

Dengan suara lembut seperti menenangkan anak kecil, Shion menggerakkan tangannya dengan lembut, seolah ingin memeras hingga tetes terakhir.

Setelah selesai, bahkan tetesan yang menetes dari ujung pun ditangkap oleh tangan dan dadanya.

"Fufu... pakaian dalam hitam ini jadi berwarna putih, ya."

Aku menghembuskan nafas berat, tapi tetap saja berbisik.

"Maaf."

Dada Shion menjadi lengket, dan di celah dadanya terbentuk danau putih keruh.

Pasti rasanya menjijikkan.

"Kenapa? Aku senang kalau kamu merasa nyaman. Kalau dimasukkan ke 'inventori', semuanya bisa bersih lagi, jadi jangan khawatir. Dadaku juga tinggal di lap saja."

Ketika aku melihat wajah Shion, bukannya marah, ia justru menunjukkan semacam rasa puas.

"Sousuke-kun, kamu menyimpan begitu banyak, ya. Aku pernah dengar kalau laki-laki, saat merasa bergairah, hanya bisa memikirkan bagaimana mengeluarkannya. Tapi, kamu menyimpan sebanyak ini, dan tetap bereaksi dengan begitu sopan. Kamu punya pengendalian diri yang luar biasa, dan sangat lembut."

"Kamu terlalu melebih-lebihkan."

Pada akhirnya, aku tetap tergoda.

"Benarkah? Eh, Sousuke-kun, boleh pinjam handuk?"

"Ah, iya, tentu saja."

Aku mengeluarkan handuk dari 'inventori' dan menyerahkannya pada Shion.

Kupikir dia ingin membersihkan dadanya yang kotor, tapi… Dia mulai dengan hati-hati mengelap komtol milikku menggunakan handuk itu.

"Terima kasih atas kerja kerasmu, Sousuke-kun. Terima kasih juga karena sudah merasa nyaman."

Apakah ini karena sifat alaminya, atau karena ia merasa puas bisa membantuku?

Bagaimanapun, senyumnya yang manis saat mengatakan itu membuatku gugup.

"Eh? A-aneh ya, Sousuke-kun. Bukannya komtol akan menjadi kecil setelah mani dikeluarkan?"

Saat sadar, komtol milikku kembali tegak, membuat Shion terkejut.

Setelah itu, ekspresi wajahnya berubah menjadi menggoda, dan dia menatapku.

"Sousuke-kun, aku merasa belum cukup mengembalikan apa yang kamu berikan, jadi kalau boleh, aku ingin membalas lebih banyak lagi... bolehkan?"

Sesaat, aku melirik ke arah gubuk kecil di balik pembatas kayu.

"Tenang saja, kita pasti tahu kalau pintu terbuka."

Dengan handuk di tangannya, Shion perlahan-lahan menggosok komtol milikku sambil berbisik.

"Shion..."

"Apa?"

Dengan pipi berwarna merah muda, Shion memiringkan kepalanya dengan suara lembut.

"B-bisakah kita... melakukannya sekali lagi?"

Saat aku meminta dengan jujur, dia tersenyum bahagia, seperti bunga yang mekar.

"Fufufu, tentu saja. Aku malah ingin meminta itu dari kamu. Sousuke-kun, izinkan aku melayanimu lagi?"

Dia meletakkan handuk di atas lututnya, lalu dengan tangan putihnya, dia kembali menyentuh komtol milikku.

"Kali ini, kamu ingin mengeluarkannya di mana? ...Sousuke-kun, kamu pasti ingin di dadaku lagi, ya."

"Ugh..."

Dan untuk beberapa saat, di bawah langit biru, dikelilingi pembatas kayu, terdengar suara lembut seperti seseorang yang sedang memompa sesuatu.


Berkat beberapa kali dibantu oleh Shion, pinggangku terasa jauh lebih ringan.

Meski sudah selesai dan pikiranku mulai tenang, aku tetap merasa telah melakukan sesuatu yang gila. Bayangkan saja, sehari setelah saling mengkonfirmasi perasaan dengan teman masa kecilku selama sepuluh tahun, aku malah dibantu dengan tangan oleh gadis populer di sekolah.

Dan ini dilakukan dengan seizin teman masa kecilku. Betapa menguntungkannya situasi ini bagiku sampai-sampai aku merasa takut sendiri.

Yah, seperti yang pernah dibicarakan sebelumnya, jika aku hanya dekat dengan Chiyu, mungkin akan timbul ketegangan. Jadi, aku masih bisa memahami pemikirannya tentang harem.

Aku sedang memikirkan hal itu di depan meja kayu kerja.

Shion memutuskan untuk mandi karena tubuhnya terlalu kotor.

Tentu saja, termasuk bra yang sudah kotor, pakaiannya sudah kubersihkan dan disusun kembali.

Di tengah pikiranku yang masih melayang, aku mencoba membuat sesuatu.

Toner dan pelembab.

Katanya cukup dengan air, minyak, gliserin, dan emulsifier. Chiyu sempat berpendapat, "Bukankah gliserin dan emulsifier bisa dibuat dari lemak?"

"...Apa ini soal bayangan dalam pikiranku? Resepnya belum juga terbuka..."

Entah kenapa, untuk benda-benda seperti "pisau" atau "selimut" yang berguna dalam bertahan hidup, resepnya terbuka hanya dengan mengumpulkan bahan-bahannya.

Sedangkan "perapian" baru bisa dibuat lewat gambaran dalam pikiran... mungkin karena api unggun sudah cukup untuk bertahan hidup.

Sepertinya, barang-barang yang masuk dalam kategori "hidup lebih nyaman" butuh gambaran yang jelas untuk bisa dibuat.

"Kuno-kun?"

Setelah suara pintu terbuka, Shijou mengintip dan menemukan aku.

"Ah, Shijou. Kau sudah tidak apa-apa?"

Hari masih siang.

"Ya, kemarin aku menemukan lubang besar di pohon dan sempat tidur di sana."

Kemampuan adaptasinya memang luar biasa, tapi pasti sulit untuk merasa nyaman.

Pasti tidurnya tidak berkualitas.

"Begitu ya. Kalau masih mau tidur, silahkan saja. Shouko dan Chiyu belum kembali dari eksplorasi, Shion sedang mandi, dan tidak banyak yang bisa dilakukan sekarang."

"Oh, pantas aku tidak melihat mereka."

"Tapi ada domba di sini sebagai gantinya."

"Be-benarkah...? Ini, daging yang ditambahkan dari mimpi semalam?"

"Bukan, ini domba yang dipanggil dengan 'kemampuan pemanggilan berbulu' milik Shouko. Tapi karena aturan kemampuannya, dagingnya tidak bisa dimakan."

Karena aku tidak bisa membuat pelembab dan Shion sedang mandi, aku mencukur bulunya. Sekarang tubuh domba itu terlihat lebih kecil.

"Begitu... Ah, wol untuk karpet dan selimut itu... jangan-jangan...?"

"Benar. Sepertinya bulunya bisa diambil. Susunya juga bisa diperah."

"Kemampuan Kanna-san cukup serbaguna ya."

"Kemampuanmu juga. Kau bisa menggunakan empat elemen, bukan cuma satu."

"Be-benar juga. Terima kasih... Aku akan berusaha agar bisa menyerang dengan tepat."

Saat dikejar babi hutan, serangannya memang meleset. Tapi wajar saja sulit bersikap tenang saat dikejar binatang buas.

Percakapan pun terhenti sejenak.

"...Kalau mau, duduklah."

Aku menggeser kursi dari batang kayu ke depannya, dan Shijou pun duduk.

"Kuno-kun, kau sedang mencoba membuat sesuatu?"

"Iya, kok tahu?"

"Wajahmu seperti sedang berpikir."

"Sebenarnya, aku ingin membuat toner dan pelembab."

Mendengar itu, Shijou langsung bereaksi.

"K-kamu bisa membuat kosmetik juga?"

"Kurasa begitu, tapi entah kenapa tidak berhasil."

Aku pun menjelaskan situasinya.

"Ah, jadi kalau bahan atau bayangannya kurang, resepnya tidak terbuka, ya."

"Begitulah."

"Kalau begitu, mari kita perjelas bayangannya. Toner itu pada dasarnya memberikan kelembaban. Sedangkan pelembap, seperti namanya, untuk menjaga kelembaban. Laki-laki pun kadang pakai lip balm, kan?"

"Kalau musim dingin, iya. Bibirku pecah-pecah dan sakit."

"Itu vaseline, tapi sebenarnya tidak mengandung pelembab. Fungsinya hanya membuat lapisan minyak agar air di kulit tidak menguap."

"Hmm. Seperti minyak di permukaan kuah ramen yang menjaga panasnya, ya."

Mengingat itu, aku jadi ingin makan ramen.

"Hehe, benar. Kalau dihubungkan dengan hal yang dekat, jadi lebih mudah dipahami, kan?"

"Jadi, minyak di pelembab itu untuk lapisan minyak, dan airnya untuk kelembaban."

"Tepat. Tapi air dan minyak tidak bisa bercampur, kan? Nah, supaya bisa bercampur dan mudah dioleskan, digunakan emulsifier."

"Hee~. Itu bisa dibuat dari lemak?"

"Ya. Karena mengandung ester asam lemak gliserin, Kuno-kun pasti bisa membuatnya. Dengan memecahnya, akan dihasilkan gliserin."

"Hmm, begitu ya."

Penjelasan Chiyu bahwa kedua produk itu bisa dibuat jika memiliki minyak dan lemak ternyata memang benar.

"Lalu, untuk bagian minyak dari air dan minyak itu... bagaimana kalau kita menggunakan lanolin?"

"La-lanolin?"

"Lanolin adalah zat yang disekresikan dari kelenjar sebaceous domba. Katanya, itu juga menempel pada wol saat dicukur. Aku pernah dengar kalau lanolin juga digunakan untuk membuat pelembab."

"Shijou, kau tahu banyak ya."

"Ini sesuatu yang kugunakan untuk kulitku, jadi aku sering membaca dan mencari tahu tentang bahan-bahannya."

"...Kalau aku kembali ke Bumi, aku juga akan melakukannya."

Hmm... dia memang anak yang serius.

Baiklah, sekarang soal lanolin... Ah, ketemu! Tertulis 'Lilin Domba'. Hmm, kemarin ada ini nggak ya?

Jangan-jangan, Inventori hanya menampilkan item yang sudah aku pahami, bukan semua yang sudah aku dapatkan?

Kalau begitu, alasan aku nggak bisa mendapatkan 'nigari' dari air laut di hari pertama mungkin karena kurangnya bayanganku?

Mungkin kalau aku lebih memahami komposisinya saat itu, hasilnya akan keluar.

Yah, belum terlambat untuk mencobanya nanti. Untuk sekarang, aku fokus dulu ke yang ini.

"Kuno-kun? Maaf, apakah aku terdengar menggurui? Kalau membuatmu tidak nyaman, aku minta maaf."

"Hah? Oh, nggak kok. Aku cuma lagi cek item di Inventori dan cari lanolin."

Mendengar itu, Shijou tampak lega.

"Be-begitu ya. Syukurlah."

"Juga, aku yang dibantu di sini, jadi nggak ada alasan buat marah, kan?"

"Umm... soalnya, aku sering dianggap sombong saat berbicara. Maksudku baik, tapi sering dibilang 'jangan menceramahiku' atau 'kamu meremehkan aku'..."

"Hmm. Cara bicara memang penting, tapi mungkin mereka marah karena nggak bisa membalasmu."

"K-kira-kira begitu ya?"

"Yang jelas aku merasa terbantu. Jadi, ajari aku lebih banyak lagi ya ke depannya."

Ucapan itu membuat wajah Shijou sedikit lebih senang.

"Baik! Serahkan padaku!"

Setelah itu, aku belajar banyak dari Shijou tentang emulsifier dan berbagai istilah lainnya.

Meski agak bingung, intinya pelembab itu mirip seperti mayones.

Kosmetik wanita yang awalnya terasa asing kini terasa lebih dekat.

Setelah beberapa saat berbincang,

"Oh! Berhasil, Shijou! Kedua resepnya sudah terbuka!"

"Benarkah!? Keren, hebat, Kuno-kun!"

Yotsue yang biasanya kalem, kali ini bertepuk tangan dengan Shijou. Sebagai seorang gadis, dia pasti juga peduli pada perawatan kulit.

Toner dibuat dari 'Air Murni' dan 'Gliserin'.

Pelembab dibuat dari kombinasi 'Air Murni', 'Lilin Domba', dan 'Emulsifier'.

Aku langsung membuatnya.

Aku juga membuat wadah kecil berbentuk silinder pendek untuk semua gadis di sini.

Seperti saat membuat botol minum, membuat tutup dan alurnya mudah dengan kemampuan kerajinan.

Aku meletakkan toner dan pelembab di meja.

Melihat itu, Shijou bergetar dan menatapku.

"B-boleh aku menyentuhnya?"

"Tentu. Itu memang untukmu."

"... Bolehkah? Padahal aku sudah banyak menerima bantuan hari ini dan belum membalas apa-apa."

"Haha, bukankah ini hasil kerja sama kita?"

Shijou memeluk wadah itu dengan hati-hati dan tersenyum.

"Terima kasih, Kuno-kun. Aku akan menggunakannya dengan baik."

"Pakai saja sepuasnya. Resepnya sudah terbuka, jadi aku bisa membuatnya kapan pun."

Mendengar itu, Shijou sempat terkejut lalu tersenyum lembut.

"Hmm, aku jadi mengerti kenapa para gadis di sini mempercayaimu."

"Karena aku membuat barang yang berguna?"

"Bukan. Karena kamu memperhatikan agar orang lain tidak merasa terbebani."

Senyuman lembut Shijou berbeda dari wajah tegasnya biasanya.

Aku tanpa sadar terpaku menatapnya. Shijou juga menatapku.

"Sousuke-kun. Maaf, bisa tolong atur ulang handuknya?"

Suara Shion dari kamar mandi membuat kami berdua segera mengalihkan pandangan.

"Pe-pergilah, Kuno-kun."

"Y-ya. Oh iya, Shijou, bagaimana kalau kau coba sekarang? Sekalian cuci muka setelah bangun tidur."

"Baik. Lagi pula, aku baru bangun..."

Sekejap, Shijou menutupi matanya dengan tangan.

"Ini lumayan memalukan...! Aku berbicara denganmu dengan wajah kusut setelah bangun tidur!"

Aku sih tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi perasaan seseorang itu penting.

"Aku nggak merasa kau terlihat kusut, kok."

"S-sekarang aku akan mencobanya!"

Shijou pun berlari, dan aku hanya bisa tertawa kecil sambil mengikutinya.

"Kyaaa—! Shijou-san!?"

Shion berteriak saat Shijou masuk ke kamar mandi.

"Maaf, aku pinjam ember dan air hangat, ya. Aku mau cuci muka dan mencoba toner serta pelembab dari Kuno-kun."

"Apa!? Sudah jadi!?"

Shion tampak kaget. Sepertinya dia tidak mendengar pembicaraan kami tadi.

"Ah, aku sudah siapkan juga untukmu, Shion. Aku taruh di keranjang bersama baju gantinya, ya."

Sambil mengeringkan handuk dengan inventori, aku meletakkan keranjang di dekat penyekat.

Tiba-tiba, Shouko dan Chiyu kembali.

"Panen besar! Keranjangku sampai penuh, jadi aku balik dulu!"

"Tidak ada ayam... semoga di update berikutnya ada."

"Selamat datang. Pas banget, toner dan pelembabnya baru selesai."

"—Apa!?"
"—Serius!?"

Keduanya langsung melompat turun dari Mashiro dan mendarat dengan anggun di depanku.

Gerakan mereka begitu cepat hingga membuatku terkejut.

"Perlihatkan, perlihatkan!"

"Aku tahu Sou-kun pasti bisa melakukannya!"

Begitu aku menyerahkan produk itu kepada mereka berdua, mereka langsung menyingkirkan penyekat dan masuk ke kamar mandi.

"Yatta! Terima kasih, Sousuke! Aku suka banget sama kamu!"

"Sebagai balasannya, akan kami perlihatkan kulit kenyal teman masa kecilmu ini!"

"Kyaa! Kalian berdua juga...!"

Setelah itu terdengar suara riang dari keempat gadis di kamar mandi.

"Kalau mereka sampai sesenang itu, berarti aku memang harus membuatnya."

Aku senang kalau mereka menyukainya.

Aku mendekati keranjang yang ditinggalkan Shouko dan Chiyu dan menyimpannya ke Inventori.

"Kerja bagus, Mashiro."

Aku mengelus kepala Mashiro yang mendekatiku sambil memeriksa item yang dikumpulkan mereka.

Ada jamur, buah-buahan, dan berbagai tanaman lain.

Selain bahan yang bisa diolah jadi minyak, ada juga tanaman yang bisa digunakan sebagai bumbu atau sayuran liar.

Ada juga sulur yang kuat yang baru didapatkan.

Dan penemuan terbesar adalah—‘Rami’.

"Oh!"

Kalau aku ingat, ini bisa jadi linen, kan?

Karena ini serat tumbuhan, artinya dengan kemampuan kerajinan, aku bisa membuat kain!

Sayangnya jumlahnya tidak banyak, jadi setelah membuat satu handuk ukuran wajah, persediaannya hampir habis.

Aku mengeluarkannya dan melihatnya.

Kain putih yang halus, mengingatkanku pada handuk yang dijual di penginapan onsen.

Selama ini, kaos dalam lamaku dipakai terus-menerus sebagai handuk dan disimpan ulang agar bisa digunakan bersama. Tapi kalau bisa membuat handuk lebih banyak, tentu itu lebih baik.

Kalau jumlahnya lebih banyak, aku bahkan bisa membuat pakaian.

Meski Inventori praktis, ia tidak memperbaiki kerusakan. Kalau kainnya terbakar atau rusak, itu tidak akan diperbaiki.

Hmm? Kalau aku membongkarnya lalu membuat ulang, bagaimana?

Bagian yang terbakar akan hilang, tapi itu mungkin.

Ngomong-ngomong, para gadis pernah mengeluh soal seragam yang kebesaran karena ukuran dada, jadi bagaimana kalau aku membongkar dan membuat ulang pakaian mereka? Bisa jadi ukurannya jadi pas, dan aku mendapatkan kain tambahan.

Mungkin aku bisa membuat satu pakaian cadangan untuk jaga-jaga.

Pokoknya, handuk selesai.

"Hei, semuanya! Coba pakai ini untuk mengelap wajah!"

Aku berseru sambil mendekati kamar mandi.

"Hebat! Ini beneran toner dan pelembab! Keren banget, Sousuke—eh, ini udah berapa kali aku bilang begitu!?"

"Bukan cuma kering habis cuci muka, tapi juga karena api unggun. Tapi dengan ini, aku nggak khawatir lagi! Aku nggak bisa jauh-jauh dari Sousuke-kun sekarang!"

"Maaf ya, teman masa kecilku ini memang perhatian banget."

"... Kuno-kun membuatnya dengan sungguh-sungguh, seolah-olah itu untuk dirinya sendiri."

Sepertinya mereka memujiku di luar penglihatanku.

Memang aku senang membuat barang, tapi dipuji begini juga nggak buruk.

"Hei, dari hasil eksplorasi yang diambil Shouko dan Chiyu, aku berhasil membuat handuk!"

Aku berkata agak keras dan menggantungkan handuk di atas penyekat.

"Eh, serius? Chiyu-chi, kita ngambil yang kayak gini ya?"

"Nggak tahu. Aku cuma asal ambil dan pikir biar Sou-kun yang nilai."

Kalau begitu, lokasi pengambilannya nggak jelas... atau mungkin aku bisa mengandalkan penciuman Mashiro.

"Itu dia~."

"Pokoknya, terima kasih. Aku akan memakainya dengan baik."

Sepertinya Chiyu yang mengambil handuk itu.

Beberapa saat kemudian, para gadis keluar dari kamar mandi.

Kalau diperhatikan, kulit mereka terlihat lebih lembab... Dan Shion yang baru keluar dari mandi terlihat sedikit beruap, dengan pipi yang memerah, membuatnya terlihat lebih menarik.

"Sousuke, terima kasih. Aku harap kamu menantikan balasannya nanti."

"Ada barang lain yang kamu butuhkan dari hasil kami? Kami bisa cari lagi nanti!"

"Oh, kalau soal bahan makanan, tolong kabari aku juga. Mungkin bisa dipakai untuk makan malam."

"Kalau mau eksplorasi lagi, aku akan bantu. Katakan saja apa yang dibutuhkan."

Teman-temanku ini, meski aku punya kemampuan curang yang praktis, mereka tidak bergantung sepenuhnya padaku. Mereka selalu memikirkan apa yang bisa mereka lakukan dan menunjukkan rasa terima kasih.

Aku pun merasa bersyukur dan bisa mengandalkan mereka yang punya kemampuan dan kelebihan yang tidak aku miliki.

Kalau nanti ada anggota baru yang bergabung, aku ingin mereka juga bisa menjalin hubungan seperti ini.

Sambil memikirkan hal itu, aku mulai merencanakan kegiatan di sore hari.


Aku duduk kembali di kursi bersama empat gadis yang sangat puas dengan efek pelembab dari toner dan lotion.

Kami mengelilingi meja besar yang dikelilingi kursi kayu.

Untuk sementara, aku menyusun bahan-bahan yang tertandai sebagai "bisa dimakan."

"Ini... akebi, ya?"

Shijou mengambil buah ungu berbentuk agak bulat seperti ubi jalar.

"Sepertinya begitu."

Menurut Inventori, memang begitu. Aku mengangguk, meski aku sendiri kurang familiar. Namun, Shion langsung bereaksi.

"Akebi? Kalau nggak salah, rasanya manis, kan?"

Mendengar kata "manis," Shouko dan Chiyu pun matanya berbinar.

"Benar. Sepertinya sudah matang, tapi bukannya ini buah musim gugur?"

Di Jepang, tempat kami berasal, sekarang adalah musim semi. Tapi, ya, tidak ada gunanya dipikirkan lebih lanjut.

"Sudahlah, ayo kita coba!"

"Baiklah, aku akan membaginya."

Di permukaan buah itu ada garis-garis, dan Shion mengirisnya mengikuti garis itu dengan pisau batu, lalu membaginya kepada semua orang. Buah itu dibelah dua, dan kulitnya dijadikan piring alami.

"Ini seperti jelly dengan biji-biji kecil di dalamnya?"

Aku juga membagikan sendok kayu, dan Chiyu menyendok daging buahnya.

"Oh iya, hati-hati ya, bijinya pahit."

Katanya, kulit akebi bisa digunakan seperti paprika isi, dan bijinya bisa diolah menjadi minyak goreng. Mendengar itu, Shion terlihat tertarik, lalu kami semua mencicipinya.

"Wah, manis juga!"

"Lezat dan lembut banget!"

"Ada rasa segar di akhirnya."

"Aku kangen buah dan manisan, jadi senang banget bisa makan yang manis di pulau ini."

"Benar... rasanya menenangkan."

Sepertinya semua menyukainya.

"Sousuke-kun, kalau yang ini apa?"

Shion mengambil buah kecil berwarna merah.

"Itu kayaknya sanshou (lada Jepang)."

"Lada!? Wah, bumbu dapur, ya!"

"Dengan kemampuanmu, mungkin kamu bisa membuat bubuk lada dari kulitnya."

Aku jadi teringat bumbu yang sering ada di cabai kasar. Kalau bisa diolah, tentu bisa dipakai untuk variasi rasa. Meskipun baru hari kedua, makan dengan satu rasa seperti garam atau kaldu saja bisa cepat membosankan, jadi menambah variasi rasa akan sangat membantu.

Sambil terus mengobrol, akebi pun habis dimakan.

Karena kulit dan bijinya bisa dimanfaatkan, aku menyimpannya di Inventori.

"Baru kepikiran, tapi rasanya aneh juga ya, biji yang kita keluarkan dari mulut dimasukkan ke Inventori."

Wajah Shouko sedikit memerah.

"Sudah telanjur juga toh. Lagipula, kita bahkan sudah menyerahkan pakaian dalam yang baru dilepas ke Sou-kun."

"Chiyu, jangan ngomong gitu, aku jadi makin sadar!"

"Iyama-san dan Kuno-kun menggunakan kemampuannya untuk membersihkan pakaian kita, jadi tidak baik kalau memberi makna yang... begitu."

"Ahaha, santai saja, Shijou-san. Buat Chiyu dan Sousuke, itu cuma candaan biasa kok."

Aku memang sempat terkejut, tapi sudah terbiasa dengan candaan cabulnya Chiyu.

"A-apakah... begitu? Hmm, memang ada pepatah 'di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.' Ini bukan sekolah, jadi aku harus menyesuaikan diri. Jadi, kalau aku mulai menggunakan ekspresi yang cabul, aku akan lebih mudah berbaur...? T-tapi, itu kan..."

"Shijou, kamu terlalu serius mikirnya."

Aku hanya bisa tertawa kecil.

"Belajar itu penting. Kalau begitu, biar aku ajari ekspresi cabul yang disukai Sou-kun!"

"...! B-baiklah. Aku serahkan padamu, Iyama-san."

Shijou menelan ludah, bertekad bulat.

"Eh, eh, kalian berdua ngomong apa sih!"

Aku mulai curiga, Chiyu pasti sudah membocorkan selera pribadiku ke Shion.

Dari tadi rasanya mereka sering mengucapkan kata-kata yang pas banget buatku.

...Tapi ya sudahlah, aku nggak bisa marah soal itu.

"Sousuke, nggak sadar ya? Kamu makin populer..."

Shouko tersenyum, tapi ada sedikit nada kesepian di suaranya.

"Sousuke-kun, sore ini tetap lanjut eksplorasi? Aku nggak apa-apa kok kalau jaga gubuk lagi. Aku ingin memikirkan menu makan malam."

"Oh, tentu saja. Urusan makan itu penting, jadi aku sangat mengandalkanmu."

"Baik, serahkan padaku!"

Shion menjawab dengan semangat.

"Kalau begitu, aku dan Chiyu yang eksplorasi lagi, ya?"

Berkat kemampuan bergerak Mashiro, kami bisa menjelajahi area yang lebih luas.

Bahkan, di antara barang yang kami kumpulkan kali ini, banyak yang belum pernah kami lihat kemarin.

"Aku akan ambil lebih banyak akebi. Oh iya, soal handuk tadi, Sousuke."

"Oh, ya, itu 'rami'. Aku akan keluarkan sisanya, bisa nggak Mashiro cari tempat tumbuhnya tanaman itu?"

Aku mengarahkan pertanyaan itu pada Shouko.

"Tentu saja bisa! Hidung Mashiro itu luar biasa!"

"Benar-benar sangat membantu."

"Eh-hehe~"

Mashiro juga yang menemukan babi hutan sebelumnya.

Kain dari rami bisa digunakan bukan hanya untuk handuk, tapi juga untuk pakaian dan sprei.

Karena teksturnya halus, biasanya dipakai untuk pakaian musim panas. Jadi, siang hari bisa pakai baju dari kain rami, dan saat dingin bisa pakai baju wol.

"Aku juga bawa banyak barang, lho."

Chiyu menggembungkan pipinya tanpa ekspresi. Memang lucu, tapi membiarkannya ngambek terus bukan hal yang baik.

"Aku tahu kok. Lagi pula, kalau Chiyu ikut, aku yakin semuanya bisa pulang dengan selamat."

"Ya. Aku tidak akan membiarkan temanku mati."

Chiyu berkata seperti tokoh utama di manga shounen, dengan suara datar.

Tapi sepertinya suasana hatinya sudah membaik, terdengar suara nafasnya.

"Mufuu~."

Lalu, ada satu orang lagi. Shijou terlihat gelisah sambil melirikku.

"Kuno-kun. Sepertinya kamu adalah pemimpin kelompok ini, jadi... j-jika ada sesuatu yang bisa kulakukan, tolong beri aku perintah..."

Wajahnya terlihat cemas, seperti takut mendengar bahwa dirinya tidak memiliki peran.

"Shijou, aku ingin kamu tetap bersama aku dan Shion. Kalau terjadi sesuatu, lindungi kami."

"Lindungin, ya. Baiklah, serahkan padaku!"

"Aku juga mau minta satu hal lagi padamu."

"Y-yang cabul?"

"Bukan!!"

Saat aku membantah, Shijou malah terlihat senang.

Lalu dia menoleh ke arah Chiyu. Chiyu mengangguk seperti guru yang puas, seakan berkata, "Bagus, teruskan."

Biasanya Chiyu memang suka menggoda dan menunggu aku membalas, tapi sekarang sepertinya kebiasaannya mulai menular ke cewek lain.

Aku jadi khawatir, meskipun jujur saja aku tidak keberatan.

"Pokoknya, aku ingin kamu menggunakan sihirmu, tapi jangan terlalu jauh dari Shion."

"Latihan, ya? Itu sudah sewajarnya."

"Itu juga, tapi aku ingin kamu menggunakan sihir anginmu."

"Angin pemotong, ya?"

"Iya, coba gunakan untuk menebang pohon. Bisa nggak?"

Sihir elemen milik Shijou memang hebat untuk serangan.

Tapi sihir air dan apinya cepat hilang setelah digunakan, jadi tidak bisa dipakai untuk kayu bakar atau air minum.

Tapi bukan berarti sihirnya hanya untuk bertarung.

"Menebang pohon?"

Shijou terlihat kebingungan.

"Iya. Sihirmu nggak harus dipakai ke makhluk hidup saja, kan?"

"Y-ya, benar juga."

"Agar aku bisa menyimpan material di Inventori, benda itu harus terpisah dari tanah. Kalau air laut atau pasir, harus dimasukkan ke wadah dulu. Kalau kayu—..."

"Ah, aku mengerti. Kalau masih tertanam di tanah, nggak bisa disimpan, ya? Jadi kalau kutebang dengan sihir, bisa jadi kayu siap pakai."

"Betul!"

Aku baru sadar belum menjelaskan hal itu.

"Tentu saja aku akan melakukannya. Aku senang kalau sihirku bisa bermanfaat."

Sepertinya dia masih kesal karena sihirnya gagal mengenai babi hutan.

Lalu, kami mulai bergerak.

Atas permintaan Chiyu dan Shouko, aku membuat keranjang besar dari anyaman sulur.

Keranjang itu kugantungkan di tubuh Mashiro.

Karena aku tidak ikut, jumlah barang yang bisa diambil memang terbatas. Tapi dengan kekuatan Mashiro, kami bisa membawa lebih banyak.

"Oke, kami berangkat dulu ya!"

"Aku akan jadi ratu pengumpul bahan!"

Mereka berdua pergi meninggalkan base bersama Mashiro.

"Shion, aku ada di dekat sini. Kalau ada apa-apa, teriak saja."

"Iya, hati-hati ya."

Shion yang rambutnya diikat melambaikan tangan.

"Aku kasih tombak ini, ya."

Shion menerimanya sambil tersenyum kaku.

"Sampai Sousuke-kun dan Shijou datang, aku akan bertahan sebisa mungkin."

"Cukup pegang saja, itu sudah bisa buat jaga-jaga, Shion."

"Iya, makasih."

Aku dan Shijou keluar dari pagar.

Pagar ini jarang digunakan karena kami terlalu mengandalkan Mashiro.

"Oh iya, Shijou."

"Ada apa?"

"Waktu kamu pakai tongkat buat sihir, itu tongkat khusus, ya?"

"Tidak, itu cuma ranting kayu yang kutemukan. Awalnya aku kesulitan mengarahkan sihir, jadi aku coba tunjukkan target pakai tongkat, dan itu membantu."

"Kalau begitu, bagaimana kalau pakai ini?"

Aku menggunakan kemampuan kerajinan untuk membuat tongkat sihir yang lebih baik.

Aku menciptakan sebuah tongkat berwarna gelap yang meruncing ke ujungnya.

Setelah selesai, aku menyerahkannya pada Shijou.

"…………"

"Kalau mau dipakai, aku pikir tongkat yang keren kayak gini bisa bikin semangat, gimana?"

"A-apa aku boleh menerimanya…?"

"Tentu saja. Aku pilih kayu biar ringan dan gampang dipakai, tapi kalau mau dari batu atau bahan lain, tinggal bilang aja."

"Tidak, aku akan pakai ini. Dan juga ini dibuat Kuno-kun khusus untukku."

"O-oh, begitu ya…"

Rasanya agak canggung saat dia bilang itu dengan suara senang.

"Makasih. Mungkin aku nggak cocok pakai ini, tapi aku memang selalu ingin punya tongkat seperti ini."

"Aku ngerti kok. Aku juga pikir jubah penyihir itu keren banget."

"Hehe, iya kan? Waktu kecil aku juga pengen pakai topi penyihir."

Kalau ngobrol begini, dia kelihatan seperti gadis biasa.

Yah, anak yang serius di sekolah juga pasti punya hobi macam-macam.

"Baiklah, di sini saja, ya."

Jaraknya cukup dekat supaya suara Shion terdengar kalau dia teriak, dan cukup jauh agar pohon yang tumbang nggak mengganggu markas.

"Mau tebang pohon yang mana?"

"Bebas. Oh, tapi pilih yang kalau tumbang nggak bakal ke arah kita."

"Baiklah. K-kalau begitu, aku mulai, ya."

Shijou mengangkat tongkat barunya dan menarik nafas dalam-dalam.

"Pisau Angin!"

Rambutnya terangkat pelan, lalu terdengar suara angin tajam menyayat udara.

Sesaat kemudian, suara keras terdengar dari arah pohon di kejauhan. Saat kulihat, pohon itu mulai miring dan perlahan tumbang.

"Berhasil! Aku kena! Kuno-kun lihat kan!?"

Shijou melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil.

Roknya yang lebih panjang dibandingkan yang lain pun ikut berayun pelan.

"Aku lihat kok. Keren juga!"

Karena dia terlalu senang, aku iseng mengangkat tangan buat tos.

Biasanya dia yang pendiam pasti bakal ragu, tapi…

"Iya!"

Dia menepuk tanganku dengan ringan. Sepertinya dia benar-benar senang.

"Daripada langsung bidik target bergerak, latihan dulu ke benda diam itu lebih baik."

"Benar! Aku boleh tebang satu lagi?"

"Asal jangan sampai jadi perusak hutan."

"Aku mau tebang yang itu, ya!"

Tongkat Shijou mengarah ke pohon yang agak dekat.

…Dekat?

"Tunggu, Shijou! Itu terlalu deka—"

"Pisau angin!"

Sihirnya meluncur, memotong pohon. Tapi sudutnya buruk.
Pohon itu miring ke arah kami dan mulai tumbang.

Karena jaraknya terlalu dekat, kami bisa tertimpa.

"A—"

"Shijou!"

Aku segera berdiri di depannya dan spontan mengaktifkan inventori.

Sesaat sebelum pohon itu menyentuh kami, pohon tersebut tersimpan di Inventori.

Daun-daunnya yang lepas dari ranting berjatuhan di sekitar kami.

Meski selamat, jantungku masih berdebar kencang.

"A-a-aku… maaf banget—"

"Haaah… Shijou, kamu nggak apa-apa?"

Aku menoleh untuk memastikan keadaannya.

"I-iya. Aku baik-baik saja. Kuno-kun sendiri gimana?"

"Aku juga aman."

Shijou menunduk dengan wajah pucat.

"Maaf. Aku terlalu bersemangat dan malah nyusahin. Padahal udah dibilang hati-hati soal jarak…"

"Ya sudah, yang penting kita selamat. Sekarang, ayo tebang beberapa pohon lagi."

"…Iya. Aku akan lebih hati-hati, nggak akan mengulanginya."

"Aku masih bakal mengandalkan sihirmu, jadi jangan jadi takut karena ini, ya."

Aku mencoba berbicara dengan santai agar kejadian ini nggak jadi trauma buatnya.

"Iya."

Memang ada orang yang perlu ditegur keras, tapi ada juga yang tahu kesalahannya dan memperbaikinya sendiri. Shijou termasuk tipe yang kedua.

Seperti yang kuduga, setelah itu dia bisa menggunakan sihir dengan tenang dan tepat.

Kami berhasil mengumpulkan cukup kayu, mungkin cukup untuk membangun rumah kecil.

"Baik, kita kembali sekarang."

"Oke."

Kami pun berjalan kembali ke markas.

"U-um, Kuno-kun."

"Hmm?"

"Tadi aku belum sempat bilang… terima kasih sudah menyelamatkanku."

"Haha, nggak apa-apa kok."

"Kuno-kun tadi langsung maju dan melindungiku, ya…"

Apa ini hanya perasaanku, atau suara Shijou terdengar sedikit semangat?

"Padahal nggak terlalu berarti juga sih."

"Tidak, sama sekali tidak… itu tidak benar."

Dengan suasana yang agak canggung, kami kembali ke gubuk.

"Selamat datang! Suara pohon tumbang terdengar banyak sekali, lho."

Shion menyambut kami dengan senyuman.

"Ah, kami bawa banyak kayu."

"Kalau begitu, mungkin malam ini terakhir kalinya kita tidur bareng-bareng."

Mendengar ucapan Shion, Shijou langsung membeku.

"A-apa itu barusan…?"

"Tentu saja aku tidur di pojok dan sebelahku Chiyu, jadi nggak ada yang aneh—"

"Tidur bareng tiga gadis… i-itu cabul sekali…!"

Ah, Shijou sudah kembali ke sikap biasanya.

"Hehe. Oh iya, aku belum sempat bahas ini sama Shijou. Kalau mereka berdua sudah balik, kita harus adakan rapat rahasia perempuan!"

Shion bergumam sesuatu.

Sepertinya ini pasti soal urusan harem lagi. Entah Shijou bakal terima atau tidak.

"Y-ya sudah, ayo kita mulai bangun rumah. Kayu yang ditebang Shijou bakal jadi markas baru kita."

"…Be-betul. Tapi pastikan ada kamar terpisah untuk laki-laki dan perempuan."

"Tentu saja."

Walaupun begitu, Chiyu mungkin akan tetap masuk ke kamarku seenaknya.

"Baiklah, kira-kira rumahnya mau seperti apa…"

"Akan lebih baik kalau ada tempat khusus untuk menyimpan barang, biar nggak harus manggil Sousuke-kun terus tiap butuh sesuatu."

Sambil menyiapkan masakan, Shion memberi saran.

"Benar juga. Kalau ada penyusup, terus aku harus lari dulu buat ngeluarin senjata, itu ribet. Mungkin lebih baik kita buat gudang senjata sejak awal."

"Hehe, aku tadinya membayangkan lemari penyimpanan atau ruang baju, tapi itu ide bagus juga."

Shion tersenyum kecil.

"Kalau dipikir-pikir, kalau nanti ada anggota baru… mungkin rumahnya harus agak luas, ya?"

"Kuno-kun, kamu bisa bikin rumah dua lantai nggak?"

"Ah, seharusnya bisa sih."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kamar tidur di lantai dua, dan lantai satu untuk ruang tamu dan dapur?"

"Seperti rumah biasa, ya? Kalau begitu, kita tambahkan pintu yang langsung menuju kamar mandi, jadi gampang ke sana."

"Benar. Dan kamar mandinya harus ada atapnya supaya tetap bisa dipakai meski hujan."

"Hmm, kalau bahan bakunya cukup, jadi banyak hal yang pengen dibuat."

"Karena yang membuat tetap kamu, prioritaskan saja apa yang kamu inginkan."

"Nggak, sebaiknya kita diskusikan ini bareng yang lain. Sementara ini, aku dan Shijou bakal bahas bagian dasarnya dulu."

Mendengar itu, Shijou tersenyum lembut.

"Baiklah, mari kita lakukan itu."

Dengan bantuan Shijou, kami dengan cepat menyusun dasar denah rumah.

Setelah itu, kami membantu Shion memasak.

"Kalau begitu, kalian berdua tolong potong daging untuk barbeque, ya."

Crafting tidak bisa digunakan untuk memasak, jadi daging hanya bisa dipotong sampai tahap pemotongan.

Untuk potongan lebih kecil, harus dipotong manual.

Aku dan Shijou mulai memotong daging iga.

"Ngomong-ngomong, Shijou-san, kulit akebi bisa dipakai kayak isian paprika, kan?"

"Iya."

"Tadi aku coba gigit, pahit banget. Kalau direbus dulu baru dipakai, aman kan?"

"Benar, itu cara yang tepat."

"Baiklah. Ah, Kuno-kun, pinjam satu pisau lagi, ya?"

"Ah, tentu."

Shion memotong daging cincang dengan dua pisau batu sekaligus.

Dia juga memotong jamur kecil-kecil.

Lalu, jamur yang sudah dicincang dimasukkan ke wadah, diberi garam, diaduk, dan diisi ke kulit akebi.

"Nanti, begitu mereka pulang, tinggal kita goreng deh."

"Bagus juga. Gorengan pasti enak deh, dan teksturnya beda sama makan daging atau jamur biasa."

"Senang mendengarnya!"

"…Kalau diingat ada barbeque juga, kalorinya lumayan tinggi ya."

"Nggak apa-apa, kan ini acara penyambutan Shijou-san."

"Acara penyambutan… ya. Terima kasih atas jamuannya."

Shijou tampak malu.

"Ngomong-ngomong soal kalori, rasanya banyak banget yang pengen kita punya seprtysayur, beras, bumbu…"

"Iya. Baru terasa ya, betapa nyamannya hidup di Jepang. Aku pengin roti tawar, telur, sama saus tomat. Terus, bacon juga…"

"Aku pengen minum coklat panas…"

Kami bertiga terdiam sejenak, mengenang kehidupan di Jepang.

"Kalau papan tulis misterius itu muncul lagi di mimpi malam ini, mungkin bakal ada pilihan tambahan lewat voting."

"Benar juga. Lagipula, kita bisa ngobrol soal ingin makan apa, bukan bisa makan apa. Itu tandanya kita cukup beruntung."

"Aku juga pikir begitu. Kalau saja aku nggak dibantu kalian, mungkin aku sudah pingsan di jalan sambil membawa sihir yang nggak bisa kugunakan dengan benar."

"Hehe, kalau kamu bilang begitu, kemampuanku malah lebih payah lagi."

Sambil tetap bekerja, kami bertiga mengobrol dengan santai.

"Kamu pulang~~!"

"Sang Ratu telah kembali."

Shouko dan Chiyu kembali bersama Mashiro.

"Selamat datang, Shouko-chan, Chiyu-chan, Mashiro-kun. Boleh aku mulai masak makan malam sekarang?"

"Hidup dengan Shii-chan yang jadi istri di rumah itu enak juga, ya!"

"Istri siapa? Kalau istrinya Sou-kun, maaf ya, posisi istri pertama nggak bisa diganggu gugat."

"I-i-is-istri!? Iyama-san, buru-buru banget sih!"

Begitu jadi berlima, suasananya langsung ramai.

"Oke, ayo kita makan malam!"

"Hari ini kita ada daging babi hutan panggang, akebi isi daging, dan sup jamur serta sayuran."

"Wah! Baru hari kedua, makanan kita udah mewah banget!"

"Habis makan, kita mulai bangun rumah baru. Rencananya dua lantai."

"Minorin, kamu tebang banyak pohon ya. Tadinya Mashiro mau bantu juga."

Shouko bicara dengan nada kagum, tapi Shijou memasang wajah masam, mungkin mengingat kegagalannya hari ini.

"Soal kandang Fenrir juga belum kelar, nanti kita pikirkan lagi."

"Kamarku di sebelahnya Sou-kun."

"Kalau gitu, aku di sebelah satunya lagi, deh."

"Eh!? Ini sistem siapa cepat dia dapat ya!?"

Ucapan Chiyu dan Shion membuat Shouko panik.

"A-apa sih kalian ini…"

Shijou terlihat bingung.

"Eh, teman-teman, gimana kalau nanti kita ajak Shijou-san ikut rapat juga?"

"Hmm. Demi kelancaran kelompok, ya mau nggak mau lah."

"Mi-Minorin pasti marah, nih…"

Shouko yang mengatakan itu, entah kenapa wajahnya menjadi merah malu.

Ini soal rapat rahasia antar cewek.

Gara-gara itu juga, Shion dan aku jadi seperti yang terjadi di kamar mandi tadi…

Bagaimana kalau Shouko dan Shijou juga begitu…? Memikirkannya saja bikin tubuhku panas.

Aku buru-buru menggelengkan kepala biar nggak kebanyakan pikiran kotor dan mulai membuat batu lempeng untuk barbeque.


"Serangan—!"

"Tidak akan kubiarkan!"

Sumpit Shouko mengarah tepat ke satu titik, meluncur cepat seperti tusukan.

Namun, sebelum mencapai target, sumpit lain muncul dari samping dan mencuri buruannya.

"A—apa!? Chiyu-chi!?"

"Masih kurang cepat, Shouko-chan."

Chiyu memasukkan hasil buruannya ke mulut sambil menatap Shouko yang kalah.

"Hmph, aku nggak akan kalah lagi!"

"Silahkan coba seberapa sering pun."

Oh iya, ini soal barbeque.

Kami menaruh tungku kecil di tanah dan meletakkan lempengan batu bundar di atasnya untuk memanggang daging.

Kalau ngomongin barbeque, biasanya pakai saus, tapi karena nggak ada, kami cuma pakai garam.

Rasanya luar biasa.

Daging dan lemaknya meledak di mulut, menciptakan sensasi rasa yang menampar otak.

Sebagai anak SMA laki-laki, rasanya pengen makan bareng nasi putih.

"Mm, akebi isi dagingnya juga enak. Yomiumi-san, kamu jago masak, ya."

"Makasih, Shijou-san. Ah, boleh aku panggil kamu Minori-chan…?"


"T-tentu saja aku nggak keberatan."

"Syukurlah. Kalau begitu, panggil aku Shion saja, ya."

"Ba-baiklah. Sh-Shion-san…"

Shijou terlihat sangat senang.

"Minorin malu-malu, nih~! Aku juga mau dipanggil tanpa embel-embel san juga!"

"Minorin aku juga, cukup panggil Chiyu, ya."

"Kalau begitu, panggil aku Sousuke saja. Sekali lagi, senang berkenalan denganmu, Minori."

Ngomong-ngomong, saat ini kami berkumpul di sekitar api unggun yang dibuat dengan meletakkan keranjang batu di atas dudukan kayu sebagai penerangan.

Karena cahaya api unggun, wajah Shijou terlihat memerah.

"S-salam kenal juga. Shouko-san, Chiyu-san... S-s-so... Kuno-kun."

"Hah? Cuma aku yang tetap formal…?"

"Hehe, itu namanya hati seorang gadis, Sousuke-kun."

Shion tertawa geli.

Yah, aku juga kemarin sempat canggung saat mulai memanggil Shouko dan Shion dengan nama depan.

Aku paham rasanya canggung saat berhadapan dengan lawan jenis.

"Haaah~ Masakan Shii-chan memang terbaik! Daging isiannya enak banget, perpaduan rasa daging dan tekstur jamurnya pas, supnya juga rasanya enak banget."

"Hmm. Memang dia koki andalan kita."

"Ahaha, aku senang kalian suka. Aku akan terus berkontribusi lewat makanan, ya!"

Sambil menikmati makan malam, kami juga membahas tentang rumah baru.

Aku dan Minori sebelumnya sudah memikirkan denah dasarnya, jadi aku mulai menjelaskan.

"Ruang tamunya keren! Meski punya kamar masing-masing, pasti tetap ingin kumpul buat makan dan ngobrol."

"Aku senang kalau dapurnya di dalam ruangan. Soalnya, angin di luar kadang bawa debu, kan. Makanan nggak enak kalau kena pasir."

Karena saran dari Shion, kami sepakat untuk menaruh dua tungku api di dapur.

Karena berada di dalam ruangan, sebaiknya kami membuat lubang asap juga.

"Karena orangnya makin banyak, gimana kalau sekalian ganti kamar mandi? Yang besar kayak pemandian air panas, gitu."

"Itu sih repot banget buat manasin airnya. Bukan nggak mungkin sih, tapi…"

Mendengar ucapanku, Minori mengangkat tangan.

"Ngomong-ngomong soal itu, aku mau coba sesuatu."

"Oh? Apa tuh?"

"Waktu aku nggak sengaja mengarahkan bola api ke pohon, apinya cepat padam, jadi pohonnya nggak terbakar. Tapi… bekas gosongnya tetap ada."

"Maksudmu apa?"

Shouko kebingungan.

"Jadi, apinya memang hilang, tapi panasnya tetap ada?"

Minori mengangguk mendengar analisaku.

"Iya. Kalau aku sendirian mungkin nggak ada gunanya, tapi kalau digabung sama kekuatan Kuno-kun…"

"Itu ide bagus! Jadi, pertama kita isi air ke bak mandi, terus kamu tembak bola api ke situ biar langsung mendidih. Suhunya tinggal disesuaikan dengan nambahin air dingin. Jadi, kita bisa bikin air panas banyak dengan gampang!"

"Betul. Tapi, karena bahaya kalau di dalam ruangan, aku dan Kuno-kun harus melakukannya di luar."

"Kalau airnya bisa panas dalam sekejap, nggak masalah. Lagipula, 'Inventoru'ku nggak terpengaruh waktu, jadi aku bisa stok banyak air panas saat senggang dan tinggal tuang ke bak mandi tiap hari."

"Oh iya, itu lebih praktis. Jadi nggak perlu keluar tiap kali, dan meskipun hujan, kita nggak perlu basah-basahan buat panasin air."

Bisa mandi setiap hari tanpa repot, sama seperti di Bumi, itu menyenangkan.

"Seperti biasa, kamu memang hebat ya, Sou-kun."

"Dan juga, seperti biasa, kamu hebat juga, Minori-chan."

Chiyu melontarkan kalimat khasnya, diikuti oleh Shion.

"Jadi, kita semua bisa mandi bareng, dong? Asik juga!"

Shouko tampaknya paham ide itu dan terlihat senang.

Lanjut ke pembahasan denah rumah, ada usulan untuk menambahkan kursi dan meja di ruang ganti yang terhubung dengan kamar mandi.

Mirip seperti di pemandian umum atau penginapan, di mana ada tempat untuk duduk sambil mengeringkan rambut.

Mungkin para gadis juga ingin melakukan perawatan kulit.

Seharusnya aku menyediakan cermin di sana, tapi sayangnya aku sekarang belum bisa membuatnya.

Permintaan kecil-kecil memang muncul, tapi pembicaraan berjalan lancar tanpa ada perselisihan.

Namun, begitu pembahasan beralih ke lantai dua, tepatnya soal kamar tidur bersama, suasana di antara para perempuan langsung menegang.

"Aku nggak mau mengalah untuk tidur di sebelah Sou-kun."

"Aku juga, kalau bisa, ingin di sebelah Sousuke-kun."

"Ugh, a-aku juga mau, kok!"

"Aku sih... nggak terlalu masalah. Tapi, demi memastikan nggak ada hal-hal yang cabul terjadi, lebih baik kamarku dekat kamar Kuno-kun..."

Chiyu langsung berdiri dan berkata,

"Kita putuskan lewat mandi."

Mendengar itu, tiga orang lainnya mengangguk setuju.

"…Kalau begitu, ya sudah, aku panasin air mandinya dulu. Sambil kalian mandi, aku akan membuat rumah barunya."

Kebetulan aku memang ingin membuat kejutan dengan menata furnitur agar suasananya lebih terasa nyaman.

Jadi, kali ini biar mereka mandi di luar ruangan. Dengan 'Kemampuan Kerajinan', aku membuat sebuah bak mandi besar dari batu.

"Wow~! Ukurannya kayak pemandian air panas!"

Shouko terlihat terpukau hanya dengan melihat baknya. Aku mengisi bak itu dengan air.

"Kalau airnya muncrat, bisa berbahaya. Jadi, semua mundur dulu. Minori, tolong ya."

"Baik, serahkan padaku—Fireball!"

Tongkat Minori mengarah ke bak mandi, lalu bola api muncul dan meluncur ke target.

Bersamaan dengan suara air mendidih yang keras, uap tebal membumbung ke udara.

Saat uap itu menghilang, yang tersisa hanyalah bak mandi yang mengepulkan uap hangat.

Aku coba celupkan jari sedikit—panas!

Aku menambahkan air lagi dari inventori untuk menyesuaikan suhu.

Supaya lebih mudah diatur, aku juga menyiapkan tong besar berisi air dingin lengkap dengan penyangganya.

Setelah itu, tinggal mengelilinginya dengan sekat, dan selesai.

"Eh!? Udah selesai pemandian air panasnya!? Cepet banget!"

"Langsung jadi sesuai bayangan. Seperti biasa, kamu hebat, Sou-kun."

"Membuat hidup jadi lebih nyaman dengan sihir. Seperti biasa, kamu hebat, Minori-chan."

Chiyu dan Shion kembali memuji aku dan Minori.

"Kalau begitu, nikmatilah mandinya."

"Karena ini berkat kekuatan Kuno-kun, bagaimana kalau kamu yang mandi duluan?"

Mendengar saran Minori, yang lain mengangguk setuju.

"Nggak dulu deh, aku harus selesaikan dulu pembuatan rumahnya biar cepat kelar."

Minori tampaknya memahami alasanku.

"Gak apa-apa, Minorin. Air bekas mandi empat gadis cantik ini sudah jadi hadiah terbaik untuk Sou-kun."

"Jangan ngajarin hal aneh ke Minori yang polos begitu!"

Setelah menegur teman masa kecilku, aku berjalan menuju gubuk.

Sementara itu, para perempuan bersorak-sorai masuk ke balik sekat.

"Walau cuma semalam, terima kasih, ya."

Tempat ini menyimpan kenangan berharga saat hubunganku dengan Chiyu berkembang, jadi aku memutuskan untuk tidak membongkarnya.

Aku menyimpannya ke dalam 'Inventori', membuat lahan jadi kosong.

Kemudian, aku mulai membangun markas baru—rumah kami.

Aku membuat rumah dua lantai. Namun, untuk penempatannya, aku menunggu sebentar.

Sebenarnya, aku sudah meminta Mashiro yang baru pulang untuk meratakan tanah di sekitar sini.

Dengan tubuh besar Fenrir, meratakan tanah bukan hal sulit.

Bahkan saat kami makan, dia tetap bekerja.

Area bekas gubuk sudah kosong, dan Mashiro masih menginjak-injak tanah sebagai sentuhan terakhir.

"Terima kasih, Mashiro. Kalau ada yang bisa kuberikan sebagai balasan…"

Tiba-tiba Mashiro melirik ke arah tempat mandi.

Dia menatapku dengan penuh harap.

Aku menghela nafas panjang. Aku tahu apa yang diinginkannya.

"Aku cuma coba tanya, ya."

Mashiro mengangguk-angguk senang.

"Hei, semuanya...! Mashiro kayaknya agak kotor, bisa tolong dimandikan?"

"Tentu! Mashiro udah kerja keras hari ini, biar aku yang mandiin!"

"Kalau begitu, aku juga mau bantu. Dia udah banyak berjasa."

"Aku juga nggak keberatan."

"Benar juga. Mashiro kan teman kita."

"...Katanya begitu."

Mashiro mengeluarkan suara senang, menjilat wajahku, lalu melompat ke arah pemandian.

Seekor Fenrir jantan yang ingin mandi bareng cewek… gimana, ya…

Yah, kalau dia mau bekerja sama dan para perempuan mengizinkannya, tidak masalah.

"Baiklah."

Sebelum menempatkan rumah, aku harus memastikan pondasinya dulu.

Ada beberapa tantangan dalam mengadopsi metode ini.

Rumah lengkap dengan fondasinya bisa dibuat menggunakan "Kemampuan Kerajinan". Namun, fondasi pada dasarnya tertanam di tanah. Karena "terhubung dengan bumi", rumah tersebut tidak bisa disimpan ke dalam "Inventori".

Jika terjadi keadaan darurat, aku hanya bisa meninggalkan rumah dan melarikan diri. Aku tidak ingin kehilangan fleksibilitas, jadi aku memikirkan solusinya, dan Shijou memberikan ide.

Ada metode yang disebut ishibadate (membangun di atas batu). Singkatnya, ini adalah menempatkan batu-batu di lokasi tertentu, lalu meletakkan pilar bangunan di atasnya. Setelah mendengar penjelasan itu, aku samar-samar mengingat bahwa aku pernah melihatnya di anime atau rumah tradisional tua. Tentunya, ada mekanisme untuk mencegah pilar bergeser, tapi itu sudah ditangani oleh "Kemampuan Kerajinan".

Batu yang digunakan untuk fondasi juga dibuat, jadi bentuk dan ukurannya bisa disesuaikan sesuka hati. Aku menentukan lokasi penempatan—dan akhirnya menempatkannya.

Dalam sekejap, rumah kayu dua lantai muncul, seolah-olah sudah ada di sana sejak awal.

"Baiklah...!"

Punya rumah sendiri adalah impian saat sudah dewasa, tetapi aku tidak pernah menyangka bisa mendapatkan rumah setelah terdampar di pulau tak berpenghuni ini.

Aku membuat lilin dari minyak nabati, juga tempat lilin berbahan batu dengan pegangan, lalu menyalakan api dari perapian. Aku kembali ke rumah, membuka pintu, dan masuk ke dalam.

Pintu berengsel juga dibuat dari kayu dan batu, sehingga menjadi pintu ayun. Di dalamnya ada pintu masuk yang cukup luas. Tidak seperti saat masih tinggal di gubuk, aku tidak perlu repot menyimpan sepatu satu per satu. Di atas rak sepatu, aku meletakkan tempat lilin dan lilin, lalu menyalakan apinya.

Aku menyiapkan sandal dari anyaman rumput sesuai jumlah orang, lalu memakai milikku sendiri dan melanjutkan.

Di dapur, aku menempatkan tungku, kayu bakar, serta alat masak dan peralatan makan. Di ruang ganti yang terhubung dengan kamar mandi yang direncanakan, aku menaruh keranjang dan cadangan sabun.

Di ruang tamu, aku meletakkan karpet wol dan beberapa furnitur. Ini bisa dilihat besok oleh yang lain.

Saat aku naik ke lantai dua dan keluar ke lorong, ada tiga kamar di sebelah kanan dan empat kamar di sebelah kiri.

"Oh, sepertinya tidak pas kalau meletakkan furnitur sebelum pembagian kamar ditentukan..."

Aku memutuskan jika ada masalah, nanti aku pindahkan saja. Aku masuk ke tiga kamar di kanan dan dua kamar terdekat di kiri untuk menempatkan furnitur—meja, kursi, dan rak. Di atas meja, aku juga meletakkan tempat lilin dan lilin.

Fitur utama ruangan itu adalah tempat tidur. Rangka tempat tidur terbuat dari kayu, dan itu sebenarnya bisa aku buat kemarin. Namun, masalahnya adalah kain untuk selimut dan benang untuk menjahit. Beruntung, tim eksplorasi membawa banyak "linen", jadi masalah itu terpecahkan.

Aku membuat futon dari wol, lalu meletakkannya di atas ranjang. Sebagai tambahan, aku juga membuat bantal berisi wol.

"Sepertinya ini cukup bagus, bukan?"

Rasanya rumah ini semakin terasa seperti "rumah di bumi". Setelah menyelesaikan prioritas, aku menghabiskan waktu menaruh tombak di gudang senjata dan memikirkan kebutuhan rumah sebelum pergi ke luar.

"Tetap saja aku ingin punya kaca..."

Aku sudah membuat pintu geser di ruang tamu dan menempatkan jendela di setiap kamar, tapi sebagai orang modern, aku ingin memiliki jendela kaca. Saat keluar, aku melihat keempat orang itu menatap rumah sambil melongo.

Rambut mereka basah, dan mereka berjalan dengan handuk melingkari leher. Penampilan seperti itu memberikan daya tarik yang berbeda dari biasanya.

Ngomong-ngomong, saat ini mereka mengenakan pakaian wol yang terlihat menggembung.

"Sosuke, ini luar biasa sekali!"

Reaksi Shouko selalu polos, dan karena itu aku bisa merasakan kejujurannya, membuatku senang.

"Iya... ini benar-benar hebat."

Bahkan Shion memberikan reaksi yang sederhana.

"Sarang cinta yang luar biasa, Sou-kun"

Chiyu seperti biasa, tapi aku bisa merasakan antusiasmenya.

"Benar-benar rumah yang luar biasa..."

Minori, yang selama ini sering menjadi tempat saling berdiskusi, tampak sangat terkesan setelah melihat langsung rumah yang dibicarakan sebelumnya.

"Semua, aku mau mandi dulu ya. Kalian masuk saja ke dalam rumah."

Aku menyerahkan tempat lilin ke Chiyu dan berjalan menuju kamar mandi.

"Sou-kun, apa tidak apa-apa? Kamu tidak melihat reaksi kami dulu."

Chiyu bertanya sambil tersenyum kecil. Melihat reaksi orang terhadap sesuatu yang kubuat memang menyenangkan. 

"Beritahu aku pendapat kalian nanti."

Saat menuju kamar mandi, aku melewati Mashiro yang tidur dengan wajah puas. Menggunakan bak mandi besar seorang diri terasa seperti kemewahan yang luar biasa.

Aku sebenarnya bukan tipe orang yang suka berendam lama, jadi berniat keluar segera.

Namun tiba-tiba—

"Apa—!"

Teriak Shouko. 

Suara gaduh terdengar beruntun, diikuti pintu rumah yang terbuka dengan keras. Karena masih merasa panas setelah mandi, aku mengenakan baju dan celana dari kain lalu keluar dari balik sekat.

Saat itu, Shouko muncul dengan tergesa-gesa.

"Sousuke!"

"Di dalam rumah gelap Shion, jangan lari-lari, bahaya."

"Oh, iya, akan hati-hati—bukan itu maksudku!"

"Bagaimana?"

Aku bertanya sambil tersenyum lebar, tahu apa yang dimaksudnya.

"Ini... ini luar biasa! Aku tidak pernah membayangkan bisa punya kamar sendiri atau tidur di tempat tidur setelah sampai di pulau tak berpenghuni ini! Kasur dan bantalnya empuk banget, rasanya luar biasa!"

Shouko melompat dan memelukku dengan semangat.

Aroma sabun, suhu tubuhnya, dan kelembutan tubuhnya terasa dengan jelas.

"Ah... Sh-Shouko-san!" 

Minori tiba-tiba muncul dan berteriak.

"Ahaha, maaf, aku terlalu senang."

Shouko lalu melepaskan pelukannya.

"Rumah ini benar-benar luar biasa. Aku suka desain dapurnya yang model meja dapur, jadi bisa ngobrol dengan semua orang di ruang tamu sambil masak."

"Di setiap sudut rumah, terasa perhatiannya dan kebaikan Sou-kun."

Chiyu mengangguk dalam.

"Aku juga sangat kagum. Atau lebih tepatnya, terharu. Pohon yang kita tebang bersama berubah menjadi rumah seindah ini. Meskipun kemampuanmu sangat mendukung, aku senang bisa bekerja sama, Kuno-kun"

"Ah, tidak juga. Setengahnya berkatmu juga. Kamu banyak membantu dan memberi masukan. Kalau aku sendirian, tidak mungkin rumah ini selesai hari ini. Kamu harus bangga dengan sihir dan pengetahuanmu."

"Ah... ya, terima kasih. Aku juga senang bisa membangun rumah bersama."

"Ya, aku juga, Minori"

Suasana menjadi damai di antara kami semua.

"Rumah untuk Mashiro, bagaimana kalau dibuat besok? Dia sudah tertidur sekarang."

"Iya. Oh, bisa tidak dibangun di tempat yang terlihat dari jendela kamarku?"

"Tentu. Jadi saat membuka jendela pagi, kamu bisa menyapa Mashiro."

"Yeay! Itu yang kuinginkan!"

"Kalau begitu, mari kita tidur untuk hari ini."

Shouko telah memulangkan dombanya, dan barang-barang yang harus disimpan sudah ada di 'Inventori'. Kami semua masuk ke dalam rumah.

Di tengah perjalanan, Chiyu mendekat, menggenggam tanganku pelan, dan berbisik di telingaku.

"Nanti, aku akan ke kamar Sou-kun, ya."

"......"

Sebagai jawaban, aku menggenggam tangannya kembali.

Tampaknya malam ini akan sedikit lebih panjang sebelum benar-benar terlelap.


Pembagian kamar adalah tiga ruangan di sebelah kanan setelah menaiki tangga, dari belakang ke depan ditempati oleh Shouko, aku, dan Minori.

Di sebelah kiri ada empat ruangan, dari belakang ke depan ditempati oleh Chiyu, Shion, serta dua ruangan kosong.

Aku sendiri tidak terlalu peduli dengan lokasi kamar, jadi ini bukan masalah besar, terlebih lagi aku memang tidak punya pilihan dari awal.

Sekarang, di dalam kamar yang diterangi cahaya lilin, aku duduk di atas tempat tidur, sendirian.

Chiyu tadi mengatakan akan datang nanti.

Dia memang suka bercanda, tapi dia bukan tipe yang akan mengingkari janji. Dia pasti datang.

Namun, tanpa adanya jam, aku tidak bisa mengetahui dengan pasti berapa lama aku sudah menunggu.

Terkadang terasa seperti sudah lebih dari satu jam, namun jika dibilang baru sepuluh menit, mungkin aku juga akan percaya.

Harapanku yang semakin besar membuatku gelisah.

Akhirnya, tanpa ketukan, pintu kamar terbuka—dan muncul sosok teman masa kecilku dengan piyama.

Di tangannya, ada lilin dan tempatnya yang sebelumnya telah dibagikan untuk masing-masing orang.

Setelah menutup pintu, dia meniup lilinnya, lalu meletakkannya di atas meja kamarku.

"Kedua orang di sebelah kita sudah tidur. Kasihan kalau mereka terbangun karena suara, Sou-kun."

"Oh, begitu ya."

Dengan itu, aku memahami situasinya, sekaligus merasa semacam rasa bersalah yang membuat bulu kudukku berdiri karena berpikir akan melakukan sesuatu dalam kondisi seperti ini.

Chiyu kemudian duduk di sampingku dengan santai.

"Cahayanya pas banget. Dengan ini, wajah kita bisa terlihat meskipun di dalam kamar saat malam hari."

Chiyu menyentuh pipiku.

Aku segera tahu bahwa dia sedang mengingat kejadian kemarin malam, saat kami beberapa kali salah dalam menempatkan ciuman kami.

"Dengan ini, kita nggak akan salah lagi."

"Kalau salah pun nggak masalah. Kita tinggal mencoba sampai berhasil."

Kami saling bertatapan, mata birunya seperti menyimpan langit.

Kami mendekat, dan akhirnya bibir kami bersentuhan.

Hanya dari itu saja, perasaan bahagia yang luar biasa mengalir, membuat gerakan kami semakin intens dan kelekatan kami semakin erat secara alami.

Bibir Chiyu terus menyentuh bibirku, dan setiap kali berpisah, terdengar suara kecil.

"chup… chuu~~."

Saat ciuman menjadi lebih dalam lagi, suara seperti, "picha… pichu…" mulai terdengar, menunjukkan basahnya ciuman itu.

Hingga akhirnya, tanpa isyarat siapa pun, lidah kami mulai saling bertemu, menjelajahi mulut masing-masing, disertai nafas yang berat.

Dengan tubuh yang saling bersentuhan, aku bisa merasakan tubuh rampingnya, kehangatan kulitnya, serta aroma khasnya yang lembut.

Segala hal tentang teman masa kecilku yang ada di depanku terasa begitu menggemaskan, sekaligus membuatku bergairah.

Bahkan meski hanya dengan berciuman, sesuatu di dalam celanaku sudah mulai terasa mendesak.

"Chiyu…"

"Hmm. Sou-kun, naik ke tempat tidur."

"O-oke."

Aku beranjak dari posisi duduk dan merebahkan diri di atas tempat tidur.

Chiyu mengikutiku, namun kemudian dia menarik bagian bawah piyamanya perlahan.

"C-Chiyu, jangan bilang kalau kamu akan…"

Aku menelan ludah, lalu memperhatikan dengan seksama tubuh bagian atas Chiyu.

Perutnya yang ramping terlihat, pusarnya terbuka, dan akhirnya—boing.

Aku tidak tahu harus membandingkannya dengan apa.

Bulatan putih itu begitu indah seperti bulan, bergoyang seperti puding, dan terlihat mochi lembut yang baru dibuat.

Ada dua, namun bedanya, di ujungnya terdapat tonjolan kecil yang manis.

"Sou-kun, jangan terlalu melihat seperti itu."

Chiyu mengatakan itu dengan nada malu-malu.

Namun, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku.

Sepertinya, Chiyu datang ke kamarku tanpa memakai bra.

"C-Chiyu, ini…"

"Hm. Sekarang, teman masa kecilmu ini memberikan izin untuk disentuh."

Aku perlahan mengulurkan tangan dan dengan hati-hati menyentuh payudara miliknya.

Sentuhan pertama yang kurasakan adalah kelembutan seperti sutra, kemudian jari-jariku tenggelam ke dalamnya dengan lembut.

Begitu halus, begitu lembut, dan begitu kenyal, hingga sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.

Aku mulai memahami mengapa ada orang yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menikmati keindahan satu karya seni.

Perasaan takjub memenuhi dadaku, membuatku ingin terus menikmati keindahannya selama diizinkan.

"Hmm… Sou-kun, kamu suka terlalu banyak."

"Maaf, Chiyu-sama."

"…Sama?"

"Ya, aku tidak mungkin memanggil orang yang memiliki sesuatu seindah ini hanya dengan nama saja."

"Maaf kalau payudaraku terlalu menggoda sampai membuat karakter Sou-kun berubah."

"Aku ingin menyentuhnya selamanya."

"Silahkan aja. Tapi… bagaimana dengan di sini?"

Sebagai balasan, dia mulai menyentuh bagian penis di celanaku.

"E-ehh… itu. Tolong bantu aku lagi hari ini, Chiyu."

Aku melepaskan tanganku dari dada Chiyu meski merasa sedikit berat hati.

"Tidak perlu kecewa. Sou-kun, lepas bajumu."

"Ah, i-iya."

Saat aku melepas pakaian bagian bawahku, penisku, yang sudah dalam kondisi siaga sejak tadi, semakin membesar hingga batas maksimal, menantang langit.

Chiyu terus menatapnya dengan tajam.

Aku sendiri memperhatikan dadanya, jadi meskipun malu, aku tidak bisa menyalahkannya.

"Kelihatannya lebih besar daripada kemarin."

"M-mungkin. Itu karena... aku bisa melihat Chiyu dengan lebih jelas sekarang."

"...Senang mendengarnya. Tapi, Sou-kun."

"Ada apa?"

"Besar karena aku? Atau karena dadaku?"

"Dua-duanya tetap Chiyu, kan."

Aku menjawab dengan senyum tulus.

"Kamu menghindari pertanyaanku."

Perkataannya menusukku sedikit.

Dia mengubah posisi kakinya yang sebelumnya duduk bersimpuh, kini diletakkan di sisi kanan dan kiri, lalu menepuk pahanya sendiri.

"Sou-kun, duduklah di sini."

…Dengan kata lain, dia memintaku untuk membuka kedua kakinya, berbaring, dan menempatkan tubuh bagian bawahku di atas pahanya.

"T-tunggu, maksudmu... Chiyu, jangan bilang kalau..."

"Kalau kamu berteriak, mereka berdua akan terbangun."

Aku segera menutup mulutku dengan tangan. Lalu, tanpa ragu, aku mengambil posisi berbaring yang sedikit canggung.

Namun, Chiyu tidak tertawa.

Dia dengan tenang menempatkan tubuhnya sehingga bisa menahan bagian bawah tubuhku.

"Sou-kun itu benar-benar pecinta dada ya."

"Ugh..."

"Tapi aku dengar dari Shion-chan, katanya itu semua karena aku."

"Bukan ‘karena’, lebih tepatnya ‘pemicu’..."

Tak ada gunanya menyangkalnya.

"Fufu. Jadi, kamu mulai suka karena teman masa kecilmu ini berubah jadi agak besar di bagian dada saat masuk SMP, ya."

Dulu saat SD, aku tidak memperhatikan, tetapi setelah masuk SMP, tubuhnya berubah drastis, terutama dadanya. Hingga sekarang, dadanya terus bertambah besar, menggantung lembut pada sosoknya seperti dua bola melon yang elastis namun tetap kencang.

Tanpa melakukan apa pun, rasa antisipasi membuat benda itu terus bergerak.

"Kalau begitu, biar aku membuatmu lebih menyukaiku lagi."

Chiyu meneteskan cairan dari mulutnya ke bagian tengah dadanya. Cairan itu tenggelam ke dalam lekukan dadanya, sementara dia sendiri memijat dadanya dengan kedua tangan. Proses itu diulanginya beberapa kali di depanku.

"Hmm... sepertinya ini sudah cukup basah."

Dia kemudian menekan penisku ke sisi bawah dadanya.

"Sou-kun, ini pertama kalinya kita melakukannya di sini?"

"T-tentu saja!"

"Kalau begitu, ini juga yang pertama kali untuk dadaku."

Tiba-tiba, kehangatan luar biasa menyelimuti penisku, seakan hanya bagian itu yang sedang berendam dalam air hangat.

Bukan hanya hangat, aku juga merasakan tekanan lembut dari segala arah, seakan benda itu terbungkus dalam cairan lembut.

"Ugh...!"

Sensasi kenikmatan itu membuat tubuhku seolah tersambar petir. Rasanya luar biasa hingga aku hampir saja kehilangan kendali.

"Sou-kun, wajahmu terlihat senang. Jadi seperti ini ekspresimu saat merasakannya, ya."

Dia mengangkat dan menurunkan dadanya, membuat suara lembut terdengar setiap kali benda itu bergesekan. Sensasi visual dan perasaan di bawah terus mengalir, memenuhi otakku dengan kenikmatan. Saat ini, aku benar-benar tenggelam dalam tubuh Chiyu, teman masa kecilku.

"Ahh... ahh..ini enak sekali Chiyu…."

Dia terus menggerakkan dadanya, seolah hanya ingin memenuhi keinginanku. Tindakan itu membuatku merasa tersentuh oleh kasih sayang yang ia tunjukkan.

"Ah... Penismu mulai berdenyut. Kayaknya sebentar lagi, Sou-kun."

Sepertinya, setelah kemarin, dia sudah memahami tanda-tanda saat aku mendekati klimak.

"Aku dengar kamu banyak melakukannya di dada Shion-chan."

"......"

Sepertinya mereka saling berbagi informasi.

"Aku tidak marah. Tapi, jujur saja, aku merasa kesal."

"K-kesal?"

"Kamu melakukannya dua kali dengan Shion-chan. Sekarang, aku ingin mengejar ketertinggalanku sebagai pemenang utama."

"Eh, Chiyu..."

Satu kali dengan Chiyu setelah dua kali dengan Shion sudah cukup bagiku…

"Tidak masalah. Berdasarkan manga yang kamu baca, pria bisa melakukannya puluhan kali sehari."

Itu kan di manga…!

Dalam manga, seperti halnya bagaimana spesifikasi dan pekerjaan seorang detektif sering dilebih-lebihkan menjadi semacam estetika, spesifikasi pria dalam manga, termasuk ukuran dan jumlah ejakulasi juga dilebih-lebihkan. Para pembaca menerima kebohongan ini dan menikmatinya.

Jangan pernah menganggapnya serius…!

"Sou-kun sudah membuat Shion-chan keluar dua kali, jadi aku yakin bisa membuatmu keluar dua… tiga… atau bahkan lima kali lebih banyak."  

Apakah aku akan diperas sampai sepuluh kali dari sekarang? Aku bisa mati!

Namun, sayangnya, aku tak bisa melarikan diri dari kenikmatan yang diberikan oleh teman masa kecilku.  

"Ugh, Chi—Chiyu..."  

"Tenang. Pada saat yang paling nyaman, keluarkan sebanyak yang kamu mau."  

Gerakan Chiyu semakin cepat.  

"Saat kamu di Jepang, apa yang Sou-kun lakukan? Apakah Sou-kun berpikir tentangku dan mengeluarkannya di tisu? Sou-kun tak perlu melakukan itu lagi. Mulai sekarang, keluarkan saja… di aku."  

Teman masa kecil yang mengetahui semua fetishku menggunakan bisikan yang dibuat khusus untukku sebagai pukulan terakhir.  

"Keluarkan, Sou-kun. Semuanya, langsung ke dalam payudara ini."  

"Ahhh…!"  

Pinggulku terangkat dan tubuhku gemetar.  

Dalam proses itu, cairan seperti magma yang kental dilepaskan ke dalam payudara Chiyu. Saat momen klimaks, Chiyu menghentikan gerakan paizuri nya dengan lembut dan menerima semuanya.  

"Wow… ini masih berlanjut. Panas... lengket... dan juga bau nya... Sou-kun sepertinya kamu benar-benar ingin membuatku hamil, ya. Oh, lihat ini, Sou-kun."  

Aku yang menatap langit-langit dengan pandangan kosong mendengar panggilannya.

Ketika aku melihat ke arahnya, cairan putih yang kental, jelas bukan air liur, meluap dari payudaranya.  

"Sou-kun, kamu terlalu bersemangat sampai membuat penismu rasanya mau meledak."  

Penisku benar-benar terbenam di payudara Chiyu, tapi tampaknya karena intensitas dan jumlahnya, sebagian menyembur keluar. Chiyu tampak puas dengan itu.  

"Apakah itu menyenangkan?"  

"Ya, itu luar biasa. Tapi, Chiyu…"

Ketika kesadaranku kembali, aku teringat sesuatu.  

"Apa?"  

"Semalam, ingat ketika Shouko dan Shion datang dan aku tidak bisa membuatmu merasa nyaman? Tapi hari ini kamu malah membuatku nyaman lebih dulu. Biar aku gantian sekarang, ya?"  

Itu tulus dari hatiku. Sama sekali bukan karena aku takut akan diperas terus-menerus.  

Chiyu mengangguk dengan wajah yang biasanya datar, namun sedikit memerah.  

"Sou-kun, tentu saja aku juga ingin kamu membuatku merasa nyaman juga."  

"Baik, aku akan melakukan yang terbaik."  

"Tapi—setelah itu, aku tetap akan memerasmu lima kali lipat dari Shion-chan."  

Sepertinya niat licikku sudah diketahui oleh Chiyu.  

Setelah itu, kami menyesuaikan posisi.

Aku meminta Chiyu untuk melepas bagian bawah piyamanya dan berbaring telentang di atas tempat tidur. Ketika dia tak lagi mengenakan apa pun, aku terpana dengan tubuhnya yang indah. Tapi, aku harus fokus pada tugas ini.  

Dengan jantung yang berdetak kencang, aku perlahan mengarahkan jariku ke memeknya Chiyu.  

"Hnng…Ahhh~..."  

Bagian itu sudah basah, tak bisa disangkal lagi. Dengan suara desahan yang dia keluarkan, gairahku memuncak kembali meskipun baru saja selesai.  

Meskipun Chiyu belum pernah memiliki pengalaman, dia berusaha keras untukku.

Aku tak boleh mundur hanya karena kurangnya pengalaman. Dengan penuh hati-hati agar tak menyakitinya, aku melanjutkan sentuhan itu.  

Sama seperti bagian tubuh pria, cara seseorang menyentuh, kecepatan, tekanan, dan posisi bisa membuat perasaan berbeda.

Aku terus mengeksplorasi gerakan hingga menemukan apa yang paling membuat Chiyu bereaksi.  

"Ahh… hnn… uhhn…!"  

Sepertinya, suara desahan yang keluar dari mulutnya tak bisa disembunyikan.

Suara yang berbeda dari biasanya membuatku merasa senang dan bangga.

Aku yang sejak tadi menatap tubuh teman kecilku dengan intens, tiba-tiba menyadari sesuatu.

Dengan hanya menggunakan jari, rasanya aku tidak bisa membalas apa yang sudah dia lakukan untukku.

Begitu menyadari hal itu, aku langsung bertindak. Aku mendekatkan wajahku ke bagian yang sebelumnya kusentuh.

"...Sou-kun? U-uhm, apa yang kamu lakukan?"

Suara teman kecilku terdengar panik.

"Yah, setelah Chiyu melakukan itu untukku, aku pikir aku juga harus berusaha."

"T-tapi itu masih terlalu cepat..."

Melihat wajahnya yang memerah malu hingga ke telinga membuatku merasa semakin menyayanginya.

"Kamu tidak suka ya?"

"...B-bukan begitu..."

Dia mengalihkan pandangan seolah menyerah, sambil menutup mulutnya dengan tangan. Seperti sedang berusaha menahan suara yang akan keluar.

Gerakannya itu membuatku semakin bersemangat, dan aku perlahan mendekatkan wajahku ke memeknya.

"Uuh~..."

Suara desahan teman kecilku bergema di dalam kamar untuk beberapa saat.


"Sou-kun, terima kasih. Rasanya... sangat enak."

Kulit Chiyu terlihat lebih berkilau dari biasanya.

Aku senang karena dia tampak puas, tapi… entah kenapa, aku merasakan aura yang berbeda darinya.

"Kali ini, giliranku, ya."

Chiyu mendorongku hingga terbaring dan langsung menjepit penisku di antara dua bukit lembutnya.

Bukan hanya itu, dia juga menekan payudaranya itu dengan kedua tangannya.

"Ugh...!?"

Dia meneteskan air liurnya di sana, membuat ruang lembut di antara dadanya menjadi lebih hangat dan lembab, ditambah dengan tekanan yang semakin kuat.

"Ch-Chiyu? Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu marah?"

"...Tidak. Justru aku sangat terharu. Untuk membalas usaha Sou-kun, aku juga akan berusaha lebih keras."

"A-ah, begitu ya. Kalau begitu, satu kali lagi saja..."

"Tidak perlu sungkan. Aku akan menerima seluruh nafsu menggebu di masa pubermu."

Mungkin aku telah memicu sifat pantang menyerahnya.

Aku dibuat nyaman olehnya, lalu aku membuatnya nyaman. Dia pun berusaha lebih keras untuk membuatku nyaman... Eh, ini tidak akan ada habisnya, kan?

"Aku senang, tapi kalau terlalu larut malam..."

"Kalau capek, aku akan gunakan 'Penyembuhan Dasar'. Penismu juga akan pulih deh."

"A-apa... a-apa-apaan itu..."

Aku gemetar menghadapi tekad teman kecilku yang seakan bersumpah untuk menguras habis tenagaku.

Kebaikan hatinya yang menerima impianku meski tahu keinginanku, ditambah dengan sifat pantang menyerahnya, telah mengubah Chiyu menjadi monster yang menyerupai succubus.

"Tentu saja, kalau Sou-kun tidak suka, aku akan berhenti. Kalau kamu bilang, 'Dada Chiyu lebih buruk dari tangannya Shion, jadi pulang saja,' aku akan pulang dan menangis di bantal."

Itu tidak adil dari cara mengatakannya.

"A-aku paham. Chiyu... aku juga ingin banyak melakukannya bersamamu."

Chiyu mengangguk mendengar tekadku. Meski ekspresinya tidak berubah, aku tahu dia senang.

"Serahkan saja padaku. Seperti di manga yang kamu punya, aku akan membuat seluruh tubuhmu jadi putih."

Eh, itu kan hanya fiksi... Tapi kalau dengan 'Penyembuhan Dasar' stamina bisa pulih, mungkin itu bisa diwujudkan?

Meski aku takut pikiranku akan rusak karena kenikmatan berlebih.

Tanpa menghiraukanku yang ketakutan, Chiyu mulai menggerakkan dadanya perlahan sambil tetap memberikan tekanan.

"Aku mulai ya, Sou-kun."

Plop...


Saat aku sadar, aku duduk di sebuah ruang putih. Ingatanku sebelum sampai di sini terasa sangat samar.

Setelah Chiyu memerasku sampai cairan putih menutupi seluruh dadanya, dia menggunakan 'Penyembuhan Dasar' pada dirinya untuk memulihkan tenaga, lalu menyembuhkanku juga.

Setelah kami kembali bertenaga, kami kembali bertukar peran.

Sikap agresif Chiyu yang sebelumnya seperti succubus saat menyerang kini mereda, digantikan dengan desahan halus yang terdengar sangat manis.

Aku sampai lupa betapa aku baru saja diperas habis-habisan dan kembali bersemangat.

Meski masih pemula, pengalaman panjang dalam latihan langsung membuat kemampuanku meningkat, dan aku berhasil memuaskan Chiyu.

Tidak, bukan begitu. Karena itu, semangat Chiyu malah menyala lagi dan dia balik menyerangku. Setelah itu… aku tidak ingat apa-apa. Sepertinya kami berdua tertidur bersama, tapi aku takut membayangkan pagi nanti…

Sepertinya kami tertidur tanpa merapikan apapun.

Kemungkinan tubuh kami dan tempat tidur sudah berantakan. Tapi ada masalah lain.

Shouko dan Minori menunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Melihat telinga mereka memerah, aku langsung menyadarinya.

—Ke… ketahuan…!

Sepertinya rumah baru kami ini tidak terlalu kedap suara. 

Shion juga tampaknya menyadari sesuatu dari reaksi mereka, dan sekarang menatapku dengan senyum menggoda.

"Ng-ngomong-ngomong, kalian pakai seragam waktu ke sini ya."

Kalau diingat lagi, kemarin juga begitu, tapi aku tidak menyadarinya.

"Hmm. Sepertinya kita dipanggil dengan pakaian pertama kali kita datang ke sini?"

Chiyu menjawab dengan tenang.

"Benar juga. Kalau dipanggil dengan pakaian tidur, bisa jadi masalah untuk beberapa orang."

Mendengar perkataan Shion, Shouko dan Minori bereaksi kaget. Aku juga ikut terkejut.

"Hmm, memang sih. Katanya ada orang yang tidur tanpa busana. Jadi mereka aman dari dilihat teman-temannya."

Chiyu tetap dengan ekspresi datarnya.

"A-ah, teman-teman! Di papan tulis ada tulisan baru!"

Bukan bermaksud mengalihkan perhatian, tapi aku malah berkata begitu.

[Hari kedua telah berakhir]
[Penjelasan tentang Bonus Bertahan Hidup akan dimulai]

"Bonus bertahan hidup?"

Semua langsung menatap papan tulis.

[Tentang Bonus Bertahan Hidup
Untuk setiap hari bertahan hidup di pulau utama, "umur hidup" akan bertambah satu hari.
Namun, ini tidak menjamin keselamatan. Harap berhati-hati.
(Hari bertahan hidup dihitung ketika kalian kembali ke ruangan ini di akhir hari)]

"Umur… bertambah satu hari?"

Minori bergumam tak percaya. Pasti semua merasakan hal yang sama.

Tidak adanya jaminan keselamatan berarti kematian karena kecelakaan atau dibunuh tetap mungkin terjadi. Bahkan bunuh diri pun mungkin dilakukan.

Kalau tubuh kami memiliki batas usia, maka batas itu bertambah satu hari setiap harinya.

Sekarang malam hari kedua, jadi umur kami bertambah dua hari.

[Penjelasan tentang Penalti Kematian akan dimulai]

Bonus kalau bertahan hidup, penalti kalau mati…?

[Tentang Penalti Kematian
Jika meninggal karena pertempuran, kecelakaan, atau penyakit di pulau utama, akan kehilangan "100" poin.
Jika memilih untuk bunuh diri atau membunuh orang lain dan mengakhiri hidup pemain lain, akan kehilangan "1825" poin.
Poin yang didapat bisa menjadi negatif, harap berhati-hati.
Jika total poin saat meninggal negatif, maka kalian akan—mengalami koma setelah kembali.]

"...Koma?"

"...Mati, tapi tetap kembali ke Bumi?"

"A-a-apaan sih maksudnya…"

"Ini seperti game. Kalau mati dianggap ‘game over’, tapi bisa kembali ke Bumi?"

"…Tapi menjelaskan penalti tanpa menjelaskan sistem poin itu tidak adil."

Setelah aku bicara, Chiyu, Shouko, Shion, dan Minori juga bereaksi terhadap pengumuman di papan misterius itu.

[Penjelasan tentang Poin akan dimulai]
[Tentang Poin
Aktivitas kalian di pulau utama akan kami amati dan nilai berdasarkan standar tertentu.
Kami tidak dapat menjawab pertanyaan tentang standar penilaian.
Saat ini, kami juga tidak bisa memberitahu total poin yang telah kalian kumpulkan]

"Apa-apaan sih, aku makin nggak ngerti!"

Shouko berteriak. Ada tambahan ‘pun’ di akhir kata yang entah disengaja atau tidak. Aku tidak menyinggung itu dan menjawabnya.

"…Intinya, poin itu seperti uang. Papan misterius ini mengawasi kita dan memberi poin seperti gaji. Tapi kalau mati, poin kita akan dipotong sesuai penalti."

"Misalnya, kalau Shouko punya 10 poin dan meninggal karena kecelakaan, bakal jadi -90."

"Kita nggak tahu gimana caranya balik ke Bumi, tapi begitu kembali… Shouko akan koma selama 90 hari."

"Kalau bunuh diri atau membunuh orang lain, penalti -1825 itu setara 5 tahun. Mungkin karena hukuman penjara untuk pembunuhan di dunia nyata mulai dari 5 tahun."

Angka-angka itu seolah mengacu pada hukum di Jepang secara sembarangan.

"…Kalau begitu sih aku paham. Tapi kenapa harus aku yang dijadikan contoh soal mati segala!?"

Shouko terlihat sedikit berkaca-kaca. Mungkin dia merasa takut karena dijadikan contoh tentang kematian.

"Kalau pengumuman ini muncul di waktu seperti ini…"

"…Berarti mereka ingin kita tetap berharap untuk hidup, sambil mencegah kita saling membunuh atau bunuh diri."

Minori menanggapi gumamanku.

Mungkin, panggilan di malam ini juga dimaksudkan untuk menjaga motivasi kami bertahan hidup di pulau tak berpenghuni ini.

Jika kami bisa melewati hari ini, mungkin kami akan mendapatkan jawaban atau sesuatu yang baru.

Pikiran seperti itu mungkin sengaja ditanamkan agar mereka bisa mengamati kami lebih lama.

"Tapi, selain mati, gimana caranya balik ke rumah!?"

[Ada cara untuk kembali ke keadaan sebelum situasi ini dimulai. Namun, saat ini cara tersebut belum dibuka untuk kalian. Mohon tunggu pembaruan selanjutnya.]

"Itu juga yang dikatakan kemarin!"

[Pertanyaan: Di antara penambahan sumber air dan penempatan tambang, mana yang lebih penting untuk kelangsungan hidup?]
[Sumber Air / Tambang]

"Jangan diabaikan dong!"

"Tenang, Shouko. Kalau mau tanya, tanyakan sesuatu yang belum pernah ditanyakan."

Berkat Shion, kemarin kami mendapatkan tiga informasi penting:
1. Pemindahan kelas ini dianggap sebagai semacam permainan oleh papan tulis misterius.
2. Mereka tidak akan memberitahu kondisi para anggota lainnya.
3. Cara untuk kembali memang ada, seperti yang disebutkan lagi oleh Shouko.

Hari ini, kami mendapatkan informasi tentang bonus bertahan hidup, penalti kematian, dan sistem poin.

"Benar, seperti yang dikatakan Sousuke. Setelah pemungutan suara selesai, kita akan langsung dikeluarkan dari sini. Jadi kalau mau bertanya, lakukan sekarang—"

[Karena sudah mencapai mayoritas suara, pemungutan suara ditutup.]
[Jumlah "sumber air" yang akan ditempatkan di lingkungan pada hari ketiga akan bertambah.]

"…Ya, wajar saja. Pilihan hari ini terlalu mudah bagi yang lain."

Perkataan Minori memang masuk akal.

Kami memiliki "kemampuan kerajinan" yang memungkinkan kami membuat banyak air dari air laut, bahkan untuk mandi. Tapi, bagi siswa SMA biasa, mendapatkan air minum di pulau tak berpenghuni bukanlah hal yang mudah.

Kalau pada malam hari kedua diumumkan bahwa sumber air akan ditambahkan, tentu mereka akan memilihnya tanpa ragu.

Bagaimanapun, pemungutan suara sudah selesai.

"Teman-teman, ada yang mau ditanyakan lagi…!?"

"Um, um, ah! Kalau kita pulang dengan poin positif, apa yang akan terjadi!?"

"Mereka bilang bisa pulang, tapi kapan pastinya? Kalau seluruh kelas menghilang, itu masalah besar. Bahkan setelah kembali pun, pasti akan mengganggu kehidupan kita."

"…Kalau kita kembali, bagaimana dengan ingatan kita di pulau ini?"

"Ah, dan kekuatan yang kita dapat di pulau ini, gimana nasibnya!?"

[Jika kalian kembali dengan poin positif, kalian akan menerima bonus tambahan. Namun, kami tidak dapat menjelaskan rinciannya saat ini.]
[Kami tidak dapat menjawab tentang lokasi kepulangan]
[Membawa kembali ingatan tentang pulau ini saat kembali dimungkinkan, tetapi ada syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kami tidak dapat menjelaskan syarat tersebut saat ini]
[Kemampuan yang diperoleh di pulau ini dapat dibawa kembali setelah kembali, tetapi ada syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kami tidak dapat menjelaskan syarat tersebut saat ini]

"Berapa lama kita harus bertahan hidup di sini!?"

[Kami tidak dapat menjawab tentang durasi masa observasi.]
[Hari ketiga dimulai]


Post a Comment

Post a Comment

close