Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Sudah seminggu berlalu, kini malam Jumat.
Baru saja membeli camilan malam, aku langsung menjatuhkan
diri ke tempat tidur sambil memegang ponsel.
Bersantai di kasur tanpa memikirkan jam tidur adalah
momen yang paling membahagiakan.
Besok ada agenda penting, jadi aku tak bisa begadang
terlalu lama, tapi setidaknya aku bisa lebih santai dibanding hari biasa.
Bahkan jika aku sedang menelepon seseorang.
Dari seberang telepon, suara Remi terdengar
menyimpulkan pembicaraan.
"Jadi, besok jam sebelas di menara jam Stasiun
Kitaguchi, ya?"
"Oke, besok aku serahkan semuanya padamu."
"Iya, serahkan saja padaku."
Besok, kami akan pergi berkencan.
Meminta bantuan seorang gadis yang pernah kusukai untuk
kencan, padahal aku ingin berpacaran dengan Hanazono, jelas bukan pilihan yang
ideal.
Namun, karena aku dan Remi hanya dekat saat masih SD,
sekarang dia sama sekali tak memiliki perasaan terhadapku, dan dia juga sangat
antusias untuk membantu, akhirnya kami memutuskan untuk bekerja sama.
Semua ini demi satu tujuan.
Yaitu... mengungkapkan perasaanku kepada Hanazono.
Untuk melangkah lebih jauh dengan seseorang yang sudah
terasa "dekat", satu-satunya cara adalah dengan menyatakan perasaan.
Mengungkapkan perasaan pada Hanazono, yang sulit ditebak,
mungkin adalah langkah yang gegabah. Tapi setelah aku menyadari keinginanku
untuk bersamanya, cepat atau lambat, aku harus melewati rintangan terakhir ini.
Namun sebelum menghadapi rintangan terakhir, aku harus
melewati rintangan kedua—kencan.
Tujuannya adalah agar aku bisa lebih akrab dengan
Hanazono dan menciptakan suasana yang lebih baik sebelum menyatakan perasaan.
Tantangannya cukup sulit. Jika terasa mustahil, menyerah
juga merupakan salah satu pilihan.
Tapi, aku masih punya harapan.
"...Aku bukannya tidak mau jatuh cinta."
Jika kata-kata Hanazono itu memang jujur...
"Semoga semuanya berjalan lancar."
"Iya. Tapi ya, ini semua tergantung Hanazono."
"Benar juga. Aku ingin lebih banyak membantumu, tapi
statusku sebagai murid pindahan agak membatasi ruang gerakku."
"Apa, sih? Kamu menemaniku besok saja sudah lebih
dari cukup."
Begini rencana kami:
Saat aku sedang berkencan berdua dengan Remi, Yuzuha dan
grupnya akan muncul "secara kebetulan".
Di dalam grup itu, Yuzuha akan memastikan Hanazono ada di
sana. Setelahnya, aku dan Hanazono akan berduaan, menggantikan Remi sebagai
teman kencanku.
Menurut Yuzuha, kehadiran Remi juga sangat penting dalam
skenario ini.
"Kenapa Yuzuha ingin aku dan Hanazono saling
berhadapan?"
"Katanya, tujuannya adalah membuat Hanazono sedikit
gelisah. Kadang, rasa cemburu bisa membantu seseorang menyadari perasaannya
sendiri."
"Hmm... Tapi apakah akan semulus itu?"
Saat berdiskusi dengan Yuzuha, aku juga sempat menanyakan
hal yang sama.
"Kalau tidak
berhasil, ya udah. Lanjut ke rencana berikutnya."
...Aku
mencoba melupakan betapa dingin dan tanpa ampun jawabannya waktu itu.
"Yah, kalau pun gagal, status kita sebagai teman
masa kecil bisa jadi alasan yang masuk akal. Jadi, tidak ada salahnya
mencoba."
"Maaf ya, sudah merepotkanmu dengan semua ini."
"Tidak masalah, aku juga dapat keuntungan,
kok."
Setelah berpisah denganku, Remi akan bergabung dengan
grup Yuzuha.
Jelas sekali Yuzuha tertarik pada Remi, tapi Remi juga
penasaran dengan Yuzuha.
"Bisa akrab dengan mereka bakal sangat membantu
kehidupan sekolahku ke depan. Jadi, untuk standar Ryouta, ini tawaran yang
cukup bagus."
"'Untuk standar Ryouta itu tidak perlu
ditambahin!"
Setelah membalas dengan sedikit kesal, aku melanjutkan
dengan nada datar.
"Yah, Hanazono juga bilang dia ingin lebih dekat
dengan Yuzuha. Bisa menjelaskan keuntungan ini dengan baik juga berkat Yuzuha.
Memang jago dia."
"Orang yang menjadi pusat kelas memang punya sesuatu
yang istimewa."
"…Benar juga. Bisa saja besok Remi jadi pusat
perhatian. Grup Yuzuha
memang seperti itu, kan?"
Saat aku menggoda, Remi menghela napas kecil dari
seberang telepon.
"Wah, itu bakal merepotkan. Kalau begitu,
bagaimana kalau aku mendirikan organisasi yang terus-menerus mengambil manfaat
darimu?"
"Pokoknya kalian harus ribut besar!!"
"Kamu berlebihan! Lagipula, aku sama sekali tidak mau jadi pusat
perhatian!"
Jawabannya yang tegas dan santai hampir membuatku
tertawa.
Biasanya, saat menelepon teman, aku sering merasa
canggung karena tidak bisa melihat wajah lawan bicara.
Tapi dengan Remi, rasanya berbeda.
Justru karena aku tidak terpengaruh oleh wajahnya
yang menawan, aku merasa bisa berbicara lebih leluasa dari biasanya.
"Ngomong-ngomong, sudah lama ya sejak terakhir
kali kita pergi berdua ke suatu tempat."
"Iya juga. Kita mau ke mana?"
"Sebenarnya, aku sudah merencanakannya."
"Serius!?"
"Tentu saja. Aku ingin kamu bisa rileks sebelum
kencan."
Mendengar kata-katanya, aku menggenggam ponsel
erat-erat.
"…Makasih, ya. Udah banyak mikirin ini semua."
"Tidak masalah. Memang besok aku hanya berperan
sebagai pendukung, tapi aku juga menantikannya."
Aku sempat bingung harus merespons seperti apa, tapi Remi
melanjutkan.
"Di bagian pertama besok, aku adalah
pacarmu."
"…Oke."
"…Ah, maksudku, kalau tidak berpikir begitu, aku
tidak akan bisa bersikap natural. Itu saja, kok."
"A-aku ngerti, kok!"
Jika para penggemar Remi yang sudah mulai bermunculan
mengetahuinya, bisa kacau.
Tapi lebih dari itu, aku merasa antusias.
Sudah tiga minggu sejak Remi pindah ke Kitako.
Memang, perubahan dalam hidup sering terjadi tiba-tiba,
tapi aku tak pernah membayangkan bahwa dalam waktu sebulan, kehidupanku akan
berubah sejauh ini.
Tentu saja, ke arah yang lebih baik.
Saat masuk SMP, aku harus berusaha keras hanya untuk
mempertahankan kehidupan sehari-hari yang biasa saja.
Saat musim dingin di kelas dua, aku bahkan tak bisa
menjalani hari-hari seperti biasa, dan itu begitu menyakitkan.
…Aku benar-benar bersyukur.
Berkat Remi, berkat Yuzuha, berkat Takeru, Hanazono, dan
semuanya.
Orang-orang memang hidup dengan saling bergantung,
tapi mungkin aku terlalu bergantung pada mereka.
Tiba-tiba, terdengar suara dari tangga yang menuju
ruang tamu. Aku buru-buru membuka mulut.
"Wah, kayaknya Seira mau naik ke atas. Aku harus
menutup telepon."
"Ehh, padahal aku kangen sama Seira! Ayo, nyalain speaker, dong!"
"Dia bakal terus merengek minta ketemu langsung.
Jadi lain kali aja, ya."
Kalau Seira yang memanggil Remi dengan sebutan "Remi-nee"
sampai ikut berbicara, mereka pasti akan mengobrol selama berjam-jam.
Kalau aku harus menyerahkan ponselku untuk dipakai
ngobrol panjang pada malam sebelum kencan, itu sih sudah keterlaluan.
Setelah mendengar suara kecewa Remi, aku meminta maaf
lalu menutup telepon.
Seira ternyata langsung masuk ke kamarnya tanpa mampir ke
ruanganku.
Aku mengambil bola handball yang ada di samping tempat
tidur dan memutarnya perlahan.
Rasanya
masih familiar di tangan.
Aroma tipis
resin khas handball masih tercium.
Dulu, saat SMP, aku sangat menyukai olahraga ini. Tapi
sekarang, rasanya tak ada keinginan untuk memainkannya lagi.
Aku meletakkan bola itu di tempat tidur, lalu akhirnya
benar-benar merebahkan diri.
Tak lama kemudian, aku mendorong bola itu ke bawah tempat
tidur, menyembunyikannya dari pandangan.
***
Hari Kencan
Tanpa perlu melihat ke arah menara jam, aku tahu bahwa
waktu pertemuan sudah tiba.
Seorang gadis cantik yang cukup menolehkan kepala
orang-orang di jalan sedang berjalan mendekat ke arahku.
Jika dipikir kembali, rasanya pas juga ketika Takeru
bilang bahwa Remi seperti "orang yang melayang di atas dunia fana."
Nama Nikaido Remi juga terdengar begitu cocok
dengannya, yang kalau dipikir-pikir, itu cukup luar biasa.
Memang benar kalau orang sering berkata, nama
mencerminkan diri seseorang.
"Kau cepat sekali datang."
"Uh... oh."
Penampilannya yang begitu bersinar membuatku sulit
berbicara dengan lancar.
...Jadi ini Remi dalam pakaian kasual setelah sekian
lama, ya.
Ia mengenakan blouse putih bersih dan celana pendek hitam
yang memperlihatkan sebagian besar pahanya. Choker di lehernya sangat serasi
dengan anting-anting yang dipakainya.
Meskipun aku belum terbiasa melihatnya berseragam, entah
kenapa justru pakaian kasualnya terlihat lebih segar di mataku.
Mungkin karena pakaian ini lebih menonjolkan bentuk
tubuhnya dan membuatnya tampak sedikit lebih dewasa.
Dengan kata lain, aku benar-benar tidak tahu harus
menatap ke mana.
"Berapa banyak pasang mata yang kau bawa bersamamu
ke sini!?"
"Aku tidak tahu! Bukannya aku sengaja ingin dilihat!
Dan kenapa itu jadi hal pertama yang kau katakan?"
Remi menyipitkan matanya, tampak tak puas.
"Kan sudah kubilang, untuk bagian pertama hari ini,
aku adalah pacarmu. Nah, jawabannya tadi salah total, ayo ulangi lagi. Sekarang
kita mulai dari awal."
Remi mundur dua-tiga langkah, lalu berdeham kecil.
Kemudian, dengan langkah ringan, ia berlari kecil
mendekatiku.
"Maaf ya! Lama menunggu?"
"Tadi kau tidak muncul dengan gaya sekeren itu,
kan?"
"Jangan terlalu detail begitu, bodoh! Puji aku
dulu!"
"Maaf!"
Sejak dulu aku sering dipanggil "bodoh"
olehnya, tapi mendengarnya dari sahabat masa kecil yang berusaha tampil sebagai
gadis anggun di depan orang lain terasa cukup lucu.
Kalau Takeru melihat ini, dia pasti bakal syok.
"Baiklah, jadi hari ini sebelum kau bertemu
Hanazono-san, kau harus mengendurkan ketegangan dan terbiasa dengan situasi.
Dengan kata lain, ini proyek agar kau bisa lebih percaya diri saat kencan
dengan Hanazono-san nanti!"
"Kau
pikir ini channel YouTube atau apa?"
"Bisa diam sebentar!?"
"Tadi bukan kode buat diselak, ya?"
Mungkin karena tidak bisa mengendalikan situasi
seperti biasanya, Remi mendengus kesal.
"Nanti, setelah kencan ini berakhir, kau pasti
akan mengerti manfaatnya. Kita punya waktu lima sampai enam jam, jadi ayo
bersenang-senang dulu!"
Remi mengepalkan tangannya dengan penuh semangat.
Yah... lagipula Remi juga tampak menikmatinya, jadi
kurasa tak ada salahnya.
Sudah lama juga sejak terakhir kali aku bermain berdua
dengannya.
"Baiklah, karena kita sudah bertemu dengan selamat,
bagaimana kalau kita langsung nonton film?"
"Oh, nonton film? Ada yang mau kau tonton?"
Saat aku bertanya, Remi tersenyum jahil.
"Film
romantis yang super klise. Kalau kau menontonnya, dijamin bisa
membantu. Mungkin kau
bahkan bisa mengucapkan dialog yang sama dengan para aktornya."
"..."
"…Aku bercanda, kok."
"Hampir saja aku kehilangan kepercayaan padamu
sejak awal!"
"Tapi kita tetap akan nonton filmnya. Ini pilihan
klasik."
Dengan wajah ceria, Remi mulai berjalan menuju bioskop.
Melihat semangatnya, aku jadi ikut merasa bersemangat.
Sudah lama sejak terakhir kali aku benar-benar menonton
film di bioskop.
Bioskop terdekat dari sini hanya berjarak lima menit
berjalan kaki dari stasiun Kitaguchi, jadi kami tiba di sana dalam waktu
singkat.
Bau khas popcorn memenuhi udara, membuat dadaku sedikit
berdebar.
"Sekarang orang lebih sering nonton film di
ponsel, ya. Tapi sesekali nonton di bioskop juga
bagus. Meski mahal."
"Ya, tapi sensasi yang didapat juga berbeda. Film
ini katanya dapat ulasan bagus, jadi sepertinya memang layak ditonton."
"Oh, populer juga?"
"Bukan populer, tapi ulasannya bagus."
Kami duduk di bagian tengah, tempat paling strategis.
Kami membeli popcorn ukuran L dengan patungan dan
meletakkannya di tengah.
Ketika aku memasukkan tanganku ke dalam wadah
popcorn, aku tanpa sengaja menyentuh telapak tangan Remi.
"Ah, maaf."
"Gak apa-apa."
Tanpa menoleh, Remi membuka mulutnya sedikit.
"Sekarang bukan saatnya memikirkan hal seperti itu.
Lagipula, sekarang aku adalah pacarmu."
"...Pacar."
Kalau aku tidak menganggap ini sebagai kencan sungguhan,
aku tidak akan bisa terbiasa dengan situasi seperti ini.
Meskipun aku memahami teorinya, begitu dikatakan langsung
seperti ini, aku jadi tidak tahu harus berbuat apa.
Mungkin menyadari kebingunganku, Remi mengalihkan
pandangannya ke arahku.
Mata besarnya, yang mengingatkanku pada laut dalam,
dengan jelas memantulkan sosokku.
"…Ya, aku pacarmu. Tapi itu bukan berarti aku
mengharapkanmu bertindak seperti seorang pacar."
Saat aku terlalu gugup hingga tidak bisa mengambil
popcorn, Remi sepertinya menyadarinya. Ia mengambil dua butir popcorn dengan
ujung jarinya.
"…Tetaplah seperti dirimu sendiri, Ryota."
Sambil mengatakan itu, ia menyuapkan popcorn ke mulutku.
Daripada rasa asin yang menyebar di lidahku, aku malah
lebih memikirkan fakta bahwa ujung lidahku menyentuh jarinya. Namun, Remi tidak
menunjukkan tanda-tanda terganggu dan malah melanjutkan perkataannya dengan
tenang.
"…Simpanlah dirimu sebagai seorang pacar untuk suatu
saat nanti."
"…Akan lebih baik kalau aku bisa melakukannya hari
ini."
Ruangan mulai gelap.
Iklan film mulai ditayangkan dengan serius.
Seolah-olah semua penonton, kecuali kami berdua,
telah terhisap ke dalam layar lebar di depan mereka.
Aku dan Remi saling menatap untuk beberapa saat.
Apa yang sedang ia pikirkan saat ini?
Meskipun kami telah menghabiskan begitu banyak waktu
bersama sejak kecil, aku masih belum bisa sepenuhnya memahami dirinya.
"…Tidak apa-apa."
Bisikan pelan itu melintas di telingaku, seolah
menjalar langsung ke dalam otakku.
"──Karena kau bisa membuat suasana jadi lebih
baik denganku."
Begitu ia mengatakan itu, lampu bioskop semakin
meredup.
…Kata-katanya tadi bertentangan dengan apa yang ia
ucapkan sebelumnya.
Aku menyimpan perasaan itu jauh di dalam hatiku.
Film yang kami tonton bukanlah kisah cinta klise yang
terlalu dramatis, melainkan lebih ke arah kisah romantis yang menyegarkan,
dengan tema pertemuan dan perpisahan.
Kisah ini menceritakan tentang seorang pria dan wanita
yang bertemu saat SMA, menjalin hubungan dalam waktu yang lama, tetapi akhirnya
berpisah setelah menjadi pekerja dewasa karena perbedaan cara pandang.
Meskipun temanya cukup realistis, beberapa adegan komedi
berhasil membuat suasana tetap ringan. Aku bisa memahami mengapa film ini
mendapat ulasan yang baik.
Aku tidak bisa membayangkan diriku sebagai seorang
pekerja dewasa, tapi mungkin jika aku menonton film ini beberapa tahun ke
depan, aku akan mendapatkan kesan yang berbeda.
Belakangan ini, aku menyadari bagaimana seleraku
berubah—manga yang dulu tidak kusukai saat SD kini terasa menarik, atau
sebaliknya. Aku merasa sedang berada dalam fase perubahan nilai-nilai dalam
hidupku.
Menjelang akhir film...
Dalam cahaya remang-remang, aku merasakan lutut Remi
bersentuhan denganku.
Saat aku menoleh ke arahnya, aku melihat Remi sedang
menangis.
Tepat di layar, adegan perpisahan antara pasangan itu
sedang berlangsung.
...Apakah Remi juga memiliki kenangan seperti ini?
Sejak masuk SMA, jumlah teman sebayaku yang pernah
berpacaran meningkat drastis.
Bukan hal aneh jika Remi juga termasuk salah satunya.
Sosok Remi yang tidak kuketahui.
Sosok Remi yang mungkin dikenali oleh orang lain.
Aku tidak tahu apakah aku ingin mengetahuinya atau tidak.
Jika ini adalah perasaan cemburu, maka mungkin aku
seharusnya mendengarkan saran Yuzuha dan mencoba menjalin hubungan dengan Remi.
Tapi, aku rasa ini bukan kecemburuan.
Alasannya adalah karena setelah menyukai Remi, hatiku
perlahan-lahan beralih ke orang lain seiring berjalannya waktu.
Aku hanya menyimpan perasaan terhadap Remi selama satu
tahun di kelas enam SD.
Setelah itu, aku pernah ditolak mentah-mentah oleh Seto
dan Miyabi, pernah menyerah sendiri terhadap Hanazono, dan mengalami banyak hal
lainnya.
Menurut Seira, berganti-ganti orang yang kusukai adalah
sesuatu yang pantas dihina, tapi aku tidak pernah mengabaikan perasaanku
sendiri. Itu hanya berubah seiring waktu.
Dan tidak mengejutkan jika hal yang sama juga berlaku
untuk Remi.
Aroma kenangan yang paling melekat dalam dirinya mungkin
berasal dari seseorang yang tidak kukenal.
Seperti bagaimana Hanazono Yuuka menjadi sosok cinta yang
paling membekas di hatiku.
Sambil menatap teks kredit yang mengalir di layar,
aku terus memikirkan hal itu.
***
Begitu keluar dari bioskop, luasnya langit terasa semakin
nyata.
Sambil berjalan dan merasakan hembusan angin, aku dan Remi
mulai membicarakan kesan kami terhadap film yang baru saja kami tonton.
Setelah cukup lama berbincang, aku pun mengutarakan
sebuah pertanyaan yang tiba-tiba terlintas di benakku.
"Film yang akhirnya berpisah seperti ini… kalau
ditonton oleh pasangan, kira-kira bakal jadi suasana seperti apa ya?"
"Hmm…"
Remi memasang ekspresi berpikir keras.
"Mungkin saja peluang untuk putus jadi lebih besar.
Atau malah, bagi pasangan yang sedang ragu-ragu, ini bisa jadi penentu
keputusan mereka…"
Mungkin dia berpikir kalau dia salah memilih film untuk
ditonton.
Aku buru-buru mencoba menenangkan suasana dengan
menyelipkan pendapatku.
"Tapi rasanya seru juga, ya, bisa langsung ngobrol
tentang filmnya begitu selesai nonton. Aku dulu berpikir kalau nonton film
bareng itu agak sia-sia, soalnya kita tidak bisa ngobrol selama filmnya
diputar."
"Kan? Aku juga berpikir begitu. Walaupun kita tidak
bisa berbicara selama film berlangsung, tetap saja menonton film yang sama bisa
membuat jarak di antara kita jadi lebih dekat."
"Ya, itu benar."
Meskipun kami sudah berteman lama, ini adalah pertama
kalinya aku pergi ke bioskop berdua dengan Remi. Mungkin dia sudah
mempertimbangkan hal itu saat memilih film yang akan ditonton.
"Kalau begitu, sekarang kita ke kafe, yuk."
"Kafe? Maksudnya, buat apa ke kafe?"
"Ya buat melanjutkan kencan, dong. Kafe itu
tempat klasik dalam kencan. Kita bisa santai sebentar sambil ngobrol."
"Kafe buat ngobrol…?"
Aku memang pernah mendengar istilah itu, tapi karena
aku belum pernah berkencan, rasanya tetap asing bagiku.
Bahkan aku belum pernah sekalipun pergi ke kafe
berdua dengan teman sekelas.
"Berapa sih harga di kafe? Aku punya cukup uang tidak
ya?"
"Tenang aja, aku sudah nemu tempat yang lagi
ngasih kupon diskon di media sosial."
"Tapi tetap saja pasti mahal, kan──"
"Udah, ikut aja!"
Tanpa peduli dengan kekhawatiran finansialku, Remi
menarik lenganku dengan ringan.
Sepertinya dia sudah menentukan tempat dari awal, karena
sekarang dia mengecek peta di ponselnya.
"Makasih, ya, udah cari tempatnya. Kayaknya bakal
seru sih, apalagi kalau tempatnya lagi hits. Asal duitku cukup aja."
"Hari ini anginnya sejuk, ya~"
"Dengerin aku dong!?"
Remi hanya tertawa kecil dan menunjuk ke depan.
"Itu tempatnya."
Kafenya bukan salah satu dari jaringan waralaba terkenal,
tapi lebih ke tempat yang bergaya estetis, seperti yang sering muncul di media
sosial.
Kalau bukan karena Remi, aku pasti tidak bakal berani
masuk ke tempat seperti ini.
Begitu kami masuk, seorang pelayan menyambut kami dengan
cara yang santai dan ramah.
Aku merasa gelisah bahkan setelah kami duduk di meja yang
telah disediakan. Melihatku yang resah, Remi hanya tersenyum kecil.
"Kamu terlalu tegang. Santai aja, malah jadi
kelihatan mencolok."
"Tidak, soalnya ini pertama kaliku datang ke tempat
seperti ini. Serius, aku yakin orang-orang di sini bakal merasa aneh kalau
lihat aku di sini. Mungkin lebih baik kita pulang aja?"
"Tenang aja, tidak ada yang memperhatikan kita,
kok."
Karena perkataannya, aku perlahan melirik sekeliling.
Tepat saat itu, aku melihat seorang pria yang menatap Remi
dengan penuh kagum—sebelum pacarnya sendiri menghajarnya tepat di kepala.
"Ya… mungkin memang tidak ada yang memperhatikan
aku, sih…"
"Hah?"
Remi menatapku dengan bingung sambil meneguk air
minumnya.
…Sepertinya dia sama sekali tidak sadar.
Aku membuka menu yang ada di atas meja, lalu Remi dengan
santai mendekatkan wajahnya untuk melihat isinya juga.
Saat dia menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinga,
aroma samar dari sampo yang digunakannya tercium olehku.
…Jarak sedekat ini cukup berbahaya dalam banyak hal.
"Aku sudah memutuskan pesananku."
Begitu Remi berkata demikian, aku langsung menutup menu
di tanganku, merasa tidak tahan dengan situasi ini.
Saat itu juga, seolah sudah menunggu, pelayan mendekati
meja kami.
"Apa yang ingin kalian pesan?"
"Saya pesan paket makan siang A, dan minumnya es
teh, ya."
"Baik,
saya catat."
"A-a-aku…
ehm…"
Senyuman ramah dari pelayan itu…
…Aku tidak bisa bilang kalau aku belum memutuskan
pesananku!
Barusan aku melihat daftar harganya, dan seperti kata Remi,
ternyata cukup terjangkau.
Awalnya aku hanya berniat memesan minuman di kafe ini.
Tapi kalau cuma makan popcorn, rasanya kurang seperti kencan sungguhan. Hari
ini, mungkin sesekali aku bisa sedikit berfoya-foya.
Bukan berarti aku menyerah pada senyuman ramah pelayan
tadi.
"Saya pesan paket makan siang B. Minumnya… e-ehm,
kopi hitam."
Padahal aku belum pernah minum kopi hitam sekalipun. Tapi
karena gugup, aku memilihnya hanya karena terlihat keren.
Remi menatapku dengan ekspresi aneh, tapi dia tidak
mengatakan apa-apa.
Pelayan itu tetap tersenyum ramah saat mengambil kembali
menu, membuatku kehilangan kesempatan untuk mengubah pesananku.
"Ryota, kamu suka kopi hitam?"
"Belum pernah minum…"
"Belum pernah!? Terus kenapa pesan!?"
"Karena ini kencan, jadi aku harus minum sesuatu
yang keren…"
Mata Remi membulat karena terkejut.
Lalu perlahan-lahan, senyum kecil muncul di sudut
bibirnya.
"…Dasar bodoh. Pesan aja yang kamu suka."
"Tapi ini kan kencan…"
"Kencan memang sesuatu yang spesial, tapi tetap
bagian dari kehidupan sehari-hari. Memang ada baiknya mencoba hal baru, tapi
kalau sampai kamu kehilangan diri sendiri, tidak ada gunanya. Lain kali
hati-hati, ya."
Mungkin karena menyadari sesuatu tentang dirinya sendiri,
Remi sedikit canggung saat menambahkan,
"Kalau aku yang jadi pasangan kencanmu, aku pasti
akan berpikir begitu. Lagipula, kalau udah sampai tahap berkencan, berarti udah
ada peluang besar, kan?"
"Kalau ini kencan biasa, mungkin sih…"
"Uh…"
Kencan berikutnya dengan Hanazono… belum tentu bisa
terlaksana.
Kalaupun terjadi, kalau suasananya terasa dipaksakan, itu
juga tidak ada artinya.
Masalah ini sudah aku serahkan ke Yuzuha, sih…
"Kalau dipikir-pikir, bukankah wajar kalau cowok
ingin tampil keren? Kamu juga berdandan buat hari ini, kan?"
"Oh? Kalau dipikir dari sudut itu, mungkin memang
bisa dibilang ini juga demi kamu. Tapi kalau kamu mulai mengharapkan imbalan
dari hal-hal seperti itu, hubungan kita malah jadi tidak sehat."
Aku hendak membalasnya, tapi sebelum sempat, pesanan kami
mulai diantarkan ke meja.
"Whoa…!"
Pemandangan yang tersaji di depan mata benar-benar luar
biasa.
Pasta, eggs benedict, tiramisu dengan taburan gula halus,
dan kopi hitam yang mengeluarkan aroma khas yang kaya.
Melihat makanan ini berkilauan, aku jadi paham kenapa
banyak orang suka memotret makanan mereka.
Aku langsung melupakan pembicaraan sebelumnya dan
antusias meraih cangkir kopiku.
Namun saat aku akan menyeruputnya, Remi berkata dengan
nada geli,
"Ngomong-ngomong, kopi hitam itu tidak keren,
loh."
"Hah!? Kan kelihatan dewasa!"
"Itu justru yang bikin kamu kelihatan
kekanak-kanakan."
Sahabat masa kecilku itu tanpa ragu menghancurkan
argumenku, lalu menyesap es tehnya.
Tak hanya itu, dia bahkan langsung menyantap cheesecake
dengan lahap.
…Makan dessert duluan, ya? Mungkin biar tetap dingin.
"Jadi beneran, ya? Kencan itu identik dengan
pergi ke kafe?"
"Kan aku udah bilang, ini kencan klasik. Ya, meski aku juga cuma tahu dari internet."
"Bukan dari pengalaman pribadi?"
Begitu aku mengatakannya, Remi tiba-tiba meletakkan
garpunya dengan bunyi kecil.
"Aku tidak punya pengalaman sama sekali. Seumur
hidup, satu-satunya cowok yang pernah pergi berdua denganku ya cuma kamu."
"…Serius?"
"Yup. Aku tidak berubah dalam hal itu."
Aku kira dia bisa mengajakku ke berbagai tempat karena
dia sudah punya pengalaman kencan sebelumnya.
Ternyata, dia benar-benar mencari dan menyiapkan semuanya
hanya demi kencan pertama ini.
Entah kenapa, itu adalah fakta yang sangat menyenangkan
bagiku.
Saat menonton film tadi, aku sempat berpikir kalau dia
punya banyak pengalaman sejak SMP.
Malu dengan pikiranku sendiri, aku buru-buru meneguk kopi
hitamku.
Dan langsung tersedak.
"Ugh! Pahit banget!"
"Itu bukan sesuatu yang bisa diminum
sekaligus…"
Kalau aku sampai menyemburkannya seperti waktu di
kantin, mungkin aku bakal langsung kena bogem.
Tolong, kalau aku sampai melakukan itu, pukul aja
sekalian.
Untuk menetralisir rasa di mulutku, aku mengambil
sesendok tiramisu.
Krimnya yang lembut berpadu sempurna dengan sedikit
rasa pahit, menciptakan kombinasi rasa yang luar biasa.
Semua makanan ini terasa lebih enak daripada yang
seharusnya seharga itu.
Hari ini, sebagian besar uang sakuku untuk satu bulan
akan lenyap.
Tapi bukannya merasa kehilangan, aku justru merasa puas.
Apakah itu karena melihat sahabat kecilku menikmati waktunya di depanku?
Ataukah karena perasaan antusias menantikan acara yang
akan datang?
Remi, yang sudah menghabiskan setengah dari es tehnya,
tiba-tiba berkata,
"Ngomong-ngomong, Ryota, kenapa kamu tidak pakai
media sosial? Aku jadi susah menghubungi kamu, tahu."
"Kenapa tiba-tiba nanya itu?"
Aku menyedot pasta di garpuku, lalu menjawab,
"Soalnya, media sosial itu penuh dengan berbagai
macam pandangan, kan? Aku tidak mau terlalu dipengaruhi oleh orang-orang yang
bahkan wajahnya saja tidak kelihatan."
"Hmm… Jadi kamu punya alasan yang jelas juga,
ya?"
"Ya, begitulah. Aku juga sebenarnya ingin
menghubungi kamu, tapi kupikir kalau ada hal penting, masih bisa lewat telepon
rumah."
"…Padahal kamu tidak pernah sekalipun
meneleponku."
Nada suara Remi sedikit menurun.
Padahal aku pernah mencoba menelepon, tapi waktu itu ibu
kami malah asyik mengobrol, jadi aku tidak sempat berbicara dengannya.
Lagi pula, itu baru sekitar sebulan yang lalu. Mungkin
yang dimaksud Remi adalah kejadian yang jauh lebih lama dari itu.
Namun, aku jadi penasaran dan bertanya,
"Apa itu sampai mengganggu kehidupanmu?"
"Tidak juga."
"Berarti tidak masalah, kan?"
"Tapi aku tetap merasa kesepian."
Garfuku berhenti berputar di piring pasta.
Remi sejak dulu memang selalu mengungkapkan
perasaannya secara jujur.
Tapi seingatku, dia tidak pernah berbicara sejujur
ini.
Aku menatapnya kaget, sementara dia tampak sedikit
ragu, menggaruk pipinya dengan canggung.
Kemudian, dia mengalihkan pandangannya ke luar
jendela, seolah mengingat sesuatu.
Aku pun ikut melihat ke luar.
Langit biru cerah membentang luas tanpa satu pun awan.
"Katanya, langit menghubungkan kita semua, tapi itu
cuma kata-kata indah. Kenyataannya, bagi anak SMP, pergi ke tempat baru itu
sesuatu yang sulit."
"…Ya, itu benar."
"Dan di situasi seperti itu, tidak bisa menghubungi
teman dekat itu rasanya sangat berat."
Membayangkan seorang anak SMP dipindahkan ke tempat
asing seorang diri, tanpa teman yang dikenal, pasti mengerikan.
Aku sendiri pernah hampir merasa terisolasi di awal
masuk SMP, meskipun masih ada beberapa teman yang kukenal.
"Maaf… Harusnya aku tetap berusaha
menghubungimu."
Saat aku menoleh ke Remi, dia sudah lebih dulu menatapku.
"Sudahlah, kamu tidak perlu minta maaf. Aku cuma
merasa kamu agak dingin saja… Tapi kalau dipikir lagi, mungkin wajar kamu minta
maaf, ya. Aku memang perempuan yang ribet, ya?"
"Memang, tapi aku benar-benar merasa bersalah,
kok."
"Tidak kusangka kamu bakal mengiyakan begitu
saja."
"Maaf, aku tadi maksudnya menjawab soal
permintaan maafnya, bukan yang bagian kamu ribet!"
"Hmph, bisa saja."
Remi menyipitkan mata, lalu menyesap air minumnya.
Mungkin, selama ini dia masih selalu mengingatku meskipun
kami terpisah.
"Pastinya sulit ya, pindah sekolah ke tempat jauh?
Rasanya seperti masuk dunia lain, kan?"
"Kok sekarang kamu tiba-tiba sok perhatian? Udah
terlambat, tahu."
"Ugh…"
Aku terdiam, merasa tertohok oleh kata-katanya.
Melihat reaksiku, bibir Remi melengkung ke atas,
tampak puas.
"Fufu, aku cuma bercanda. Lagipula, kalau
dipikir lagi, aku juga tidak pernah meneleponmu, jadi kita sama saja."
"Setengah serius, kan, itu? Masa SMP kamu
sesibuk itu?"
Aku bertanya, sementara Remi menempelkan jari
telunjuk ke dagunya, berpikir sejenak.
Tampaknya dia tidak benar-benar marah, jadi aku
sedikit lega.
"Yah, tentu saja banyak hal yang berbeda dari
sebelumnya. Tapi, aku tetap menikmati waktuku di sana. Buktinya, aku dapat
cukup banyak tulisan perpisahan di bukuku."
"Heh… Kayaknya kamu memang lebih jago
bersosialisasi daripada aku. Padahal waktu SD, kamu jarang ngomong sama orang
lain."
"Eeh, aku kan tetap ngobrol sama anak-anak
cewek! Jangan tambah-tambahin fakta yang tidak ada!"
Remi merespons dengan ekspresi kesal.
Remi mengalihkan pandangannya seolah sedang mengingat
sesuatu, lalu melanjutkan,
"Sama seperti yang kamu pikirkan, aku juga
terkejut dengan perubahan diriku sendiri. Tapi sekarang, sudah terlambat untuk
kembali seperti dulu."
Aku sadar bahwa aku menyukai Remi yang dulu.
Apakah dia memikirkan hal itu juga?
"Biar kukasih tahu, menurutku kamu yang sekarang
juga keren dan dewasa."
"Oh, begitu."
"Wah, kelihatannya kamu sama sekali tidak senang,
ya."
Aku menghela napas, lalu menetidak habis kopi hitamku
yang sudah mulai dingin.
Di dasar cangkir kosong itu, tertinggal noda kecokelatan.
"Apa yang perlu disenangkan? Orang dewasa itu
semuanya cuma menahan diri untuk tidak mengungkapkan yang sebenarnya mereka
pikirkan. Aku sudah bilang waktu pertama kita bertemu lagi, kan? Kita bukan
anak-anak lagi yang bisa bicara sesuka hati."
"Lalu, kenapa kamu berusaha menjadi dewasa?"
"Karena menurutku, itulah yang seharusnya."
"Hmm…"
"Yah, kamu tidak bakal ngerti."
"Kamu memang niat bikin aku ngerti?"
"Tidak."
"Tidak niat!?"
Aku melongo kaget, sementara Remi menurunkan ujung
matanya dan tersenyum kecil.
"Itulah sebabnya aku bilang, lebih baik kamu
tetap seperti sekarang."
"…O-oh."
Aku menjawab pendek, masih agak bingung.
Tapi setidaknya, aku menyadari satu hal.
Di mata Remi, menjadi dewasa bukanlah sesuatu yang keren.
Sementara aku sendiri selalu berpikir bahwa menjadi
dewasa itu sesuatu yang luar biasa. Mungkin aku terlalu berkhayal
tentang masa depan.
Setelah itu,
kami mengobrol panjang lebar tentang sekolah, kehidupan sehari-hari, dan
berbagai hal lainnya, sampai lupa waktu.
Seolah
sedang mencoba mengisi celah waktu yang telah hilang.
Atau
mungkin, seolah sedang dikejar sesuatu.
Hingga
akhirnya, Remi melirik layar ponselnya, lalu berkata,
"…Waktu
berlalu cepat, ya. Tinggal satu jam lagi sebelum kita ketemu Yuzuha-san dan
yang lain."
"Kita tadi nonton film juga, sih. Wajar kalau
rasanya waktu berjalan lebih cepat dari seharusnya."
"Ngomong-ngomong soal film, aku tidak tahu bakal
berguna atau tidak buat nanti, tapi setidaknya ceritanya cukup realistis dan
menarik, kan?"
"Setuju. Aku juga merasa lebih santai tadi."
Piring besar dan cangkir kopi yang sudah kosong
memantulkan cahaya oranye dari luar jendela.
Cahaya yang keruh itu mengingatkanku pada matahari yang
mulai terbenam, dan aku menggenggam tanganku erat.
"…Kalau aku jadi pacaran sama Hanazono, kita tidak
bakal bisa jalan-jalan berdua kayak gini lagi, ya?"
Remi terdiam.
Sebenarnya, aku sudah memikirkan hal ini sejak tadi.
Kalau aku benar-benar bisa menjalin hubungan dengan
Hanazono, maka kebersamaan seperti ini dengan Remi akan berakhir.
Mungkin Remi juga menyadari hal yang sama.
Atau mungkin, dia sudah lebih dulu memikirkan ini, dan
itulah sebabnya dia bersedia membantuku.
Aku tidak tahu apakah hal itu membuatku senang atau
justru membuatku ragu.
"Lakukan saja yang kamu mau. Itu bukan
urusanku."
"…Iya, kamu benar."
Ini pertama kalinya aku merasa dekat dengan seorang
perempuan.
Tidak seperti saat kami berpisah dulu, kali ini, apapun
yang terjadi dengan hubunganku dan Remi, kami masih akan tetap berada di
sekolah yang sama.
Hanya dengan memastikan hal itu saja, aku merasa sedikit
lebih tenang.
"Meskipun Hanazono kelihatannya tertarik padamu,
masih belum ada kepastian, kan? Jadi buat apa terlalu banyak berpikir? Itu cuma
hitungan kosong."
"…Iya, yang bisa kulakukan sekarang cuma berusaha
sebaik mungkin."
"Tepat sekali."
Dalam dua jam ke depan, aku akan tahu apakah kencan ini
berjalan lancar atau tidak.
Dalam tiga jam, mungkin status hubunganku akan
berubah.
Menyadari hal itu, tiba-tiba aku merasa tegang.
Seolah menyadari perasaanku, Remi berkata dengan
suara ceria,
"Baiklah! Sebelum berpisah, ayo kita ke arcade
dulu!"
"Hah? Kupikir kita bakal duduk di sini sampai
waktunya tiba."
"Kalau dipikir-pikir, ini bisa jadi terakhir kalinya
kita jalan bareng. Ayo main di tempat yang sering kita datangi dulu."
Wajah Remi terlihat lebih dewasa dari sebelumnya.
Lebih dewasa dibandingkan ekspresi yang dia tunjukkan
saat di kelas.
Sebelum aku sempat memahami maksud dari ekspresi itu, Remi
sudah lebih dulu bangkit dari kursinya.
Tempat duduk yang dia tinggalkan terasa lebih sepi dari
yang kukira.
Hanya alunan BGM kafe yang terus menggema, seolah sedang
menikmati ritmenya sendiri.