NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Jilid 1 Bab 1

 Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


Bab 1 – “Merasa Cocok” adalah Rintangan Pertama dalam Cinta

"Ahaha, Yoshiki, kamu itu terlalu pesimis!"

"Apa!?" Aku spontan berseru, "Bukannya ini sesuatu yang cukup banyak orang pikirkan!?"

Di depanku, duduk seorang gadis bernama Yuzuha Yui, yang tertawa lepas mendengar perkataanku.

Sudah satu bulan sejak kami masuk SMA.

Awal Mei, tepat sebelum homeroom pagi dimulai.

Yuzuha tiba-tiba memulai obrolan tentang cinta, dan aku sedang berbicara dengannya soal bagaimana seseorang bisa menilai apakah dirinya "nyambung" dengan orang lain atau tidak.

Namun, bagi Yuzuha, memikirkan hal semacam itu saja sudah terlalu merepotkan.

"Ehh, aku sih langsung tahu secara insting~" katanya dengan senyum kecil.

Yuzuha Yui adalah seorang gyaru yang populer di seluruh sekolah, pusat dari kelas 1-2, dan juga teman lamaku sejak SMP.

Tentu saja, aku tidak pernah merasa "nyambung" dengannya.

Dengan rambut pirang keemasan yang diikat kuda dan sepasang mata berwarna ungu yang mencolok, kehadirannya memberikan kesan seakan-akan kelas ini menjadi lebih cerah hanya karena dia ada di dalamnya.

Kepribadiannya yang ramah dan ceria membuatnya sering menjadi perbincangan di antara para pria, terutama saat mereka memperdebatkan siapa gadis tercantik di kelas—dan nama Yuzuha selalu muncul pertama kali.

Hanya pria yang benar-benar berbakat yang bisa membuat gadis super populer seperti Yuzuha merasa "nyambung" dengannya.

Yuzuha kemudian menyunggingkan senyum ke arahku.

"Perasaan 'nyambung' itu gampang kok, cukup lihat suasananya aja! Jangan dipikirin, cukup dirasain. Semua soal insting!"

"Seriusan?" tanyaku skeptis. "Kalau gitu, saat kamu pakai insting buat nentuin apakah 'nyambung' sama seseorang, apa yang terjadi?"

"Misalnya ada cowok ganteng di sebelahku."

"Sialan!!"

Jawaban yang terlalu jujur itu membuatku langsung berseru.

Seorang pria tampan bisa menciptakan suasana "nyambung" hanya dengan berdiri di samping seorang gadis.

Tanpa sadar, aku sebenarnya sudah menyingkirkan kemungkinan itu dari pikiranku.

Faktanya, wajar jika seorang gadis lebih memilih pria tampan—dan bagi seseorang seperti Yuzuha, yang berada di puncak hierarki sosial, hal itu lebih dari sekadar wajar.

Merasa jawaban itu benar-benar menghancurkan harapanku, aku menggeleng lemah.

"Sepertinya aku masih sangat jauh dari bisa punya pacar…"

"Ehh, belum tentu juga, kan?"

"Maksudnya?" tanyaku penasaran.

Yuzuha menyeringai nakal dan menyandarkan dagunya di atas mejaku.

Senyuman ramah dan penuh percaya diri itu membuatku hampir reflek mengalihkan pandangan.

"Setiap orang punya nilai masing-masing. Ada juga yang berpikir kalau selama mereka bisa menikmati waktu bersama seseorang, itu sudah cukup."

"Jadi, menurutku tidak aneh kalau kamu juga bisa disukai, Yoshiki."

Aku tidak langsung bisa merespons.

Dan sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, Yuzuha menambahkan dengan nada ringan—

"Lagian, aku juga lagi bersenang-senang sekarang, kok?"

"Ugh..."

Di bagian akhir, suaranya terdengar pelan, justru membuatnya terasa lebih nyata.

Seorang pria normal pasti bisa saja salah paham dan menganggap ini sebagai tanda bahwa mereka nyambung.

Namun sayangnya, Yuzuha adalah seorang "pemikat alami", gadis yang bisa mendekati siapa saja dengan santai dan tanpa ragu.

Sebagai seorang gyaru dengan kepribadian khasnya, aku harus selalu waspada agar tidak terjebak oleh pesonanya.

"Bohong! Aku tidak akan termakan oleh trik murahan itu!"

"Ahaha, dasar kepribadian rugi! Lagian, aku tidak punya alasan buat bohong, kan?"

Yuzuha tertawa dengan riang, lalu menunjukkan ekspresi nakal.

Aku menghela napas dan melanjutkan argumenku.

"Meski tidak ada alasan, bisa aja kamu cuma mau iseng, kan?"

"Bener juga?"

"Jangan langsung ngakuin gitu dong!?"

Yuzuha kembali tertawa lepas, tampak benar-benar menikmati situasi ini.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya.

Tapi setidaknya, aku merasa lega karena dia menikmati waktu ini.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menyimpulkan "perdebatan nyambung" kami.

"Jadi kesimpulannya, cowok tampan cukup duduk di sebelah cewek buat bikin suasana nyambung, ya?"

"Kalau gitu, Yoshiki juga tidak bakal bisa cuek kalau ada cewek cantik duduk di sebelahnya, kan?"

"Kenapa kesimpulannya malah makin ribet!?"

Kiin koon kaan koon—bel tanda masuk berbunyi.

Lima menit lagi sebelum homeroom dimulai.

"Baiklah~"

Yuzuha merespons bel dengan santai, lalu berdiri dari kursiku.

Saat dia bangkit, rambut kuda ekornya ikut berayun lembut.

Aku merasa mencium samar aroma sampo yang segar.

Yuzuha berjalan kembali ke tempat duduknya, sementara seorang teman laki-lakiku mengambil alih kursi yang tadi sempat dia duduki.

Cowok berkepala plontos dengan tinggi 165 cm ini bernama Takeru Arino.

Seperti biasa, setiap kali kursinya direbut oleh Yuzuha, reaksinya tetap sama:

"Hangat banget. Aku merasa terhormat kursiku dipakai lagi hari ini."

"Uh…"

"Dahaha!"

Aku hanya bisa mengernyitkan dahi melihat tingkahnya, sementara Takeru tertawa dengan puas.

Tapi ya, ini adalah interaksi khas di antara kami sebagai teman baik.

Begitu juga dengan Yuzuha.

Mampu berbicara akrab dengan lawan jenis adalah sesuatu yang cukup berharga.

Jadi, kalau dipikir-pikir, kehidupan SMA ini tidak buruk sama sekali.

Bahkan, dibandingkan dengan bagian lain dalam hidupku, mungkin ini adalah masa-masa terbaikku sejauh ini.

"Tetep aja gue iri, lu bisa ngobrol santai sama Yuzuha tiap saat."

Takeru menggumam iri sambil melirik ke arah Yuzuha, yang kini sedang meletakkan kepalanya di atas meja, tampak ingin tidur.

"Yah, soalnya kita dulu satu SMP juga."

"Ah, bohong! Kalau cuma gara-gara itu, lu kagak bakal bisa ngobrol senyaman ini! Sial, padahal gue juga nge-push Yuzuha! Aaah, andai aja gue bisa dibilang kawaii sama gyaru..."

"Oi, dari tadi nafsu lo bocor semua tuh."

"Lo tidak bakal ngerti perasaan gue, karena bisa ngobrol sama Yuzuha tiap saat! Serius deh, gue beneran iri ngeliat kalian berdua keliatan nyambung gitu!"

Takeru memasang ekspresi sedikit kesal sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke depan.

…Komennya tadi pas banget momennya.

Aku bergumam pelan, nyaris tak terdengar oleh siapa pun.

"…Nyambung, ya."

Memang benar kalau aku bisa ngobrol berdua dengan Yuzuha Yui.

Tapi itu karena hanya kami berdua yang berasal dari SMP yang sama dan masuk ke SMA ini.

Walaupun aku dianggap teman oleh Yuzuha, dia tetap punya banyak—sungguh, banyak sekali—teman yang juga dekat dengannya.

Dulu, saat masih SMP, aku memang pernah mengobrol dengannya, tapi hanya dalam grup.

Baru saat kelas tiga, aku mulai lebih akrab dengannya secara pribadi.

Kalau dipikir-pikir, Yuzuha pasti lebih senang kalau ada teman lain dari SMP kami yang masuk ke SMA ini.

Melihat dari semua itu, aku merasa obrolan kami tadi sama sekali bukan sesuatu yang bisa disebut nyambung dalam arti romantis.

…Tapi tetap saja, buatku, bisa satu SMA dengan Yuzuha adalah keberuntungan besar.

Aku bisa beradaptasi dengan mudah di SMA Nishidai Kita, di kelas 1-2 ini, semua karena kehadiran Yuzuha.

Berwajah cantik, bersikap ramah tanpa membeda-bedakan siapa pun, dan sering dianggap sebagai "matahari" oleh para cowok, Yuzuha langsung jadi pusat perhatian di kelas ini.

Keberadaannya yang sering mengajakku mengobrol membawa dampak besar—baik dan buruk—tapi secara keseluruhan, itu membuat kehidupanku di SMA lebih stabil.

Mungkin karena pusat kelas ini adalah seorang gyaru yang ceria, atmosfer di antara teman-teman sekelas juga terasa hangat dan santai.

Sampai sejauh ini, aku belum mengalami kesulitan dalam bersosialisasi.

Hanya ada satu hal yang terasa kosong dalam keseharianku—sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

── Nyambung, ya.

Seorang cowok yang bahkan gagal melewati tahap pertama dalam mencari pacar…

Apa aku benar-benar bisa jatuh cinta suatu hari nanti?

Saat aku memikirkan itu, tiba-tiba Yuzuha menoleh ke arahku.

Sambil menyembunyikan ponselnya di balik meja, dia mengetik sesuatu dengan cepat.

Setelah memastikan guru belum masuk ke kelas, aku melirik layar ponselnya.

Yui: "Btw, buat aku yang paling penting tuh keseruan."

Aku langsung menatapnya dengan kaget, tapi dia malah memasang senyum penuh arti.

Sial… barusan aku hampir saja menganggap ini nyambung beneran!

◇◆

Karena percakapan pagi ini, aku merasa sulit untuk fokus dalam pelajaran hari ini.

Bahkan saat jam pelajaran keempat, perasaan itu masih sama. Aku akhirnya mengalihkan pandangan ke seluruh kelas untuk membunuh rasa bosan.

Di salah satu bangku di tengah, kulihat ekor kuda Yuzuha bergoyang-goyang.

Dia sedang bertukar catatan dengan gadis di depannya sambil mengobrol tentang sesuatu.

Kata-katanya tadi pagi kembali terlintas di benakku.

── "Btw, buat aku yang paling penting tuh keseruan."

...Iya, itu memang cocok dengan dirinya.

Orang seperti Yuzuha, yang populer di mana-mana, tidak akan repot-repot mencari alasan atas setiap hal yang terjadi di hadapannya.

Dia hanya mengikuti nalurinya dan bergerak ke arah yang paling menyenangkan.

Itu sifat khasnya, dan mudah terlihat bagi siapa saja yang memperhatikannya.

Kancing bajunya yang terbuka hingga tombol kedua, hoodie tipis berwarna ungu muda, rambut pirang terang, serta kuku yang dihias dengan rapi—semuanya menunjukkan bahwa dia menjalani gaya yang benar-benar dia sukai.

Kepribadian Yuzuha yang mengutamakan kesenangan tak hanya tercermin dalam penampilannya, tetapi juga dalam sikap dan perkataannya.

Sikapnya yang ramah dan bisa membaur dengan siapa saja membuatnya jadi sosok gyaru yang bahkan baik terhadap para otaku.

Suasana ceria yang sejak awal terbentuk di kelas 1-2 ini adalah berkat Yuzuha, yang tanpa ragu menjadi pusat perhatian.

Sebagian cowok bahkan menjulukinya "Matahari", sebuah bukti betapa dia dihormati di kelas.

"Hari ini tanggal sembilan, kali tiga, berarti nomor absen dua puluh tujuh!"

Ucapan guru tiba-tiba menarikku kembali ke dunia nyata.

Sambil menyembunyikan wajah di balik buku pelajaran, aku tersenyum kecut.

Serius, barusan guru itu pakai perkalian buat milih orang?

Dan yang kena giliran kali ini adalah—

"Ya."

Seperti tetesan air yang jatuh ke permukaan danau yang tenang, suara lembut dan jernih itu menyebar di seluruh kelas.

Aku refleks menutup mulut dan mengurungkan niat untuk berbicara dengan Takeru.

Setiap kali dia berbicara, suasana kelas selalu berubah secara drastis.

Saat Yuzuha berbicara di depan kelas, suasananya selalu ramai dan penuh keceriaan.

Tapi kali ini, yang terjadi adalah kebalikannya.

Banyak dari kami ingin mendengar setiap kata yang dia ucapkan.

Mungkin karena itu, semua orang langsung diam dan fokus mendengarkannya.

Dalam kehidupan sehari-hari di kelas ini, hanya dia yang bisa menciptakan atmosfer seperti ini.

"Hanazono-san, ya. Oke, silakan."

Gadis itu berdiri sambil menggoyangkan rambut bob kecokelatannya dengan ringan.

Namanya Hanazono Yuuka.

Dia adalah gadis yang (seharusnya) cukup dekat denganku saat kelas tiga SMP.

Kami bersekolah di SMP yang berbeda, tapi kebetulan pernah satu tempat les untuk beberapa waktu.

Pada akhirnya, aku tidak pernah melangkah lebih jauh, dan hubungan kami pun perlahan memudar.

Fakta bahwa kami pernah satu tempat les bersama hampir tidak diketahui oleh siapa pun di sekolah ini.

Kalau aku bilang kami pernah dekat, pasti teman-teman sekelas tidak akan percaya.

Sambil aku memikirkan hal itu, Hanazono mulai membaca dengan tenang.

"──Mendengar kata-katanya, aku merasa seolah-olah hatiku dipenuhi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dunia yang dulu tampak semu tiba-tiba kembali dipenuhi warna—"

Tugas dari guru hanya membaca sebuah bagian dari cerita.

Namun, narasi dan dialog yang dia bacakan terdengar begitu merdu, seolah-olah itu adalah sebuah lagu.

Meskipun suaranya lembut, anehnya tetap jelas terdengar dan membekas di telinga.

Seolah-olah, bahkan dalam suasana yang bising, suara itu tetap bisa menembus segalanya.

Suara yang memiliki daya tarik semacam itu adalah keistimewaan Hanazono.

"Bagus sekali. Suaramu benar-benar memesona."

Sadar atau tidak, guru itu memujinya dengan tulus.

Hanazono tersenyum tipis dan membungkukkan badan dengan sopan.

Para cowok di kelas pun mulai menatapnya dengan penuh kekaguman—dengan cara yang berbeda.

...Aku benar-benar pernah ngobrol akrab dengan Hanazono Yuuka, ya?

Bahkan aku sendiri hampir sulit mempercayainya sekarang.

Saat tahu dia masuk ke SMA yang sama, aku sangat senang. Bahkan aku sempat melompat kegirangan.

Fakta bahwa kami berada di kelas yang sama pun terasa seperti keberuntungan besar.

Namun, meskipun sekarang kami berada di lingkungan yang sama, aku hampir tidak pernah berbicara dengannya.

Hanazono jauh lebih menonjol dari yang aku perkirakan.

Dia menjadi sosok yang sulit untuk didekati.

...Atau mungkin, bukan itu masalahnya.

Begitu kami masuk SMA dan satu kelas, aku akhirnya menyadari sebenarnya seberapa jauh jarak kami.

Pemikiran bahwa "kalau aku berani menyatakan perasaan, mungkin kami bisa pacaran", kini terasa seperti ilusi belaka.

Karena bimbingan belajar bukanlah sekolah, lingkup pergaulannya jauh lebih kecil.

Itulah sebabnya aku bisa berbicara dengannya dulu.

Tapi tetap saja—selama aku tidak mencoba menanyakan langsung padanya, kemungkinan kecil itu masih ada.

Jadi, mungkin... dunia khayalan lebih cocok untukku.

 ◇◆

Ketika pelajaran bahasa Jepang berakhir, hampir semua orang berdiri serempak.

Ya, ini adalah waktu istirahat siang yang telah lama dinanti.

Para siswa yang ingin menikmati istirahat siang tanpa menyia-nyiakan waktu mulai berbicara dengan riuh, memenuhi ruang kelas dengan suara mereka. Lorong pun sama ramainya.

"Fiuh..."

Tempat dudukku berada di barisan paling belakang, di sisi lorong.

Dengan kata lain, aku duduk di tempat yang paling dekat dengan pintu keluar. Saat pelajaran berlangsung, ini adalah posisi terbaik karena sulit bertemu pandang dengan guru, tetapi saat istirahat, tempat ini berubah menjadi lokasi yang kurang nyaman karena ikut terseret dalam keramaian di lorong.

Siswa yang memiliki urusan di dalam maupun di luar kelas terus melewati belakangku, sehingga sulit untuk merasa tenang.

"Makan siang!"

Takeru berdiri dari kursinya dengan suara yang sangat lantang seolah berbicara sendiri.

Di balik punggung Takeru, aku bisa melihat kelompok Yuzuha.

Dua gadis yang berdiri di samping Yuzuha juga memiliki penampilan yang cukup mencolok sehingga mereka pasti akan menarik perhatian jika berada di kelas lain. Bagiku, pemandangan ini terasa sedikit menyilaukan.

Kelompok Yuzuha mulai melangkah dan berpindah ke belakangku.

Saat aku tengah merapikan buku pelajaran di dalam mejaku tanpa memperhatikan mereka, tiba-tiba kursiku terguncang keras.

"Aw, sakit!"

"Ah, maaf! Aku melakukannya lagi!"

Saat menoleh ke belakang, aku melihat Yuzuha menjulurkan lidahnya dengan ekspresi jahil.

"Kamu sudah melakukannya berapa kali bulan ini? Jangan-jangan sengaja?"

Mendengar keluhanku, Yuzuha malah merajuk dan balik menyerang.

"Haa, kamu juga bisa sedikit khawatir denganku, kan!? Lagipula, salahmu juga duduk di tempat itu!"

"Tapi ini kan tempat duduk yang sudah ditentukan!?"

"Ribet banget! Makanya kamu tidak laku!"

"Tapi tadi pagi kamu ngomong beda!!"

Yuzuha menjulurkan lidahnya dengan jahil, lalu langsung menghilang ke lorong.

Dari belakang terdengar suara seorang gadis yang berkata, "Berhenti deh berduaan kayak pasangan komedian!"

Percakapanku dengan Yuzuha, entah bagaimana, sering menjadi alasan untuk lebih akrab dengan orang-orang di sekitar.

Terutama karena anggota kelompok Yuzuha selalu tertawa melihat interaksi kami, dan itu cukup membuatku senang. Jadi untuk hari ini, anggap saja semuanya impas.

Dengan pikiran seperti itu, aku mulai mengambil kotak bekal untuk mengikuti Takeru.

Saat itulah—

Aroma bunga yang lembut menggelitik hidungku.

Ketika aku mengangkat pandangan, aku melihat Hanazono Yuuka sedang mendekat dari arah depan.

"…Uwah."

Aku secara refleks mengeluarkan suara kecil.

…Hanazono terlihat semakin dewasa sejak SMP, dan sekarang dia bahkan semakin cantik.

Mungkin karena itu juga, sejak kami sekelas, aku hampir tidak pernah berbicara dengannya.

Saat aku masih asyik menganalisis hal yang tidak perlu, Hanazono semakin mendekat.

…Jangan-jangan, dia akan menyapaku?

Saat jarak kami hanya beberapa puluh sentimeter, aku merasa sedikit berharap.

Namun, Hanazono sama sekali tidak melihat ke arahku dan begitu saja melewatiku.

Aku merasakan angin tipis di punggungku, dan dalam sekejap, keberadaannya menghilang.

"…Ya, kan."

Aku bergumam kecil.

Sejak masuk SMA, Hanazono tidak pernah sekalipun menyapaku.

Hubungan kami bisa dibilang sudah renggang.

Bukan karena ada masalah atau konflik apa pun.

Alasannya sepele—kami jarang bertemu karena tempat les kami berubah, dan kesibukan persiapan ujian masuk SMA juga membuat kami makin jarang berinteraksi.

Aku sempat ragu apakah harus mengejar Hanazono, tapi pada akhirnya aku memilih untuk pura-pura sibuk merapikan buku.

Padahal, bukuku sudah rapi. Tapi aku tetap mengeluarkannya lagi, lalu memasukkannya kembali, seolah sedang mengulur waktu.

…Dasar pengecut.

Aku tahu, kalau aku tidak memulai pembicaraan, hubungan ini tidak akan berubah.

Tapi kalau aku memang tipe orang yang bisa langsung bertindak, pasti sejak dulu aku sudah melakukannya.

"Yoshi—"

Sekarang, hampir tidak ada yang tahu kalau aku dan Hanazono pernah akrab.

Kalau tiba-tiba aku menyapanya, pasti bakal menarik perhatian.

"Yoshi?"

Jadi, ya sudahlah.

Aku sadar kalau pola pikir ini hanyalah bentuk dari sikap pasrahku, tapi tetap saja aku tidak bisa bergerak.

…Inilah alasan kenapa aku disebut pengecut.

"Hei, Yoshi!"

Seseorang menepuk ringan pundakku dari samping, membuatku menoleh ke lorong.

Hanazono mengintip dari luar kelas dengan ekspresi ragu-ragu.

"…Hah? H-Hanazono?"

Meskipun terlihat sedikit bimbang, Hanazono akhirnya masuk kembali ke kelas.

Di tangannya, entah kenapa, ada banyak tumpukan dokumen.

"Maaf, bolehkah kamu membantuku membawanya ke ruang guru?"

"Eh? A-ah… Oke. Iya, oke!"

Aku menjawab dengan terbata-bata, tapi tetap menyetujuinya. Setuju, kan?

Mendengar jawabanku, Hanazono tersenyum lega.

"Terima kasih."

"N-n-tidak masalah…"

…Serius nih?

Sejak masuk SMA, ini pertama kalinya dia berbicara denganku.

Padahal selama beberapa bulan terakhir, kami hampir tidak pernah bertukar kata.

Meskipun ini hanya permintaan dari guru, aku tetap merasa bersyukur.

Kalau saja aku tidak ribut dengan Yuzuha tadi, mungkin aku sudah keluar kelas dan melewatkan momen ini.

Entah kenapa, aku bahkan ingin berterima kasih pada si gadis pirang itu.

Saat aku bangkit dari kursi, aku menyadari sesuatu—hatiku terasa lebih ringan.

Aku merasa seolah-olah ada roda yang kembali berputar dalam hidupku.

◇◆

Setelah mengantarkan dokumen ke guru, aku berjalan kembali dari ruang guru.

Aku berjalan sejajar dengan Hanazono di lorong.

Hanya itu saja, tapi entah kenapa lorong yang biasa kulihat tampak lebih bersinar. Aku segera menggelengkan kepala dengan kuat.

Tenang, aku.

Aku bisa merasakan lebih banyak tatapan dibanding saat berjalan sendirian—itu karena Hanazono ada di sebelahku.

Orang-orang melihatku hanya karena kebetulan aku berjalan bersamanya, bukan karena aku sendiri yang menarik perhatian.

Wajar kalau Hanazono menarik perhatian.

Bahkan aku yang berjalan di sebelahnya pun sulit untuk tidak meliriknya.

Setiap kali aku mengalihkan pandangan ke Hanazono, aku buru-buru melihat ke depan begitu merasa dia akan menangkap basah tatapanku.

Aku mengulangi gerakan konyol itu berulang kali sampai akhirnya mata kami benar-benar bertemu.

"Eh?"

"Ah, ma… maaf."

"Kenapa minta maaf?"

"Eh… bukan apa-apa."

"…Fufu. Aneh deh, Yoshi."

Hanazono tertawa pelan.

Jantungku berdebar kencang.

…Dia tetap luar biasa cantik.

Jika Yuzuha bisa dibilang sebagai tipe gyaru—atau lebih tepatnya tipe yang cantik dan menawan, maka Hanazono adalah kebalikannya.

Yuzuha, dengan penampilannya, terkadang memberikan kesan sulit didekati.

Bahkan aku mengagumi gayanya yang sering memakai hoodie di atas seragam sekolah, meski di SMP dulu dia beberapa kali disalahpahami karena itu.

Sementara itu, Hanazono memiliki aura yang lembut, dengan daya tarik manis yang membuat semua cowok ingin melindunginya.

Aku yakin dia sendiri pasti tahu bagaimana orang-orang menilainya, tapi dia sama sekali tidak sombong.

Tidak peduli bagaimana orang melihatnya, Hanazono tetap berjalan dengan ritmenya sendiri. Kadang-kadang, dia terlihat sedikit melankolis dan jarang berbicara dengan orang lain.

Dia bahkan hampir tidak berbicara dengan anak-anak populer, sehingga para cowok mulai menjulukinya "Malaikat Tersembunyi" sekolah.

Sementara pusat perhatian kelas adalah Yuzuha Yui, Hanazono sebenarnya tak kalah populer.

Sebagai seseorang yang sudah mengenalnya sejak SMP, aku merasa wajar jika dia begitu disukai.

Aku bahkan ingin pamer dengan berkata, "Kalau sudah dekat dengannya, dia sebenarnya suka bercanda juga, lho!"

Tapi pada akhirnya, meski kami sedang berdua begini, aku tetap hampir tidak bisa mengajaknya bicara.

Kalau aku membiarkan kesempatan ini berlalu, rasanya hubungan kami akan kembali renggang.

Mungkin perasaan "dulu kami cukup dekat" itu hanya ilusiku saja.

Tapi aku yakin, ada masa ketika kami sering ngobrol dan tertawa bersama. Itu kenyataan yang tak bisa diubah.

Faktanya, hari ini dia yang pertama kali menyapaku. Itu berarti bukan hanya aku yang merasa begitu, kan?

Akan aneh jika aku membiarkan hubungan kami kembali merenggang.

Saat perasaan itu perlahan membuncah dalam diriku, Hanazono tiba-tiba berbicara dengan nada lembut.

"Terima kasih sudah membantuku. Kalau sendirian, pasti berat banget. Beruntung ada Yoshi."

"Ah… gak masalah, kok. Aku kan cowok sejati. Tapi serius, kalau kamu sendirian pasti bakal telat, kan?"

"Ya, kalau Yoshi gak ada, mungkin aku bakal telat untuk pertama kalinya."

"Panggil aku 'pahlawan yang menyelamatkan Hanazono'."

"'Pahlawan yang menyelamatkan Hanazono'!"

"Jangan panggil gitu beneran! Malu banget!"

Mendengar itu, Hanazono tertawa kecil.

Saat melihat senyuman itu, aku merasa ada kehangatan yang menyala di dadaku.

Meskipun sudah lama tidak berbicara, suasana di sekitar Hanazono tidak berubah sama sekali.

Sejak SMP, dia selalu memiliki aura misterius yang unik.

Namun, bersamaan dengan itu, dia juga memiliki kehangatan seperti sinar matahari yang membuat hati menjadi tenang.

Aku dulu menyukai momen seperti ini.

…Ya, aku merasa bisa mengobrol seperti dulu lagi.

"Karena aku sudah diselamatkan, mulai sekarang setiap ada tugas piket aku bakal minta bantuan Yoshi, ya?"

"Tolong jangan sampai segitunya!"

"Eh, sayang sekali."

Hanazono menjawab begitu, tapi sudut matanya menurun dengan lembut.

Jujur saja, aku ingin terus membawa barangnya dan berjalan bersamanya ke mana pun. Tapi kalau aku dengan polos berkata, "Mulai sekarang, serahkan semuanya padaku!" aku takut dia malah jadi ilfeel.

Jadi, aku memilih jawaban yang cukup lucu sekaligus menghindari risiko. Tapi kalau nanti aku melihat dia meminta bantuan cowok lain, aku pasti bakal menyesal.

Lagipula, Hanazono mungkin malah bakal menanggapinya dengan santai tanpa merasa terganggu.

…Sial, aku salah langkah.

Sepertinya aku memang sudah cukup lama tidak merasakan hal ini sampai jadi kaku sendiri.

Aku pasti sedang berusaha terlalu keras sekarang.

Kami keluar dari gedung selatan tempat ruang guru berada, lalu berjalan menuju gedung utara, tempat kelas 1-2 berada.

Sebagai orang yang sedang lapar, perjalanan ini terasa cukup jauh, tapi karena bersama Hanazono, aku sama sekali tidak merasa terganggu oleh rasa laparku.

Satu-satunya hal yang tetap mengganggu adalah tatapan orang-orang di sekitar. Tapi Hanazono sendiri sepertinya tidak sadar bahwa dia adalah sosok yang mencolok.

Saat kami melewati taman dalam yang menghubungkan gedung utara, Hanazono kembali berbicara padaku.

"Yoshi."

"Hm? Kenapa?"

"Kamu dekat dengan Yuzuha-san, kan? Gimana caranya bisa sedekat itu?"

Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, aku langsung berkedip beberapa kali.

"Eh? Soalnya kami satu SMP."

"Hanya itu dan bisa dekat? Hebat, ya."

"Eh, etidak juga. Kalau kamu sih pasti bisa langsung akrab. Kalian kan sama-sama populer."

Tanpa sadar, aku mengungkapkan isi hatiku.

Hanazono segera menyangkal dengan, "Aku sama sekali etidak begitu," dengan nada serius.

Itulah yang khas dari Hanazono—dia tidak terdengar seperti sedang merendah.

"Ya… meskipun begitu, Yuzuha pasti bakal dengan senang hati menyambutmu. Dari SMP dia sering disalahpahami, tapi aslinya dia itu ramah banget, kok."

"Tapi Yuzuha-san selalu kelihatan sibuk, jadi aku tidak bisa menemukan waktu yang pas buat menyapanya. Lagipula, aku juga tidak punya cukup keberanian."

"Ah… aku paham sih perasaan itu."

Aku juga dulu sempat menganggap Yuzuha sebagai orang yang menakutkan.

Pasti ada orang lain yang juga butuh waktu lama untuk merasa nyaman dengannya.

Hanazono tampak sedikit terkejut.

"Kamu bisa memahami perasaanku? Padahal kamu itu jago ngobrol."

"Jago di sisi negatifnya, ya? Dulu pas pertama kali ketemu kamu juga aku gugup, kok."

"Eh, tapi menurutku kamu justru bagus dalam hal itu! Waktu ngajak aku nonton pertandingan juga kamu yang ngajak, kan?"

Bau resin tiba-tiba terlintas di pikiranku.

Kami pertama kali bertemu pada musim semi saat kelas tiga SMP.

Baru setahun berlalu, tapi rasanya sudah jadi kenangan yang nostalgia.

Aku menyeringai.

"Benar juga. Tapi waktu itu justru kamu yang lebih gugup. Kalau dipikir-pikir, kamu sama sekali bukan tipe orang yang akan high five dengan cowok yang baru pertama kali ditemuinya."

"Wah, kamu tega banget ngomong gitu! Padahal waktu itu aku cuma ingin mencairkan suasana!"

"Hahaha, benarkah?"

"Ugh… tapi itu benar, lho. Aku jadi kesal."

Hanazono menggembungkan pipinya sedikit.

…Sebenarnya, orang yang paling bikin aku gugup sekarang itu ya kamu, sih. Tapi biarlah kata-kata itu kusimpan sendiri.

"Pokoknya, Yuzuha mungkin terlihat sibuk karena banyak ngobrol dengan berbagai orang, tapi dia pasti bakal bilang kalau kamu tidak perlu sungkan."

Aku bisa membayangkan dengan jelas bagaimana Yuzuha bakal sangat senang sampai memeluk Hanazono dengan mata berbinar.

"Lagipula, banyak kok yang ingin lebih dekat denganmu."

"…Senang sih mendengarnya, tapi aku sendiri merasa tidak begitu. Temanku justru sedikit."

"Serius?"

"Iya. Tapi, kalau Yoshi bilang begitu, aku jadi sedikit menantikannya."

"Kalau gitu, serahkan padaku!"

"Lho, tunggu. Jadi aku tidak bakal bisa berteman dengannya?"

Hanazono terkejut sejenak, lalu kembali tersenyum.

Di kelas, dia seperti dalam mode hemat energi, tidak berusaha menonjol.

Tapi saat berdua begini, dia sering tersenyum.

Pasti sudah banyak yang terpikat oleh sisi ini darinya.

Aku sendiri bisa merasakan hatiku bergetar hanya dengan mengobrol sebentar dengannya.

Aku berharap, tidak ada cowok lain yang bisa bercanda dengannya seperti aku.

"Tapi, kenapa sih kamu ingin dekat dengan Yuzuha?"

Sebenarnya, menanyakan alasan ingin berteman itu hal yang kurang sopan.

Aku sadar akan itu, tapi aku juga tidak ingin membiarkan percakapan ini berakhir dengan hening.

Namun, jawaban yang kudapat sungguh di luar dugaan.

"Soalnya… bukannya Yoshi pacaran dengan Yuzuha-san? Kalau aku dekat dengannya, aku pikir aku juga bisa lebih mudah ngobrol denganmu."

"…Hah!?"

Aku secara refleks berseru keras.

Dengan cepat, aku mengajak Hanazono ke tempat yang lebih sepi.

Di balik gedung sekolah, ada bangku yang tersembunyi.

Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar, aku pun bertanya dengan serius.

"Itu tiba-tiba banget… Kenapa?"

"Ah, maaf ya? Aku tidak bermaksud apa-apa, kok."

Dengan nada tenang, dia langsung menjelaskan.

Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri.

…Apa yang kulakukan? Aku harus tetap tenang. Kalau panik, momen ini malah akan sia-sia.

"Yoshi, meskipun kita satu kelas, kamu hampir tidak pernah ngajak aku ngobrol. Jadi aku pikir mungkin itu karena kamu punya pacar."

Hanazono menyipitkan matanya sedikit, mungkin karena silau terkena sinar matahari.

Aku mengulang kata-kata yang baru saja kudengar di dalam kepalaku. Begitu mengejutkan perkataan Hanazono sampai-sampai aku harus mencerna ulang.

…Aku tidak mengajaknya bicara? Jadi, begitu yang terlihat di matanya.

Aku kira kami menjadi jauh hanya karena aku tidak berbicara dengannya. Aku sudah menyadarinya, tapi tidak kusangka Hanazono juga memperhatikannya.

"…Jadi, maksudmu, kamu sengaja tidak berbicara denganku karena mempertimbangkan gosip itu?"



"Bisa dibilang begitu."

"Kalau saja kamu bicara denganku, kesalahpahaman itu pasti bisa diluruskan."

"Aku merasa, kalau sampai harus meluruskan gosip demi berbicara, rasanya malah tidak tepat."

"Setidaknya, bisa tidak sih, kamu terlihat agak canggung saat mengatakan itu!?"

Hanazono mengedipkan matanya beberapa kali menatap reaksiku, lalu tertawa kecil.

"Lagipula, gosip itu juga sudah dibantah sama Yuzuha, kan? Kamu tidak tahu?"

"Rugi banget aku sampai mikirin ini!"

"Itu justru kata-kataku, tahu!?"

Mendengar jawabanku, Hanazono tertawa lepas, seakan merasa puas.

Yah, kalau bisa membuatnya tertawa, rasanya tidak buruk juga. Hanya dengan melihat gadis manis tertawa, seorang laki-laki bisa bertahan hidup selama seminggu.

Setelah puas tertawa, Hanazono masih tersenyum saat melanjutkan perkataannya.

"Jadi, gosip itu memang salah ya."

"Jelas saja. Aku dan dia tidak sebanding."

"Sama sekali tidak begitu."

"Tentu saja begitu."

Hanazono memiringkan kepalanya sedikit, tampak berpikir.

…Kenapa dia bisa terlihat begitu menggemaskan?

Aku masih saja terpikir seperti itu tiap kali melihatnya melakukan hal kecil seperti ini.

"Mm… ada sesuatu di wajahku?"

"Tidak, tidak ada. Maaf."

Tanpa sadar, aku menatapnya terlalu lama. Sadar akan hal itu, aku buru-buru mengalihkan pandanganku.

Kalau ini terjadi pada gadis lain, dia pasti sudah menganggapku aneh.

Tapi Hanazono tetap tersenyum. Dia memang seperti malaikat.

Saat aku berpikir begitu…

"Jadi, kamu terpesona padaku, ya?"

"Itu… bukan! Udah lama banget aku tidak dengar candaanmu yang seperti ini!"

"Fufu. Kalau kamu masih single, berarti aku boleh bercanda seperti ini lagi, kan? Tenang saja, aku benar-benar bercanda, kok."

"Kalau sampai perlu ditekankan dengan 'benar-benar', berarti ini memang bercanda yang serius, ya…"

Hanazono kembali tersenyum, lembut.

Dan aku pun sama.

…Cuma bertukar candaan sebentar seperti ini saja, rasanya sudah begitu menyenangkan.

Beberapa detik berlalu, tapi Hanazono tidak juga melanjutkan percakapan.

Aku tidak tahan dengan keheningan ini, jadi aku yang lebih dulu membuka suara.

"Heh, Hanazono."

"Hm?"

"Kamu itu dulu juga suka bercanda seperti ini, tapi teman-teman di kelas sepertinya tidak ada yang tahu, ya?"

"Ah… iya. Memang tidak banyak yang tahu. Soalnya, bisa jadi ada orang yang tidak nyaman dengan candaan seperti ini. Makanya, aku mengendalikannya."

"Lalu, kenapa kamu bisa bercanda seperti ini denganku?"

"Ahaha, lucu juga cara kamu mengatakannya. Kamu mau aku bercandain terus?"

"Eh, bukan begitu maksudku…"

Hanazono tertawa kecil. "Aku cuma bercanda, kok."

"Di bimbel, kita tidak punya banyak teman yang sama, kan? Makanya, aku lebih gampang ngomong seperti ini."

"Oh, iya juga. Lagi pula, gosip di bimbel jarang menyebar sampai ke sekolah."

"Benar. Bimbel itu tempat yang enak, ya."

Hanazono menyisir rambutnya dengan jari, lalu membuka mulutnya pelan.

"Kamu tahu, aku selalu menganggap Yoshiki itu temanku."

"Eh. Terima kasih."

"Jadi, aku pikir kalau aku bercanda seperti ini, kita bisa jadi akrab lagi."

Hanazono menautkan tangannya di belakang punggung, lalu melangkah ke depanku dengan lincah.

"Yoshiki-kun, kamu bakal memaafkanku?"

…Apa-apaan pertanyaan itu?

Jawabannya sudah jelas.

"Tentu saja."

"Yeay~."

Hanazono bertepuk tangan kecil dengan riang.

Tubuh mungilnya sedikit berayun, rambutnya melambai pelan.

──Tapi, hanya sedikit.

Sedikit saja, ada sesuatu dalam perkataannya yang terasa berbeda dengan kenangan yang kuingat.

…Yah, kami memang hanya teman bimbel, jadi wajar saja kalau ada sisi yang belum kuketahui.

Hanazono lalu berjalan ke bangku yang terletak beberapa meter di depan.

Bangku itu tersembunyi di balik bayangan gedung sekolah, tidak terlihat dari jendela kelas.

Di tempat seperti ini, hanya berdua.

Tapi Hanazono duduk di sana dengan santai, tanpa sedikit pun ragu.


"Uhm… boleh aku duduk di sebelahmu?"

"Tentu, tentu!"

Dengan ekspresi ramah, Hanazono menepuk kursi di sebelahnya.

Aku duduk dengan jarak sekitar lima puluh sentimeter darinya, hanya duduk setengah.

…Apa aku terlalu terlihat sadar diri?

Menyadari itu, aku segera duduk lebih dalam agar terlihat lebih santai.

"Sudah lama tidak ada waktu bareng Yoshiki."

"Aku juga, sudah lama tidak ada waktu bareng Hanazono."

Begitu aku membalas, Hanazono tersenyum kecil, "Fufu."

Kalau ada orang yang melihat kami sekarang, mungkinkah mereka bakal salah paham?

Sebenarnya, aku hampir berpikir tidak masalah kalau sampai ada yang salah paham, tapi mengingat betapa repotnya ketika gosip dengan Yuzuha menyebar dulu, sebaiknya aku tetap waspada dengan lingkungan sekitar.

…Tapi tetap saja, aku tidak menyangka Hanazono juga peduli soal gosip tentangku dan Yuzuha.

"Hanazono, kupikir kamu itu tidak terlalu tertarik sama gosip percintaan. Bahkan waktu pulang bimbel pun, aku yang sering cerita soal percintaan, tapi kamu tidak pernah membalasnya dengan cerita dari kamu sendiri."

"Tiba-tiba banget, ya. Aku sebenarnya tertarik, kok. Aku cuma tidak pernah nanya langsung."

"Oh, begitu. Jadi, kamu juga manusia biasa, ya."

"Fufu, apa itu? Aku ini manusia, tahu. Sekaligus gadis yang imut, lho."

"Jangan terlalu sering bilang gitu sendiri, ya?"

"Eh-hehe."

Dulu, waktu SMP, kami menjadi dekat setelah pertandingan klub. Setelah beberapa waktu, percakapan kami mulai bercampur dengan candaan seperti ini.

Aku masih ingat betul betapa senangnya aku saat pertama kali dia bercanda seperti ini denganku.

Sebenarnya, karena dia memang imut, candaan barusan juga bisa dianggap bukan candaan.

Tapi tetap saja, aku senang karena dia mau bercanda denganku seperti ini.

…Sial, aku jadi penasaran. Apa dia juga bercanda seperti ini dengan orang lain?

"Hanazono… a-apa kamu punya pacar?"

"Eh, aku?"

Aku ingin memberi tepuk tangan untuk diriku sendiri karena berhasil menanyakan itu dengan alami.

Mendengar pertanyaanku, Hanazono menurunkan sudut matanya sedikit.

"Menurutmu gimana?"

"Tidak ada."

"Jahat!"

Hanazono sedikit membelalakkan matanya sebelum tersenyum.

"Tapi memang, seperti yang diharapkan dari Yoshiki. Kamu ngerti aku. Soalnya, punya pacar itu tidak semudah itu, kan?"

"Ahaha. Ya, buat cowok juga gitu sih."

Sambil menjawab, aku bersorak dalam hati.

Sudah satu bulan sejak masuk SMA, dan aku sudah mulai mendengar gosip tentang siapa yang pacaran dengan siapa.

Yang terpenting, Hanazono masih belum punya pacar.

Hanya mengetahui itu saja sudah membuat hari ini terasa sangat berharga.

"Kalau Yoshiki sih, pasti bakal cepat dapat pacar."

"Semoga aja."

"Pasti bisa!"

…Kenapa rasanya dia secara halus bilang kalau aku bukan pilihan dia?

Menyadari itu, aku pun kembali tenang.

Sebenarnya, jawaban seperti apa yang aku harapkan?

Lagipula, aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku ke Hanazono sebelumnya. Aku cuma merasa kalau hubungan kami terasa istimewa secara sepihak.

Memang, berbicara dengan Hanazono selalu terasa nyaman.

Dia tahu betul bagaimana aku dulu kesulitan saat SMP, juga penyesalan yang aku bawa sejak SD.

Tapi, itu bukan berarti hubungan kami lebih dari sekadar teman.

Hanya karena dulu kami bisa berbicara tentang apa saja, bukan berarti ada kemungkinan kami akan berpacaran.

Mungkin satu-satunya alasan kami bisa bicara sebebas itu adalah karena kami bersekolah di tempat yang berbeda.

Aku bahkan tidak tahu seberapa penting aku bagi Hanazono.

"Sial. Ternyata punya pacar itu susah banget…"

"Banget."

"…Kalau bisa baca isi hati orang lain, pasti lebih gampang."

"Iya. Makanya, semua orang yang bisa jatuh cinta tanpa tahu isi hati lawannya itu luar biasa. Justru kita ini yang normal!"

"Ya udah, kita anggap aja gitu…"

"Yup. Tapi, aku pikir Yoshiki beda dari aku, jadi makanya aku sempat percaya sama gosip tentang kamu dan Yuzuha-san."

Hanazono berbicara dengan ringan, tanpa tahu apa yang ada di pikiranku.

Sekarang… aku bahkan tidak tahu apakah kami masih bisa berbicara tentang apa saja seperti dulu.

Sekarang kami hanya sebatas teman sekelas, dan selama ini, Hanazono bahkan tidak pernah menyapaku lebih dulu.

Selain teman masa kecil, Hanazono adalah satu-satunya orang yang pernah membuatku merasa bisa berbicara tanpa batas.

Kalau saja kami bisa kembali ke hubungan seperti itu, pasti masa SMA-ku akan terasa lebih indah.

Mungkin, momen ini adalah penentu apakah hubungan kami di masa lalu bisa terus berlanjut atau tidak.

"Hanazono, mungkin aku pernah bilang ini dulu, tapi aku tidak pernah punya pacar."

"Benar, kamu pernah bilang itu di bimbel juga."

Hanazono tersenyum tipis.

"Tapi tetap aja, bisa ngobrol sama cewek kayak Yuzuha-san itu luar biasa, lho. Aku aja masih suka gugup kalau bicara dengannya."

"Tidak, dia cuma teman satu SMP aja… Hubungan kami masih berlanjut sampai sekarang, itu saja."

"Jadi kamu tidak gugup sama sekali? Wah, berarti kalian memang dekat, ya?"

"Sama sekali tidak. Tidak ada yang seperti orang-orang pikirkan juga. Malah rasanya kayak… lebih dari sekadar teman biasa, tapi bukan dalam arti romantis."

…Kalau aku cuma ingin kembali ke hubungan yang bisa berbicara tentang apa saja, kenapa aku menolaknya sejelas ini?

Ini malah terdengar seperti aku tidak mau Hanazono salah paham.

Hanazono hanya menanggapi dengan "Hmm," lalu menambahkan sesuatu seolah itu hanya selingan.

"Kamu memang selalu jujur, ya, Yoshiki."

"Kita memang selalu begini, kan? Lagipula, aku udah cerita banyak hal ke kamu."

"Oh iya, kamu juga pernah cerita kalau kamu susah bergaul di sekolah. Juga cerita soal penolakan waktu nembak cewek."

"Bisakah kamu tidak membuka luka lama itu…?"

Aku protes pelan, dan Hanazono hanya meletakkan telunjuk di bibirnya.

"…Kalau begitu, mulai sekarang, semua percakapan kita jadi rahasia berdua, ya."

Mendengar itu, aku membelalakkan mata.

…Mungkin aku bisa kembali.

Kembali ke masa ketika aku bisa berbicara jujur pada Hanazono, yang selalu mendengarkan tanpa ragu karena kami tidak punya teman yang sama.

"Aku senang dengarnya. Kalau kamu mau banyak ngobrol lagi denganku, aku bakal senang banget."

"Ya, tentu saja. Aku juga punya banyak hal yang cuma bisa kuceritakan ke kamu."

Hanazono mengayun-ayunkan kakinya sedikit, lalu bergumam pelan.

"…Syukurlah, Yoshiki masih single."

Tanpa kusadari, jarak di antara kami semakin dekat.

Tanpa kusadari, jantungku berdebar semakin kencang.

Angin hangat berhembus.

—Mungkin saja.

Mungkin saja, hari ini, aku bisa berharap lebih.

"…Dulu kita juga sering ngomongin cinta-cintaan, ya. Misalnya, gimana kalau aku yang jadi pacarmu?"

Begitu aku mengatakannya, kaki Hanazono berhenti bergerak.

"…Ahaha, nostalgia banget. Tapi itu tidak mungkin."

"Jahat banget!?"

"Soalnya, Yoshiki itu teman."

Hanazono mengatakan itu dengan santai, lalu melanjutkan.

"Lagipula, kamu masih menunggu kepulangan teman masa kecilmu, kan?"

"Itu…"

Teman masa kecil.

Ingatan empat tahun lalu kembali muncul di kepalaku.

Mungkin, itu adalah pertama kalinya dalam hidupku aku merasa sedang berada dalam momen yang baik dengan seorang gadis.

"──Aku tidak bisa terus menunggu seseorang yang bahkan tidak tahu kapan bakal pulang. Gimana kalau aku udah jadi kakek nanti?"

"Itu namanya pasangan lansia yang sempurna!"

"Aku tidak mau merencanakan hal itu dari sekarang!?"

Hanazono mengepalkan kedua tangannya dengan penuh semangat, seolah sedang memberi dukungan.

"Yoshiki. Di dunia ini, masih banyak cewek-cewek cantik, tahu?"

"Eh?"

"Semangat ya dalam urusan cinta. Aku mendukung perjalanan cintamu!"

Setelah mengatakan itu, Hanazono melompat turun dari bangku taman.

Lalu, dia melangkah sedikit ke depan, melambaikan tangan, dan berkata, "Bye-bye," sebelum pergi.

Seolah-olah semua waktu yang baru saja kami habiskan hanyalah sebuah ilusi—sehangat sinar matahari, sesejuk bayangan pepohonan.

Aku merasa dilingkupi oleh perasaan yang aneh.

Lalu, saat aku mengulang kembali percakapan barusan di kepalaku, aku menyadari sesuatu.

…Eh?

Barusan, apa aku baru saja ditolak?

Setidaknya, rasanya seperti dia sengaja memberi peringatan agar aku tidak berpikir aneh-aneh.

Angin hangat berhembus lembut di pipiku.

──Hanazono tahu semua tentang masa-masa sulitku di SMP.

Tapi mungkin, aku sendiri tidak benar-benar tahu banyak tentang Hanazono.

Karena selama ini, dia jarang sekali bercerita tentang dirinya sendiri.

Mungkin, hari ini adalah hari di mana satu momen yang terasa baik harus diakhiri.


 Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0
close