NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Jilid 1 Bab 4

 Penerjemah: Arif77

 Proffreader: Arif77


Bab 4 – Sudut Pandang Seorang Gyaru

"Bagaimana tadi?"

Saat jam istirahat, Takeru bertanya dengan wajah menyeringai.

Jelas dia sedang membahas tugas pemandu yang aku lakukan untuk Remi.

Aku membuka tutup kotak bekalku dan menjawab dengan nada seolah-olah itu hal yang merepotkan.

"Ya begitulah. Awalnya aku merasa bisa ngobrol dengan baik, tapi tak lama kemudian ada cewek lain yang mengambil alih tugas pemandunya."

"Wah, rasa gugup pas ketemu lagi sama cewek yang dulu dikenal, itu sih kayak di cerita romansa!"

"Dengerin aku ngomong, dong!?"

Aku menimpali, tapi Takeru sudah tenggelam dalam lamunannya sendiri.

Tempat kami makan siang bukan di kelas dua, melainkan di bekas ruang audiovisual.

Ruang audiovisual yang baru sudah dipindahkan ke gedung timur yang baru dibangun, jadi ruangan ini sepenuhnya kosong.

Takeru mendapat kunci ruangan ini lewat kenalan temannya, sehingga saat jam istirahat, tempat ini jadi markas eksklusif kami.

Karena hanya ada kami berdua di sini, kami bebas ngobrol tentang cewek tanpa takut didengar orang lain.

"Nikaido-san pasti lagi dikerumuni cewek-cewek di kelas kita sekarang. Cewek secantik dia auranya beda banget ya? Kayak bunga di puncak gunung yang tidak bisa dijangkau, dunia kita beda gitu loh."

"Ya tidak sampai beda dunia juga, sih..."

Aku menjawab sambil mengingat masa kecil kami.

Setidaknya, aku tahu bahwa Remi dibesarkan dalam keluarga biasa.

Namun, Takeru langsung menimpali dengan ekspresi dramatis.

"Halah, ini sih gaya-gayaan orang yang sok tahu! Emang dasar temen masa kecil, bisa banget pamer!"

"Bukan gitu maksudku..."

"Ya gimana pun, lo tetap lebih kenal Nikaido-san dibanding kita semua. Bisa punya teman masa kecil cewek secantik dia, karma baik lo di kehidupan sebelumnya pasti gede banget. Iri parah!"

Jadi, Remi bisa membuat seorang cowok seperti Takeru berkata seperti ini di pertemuan pertama, huh...

Padahal, dia itu lebih ngefans sama Yuzuha.

Tadi, waktu aku mau bercerita tentang masa lalu Remi, dia buru-buru menghentikanku. Sekarang kalau dipikir-pikir, itu keputusan yang tepat.

Kalau aku sampai bilang, "Dulu dia sering adu tanding kumbang dengan badak tanduk besar," itu pasti bakal jadi kejanggalan besar buat hari pertama masuk sekolah barunya.

Mungkin itu yang dia khawatirkan.

"Jadi, bukan seperti itu maksudku. Sama kayak waktu Yuzuha dulu, gue juga tidak suka kalau tiba-tiba muncul gosip yang tidak jelas. Apalagi baru masuk sekolah, masa udah ada gosip macam-macam?"

Aku mengeluh, dan Takeru menghentikan gerakan sumpitnya.

"Eh, tapi kalau soal Yuzuha, itu sih jelas ada dasarnya. Waktu awal masuk sekolah, semua orang masih saling meraba-raba situasi. Nah, kalau ada cowok dan cewek yang terus ngobrol bareng, pasti kelihatan banget. Apalagi ceweknya Yuzuha! Dia kan tipe gyaru yang baik sama otaku juga!"

"Yah... kalau dipikir lagi, mungkin iya."

Sekolah baru, kelas baru.

Di situasi di mana aku cuma kenal Yuzuha, wajar kalau aku lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya. Tapi kalau dipikir lagi, memang jadi pusat perhatian.

Kalau aku benar-benar ingin menghindari perhatian, aku seharusnya tidak ngobrol dengan Yuzuha sama sekali.

"Tuh, kan? Tapi untungnya, kelas kita ini enak banget, dan gosip itu juga akhirnya hilang."

"Ya... wajar sih kalau hilang. Jelas-jelas aku tidak selevel sama dia."

"Ih, pesimis banget sih lo. Kalau gue yang digosipin gitu, gue sih malah senang dan bakal manfaatin gosipnya!"

Takeru lalu melahap makan siangnya dengan lahap, lalu meneguk tehnya.

"Serius deh..."

Kepribadian Takeru yang mudah ditebak ini bikin ngobrol dengannya jadi nyaman.

Buatku yang sering kebanyakan mikir, dia adalah tipe teman yang tidak butuh strategi apa pun buat diajak ngobrol.

Seolah membuktikan hal itu, Takeru memasang ekspresi santai.

"Tapi serius, Nikaido-san itu... dadanya gede banget ya. Gue tidak bakal bisa berhenti ngeliatin sampai ganti kelas nanti..."

"Jangan kelihatan jelas, bego. Itu tidak sopan."

"Santai aja, gue bakal lihat dengan penuh tata krama."

"Tata krama macam apa tuh!?"

Takeru sempat tenggelam dalam lamunannya, lalu tiba-tiba memasang ekspresi serius.

"Tapi, menurutku Nikaido itu kebalikan dari Yuzuha. Kayaknya dia sebenarnya tidak terlalu pengen banyak berinteraksi dengan orang lain."

"Emang kelihatan begitu?"

"Tidak sih, cuma perasaan aja. Tapi ya, dia cantik banget dan punya tubuh semacam itu, jadi mungkin itu cara dia buat jaga jarak dari cowok-cowok brengsek."

"…Jadi cuma tebakan doang? Yah, mungkin tidak sepenuhnya salah sih. Tapi lo juga jangan jadi salah satu cowok brengsek itu."

"Wah, ketat banget aturannya!"

"Itu wajar, bego!"

Kalau mengingat masa kecil Remi, waktu istirahat dia cuma datang ke mejaku atau tidur sambil menelungkupkan kepala di meja.

Mungkin atmosfer itu masih melekat di gerak-geriknya sampai sekarang, sehingga Takeru bisa menangkapnya juga.

Tapi, itu dulu.

Setelahnya, Remi berkembang pesat hingga menjadi pemimpin kelas selama bertahun-tahun.

Dari yang kulihat tadi, dia sekarang jauh lebih ramah dibanding dulu.

Jadi, mengiyakan tebakan Takeru rasanya kurang adil sebagai teman masa kecilnya.

"Tapi, setidaknya Nikaido itu orang baik."

Dulu, aku pasti akan menambahkan kata-kata "kalau udah akrab" di kalimat itu.

Tapi sekarang, aku bisa bilang begitu tanpa keraguan sedikit pun.

Mendengar jawabanku, Takeru berkedip beberapa kali.

"Hmm… ya, lo bener juga. Gue asal ngomong pakai prasangka tadi."

"Salah gue juga sih, bilang tebakan lo mungkin ada benarnya."

"Tidak boleh gitu ya, harusnya. Pantesan aja Yuzuha suka sama lo, lo tuh orangnya tidak ada kepalsuan sama sekali. Brengsek, udah ada Nikaido juga, dasar tidak adil!"

"Gue tidak disukai siapa pun, jadi berhenti ngomong gitu! Lagian Nikaido juga bukan milik gue!"

Takeru tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku.

Kadang, bercanda terus dengannya bisa terasa melelahkan.

Tapi entah kenapa, aku selalu ingin ngobrol dengannya lagi.

Mungkin karena aku tahu kalau dia memang tulus dan tidak ada kepalsuan dalam dirinya.


Setelah menghabiskan makan siangnya dengan cepat, Takeru berdiri lebih dulu.

Meski sering makan siang denganku beberapa kali dalam seminggu, dia selalu pergi lebih awal karena ada urusan di OSIS.

"Gue duluan ya! Kayak biasa, lo yang kunci ruangan!"

"Oke."

Takeru melambai sambil membuka pintu.

Saat itu juga, dia mengeluarkan suara kaget.

"Uwaah!?"

Aku langsung melihat ke arahnya.

Di depannya, berdiri seorang gadis dengan rambut pirang terang bernuansa emas, serta tubuh yang luar biasa proporsional.

Siapa lagi kalau bukan Yuzuha Yui, gyaru populer di kelas kami.

Takeru pernah bilang, "Dada Yuzuha bisa menyelamatkan dunia."

Saat Yuzuha sedikit memiringkan kepalanya ke arah Takeru, ekor kuda rambutnya bergoyang.

"Y-Yuzuha-sa──!"

"Yaho, Arino~chi. Yoshiki ada di dalam?"

"A-ada kok! Kalau gitu… gue pergi dulu!"

"Oke, makasih ya~"

Dengan jawaban santai dari Yuzuha, Takeru langsung kabur secepat kilat.

Yuzuha pun masuk ke dalam ruangan menggantikannya.

Begitu melihatku, dia melambaikan tangan dengan ceria.

"Ah, ketemu deh Yoshiki! Masih makan siang ya? Maaf, maaf~"

"Yuzuha? Tidak apa-apa sih, cuma… tumben banget lo ke sini."

Bahkan lebih dari sekadar tumben, mungkin ini pertama kalinya dia datang ke tempat ini.

Dulu, sebelum gosip menyebar, mungkin kami bisa sering menghabiskan waktu bersama saat istirahat. Tapi sekarang, itu sudah tidak mungkin lagi.

Yuzuha mendekat, berdiri tepat di depanku sambil menatapku.

Dia selalu memakai hoodie oversized di atas seragamnya—ciri khasnya.

Tapi meskipun begitu, tubuhnya tetap terlihat luar biasa proporsional.

Kancing kedua kemejanya dibiarkan terbuka, menampilkan sedikit belahan dadanya.

Di sana, terlihat sebuah tahi lalat kecil.

Semua cowok di kelas pasti pernah melihat tahi lalat itu.

Sudah pasti, roknya juga lebih pendek dari yang lain.

Kalau soal pakaian yang paling terbuka di kelas, dialah juaranya.

Aku bertanya-tanya, sudah berapa banyak cowok perjaka yang diam-diam deg-degan saat dia berbicara dan menyebut kata "perjaka" dengan santainya.

Dulu, waktu aku pertama kali dipanggil "perjaka" olehnya, aku lebih merasa deg-degan daripada kesal.

Walau begitu, aku tidak akan pernah mengakuinya.

Karena kalau sampai mengaku, rasanya aku kalah sebagai manusia.

Pikiran yang agak berbahaya itu sempat muncul dalam benakku selama hening yang terasa cukup lama.

Karena Yuzuha sama sekali tidak memulai pembicaraan, akhirnya aku yang memutuskan untuk membuka suara.

"Eh, Yuzuha?"

"Hm? Kenapa?"

Yuzuha merespons dengan suara santai.

Nada suaranya hampir membuatku kehilangan tenaga, tapi aku tetap harus mengatakan ini.

"Takeru tadi sepertinya mau ngomong sesuatu. Dengerin sampai akhir dong."

Begitu aku mengatakan itu, Yuzuha berkedip beberapa kali lalu mengernyitkan alisnya, seolah merasa keberatan.

"Hah? Kan aku udah dengerin! Aku bahkan udah bilang makasih!"

"Sebelumnya. Sebelum lo nanya soal gue, Takeru tadi kayaknya mau ngomong sesuatu."

Ekspresi Yuzuha yang tadinya agak galak tiba-tiba berubah, terlihat agak bingung.

"Serius? Masa sih? Jangan-jangan aku terlalu fokus nyari lo sampai tidak sadar sama sekeliling?"

"Eh, sadar dong. Gue juga bisa sakit hati, tahu."

"Eh tapi, kalau sampai tidak sadar gitu, berarti aku suka lo banget dong? ...Wah, bisa jadi aku beneran suka sama lo, nih."

"Hah!?"

"Ah, tapi ya udahlah!"

"Lo santai banget!?"

Ucapan Yuzuha benar-benar bikin kaget, tapi dia lanjut berbicara seolah itu bukan hal besar.

"Pokoknya aku harus minta maaf ke Arino~chi. Makasih ya udah kasih tahu!"

"O-oh… ya, tolong lakuin itu."

"Suka"…?

Orang normal pasti tidak bakal bisa bilang itu dengan nada se-santai dia.

Kalau aku sampai menunjukkan tanda-tanda kepanikan, dia pasti bakal meledekku lagi dengan panggilan "perjaka".

Yuzuha selalu menampilkan ekspresi dan ucapannya secara langsung, tanpa dibuat-buat.

Karena itulah, senyumnya terlihat begitu cerah dan tindakannya selalu mencolok.

Meskipun penampilannya seorang gyaru, dia dijuluki "Matahari" oleh para cowok di kelas.

Bagiku juga, dia adalah seseorang yang menyenangkan, tapi terkadang berbahaya buat jantung.


"Ngomong-ngomong, Yoshiki, tadi lo ngomongin apa sih? Kayaknya tadi gue denger nama gue disebut-sebut."

"T-tadi? Cuma ngomong kalau lo tuh kebalikan dari Nikaido."

Yuzuha berkedip beberapa kali.

"…Eh!? Serius!? Jadi gue diomongin jelek!?"

"Eh!? Bukan, bukan gitu!"

Yuzuha langsung protes dengan wajah kaget.

Karena aku memang tidak bermaksud menjelekkan dia, aku menjelaskan dengan jujur.

"Maksudnya, lo itu bisa ngobrol sama siapa aja, sedangkan Nikaido kelihatan agak susah didekati. Tapi tadi juga dibahas kalau tidak boleh menilai orang cuma dari kesan pertama."

"Ugh… kalau gitu, bisa aja itu cuma prasangka gue juga… Tapi untunglah bukan omongan jelek."

"Tapi prasangka lo bukan tanpa dasar, kan? Kelas kita bisa berjalan dengan baik juga berkat lo."

"…Habis, kalau lo ngomong kayak gitu secara blak-blakan, gue jadi kesel. Padahal gue tidak bakal kepancing kalau lo muji-muji gue."

Meskipun berkata begitu, Yuzuha malah membuang muka ke samping.

Sepertinya dia sedikit malu, tapi aku memilih untuk tidak menyinggungnya lebih jauh.

Kalau Takeru melihat ini, dia pasti bakal pingsan karena gemas.

Saat aku terpaku menatapnya, Yuzuha tiba-tiba menoleh kembali padaku, seperti baru teringat sesuatu.

"Eh, tapi Nikaido itu kan kenalan lo, ya? Dulu dia tuh gimana sih?"

"Hmm… mirip lo, mungkin? Tipe pemimpin di kelas."

"Hoo~… Kalau gitu, siapa yang lebih lama dekat sama lo? Gue atau Nikaido?"

"Itu… ya jelas Nikaido, lah."

"HAH!? DASAR PENGKHIANAT!!"

"UWAH!? Lah, gimana lagi!? Dia temen masa kecil gue!"

Yuzuha langsung mengguncang bahuku dengan kesal.

Dulu, waktu pertama kali dia menyentuhku seperti ini di SMP, aku sempat merasa senang karena mengira dia sudah mulai menganggapku teman dekat.


Pada momen seperti ini, aku kepikiran hal semacam itu. Mungkin aku agak menjijikkan.

"Barusan lo bilang 'teman masa kecil'?"

Yuzuha bertanya dengan ekspresi terkejut.

Aku menatap balik ke arahnya.

Entah kenapa, rasanya dia sedikit berbeda dari biasanya.

Yuzuha perlahan melepaskan tangannya dari bahuku dan menatapku tajam.

"A-ada apa?"

Ekspresi Yuzuha terlihat serius.

Rambut pirang keemasannya yang tampak artifisial berkilauan tertimpa sinar matahari.

Jangan-jangan dia bakal bilang, "Gila, Nikaido nyebelin banget."

…Tidak, Yuzuha tidak sejahat itu.

Saat aku sedang berpikir seperti itu, ekspresi Yuzuha tiba-tiba berubah menjadi senyum penuh rasa ingin tahu.

"Eh, tunggu… kayaknya gue baru nyadar sesuatu. Jangan-jangan, Nikaido itu teman masa kecil yang dulu sempet deket sama lo?"

"…Bukan."

"AHAHA! Lo kan tadinya mau nanya soal hubungan mereka, tapi ternyata lo malah yang kebongkar! Wah, nyesel banget gue tidak tau dari awal pas pertama pindah ke sini! Harusnya lo ngechat gue dong!"

"Dengerin gue dulu!"

Begitu aku membalas, Yuzuha menyeringai.

"Yoshiki, reaksi lo tuh ketebak banget. Lagian, lo sadar tidak sih? Kalau ada teman masa kecil beda gender yang tiba-tiba pindah ke sekolah lo, itu tuh otomatis jadi awal mula cerita cinta! Nih, orang-orang di sekitar lo udah mulai ngeh, lo harusnya seneng dong!"

"Masa sih…? Gue cuma pernah liat yang kayak gitu di anime atau manga."

"Gue juga sih."

"Terus kenapa lo bisa ngomong gitu!? Kenyataan tidak segampang itu, tahu!"

Aku membalas dengan protes keras, tapi Yuzuha hanya melirikku sekilas sebelum duduk di kursi yang tadi diduduki Takeru.

Dan seketika, ekspresinya berubah menjadi serius.

…Gue beneran tidak ngerti jalan pikirannya.

"Bulan lalu gara-gara gue sering ngobrol sama lo, muncul gosip aneh, kan? Gue sempet khawatir banget kalau lo bakal jadi canggung sama gue gara-gara itu."

"Tapi lo tetap aja ngobrol sama gue kayak biasa…"

"Kan gue udah bilang minggu lalu, gue hidup buat bersenang-senang. Gue tuh otomatis bakal nyari hal-hal yang seru. Lagian, kenapa gue harus nahan diri buat ngobrol sama lo?"

Yuzuha cemberut dan manyun.

"Hidup buat bersenang-senang," ya…

Mungkin itu juga alasan kenapa dia dijuluki "Matahari Kelas."

Tapi karena fokusnya masih tertuju ke aku, rasanya agak bikin gugup.

Mungkin… aku tidak mau dia tahu kalau aku ini sebenarnya orang yang kosong.

"Makanya, gue lega banget pas tahu Yoshiki itu teman masa kecilnya Nikaido. Soal mereka punya hubungan spesial atau tidak, itu urusan belakangan. Tapi kalau Yoshiki bisa sering ngobrol sama Nikaido, gue juga jadi tidak terlalu mencolok pas ngobrol sama lo."

"Ah… jadi lo mikirin sampai sejauh itu. Maaf ya. Lo pasti juga sebel sama gosip-gosip itu."

── "Pacarnya Yuzuha Yui ternyata biasa aja, ya."

Pada akhirnya, gosip yang menyebar di kelas malah berakhir dengan omongan seperti itu.

Dari sudut pandang gue, itu adalah "promosi" dalam hal status sosial.

Tapi buat Yuzuha, itu malah semacam "degradasi" yang bikin reputasinya turun.

"Hah? Apaan sih? Gue sih biasa aja sama gosip kayak gitu. Gue cuma nolak karena lo kayaknya tidak tertarik, jadi ya gue tegasin aja."

"Ugh… Kebaikan lo tuh ada levelnya juga, tahu. Sampai segitunya malah jadi nyesek."

Begitu gue menjawab, Yuzuha tersenyum kecil.

"Gue serius, lho."

Tatapan matanya mengunci gue.

Kulitnya yang putih bersih, bulu matanya yang panjang dan terlihat seperti basah…

"…Kebaikan lo tidak ada habisnya, ya. Pantesan dijuluki Matahari Kelas."

"…Ya kan? Gue ini yang menerangi Yoshiki."

"Hahaha."

Hubungan gue sama Yuzuha…

Mungkin, lebih dari sekadar "dekat", orang-orang melihatnya sebagai bentuk perhatian khusus dari dia ke gue.

Karena itu, gue pun—

"Ya udah, gue ngerti maksud lo. Gue tidak yakin bisa pacaran sama Nikaido, tapi setidaknya gue bakal coba ngobrol kayak dulu lagi. Dengan begitu, gue bisa jadi teman yang 'selevel' sama lo."

Kalau gue mau dianggap sebagai teman beneran oleh orang-orang, gue butuh sesuatu untuk menyamai Yuzuha.

Alasan kenapa gue terlihat mencolok saat ngobrol sama dia adalah karena gue tidak sebanding sama dia.

Di sisi lain, keberadaan Remi bisa bantu gue di situasi seperti ini.

Tentu saja, gue ingin meminimalisir niat tersembunyi di balik pendekatan gue ke Remi.

Gue memang tadi semangat ngomong, tapi sekarang, tanpa alasan yang kuat, gue tidak yakin bisa ngajak Remi ngobrol.

"…Boleh gue kasih saran sebagai 'teman' lo?"

Yuzuha melirik gue dengan mata menyipit, terlihat sedikit kesal.

Gue buru-buru mengangkat tangan dengan telapak terbuka.

"Bukan gitu maksud gue!"

Dia mendengus, lalu menyeringai seperti biasa.

"Menurut gue, Yoshiki sama Nikaido masih ada peluang buat pacaran, lho."

"Hah? Dari mana kesimpulan itu?"

Saat gue bertanya, Yuzuha malah menyeringai bangga.

Lalu dengan percaya diri, dia mengangkat telunjuknya.

──Ekspresi itu… terasa nostalgic.

Kayak waktu kecil, pas ada teman yang bisik-bisik ngegosip.

"Pas bel istirahat tadi, lo langsung keluar kelas, kan? Gue lihat, Nikaido ngeliatin lo terus."

Kalau gosip itu udah ngawang-ngawang, maka ini jelas murni asumsi subjektif.

Tapi cuma dengar hal begitu aja, gue udah hampir kegirangan.

Cowok tuh emang lebih simpel dari yang cewek kira.

◇◆

Begitu Segawa-sensei mengumumkan akhir dari homeroom, bel sekolah pun berbunyi nyaring di dalam kelas.

Saat semua orang mulai berdiri satu per satu, aku tetap duduk dan mendengarkan suara bel sampai habis.

Bukan karena aku menikmati suara bel atau semacamnya.

Aku hanya butuh waktu ini, karena hari ini adalah kesempatan langka bagiku untuk pulang bareng lagi dengan teman masa kecilku.

"Remi-chan, ada rencana setelah pulang sekolah? Btw, inner color kamu lucu banget! Salon mana nih!?"

"Remi Remi, mampir ke klub kami dong! Klub voli kita seru banget, anak-anaknya juga asik!"

Dikelilingi banyak orang seperti itu sebenarnya hal yang menyenangkan buat Remi.

Tapi buatku yang sedang menunggu, itu sama sekali bukan pemandangan yang bisa kusambut dengan baik.

"Nama keluargamu, Nikaido, keren banget ya! Asal dari mana? Gimana bisa kenal Yoshiki?"

"Iya ya, Nikaido-san kayaknya akrab banget sama Yoshiki!"

…Ya, aku tidak punya cukup keberanian buat menariknya keluar dari situ.

Hari ini adalah satu-satunya kesempatan bagiku untuk pulang sekolah dengannya tanpa menarik perhatian berlebihan.

Karena kami memang sudah saling kenal sejak dulu, kalau aku mengajaknya pulang bersama, itu tidak bakal terlihat aneh.

Sebaliknya, kalau aku melewatkan kesempatan ini, kemungkinan besar aku bakal jadi bahan gosip.

Dulu, waktu aku digosipkan pacaran sama Yuzuha, dia langsung menepis rumor itu dengan santai.

"Hah? Gosipnya salah total tuh."

Karena Yuzuha punya banyak teman dan pengaruh besar, rumor itu pun langsung mereda.

Tapi Remi adalah anak baru.

Kalau sampai muncul gosip, bisa saja itu berubah jadi masalah besar.

"Ugh… ini yang terburuk…!"

Aku mendesah, melihat Remi yang masih dikelilingi banyak cewek di kelas.

Awalnya, rencanaku adalah mendekatinya secara alami lewat Yuzuha.

Tapi begitu homeroom selesai, si gadis galak itu malah langsung menghampiriku dan bilang, "Ya udah, semangat ya!" lalu kabur keluar kelas.

Hana juga sudah pulang sendiri seperti biasa.

Kalau aku terus-terusan memandangi tempat duduk Remi begini, jelas itu bakal mencurigakan.

…Jadi, sebaiknya aku menyerah saja, ya?

Saat aku mulai berpikir begitu, Takeru, yang duduk di depanku, menoleh sambil mengangkat tasnya ke bahu.

"Oi oi oi, kenapa lo yang malah ngeluh? Lo tuh udah cukup beruntung, tahu!"

"Kalau pulang sendirian itu dianggap beruntung, berarti lo yang menikmati hidup di klub jauh lebih beruntung. Meskipun lo jadi ace karena usaha lo sendiri sih."

"Oh, jadi lo maksudnya ke situ? Hmm, masuk akal juga! Ya udah, kita impas!"

Takeru tertawa puas. Kenapa juga dia senang gara-gara hal sepele begitu?

Aku hanya bisa mendesah lagi sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas dengan asal.

Lalu tiba-tiba—

"Hei."

"Hah? Ada apa?"

Di depanku, Remi sudah berdiri.

"Eh!? Kok lo ada di sini?! Gue kira Takeru!"

"Astaga, itu penghinaan buat gue!"

Takeru langsung menyela dengan protes.

Aku melirik ke tempat duduk Remi.

Anak-anak yang tadi mengerumuninya kini sedang menatap ke arah kami dengan penuh rasa ingin tahu.

Serius, dia ini sadar tidak sih kalau semua mata sedang tertuju padanya?

"Yoshiki-kun, lo masih ada tugas buat nemenin gue keliling sekolah setelah pulang?"

"Eh? Ah… ya, hmm…"

Aku hampir panik, tapi buru-buru menenangkan diri.

Benar juga. Aku masih punya alasan yang bagus—sebagai "pemandu sekolah."

Sejujurnya, hari ini aku hampir tidak melakukan tugas itu sama sekali.

Saat jam istirahat, kami bahkan tidak bareng.

Malah, sejak jam istirahat kedua, para cewek di kelas yang mengambil alih peran sebagai pemandu, jadi tugasku praktis tidak ada gunanya lagi.

Lagipula, guru juga tidak secara spesifik memintaku buat menemani dia setelah sekolah.

Tapi ini kesempatan emas untuk mengembalikan hubungan kami seperti dulu.

Aku tidak perlu berharap jadi lebih dekat dari itu.

Aku cuma tidak boleh jadi pengecut dan menyia-nyiakan momen ini.

Tapi sebelum aku bisa bicara lebih lanjut, Takeru malah nyelutuk dengan santainya.

"Kayaknya lo udah tidak perlu pemandu lagi, deh?"

"WOI! JANGAN NGOMONG YANG TIDAK PERLU!"

Aku buru-buru menimpali, lalu mencoba memperbaiki situasi.

"T-tapi, meskipun gue tidak disuruh guru buat nemenin lo, tapi—"

"Oh, jadi gue tidak perlu ditemenin lagi, ya? Kalau gitu tidak apa-apa, kok."

"Ah… i-iya…"

Aku menjawab dengan kecewa.

Baiklah. Aku bakal menyimpan dendam ke Takeru selamanya.

Aku bakal mengutuknya dengan nasib sial di setiap undian selama dua tahun ke depan, dan dia tidak akan pernah bisa punya pacar seumur hidupnya.

Dengan bahu merosot, aku bersiap untuk pulang sendiri.

Tapi kemudian—

"Hmm… mau pulang bareng tidak? Udah lama juga, kan?"

"…Hah?"

Aku spontan mengeluarkan suara bodoh.

Remi berbalik, lalu melangkah keluar kelas sendirian.

Aku menoleh ke belakang dan melihat Takeru yang melongo tanpa kata-kata.

Aku hampir saja tersenyum mengejek ke arahnya.

Tapi karena sadar ada banyak orang yang memperhatikan, aku menahannya.

***

Saat berjalan pulang berdua, aku teringat hari ketika aku gagal menyatakan perasaanku di taman.

Waktu itu, aku memikirkan risiko jika gagal, dan kakiku menjadi gemetar.

…Sekarang kalau kupikir lagi, mungkin itu adalah hal yang baik.

Saat kami pergi ke taman waktu itu, kepindahan Remi sebenarnya sudah diputuskan.

Jika aku ditolak, pasti pada hari pertama kami bertemu lagi, aku akan merasa canggung dan ingin melarikan diri.

Namun, ternyata itu tidak ada hubungannya dengan apakah aku bisa berbicara dengan baik sekarang atau tidak.

Sejak tadi, suasana di antara kami terasa tegang.

Sudah puluhan detik berlalu sejak kami terdiam.

Padahal pagi tadi, rasanya kami bisa berbicara dengan normal, tapi kenapa sekarang jadi begini?

Kenapa saat di sekolah kami bisa mengobrol berdua, tapi begitu di perjalanan pulang, suasana menjadi canggung?

—"Menurutku, Yoshiki dan Nikaido bukan pasangan yang mustahil, lho."

…Mungkin ucapan Yuzuha itu malah membuat tekanan semakin besar.

Sial, ini lebih membuatku gugup dibanding saat bersama Hanazono.

Keheningan ini terasa seperti menuntutku untuk segera berkata sesuatu.

"J- jadi, sudah lama sekali ya! Berapa tahun, ya?!"

Suaraku terdengar begitu kaku.

Tapi Remi, entah karena menyadarinya atau tidak, tidak menyinggungnya dan hanya menjawab dengan tenang.

"Berapa tahun, ya? Sejak lulus SD, berarti sudah empat tahun, kan? Memang sudah lama sekali."

"I-iya, bener juga."

"Hmm."

Keheningan lagi.

Aku ingin melarikan diri dan pulang saja. Padahal aku memang sedang pulang.

Ada banyak alasan kenapa aku merasa gugup saat hanya berdua dengannya.

Tekanan akibat ucapan Yuzuha.

Tapi lebih dari itu, situasi ini mengingatkanku pada pengakuan yang gagal waktu itu.

Mungkin, atau lebih tepatnya, pasti itulah penyebabnya.



Kalau seperti ini, berbicara dengan murid pindahan yang baru pertama kali kutemui rasanya lebih mudah.

"J-jadi, bagaimana menurutmu hari ini? Yah, meskipun sekolah ini tidak terlalu istimewa sih."

Kenapa aku malah berbicara seolah-olah aku bukan bagian dari sekolah ini?

Aku sadar betul betapa anehnya ucapanku, tapi aku baru menyadarinya setelah mengatakannya.

"Hah? Ah, yah… menurutku sekolahnya cukup bagus, kok."

Remi tampak sedikit bingung dan menjawab dengan bahasa yang lebih formal.

Tidak heran.

Dalam ingatan Remi, aku mungkin adalah orang yang lebih pandai berbicara.

Saat kecil, aku tidak takut apa pun, lalu saat kelas empat SD aku mulai jadi pemalu, dan saat kelas enam aku mulai belajar cara bergaul, meskipun sering gagal.

Namun, di depan Remi, aku selalu bisa bersikap seperti diriku sendiri.

Jika kami berpisah dengan suasana canggung seperti ini, apakah ini akan menjadi kebiasaan ke depannya?

Kegelisahan itu hanya membuatku semakin gugup.

"Apa yang terjadi denganmu?"

Akhirnya, Remi berbicara dengan nada tidak senang.

"Hah?"

"Ryou-ta, kenapa kamu gugup saat berbicara denganku?"

"A-ah…"

Ketahuan.

Ketahuan banget.

"Sejujurnya, sejak tadi aku merasa sangat sulit untuk berbicara denganmu."

Remi menatapku dengan alis berkerut.

…Kalau kamu menatapku seperti itu, bukankah itu malah membuatku semakin gugup, hai teman masa kecilku?

Mungkin karena tidak menyadarinya, dulu dia sering bersikap dingin terhadap anak laki-laki.

Aku berharap Remi sadar bahwa dia memang seorang gadis yang begitu cantik dan menawan.

Sekarang, ditambah dengan tubuh yang sempurna, kami para cowok yang sedang mengalami masa pubertas benar-benar tidak bisa melawannya.

Namun, sayangnya, jika aku punya keberanian untuk membantahnya, aku tidak akan kesulitan seperti ini sekarang.

"G-gomen nasai…"

"Hah? Bukan, aku bukan mau kau minta maaf."

Remi menggeleng pelan dan menghela napas.

"Hei, bagaimana caranya supaya kamu berhenti gugup? Mau kita bergandengan tangan seperti dulu? Aku sih tidak masalah kalau sama kamu."

"Jangan! Itu malah bikin makin gugup!?"

Memang dulu ada masanya kami sering bergandengan tangan, tapi begitu masuk SD, kebiasaan itu hampir hilang.

Kapan terakhir kali kami bergandengan tangan? Saat pergi mencari kumbang raksasa, mungkin?

Sekarang, sebagai siswa SMA, bergandengan tangan jelas merupakan sesuatu yang lebih spesial.

Dari caranya berbicara, aku bahkan mulai ragu apakah Remi benar-benar menganggapku sebagai laki-laki.

…Meski begitu, anehnya, memikirkan hal itu membuatku sedikit lebih santai.

"Jadi, kamu bisa melihat kalau aku memang gugup, ya?"

"Tentu saja, makanya aku bilang begitu. Aku harap ini hanya perasaanku saja, tapi ternyata memang bukan?"

"Jangan minta yang tidak masuk akal. Kalau gugup ya mau bagaimana lagi."

Sebenarnya, bukan aku yang aneh karena gugup saat berduaan dengan teman masa kecil yang sudah lama tak bertemu.

Justru, Remi yang luar biasa. Dia bisa berbicara santai sejak awal.

Barusan saja dia ngobrol dengan para gadis di kelas seolah sudah kenal lama.

Meski sedikit berpura-pura ramah, tetap saja kemampuan sosialnya meningkat pesat.

"Itulah kenapa, aku bilang jangan gugup! Aku lebih senang kalau kau bersikap seperti dulu!"

"Y-ya… baiklah, aku akan coba."

Melihat Remi mulai kesal, aku buru-buru menenangkan situasi.

Namun, meskipun dia memintaku untuk bersikap seperti biasa, mengubah ini dengan sengaja bukanlah hal yang mudah.

Apalagi, meski Remi tidak tahu, aku sudah pernah gagal menyatakan perasaanku.

Kalau begini, aku jadi makin ragu apakah saat itu benar-benar ada ‘suasana yang baik’.

Saat aku sedang berpikir, Remi menatapku dengan wajah sedikit kesal.

"…Kamu pasti sedang berpikir ‘meskipun dia bilang begitu, aku tetap saja canggung’, kan? Wajahmu kelihatan jelas sekali."

"Eh!? Bukan! Maksudku, aku cuma punya banyak hal di pikiranku!"

Remi mengerjapkan matanya beberapa kali.

Sial, aku keceplosan.

"Apa? Banyak hal apa?"

"Uh…"

Aku tidak mungkin bilang, "Sebenarnya, aku pernah mencoba mengaku padamu, tapi gagal."

Lagipula, seperti yang terjadi dengan Hanazono, aku bahkan tidak yakin apakah saat itu benar-benar suasana yang bagus atau tidak.

Namun, aku juga tidak ingin suasana semakin canggung.

…Sudahlah, aku harus berhenti berpikir terlalu dalam.

Anggap saja Remi ini laki-laki.

Ya, dia adalah Takeru.

Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa kesal.

"Kamu sendiri kenapa sih!?"

"Hah?"

"Kamu juga aneh hari ini! Dulu kamu lebih bersemangat daripada aku saat menemukan kumbang raksasa, tapi sekarang malah pura-pura jadi wanita dewasa yang anggun! Itu curang, tahu!? ‘Bunga di puncak gunung’ katanya, berapa cowok yang sudah jatuh cinta padamu!? Berapa yang sekarang menyimpan dendam!?"

"Apa…!? Aku cuma bilang jangan gugup, tapi kenapa malah diserang begini!?"

Wajah Remi memerah, lalu dia menatapku tajam.

"Diam! Aku juga lagi berusaha sekuat tenaga, tahu!"

"Hah? Berusaha…?"

Tiba-tiba, angin bertiup pelan, mengibaskan sedikit poninya.

Saat aku hampir menyesali kata-kataku yang terlalu berapi-api, Remi tiba-tiba menunjukkan ekspresi puas.

Dia melangkah mendekat, hingga jarak kami hampir sama seperti saat masih anak-anak.

Lalu, dengan sikutnya, dia menepuk pundakku.

"Ah, aku paham sekarang. Kau memang selalu jadi pengecut di saat yang penting. Kau gugup karena tidak tahu bagaimana harus bersikap denganku, ya? Padahal dulu kau suka menggodaku, sekarang malah jadi penakut. Benar-benar laki-laki yang menyedihkan."

Remi melontarkan kata-kata pedas dengan enteng.

Seperti saat dia masih SD, ketika dia tak segan menyebut anak laki-laki yang ribut sebagai ‘bodoh’ atau ‘tidak penting’.

Mendengar nada bicaranya itu, kenangan lama pun mulai kembali ke pikiranku.

Ah… rasanya nostalgia, interaksi kami yang berantakan ini.

Ekspresi wajah Remi yang seolah meremehkan ini, sudah entah berapa kali aku melihatnya.

Kami berjalan dalam keheningan selama beberapa saat, lalu aku kembali melirik ke samping.

Ekspresi Remi berubah dari ketidakpuasan menjadi sedikit gelisah.

"…Hei, bisakah kau bereaksi sedikit? Kalau kau benar-benar tidak suka, aku… akan minta maaf."

"Ah, maaf, bukan begitu. Aku sama sekali tidak keberatan. Kau memang benar, dan lagipula kau memang aslinya orang yang suka bicara pedas, jadi rasanya tidak aneh sama sekali."

Mendengar jawabanku, mata Remi membesar.

"Ja… jangan bersikap membingungkan begitu! Lagipula, aku cuma bicara seperti ini di depanmu saja! Kalau dengan orang lain, aku kan sudah jauh lebih lembut!"

"Oh, ternyata memang begini lebih gampang diajak ngobrol. Nostalgia sekali, Nikaido waktu SD!"

"Jangan tiba-tiba bersinar begitu! Dan kenapa cara ngomongmu jadi terdengar aneh!?"

"Ahaha."

Ya, selama aku kembali ke interaksi sebelum aku sadar akan perasaanku, rasanya tidak akan ada masalah.

Remi tampak lelah, lalu menghela napas pasrah.

"Sungguh… percakapan normal itu susah, tapi kalau begini malah bisa, ya."

"Sepertinya begitu. Mulai sekarang, aku harap kita bisa kembali seperti dulu."

"Itu sudah terlalu lama. Lagipula, aku hampir tidak pakai cara bicara seperti ini lagi… Tapi kalau ini satu-satunya cara supaya kau bisa bicara dengan normal, berarti kau memang tidak berubah sama sekali."

Aku berkedip mendengar kata-katanya.

"…Maaf kalau aku masih kekanak-kanakan. Aku juga ingin berubah, tapi ternyata tidak mudah."

Tanpa sadar, aku mengucapkan isi hatiku.

Angin sejuk yang jarang terasa di musim ini bertiup pelan.

Mendengar jawabanku, Remi berkedip dan menggaruk pipinya dengan canggung.

"…Tidak, justru sebaliknya. Aku lega karena kau tidak berubah. Aku cukup suka saat kau memperlakukanku dengan sembarangan."

"…Jadi, kau memang ingin diperlakukan dengan sembarangan?"

"Jangan kelewatan."

"Maaf!"

Suasana kembali seperti dulu, hingga aku bisa mengeluarkan nada suara yang sama seperti dulu.

Remi pun tersenyum tipis.

"Akhirnya, kau memanggil namaku, Ryouta."

Itu adalah senyum hangat yang tak pernah ia tunjukkan di dalam kelas.

Sudah empat tahun sejak terakhir kali kami bertemu.

…Meskipun waktu telah berlalu begitu lama, ada seseorang yang tetap bisa menerimaku seperti dulu.

Ketika aku sulit beradaptasi di TK, di SD… Remi selalu ada di sisiku.

"Apa aku boleh memanggil namamu lagi?"

"Tentu saja. Tapi, kalau bisa, cukup saat kita berdua saja."

"…Remi."

"Ya. Tapi kalau kau tiba-tiba memanggil namaku seperti itu, rasanya agak canggung."

"Kau malu?"

"Tidak mungkin. Kau bodoh ya?"

Remi mengangkat bahunya dan menjawab dengan nada dingin.

Meski begitu, ia masih berdiri dekat denganku sejak tadi. Lebih dekat daripada siapa pun di kelas.

"…Terima kasih. Berkatmu, aku bisa mengingat kembali suasana lama."

"Sama-sama. Lagipula, kau memang sejak dulu tidak punya rasa peka. Jadi tidak sulit untuk kembali seperti dulu, kan?"

"Padahal suasananya sudah bagus, tapi kenapa kau merusaknya!?"

Remi tertawa kecil.

Aku menatap ke depan dan tersenyum tipis.

Kini, keteganganku sudah sepenuhnya hilang, dan aku bisa melihat dunia dengan lebih jelas.

Pemandangan jalan menuju sekolah terasa lebih berwarna dari biasanya.

…Aku yakin, mulai besok, hubungan kami akan kembali seperti dulu.

Aku merasa begitu.

"Kalau begitu, aku hampir sampai di rumah baruku. Terima kasih untuk hari ini."

"Ya. Padahal aku tidak melakukan apa-apa."

"Memang, kau cuma kehilangan sedikit rasa pekamu saja."

"Diam kau!"

"Ahaha."

Remi tertawa lepas, lalu berhenti di persimpangan jalan.

Ke kiri menuju jalan utama, lurus menuju taman, dan ke kanan menuju kawasan perumahan.

Sebagian besar siswa yang melewati jalan ini biasanya mengambil jalur kiri, dan rumah lama Remi juga berada di sisi kiri jalan ini.

"Hm? Remi, rumahmu di sebelah kiri, kan?"

"Etidak, sekarang di sebelah kanan."

"Hah?"

Aku mengeluarkan suara bingung.

Jalur perumahan di sisi kanan ini tidak bisa dilalui oleh mobil atau sepeda, membuatnya menjadi jalan yang merepotkan bagi para pengemudi. Hanya warga sekitar saja yang biasanya lewat sana.

"Rumah yang lama sudah dibongkar, jadi tinggal tanah kosong sekarang."

"Ah, ya… benar juga."

Aku masih ingat saat berdiri di depan tanah kosong itu setelah Remi pindah, memandangi tempat yang dulu menjadi rumahnya.

Remi tersenyum masam sambil melambaikan tangannya.

Ketika aku tetap berdiri diam di tempat, dia berkedip heran.

"Apa? Kau mau mengantarku?"

"Uh, ya… mungkin…"

Aku menjawab dengan ragu-ragu, membuat Remi sedikit memiringkan kepalanya.

Namun, dia tidak terlalu mempersoalkannya dan kami kembali berjalan bersama.

Keheningan menyelimuti kami untuk beberapa saat.

Sementara itu, diam-diam aku merasa jantungku berdegup lebih kencang.

Tatapan Remi yang awalnya tampak sedikit bersalah, perlahan berubah menjadi curiga.

"Hei, sampai kapan kau mau terus mengikutiku?"

Saat akhirnya dia bertanya dengan heran, aku sudah yakin akan satu hal.

Remi adalah satu-satunya yang belum menyadarinya.

"Hei, Remi."

"Apa?"

"Rumahku yang sekarang… persis di sebelah rumah barumu."

Mata Remi membelalak.

Dia membeku selama beberapa detik sebelum akhirnya berteriak,

"Ja—jangan bercanda, dong!?"

Ehm, Yuzuha-san…

Bagian mana dari ini yang bisa dibilang ‘punya peluang’ dalam cinta?


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0
close