Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Bab 1 – “Merasa Cocok” adalah Rintangan Pertama dalam Cinta
"Ahaha, Yoshiki, kamu itu terlalu
pesimis!"
"Apa!?" Aku spontan berseru, "Bukannya
ini sesuatu yang cukup banyak orang pikirkan!?"
Di depanku, duduk seorang gadis bernama
Yuzuha Yui, yang tertawa lepas mendengar perkataanku.
Sudah satu bulan sejak kami masuk SMA.
Awal Mei, tepat sebelum homeroom pagi dimulai.
Yuzuha tiba-tiba memulai obrolan tentang cinta, dan aku
sedang berbicara dengannya soal bagaimana seseorang bisa menilai apakah dirinya
"nyambung" dengan orang lain atau tidak.
Namun, bagi Yuzuha, memikirkan hal semacam itu saja sudah
terlalu merepotkan.
"Ehh, aku sih langsung tahu secara insting~"
katanya dengan senyum kecil.
Yuzuha Yui adalah seorang gyaru yang populer di
seluruh sekolah, pusat dari kelas 1-2, dan juga teman lamaku sejak SMP.
Tentu saja, aku tidak pernah merasa
"nyambung" dengannya.
Dengan rambut pirang keemasan yang diikat kuda dan sepasang
mata berwarna ungu yang mencolok, kehadirannya memberikan kesan
seakan-akan kelas ini menjadi lebih cerah hanya karena dia ada di dalamnya.
Kepribadiannya yang ramah dan ceria membuatnya sering
menjadi perbincangan di antara para pria, terutama saat mereka memperdebatkan
siapa gadis tercantik di kelas—dan nama Yuzuha selalu muncul pertama kali.
Hanya pria yang benar-benar berbakat yang bisa
membuat gadis super populer seperti Yuzuha merasa "nyambung"
dengannya.
Yuzuha kemudian menyunggingkan senyum
ke arahku.
"Perasaan 'nyambung' itu gampang
kok, cukup lihat suasananya aja! Jangan dipikirin, cukup dirasain. Semua soal
insting!"
"Seriusan?" tanyaku skeptis. "Kalau gitu,
saat kamu pakai insting buat nentuin apakah 'nyambung' sama seseorang, apa yang
terjadi?"
"Misalnya
ada cowok ganteng di sebelahku."
"Sialan!!"
Jawaban
yang terlalu jujur itu membuatku langsung berseru.
Seorang
pria tampan bisa menciptakan suasana "nyambung" hanya dengan berdiri
di samping seorang gadis.
Tanpa sadar, aku sebenarnya sudah
menyingkirkan kemungkinan itu dari pikiranku.
Faktanya, wajar jika seorang gadis
lebih memilih pria tampan—dan bagi seseorang seperti Yuzuha, yang berada di
puncak hierarki sosial, hal itu lebih dari sekadar wajar.
Merasa jawaban itu benar-benar
menghancurkan harapanku, aku menggeleng lemah.
"Sepertinya aku masih sangat jauh
dari bisa punya pacar…"
"Ehh,
belum tentu juga, kan?"
"Maksudnya?"
tanyaku penasaran.
Yuzuha
menyeringai nakal dan menyandarkan dagunya di atas mejaku.
Senyuman
ramah dan penuh percaya diri itu membuatku hampir reflek mengalihkan pandangan.
"Setiap
orang punya nilai masing-masing. Ada juga yang berpikir kalau selama mereka
bisa menikmati waktu bersama seseorang, itu sudah cukup."
"Jadi,
menurutku tidak aneh kalau kamu juga bisa disukai, Yoshiki."
Aku tidak
langsung bisa merespons.
Dan sebelum
aku sempat berpikir lebih jauh, Yuzuha menambahkan dengan nada ringan—
"Lagian,
aku juga lagi bersenang-senang sekarang, kok?"
"Ugh..."
Di bagian
akhir, suaranya terdengar pelan, justru membuatnya terasa lebih nyata.
Seorang
pria normal pasti bisa saja salah paham dan menganggap ini sebagai tanda bahwa
mereka nyambung.
Namun
sayangnya, Yuzuha adalah seorang "pemikat alami", gadis yang
bisa mendekati siapa saja dengan santai dan tanpa ragu.
Sebagai
seorang gyaru dengan kepribadian khasnya, aku harus selalu waspada agar tidak
terjebak oleh pesonanya.
"Bohong! Aku tidak akan termakan
oleh trik murahan itu!"
"Ahaha, dasar kepribadian rugi! Lagian,
aku tidak punya alasan buat bohong, kan?"
Yuzuha tertawa dengan riang, lalu
menunjukkan ekspresi nakal.
Aku menghela napas dan melanjutkan
argumenku.
"Meski tidak ada alasan, bisa aja
kamu cuma mau iseng, kan?"
"Bener
juga?"
"Jangan
langsung ngakuin gitu dong!?"
Yuzuha kembali tertawa lepas, tampak
benar-benar menikmati situasi ini.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada
di pikirannya.
Tapi setidaknya, aku merasa lega karena
dia menikmati waktu ini.
Aku menarik napas dalam-dalam dan
mencoba menyimpulkan "perdebatan nyambung" kami.
"Jadi kesimpulannya, cowok tampan
cukup duduk di sebelah cewek buat bikin suasana nyambung, ya?"
"Kalau gitu, Yoshiki juga tidak
bakal bisa cuek kalau ada cewek cantik duduk di sebelahnya, kan?"
"Kenapa kesimpulannya malah makin
ribet!?"
Kiin koon kaan koon—bel tanda masuk berbunyi.
Lima menit lagi sebelum homeroom
dimulai.
"Baiklah~"
Yuzuha merespons bel dengan santai,
lalu berdiri dari kursiku.
Saat dia bangkit, rambut kuda ekornya
ikut berayun lembut.
Aku merasa
mencium samar aroma sampo yang segar.
Yuzuha
berjalan kembali ke tempat duduknya, sementara seorang teman laki-lakiku
mengambil alih kursi yang tadi sempat dia duduki.
Cowok
berkepala plontos dengan tinggi 165 cm ini bernama Takeru Arino.
Seperti biasa, setiap kali kursinya
direbut oleh Yuzuha, reaksinya tetap sama:
"Hangat banget. Aku merasa
terhormat kursiku dipakai lagi hari ini."
"Uh…"
"Dahaha!"
Aku hanya bisa mengernyitkan dahi
melihat tingkahnya, sementara Takeru tertawa dengan puas.
Tapi ya, ini adalah interaksi khas di
antara kami sebagai teman baik.
Begitu juga dengan Yuzuha.
Mampu berbicara akrab dengan lawan
jenis adalah sesuatu yang cukup berharga.
Jadi, kalau dipikir-pikir, kehidupan
SMA ini tidak buruk sama sekali.
Bahkan, dibandingkan dengan bagian lain
dalam hidupku, mungkin ini adalah masa-masa terbaikku sejauh ini.
"Tetep aja gue iri, lu bisa
ngobrol santai sama Yuzuha tiap saat."
Takeru menggumam iri sambil melirik ke
arah Yuzuha, yang kini sedang meletakkan kepalanya di atas meja, tampak ingin
tidur.
"Yah, soalnya kita dulu satu SMP
juga."
"Ah, bohong! Kalau cuma gara-gara
itu, lu kagak bakal bisa ngobrol senyaman ini! Sial, padahal gue juga nge-push
Yuzuha! Aaah, andai aja gue bisa dibilang kawaii sama gyaru..."
"Oi, dari tadi nafsu lo bocor
semua tuh."
"Lo tidak bakal ngerti perasaan
gue, karena bisa ngobrol sama Yuzuha tiap saat! Serius deh, gue beneran iri
ngeliat kalian berdua keliatan nyambung gitu!"
Takeru memasang ekspresi sedikit kesal
sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke depan.
…Komennya tadi pas banget momennya.
Aku bergumam pelan, nyaris tak
terdengar oleh siapa pun.
"…Nyambung, ya."
Memang benar kalau aku bisa ngobrol
berdua dengan Yuzuha Yui.
Tapi itu karena hanya kami berdua yang
berasal dari SMP yang sama dan masuk ke SMA ini.
Walaupun aku dianggap teman oleh
Yuzuha, dia tetap punya banyak—sungguh, banyak sekali—teman yang juga
dekat dengannya.
Dulu, saat masih SMP, aku memang pernah
mengobrol dengannya, tapi hanya dalam grup.
Baru saat kelas tiga, aku mulai lebih
akrab dengannya secara pribadi.
Kalau dipikir-pikir, Yuzuha pasti lebih
senang kalau ada teman lain dari SMP kami yang masuk ke SMA ini.
Melihat dari semua itu, aku merasa
obrolan kami tadi sama sekali bukan sesuatu yang bisa disebut nyambung
dalam arti romantis.
…Tapi tetap saja, buatku, bisa satu SMA
dengan Yuzuha adalah keberuntungan besar.
Aku bisa beradaptasi dengan mudah di SMA
Nishidai Kita, di kelas 1-2 ini, semua karena kehadiran Yuzuha.
Berwajah cantik, bersikap ramah tanpa
membeda-bedakan siapa pun, dan sering dianggap sebagai "matahari"
oleh para cowok, Yuzuha langsung jadi pusat perhatian di kelas ini.
Keberadaannya yang sering mengajakku
mengobrol membawa dampak besar—baik dan buruk—tapi secara keseluruhan, itu
membuat kehidupanku di SMA lebih stabil.
Mungkin karena pusat kelas ini adalah
seorang gyaru yang ceria, atmosfer di antara teman-teman sekelas juga terasa
hangat dan santai.
Sampai sejauh ini, aku belum mengalami
kesulitan dalam bersosialisasi.
Hanya ada satu hal yang terasa kosong
dalam keseharianku—sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
── Nyambung, ya.
Seorang cowok yang bahkan gagal
melewati tahap pertama dalam mencari pacar…
Apa aku benar-benar bisa jatuh cinta
suatu hari nanti?
Saat aku memikirkan itu, tiba-tiba
Yuzuha menoleh ke arahku.
Sambil
menyembunyikan ponselnya di balik meja, dia mengetik sesuatu dengan cepat.
Setelah
memastikan guru belum masuk ke kelas, aku melirik layar ponselnya.
Yui: "Btw,
buat aku yang paling penting tuh keseruan."
Aku
langsung menatapnya dengan kaget, tapi dia malah memasang senyum penuh arti.
Sial…
barusan aku hampir saja menganggap ini nyambung beneran!
◇◆
Karena percakapan pagi ini, aku merasa
sulit untuk fokus dalam pelajaran hari ini.
Bahkan saat jam pelajaran keempat,
perasaan itu masih sama. Aku akhirnya mengalihkan pandangan ke seluruh kelas
untuk membunuh rasa bosan.
Di salah satu bangku di tengah, kulihat
ekor kuda Yuzuha bergoyang-goyang.
Dia sedang
bertukar catatan dengan gadis di depannya sambil mengobrol tentang sesuatu.
Kata-katanya tadi pagi kembali
terlintas di benakku.
── "Btw, buat aku yang paling
penting tuh keseruan."
...Iya, itu memang cocok dengan
dirinya.
Orang seperti Yuzuha, yang populer di mana-mana,
tidak akan repot-repot mencari alasan atas setiap hal yang terjadi di
hadapannya.
Dia hanya
mengikuti nalurinya dan bergerak ke arah yang paling menyenangkan.
Itu sifat
khasnya, dan mudah terlihat bagi siapa saja yang memperhatikannya.
Kancing
bajunya yang terbuka hingga tombol kedua, hoodie tipis berwarna ungu muda,
rambut pirang terang, serta kuku yang dihias dengan rapi—semuanya menunjukkan
bahwa dia menjalani gaya yang benar-benar dia sukai.
Kepribadian
Yuzuha yang mengutamakan kesenangan tak hanya tercermin dalam penampilannya,
tetapi juga dalam sikap dan perkataannya.
Sikapnya
yang ramah dan bisa membaur dengan siapa saja membuatnya jadi sosok gyaru yang
bahkan baik terhadap para otaku.
Suasana
ceria yang sejak awal terbentuk di kelas 1-2 ini adalah berkat Yuzuha, yang
tanpa ragu menjadi pusat perhatian.
Sebagian
cowok bahkan menjulukinya "Matahari", sebuah bukti betapa dia
dihormati di kelas.
"Hari
ini tanggal sembilan, kali tiga, berarti nomor absen dua puluh tujuh!"
Ucapan guru
tiba-tiba menarikku kembali ke dunia nyata.
Sambil
menyembunyikan wajah di balik buku pelajaran, aku tersenyum kecut.
Serius, barusan guru itu pakai
perkalian buat milih orang?
Dan yang kena giliran kali ini adalah—
"Ya."
Seperti tetesan air yang jatuh ke
permukaan danau yang tenang, suara lembut dan jernih itu menyebar di seluruh
kelas.
Aku refleks
menutup mulut dan mengurungkan niat untuk berbicara dengan Takeru.
Setiap kali dia berbicara, suasana
kelas selalu berubah secara drastis.
Saat Yuzuha berbicara di depan kelas,
suasananya selalu ramai dan penuh keceriaan.
Tapi kali ini, yang terjadi adalah
kebalikannya.
Banyak dari
kami ingin mendengar setiap kata yang dia ucapkan.
Mungkin
karena itu, semua orang langsung diam dan fokus mendengarkannya.
Dalam
kehidupan sehari-hari di kelas ini, hanya dia yang bisa menciptakan atmosfer
seperti ini.
"Hanazono-san, ya. Oke,
silakan."
Gadis itu berdiri sambil menggoyangkan
rambut bob kecokelatannya dengan ringan.
Namanya Hanazono Yuuka.
Dia adalah gadis yang (seharusnya)
cukup dekat denganku saat kelas tiga SMP.
Kami bersekolah di SMP yang berbeda,
tapi kebetulan pernah satu tempat les untuk beberapa waktu.
Pada akhirnya, aku tidak pernah
melangkah lebih jauh, dan hubungan kami pun perlahan memudar.
Fakta bahwa kami pernah satu tempat les
bersama hampir tidak diketahui oleh siapa pun di sekolah ini.
Kalau aku bilang kami pernah dekat,
pasti teman-teman sekelas tidak akan percaya.
Sambil aku memikirkan hal itu, Hanazono
mulai membaca dengan tenang.
"──Mendengar kata-katanya, aku
merasa seolah-olah hatiku dipenuhi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dunia
yang dulu tampak semu tiba-tiba kembali dipenuhi warna—"
Tugas dari guru hanya membaca sebuah bagian dari cerita.
Namun, narasi dan dialog yang dia bacakan terdengar begitu
merdu, seolah-olah itu adalah sebuah lagu.
Meskipun suaranya lembut, anehnya tetap jelas terdengar dan
membekas di telinga.
Seolah-olah, bahkan dalam suasana yang bising, suara itu
tetap bisa menembus segalanya.
Suara yang memiliki daya tarik semacam itu adalah
keistimewaan Hanazono.
"Bagus
sekali. Suaramu benar-benar memesona."
Sadar atau
tidak, guru itu memujinya dengan tulus.
Hanazono
tersenyum tipis dan membungkukkan badan dengan sopan.
Para cowok
di kelas pun mulai menatapnya dengan penuh kekaguman—dengan cara yang berbeda.
...Aku
benar-benar pernah ngobrol akrab dengan Hanazono Yuuka, ya?
Bahkan aku sendiri hampir sulit
mempercayainya sekarang.
Saat tahu dia masuk ke SMA yang sama,
aku sangat senang. Bahkan aku sempat melompat kegirangan.
Fakta bahwa kami berada di kelas yang
sama pun terasa seperti keberuntungan besar.
Namun, meskipun sekarang kami berada di
lingkungan yang sama, aku hampir tidak pernah berbicara dengannya.
Hanazono jauh lebih menonjol dari yang
aku perkirakan.
Dia menjadi sosok yang sulit untuk
didekati.
...Atau mungkin, bukan itu masalahnya.
Begitu kami masuk SMA dan satu kelas,
aku akhirnya menyadari sebenarnya seberapa jauh jarak kami.
Pemikiran bahwa "kalau aku berani
menyatakan perasaan, mungkin kami bisa pacaran", kini terasa seperti ilusi
belaka.
Karena bimbingan belajar bukanlah
sekolah, lingkup pergaulannya jauh lebih kecil.
Itulah sebabnya aku bisa berbicara
dengannya dulu.
Tapi tetap saja—selama aku tidak
mencoba menanyakan langsung padanya, kemungkinan kecil itu masih ada.
Jadi, mungkin... dunia khayalan lebih
cocok untukku.
◇◆
Ketika pelajaran bahasa Jepang berakhir, hampir semua orang
berdiri serempak.
Ya, ini adalah waktu istirahat siang
yang telah lama dinanti.
Para siswa yang ingin menikmati
istirahat siang tanpa menyia-nyiakan waktu mulai berbicara dengan riuh,
memenuhi ruang kelas dengan suara mereka. Lorong pun sama ramainya.
"Fiuh..."
Tempat dudukku berada di barisan paling
belakang, di sisi lorong.
Dengan kata lain, aku duduk di tempat
yang paling dekat dengan pintu keluar. Saat pelajaran berlangsung, ini adalah
posisi terbaik karena sulit bertemu pandang dengan guru, tetapi saat istirahat,
tempat ini berubah menjadi lokasi yang kurang nyaman karena ikut terseret dalam
keramaian di lorong.
Siswa yang memiliki urusan di dalam
maupun di luar kelas terus melewati belakangku, sehingga sulit untuk merasa
tenang.
"Makan siang!"
Takeru berdiri dari kursinya dengan
suara yang sangat lantang seolah berbicara sendiri.
Di balik punggung Takeru, aku bisa
melihat kelompok Yuzuha.
Dua gadis yang berdiri di samping
Yuzuha juga memiliki penampilan yang cukup mencolok sehingga mereka pasti akan
menarik perhatian jika berada di kelas lain. Bagiku, pemandangan ini terasa
sedikit menyilaukan.
Kelompok Yuzuha mulai melangkah dan
berpindah ke belakangku.
Saat aku tengah merapikan buku
pelajaran di dalam mejaku tanpa memperhatikan mereka, tiba-tiba kursiku
terguncang keras.
"Aw, sakit!"
"Ah, maaf! Aku melakukannya
lagi!"
Saat menoleh ke belakang, aku melihat
Yuzuha menjulurkan lidahnya dengan ekspresi jahil.
"Kamu sudah melakukannya berapa
kali bulan ini? Jangan-jangan sengaja?"
Mendengar keluhanku, Yuzuha malah
merajuk dan balik menyerang.
"Haa, kamu juga bisa sedikit
khawatir denganku, kan!? Lagipula, salahmu juga duduk di tempat itu!"
"Tapi
ini kan tempat duduk yang sudah ditentukan!?"
"Ribet
banget! Makanya kamu tidak laku!"
"Tapi
tadi pagi kamu ngomong beda!!"
Yuzuha
menjulurkan lidahnya dengan jahil, lalu langsung menghilang ke lorong.
Dari belakang
terdengar suara seorang gadis yang berkata, "Berhenti deh berduaan kayak
pasangan komedian!"
Percakapanku
dengan Yuzuha, entah bagaimana, sering menjadi alasan untuk lebih akrab dengan
orang-orang di sekitar.
Terutama
karena anggota kelompok Yuzuha selalu tertawa melihat interaksi kami, dan itu
cukup membuatku senang. Jadi untuk hari ini, anggap saja semuanya impas.
Dengan
pikiran seperti itu, aku mulai mengambil kotak bekal untuk mengikuti Takeru.
Saat
itulah—
Aroma bunga
yang lembut menggelitik hidungku.
Ketika aku
mengangkat pandangan, aku melihat Hanazono Yuuka sedang mendekat dari arah
depan.
"…Uwah."
Aku secara
refleks mengeluarkan suara kecil.
…Hanazono
terlihat semakin dewasa sejak SMP, dan sekarang dia bahkan semakin cantik.
Mungkin
karena itu juga, sejak kami sekelas, aku hampir tidak pernah berbicara
dengannya.
Saat aku
masih asyik menganalisis hal yang tidak perlu, Hanazono semakin mendekat.
…Jangan-jangan, dia akan menyapaku?
Saat jarak kami hanya beberapa puluh
sentimeter, aku merasa sedikit berharap.
Namun, Hanazono sama sekali tidak
melihat ke arahku dan begitu saja melewatiku.
Aku merasakan angin tipis di
punggungku, dan dalam sekejap, keberadaannya menghilang.
"…Ya,
kan."
Aku
bergumam kecil.
Sejak masuk SMA, Hanazono tidak pernah
sekalipun menyapaku.
Hubungan kami bisa dibilang sudah
renggang.
Bukan karena ada masalah atau konflik
apa pun.
Alasannya sepele—kami jarang bertemu
karena tempat les kami berubah, dan kesibukan persiapan ujian masuk SMA juga
membuat kami makin jarang berinteraksi.
Aku sempat ragu apakah harus mengejar
Hanazono, tapi pada akhirnya aku memilih untuk pura-pura sibuk merapikan buku.
Padahal, bukuku sudah rapi. Tapi aku
tetap mengeluarkannya lagi, lalu memasukkannya kembali, seolah sedang mengulur
waktu.
…Dasar pengecut.
Aku tahu, kalau aku tidak memulai
pembicaraan, hubungan ini tidak akan berubah.
Tapi kalau aku memang tipe orang yang
bisa langsung bertindak, pasti sejak dulu aku sudah melakukannya.
"Yoshi—"
Sekarang, hampir tidak ada yang tahu
kalau aku dan Hanazono pernah akrab.
Kalau tiba-tiba aku menyapanya, pasti
bakal menarik perhatian.
"Yoshi?"
Jadi, ya sudahlah.
Aku sadar kalau pola pikir ini hanyalah
bentuk dari sikap pasrahku, tapi tetap saja aku tidak bisa bergerak.
…Inilah alasan kenapa aku disebut
pengecut.
"Hei, Yoshi!"
Seseorang menepuk ringan pundakku dari
samping, membuatku menoleh ke lorong.
Hanazono mengintip dari luar kelas
dengan ekspresi ragu-ragu.
"…Hah? H-Hanazono?"
Meskipun terlihat sedikit bimbang,
Hanazono akhirnya masuk kembali ke kelas.
Di tangannya, entah kenapa, ada banyak
tumpukan dokumen.
"Maaf, bolehkah kamu membantuku
membawanya ke ruang guru?"
"Eh? A-ah… Oke. Iya, oke!"
Aku menjawab dengan terbata-bata, tapi tetap menyetujuinya. Setuju,
kan?
Mendengar
jawabanku, Hanazono tersenyum lega.
"Terima kasih."
"N-n-tidak masalah…"
…Serius nih?
Sejak masuk SMA, ini pertama kalinya
dia berbicara denganku.
Padahal selama beberapa bulan terakhir,
kami hampir tidak pernah bertukar kata.
Meskipun ini hanya permintaan dari
guru, aku tetap merasa bersyukur.
Kalau saja aku tidak ribut dengan
Yuzuha tadi, mungkin aku sudah keluar kelas dan melewatkan momen ini.
Entah kenapa, aku bahkan ingin
berterima kasih pada si gadis pirang itu.
Saat aku bangkit dari kursi, aku
menyadari sesuatu—hatiku terasa lebih ringan.
Aku merasa seolah-olah ada roda yang
kembali berputar dalam hidupku.
◇◆
Setelah
mengantarkan dokumen ke guru, aku berjalan kembali dari ruang guru.
Aku
berjalan sejajar dengan Hanazono di lorong.
Hanya itu saja, tapi entah kenapa
lorong yang biasa kulihat tampak lebih bersinar. Aku segera menggelengkan
kepala dengan kuat.
Tenang, aku.
Aku bisa merasakan lebih banyak tatapan
dibanding saat berjalan sendirian—itu karena Hanazono ada di sebelahku.
Orang-orang melihatku hanya karena
kebetulan aku berjalan bersamanya, bukan karena aku sendiri yang menarik
perhatian.
Wajar kalau Hanazono menarik perhatian.
Bahkan aku yang berjalan di sebelahnya
pun sulit untuk tidak meliriknya.
Setiap kali aku mengalihkan pandangan
ke Hanazono, aku buru-buru melihat ke depan begitu merasa dia akan menangkap
basah tatapanku.
Aku mengulangi gerakan konyol itu
berulang kali sampai akhirnya mata kami benar-benar bertemu.
"Eh?"
"Ah, ma… maaf."
"Kenapa minta maaf?"
"Eh… bukan apa-apa."
"…Fufu. Aneh deh, Yoshi."
Hanazono tertawa pelan.
Jantungku berdebar kencang.
…Dia tetap luar biasa cantik.
Jika Yuzuha bisa dibilang sebagai tipe
gyaru—atau lebih tepatnya tipe yang cantik dan menawan, maka Hanazono adalah
kebalikannya.
Yuzuha, dengan penampilannya, terkadang
memberikan kesan sulit didekati.
Bahkan aku mengagumi gayanya yang
sering memakai hoodie di atas seragam sekolah, meski di SMP dulu dia beberapa
kali disalahpahami karena itu.
Sementara itu, Hanazono memiliki aura
yang lembut, dengan daya tarik manis yang membuat semua cowok ingin
melindunginya.
Aku yakin dia sendiri pasti tahu
bagaimana orang-orang menilainya, tapi dia sama sekali tidak sombong.
Tidak peduli bagaimana orang
melihatnya, Hanazono tetap berjalan dengan ritmenya sendiri. Kadang-kadang,
dia terlihat sedikit melankolis dan jarang berbicara dengan orang lain.
Dia bahkan
hampir tidak berbicara dengan anak-anak populer, sehingga para cowok mulai
menjulukinya "Malaikat Tersembunyi" sekolah.
Sementara
pusat perhatian kelas adalah Yuzuha Yui, Hanazono sebenarnya tak kalah populer.
Sebagai
seseorang yang sudah mengenalnya sejak SMP, aku merasa wajar jika dia begitu
disukai.
Aku bahkan
ingin pamer dengan berkata, "Kalau sudah dekat dengannya, dia
sebenarnya suka bercanda juga, lho!"
Tapi pada
akhirnya, meski kami sedang berdua begini, aku tetap hampir tidak bisa
mengajaknya bicara.
Kalau aku
membiarkan kesempatan ini berlalu, rasanya hubungan kami akan kembali renggang.
Mungkin perasaan "dulu kami cukup
dekat" itu hanya ilusiku saja.
Tapi aku yakin, ada masa ketika kami
sering ngobrol dan tertawa bersama. Itu kenyataan yang tak bisa diubah.
Faktanya, hari ini dia yang pertama
kali menyapaku. Itu berarti bukan hanya aku yang merasa begitu, kan?
Akan aneh jika aku membiarkan hubungan
kami kembali merenggang.
Saat perasaan itu perlahan membuncah
dalam diriku, Hanazono tiba-tiba berbicara dengan nada lembut.
"Terima kasih sudah membantuku.
Kalau sendirian, pasti berat banget. Beruntung ada Yoshi."
"Ah… gak masalah, kok. Aku kan
cowok sejati. Tapi serius, kalau kamu sendirian pasti bakal telat, kan?"
"Ya, kalau Yoshi gak ada, mungkin
aku bakal telat untuk pertama kalinya."
"Panggil aku 'pahlawan yang
menyelamatkan Hanazono'."
"'Pahlawan yang menyelamatkan
Hanazono'!"
"Jangan panggil gitu beneran! Malu
banget!"
Mendengar
itu, Hanazono tertawa kecil.
Saat melihat senyuman itu, aku merasa
ada kehangatan yang menyala di dadaku.
Meskipun sudah lama tidak berbicara,
suasana di sekitar Hanazono tidak berubah sama sekali.
Sejak SMP, dia selalu memiliki aura
misterius yang unik.
Namun, bersamaan dengan itu, dia juga
memiliki kehangatan seperti sinar matahari yang membuat hati menjadi tenang.
Aku dulu menyukai momen seperti ini.
…Ya, aku merasa bisa mengobrol seperti
dulu lagi.
"Karena aku sudah diselamatkan,
mulai sekarang setiap ada tugas piket aku bakal minta bantuan Yoshi, ya?"
"Tolong jangan sampai
segitunya!"
"Eh, sayang sekali."
Hanazono menjawab begitu, tapi sudut
matanya menurun dengan lembut.
Jujur saja, aku ingin terus membawa
barangnya dan berjalan bersamanya ke mana pun. Tapi kalau aku dengan polos
berkata, "Mulai sekarang, serahkan semuanya padaku!" aku takut
dia malah jadi ilfeel.
Jadi, aku memilih jawaban yang cukup
lucu sekaligus menghindari risiko. Tapi kalau nanti aku melihat dia meminta
bantuan cowok lain, aku pasti bakal menyesal.
Lagipula, Hanazono mungkin malah bakal
menanggapinya dengan santai tanpa merasa terganggu.
…Sial, aku salah langkah.
Sepertinya aku memang sudah cukup lama
tidak merasakan hal ini sampai jadi kaku sendiri.
Aku pasti sedang berusaha terlalu keras
sekarang.
Kami keluar dari gedung selatan tempat
ruang guru berada, lalu berjalan menuju gedung utara, tempat kelas 1-2 berada.
Sebagai orang yang sedang lapar,
perjalanan ini terasa cukup jauh, tapi karena bersama Hanazono, aku sama sekali
tidak merasa terganggu oleh rasa laparku.
Satu-satunya hal yang tetap mengganggu
adalah tatapan orang-orang di sekitar. Tapi Hanazono sendiri sepertinya tidak
sadar bahwa dia adalah sosok yang mencolok.
Saat kami melewati taman dalam yang
menghubungkan gedung utara, Hanazono kembali berbicara padaku.
"Yoshi."
"Hm? Kenapa?"
"Kamu dekat dengan Yuzuha-san,
kan? Gimana caranya bisa sedekat itu?"
Mendengar
pertanyaan yang tiba-tiba itu, aku langsung berkedip beberapa kali.
"Eh? Soalnya kami satu SMP."
"Hanya
itu dan bisa dekat? Hebat, ya."
"Eh, etidak
juga. Kalau kamu sih
pasti bisa langsung akrab. Kalian kan sama-sama populer."
Tanpa sadar, aku mengungkapkan isi
hatiku.
Hanazono segera menyangkal dengan,
"Aku sama sekali etidak begitu," dengan nada serius.
Itulah yang
khas dari Hanazono—dia tidak terdengar seperti sedang merendah.
"Ya…
meskipun begitu, Yuzuha pasti bakal dengan senang hati menyambutmu. Dari SMP
dia sering disalahpahami, tapi aslinya dia itu ramah banget, kok."
"Tapi
Yuzuha-san selalu kelihatan sibuk, jadi aku tidak bisa menemukan waktu yang pas
buat menyapanya. Lagipula, aku juga tidak punya cukup keberanian."
"Ah…
aku paham sih perasaan itu."
Aku juga
dulu sempat menganggap Yuzuha sebagai orang yang menakutkan.
Pasti ada
orang lain yang juga butuh waktu lama untuk merasa nyaman dengannya.
Hanazono tampak sedikit terkejut.
"Kamu bisa memahami perasaanku?
Padahal kamu itu jago ngobrol."
"Jago di sisi negatifnya, ya? Dulu
pas pertama kali ketemu kamu juga aku gugup, kok."
"Eh, tapi menurutku kamu justru
bagus dalam hal itu! Waktu ngajak aku nonton pertandingan juga kamu yang
ngajak, kan?"
Bau resin tiba-tiba terlintas di
pikiranku.
Kami pertama kali bertemu pada musim
semi saat kelas tiga SMP.
Baru setahun berlalu, tapi rasanya
sudah jadi kenangan yang nostalgia.
Aku menyeringai.
"Benar juga. Tapi waktu itu justru
kamu yang lebih gugup. Kalau dipikir-pikir, kamu sama sekali bukan tipe orang
yang akan high five dengan cowok yang baru pertama kali ditemuinya."
"Wah,
kamu tega banget ngomong gitu! Padahal waktu itu aku cuma ingin mencairkan
suasana!"
"Hahaha, benarkah?"
"Ugh… tapi itu benar, lho. Aku
jadi kesal."
Hanazono menggembungkan pipinya
sedikit.
…Sebenarnya, orang yang paling bikin
aku gugup sekarang itu ya kamu, sih. Tapi biarlah kata-kata itu kusimpan
sendiri.
"Pokoknya, Yuzuha mungkin terlihat
sibuk karena banyak ngobrol dengan berbagai orang, tapi dia pasti bakal bilang
kalau kamu tidak perlu sungkan."
Aku bisa membayangkan dengan jelas
bagaimana Yuzuha bakal sangat senang sampai memeluk Hanazono dengan mata
berbinar.
"Lagipula, banyak kok yang ingin
lebih dekat denganmu."
"…Senang
sih mendengarnya, tapi aku sendiri merasa tidak begitu. Temanku justru
sedikit."
"Serius?"
"Iya.
Tapi, kalau Yoshi bilang begitu, aku jadi sedikit menantikannya."
"Kalau gitu, serahkan
padaku!"
"Lho, tunggu. Jadi aku tidak
bakal bisa berteman dengannya?"
Hanazono
terkejut sejenak, lalu kembali tersenyum.
Di kelas,
dia seperti dalam mode hemat energi, tidak berusaha menonjol.
Tapi saat
berdua begini, dia sering tersenyum.
Pasti sudah banyak yang terpikat oleh
sisi ini darinya.
Aku sendiri
bisa merasakan hatiku bergetar hanya dengan mengobrol sebentar dengannya.
Aku
berharap, tidak ada cowok lain yang bisa bercanda dengannya seperti aku.
"Tapi, kenapa sih kamu ingin dekat
dengan Yuzuha?"
Sebenarnya, menanyakan alasan ingin
berteman itu hal yang kurang sopan.
Aku sadar akan itu, tapi aku juga tidak
ingin membiarkan percakapan ini berakhir dengan hening.
Namun, jawaban yang kudapat sungguh di
luar dugaan.
"Soalnya… bukannya Yoshi pacaran
dengan Yuzuha-san? Kalau aku dekat dengannya, aku pikir aku juga bisa lebih
mudah ngobrol denganmu."
"…Hah!?"
Aku secara refleks berseru keras.
Dengan cepat, aku mengajak Hanazono ke
tempat yang lebih sepi.
Di balik
gedung sekolah, ada bangku yang tersembunyi.
Setelah
memastikan tidak ada orang di sekitar, aku pun bertanya dengan serius.
"Itu tiba-tiba banget…
Kenapa?"
"Ah, maaf ya? Aku tidak bermaksud
apa-apa, kok."
Dengan nada
tenang, dia langsung menjelaskan.
Aku terdiam
sejenak, mencoba menenangkan diri.
…Apa yang kulakukan? Aku harus tetap
tenang. Kalau panik, momen ini malah akan sia-sia.
"Yoshi, meskipun kita satu kelas,
kamu hampir tidak pernah ngajak aku ngobrol. Jadi aku pikir mungkin itu karena
kamu punya pacar."
Hanazono menyipitkan matanya sedikit,
mungkin karena silau terkena sinar matahari.
Aku mengulang kata-kata yang baru saja
kudengar di dalam kepalaku. Begitu mengejutkan perkataan Hanazono sampai-sampai
aku harus mencerna ulang.
…Aku tidak mengajaknya bicara? Jadi,
begitu yang terlihat di matanya.
Aku kira kami menjadi jauh hanya karena
aku tidak berbicara dengannya. Aku sudah menyadarinya, tapi tidak kusangka
Hanazono juga memperhatikannya.
"…Jadi, maksudmu, kamu sengaja
tidak berbicara denganku karena mempertimbangkan gosip itu?"
"Bisa dibilang begitu."
"Kalau saja kamu bicara denganku,
kesalahpahaman itu pasti bisa diluruskan."
"Aku merasa, kalau sampai harus
meluruskan gosip demi berbicara, rasanya malah tidak tepat."
"Setidaknya, bisa tidak sih, kamu
terlihat agak canggung saat mengatakan itu!?"
Hanazono mengedipkan matanya beberapa
kali menatap reaksiku, lalu tertawa kecil.
"Lagipula, gosip itu juga sudah
dibantah sama Yuzuha, kan? Kamu tidak tahu?"
"Rugi banget aku sampai mikirin
ini!"
"Itu justru kata-kataku,
tahu!?"
Mendengar jawabanku, Hanazono tertawa
lepas, seakan merasa puas.
Yah, kalau bisa membuatnya tertawa,
rasanya tidak buruk juga. Hanya dengan melihat gadis manis tertawa, seorang
laki-laki bisa bertahan hidup selama seminggu.
Setelah puas tertawa, Hanazono masih
tersenyum saat melanjutkan perkataannya.
"Jadi, gosip itu memang salah
ya."
"Jelas saja. Aku dan dia
tidak sebanding."
"Sama sekali tidak begitu."
"Tentu saja begitu."
Hanazono memiringkan kepalanya sedikit,
tampak berpikir.
…Kenapa dia bisa terlihat begitu
menggemaskan?
Aku masih saja terpikir seperti itu
tiap kali melihatnya melakukan hal kecil seperti ini.
"Mm… ada sesuatu di wajahku?"
"Tidak, tidak ada. Maaf."
Tanpa sadar, aku menatapnya terlalu
lama. Sadar akan hal itu, aku buru-buru mengalihkan pandanganku.
Kalau ini terjadi pada gadis lain, dia
pasti sudah menganggapku aneh.
Tapi Hanazono tetap tersenyum. Dia
memang seperti malaikat.
Saat aku berpikir begitu…
"Jadi, kamu terpesona padaku,
ya?"
"Itu… bukan! Udah lama banget aku tidak
dengar candaanmu yang seperti ini!"
"Fufu.
Kalau kamu masih single, berarti aku boleh bercanda seperti ini lagi, kan? Tenang
saja, aku benar-benar bercanda, kok."
"Kalau
sampai perlu ditekankan dengan 'benar-benar', berarti ini memang bercanda yang
serius, ya…"
Hanazono kembali tersenyum, lembut.
Dan aku pun sama.
…Cuma bertukar candaan sebentar seperti
ini saja, rasanya sudah begitu menyenangkan.
Beberapa detik berlalu, tapi Hanazono
tidak juga melanjutkan percakapan.
Aku tidak tahan dengan keheningan ini,
jadi aku yang lebih dulu membuka suara.
"Heh, Hanazono."
"Hm?"
"Kamu itu dulu juga suka bercanda
seperti ini, tapi teman-teman di kelas sepertinya tidak ada yang tahu,
ya?"
"Ah…
iya. Memang tidak banyak yang tahu. Soalnya, bisa jadi ada orang yang tidak
nyaman dengan candaan seperti ini. Makanya, aku mengendalikannya."
"Lalu, kenapa kamu bisa bercanda
seperti ini denganku?"
"Ahaha, lucu juga cara kamu
mengatakannya. Kamu mau aku bercandain terus?"
"Eh, bukan begitu maksudku…"
Hanazono tertawa kecil. "Aku cuma
bercanda, kok."
"Di bimbel, kita tidak punya
banyak teman yang sama, kan? Makanya, aku lebih gampang ngomong seperti ini."
"Oh,
iya juga. Lagi pula, gosip di bimbel jarang menyebar sampai ke sekolah."
"Benar.
Bimbel itu tempat yang enak, ya."
Hanazono
menyisir rambutnya dengan jari, lalu membuka mulutnya pelan.
"Kamu tahu, aku selalu menganggap
Yoshiki itu temanku."
"Eh. Terima kasih."
"Jadi, aku pikir kalau aku
bercanda seperti ini, kita bisa jadi akrab lagi."
Hanazono menautkan tangannya di
belakang punggung, lalu melangkah ke depanku dengan lincah.
"Yoshiki-kun, kamu bakal
memaafkanku?"
…Apa-apaan pertanyaan itu?
Jawabannya sudah jelas.
"Tentu saja."
"Yeay~."
Hanazono bertepuk tangan kecil dengan
riang.
Tubuh mungilnya sedikit berayun,
rambutnya melambai pelan.
──Tapi, hanya sedikit.
Sedikit saja, ada sesuatu dalam
perkataannya yang terasa berbeda dengan kenangan yang kuingat.
…Yah, kami memang hanya teman bimbel,
jadi wajar saja kalau ada sisi yang belum kuketahui.
Hanazono
lalu berjalan ke bangku yang terletak beberapa meter di depan.
Bangku itu
tersembunyi di balik bayangan gedung sekolah, tidak terlihat dari jendela
kelas.
Di tempat seperti ini, hanya berdua.
Tapi Hanazono duduk di sana dengan
santai, tanpa sedikit pun ragu.
"Uhm… boleh aku duduk di
sebelahmu?"
"Tentu,
tentu!"
Dengan
ekspresi ramah, Hanazono menepuk kursi di sebelahnya.
Aku duduk
dengan jarak sekitar lima puluh sentimeter darinya, hanya duduk setengah.
…Apa aku terlalu terlihat sadar diri?
Menyadari itu, aku segera duduk lebih
dalam agar terlihat lebih santai.
"Sudah lama tidak ada waktu bareng
Yoshiki."
"Aku juga, sudah lama tidak ada
waktu bareng Hanazono."
Begitu aku membalas, Hanazono tersenyum kecil,
"Fufu."
Kalau ada orang yang melihat kami sekarang, mungkinkah
mereka bakal salah paham?
Sebenarnya, aku hampir berpikir tidak masalah kalau sampai
ada yang salah paham, tapi mengingat betapa repotnya ketika gosip dengan Yuzuha
menyebar dulu, sebaiknya aku tetap waspada dengan lingkungan sekitar.
…Tapi tetap saja, aku tidak menyangka Hanazono juga peduli
soal gosip tentangku dan Yuzuha.
"Hanazono, kupikir kamu itu tidak terlalu tertarik sama
gosip percintaan. Bahkan waktu pulang bimbel pun, aku yang sering cerita soal
percintaan, tapi kamu tidak pernah membalasnya dengan cerita dari kamu
sendiri."
"Tiba-tiba banget, ya. Aku sebenarnya tertarik, kok. Aku cuma tidak
pernah nanya langsung."
"Oh, begitu. Jadi, kamu juga
manusia biasa, ya."
"Fufu, apa itu? Aku ini manusia,
tahu. Sekaligus gadis yang imut, lho."
"Jangan terlalu sering bilang gitu
sendiri, ya?"
"Eh-hehe."
Dulu, waktu SMP, kami menjadi dekat
setelah pertandingan klub. Setelah beberapa waktu, percakapan kami mulai
bercampur dengan candaan seperti ini.
Aku masih ingat betul betapa senangnya
aku saat pertama kali dia bercanda seperti ini denganku.
Sebenarnya, karena dia memang imut,
candaan barusan juga bisa dianggap bukan candaan.
Tapi tetap saja, aku senang karena dia
mau bercanda denganku seperti ini.
…Sial, aku jadi penasaran. Apa dia
juga bercanda seperti ini dengan orang lain?
"Hanazono…
a-apa kamu punya pacar?"
"Eh,
aku?"
Aku ingin
memberi tepuk tangan untuk diriku sendiri karena berhasil menanyakan itu dengan
alami.
Mendengar pertanyaanku, Hanazono
menurunkan sudut matanya sedikit.
"Menurutmu gimana?"
"Tidak ada."
"Jahat!"
Hanazono sedikit membelalakkan matanya
sebelum tersenyum.
"Tapi
memang, seperti yang diharapkan dari Yoshiki. Kamu ngerti aku. Soalnya, punya
pacar itu tidak semudah itu, kan?"
"Ahaha.
Ya, buat cowok juga gitu sih."
Sambil
menjawab, aku bersorak dalam hati.
Sudah satu
bulan sejak masuk SMA, dan aku sudah mulai mendengar gosip tentang siapa yang
pacaran dengan siapa.
Yang
terpenting, Hanazono masih belum punya pacar.
Hanya
mengetahui itu saja sudah membuat hari ini terasa sangat berharga.
"Kalau
Yoshiki sih, pasti bakal cepat dapat pacar."
"Semoga aja."
"Pasti bisa!"
…Kenapa rasanya dia secara halus bilang
kalau aku bukan pilihan dia?
Menyadari itu, aku pun kembali tenang.
Sebenarnya, jawaban seperti apa yang
aku harapkan?
Lagipula, aku tidak pernah
mengungkapkan perasaanku ke Hanazono sebelumnya. Aku cuma merasa kalau hubungan
kami terasa istimewa secara sepihak.
Memang, berbicara dengan Hanazono
selalu terasa nyaman.
Dia tahu betul bagaimana aku dulu
kesulitan saat SMP, juga penyesalan yang aku bawa sejak SD.
Tapi, itu
bukan berarti hubungan kami lebih dari sekadar teman.
Hanya
karena dulu kami bisa berbicara tentang apa saja, bukan berarti ada kemungkinan
kami akan berpacaran.
Mungkin
satu-satunya alasan kami bisa bicara sebebas itu adalah karena kami bersekolah
di tempat yang berbeda.
Aku bahkan tidak
tahu seberapa penting aku bagi Hanazono.
"Sial.
Ternyata punya pacar itu susah banget…"
"Banget."
"…Kalau
bisa baca isi hati orang lain, pasti lebih gampang."
"Iya. Makanya, semua orang yang
bisa jatuh cinta tanpa tahu isi hati lawannya itu luar biasa. Justru kita ini
yang normal!"
"Ya udah, kita anggap aja
gitu…"
"Yup. Tapi, aku pikir Yoshiki beda
dari aku, jadi makanya aku sempat percaya sama gosip tentang kamu dan
Yuzuha-san."
Hanazono berbicara dengan ringan, tanpa
tahu apa yang ada di pikiranku.
Sekarang… aku bahkan tidak tahu apakah
kami masih bisa berbicara tentang apa saja seperti dulu.
Sekarang kami hanya sebatas teman
sekelas, dan selama ini, Hanazono bahkan tidak pernah menyapaku lebih dulu.
Selain teman masa kecil, Hanazono
adalah satu-satunya orang yang pernah membuatku merasa bisa berbicara tanpa
batas.
Kalau saja kami bisa kembali ke
hubungan seperti itu, pasti masa SMA-ku akan terasa lebih indah.
Mungkin, momen ini adalah penentu
apakah hubungan kami di masa lalu bisa terus berlanjut atau tidak.
"Hanazono, mungkin aku pernah
bilang ini dulu, tapi aku tidak pernah punya pacar."
"Benar,
kamu pernah bilang itu di bimbel juga."
Hanazono
tersenyum tipis.
"Tapi
tetap aja, bisa ngobrol sama cewek kayak Yuzuha-san itu luar biasa, lho. Aku
aja masih suka gugup kalau bicara dengannya."
"Tidak,
dia cuma teman satu SMP aja… Hubungan kami masih berlanjut sampai sekarang, itu
saja."
"Jadi kamu tidak gugup sama
sekali? Wah,
berarti kalian memang dekat, ya?"
"Sama
sekali tidak. Tidak ada yang seperti orang-orang pikirkan juga. Malah rasanya
kayak… lebih dari sekadar teman biasa, tapi bukan dalam arti romantis."
…Kalau aku
cuma ingin kembali ke hubungan yang bisa berbicara tentang apa saja, kenapa aku
menolaknya sejelas ini?
Ini malah
terdengar seperti aku tidak mau Hanazono salah paham.
Hanazono
hanya menanggapi dengan "Hmm," lalu menambahkan sesuatu seolah itu
hanya selingan.
"Kamu
memang selalu jujur, ya, Yoshiki."
"Kita
memang selalu begini, kan? Lagipula, aku udah cerita banyak hal ke kamu."
"Oh
iya, kamu juga pernah cerita kalau kamu susah bergaul di sekolah. Juga cerita
soal penolakan waktu nembak cewek."
"Bisakah
kamu tidak membuka luka lama itu…?"
Aku protes
pelan, dan Hanazono hanya meletakkan telunjuk di bibirnya.
"…Kalau
begitu, mulai sekarang, semua percakapan kita jadi rahasia berdua, ya."
Mendengar itu, aku membelalakkan mata.
…Mungkin aku bisa kembali.
Kembali ke masa ketika aku bisa
berbicara jujur pada Hanazono, yang selalu mendengarkan tanpa ragu karena kami
tidak punya teman yang sama.
"Aku senang dengarnya. Kalau kamu
mau banyak ngobrol lagi denganku, aku bakal senang banget."
"Ya, tentu saja. Aku juga punya
banyak hal yang cuma bisa kuceritakan ke kamu."
Hanazono mengayun-ayunkan kakinya
sedikit, lalu bergumam pelan.
"…Syukurlah, Yoshiki masih
single."
Tanpa kusadari, jarak di antara kami
semakin dekat.
Tanpa kusadari, jantungku berdebar
semakin kencang.
Angin hangat berhembus.
—Mungkin saja.
Mungkin saja, hari ini, aku bisa
berharap lebih.
"…Dulu kita juga sering ngomongin
cinta-cintaan, ya. Misalnya, gimana kalau aku yang jadi pacarmu?"
Begitu aku mengatakannya, kaki Hanazono
berhenti bergerak.
"…Ahaha, nostalgia banget. Tapi
itu tidak mungkin."
"Jahat banget!?"
"Soalnya, Yoshiki itu teman."
Hanazono mengatakan itu dengan santai,
lalu melanjutkan.
"Lagipula, kamu masih menunggu
kepulangan teman masa kecilmu, kan?"
"Itu…"
Teman masa kecil.
Ingatan empat tahun lalu kembali muncul
di kepalaku.
Mungkin, itu adalah pertama kalinya
dalam hidupku aku merasa sedang berada dalam momen yang baik dengan seorang
gadis.
"──Aku tidak bisa terus menunggu
seseorang yang bahkan tidak tahu kapan bakal pulang. Gimana kalau aku udah jadi
kakek nanti?"
"Itu namanya pasangan lansia yang
sempurna!"
"Aku tidak mau merencanakan hal
itu dari sekarang!?"
Hanazono mengepalkan kedua tangannya
dengan penuh semangat, seolah sedang memberi dukungan.
"Yoshiki. Di dunia ini, masih
banyak cewek-cewek cantik, tahu?"
"Eh?"
"Semangat ya dalam urusan cinta.
Aku mendukung perjalanan cintamu!"
Setelah mengatakan itu, Hanazono
melompat turun dari bangku taman.
Lalu, dia
melangkah sedikit ke depan, melambaikan tangan, dan berkata,
"Bye-bye," sebelum pergi.
Seolah-olah
semua waktu yang baru saja kami habiskan hanyalah sebuah ilusi—sehangat sinar
matahari, sesejuk bayangan pepohonan.
Aku merasa dilingkupi oleh perasaan
yang aneh.
Lalu, saat aku mengulang kembali
percakapan barusan di kepalaku, aku menyadari sesuatu.
…Eh?
Barusan, apa aku baru saja ditolak?
Setidaknya, rasanya seperti dia sengaja
memberi peringatan agar aku tidak berpikir aneh-aneh.
Angin hangat berhembus lembut di pipiku.
──Hanazono tahu semua tentang masa-masa
sulitku di SMP.
Tapi
mungkin, aku sendiri tidak benar-benar tahu banyak tentang Hanazono.
Karena
selama ini, dia jarang sekali bercerita tentang dirinya sendiri.
Mungkin,
hari ini adalah hari di mana satu momen yang terasa baik harus diakhiri.